• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit Pasca Pemberian Suspensi Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Secara Intragastrik Selama 14 Hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit Pasca Pemberian Suspensi Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Secara Intragastrik Selama 14 Hari"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL MENCIT PADA

PEMBERIAN SUSPENSI BUAH KEPEL (Stelechocarpus

burahol) SECARA INTRAGASTRIK SELAMA 14 HARI

ARIE MARDJAN TAMPUBOL

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL MENCIT PASCA

PEMBERIAN SUSPENSI BUAH KEPEL (Stelechocarpus

burahol) SECARA INTRAGASTRIK SELAMA 14 HARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(3)

YATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit Pasca Pemberian Suspensi Buah Kepel (Stelechocarpus burahol) Secara Intragastrik Selama 14 Hari adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 23 Juli 2014

Arie Mardjan Tampubolon

(4)

ARIE TAMPUBOLON. Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit Pasca Pemberian Suspensi Buah Kepel (Stelechocarpus burahol)Secara Intragastrik Selama 14 Hari.Dibimbing oleh EVA HARLINA dan SITI SA DIAH

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kepel (Stelechocarpus burahol) pada ginjal mencit. Sembilan mencit jantan berumur 4 minggu dibagi menjadi tiga kelompok; kelompok kontrol diperlakukan dengan pemberian akuades, kelompok Dosis 1 diperlakukan dengan pemberian serbuk kepel pada dosis 2,6 mg/gBB/hari (0,5 ml suspensi kepel/ hari), kelompok Dosis 5 diperlakukan dengan pemberian serbuk kepel pada dosis 13 mg /gBB/hari (1,0 ml suspensi kepel/ hari). Perlakuan dilakukan dengan cara pencekokan secara intragastrik selama 14 hari. Mencit-mencit tersebut di-eutanasia dengan metode dekapitasi kemudian dilanjutkan dengan pengambilan ginjal untuk pembuatan preparat histopatologi. Evaluasi histopatologi ginjal menunjukkan ada degenerasi hidropis dan apotosis pada beberapa tubulus. Analisis Anova menunjukkan bahwa kepel menyebabkan penurunan apoptosis secara signifikan (p <0,05) tapi pengaruh kepel terhadap degenerasi hidropis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Kata Kunci: Kepel, degenerasi hidropis, apotosis, tubulus.

ARIE TAMPUBOLON. The Histopathology Of Mice Kidney After Treated By Kepel (Stelechocarpus burahol) Suspension Intragastrically For 14 Days. Supervised by EVA HARLINA and SITI SA DIAH.

he aim of this study was to examine the effect of kepel (Stelechocarpus burahol) to the mice renal. Nine male mice of 4 weeks aged were divided into three groups; control group was treated by aquadest, Dose 1 group was treated by 2.6 mg/g BW/day kepel powder (0.5 ml kepel suspension/day), Dose 5 group was treated by 13 mg/g BW/day kepel powder (1.0 ml kepel suspension/day. The treatment was intragastrically for 14 days. The mice were euthanized by decapitation method and then followed by kidney collection for histologic processing. The histopathological evaluation on mice kidney showed hydropic degeneration and apotosis in some tubules. The ANOVA analysis showed that kepel caused decrease apoptosis significantly(p<0.05) but it was not significant for hydropic degeneration.

(5)

!" # $#$" " " %&' "" (( )*+ *,- .,/01234 20 /- .+) "# 5 " 6 7

8 9"! : 85! %; 7; <;6 = >

?" "&

?@? &@A B , !., 9$C" D &E.,9 ,!. $" 5 $" 5 5

? " & "&

?&9 " F E! , $&?, 9$C" G ?"

(6)

M NO P QRS TUN VNW XYSNZ P T XRSO R[ VRS VYXRQ R \N]RS URS^ [ YZR] _ Y_` YW VR[ P XYSNZPT TY]PS ^^RQ RXR[_YS UYZYT RP VRSTVWP XTP URS ^ ` YWON QNZ aR_` RWRS bPT [ cXR[cZ c ^P aPSO RZ dYS eP[ MRTeR MY_` YW PRS fNTXYSTP g R ^PS^ hNR] i YX YZ (f[ YZ Ye]ce RW XNT `NWR]cZ) f Ye RW R jS[W R ^RT [ W PV f YZR_R kl b RWP. f VW P XTP PS P QPT NT NS TY` R^RP TRZ R] T R[N TURW R[ NS[N V _ Y_ XYWcZ Y ] ^YZ RW T RWO RS R XRQR mR VNZ[ RT i YQc V[ YW RS b YnRSo jST [ P[N[ MYW[RS P RShc^c W.

