• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aries Yulianto dan Imaniar Agustina

Universitas Indonesia aries.yulianto@ui.ac.id

ABSTRAK

Saat ini tindakan bullying masih marak terjadi di sekolah, terutama di SLTA. Menurut Craig dan Pepler (2003), bullying adalah aksi fisik dan verbal negatif yang memiliki niat bermusuhan, menyebabkan distres pada korban, berulang-ulang, dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya. Dalam setiap situasi bullying ada 3 pihak yang terlibat, yaitu pelaku, korban, dan bystander. Bystander merupakan orang yang menyaksikan tindakan bullying yang mungkin melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk menghentikan tindakan bullying tersebut (Sullivan, 2000 dalam Entenman, Murnen, & Hendricks, 2005). Dalam situasi bullying, bystander dapat berespons menjadi defender, outsider, atau follower. Penelitian dari Oh (2007) menemukan bahwa jender merupakan salah satu prediktor kuat pada tingkah laku bystander, dimana bystander

perempuan akan lebih membantu daripada bystander laki-laki. Penelitian eksperimental dengan desain 2x2x2 dilakukan untuk mengetahui pengaruh jender pelaku, jender korban, dan jender

bystander terhadap respons bystander pada situasi bullying. Manipulasi jender pelaku dan jender korban dilakukan dengan menvariasikan cerita bullying dan gambar ilustrasinya ke dalam 4 buklet berbeda. Partisipan diminta untuk membayangkan bahwa mereka menjadi bystander dalam situasi

bullying yang disajikan dalam buklet. Partisipan terdiri dari 160 siswa SMA dan SMK yang dirandomisasi ke dalam 8 kelompok penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jender pelaku, jender korban, dan jender bystander maupun interaksinya terhadap respons

defender. Hasil yang sama juga ditemukan pada respons outsider. Pada respons follower, hanya jender bystander yang memiliki pengaruh.

Kata-kata kunci:Bullying, jender, bystander, eksperimental

Saat ini kasus bullying masih banyak terjadi di sekolah. Salah satu kasus terbaru yang menjadi sorotan media menimpa Alfriand, siswa SMAN 3 Jakarta, yang meninggal karena kekerasan oleh kakak-kakak kelas setelah mengikuti kegiatan pencinta alam di luar sekolah. Bullying sendiri tidak selalu harus ditandai dengan kekerasan fisik pada korbannya. Menurut Craig dan Pepler (2003), bullying adalah aksi fisik dan verbal negatif yang memiliki niat bermusuhan, menyebabkan distres pada korban, berulang-ulang, dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya.

Sullivan, Cleary, dan Sullivan (2004) mengatakan ada tiga bentuk bullying, yaitu bullying fisik (seperti menendang atau memukul), bullying non-fisik (seperti mengejek atau menghasut), dan merusak barang (seperti mengoyak baju atau menyobek buku). Sering kali orang tua maupun guru tidak menganggap serius terhadap tindakan bullying bila belum ada tanda-tanda kekerasan fisik, seperti luka bahkan hingga meninggal. Selain itu, tindakan bullying, seperti tindakan dari siswa senior ke siswa junior ataupun dari guru ke siswa, sering kali dianggap hal yang wajar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Sejiwa, Plan Indonesia, dan

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Surabaya pada 2008 menunjukkan 66,1% siswa SMP dan 67,9% siswa SMA mengatakan bahwa di sekolahnya terjadi bullying (Sejiwa, 2010).

Dalam setiap situasi bullying ada tiga pihak yang terlibat, yaitu pelaku, korban, dan bystander. Bystander merupakan orang yang menyaksikan tindakan bullying

yang mungkin melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk menghentikan tindakan bullying tersebut (Sullivan, 2000 dalam Entenman, Murnen, & Hendricks, 2005). Selain itu, dampak negatif dari bullying tidak hanya dialami oleh korban, tapi juga dialami pelaku dan bystander. Menurut Rivers, Poteat, Noret, dan Ashurst(2009) dampak negatif mungkin dialami oleh pelaku, seperti masalah dalam ujian atau pekerjaan, sekolah, perubahan berat badan dan bentuk tubuh, maupun masalah di rumah dan penggunaan zat-zat berbahaya. Begitu pula pada bystander

atau siswa yang melihat tindakan bullying dapat mengalami peningkatan kecemasan dan muncul pikiran-pikiran paranoid bahwa suatu saat dirinya akan menjadi korban (Rivers dkk, 2009).

