• Tidak ada hasil yang ditemukan

Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat Penegakan Biosekuriti di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat Penegakan Biosekuriti di Indonesia"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

INCINERATOR

PORTABEL BERBAHAN BAKAR SERABUT

KAPUK RANDU DAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI

PERANGKAT PENEGAKAN BIOSEKURITI DI INDONESIA

ESDINAWAN CARAKANTARA SATRIJA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

INCINERATOR

PORTABEL BERBAHAN BAKAR SERABUT

KAPUK RANDU DAN MINYAK JELANTAH SEBAGAI

PERANGKAT PENEGAKAN BIOSEKURITI DI INDONESIA

ESDINAWAN CARAKANTARA SATRIJA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat Penegakan Biosekuriti di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

(4)

ABSTRAK

Biosekuriti merupakan salah satu langkah pencegahan terhadap penyebaran agen penyakit infeksius. Pembakaran dengan menggunakan

incinerator terhadap material terinfeksi merupakan salah satu metode pemusnahan

agen penyakit infeksius yang diterapkan di lapangan. Namun, penggunaan

incinerator di Indonesia masih terbatas karena biaya pembelian dan operasional

incinerator yang cukup tinggi khususnya biaya bahan bakar. Penelitian ini

dilakukan untuk mengembangkan dan mengetahui kemampuan incinerator

portabel berbahan bakar serabut kapuk dan minyak jelantah. Serabut kapuk

(Ceiba pentranda) dan minyak jelantah merupakan sumber energi alternatif yang

dapat menghasilkan panas dalam jumlah besar. Dalam penelitian ini, dua desain

incinerator portabel dibuat yakni double chamber dan single chamber. Selain itu,

pengaruh jumlah bahan bakar, desain incinerator, dan jenis limbah yang dibakar diuji dalam penelitian ini melalui pembakaran selama 5 menit. Pembakaran dengan jumlah bahan bakar yang lebih banyak meningkatkan dan menunda tercapainya suhu puncak (400 °C pada menit ke-3 vs. 530.67 °C pada menit ke-4). Desain single chamber memiliki daya bakar yang lebih baik dibandingkan dengan desain double chamber dilihat dari suhu puncaknya (400 °C vs. 814.33 °C dengan 400 g bahan bakar). Pembakaran limbah anorganik (plastik dan logam) memiliki suhu puncak yang lebih tinggi dibandingkan limbah organik (telur ayam berembrio) (923 °C vs. 1 163 °C dengan 800 g bahan bakar). Hal ini berimbas kepada tingkat penurunan bobot limbah pasca pembakaran yang lebih tinggi pada limbah anorganik (56.54% vs. 76.47% dengan 800 g bahan bakar). Suhu puncak dari masing-masing pembakaran limbah telah melewati standar pembakaran limbah Uni Eropa (850 °C/2 detik untuk limbah umum; 1 100 °C/2 detik untuk limbah terklorinasi). Oleh sebab itu, incinerator portabel berbahan bakar serabut kapuk dan minyak jelantah berpotensi untuk digunakan sebagai perangkat penegak biosekuriti.

(5)

v

ABSTRACT

Biosecurity is one of the measures to prevent the spread of infectious disease agents. Incineration of material suspected to eleminate disease agents is one of biosecurity method applied in the field. However, the usage of incinerator in Indonesia is still limited due to high price of incinerator and operational costs including fuel and/or electricity. The present study was designed to develop and test performance of a kapok-used oil fueled portable incinerator. Kapok (Ceiba

pentranda) fiber and used oil combination is an alternative fuel that could

generate considerable amount of heat. Two types of portable incinerator, namely double and single chamber incinerator were developed in this study. Furthermore, the influences of fuel amount, incinerator design, and type of waste were tested in 5 minutes incineration process. Incineration using more fuel was shown to increase and delay the peak incineration temperature (400 °C at minute 3 vs. 530.67 °C at minute 4). The single chamber incinerator design shown to had a higher peak incineration temperature than the double chamber design (400 °C vs. 814.33 °C each at 400 g fuel usage). The anorganic waste (plastic and metal) showed to had a higher peak incineration temperature than the organic waste (embryonated egg) (923 °C vs. 1 163 °C each at 800 g fuel usage). The higher incineration temperature also caused the higher waste reduction rate in the anorganic waste incineration process (56.54% vs. 76.47% at 800 g fuel usage). The peak temperature of each waste incineration surpassed the European Standard for Incineration Process (850 °C/2 seconds for general waste; 1 100 °C/2 seconds for chlorinated waste). Therefore, the kapok-used oil fueled portable incinerator is potential to be used as a biosecurity device.