MYSNZPT_YS ^N eRXV RS[ YWP_RVRTP]VYXRQRgW. QW]. pq Rb RWZPS R, d.f P, rMs Y[. QRS f P[P f RtQPR]o f.f P, r X[, d.f P TYZRVN X Y_` P_` PS ^ TVW PXTP URS^ ` Y ^P[N T R`RW _Y_` YW PVRS X YS^RWR]RSQRS ` P_` PS^RS`R ^P XYS NZPT. \ YW P_ RVRTP] ON ^R V YXRQR QW ]u bN QR gRWNT_RSo d.f P R[ RT TRWRS Q RS _RTN V RS S UR TYZ R_R XYSYZP[ P RSo gW QW ] fNTP fcq PRS R df P TYZ RVN QcTYS XY_` P _` PS ^ RV RQY_PVo T YZNWN ] T [ R v QRS XY ^Rn RP h R ^P RS \c VT P VcZc ^P QRS mRW _RVcZc ^P (MRV p QP QRS d` R V rS[P), QRS TYZNWN] T [Rv XYS^RORW QRSXY ^RnRPh R ^PRSMR[ c Zc ^P (MRVi RTS RQP, MRVp S QRS^, MRVf ]cZY], d `R Vi PVPQRS MRVh RS^VP[). w e RXRS[ YW P_RVRT P ]QRSX YS^]RW^R RSTY[ PS ^^P-[PS ^^PSURV YX RQRVYQNR cWRS^ [N R (iRT_ RS \R _XN`cZcS () QRS fNWUR xNWZ YZ R bN[R ^RcZ) Q RS TY ^YSRX VYZ N RW^R URS^ [YZR] _ YSQN VNS ^TYe RWR _cW RZ Q RS _ R[YW PZ. we RXRS [YW P_ R VRTP ] Q RS XYS ^] RW^R RS URS^ T RS^R[ QRZ R_ XYSNZ PT [NO N VRSVYXRQR aP[ RrZq YWS P[R, rQPZZR r Q]R QRS r S QW PS P r QP[ UR y RWQ]RS P R[RT VY` YWTR_R RS QRS VYTR` RW RSSUR QRZR_ ` YWO NRS^ TY` R ^RPWYVRSX YS YZP[PRSu MYSNZ PTO N ^R_ YS^NeRXV RS[YW P _RVRTP]V YXRQRgcW R, p ZTUY, f ]YPZ R, zPQUR, rUNo { NZPXYWQRST YZ NWN ]aPRSN||PURS^_YSORQP[ Y_RSQRZ R _TN VRQRS QN VRT YZR_ RT [N QPQPmibu w eRXRS[ YWP _RVRTP] ON ^RMYSNZ PTN eRXV RSVY XRQR{c ]RSo iNWS PR, \UT cS QRS T YZNWN ] RS ^^c[ R ad i j URS^ _YS QN VNS^ MYSNZPT QRZ R_ XYS UYZ YTRP RSfY_ PS RWQRSf PQRS ^f VWP XT P.

MYSNZPT _ YS URQRW P RQR V YVNW RS^RS Q RZ R_ VRWUR PZ _ PR] PS P. i W P[ P V QRS TRWRS NS[N V XYW` RPVRS T RS^R[ QP]RW RXV RSu f Y_c^R VRWUR PS P `YW _RSvRR[ ` R^P URS^ _Y_YWZN VRSu

(7)

€‚ƒ „ … †…

‡ˆ‰Š ˆ‹Š ˆ Œ Ž ii

‡ˆ‰Š ˆ‹ˆŒˆ ‹ ii

‡ˆ‰Š ˆ‹Žˆ‘’‹ ˆ“ ii

‘“‡ˆ”• Ž•ˆ“

Ža–a—Œelakang ˜

Š ™š ™›n œ

›nfaa– œ

Š’“ ˆ•ˆ“‘ • žŠ ˆŸ ˆ

 ¡¢£ ¢¤¥¦¤ §¨©ª«¬ª ¨ §¥¦£(Ÿepel) œ

injal ­

Š ®‡ ‘“Ž ’Š’ˆ“

¯ak– ™°an Š ±mpa– ²

Œahan dan ˆla– ²

”e³an Coba 5

Pembuatan Sediaan Kepel 5

Rancangan Penelitian 5

Pembuatan Sediaan Histopatologi dan Pewarnaan HE 6

Evaluasi Histopatologi 6

Analisis Statistik 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

SIMPULAN DAN SARAN 11

DAFTAR PUSTAKA 11

LAMPIRAN 14

(8)

´µ¶· µ¸ · µ¹º »

1. Kandungan Fitokimia Tanaman Kepel 3

2. Persentase perubahan tubulus ginjal mencit pada pemberian suspensi kepel (¼½¾¿¾ ÀÁÂÀÃÄ ÅÆÇÈÆÄ ÃÁ ¿)selama 14 hari

9

´µ¶ ·µ¸

ɵʹµ ¸

1. Bentuk buah kepel 3

2. Degenerasi hidropis epitel tubulus ginjal mencit kelompok Dosis 5x (panah). Pewarnaan HE, perbesaran 20X

8

3. Apoptosis epitel tubulus ginjal mencit pada kelompok Dosis 5x. Pewarnaan HE, perbesaran 20X

9

´µ¶ ·µ¸ » µÊË̸µÍ

1. Penghitungan Dosis Pemberian Kepel 14

2. Penghitungan Volume Pemberian Kepel 14

3. Analisis Perubahan Degenerasi Hidropis Pada Tubulus Ginjal 15

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan obat herbal secara global meningkat di masa sekarang, tidak hanya untuk penyembuhan kasus kesehatan yang bersifat ringan, namun juga untuk menyembuhkan penyakit kronik yang parah seperti asma, diabetes dan kanker. Hasil survey pada 2675 dokter hewan di Austria, Jerman dan Swiss menyimpulkan 75% dokter hewan di negara-negara tersebut telah menggunakan obat herbal, khususnya untuk penyakit kronis dan terapi tambahan (Hahn 2005).

