• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESANTREN MALANG DAN GURUKULA BALI

Kadek Wiwik Indrayanti dan Ardhiana Puspitacandri

Universitas Merdeka Malang aricandri@gmail.com

ABSTRAK

Kajian dengan tema ―model kesadaran tentang konsep keberagaman dan toleransi untuk mengurangi pola perilaku kekerasan dimasyarakat‖ dilakukan multi years yang bertujuan untuk 1) mengidentifikasi program-program yang konsep keberagaman dan toleransi, kendala kendala yang dihadapi pengasuh sekolah dalam menerapkan konsep keberagaman dan toleransi. 2) menyempurnakan materi model dan melakukan uji coba model. Metode yang dipakai adalah wawancara dan Focus Group Discussion dan sampel nya adalah pondok pesantren (Islam) di Kota Malang , gurukula (Hindu) di Bangli Bali, desa multikultur dan Lembaga Swadaya Masyarakat Keagamaan. Hasilnya menunjukkan bahwa sekolah sekolah tersebut belum menerapkan secara maksimal pemahaman keberagaman dan toleransi. Materinya sudah diselipkan ke matapelajaran PKN dan tidak ada kendala-kendala dalam menyampaikan materi tersebut. Realitasnya sekolah sekolah tersebut belum memiliki program-program, kegiatan yang mendukung implementasi keberagaman dan toleransi. Penyusunan dan penyempurnaan materi model terdiri atas 8 modul dan hasil uji coba menunjukkan bahwa siswa-siswa perlu diberikan wawasan secara khusus karena jawaban yang diberikan oleh siswa pesantren pemahamannya masih rendah dibandingkan siswa gurukula. Kondisi tersebut terjadi mungkin disebabkan anak-anak di gurukula lebih banyak berinteraksi dengan pihak luar dan gurukula dipakai sebagai pusat kegiatan dari berbagai pihak. Uji coba belum maksimal, misalnya metode role play dan ceramah belum dipakai karena keterbatasan waktu.

Kata-kata kunci: Keberagaman, kekerasan bernuansa agama, model kesadaran dan toleransi Hasil penelitian mengenai ―model kesadaran tentang konsep keberagaman dan

toleransi untuk mengurangi pola perilaku kekerasan dalam masyarakat― yang telah

dilakukan pada tahun 2013 di sekolah sekolah Hindu (Gurukula) di Bangli Baliserta sekolah sekolah Islam (Pondok Pesantren) di Kota Malang, menunjukkan bahwa kedua sekolah tersebut menggunakan kurikulum nasional. Pemberian pendalaman dan praktek agama di ponpes dilakukanpagi hari sampai sebelum jam pelajaran umum dan sesudah jam pelajaran umum berakhir sampai malam hari. Sedangkan di gurukula dilakukan setelah pelajaran umum selesai. Pemahaman keberagaman dan toleransi diberikan kepada anak didik diselipkan pada Pendidikan Kewarga Negaraan (PKN) dan agama serta mengetahui sejauhmana pemahaman murid-murid tentang keberagaman dan toleransi telah dilaksanakan dalam keseharian mereka perlu kajian lanjutan. Mengingat hasil kajian di beberapa sekolah umum, setingkat SMA di beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa para siswa menolak keberagaman dan menumbuhkan sentimen kesatuan agama.

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Para guru menganggap bahwa program-program interfaith di kalangan murid-murid perlu dilakukan, akan tetapi Ponpes dan Gurukula belum sepenuhnya memiliki program-program yang mendukung pelaksanaan keberagaman dan toleransi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Testriono (2011), bagaimana orang Indonesia bisa secara baik mendorong pluralisme dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain tanpa melanggar kebebasan terhadap orang lain. Disamping itu pemberian peningkatan kapasitas bagi pengasuh, guru perlu dilakukan sehingga di dalam pemberian pemahaman pada peserta dapat mengedapankan beberapa hal yang bersifat universal, misalnya pemahaman terhadap aspek mutual respect atau penghormatan.