(6)

Judul Skripsi : Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat Penegakan Biosekuriti di Indonesia

Nama : : Esdinawan Carakantara Satrija

NIM : B04100006

Disetujui oleh

Wakil Dekan

Fakultas Kedokteran Hewan

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004

Tanggal Lulus:

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP. 19570804 198211 1 001

Dosen Pembimbing II

(7)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan penulis untuk memenuhi persyaratan lulus Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang ditulis berdasarkan penelitian ini berjudul “Incinerator Portabel Berbahan Bakar Serabut Kapuk Randu dan Minyak Jelantah sebagai Perangkat Penegakan Biosekuriti di Indonesia” dilaksanakan dan ditulis sejak April sampai Agustus 2014. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS dan Bapak Dr. Ir. Irzaman, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukkan dalam proses penelitian sampai penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Ibu Dr. Drh. Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing akademik yang telah membimbing selama masa studi di FKH IPB. Penelitian ini sepenuhnya didanai oleh Bapak Drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D dan Ibu Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua biaya, sarana, serta kasih sayang dan doa yang senantiasa dipanjatkan. Tak lupa penulis ucapkan untuk adik-adik penulis Rinda dan Iza serta teman-teman semua untuk doa dan kebersamaannya. Tak ada yang sempurna di dunia ini kecuali ciptaan Allah SWT, maka seperti halnya tulisan ini. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi masyarakat khususnya terkait dengan tidakan pengendalian penyakit di Indonesia

Bogor, Oktober 2014

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Luaran yang diharapkan 2

Manfaat 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Biosekuriti 3

Incinerator 4

Kombinasi Kapuk dan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif 5

METODE PELAKSANAAN 6

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Tahapan Penelitian 6

Tahap Pengujian 7

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Desain dan Pembuatan Alat 8

Uji Pengaruh Jumlah Bahan Bakar terhadap Proses Pembakaran 9 Uji Pengaruh Desain Incinerator terhadap Proses Pembakaran 10

Uji Pembakaran Limbah 11

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

DAFTAR TABEL

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

1 Incinerator portabel dengan desain double chamber 8

2 Incinerator portabel dengan desain single chamber 9

3 Pengaruh jumlah bahan bakar terhadap pola peningkatan suhu ruang

pembakaran 10

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang terletak di persimpangan antara dua benua dan dua samudra yakni benua Asia dan Australia, serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Posisi Indonesia yang sangat strategis ini sangat penting bagi perdagangan karena wilayah Indonesia menjadi jalur yang ramai dilewati oleh lalu lintas berbagai komoditas perdagangan. Kedua faktor tersebut menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap masuknya agen penyakit asal hewan yang dapat dibawa oleh komoditas perdagangan baik berupa ternak hidup ataupun produknya. Hal ini diperparah dengan kondisi tropis iklim Indonesia yang turut membantu menyuburkan perkembangan agen penyakit.

Wabah penyakit avian influenza (AI) H5N1 yang terjadi sejak pertengahan tahun 2003 di Indonesia merupakan kejadian besar merebaknya agen penyakit akibat lengahnya pengawasan lalu lintas hewan dan produk hewan. Infeksi virus ini tidak hanya menimbulkan kerugian berupa kematian serta penurunan produktivitas ternak unggas secara massal tetapi juga dapat menginfeksi dan menewaskan manusia. Kasus AI pada manusia di seluruh dunia sampai dengan 21 Februari 2012, tercatat 586 kasus, 185 kasus (32%) di antaranya berasal dari Indonesia. Delapan puluh tiga persen (153 kasus) kasus pada manusia bersifat fatal (Adisasmito et al. 2013). Di samping itu, Indonesia kehilangan 16.2 juta ternak unggas (ayam) akibat infeksi dan proses pemusnahan unggas yang terjangkit AI selama tahun pertengahan 2003 hingga awal 2004 yang setara dengan kerugian ekonomis sebesar US$16.2 - 32.4 juta (FAO 2005).

Penerapan biosekuriti merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular. Biosekuriti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya serta keluarnya agen penyakit dari suatu wilayah (Thomson 1991). Salah satu tindakan biosekuriti adalah pemusnahan objek yang terkontaminasi oleh agen penyakit, misalnya hewan sakit atau mati, peralatan kandang dan medis, serta fomite. Tindakan pemusnahan objek yang terkontaminasi dapat dilakukan dengan cara penguburan atau pembakaran. Penguburan objek yang akan dimusnahkan memerlukan area yang luas dengan bertambahnya objek yang harus dimusnahkan. Cara terbaik dan efisien dalam memusnahkan objek yang terkontaminasi agen penyakit salah satunya adalah dengan cara pembakaran

(incineration) menggunakan alat pembakar (incinerator) karena panas yang

digunakan dalam proses ini dapat memusnahkan seluruh agen penyakit yang ada. Namun, pemusnahan dengan pembakaran memiliki beberapa kendala seperti ketersediaan alat pembakar (incinerator), mobilitas alat, serta biaya operasi yang relatif mahal. Keterbatasan tersebut menghambat penggunaan teknik pemusnahan dengan pembakaran di lapangan.

(11)

2

Biaya operasi sebuah incinerator umumnya relatif mahal karena mahalnya sumber energi yang digunakan. Incinerator yang beroperasi saat ini umumnya menggunakan bahan bakar minyak bumi (bensin atau solar), gas, dan listrik sebagai sumber energi. Meningkatnya harga sumber energi tersebut saat ini dan besarnya konsumsi incinerator akan sumber energi untuk menjalankan fungsinya menjadikan biaya operasi sebuah incinerator menjadi relatif mahal. Oleh sebab itu, untuk memperluas penggunaan incinerator di lapangan dibutuhkan sumber energi alternatif yang ekonomis dan berenergi tinggi dalam menjalankan operasi

incinerator. Kombinasi antara serabut kapuk dan minyak jelantah merupakan

salah satu kandidat sumber energi yang ekonomis dan berenergi tinggi. Pembakaran serabut kapuk dan minyak jelatah dengan ditambah oksigen cair (teknis) dapat mencapai suhu 1 500 oC yang dilihat dari kemampuannya melelehkan besi pada saat pembakaran tersebut (Satrija et al. 2013). Selain itu, bahan bakar ini juga relatif aman, ekonomis, mudah dibuat, serta tidak memakan banyak tempat. Oleh sebab itu, serabut kapuk dan minyak jelatah dapat menjadi basis dari pembuatan incinerator portabel yang memiliki mobilitas tinggi, ekonomis, dan mudah diproduksi secara massal.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan menguji puwarupa alat pembakar (incinerator) portabel berbahan bakar serabut kapuk dan minyak jelantah dengan melihat pengaruh jumlah bahan bakar, desain incinerator, dan jenis limbah terhadap suhu pembakaran.