Indonesia adalah salah satu negara yang sangat potensial dalam hal biodiversitas hayati, khususnya tanaman obat yang berkhasiat. Dari 30.000 jenis spesies tumbuhan, 960 spesies diantaranya telah tercatat sebagai tumbuhan berkhasiat, dan 283 jenis diantaranya merupakan tumbuhan yang penting bagi industri obat tradisional (Kusuma dan Zaky 2005). Namun demikian, potensi tanaman herbal tersebut belum mendapat kajian yang mendalam.

Stelechocarpus burahol (kepel) adalah tanaman yang sangat terkenal di Yogyakarta, yang telah lama dikonsumsi oleh kalangan keraton (Heyne 1987). Buah kepel secara empiris mengharumkan keringat, nafas, bahkan air seni. Buah ini biasanya dikonsumsi sebanyak 2 buah per hari untuk mendapatkan efek sebagai pengharum. Kajian terhadap efektifitas buah kepel dalam mengharumkan feses telah dilakukan pada tahun 2010. Buah kepel mengurangi bau melalui mekanisme penurunan kadar amonia dan fenol. Pemberian serbuk buah kepel dengan dosis 2,6 mg/gram BB mencit selama 7 hari secara signifikan dapat menurunkan kadar amonia dan fenol masing-masing sebesar 75,5% dan 42,4% (Purba, 2011). Amonia dan fenol adalah senyawa yang menimbulkan bau pada feses. Penurunan kadar bau ini berkorelasi dengan aktivitas farmakologis. Berdasarkan Darusman(2010), kepel memiliki aktivitas farmakologis sebagai deodoran melalui mekanisme kerja sebagai antibakteri Staphylococcus epidermidis, adsorben odoran feses dan prebiotik bakteri Bifidobakter. Aktivitas farmakologis yang terbaik sebagai deodoran oral yang terbaik diketahui melalui mekanisme adsorben odoran feses.

(10)

2

2005), (Sukandar EY 2006)). Namun, penggunaan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yaitu peningkatan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y et al. 2003). Asaron dringo merupakan senyawa alami yang potensial sebagai pemicu timbulnya kanker, jika tanaman ini digunakan dalam waktu lama (Abel G 1987). Selain itu, dringo bisa menyebabkan penumpukan cairan di perut yang mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan hati, serta dapat menimbulkan efek berbahaya pada usus ((Chamorro G et al. 1999),(Garduno Let al.1997),(Lopez MLet al.1993)).

Kepel adalah salah satu tanaman yang telah diketahui manfaatnya di masyarakat. Namun, kepel belum banyak mendapat kajian secara praklinis berupa uji toksisitas. Oleh karena itu, kepel perlu dikaji untuk mengetahui pengaruhnya terhadap jaringan ginjal. Ginjal menjadi fokus kajian histopatologi karena peran ginjal dalam eliminasi dan eksresi zat beracun bagi tubuh. Kebanyakan senyawa aktif mengalami perubahan menjadi senyawa tidak aktif agar lebih mudah diekskresi sehingga efek obat tersebut hilang. Ekskresi ginjal memegang tanggung jawab utama untuk eliminasi sebagian besar obat (Wulandari 2009). Hasil metabolisme beberapa substansi kimia eksogen dan/metabolit yang bersifat reaktif dan berpotensi beracun akan dibawa masuk ke ginjal. Hal ini merupakan salah satu faktor kunci terjadinya toksisitas pada ginjal (Hodgson 2004).

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran histopatologi ginjal akibat pemberian kepel.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian kepel terhadap gambaran histopatologi ginjal.

TINJAUAN PUSTAKA

Stelechocarpus burahol(Kepel)

Stelechocarpus burahol adalah tanaman yang termasuk ke dalam

Kingdom: Plantae, Subkingdom: Tracheobinta, Divisio: Magnoliophyta, Klas: Magnoliopsida, Ordo: Magnoliales, Famili: Annonaceae, Genus: Stelechocarpus, Spesies: Stelechocarpus burahol (Blume) (Hook & Thompson ). Di Indonesia terdapat tiga spesies tanaman ini yaitu Stelechocarpus burahol, Stelechocarpus cauliformis dan Stelechocarpus schefferii. Ketiga jenis tanaman ini dapat ditemukan di Taman Nasional untuk dikembangkan karena termasuk tanaman langka (Sunarto 1992).

(11)

3

ini biasa ditanam sebagai tanaman hias dan kayunya digunakan untuk perkakas rumah tangga atau bahan bangunan.

Kepel merupakan tanaman berkayu dengan batang berbentuk silinder. Daunnya tipis, berwarna hijau kehitaman, mengkilat dan berbentuk lonjong. Buahnya berbentuk bulat, berwarna kecokelatan dengan diameter 5-6.3 cm (Umiyah 2005). Daging buahnya memiliki kandungan air yang tinggi sebesar 87-90% sehingga kadar rendemen atau bahan kering yang dimiliki hanya sekitar 10-13% (Darusman 2010). Kepel memiliki biji yang cukup besar dibandingkan ukuran buah keseluruhannya yaitu 27%, sehingga daging buah yang dapat dikonsumsi sangat sedikit, hanya 49% (Verhejj dan Coronell 1997).