Selanjutnya menurut Irsyad Ridho multikulturalisme secara konteks sosial mempunyai komunikasi dua arah yaitu (kelompok sendiri) dan keluar (kelompok lain). Untuk interaksi ke dalam, bisa menggunakan bahasa yang sama yang akan memperkuat internal kelompok. Sedangkan untuk komunikasi ke luar, seharusnya menggunakan bahasa yang juga dipahami oleh kelompok lain. Tetapi jika memaksakan bahasa sendiri, maka kelompok lain bisa jadi tidak memahami. Masalahnya ketika masing-masing kelompok ngotot menggunakan bahasanya masing-masing untuk berkomunikasi keluar, maka yang akan terjadi ketidakpahaman yang pada tahap berikutnya dapat memunculkan konflik (Nurhayati, 2011). Lebih lanjut Irsyad mengatakan bahwa pendidikan multikultural hendaknya dirancang secara integratif untuk mengurangi prasangka sehingga mewujudkan kerjasama dan kemandirian sosial. Adapun aspek-aspek pendidikan multikultur: (1) pengurangan prasangka, (2) peningkatan kemandirian lokal, dan (3) pengembangan kerjasama lokal.

Atas dasar temuan kajian tahun pertama berupa draft materi model maka penelitian tahun kedua: (1) menyusun dan menyempurnakan materi model kesadaran tentang konsep keberagaman dan toleransi untuk mengurangi perilaku kekeraan di masyarakat, dan (2) melakukan uji coba atas materi model.

Konsep Keberagaman

Problem kehidupan beragama di Indonesia masih cukup banyak. Untuk menjalankan kehidupan beragama secara bersama-sama antar, walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun prakteknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktek di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu.

Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti semua agama berhak untuk ada dan hidup. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda,

misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ‖agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan‖. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ‖banyak jalan menuju Roma‖. Semua agama menuju pada

Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Perdebatan mengenai pluralisme masih sangat krusial karena terkait dengan masalah teologis sebagai sesuatu hal penting dan sensitif. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama kita yang paling benar. Namun, dalam beberapa hal, kitab suci masing-masing agama secara tersirat menyatakan

adanya ‗jalan lain‘ di luar agamanya, yang bisa jadi merupakan jalan yang absah

juga untuk dilalui dalam prosesi menuju Tuhan (Moch Shofan, 2007).

Esensi dari Hinduisme adalah satu dalam keanekaragaman dan bukan keseragaman dan hal ini merupakan nilai universal yang tiada taranya. Bhagavad -GitaVI.11: Sejauhmana semua orang menyerahkan diri kepadaKU, AKU menganugrahi mereka sesuai dengan penyerahan dirinya itu. Semua orang menempuh jalanKU dalam segala hal, wahai putera Prtha. Beberapa sloka di atas mengejawantahkan pluralisme dari keimanan Hindu. Tak ada yang salah dalam dalam setiap tradisi keagamaan dan tradisi itulah sebenarnya yang menyebabkan satu suku bangsa maupun suatu bangsa bisa bertahan dari generasi ke generasi (Mantik dalam Donder, Teologi 2009 : hal 506).

Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (1) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (2) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Lebih lanjut Nurchalish Madjid yang dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media Dakwah Edisi No. 358 tahun 2005 pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi. Dia juga menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya; kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita); ketiga sikap pluralis yang biasa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, Agama-agama lain berbicara secara

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran (Husaini, 2005). Kemampuan imajinatif untuk menghargai satu kenyataan yang tidak kita miliki adalah apa yang membuat kita menjadi manusia (human). Memiliki penghormatan yang sama terhadap semua agama tidak berarti kita mengambil agama lain. Tapi itu berarti,

‗memaksa saya untuk memahami sudut pandang mereka, untuk menghargai cahaya

kemana mereka melihat didalam agama mereka. Satu penghargaan yang sederajad (M. K Gandhi, 1962: hal 7).

Konsep toleransi

Toleransi sendiri berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Dari arti katanya berarti toleransi sendiri lebih pada sikap penghormatan kepada orang lain untuk melakukan sekehendak hatinya sesuai dengan keinginan dan hati nuraninya asal tidak saling mengganggu. Namun dalam perkembangannya di Indonesia istilah toleransi sangat erat kaitan dengan kehidupan beragama. Toleransi antar umat beragama diartikan sikap sabar membiarkan orang lain mempunyai keyakinan lain mengenai agama dan kepercayaannya itu. Implikasinya ada toleransi berarti tumbuh sikap hormat-menghormati antara pemeluk agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan tenang tanpa saling mengganggu bahkan saling menghormati dengan tolong-menolong. Selanjutnya teori pluralisme agama tidak bisa dipahami secara simplistis sebagaimana selama ini berlaku di media-media. Kebanyakan media menganggap bahwa pluralisme agama dianggap sama dengan toleransi beragama. Padahal kedua istilah ini merupakan entitas berbeda, yang tidak sama. Bedanya, kalau pluralisme