Luaran yang Diharapkan

Diharapkan penelitian ini dapat menghasilkan sebuah purwarupa alat pembakar (incinerator) yang memiliki mobilitas tinggi, ekonomis, dan mudah diproduksi secara massal.

Manfaat

Manfaat dari kegiatan ini adalah perluasan penggunaan incinerator

(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Biosekuriti

Biosekuriti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya serta keluarnya agen penyakit dari suatu wilayah (Thomson 1991). Pendekatan biosekuriti terdiri atas pengawasan lalu lintas, isolasi, vaksinasi, dan desinfeksi. Dalam konsep penanganan dan pengendalian penyakit pada ternak, pengawasan lalu lintas berarti pengawasan keluar-masuknya ternak, orang, dan peralatan ke area peternakan. Lingkup pengawasan tidak hanya mencakup peternakan itu sendiri melainkan juga transportasi, penjualan, pengolahan, hingga konsumsi produk asal ternak. Isolasi merupakan langkah penutupan area yang terjangkit oleh penyakit terhadap area yang belum terjangkit dan sebaliknya. Vaksinasi merupakan langkah pengebalan inang terhadap agen penyakit yang mewabah untuk mencegah terjadinya infeksi melalui pemberian vaksin (FAO 2007).

Desinfeksi merupakan langkah pembersihan pada area yang terjangkit atau diduga terjangkit. Desinfeksi dilakukan dengan cara pembersihan lingkungan, pemberian desinfektan, dan pemusnahan objek yang terjangkit atau diduga terjangkit penyakit.

Tabel 1 Perbandingan suhu dan waktu inaktivasi antar jenis agen penyakit. Jenis

Toksin Botulinum (Clostridium

(13)

4

Seluruh pendekatan biosekuriti ini harus dilaksanakan secara cermat dan terintegrasi guna mencegah timbulnya wabah penyakit. Langkah ini merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah, publik, industri dan produsen pangan, serta institusi keilmuan dan pendidikan (FAO 2007).

Pemusnahan objek berpotensi membawa atau menularkan penyakit merupakan salah satu tindakan biosekuriti. Waktu dan suhu yang diperlukan untuk memusnahkan dengan agen penyakit bergantung pada jenis agen penyakitnya sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 1.

Incinerator

Pembakaran (incineration) merupakan proses penanganan limbah melalui pembakaran material organik dalam limbah tersebut (Knox 2005). Alat pembakar yang digunakan dalam proses ini disebut incinerator.

Incinerator merupakan komponen penting dalam penegakan biosekuriti

khususnya desinfeksi karena incinerator merupakan alat yang efektif untuk memusnahkan alat, limbah, dan ternak yang terinfeksi atau diduga terinfeksi agen penyakit.Untuk mencapai efektivitas ini incinerator menghasilkan panas dengan suhu yang sangat tinggi. Menurut aturan yang dikeluarkan Uni Eropa mengenai pengolahan limbah dalam Directive 2000/76/EC, suhu minimal incinerator harus mencapai 850 oC selama dua detik untuk memastikan terurainya zat-zat beracun dalam limbah yang dibakar sehingga sisa limbah dapat dibuang ke lingkungan dengan aman. Untuk mencapai suhu ini, incinerator menggunakan bahan bakar diesel, gas, atau listrik sebagai sumber energi.

Berdasarkan mobilitasnya, incinerator terdiri atas dua varian yakni statis dan mobil. Incinerator statis umumnya berukuran besar dan memiliki kapasitas yang besar tetapi tidak dapat dipindahkan. Incinerator statis umumnya digunakan di rumah sakit, laboratorium penelitian, dan pusat pengolahan limbah untuk memusnahkan limbah berbahaya atau limbah yang tidak dapat diolah dengan cara lain. Incinerator mobil memiliki ukuran dan kapasitas yang lebih kecil tetapi mudah dipindahkan ke segala tempat. Incinerator mobil umumnya ditempatkan di atas sebuah trailer yang ditarik oleh mobil atau truk. Incinerator mobil memiliki peran yang sangat penting dalam biosekuriti karena kemampuannya untuk berpindah ke semua tempat membuatnya mampu memusnahkan objek yang terinfeksi agen penyakit tanpa perlu memindahkan objek tersebut sehingga meminimalisir penyebaran agen penyakit selama transportasi objek tersebut.

Incinerator mobil belum banyak digunakan di Indonesia karena biaya

pengoperasiannya relatif mahal khususnya bahan bakar karena tingginya suhu yang harus dicapai mengharuskan incinerator menggunakan banyak bahan bakar.

