• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASANGAN BEDA ETNIS (BATAK TOBA - TIONGHOA)

Rentika Sinaga dan Liza Marini

Universitas Sumatera Utara djiel_za@yahoo.com

ABSTRAK

Di awal tahun perkawinan, banyak hal baru yang harus dihadapi pasangan, salah satunya beradaptasi dengan perkawinan. Penyesuaian perkawinan adalah salah satu masalah yang paling sulit yang dialami pasangan ditambah dengan perbedaan latar belakang budaya pasangan. Perbedaan sikap personal, nilai-nilai, latar belakang budaya dan kebiasaan dapat menyebabkan stres dan penyesuaian semakin sulit. Salah satu faktor yang mempengaruhi pasangan dalam penyesuaian perkawinan adalah dukungan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis. Jumlah sampel penelitian ini adalah 30 pasangan (Batak Toba-Tionghoa). Data dikumpulkan melalui dua buah skala yaitu skala dukungan sosial dan skala penyesuaian perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh positif dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis. Impilkasi dari penelitian ini adalah mengajak pasangan membangun kualitas hubungan yang baik dengan keluarganya dimana dukungan sosial yang mereka terima akan mendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba-Tionghoa).

Kata-kata kunci: Penyesuaian perkawinan, dukungan sosial keluarga, perkawinan beda etnis

Semakin beragam kontak sosial berarti semakin beragam potensi mencari teman hidup, dan akan mengarahkan peningkatan perkawinan berbeda budaya. Meningkatnya interaksi antar budaya akan membuat individu akan tertarik satu dengan yang lainnya, jatuh cinta, menikah dan memiliki keluarga (DeGenova, 2008; Blau, Schwartz, 2007). Perkawinan dimana pasangan berasal dari latar belakang etnis yang berbeda disebut dengan interethnic (Muller, 2004). Kota Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia dengan beragam suku-suku seperti Jawa, Tapanuli Utara (Batak), Tionghoa, Mandailing dan Minang adalah kelompok etnik yang terbanyak (Nasution, 2012). Peneltian ini secara khusus akan membahas perkawinan antar etnis pada etnis Batak Toba-Tionghoa.

Setiap budaya yang berbeda akan melahirkan standar masyarakat yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan perkawinan dan adat istiadat (DeGenova, 2008). Perkawinan antar budaya juga akan mengalami banyak masalah atau konflik seperti yang disampaikan oleh Markoff (1977) bahwa ada beberapa area masalah dalam perkawinan antar budaya atau etnis seperti komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai, perbedaan konsep akan pernikahan.

Seperti halnya dalam cara berkomunikasi, orang Batak Toba adalah dua kata yang dikenal sebagai gambaran orang yang tidak mau kalah, bersuara keras,

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

terbuka, spontan, agresif, dan memiliki keberanian untuk membela kepentingan seluruh keluarga dan sanak saudara (Irmawati, 2007). Persamaan yang terlihat di antara Etnis Batak Toba dan Tionghoa adalah selalu merasa positif, berusaha menjaga kesamaan dan keseimbangan, dan tidak mencari perbedaan dengan etnik lainnya (Lubis, 1999).

Orang Batak juga memiliki prinsip hidup bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tua, sebelum maupun sesudah menikah harus tetap berbakti kepada orang tua, begitu juga dengan hubungan sosial yang penting dalam keluarga (Vergowen, 2004). Tidak jauh berbeda dengan budaya Batak Toba, etnis Tionghoa juga mencintai dan hormat dengan orang tua dan keluarga mereka dan mereka lebih

ditekankan untuk lebih unggul daripada penduduk pribumi (As‘adi, 2011). Ajaran konfusius yang dianut mereka mengajarkan anak-anak harus berbakti dan hormat kepada orangtua yang ditunjukkan melalui kerjanya yang baik, apabila orang tua masih hidup harus dapat merawat dan menyenangkan orang tua dan apabila telah tiada harus melakukan pemujaan sebagai tanda bakti (Lubis, 1999).

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba dilakukan dengan orang luar dari luar marga sendiri, dan tidak boleh melakukan perkawinan secara timbal balik. Orang Batak Toba sendiri, untuk dapat membangun satu rumah tangga yang berbahagia, suami dan istri itu harus mempunyai modal berupa harta perkawinan yang dapat digunakan untuk membiayai kehidupan mereka dimana harta kekayaan keluarga baru terpisah dari harta kekayaan orang tuanya yang disebut dengan

manjahe (Lubis, 1999). Dalam keluarga Batak Toba, suami adalah kepala keluarga, yang memerintah rumah, penguasa atas anak-anak, istri dan harta benda dan menangani perkara pengadilan. Suami menyebut istrinya na hutuhor (yang saya beli) karena perempuan pada Batak Toba dibeli oleh pihak laki-laki. Istrilah yang membina rumah, mempersiapkan makanan untuk tamunya, dia yang pertama memetik hasil panen (Vergowen, 2004).