Gambar 1 Buah kepel dan daun. Sumber: tanamanobat.org

Pemanfaatan tanaman kepel dalam aspek medis belum banyak dilakukan. Ekstrak daun kepel memiliki sifat sitotoksik yang tinggi terhadap kanker kolorektal (Shiddiqi et al 2008), dapat menurunkan asam urat (Purwatiningsih et al2009) dan daging buah kepel memiliki antioksidan yang tinggi (Tisnadjajaet al 2006). Wiart (2007) menyimpulkan senyawa acetogennindan stiryllactone yang terkandung dalam tanaman ini bersifat sitotoksik terhadap sel kanker. Hasil analisis fitokimia burahol disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Fitokimia Tanaman Kepel (Darusman 2010)

Bagian tanaman

Flavonoid Tanin Steroid Triterpenoid Saponin

Daun + + + -

-Daging buah + + - -

-Kulit buah + - - - +

(12)

-4

Ginjal

Ginjal adalah organ tubuh yang sangat penting, yang memiliki tugas dan tanggung jawab berat dalam menjaga homeostasis tubuh (Cunningham 2002). Ginjal mempunyai beberapa fungsi, diantaranya ekskresi sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam dan basa, serta sekresi berbagai hormon (Cotran et al. 2007). Walaupun mempunyai banyak fungsi, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstraseluler (Wilson 2005). Selain itu ginjal juga berfungsi mengambil kembali material yang masih dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, air dan berbagai elektrolit. Untuk menjalankan tugas-tugasnya, ginjal memiliki unit fungsional yang disebut nefron. Nefron disusun oleh glomerulus yang berperan dalam filtrasi darah, dan berbagai segmen tubulus ginjal yang berperan dalam menyerap substansi yang telah difiltrasi dan mensekresikan substansi yang tidak diperlukan (Cunningham, 2002).

Ginjal memiliki sisi medial cekung dan permukaan lateral yang cembung. Sisi medial yang cekung disebut hilus, merupakan tempat masuknya saraf, keluar dan masuknya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter (Junqueira et al. 2005). Setiap ginjal dikelilingi oleh kapsul jaringan ikat dan lapisan otot polos pada bagian terdalam jaringan ikat tersebut (Bacha dan Bacha 2000). Korteks dan medulla ginjal dibentuk oleh banyak tubulus uriniferus dan terbungkus secara erat dengan kapsul jaringan ikat. Ruang antar tubulus diisi oleh jaringan kapiler. Korteks dan medulla disusun menjadi bentuk piramida yang dikenal dengan piramida ginjal, dan apeks piramida disebut renal papilla.

Unit fungsional ginjal adalah nefron yang terdiri dari enam segmen yaitu, glomerulus, tubulus kontortus proksimalis, tubulus rekti proksimalis, lengkung henle tebal, lengkung henle tipis dan tubulus kontortus distalis (Dellman dan Brown 1992, Ganong 2003). Pada bagian korteks, kelompok tubulus tersusun secara radial membentuk pars radiata terdiri dari tubulus colligentes, segmen lurus tubulus proksimal dan segmen lurus tubulus distal. Tubulus kontortus proksimal lebih panjang daripada tubulus kontortus distal dan tubulus kontortus proksimal mengisi sebagian besar korteks. Tubulus kontortus proksimal dapat dibedakan dari yang distal karena kehadiran brush border pada epitelnya dan bentuk seperti kerang pada permukaan apikal sel. Tubulus kontortus distal mempunyai permukaan dalam yang halus dan sel yang memiliki brush border hanya sedikit.

(13)

5

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 hingga Juli 2011 di Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, Bagian Farmakologi dan Toksikologi, Departemen AFF, FKH IPB dan Bagian Patologi, Departemen KRP, FKH IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging buah kepel (Stelechocarpus burahol), pakan mencit, air minum, dan bahan-bahan pembuatan sediaan histopatologi yaitu larutan Buffer Netral Formalin 10%, alkohol 70% dalam beberapa konsentrasi (alkohol 70%, 80%, 90%, dan absolut), xylol, parafin cair, larutan pewarna HE (Hematoksilin-Eosin) dan aquades.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, oven, grinder, ayakan 100 mesh, gelas ukur, sonde lambung, siring, peralatan nekropsi, tissue cassette, tissue processor, rotary microtome, gelas objek, gelas penutup, inkubator, mikroskop cahaya Olympus CH-1®dan digital eye piece camera microscopeMD 130®.

Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit jantan berumur 4 minggu dengan berat 20 g. Mencit tersebut dipelihara dalam kotak plastik yang dimodifikasi menjadi kandang. Pakan yang diberikan sebanyak 0,6 g/ekor/hari dan air minum disediakan ad libitum. Alas kandang menggunakan sekam yang diganti setiap dua hari sekali.

Sebelum perlakuan dimulai, dilakukan pretreatment pada mencit berupa pemberian antibiotik Clavamox® dengan dosis 0.001 mg/g BB selama 3 hari dan anthelmintik dosis tunggal Pyrantel Pamoat dengan dosis 0.015 mg/g BB. Perlakuan mulai dilaksanakan pada hari keenam selama 14 hari.

Pembuatan Sediaan Kepel

Buah kepel dicuci terlebih dahulu kemudian daging buah dipotong-potong dalam ukuran kecil dan dikeringkan dalam oven selama 3-4 hari dengan suhu 40 C. Setelah daging buah benar-benar kering, dilanjutkan proses grinding dan mengayak hingga diperoleh serbuk buah yang halus dengan ukuran 100 mesh. Serbuk buah kemudian dilarutkan dalam aquades dan siap digunakan untuk perlakuan pada mencit.