Incinerator mobil dengan kapasitas pembakaran 50 kg/jam menggunakan 100

liter minyak diesel/jam untuk yang bertenaga diesel sedangkan untuk yang bertenaga listrik menggunakan 45 000 hingga 50 000 watt energi listrik (Cecon Pullotech System 2010). Besarnya biaya bahan bakar untuk operasional

(14)

memperluas penggunaan incinerator mobil di Indonesia guna penegakan

biosekuriti.

Kombinasi Kapuk dan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif

Kapuk atau biasa disebut pohon randu (Jawa dan Sunda) adalah pohon tropis yang tergolong ordo Malvales dan famili Malvaceae (sebelumnya dikelompokkan ke dalam famili terpisah Bombacaceae), berasal dari bagian utara dari Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Karibia, dan (untuk varitas C.

pentandra var. guineensis) berasal dari sebelah barat Afrika. Buah tanaman ini

berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 12-15 cm dan beruang lima. Buah memiliki banyak biji yaitu sekitar 100 biji/buahnya (Suhono 2006). Di antara biji terdapat serat-serat yang berwarna putih kusam. Serat kapuk sebagian besar tersusun atas selulosa yaitu 50.7% dari massa total serat kapuk (Tye et al. 2012).

Tanaman Kapuk Randu pemanfaatan utamanya adalah serat kapuknya. Kandungan selulosa yang tinggi dalam serat menjadi hal utama dan membuatnya memiliki nilai ekonomis penting.Biasanya serat kapuk ini digunakan sebagai pengisi kasur, bantal, dan guling (Suhono 2006). Namun, saat ini terjadi penurunan drastis pada pemanfaatan serabut kapuk karena mulai tergeser oleh serat dan busa sintetik. Hal ini terlihat secara nyata pada penurunan hasil kapuk Indonesia yang pada satu waktu. Tahun 1936 - 1937 Indonesia menjadi pengekspor kapuk terbesar di dunia dengan ekspor sebanyak 28 400 ton serat per tahun atau 85% kebutuhan kapuk dunia, kini hanya menghasilkan 1 496 ton serat per tahun pada tahun 2011 (Deptan 2011). Penurunan produksi ini disebabkan oleh jatuhnya harga Kapuk Randu di pasaran yang berbuntut kepada turunnya tingkat kesejahteraan para petani Kapuk Randu.

Minyak jelantah atau minyak goreng bekas merupakan minyak yang berasal dari sisa minyak penggorengan bahan makanan. Minyak goreng bekas maupun minyak goreng nabati yang baru tersusun atas gliserida yang mempunyai rantai karbon panjang, yaitu ester antara gliserol dengan asam karboksilat. Perbedaan minyak goreng bekas dengan minyak goreng nabati yang baru terletak pada komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuhnya. Komposisi asam lemak tak jenuh minyak jelantah adalah 30% sedangkan asam lemak jenuh 70% (Kusuma 2003). Keberadaan molekul karbon rantai panjang dalam minyak jelantah menjadikannya sebagai salah satu sumber energi alternatif yakni biodiesel yang dikembangkan pemanfaatannya pada berbagai kendaraan bermotor dan rumah tangga. Kota Guangzhou di China tercatat menggunakan 20 000 ton minyak jelantah hanya untuk biodiesel saja (Wang et al. 2007).

(15)

6

tambahan udara bertekanan atau oksigen cair. Pembakaran serabut kapuk dan minyak jelatah dengan ditambah oksigen cair (teknis) dapat mencapai suhu 1 500 o

C terbukti at dari kemampuannya melelehkan besi pada saat pembakaran (Satrija

et al. 2013). Selain itu, bahan bakar ini juga relatif aman karena meski mudah

terbakar tapi tidak akan meledak karena bentuknya padatan dan keberadaan selulosa sebagai absorban energi. Bahan bakar ini juga ekonomis karena bahan bakunya relatif murah dan mudah ditemukan, mudah dibuat, serta tidak memakan banyak tempat untuk penyimpanan.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juli 2014. Pembuatan purawarupa incinerator portabel dan bahan bakar dilakukan di bengkel las di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dan bengkel F-technopark Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengujian kemampuan incinerator

portabel dilakukan di Unit Pemeliharaan Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap pembuatan desain dan purwarupa incinerator portabel, yang dilanjutkan dengan tahap pengujian. Tahap pengujian yang terdiri atas uji pengaruh jumlah bahan bakar terhadap proses pembakaran, uji pengaruh desain incinerator terhadap proses pembakaran, serta uji pembakaran limbah. Setiap pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

Tahap Pembuatan Desain dan Purwarupa

Dalam penelitian ini dikembangkan dua desain dan purwarupa incenerator portabel. Desain pertama terdiri atas dua komponen utama yaitu ruang bahan bakar (fuel chamber) dan ruang pembakaran (incineration chamber) yang dibuat secara terpisah (double chamber incenerator). Desain kedua juga terdiri atas ruang bahan bakar dan ruang pembakaran yang ditempatkan dalam satu tabung baja dengan posisi ruang bahan bakar berada di bawah ruang pembakaran dan dibatasi oleh pelat pemisah dari besi atau gerabah (single chamber incenerator).

(16)

tersebut dimasukkan ke dalam ruang bahan bakar sesuai dengan jumlah yang ditentukan.

Tahap Pengujian

Uji Pengaruh Jumlah Bahan Bakar terhadap Proses Pembakaran

Uji ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan suhu pembakaran dan pola peningkatan suhu dari jumlah bahan bakar yang berbeda. Pengujian dilakukan dengan membakar cincin bahan bakar ukuran 400 gram dan 1 600 gram dalam

double chamber incinerator selama lima menit dengan tekanan oksigen 10 psi.