Etnis Tionghoa sendiri menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan menentukan jalannya rumah tangga. Dalam keluarga Tionghoa, ayah mempunyai peranan dan kekuasaan yang besar. Selain sebagai pemimpin keluarga, ia juga menjadi pemimpin dalam upacara pemujaan pada leluhurnya. Semua anggota keluarga harus menghormatinya.

Markoff (1977) menambahkan bahwa prasangka dan stereotipe juga memainkan peran dalam konflik perkawinan yang menyebabkan penyimpangan terhadap peran dan kepribadian pasangan. Banyak perbedaan yang ditemukan pada etnis Tionghoa baik dari aspek agama, fisik maupun tradisi. EtnisTionghoa relatif memiliki cara hidup yang lebih ―eksklusif‖ dan lebih sering dianggap pelit, egois,

dan galak oleh pribumi (As‘adi, 2011). Prasangka terhadap etnis Tionghoa,

mengakibatkan orang tua etnis Tionghoa melarang anaknya untuk menikah dengan seorang etnis pribumi. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan orang Tionghoa untuk menikah dengan kalangan mereka sendiri, mereka memilih sekolah yang banyak orang-orang sesama keturunan Tionghoa atau memilih rumah makan yang

lebih banyak diramaikan oleh orang Tionghoa dan mereka lebih nyaman berada pada komunitas yang sama.

Di tahun-tahun awal perkawinan banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang yang salah satunya adalah penyesuaian dengan perkawinan. Hurlock (1999), mengemukakan penyesuaian perkawinan adalah sebagai proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri dan dilakukan secara terus menerus. Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan diindikasikan dengan kebahagiaan suami istri, hubungan yang baik antara orang tua dan anak, penyesuaian yang baik dari anak-anak, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan (Hurlock, 1999).

Status perkawinan akan menjadi salah satu masalah yang paling sulit dialami pasangan muda (Hurlock, 1999). Menjadi seorang pasangan merupakan transisi yang kompleks dan sulit dari siklus kehidupan keluarga dimana perbedaan sikap personal, nilai-nilai, dan kepercayaan masing-masing pasangan dapat menyebabkan stress dalam sistem keluarga yang baru (Carter & McGoldrick 1989; Muller, 2004). Masa awal menjadi orang tua juga merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang dialami pasangan melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk, dalam Sigelman & Rider, 2003). Masa-masa merawat anak-anak menjadi sumber stress dan ketegangan yang lebih besar bagi pasangan dan seiring bertambahnya usia anak (Crnic & Booth dalam Sigelman & Rider, 2003).

Berbagai faktor dapat mempengaruhi penyesuaian perkawinan dalam pernikahan antar budaya salah satunya adalah dukungan dari keluarga, teman dan masyarakat (Soncini 1997; Muller, 2004). Cutrona, Reis & Sprecher dalam Goldsmith (2004) menyatakan dukungan sosial adalah harapan dari hubungan personal dan kemampuan interpersonal yang dirasakan serta kepuasan yang diterima dari teman-teman, keluarga, dan pasangan. Keefektifan dukungan sosial ditentukan apakah dukungan sosial sesuai dengan dukungan yang dibutuhkan dan diinginkan melalui kejadian stress dan tekanan yang dialami individu (Taylor, Kim & Sherman., 2008). Dukungan sosial yangditerima dari lingkungan dapat berupa

emotional support (dukungan emosi), network support (dukungan kebersamaan),

esteem support (dukungan penghargaan), tangible support (dukungan berupa bantuan langsung), dan informational support (dukungan informasi) akan membantu pasangan dalam mengurangi stress dan dalam proses penyesuaian perkawinan (Cutrona & Russell, 1990).

Dukungan sosial dalam keluarga dihubungkan dengan peningkatan hubungan anak-anak, kepuasan hidup, pertahanan, kegembiraan, adaptasi dan keberfungsian sosial yang lebih baik dan meningkatkan kepuasan hubungan suami istri (Gardner & Cutrona, 2004). Cutrona (1990) menambahkan bahwa dukungan sosial berkontribusi terhadap kepuasan perkawinan dimana dengan adanya dukungan sosial dapat mencegah emosi atau depresi selama mengalami masa-masa stress dan

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Anggota keluarga, khususnya orang tua dan pasangan adalah sumber utama dari dukungan sosial. Menyediakan sumber-sumber yang lebih signifikan pada area-area seperti masalah keuangan, kesehatan, tugas sehari-hari, diskusi akan masalah-masalah keluarga ketika diperlukan, dan dukungan dalam jangka lama (Weiss 1974; Lerner, Easterbrooks & Mistry., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Toepfer (2010) menunjukkan bahwa ketika dukungan sosial dari keluarga tersedia maka kebutuhan pasangan akan dukungan informasi, feedback

dan dukungan lainnya akan terpenuhi dan dapat mengatur konflik dengan cara yang lebih tepat.