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai bullying lebih banyak berfokus pada pelaku ataupun korban. Sementara untuk bystander sendiri tidak banyak diteliti, padahal bukan hanya bystander akan mengalami dampak negatif dari tindakan bullying namun juga tindakan bystander dapat meningkatkan maupun menurunkan tindakan bullying. Dalam suatu situasi bullying, bystander dapat berperan menjadi assistant of the bully, defender, outsider, atau follower

(Salmivalli, 1999).

Sejumlah penelitian menunjukkan respon bystander dalam mencegah bullying. Penelitian dari Trach, Hymel, Waterhouse, dan Neale (2010) yang dilakukan pada siswa SD tingkat 4-12 di Kanada, menemukan bahwa siswa perempuan lebih banyak ikut serta pada respon prososial yang bertujuan untuk mendukung korban atau mengurangi tingkah laku bullying daripada siswa laki-laki. Pada penelitian ini, partisipan laki-laki lebih banyak memilih tidak melakukan apapun (did nothing) daripada partisipan perempuan. Hasil lainnya menunjukkan bystander perempuan secara langsung menghadapi pelaku, membantu korban atau mencari bantuan dari teman mereka. Studi dari Dunham (2012) menunjukkan bahwa bystander laki-laki dan perempuan cenderung untuk melakukan intervensi pada situasi bullying fisik ketika korbannya adalah perempuan.

Penelitian lain dilakukan Camodeca dan Goossens (2005). Penelitian ini dilakukan pada 311 siswa SD di Belanda, dimana mereka diminta untuk membayangkan dirinya menjadi pelaku, korban, dan bystander lalu memilih respon apa yang akan dilakukan untuk menghentikan bullying. Hasilnya ditemukan bahwa partisipan merasa strategi asertif tidak efektif untuk menghentikan pelaku. Hasil lainnya, partisipan yang memiliki pengalaman menjadi defender, outsider, korban, maupun yang tidak melibatkan diri memilih strategi tidak peduli atau asertif, khususnya ketika membayangkan menjadi pelaku. Perempuan lebih memilih strategi asertif daripada laki-laki dan partisipan yang lebih muda memilih strategi tidak peduli, sementara partisipan yang lebih tua cenderung memilih strategi pembalasan.

Gini, Pozzoli, Borghi, dan Franzoni (2008) meneliti pada 217 siswa sekolah di Italia. Partisipan diberikan cerita tentang kejadian bullying yang terjadi di sekolah dengan dua variasi cerita, yaitu cerita dengan korban laki-laki dan perempuan. Salah satu hasil dari penelitian ini, yaitu partisipan akan mendukung perilaku

bystander yang membela korban dan tidak pernah mendukung perilaku yang ikut serta dengan pelaku dan menyaksikan secara pasif.

Studi ini dilakukan untuk melihat apakah jender bystander, jender pelaku, dan jender korban berpengaruh pada respon bystander pada kejadian bullying. Peneliti menduga respons bystander, seperti menolong korban, membantu pelaku, ataupun diam saja, dipengaruhi oleh karakteristik pelaku dan korban, khususnya jender. Hal ini didukung oleh sejumlah penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Hawkins, Pepler, dan Craig (2001) pada 84 siswa kelas 1-6 SD menemukan adanya hubungan jender orang yang mengintervensi kejadian bullying

dengan jender pelaku dan korban.

Menurut Eagly (2009) peran jender menyiratkan perbedaan tingkah laku prososial pada perempuan dan laki-laki. Pada perempuan, perilaku prososial dilakukan jika memiliki penekanan pada hubungan, misalnya dukungan atau perawatan untuk seorang individu. Berbeda dengan perilaku prososial yang dilakukan laki-laki. Laki-laki melakukan perilaku prososial jika memiliki penekanan kebersamaan, memfasilitasi untuk memperoleh status atau menyiratkan status yang lebih tinggi.