Pengujian dilakukan dalam tiga ulangan. Hasil yang didapat dari pengujian ini akan menjadi acuan untuk menentukan jumlah bahan bakar yang aman digunakan dalam uji pembakaran limbah.

Uji Pengaruh Desain Incinerator terhadap Proses Pembakaran

Pengujian pengaruh desain dilakukan untuk mengetahui perbedaan suhu pembakaran dan pola peningkatan suhu dari dua desain incinerator yang berbeda. Desain yang dibandingkan dalam pengujian ini adalah desain double chamber dan desain single chamber. Pengujian dilakukan dengan membakar cincin bahan bakar sebanyak 400 gram dalam kedua jenis incinerator selama lima menit dengan tekanan oksigen 10 psi. Pengujian untuk masing-masing jenis diulang tiga kali. Desain dengan suhu pembakaran terbaik akan digunakan dalam uji pembakaran limbah.

Uji Pembakaran Limbah

Uji pembakaran limbah dilakukan untuk mengetahui kapasitas pembakaran limbah incinerator portabel terhadap berbagai jenis limbah. Uji pembakaran dengan limbah dilakukan dengan cara menyalakan incinerator untuk membakar limbah dalam jumlah tertentu yang ditambahkan secara bertahap setiap kali pengujian dan mengamati variabel yang diujikan selama proses tersebut. Uji pembakaran ini dilakukan pada satu tekanan oksigen (10 psi), jumlah bahan bakar (800 gram), dan waktu pembakaran yang sama (5 menit dengan asupan oksigen dan 25 menit tanpa asupan oksigen). Uji ini dilakukan dengan 3 kali ulangan untuk setiap jenis limbah yang berbeda. Jenis limbah yang diuji adalah limbah anorganik (bekas jarum, alat bedah, sarung tangan, serta berbagai kemasan sediaan farmasetik dan biologik) serta limbah organik (telur ayam berembrio). Jenis limbah dipilih berdasarkan tingkat kemudahan penghancuran melalui pembakaran dengan limbah anorganik sebagai limbah termudah untuk dihancurkan dan limbah organik telur sebagai limbah tersulit untuk dihancurkan. Tingkat kemudahan penghancuran ini diketahui melalui komunikasi dengan operator unit incinerator FKH IPB.

Analisis Data

(17)

8

setinggi 1 200 oC. Hasil pengukuran kedua variabel dari tiga ulangan dalam setiap jenis uji dibuat rataan dan dianalisa secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Desain dan Pembuatan Alat

Purwarupa incinerator yang dibuat dalam penelitian ini terdiri atas dua desain. Desain pertama terdiri atas dua komponen utama yaitu ruang bahan bakar

(fuel chamber) dan ruang pembakaran (incineration chamber) yang dibuat secara

terpisah (double chamber). Ruang bahan bakar berbentuk silinder ganda yang dibuat dari pipa besi dengan diameter 4 inci (10.16 cm), panjang 50 cm, dan ketebalan 3 mm. Ruang ini merupakan penampung bahan bakar, tempat masuknya suplai oksigen, dan tempat memulai pembakaran. Api pembakaran bahan bakar selanjutnya disalurkan ke ruang pembakaran melalui satu celah yang ada pada kedua komponen. Ruang pembakaran berbentuk bulat dan terbuat dari pipa baja dengan diameter 12 inci (30.5 cm), tinggi 50 cm, dan ketebalan 10 mm merupakan penampung limbah yang akan dibakar sekaligus tempat pembakaran limbah tersebut (Gambar 1). Ruang pembakaran memiliki tutup dengan arah pembuka ke atas sebagai pintu masuk limbah yang akan dibakar dan di bawah sebagai pintu keluar sisa limbah yang telah dibakar. Kedua komponen ini sengaja dibuat terpisah untuk memaksimalkan suhu pembakaran melalui konsentrasi dan pemanfaatan gas hasil pembakaran serta meningkatkan suhu dalam ruang pembakaran. Hal ini mengacu kepada proses Siemens-Martin yang digunakan dalam produksi baja menggunakan tanur terbuka yaitu bahan bakar dipanaskan di ruangan terpisah dari bahan baku baja dan kemudian disalurkan melalui saluran yang terbuat dari bata silika untuk memicu akumulasi panas dalam ruang pelelehan (Mokyr 1998).

Gambar 1 Incinerator portabel dengan desain double chamber. (a) skema, (b) foto.

(18)

Gambar 2 Incinerator portabel dengan desain single chamber. (a) skema, (b) foto. Desain kedua juga terdiri atas ruang bahan bakar dan ruang pembakaran yang kedua ruangnya ditempatkan dalam satu tabung berbentuk bulat dan terbuat dari pipa baja dengan diameter 12 in (30.5 cm), tinggi 60 cm, dan ketebalan 10 mm. Posisi ruang bahan bakar (fuel chamber) berada di bawah ruang pembakaran dan dibatasi oleh pelat pemisah dari besi atau gerabah (Gambar 2). Berbeda dengan desain sebelumnya, pembuatan ruang terpisah dalam satu tabung dimaksudkan untuk mengkaji kemungkinan proses pembakaran limbah melalui paparan langsung terhadap api tanpa mencampurkan bahan bakar dengan limbah.