Rancangan Penelitian

(14)

6

dicekok hanya pada siang hari selama 14 hari. Pada akhir perlakuan, mencit dieuthanasi dan diambil organ ginjalnya untuk dibuat sediaan histologi.

Pembuatan Sediaan Histopatologi dan Pewarnaan HE

Proses pembuatan histopatologi diawali dengan fiksasi organ ginjal dalam larutan Buffer Neutral Formalin 10% selama 3 hari. Ginjal yang sudah difiksasi dilanjutkan ke tahap trimming, yaitu pemotongan jaringan setebal 3 mm dan dimasukkan ke dalam tissue cassete. Setelah itu, dilakukan proses dehidrasi dengan memasukkan jaringan ke dalam larutan alkohol bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I dan alkohol absolut II) masing - masing selama 2 jam. Selanjutnya adalahclearingke dalam xilol I, xilol II dan xilol III, masing -masing selama 30 menit dan tahap infiltring yaitu ke dalam parafin cair I dan II dengan suhu 56°C masing -masing selama 30 menit. Tahapan selanjutnya adalah

embedding yaitu mencetak jaringan dalam parafin cair, kemudian memotong

dengan mikrotom dengan ketebalan potongan 3-5 mµ. Yang terakhir adalah mounting, yaitu penempelan jaringan pada kaca objek yang telah diulas dengan larutan albumin. Sebelum masuk ke tahap pewarnaan (staining), jaringan disimpan dalam inkubator bersuhu 58C selama 2 jam.

Prosedur pewarnaan HE adalah sebagai berikut: jaringan dicelupkan ke dalam larutan xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 menit, alkohol absolut selama 2 menit, alkohol 95% dan 80% masing-masing selama 1 menit, kemudian dicuci dalam air keran selama 1 menit, dilanjutkan dengan memasukkan sediaan ke dalam larutan pewarna Mayer s Hematoksilin selama 8 menit, dicuci kembali dengan air keran selama 30 detik. Setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam larutan lithium karbonat selama 15-30 detik dan kembali dicuci dengan air keran selama 2-3 menit, selanjutnya diwarnai dengan pewarna eosin selama 2 menit, dicuci dalam air keran selama 30-60 detik. Langkah berikutnya adalah mencelup sediaan ke dalam larutan alkohol 95% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama 1 menit, dan xylol II selama 2 menit. Setelah itu sediaan dikeringkan dan diberi perekat Permount, lalu ditutup dengan kaca penutup dan disimpan selama beberapa menit sampai zat perekat mengering dan siap diamati dengan mikroskop.

Evaluasi Histopatologi

(15)

7

Analisis Statistik

Presentasi hasil penghitungan degenerasi hidropis dan apoptosis epitel tubulus ginjal dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika perlakuan berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjutan Post-Hoc yaitu uji Duncan ( =0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan makroskopis ginjal tidak ditemukan adanya lesio patologis, namun pada pengamatan histopatologi ditemukan perubahan baik pada parenkim maupun interstitium. Kongesti ringan ditemukan pada intersitium ginjal, sedangkan degenerasi hidropis dan apoptosis ringan pada epitel tubulus ditemukan pada bagian parenkim. Persentase degenerasi hidropis dan apoptosis yang ditemukan pada sediaan ginjal mencit yang diberi suspensi kepel sangat kecil (Tabel 2).

Kongesti adalah keadaan pengumpulan darah secara berlebihan pada jaringan. Kongesti terjadi pada semua kelompok hewan coba, baik kelompok kontrol maupun perlakuan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh proses dekapitasi pada waktu euthanasi. Oleh sebab itu kongesti tidak dimasukkan sebagai parameter pengamatan histopatologi.

Degenerasi hidropis merupakan suatu keadaan dimana sitoplasma sel mengandung air akibat rusaknya membran sel. Secara mikroskopis pada sel-sel yang mengalami degerasi hidropis terlihat adanya ruangan-ruangan jernih di sitoplasma namun tidak sejernih degenerasi lemak (Carlton dan McGavin 1995). Vakuola kecil bisa bersatu membentuk vakuola yang lebih besar sehingga inti sel terdesak ke tepi.

Sel memerlukan oksigen untuk mentranspor Na+ dan air ke dalam sitoplasma. Ketika terjadi kekurangan oksigen, berakibat pada penurunan fosforilasi oksidatif yang berlanjut pada penurunan ATP. Kadar ATP yang berkurang menyebabkan penurunan kerja pompa Na. Dengan didukung kerusakan membran sel, ion K+keluar dari sel sedangkan air, ion Na+dan ion Ca2+masuk ke dalam sel secara berlebihan sehingga terjadi pembengkakan sel (Hanna 2011). Faktor lain yang menjadi penyebab degenerasi hidropis adalah terganggunya fungsi enzim lisosom yang diakibatkan oleh akumulasi bahan yang bersifat toksik dalam sel (Braunstein 1987).