Hyde (2007) mengatakan bahwa menolong dalam bentuk tindakan heroik atau kesatria merupakan peran laki-laki, sementara dalam bentuk tindakan pengasuhan atau menjaga merupakan peran perempuan. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan berpotensi untuk membantu korban hanya saja berbeda bentuk tindakannya. Tindakan heroik dan kesatria pada laki-laki ditunjukkan dengan menolong korban secara langsung, misalnya dengan menghadang pelaku yang akan menyiksa korban. Tindakan pengasuhan pada perempuan diwujudkan dengan menolong korban secara tidak langsung, misalnya menghibur korban supaya tidak sedih atau menemani korban melaporkan kejadian yang dialami. Perempuan lebih banyak menerima bantuan dalam bentuk tindakan kesatria daripada laki-laki. Istilah kesatria menetapkan bahwa laki-laki mengarahkan perilaku menolongnya pada perempuan yang dianggap lemah dan tertindas sehingga perlu dibantu (Eagly & Crowley, 1986).

Penelitian yang dilakukan oleh Eagly dan Crowley (1986) tentang perilaku menolong menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menolong daripada perempuan. Namun, penelitian yang dilakukan Oh (2007) tentang bystander pada kejadian bullying menunjukkan bahwa bystander perempuan akan lebih membantu daripada bystander laki-laki. Berdasarkan penelitian tersebut, dalam konteks perilaku menolong secara umum, laki-laki lebih banyak menolong daripada perempuan, sementara pada konteks bullying, perempuan lebih banyak menolong. Padahal, pertolongan yang diberikan saat terjadi bullying juga termasuk dalam perilaku membantu. Selain itu, stereotype yang melekat pada laki-laki seharusnya

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

membuat peneliti ingin melihat bagaimana perilaku membantu khususnya respons yang dilakukan bystander laki-laki dan perempuan pada kejadian bullying.

Oleh karena itu, peneliti ingin melihat apakah faktor jender bystander, jender pelaku, dan jender korban, berpengaruh pada respon yang dilakukan oleh

bystander. Penelitian ini dilakukan dengan studi eksperimental. Pada penelitian ini juga dapat diketahui apakah ada interaksi dari jender bystander, jender pelaku, dan jender korban berpengaruh pula pada respons yang dilakukan. Oleh karena itu,

peneliti mengajukan masalah penelitian yaitu: ―Apakah ada pengaruh dari jender pelaku, jender korban, dan jender bystander terhadap respon bystander pada kejadian bullying?‖

METODE

Partisipan

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode convenience sampling.

Partisipan berasal dari siswa SLTA di Jakarta dan Depok berjumlah 160 orang (80 laki-laki dan 80 perempuan) yang terdiri dari kelas X, XI, dan XII. Pengambilan partisipan dilakukan pada sekolah SMA dan SMK (negeri dan swasta) maupun bimbingan belajar di Jakarta dan Depok yang memberikan ijin kepada peneliti. Partisipan lalu dibagi secara acak ke dalam 8 kelompok penelitian berbeda dengan jumlah yang sama.

Variabel

Independent variable

Ada tiga IV yang terlibat, yaitu: jender pelaku, jender korban, dan jender

bystander. Manipulasi dilakukan pada jender pelaku dan jender korban melalui variasi cerita yang disertai gambar kejadian bullying yang diberikan kepada partisipan. Dengan demikian, ada empat buklet cerita disertai gambar tindakan

bullying yang berbeda. Setiap kelompok akan mendapat satu buklet cerita yang berbeda dari kelompok lain. Untuk jender bystander berasal dari jender partisipan. Untuk itu, setiap partisipan diminta untuk membayangkan ia menjadi bystander

dalam cerita dan gambar mengenai tindakan bullying.

Dependent variable

Respons partisipan sebagai bystander menjadi DV. Pengukuran respons

bystander dilakukan dengan meminta partisipan untuk menentukan kesetujuan dengan setiap pernyataan mengenai perilaku berkaitan dengan tindakan bullying

yang disajikan dalam cerita disertai gambar. Tindakan bullying yang ditanyakan berupa membela korban (defender), mengabaikan (outsider), dan mengikuti pelaku (follower).

Instrumen

Alat manipulasi

Manipulasi jender korban dan jender pelaku dilakukan menggunakan cerita disertai gambar. Peneliti menggunakan stimulus berupa gambar dan cerita untuk mengontrol supaya partisipan memiliki persepsi yang sama tentang kejadian