Pada incinerator konvensional, bahan bakar (gas/diesel) disemprotkan dan bercampur bersama limbah untuk kemudian dibakar. Hal ini dapat menurunkan efisiensi dan kesempurnaan pembakaran karena dengan bahan bakar digabungkan dengan limbah yang belum tentu seluruhnya mudah terbakar akan menurunkan suhu pembakaran. Selain itu, pembakaran yang tidak sempurna juga dapat menimbulkan gas-gas polutan yang dapat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan contohnya karbon monoksida (CO) serta jelaga dalam jumlah besar.

Uji Pengaruh Jumlah Bahan Bakar terhadap Proses Pembakaran

Uji pengaruh jumlah bahan bakar menunjukkan bahwa pembakaran dengan jumlah bahan bakar lebih banyak akan mengalami peningkatan dan pergeseran waktu tercapainya suhu puncak (Gambar 3). Peningkatan suhu puncak terjadi akibat jumlah bahan bakar yang lebih banyak meningkatkan jumlah sumber kalor serta luas permukaan bahan bakar.Kedua hal ini meningkatkan laju perubahan energi kimia menjadi energi panas dalam bahan bakar serta meningkatkan perpindahan panas dari bahan bakar pusat ruang bahan bakar (Welty et al. 2007). Rendahnya suhu awal pembakaran serta pergeseran waktu tercapainya suhu puncak pada pembakaran dengan jumlah bahan bakar yang lebih banyak diakibatkan oleh belum terbakarnya seluruh bahan bakar di awal proses pembakaran. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan titik nyala (flash

(19)

10

Gambar 3 Pengaruh jumlah bahan bakar terhadap pola peningkatan suhu ruang pembakaran. 400 g, 1 600 g.

point) akibat kadar minyak jelantah secara keseluruhan yang lebih besar sehingga

dibutuhkan akumulasi panas untuk menyulut seluruh bahan bakar tersebut (Li et al. 2004).

Uji Pengaruh Desain Incinerator terhadap Proses Pembakaran

Uji pengaruh desain incinerator menunjukkan bahwa desain single

chamber dapat mencapai rataan ruang suhu pembakaran yang lebih tinggi dengan

(20)

Zemansky 1960). Dalam penelitian ini, batas tersebut tercapai ketika bahan bakar yang digunakan mencapai 1 600 gram (ring) dengan tekanan 10 psi.

Gambar 4 Pengaruh desain terhadap pola peningkatan suhu ruang pembakaran. Double chamber incinerator, Single chamber incinerator.

Uji Pembakaran Limbah

Uji pembakaran limbah menunjukkan bahwa suhu pembakaran limbah anorganik lebih tinggi daripada suhu pembakaran limbah organik (Gambar 5). Hal ini dikarenakan limbah anorganik mengandung polimer plastik dan karet yang mudah terbakar.Keberadaan polimer plastik dan karet ini menjadi sumber bahan bakar tambahan (Kotrba 2014). Limbah berupa logam dapat mencapai suhu pembakaran yang lebih tinggi daripada limbah organik karena konduktivitas termal yang relatif lebih tinggi daripada limbah organik sebagai contoh konduktivitas termal stainless steel (bahan baku jarum dan alat bedah) mencapai 18 - 24 W/mK sedangkan konduktivitas termal daging (embrio) mencapai 0.488 W/mK (Goodfellow Group Companies 2008; Sweat et al. 1973). Di sisi lain, rendahnya suhu pembakaran limbah organik berupa telur ayam berembrio juga disebabkan oleh keberadaan cangkang telur yang tersusun atas kristal kalsium karbonat (CaCO3) sebanyak 95 - 97% (Arias dan Fernandez 2001). Kristal kalsium karbonat mampu bertahan hingga suhu 1 339 °C serta memiliki nilai konduktivitas termal yang relatif rendah (1.7 - 2.2 W/mK) sehingga keberadaan cangkang ini dapat melindungi embrio dalam telur tersebut (CDC 2011; Quan et al. 2008). Hal inilah yang menyebabkan tingkat penurunan bobot pasca pembakaran limbah organik yang lebih rendah daripada limbah anorganik (Gambar 6).Faktor ini sangat penting untuk diperhatikan dan harus diperbaiki agar efektivitas dan tujuan pembakaran menggunakan incinerator yakni hancur serta sterilnya limbah yang dibakar dapat tercapai.

(21)

12

Gambar 5 Pengaruh jenis limbah pola peningkatan suhu ruang pembakaran. Limbah organik, Limbah anorganik.

Gambar 6 Rataan tingkat penurunan bobot limbah pasca pembakaran. Limbah organik, Limbah anorganik.

(22)

melewati standar suhu pembakaran limbah umum (Gambar 7). Modifikasi desain ruang bakar dengan lubang transfer panas yang lebih besar sehingga jumlah kalor yang dipindahkan dari fuel chamber ke incineration chamber meningkat serta penghancuran terlebih dahulu cangkang telur sebelum pembakaran perlu dilakukan untuk meningkatkan suhu pembakaran limbah organik yang relatif lebih rendah. Kedua langkah ini sangat penting untuk dilakukan untuk menjamin berjalannya proses sterilisasi limbah telur tersebut dari agen penyakit.