agama adalah mengakui agama lain sebagai absah atau ‖valid and authentic

(mengikuti istilah John Hick). Valid dan otentik inilah sebenarnya suatu pengakuan bahwa agama lain di luar agama seseorang sebagai yang absah. Sedangkan toleransi hanya mengakui keberadaan agama-agama lain sebagai gejala kemajemukan, tanpa harus menghilangkan keyakinan dalam agama diri sendiri. Tidak harus mengakui agama orang lain absah secara akidahnya, valid dan otentik. Toleransi, singkatnya, menghargai perbedaan. Jadi toleransi ada karena ada perbedaan. Kalau tidak ada perbedaan, maka tidak muncul istilah toleransi (Anis, 2005).

Menurut Frans Magnis Suseno toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana

dikatakan; ‖meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan anda, meskipun iman anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan anda. Saya gembira bahwa anda ada, saya bersedia belajar dari anda, saya bersedia bekerja sama‖.

Secara historis terdapat sejumlah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa dalam Islam dimana Rasulullah SAW dan para sahabat menerapkan prinsip toleransi yang disebut dalam Al-Qur‘an dalam hubungannya dengan kelompok non

muslim, Anatar lain perjanjian dengan kaum musyrik Makkah waktu itu yang pada dasarnya menunjukkan sikap toleransi yang luar biasa. Bahkan untuk menghormati hubungan yang berdasarkan kemanusiaan dan prinsip toleransi tadi, Allah SWT melarang umat Islam melukai perasaan non-muslim, dengan mencela ajarannya

―Janganlah kamu memaki patung –patung yang disembah kaum musyrik selain Allah. Perbuatan seperti itu memancing kemarahan mereka dengan memaki Allah dengan semena-mena dan melampui batas. Sembahan patung-patung sebagai

contoh bahwa setiap umat berbuat dengan tingkat kesiapan mereka.‖

Konsep dan macam kekerasan

Kekerasan atau violence berarti kekuasaan atau berkuasa adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat yang merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan. Kata kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, hal 19).

Selanjutnya Mochandas Gandhi menyatakan The roots of violence: wealth without work, pleasure without conscience, Knowledge without character, commerce without morality, science without humanity, worship without sacrifice, politics without principles.

Sedangkan bentuk kekerasan secara umum meliputi yakni: kekerasan fisik kekerasan emosional, kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual . Hubungan antara pola perilaku kekerasan di masyarakat dengan pemahaman konsep pluralisme biasanya disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor pertama adalah faktor internal berupa kedangkalan pengahayatan dari pihak anggota kelompoknya terhadap esensi perbedaaan (pluralisme) sebagai sebuah keniscayaan. Faktor kedua adalah faktor eksternal yakni campur tangan pihak luar yang ikut ambil dan mengelola perbedaan paham tersebut serta menjadikan sebagai sebuah aset manajemen konflik.

Indikator Kesadaran

Istilah kesadaran merupakan terjemahan dari istilah asing yaitu awareness. Kesadaran dapat mencakup dan berpengaruh pada aspek kognitif dan afektif dari seseorang. Kalau kesadaran itu cuma dibataskan pada permasalahan kognitif saja, maka konsekuensinya ialah bahwa ketaatan yang akan dibangkitkan dari kesadaran

semacam itu akan tak lebih daripada kesediaan subyek untuk ‖to comply‖ yakni sekedar meyesuaikan perilakunya secara formal, dalam wujud lahiriahnya saja. Namun jika kesadaran didefinisikan sampai pada aspek afektifnya maka akan melahirkan kesediaan seseorang untuk mentaati secara sukarela (Soetandyo, 2010).

Kesadaran yang dalam arti sempit ialah ‖menjadi tahu‖, hal itu terwujud

karena adanya proses pengabaran, pemberitahuan, penyuluhan dan/atau pengajaran. Lewat proses pengabaran atau pengajaran acapkali berlanjut dalam rupa proses pendidikan yaitu proses pembangkitan rasa dan setia. Pendidikan tidak hanya

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

hendak menanamkan pengetahuan baru (kognisi) saja, akan tetapi juga menggugah perasaan (afeksi) dan membentuk sikap positif (Soetandyo, 2010). Terkait dengan kesadaran beragama hendaknya penganut agama dan kepercayaan mengetahui dan melatih diri secara sempurna bagaimana mencintai Tuhan dan tidak seorangpun yang akan mengklaim agama dan keyakinannya lebih baik dari yang lainnya. Itu karena dia secara alamiah melihat bahwa kita semua memiliki Supreme Father. Yang hanya berbeda diantara kita adalah the level pemahaman spiritual yang kita miliki, dan bagaimana kita bersatu dengan The Supreme Being. Kebalikannya kita semua adalah sama, dan apapun badan kita dikondisikan mungkin bersifat sementara.