bullying. Dalam setiap cerita ditampilkan sebuah situasi dimana partisipan melihat suatu tindakan bullying yang melibatkan pelaku, korban, dan juga bystander yang lain. Situasi bullying tersebut divisualisasikan dalam gambar tidak berwarna. Ada empat cerita disertai gambar mengenai situasi bullying yang digunakan sebagai alat manipulasi, yaitu: (1) cerita disertai gambar dengan korban laki-laki dan pelaku laki-laki, (2) cerita disertai gambar dengan korban perempuan dan pelaku laki-laki, (3) cerita disertai gambar dengan korban laki-laki dan pelaku perempuan, dan (4) cerita disertai gambar dengan korban perempuan dan pelaku perempuan. Cerita dan gambar untuk ke-empat versi sama dan hanya berbeda pada jenis kelamin korban dan/atau pelaku. Pada gambar, korban maupun pelaku perempuan ditampilkan dengan memberikan karakteristik perempuan pada umumnya, yaitu berambut panjang dan menggunakan rok. Begitu juga untuk korban maupun pelaku laki-laki dengan menampilkan sosok berambut pendek dan menggunakan celana panjang.

Pengukuran

Pengukuran respons bystander menggunakan kuesioner yang terdiri dari delapan pernyataan. Pernyataan pada kuesioner dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gini, dkk. (2008). Peneliti tidak menggunakan seluruh bagian kuesioner, tetapi hanya menggunakan bagian respon bystander. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner mengukur salah satu kategori respons bystander, yaitu

outsider, follower, dan defender. Ada empat pernyataan mengenai respons outsider,

yaitu ―akan menonton sebentar lalu pergi seperti teman yang lain‖, ―akan diam saja karena korban memiliki kesalahan‖, ―akan diam saja karena korban sedang sial‖, dan ―diam saja daripada menjadi korban‖. Hanya satu pernyataan untuk mengukur respons follower, yaitu ―akan bergabung dengan pelaku‖. Tiga pernyataan untuk

mengukur respons defender, yaitu ―akan membantu korban seperti teman yang lain‖, ―setelah kejadian itu akan membujuk korban agar tidak sedih‖, dan ―akan

menemani korban melapor pada guru‖. Cerita disertai gambar dan kuesioner

digabung menjadi satu buklet. Setiap halaman buklet berukuran setengah folio dan setiap gambar ditampilkan dalam satu halaman penuh.

Partisipan diminta untuk menyatakan tingkat kesetujuannya terhadap setiap

pernyataan dari ―Sangat Tidak Setuju‖ (diskor 1) hingga ―Sangat Setuju‖ (diskor 6).

Untuk mengetahui respons bystander setiap kategori dilakukan dengan menjumlahkan skor dari setiap pernyataan untuk masing-masing kategori. Dengan demikian, setiap partisipan akan memiliki tiga skor, yaitu skor respons outsider, skor respons follower, dan skor defender.

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

Desain

Desain penelitian eksperimental ini adalah 2 (jender bystander/partisipan) x2 (jender pelaku) x2 (jender korban) randomized factorial design. Pada penelitian ini partisipan terbagi ke dalam delapan kelompok berbeda, yang dibedakan berdasarkan jender. Gambar 3.1. menunjukkan pembagian kelompok penelitian.

Prosedur

Pengambilan data dilakukan selama enam hari sejak tanggal 9-16 Mei 2014 pada dua tempat bimbingan belajar di Depok serta tiga SMK dan satu SMA di Jakarta dan Depok. Peneliti membagikan buklet instrumen partisipan perempuan kepada siswa perempuan dan buklet instrumen partisipan laki-laki kepada siswa laki-laki. Pembagian buklet dilakukan secara acak. Partisipan diminta untuk membaca sendiri ilustrasi cerita dan gambar yang diberikan, lalu menjawab setiap pernyataan yang diberikan untuk masing-masing cerita.

Teknik Analisis

Untuk menganalisis data yang diperoleh, peneliti menggunakan ANOVA faktorial dikarenakan ada tiga IV yang diteliti. Oleh karena itu, selain pengaruh dari masing-masing IV, akan juga diketahui pengaruh interaksi antar IV terhadap respons bystander pada situasi bullying. Pengolahan data akan menggunakan SPSS versi 16.00.

Gambar 3.1. Pembagian Kelompok Partisipan

Jender Bystander (Partisipan)

Jender Pelaku Jender Korban Kelompok

1 2 3 4 5 6 7 8 Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

HASIL

Deskripsi partisipan

Total 160 siswa dibagi ke dalam delapan kelompok, sehingga setiap kelompok terdiri dari 20 orang siswa. Usia partisipan berkisar antara 14-19 tahun (M = 16,21,

SD = 1,048). Tabel 1 menampilkan statistik deskriptif untuk usia, jenis sekolah, dan tingkatan kelas dari partisipan penelitian untuk setiap kelompok.