Gambar 7 Pengaruh jenis limbah terhadap nilai rataan suhu pembakaran tertinggi. Limbah organik, Limbah anorganik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian ini berhasil membuat dua purwarupa Incinerator portabel berbahan bakar serabut kapuk-minyak jelantah. Incinerator dengan desain single

chamber dapat mencapai rataan ruang suhu pembakaran yang lebih tinggi dan

lebih cepat dibandingkan desain double chamber. Suhu pembakaran limbah dan tingkat penurunan bobot pasca pembakaran anorganik lebih tinggi daripada limbah organik. Alat ini berpotensi sebagai Incinerator portabel dengan daya pembakaran cukup tinggi dan mampu melewati standar (EU Directive No. 76/2000), mobilitas tinggi, serta biaya pembuatan dan operasional yang relatif murah.

923

1163

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

S

u

h

u

(

°C

(23)

14

Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki desain

incinerator portabel yang telah dibuat dan memperbaiki performa yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito W, Aisyah DN, Aditama TY, Kusriastuti R, Trihono, Suwandono A, Sampurno OD, Prasenohadi, Sapada NA, Mamahit MJM, Swenson A, Dreyer NA,Coker R. 2013. Human influenza A H5N1 in Indonesia: health care service-associated delays in treatment initiation. BMC Public

Health 13: 57.

Appel TR, Wolff M, von Rheinbaben F, Heinzel M, Riesner D. 2001. Heat stability of prion rods and recombinant prion protein in water, lipid and lipid–water mixtures. J Gen Virol. 82: 465–473.

Arias JL, Fernandez MS. 2001. Role of extracellular matrix molecules in shell formation and structure. World Poultry Sci. J. 57: 349–357.

Cecon Pullotech System. 2010. Electrical Incinerator [internet]. [diunduh 31 Juli 2014]. tersedia pada: http://www.ceconpollutech.com/electrical-incinerator.htm.

Centers for Disease Control and Prevention [CDC]. 2011. Occupational Safety and Guideline for Calcium Carbonate. [internet]. [diunduh 20 Juli 2014]. tersedia pada: http://www.cdc.gov/niosh/docs/81-123/pdfs/0090.pdf

Çengel, Y. 2003. Heat Transfer: a practical approach. McGraw-Hill series in mechanical engineering. (2nd ed.). Boston (US): McGraw-Hill.

Departemen Pertanian [Deptan]. 2011. Kapuk. [internet]. [diunduh 31 Juli 2014]. Tersedia pada: http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option= com_content&view=category&layout=blog&id=46&Itemid=68.

Directive 2000/76/EC of The European Parliament and of the Council. 2000. Inceneration of waste. Official Journal of European Union Community.

L332: 91-111.

Food and Agricultural Organization [FAO]. 2005. Economic and Social Impact of Avian Influenza. [internet]. [diunduh 31 Juli 2014]. tersedia

pada:http://www.fao.org/avianflu/documents/Economic-and-social-impacts-of-avian-influenza-Geneva.pdf.

Food and Agricultural Organization [FAO]. 2007. FAO Biosecurity Toolkit Part 1: Biosecurity Principles and Components. [internet]. [diunduh 31 Juli 2014]. tersedia pada: ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/a1140e/ a1140e01.pdf.

Ghanekar Y, Chandrashaker A, Visweswariah SS. 2003. Cellular refractoriness to the heat-stable enterotoxin peptide is associated with alterations in levels of the differentially glycosylated forms of guanylyl cyclase C. Eur J

(24)

Goodfellow Group Companies. 2008. Stainless Steel – AISI 410 (Fe/Cr12.5) Material Information. [internet]. [diunduh 22 Juli 2014]. tersedia pada: http://www.goodfellow.com/E/Stainless-Steel-AISI-410.html.

Goodfellow SJ, Brown WL. 1978. Fate of salmonella inoculated into beef for cooking. J Food Protect. 41: 598–605.

Gottstein B, Pozio E, Nöckler K. 2009. Epidemiology, diagnosis, treatment, and control of Trichinellosis. Clin Microbiol Rev. 22: 127.

Green A. 2005. Field Guide to Meat. Philadelphia (US): Quirk Books.

Hardy DJ, Du Bois EF. 1937. The technic of measuring radiation and convection.

J Nutr. 15: 461-475.

Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Chapter 24: Food Poisoning Caused by Gram-Positive Sporeforming Bacteria. Modern Food Microbiology: Seventh Edition. New York (US): Springer.

Kotrba R. 2014. Power and Fuel from Plastic Waste.[internet]. [diunduh 21 Juli 2014]. tersedia pada: http://biomassmagazine.com/articles/2067/power-and-fuel-from-plastic-wastes.

Knox A. 2005. An Overview of Incineration and EFW Technology as Applied to

the Management of Municipal Solid Waste (MSW). London (UK):

University of Western Ontario.

Kusuma IGBW. 2003. Pembuatan biodiesel dari minyak jelantah dan pengujian terhadap prestasi kerja mesin diesel. Poros. 6: 227-234.

Li D, Zhen H, Xingcai L, Wu-gao Z, Jian-guang Y. 2004. Physico-chemical properties of ethanol–diesel blend fuel and its effect on performance and emissions of diesel engines. Renew Energ. 30: 967-976.