Demikian halnya dalam pernikahan pasangan yang berbeda etnis (Batak Toba-tionghoa) akan mengalami masa krisis dan kesulitan dalam proses penyesuaian perkawinan mereka didukung dengan perbedaan latar belakang budaya masing-masing. Pasangan yang beda etnis ini juga membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitarnya khususnya keluarga mereka dan secara penelitian ini khusus membahas perkawinan beda etnis pada pasangan Batak Toba-Tionghoa.

Dari fenomena diatas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis. Selanjutnya melihat pengaruh masing-masing dimensi dukungan sosial. Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah (H1): ada pengaruh positif antara dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba-Tionghoa).

METODE

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah pasangan Batak Toba-Tionghoa di Medan dengan karakteristik usia pernikahan 20 tahun ke bawah dan memiliki anak. Sampel berjumlah 30 pasangan.

Instrument pengukuran

Dalam penelitian ini, penyesuaian perkawinan diukur menggunakan skala penyesuaian perkawinan berdasarkan kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan oleh Hurlock (1999). Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan diindikasikan dengan kebahagiaan suami istri, hubungan yang baik antara orang tua dan anak, penyesuaian yang baik dari anak-anak, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan (Hurlock, 1999). Skala ini terdiri dari 39 aitem dengan koefisien alpha sebesar 0,922. Selanjutnya, untuk dukungan sosial keluarga disusun berdasarkan bentuk-bentuk dukungan sosial meliputi emotional support, network support, esteem support, tangible support, dan informational support berdasarkan Cutrona & Russell (1990). Skala ini terdiri dari 32 aitem dengan koefisen alpha sebesar 0,928.

HASIL

Analisa data menggunakan uji regresi linear sederhana menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan Batak Toba-Tionghoa (F=30.069, p=0.00).

Nilai R-square (koefisien determinasi) menunjukkan seberapa besar penyesuaian perkawinan dipengaruhi oleh dukungan sosial keluarga. Hasil analisa data diperoleh nilai R-square sebesar 0.518, hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga memberikan sumbangan sebesar 51.8% terhadap penyesuaian pernikahan pada pasangan yang menikah beda etnis.

Tabel 2 Analisis regresi pengaruh bentuk-bentuk dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan

Untuk menentukan pengaruh bentuk-bentuk dukungan sosial digunakanlah metode analisi regresi berganda model stepwise, dan diperoleh bahwa dari lima bentuk dukungan sosial hanya ada satu bentuk yang memberikan kontribusi atau memiliki pengaruh signifikan terhadap penyesuaian perkawinan, yaitu esteem support dimana (R= 0.661, Sig=0.000, F= 21.741). Bentuk dukungan sosial lainnya (Emotional Support, Network Support, Informational Support, Tangible Support) tidak memiliki pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan pengategorian subjek penelitian pada variabel dukungan sosial keluarga yang tergolong ke dalam kategori tinggi sebanyak 25 orang (83.3%), tergolong tidak terkategori sebanyak 5 orang (16.7%), kategori rendah tidak ada (0%). Subjek penelitian pada variabel penyesuaian perkawinan yang tergolong ke dalam kategori tinggi sebanyak 22 orang (73.3%), tergolong tidak terkategori sebanyak 8 orang (26.7%), dan kategori rendah tidak ada (0%).

DISKUSI

Hasil penelitian pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba-Tionghoa) dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana diperoleh nilai R=0.720, p<0.005 (p=0.000) dan F=30.069. Ini menunjukkan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba-Tionghoa). Ada beberapa alasan yang mejelaskan pengaruh antara variabel ini.

Pertama, Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa penyesuaian dalam

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

latar belakang budaya, nilai-nilai sosial, sikap personal, kebiasaan dan adat istiadat yang dibawa oleh masing-masing pasangan, dan menjalani peran sebagai orang tua adalah masa penuh tekanan dan stress seiring bertambah dewasanya anak (Cowan dalam Sigelman & Rider, 2003).