(16)

8

Gambar 2 Degenerasi hidropis epitel tubulus ginjal mencit kelompok Dosis 5x (panah), Pewarnaan HE, perbesaran 20X

(17)

9

Apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel terprogram yang bersifat aktif yang ditandai kondensasi kromatin dan fragmentasi kromosom (D Amico dan McKenna 1994). Menurut Baba (2009), apoptosis merupakan jalur utama kematian sel untuk mengeliminasi sel yang tidak diinginkan dan berbahaya bagi sistem tubuh. Pada apoptosis, sel berperan aktif dalam proses terminasi diri dan tidak diikuti peradangan. Apoptosis terjadi akibat berbagai macam stimulus seperti radiasi kromatin, infeksi virus, aktivasi enzim caspase, deplesi faktor pertumbuhan, dan radikal bebas (Dash 2011). Apoptosis secara normal muncul selama proses pertumbuhan dan penuaan sebagai mekanisme homeostasis untuk menjaga populasi sel dalam jaringan (Kresno 2001). Perubahan morfologis apoptosis sama pada semua tipe sel dan tidak tergantung stimuli penyebab kematian. Apoptosis dapat terjadi dengan diperantarai oleh protease intraselular yaitu kaspase. Sel-sel yang mengalami apoptosis akan menyerap lebih banyak pewarna eosin pada sitoplasmanya dan inti yang mengecil berwana lebih biru. Morfologi sel epitel tubulus ginjal yang mengalami apoptosis disajikan pada Gambar 3. Presentase tubulus yang mengalami degenerasi hidropis dan apoptosis disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Persentase perubahan tubulus ginjal mencit pada pemberian suspensi kepel (Stelechocarpus burahol)selama 14 hari

Keterangan: huruf superskrif berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Persentase tubulus yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan sangat kecil dan tidak berbeda nyata dibandingkan kelompok kontrol (p>0.05). Demikian pula tidak ada perbedaan persentase apoptosis yang nyata antara kelompok D5 dengan D1 (p>0.05).. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pemberian buah kepel tidak menyebabkan degenerasi hidropis pada epitel tubulus ginjal.

(18)

10

Pada penelitian ini, hasil analisis statistik degenerasi hidropis epitel tubulus ginjal berbanding terbalik dengan hasil analisis degenerasi hidropis hepatosit, sedangkan persentase apoptosis epitel tubulus ginjal sejalan dengan persentase apoptosis hepatosit. Degenerasi hidropis hepatosit semakin meningkat dengan semakin tingginya dosis pemberian kepel, sedangkan persentase apoptosis hepatosit semakin menurun dengan meningkatnya pemberian kepel (Alvernita 2011).

Pemberian dosis suspensi kepel yang sesuai dengan dosis empiris pada manusia (2.6 mg/kg BB/Dosis 1x) menghasilkan persentase apoptosis yang lebih kecil dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan dosis yang ditingkatkan sebanyak 5x (13 mg/kg BB atau D5). Dengan demikian pemberian suspensi kepel yang sesuai dengan dosis pemakaian empiris (2.6 mg/kg BB/ D1x) sudah efektif menurunkan persentase apoptosis epitel tubulus ginjal.

Daging buah kepel mengandung flavonoid tertinggi dibandingkan bagian buah lainnya sebesar 29,12 ppm, sedangkan standar flavonoid pada vitamin C sebesar 5.35 ppm. Flavonoid diproduksi oleh tanaman sebagai respon alami saat tanaman terluka (Tisnadjaja 2006). Flavonoid termasuk dalam golongan nutraceuticalyaitu pangan atau komponen pangan yang bermanfaat secara medis dan kesehatan (Tapaset al 2008). Flavonoid merupakan senyawa pigmen paling umum di dunia tanaman, kadang bersifat fluorescent setelah dilakukan radiasi UV dan merupakan derivat dari asam shikimik melalui jalur propanoid. Komponen terkait yang dihasilkan melalui reaksi kompleks jaringan adalah isoflavon, auron, flavananon dan flavononol yang dihasilkan dari kalkon. Leukoantosianidin, flavanon dan flavanol dihasilkan dari flavanonol, sedangkan antosianidin dihasilkan dari leukoantosianidin (Kintzios dan Barberaki 2004). Tingginya kadar flavonoid pada buah kepel diduga berperan memperbaiki sel-sel epitel tubulus ginjal.

(19)

11

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

Pemberian suspensi daging buah kepel (Stelechocarpus burahol) dengan dosis 2.6 mg/g BB dan dosis 13 mg/g BB selama 14 hari tidak menyebabkan kerusakan pada epitel tubulus ginjal dan suspensi kepel sesuai dengan dosis empiris (2.6 mg/kg BB) sudah efektif menurunkan persentase apoptosis epitel tubulus ginjal.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan rentang waktu 3 bulan atau satu tahun untuk mengetahui pengaruh kepel secara kronis pada dosis empiris yaitu 2.6 mg/kgBB/hari

DAFTAR PUSTAKA

Abel G. 1987. Chromosome-damaging effect of beta-asaron on human lymphocytes.Planta Med.53(3): 251-3

Alvernita G. 2011. Gambaran histopatologi hati mencit setelah pemberian suspensi kepel secara intragastrik selama 14 hari [skripsi]. BOGOR: Institut Pertanian Bogor

Bacha, J.W. dan L.M. Bacha. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology 2nd Ed. USA: Lippincott William & Wilkins.

Baba AI. 2009. Apoptosis and Necrosis. J Lucrari Stiintifice Medicina Veterinara 42 (2): 347-359

Carlton WM, Mc Gavin MD. 1995.Thomson s Special Veterinary Pathology. Ed ke-2. USA: Times Mirror Co

Chamorro G. Salazar M, Tamariz J, Diaz F dan Labarrios F. 1999. Dominant lethal study of alpha-asarone in male and female mice after sub-chronic treatment. Phytother Res 13(4): 308-11.