Mokyr J. 1998. The Second Industrial Revolution, 1870-1914. Evanston (US): Minyak Jelantah dan Serabut Kapuk Randu (Ceiba pentranda) sebagai

Bahan Bakar Alternatif Roket Luar Angkasa. Laporan Akhir Program

Kreativitas Mahasiswa (PKM) Dikti Tahun 2013. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sears FW, Zemansky MW. 1960. College Physics. Reading (US): Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Sharples J Gill AM, Dold JW. 2010. The trench effect and eruptive wildfires: lessons from the King’s Cross Underground disaster. The Bushfire

CRC/AFAC Annual Conference, Darwin, Australia. 20010: 1-9.

Song H, Li J, Shi S, Yan L, Zhuang H, Li K. 2010. Thermal stability and inactivation of hepatitis C virus grown in cell culture. Virol J. 7:40.

Suhono B. 2005. Ensiklopedia Flora. Bogor: LIPI.

Swayne DE, Beck JR. 2004. Heat inactivation of avian influenza and Newcastle disease viruses in egg products. Avian Pathol. 33: 512-518.

Sweat VE, Haugh CG, Stadelman WJ. 1973. Thermal conductivity of chicken meat at temperatures between −75 and 20 °C. J Food Sci. 38: 158-160. Thomson J. 1991. Biosecurity: preventing and controlling diseases in the beef

(25)

16

Tye YY, Lee KT, Wan Abdullah WN, Leh CP. 2012. Potential of Ceiba pentandra (L.) Gaertn. (kapok fiber) as a resource for second generation bioethanol: effect of various simple pretreatment methods on sugar production.

Bioresour Technol. 116: 536-539.

Wang Y, Ou S, Liu P, Zhang Z. 2007. Preparation of biodiesel from waste cooking oil via two-step catalyzed process. Energ Convers Manage. 48: 184-188.

Welty JR, Wicks CE, Wilson RE, Rorrer GL. 2007. Fundamentals of Momentum,

Heat and Mass transfer (5th edition). Hoboken (US): John Wiley and

Sons.

(26)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kopenhagen, Denmark pada tanggal 2 Januari 1993 dari ayah Drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D dan ibu Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2010, penulis lulus dari SMA PU Al Bayan Sukabumi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis rnenjadi asisten praktikum PPKH tahun ajaran 2012 - 2013 dan asisten praktikum Parasitologi Veteriner: Endoparasit tahun ajaran 2013 - 2014. Penulis juga pemah aktif sebagai staf Departemen Kajian Strategis dan Advokasi BEM FKH IPB masa jabatan 2010 - 2011, staf Divisi Pendidikan Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH IPB masa jabatan 2012-2013, dan ketua Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka IPB masa jabatan 2011 - 2012 dan 2012 - 2013. Penulis juga aktif melaksanakan kegiatan penelitian di bawah naungan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti). Judul dari penelitian PKM ini antara lain adalah Pemanfaatan Buah Bintaro (Cerberra odollam) sebagai Pengusir Hama Tikus (2010), Pemanfaatan Ekstrak Biji Sirsak (Annona muricata) sebagai Obat Anti Kanker akibat Infeksi Virus Marek pada Ayam Petelur (2011), Meraih Kedaulatan Pangan dan Menjaga Kedaulatan Teritorial Republik Indonesia melalui Peternakan Sapi Potong Terpadu di Pulau-Pulau Kosong Indonesia (2011), Pemanfaatan Limbah Minyak Jelantah dan Serabut Kapuk Randu (Ceiba

pentranda) sebagai Bahan Bakar Alternatif Roket Luar Angkasa (2012). Di luar

Gambar

Tabel 1 Perbandingan suhu dan waktu inaktivasi antar jenis agen penyakit.
Gambar 1 Incinerator portabel dengan desain double chamber. (a) skema, (b)
Gambar 2 Incinerator portabel dengan desain single chamber. (a) skema, (b) foto.
Gambar 3 Pengaruh jumlah bahan bakar terhadap pola peningkatan suhu ruang
+4

Referensi

Dokumen terkait

Optik jalur saraf glioma (OPGs) ini serius, tapi dapat disembuhkan, tumor otak yang muncul di dalam dan sekitar saraf optik. Setengah dari pasien dengan glioma saraf optik adalah

Pada penelitian ini mendapatkan hasil bahwa jumlah penduduk yang diwakilkan dengan jumlah pertumbuhan setiap bulannya tidak berpengaruh terhadap pajak

Hal tersebut dapat dikoreksi melalui data harga saham pada akhir tahun 2011 dibandingkan data 2010 dapat diketahui bahwa terdapat 10 perusahaan sektor pertambangan

Observasi dilaksanakan dengan tujuan agar mahasiswa memiliki pengetahuan serta pengalaman pendahuluan sebelum melaksanakan tugas mengajar yaitu kompetensi-kompetensi

Dari pengertian menurut undang-undang dan pengertian menurut bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa paten adalah merupakan hak bagi seseorang yang telah mendapat penemuan baru

Dokumen Penetapan Lokasi Pembangunan dan Kriteria Pengadaan Tanah Baik Secara Langsung Maupun Melalui Tahapan Perpres No 71/2012, 2... KEUANGAN DAERAH,/ Program

Kekebalan yang diperoleh dengan imunisasi pasif tidak berlangsung lama, sebab kadar zat-zat anti yang meningkat dalam tubuh anak bukan sebagai hasil produksi tubuh sendiri,

Tindak pidana yang berhubungan dengan dunia perbankan dimulai dengan perampokan uang di bank, ketika kejahatan pada umumnya dilakukan oleh orang- orang berasal