Alasan kedua adalah bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian pada pasangan beda etnis adalah dukungan sosial yang diterima dari lingkungannya (Soncini 1997; Muller, 2004). Penyesuaian akan semakin sulit ketika pasangan tidak mendapatkan dukungan dari orang lain dalam menyelesaikan masalahnya (Jahja, 2011). Dukungan sosial dirasakan mempengaruhi keberhasilan penyesuaian perkawinan pasangan di dalam masa sulit dan stres dimana pasangan dapat merasakan kebahagiaan melalui peran yang dimainkan bersama, memiliki hubungan yang baik dengan anak-anak, menikmati waktu bersama, dapat memecahkan masalah-masalah dalam keluarga dan menghindari konflik, menikmati kepuasan atas usahanya dan pasangan dapat membelanjakan uang dengan tepat, anak-anak dapat menyesuaikan diri dengan teman-temannya dan berprestasi di sekolah, dan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga besar.

Alasan ketiga, dimana Gardner & Cutrona (2004) menyatakan bahwa dalam keluarga, dukungan sosial dapat meningkatkan hubungan dengan anak-anak dan kepuasan hidup, kegembiraan, adaptasi dan keberfungsian sosial yang lebih baik, meningkatkan kepuasan hubungan suami istri dan berkontribusi terhadap peningkatan kepuasan perkawinan melalui pencegahan konflik dan depresi ketika mengalami stress. Dengan demikian, pasangan yang medapatkan dukungan sosial tidak akan rentan mengalami depresi dan stres.

Penelitian ini juga menghasilkan pengaruh antara bentuk-bentuk dukungan sosial, emotional support, network support, esteem support, tangible support dan

informational support. Dalam penelitian ini tampak bahwa tidak semua bentuk dukungan memiliki pengaruh positif yang signifikan dengan penyesuaian perkawinan, ada satu bentuk dukungan yang memberikan kontribusi atau memiliki pengaruh signifikan terhadap penyesuaian perkawinan, yaitu esteem support

dimana (R= 0.661, Sig=0.000, F= 21.741).

Dengan nilai R=0.661 dan R square= 0.437 menunjukkan bahwa esteem support dalam memberikan kontribusi sebesar 43.7%. Dukungan yang dirasakan dari keluarga seperti menghargai keluh kesah mengenai perbedaan-perbedaan yang dihadapi dalam keluarga, menghargai pernikahan beda etnis, dan memberikan pujian atas setiap usaha dan keberhasilan pasangan membuat pasangan merasa lebih berharga. Hal ini seperti yang disampaikan oleh (Cohen & Wills, 1985; Orford, 1992), esteem support dapat berupa pemberian dukungan bahwa seseorang dihargai, diterima sehingga harga diri seseorang ditingkatkan dan merasa mampu untuk menyelesaikan setiap masalahnya.

REFERENSI

Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support and the buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98, 310-357.

Cutrona, C. E., & Russell, D. W. (1990). Type of social support and specific stress: Toward a theory of optimal matching. New York: Wiley.

DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationships, marriages, and families (7. ed.). New York: McGraw-Hill.

Gardner, K. A., & Cutrona, C. E. (2004). Social support communication in families. I A. L. Vangelisti (Red.), Handbook of familiy communication (ss. 495-512). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Goldsmith, D. J. (2004). Communicating social support. New York: Cambridge University Press.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Irmawati. (2002). Motivasi berprestasi dan pola pengasuhan pada suku bangsa Batak Toba di Desa Parparean II dan suku bangsa Melayu di Desa Bogak. Jakarta: Fakultas Psikologi UI.

Jahja, Y. (2011). Psikologi perkembangan. Jakarta: Kencana.

Lubis, S. (1999). Komunikasi antar budaya: Studi kasus etnik Batak Toba dan etnik Cina. Medan: USU Press.

Markoff, R. (1977). Intercultural marriage: Problem areas. Honolulu, HI: The University of Hawaii Press.

Muller, D. (2004). Relationship dynamics in Latino-White intercultural marriages: A three group comparison. USA: Seton Hall University.

Nasution, M. (2012). Hubungan antara virtue dengan kepuasan hidup pada etnis Tionghoa di Kota Medan. Medan: Fakultas Psikologi USU.

Orford, J. (1992). Community psychology: Theory and practice. England: John Wiley & Sons.

Sigelman, K., & Rider, E. (2003). Life span human development (4. ed.). Belmont California: Wadsworth Publishing Company.

Taylor, K., & Sherman. (2008). Culture and social support. American Psychological Association, 63 (6), 518-526.

Toepfer, M. (2010). Family social support and family intrustiveness in young adult women. Family Science Review, 15 (2), 57-65.

Vergouwen, J. C. (2004). Masyarakat dan hukum adat Batak Toba. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

PERANAN SELEKSI KERJA TERHADAP KOMITMEN