Kajian tentang Keberagaman dan Toleransi di Ponpes dan Gurukula

Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Dapat diketahui dari muatan/isi kurikulum yang kentara mengajarkan wawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama).

Selanjutnya bentuk lain dari lembaga pendidikan Hindu tradisional yang disebut dengan gurukula sudah ada sejak beratus-ratus dan Islam dengan pesantren. Dalam gurukula terdiri atas lima komponen dasar penting; (1) seorang pemimpin kharismatik yang disebut acarya atau guru; (2) siswa-siswa fulltime yang disebut

brahmacari; (3) fasilitas tempat tinggal yang disebut gurukula asrama; (4) sebuah tempat untuk sembahyang yang disebut temple atau mandir; dan (5) pustaka suci berdasarkan ajaran-ajaran dari masa lampau yang disebut Sastra Veda. Sedangkan Pondok Pesantren di Indonesia memiliki lima komponen dasar penting yaitu: (1) adanya seorang pemimpin karismatik, yaitu kiai; (2) santri yaitu para murid yang belajar fulltime; (3) pondok sebagai fasilitas tempat tinggal kiai dan santri; (4) Mesjid untuk sembahyang; dan (5) materi-materi pelajaran tertentu berdasarkan Kitab Salaf yang menjadi basis kurikulum (Raghava Swami, 2008).

Gandhi berpandangan bahwa dialog antar agama perlu ditumbuh kembangkan dan yang sudah menjalani dialog antar agama mengakui dengan tegas sebagai berikut: semakin mereka mengenal orang-orang dari keyakinan lain agama lain, semakin dalam mereka memahami dan meneguhkan keyakinan terhadap agama mereka sendiri; tidak hanya kita perlu satu sama lain, kita membutuhkan satu sama lain guna mengerti diri kita sendiri (Esllsberg, 2012). Dengan kesadaran bahwa seluruh makhluk (manusia) adalah satu keluarga (Vasudhaiva kutumbhakam), semua makhluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah), ajaran Ahimsa (tanpa kekerasan) dan Tat Tvan Asi yang secara literal berarti ―Itu adalah kamu‖, maka

kebahagiaan hidup umat manusia sebagaimana yang dicita-citakan oleh semua agama akan dapat diwujudkan (Donder, 2006).

METODE

Sekolah keagamaan tradisional yaitu yang berbasiskan agama yaitu pondok pesantren (Islam) dan gurukula (Hindu) serta masyarakat di desa Resapombo dusun Salamrejo Kecamatan Doko Kabupaten Blitar dan LSM ( FKUB) ditentukan secara

purposive. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu: 1) Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan kebutuhan materi model dan 2) Penyempurnaan materi model serta 3) Pelaksanaan uji coba model.

HASIL

Masyarakat multikultur

Penelitian tahun kedua ini dilakukan di Desa Resapombo dusun SalamrejoKecamatan Doko Kabupaten Blitar karena masyarakat di desa ini menerapkan perilaku toleransi antar pemeluk agama. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari bapak Tekad Mudhovir selaku kepala desa sbb; di dusun Salamrejo penduduknya menganut agama yang beragam yaitu ada Katolik, Kristen, Islam, Hindu dan Buddha. Mayoritas (60 persen) penduduk di dusun ini beragama Katolik. Ada beberapa aktivitas bersama yang dilakukan oleh masyarakat dimana mencerminkan perilaku toleransi yaitu kegiatan kerja bakti yang dilakukan setiap hari Sabtu. Hari Sabtu dipilih warga dengan pertimbangan karena hari Jumat adalah waktu untuk melakukan sholat bagi masyarakat muslim sedangkan jika hari Minggu waktu sembahyang bagi umat Katolik dan Kristen. Kemudian pada saat memperingati hari raya masing–masing agama yang dilakukan dengan mengadakan kunjungan bagi warga masyarakat ke rumah-rumah masyarakat yang merayakan hari raya. Misalnya ketika Idul Fitri atau Lebaran semua masyarakat dusun selain Islam mengunjungi rumah-rumah masyarakat yang beragama Islam untuk mengucapkan selamat begitu juga sebaliknya jika hari Natal tiba, umat yang beragama Katolik dan Kristen menerima kunjungan dari masyarakat Islam, Buddha dan Hindu. Ketika merayakan tahun baru dimana seluruh warga datang berkumpul dan ketika doa diadakan maka masing–masing umat dari berbagai agama mendapat kesempatan untuk memimpin doa menurut agamanya sedangkan umat yang lainnya mengikuti dengan khidmat. Begitu satu persatu dapat kesempatan untuk berdoa sementara umat penganut agama yang lainnya mengikuti.