Tabel 1 Statistik Deskriptif Usia, Jenis Sekolah, dan Tingkatan Kelas Partisipan Penelitian (N=160)

Keterangan: aAngka dicetak biasa menunjukkan rata-rata dan angka dicetak miring menunjukkan simpang baku.

Pada pembahasan hasil akan dibedakan berdasarkan setiap respons dari

bystander, yaitu defender, outsider, dan follower; untuk masing-masing jender

bystander, jender pelaku, dan jender korban. Tabel 2 menampilkan statistik deskriptif untuk setiap respons pada masing-masing kelompok. Tabel 3 menampilkan hasil pengujian ANOVA faktorial untuk masing-masing respons.

Tabel 2 Rata-rata dan Simpang Baku untuk Respons Bystander (N=160)

Keterangan: Angka dicetak biasa menunjukkan rata-rata dan angka dicetak miring menunjukkan simpang baku.

Tabel 3 ANOVA Faktorial untuk Pengaruh Jender Bystander,Jender Pelaku, dan Jender Korban terhadap masing-masing Respons (N = 160)

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan Respons defender

Respons defender merupakan reaksi bystander yang dilakukan untuk membela korban. Skor respons defender merupakan gabungan dari skor tiga item. Dari tabel 3 diketahui tidak terdapat perbedaan respons defender antara siswa laki-laki (M = 15,15, SD = 2,15) dan siswi perempuan (M = 14,56; SD = 2,47), F(1, 152) = 2,56, p

> 0,05. Artinya, tidak ada pengaruh jender bystander terhadap respons bystander

sebagai defender. Hasil yang sama juga terjadi pada pengaruh jender pelaku. Tidak terdapat perbedaan respons defender pada bystander terhadap pelaku laki-laki (M = 14,70; SD = 2,37) dan pelaku perempuan (M = 15,01; SD = 2,28), F(1, 152) = 0,72,

p > 0,05. Artinya, tidak ada pengaruh jender pelaku terhadap respons bystander

sebagai defender. Jender korban juga tidak mempengaruhi respons defender dari

bystander. Tidak terdapat perbedaan respons defender pada bystander terhadap korban laki-laki (M = 14,93, SD = 1,91) dan pelaku perempuan (M = 14,72; SD = 2,58); F(1, 152) = 0,51, p > 0,05. Artinya, jender korban tidak berpengaruh terhadap respons bystander sebagai defender.

Hasil yang sama juga diperoleh untuk interaksi antar IV. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender bystander dan jender pelaku terhadap respons sebagai

defender, F(1, 152) = 0,51; p > 0,05. Artinya, respons sebagai defender pada

bystander laki-laki atau perempuan tidak tergantung pada jender pelaku. Begitu juga untuk pengaruh interaksi antara jender bystander dan jender korban terhadap respons bystander sebagai defender, F(1, 152) = 0,26, p> 0,05. Artinya, respons sebagai defender pada bystander laki-laki ataupun perempuan tidak tergantung pada

gender korban. Bystander laki-laki dan perempuan akan memiliki kecenderungan sama untuk membela korban laki-laki atau perempuan yang mengalami kejadian

bullying.

Tidak ada pengaruh interaksi antara gender pelaku dan gender korban terhadap respon defender, F(1, 152) = 0,19; p > 0,05. Artinya, bystander akan memiliki kecenderungan sama untuk membela korban pada kejadian bullying tidak terpengaruh oleh gender pelaku dan gender korban. Tidak ada pengaruh interaksi antara gender pelaku, gender korban, dan gender bystander terhadap respons bystander terhadap respon defender, F(1, 159) = 3,26; p > 0,05. Artinya, bystander

laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan sama untuk membela korban, tidak terpengaruh oleh gender pelaku dan gender korban.