Cotran, R. S., H. Rennke, dan V. Kumar . 2007. Ginjal dan Sistem Penyalurnya. Dalam: Kumar V., Cotran R. S., Robbins S. L. (eds). Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2. Edisi VII. Jakarta: EGC.

Cunningham J. 2002. Textbook of Veterinary Phisiology 3rdED. USA: WB Saunders Company

Darusman HS. 2010. Aktivitas farmakologis tanaman kepel (Stelechocarpus burahol) sebagai deodoran topical dan oral [thesis]. BOGOR: Institut Pertanian Bogor

Dash P. 2011. Apoptosis. Basic Medical Sciences, St. George s University of London. [terhubung berkala]. www.sgul.ac.uk/dept/immunology/~dash. [2 Oktober 2011].

D amico AV, McKenna WG. 1994. Apoptosis and re-investigation of the biologic basis of cancer therapy, radiotherapy and oncology. Radiother Oncol 33:3-10.

Dellman HD, Brown E. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II dan III. Jakarta: UI.

(20)

12

Franco R, Sánchez-Olea R, Reyes-Reyes EM, Panayiotidis MI. 2009. Environmental toxicity, oxidative stress and apoptosis. Mutat Res 674(1-2):3-22

Ferreira T, Rasband W. 2011.ImageJ User Guide: IJ 1.45m.[terhubung berkala]. http://rsb.info.nih.gov/ij/docs/index.html. [6 November 2011].

Gartner JP, Hiatt JL. 2007. Color Text Book of Histology 3th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.

Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran ECG: Jakarta.

Garduno L, Salazar M, Salazar S, Morelos ME, Labarrios F, Tamariz J, Chamorro GA. 1997. Hypolipidaemic activity of alpha asarone in mice.J Ethnopharmacol 55(2):161-3.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Hahn I, Zitterl Eglseer-K, Franz CH. 2005. Phytomedicine di Anjing dan Kucing: Survei Internet pada Dokter Hewan di Austria, Jerman dan Swiss. Dalam Swiss Tierheilk Arch 147:135-141.

Hanna P. 2011. Cellular pathology. [terhubung berkala]. http://people.upei.ca/hanna[2 Oktober 2011]

Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.

Hodgson E, Levi PE. 2004. Nephrotoxicity. In: Hodgson E, editor. A Textbook of modern toxicology, 3rd ed. New York: John Wiley & Sons

Junqueira LE, Carneiro J., Kelley RO. 2005. Basic Histology 11thEd. Boston: Mc Graw-Hill.

Kusuma FR, Zaky MB. 2005. Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Kresno SB. 2001. Ilmu Onkologi Dasar. Indonesia: Bagian Patologi Klinik FK UI. hlm 13-15.

Laurence J, Bacharach M. 1964. Analytical Toxicology. Philadelphia: CRC Press Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2000. Tanaman Buah Kebun Raya Bogor.

Seri Koleksi Kebun Raya. Dal am LIPI 1(4):70-71.

Lopez ML, Hernandez A, Chamorro G, Mendoza-Figueroa T. 1993. Alpha-asarone toxicity in long-term cultures of adult rat hepatocytes. Planta Med 59(2):115-20.

Mardisiswojo S. dan Rajakmangunsudarso H. 1968. Cabe puyang warisan nenek moyang Vol. 3. Jakarta: Karya Wreda.

Manikandan S dan Devi RS. 2005. Antioxidant property of alphaasarone against noise-stressinduced changes in different regions of rat brain. Pharmacol Res.52(6):467-74.

Norbury CJ, Hickson ID. 2001. Cellular responses to DNA damage. Annu Rev Pharmacol Toxicol 41:367 401.

Purba NA. 2011. Efektivitas serbuk buah kepel (Stelechocarpus burahol) dalam menurunkan kadar amonia, trimetilamin, dan fenol pada feses mencit. BOGOR: Institut Pertanian Bogor

(21)

13

xanthine oxidase inhibitory study. International J of Pharmacy and Pharm Scie. 2 (2): 123- 127.

Sari LORK. 2006. Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 3:1-7

Suarni 2005. Tanaman Obat tak Selamanya Aman. [terhubung berkala]. http://pikiranrakyat.com. [14 Januari 2014]

Sunarto AT. 1992. Stelechocarpus burahol (Blume) Hook &Thomson. Dalam: Coronel, R.E. &Verheij, E.W.M. (eds). Plant Resources of South East-Asia. No.2: Edible Fruits and Nuts. Bogor: Prosea Foundation

Shiddiqi T, Rindiastuti Y, Sri NA. 2008. Potensi In Vitro Zat Sitotoksik Anti kanker Daun Tanaman Kepel (Stelechocarpus burahol) terhadap carcinoma colorectal. SURAKARTA: Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Sukandar E Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB, http://itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf, [20 Februari 2014]

Talukder SI. 2001. Lecture notes on pathology of hepatobiliary system. [terhubungberkala].http://www.talukderbd.com/lectures/hepatobiliary_syst em_note.pdf [6 September 2011]

Tapas AR, Sakarkar DM, Kakde RB. 2008. Flavonoid as Nutraceutical [ulas balik]. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 7(3): 1089-1099 Umiyah. 2005. Existence of Stelechocarpus burahol (Blume) Hook & Thompson.

in wilderness zone, Bande Alit Resort, Meru Betiri National Park. Berk. Penel.Hayati: 10 (85-88).