Sejarah FKAUB dan FKUB Kota Malang

Di Kota Malang sebenarnya ada dua kelompok yang bergerak dalam bidang kerukunan umat beragama yakni FKAUB dan FKUB. FKAUB lebih bersifat kultural artinya kelompok ini didirikan karena kesamaan keprihatinan untuk membangun sebuah forum kebersamaan lintas agama. Sebelum terbentuk FKAUB semula masih dengan kelompok terbatas Malang Berdoa Lintas Agama pada tahun 1996, yakni setelah kejadian peristiwa pembakaran Gereja Katolik di Situbondo. Kelompok atau forum ini rupanya lalu berkembang dan pada tahun 2000 disepakati dengan nama FKAUB (Forum Kerukunan Antar Umat Beragama) yang anggotanya

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Dengan berjalannya waktu FKAUB yang bersifat kultural tidak ada campur tangan pemerintah tetap berjalan sampai sekarang. Keanggotaan FKUB (structural) terdiri dari kelompok agama yang ada di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu disesuaikan dengan PBM. Sedangkan untuk FKAUB (Kultural) anggotanya jauh lebih lengkap karena ada kelompok penghayat keyakinan. FKUB maupun FKAUB memiliki program di bidang keberagaman dan toleransi. Program keduanya hampir sama, karena anggota perwakilan di FKUB sekaligus menjadi anggota FKAUB. Program-progran dibidang keberagaman dan toleransi, antara lain: (a) safari/ kunjungan ke komunitas-komunitas agama/ kepercayaan, (b) dialog atau sarasehan ke komunitas-komunitas agama/ kepercayaan, (c) membedah pemahaman tentang agama-agama (peribadatan/teologi), serta mempromosikan dan sosialisasi kerukunan antar umat beragama.

Ada beberapa tambahan materi yang dimasukkan kedalam modul yaitu antara lain modul nomor 3 dan modul 7, sehingga keseluruhannya ada 8 modul. Setelah materi tersusun maka langkah kedua yang dilakukan adalah melakukan uji coba materi model di Gurukula dan Pesantren. Pelaksanaan uji coba model dilakukan pada tanggal 7 Juli 2014 di lingkungan Gurukula Bangli Bali dan anggal 28 Agustus 2014 di Pondok Pesantren X Malang. Berkaitan pemahaman siswa tentang konsep keberagaman, contoh kekerasan bernuansa agama, pemahaman toleransi dan cara yang harus dilakukan untuk mengurangi perilaku kekerasan di masyarakat. Ada 14 orang siswa yang dijadikan peserta dalam diskusi tersebut. Dari hasil uji coba di kedua sekolah agama tersebut menunjukkan bahwa pemahaman peserta didik akan konsep keberagaman, toleransi, contoh kekerasan yang bernuansa agama dan upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi kekerasan di masyarakat cukup, tetapi masih perlu diberikan wawasan secara khusus agar peserta didik memiliki pemahaman yang cukup dalam arti mengerti contoh-contoh dan bagaimana menerapkan konsep tersebut di kehidupan sehari-hari. Jawaban yang diberikan oleh anak anak di gurukula dibandingkan dengan anak anak di pesantren Malang ada perbedaan dalam arti anak-anak di pesantren pemahamannya lebih kurang dibandingkan dengan peserta dari gurukula. Kondisi tersebut terjadi mungkin dapat disebabkan anak-anak di gurukula lebih banyak berinteraksi dengan teman teman dari sekolah agama lain dan sekolah mereka digunakan sebagai tempat mengadakan kegiatan dari berbagai pihak. Pelaksanaan uji coba sudah dilakukan