Respons outsider

Respons outsider merupakan reaksi bystander yang dilakukan dengan cara mengabaikan apa yang terjadi. Skor respons outsider merupakan gabungan dari skor empat item.Dari tabel 3 diketahui tidak terdapat perbedaan respons outsider

antara siswa laki-laki (M = 19,47; SD = 3,25) dan siswi perempuan (M = 18,82; SD

= 3,56), F(1, 152) = 1,46; p > 0,05. Artinya, tidak ada pengaruh jender bystander

terhadap respons bystander sebagai outsider. Tidak terdapat perbedaan respons outsider pada bystander dengan pelaku laki-laki (M = 18,69; SD = 3,53) dan pelaku perempuan (M = 19,61; SD = 3,25), F(1, 152) = 2,95, p > 0,05. Artinya, tidak ada pengaruh jender pelaku terhadap respons bystander sebagai outsider. Jender korban

juga tidak berpengaruh terhadap respons bystander sebagai outsider.Tidak terdapat perbedaan respon outsider pada bystander dengan korban laki-laki (M = 19,57; SD

= 3,33) dan pelaku perempuan (M = 18,72; SD = 3,36), F(1, 152) = 2,49, p > 0,05. Begitu juga untuk pengaruh dari interaksi antar IV terhadap respons bystander

sebagai outsider. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender bystander dan jender pelaku terhadap respons sebagai outsider, F(1, 152) = 1,14; p > 0,05. Artinya,

respons bystander laki-laki atau perempuan tidak tergantung pada jender pelaku. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender bystander dan jender korban terhadap respons sebagai outsider, F(1, 152) = 0,07; p > 0,05. Artinya, respons bystander

laki-laki atau perempuan tidak tergantung pada jender korban. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender pelaku dan gender korban terhadap respons bystander

sebagai outsider, F(1, 152) = 0,10; p > 0,05. Artinya, bystander akan memiliki kecenderungan sama untuk mengabaikan kejadian bullying, tidak terpengaruh oleh jender pelaku dan jender korban. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender pelaku, jender korban, dan jender bystander terhadap respons bystander sebagai outsider,

F(1, 159) = 0,10; p > 0,05. Artinya, bystander laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan sama untuk mengabaikan kejadian bullying, tidak terpengaruh oleh jender pelaku dan jender korban.

Respons follower

Respons follower merupakan reaksi bystander berupa ikut serta dengan pelaku. Skor kategori respons follower merupakan skor dari item nomor 2. Dari tabel 3 diketahui ada perbedaan respons follower antara siswa laki-laki (M = 5,51; SD = 0,82) dan siswi perempuan (M = 5,12; SD = 1,19), F(1, 152) = 5,61; p< 0,05. Artinya, ada pengaruh gender bystander terhadap respon bystander sebagai

follower, dimana siswa laki-laki lebih memiliki kecenderungan untuk ikut serta dengan pelaku daripada siswi perempuan. Tidak terdapat perbedaan respons follower pada bystander dengan pelaku laki-laki (M = 5,29, SD = 1,05) dan pelaku perempuan (M = 5,35; SD = 1,03), F(1, 152) = 0,14; p > 0,05. Bystander akan memiliki kecenderungan sama untuk ikut serta dengan pelaku laki-laki atau perempuan pada kejadian bullying. Tidak terdapat perbedaan respon follower pada

bystander dengan korban laki-laki (M = 5,43; SD = 0,81) dan korban perempuan (M

= 5,2; SD = 1,12), F(1, 152) = 2,10; p> 0,05. Bystander akan memiliki kecenderungan sama untuk ikut serta bersama pelaku pada kejadian bullying

dengan korban laki-laki atau perempuan.

Interaksi antar IV juga tidak menunjukkan pengaruh ada respons sebagai

follower. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender bystander dan jender pelaku terhadap respon sebagai follower, F(1, 152) = 0,70; p > 0,05. Begitu juga untuk interaksi jender bystander dan jender korban; tidak ada pengaruh interaksi antara jender bystander dan jender korban terhadap respons bystander sebagai follower,

F(1, 152) = 0,14; p > 0,05. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender pelaku dan jender korban terhadap respon bystander sebagai follower, F(1, 152) = 0,47; p> 0,05. Artinya, bystander akan memiliki kecenderungan sama untuk ikut serta dengan pelaku pada kejadian bullying, tidak terpengaruh oleh jender pelaku dan

Prosiding Seminar Nasional: Hidup Harmoni dalam Kebhinnekaan

jender korban. Tidak ada pengaruh interaksi antara jender pelaku, jender korban, dan jender bystander terhadap respons bystander sebagai follower, F(1, 152) = 0,14; p > 0,05. Artinya, bystander laki-laki atau perempuan memiliki kecenderungan sama untuk ikut serta dengan pelaku, tidak terpengaruh oleh jender pelaku dan jender korban.

DISKUSI

Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh dari jender bystander, jender pelaku, dan jender korban terhadap respons bystander