Wilson L. M. 2005. Gangguan Sistem Ginjal. Dalam: Anderson P. S., Wilson L. M. (eds). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Volume 2 Edisi VI.Jakarta: EGC.

Tisnadjaja D, Saliman E, Silvia, Simanjuntak P. 2006. Pengkajian Burahol (Stelechocarpus burahol (Blume) Hook & Thomson) sebagai Buah yang Memiliki Kandungan Senyawa Antioksidan. Biodiversitas 7(20): 199-202 Wiart C. 2007. Goniothalamus species: A source of drugs for the treatment of

cancers and bacterial infections?. eCAM 4 (23) 299-311.

(22)

14

LAMPIRAN

Lampiran 1 Penghitungan Dosis Pemberian Kepel

Berat keseluruhan daging buah kepel yang masih basah:440 g, dan setelah dikeringkan diperoleh 60 g serbuk simplisia kering. Jadi rendemen kepel:60 g/440 g x 100% = 13.63%

Dosis empiris konsumsi kepel pada manusia adalah 2 buah kepel dalam 2 hari. Jika diasumsikan berat kepel adalah 70 g/buah dan BB manusia 70 kg, maka konsumsi kepel pada manusia dalam dua hari adalah 140 g/70 kg. Konsumsi buah kepel dalam bentuk serbuk kering pada manusia adalah: 13.63/100 x 140 g = 19.08 g atau rata-rata 20 g serbuk kering.

Faktor konversi dosis manusia ke mencit: 0.0026 (Laurence & Bacharach 1964), sehingga dosis konsumsi kepel normal (sama dengan dosis pada manusia) adalah:

= 20 g x 0.0026 = 0.052 g/20g mencit = 52 mg/20 g mencit

= 2.6 mg/g BB mencit (Dosis 1x)

Dosis 5x= 2.6 mg/g BB x 5 = 13 mg/g BB.

Lampiran 2 Penghitungan Volume Pemberian Kepel

Dosis 1x = 2.6 mg/g BB

Volume pemberian = (Dosis x BB)/Konsentrasi = (2.6 mg/g BB x 20 g)/10% = (2.6 mg/g x 20 g)/(10 g/100 ml) = (52 mg)/100 mg/ml

= 0.5 ml Dosis 5x = 13 mg/g BB

Volume pemberian = (Dosis x BB)/konsentrasi = (13 mg/g x 20 BB)/konsentrasi = 260 mg/0.5 ml = 520 mg/ml = 5.2 g/10ml

5.2 g serbuk buah dilarutkan ke dalam 10 ml akuades.

(23)

15

Lampiran 3 Analisis Perubahan Degenerasi Hidropis Pada Tubulus Ginjal

Perlakuan Mean N Std.Deviation

Kontrol 4.1545 60 0.9161

Dosis 1X 2.8529 60 0.7201

Dosis 5X 3.1470 60 0.7217

Total 3.3848 180 0.7859

Duncan

Perlakuan N Subset 1

Kontrol 60 4.1545

Dosis 1X 60 2.8529

Dosis 5X 60 3.1470

Sig. 1.000

Lampiran 4 Analisis Apoptosis Pada Tubulus Ginjal

Perlakuan Mean N Std.Deviation

Kontrol 6.6605 60 1.1426

Dosis 1X 0.7632 60 0.3484

Dosis 5X 2.2059 60 0.5732

Total 3.2098 180 0.6888

Duncan

Perlakuan N Subset

1 2

Kontrol 60 6.6605

Dosis 1X 60 0.7632

Dosis 5X 60 2.2059

(24)

16

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Buah kepel dan daun. Sumber: tanamanobat.org
Gambar 2 Degenerasi hidropis epitel tubulus ginjal mencit kelompok Dosis 5x(panah), Pewarnaan HE, perbesaran 20X

Referensi

Dokumen terkait

Sumber : data olahan penulis 2019 Dari tabel V.10 diatas dijelaskan mengenai hasil Evaluasi Pelaksanaan Evaluasi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Pada Dinas Pengendalian

Hasil penelitian menemukan bahwa (1) hasil belajar IPS siswa dengan media pembelajaran word square termasuk dalam kategori tinggi, (2) hasil belajar Ekonomi siswa

Memiliki peran sebagai guru SLB/B tentu mengalami berbagai tantangan, baik dalam berinteraksi dengan anak didik maupun dengan rekan kerja. Dalam perjalanan karirnya, tentu

Metode yang digunakan antara lain melalui cara kimia dengan melisis tallus rumput laut dengan campuran enzim komersial, kemudian enzim yang berasal dari viscera keong mas baik

Dengan materi pengurangan bilangan satu angka dari bilangan dua angka dan pengurangan bilangan dua angka dari bilangan dua angka (kedua bilangan merupakan kelipatan

Perkalian atau pembagian sama kuatnya, maka yang dikerjakan dulu adalah yang paling kiri kecuali jika ada tanda dalam kurung.. Penjumlahan / pengurangan

Dalam tulisan ini, penulis ingin memaparkan bagaimana etika profesional dan tanggung jawab moral mampu membentuk para pelayan gereja dengan melihat beberapa

prosedur dan proses asuhan invasif yang berisiko infeksi serta menerapkan strategi untuk menurunkan risiko infeksi... Rumah sakit menetapkan risiko infeksi pada prosedur dan