• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Pemberian Minyak Goreng Curah yang Difortifikasi Karoten dari Red Palm Oil Terhadap Kadar Retinol Serum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efikasi Pemberian Minyak Goreng Curah yang Difortifikasi Karoten dari Red Palm Oil Terhadap Kadar Retinol Serum"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

EFIKASI PEMBERIAN MINYAK GORENG CURAH YANG

DIFORTIFIKASI KAROTEN DARI

RED PALM OIL

TERHADAP KADAR RETINOL SERUM

SONI FAUZI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efikasi Pemberian Minyak Goreng Curah yang Difortifikasi Karoten dari Red Palm Oil Terhadap Kadar Retinol Serum adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

(4)
(5)

ABSTRAK

SONI FAUZI. Efikasi Pemberian Minyak Goreng Curah yang Difortifikasi Karoten dari Red Palm Oil Terhadap Kadar Retinol Serum. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan VERA URIPI.

Fortifikasi karoten dari minyak sawit merah atau Red Palm Oil (RPO) ke dalam makanan dapat menjadi alternatif dalam pengentasan permasalahan kekurangan vitamin A di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efikasi pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari red palm oil (RPO) terhadap kadar retinol serum. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasy Experimental pre post treatment controlled trial dengan jumlah responden 31 anak sekolah dasar usia 7–9 tahun. Penelitian yang dilakukan di Desa Angsana, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dilaksanakan pada bulan Mei–September 2013. Terdapat peningkatkan rata-rata kadar retinol serum responden RPO dari 10.44 ± 1.81 µg/dL menjadi 15.76 ± 3.12 µg/dL setelah intervensi. Sementara itu, peningkatan rata-rata kadar retinol serum responden kontrol adalah 10.88 ± 2.53 µg/dL, menjadi 14.12 ± 3.41 µg/dL setelah intervensi. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan rata-rata kadar retinol pada kedua kelompok perlakuan baik sebelum maupun setelah intervensi (p>0.05). Namun, terdapat perbedaan rata-rata kadar retinol antara sebelum dan setelah intervensi pada kedua kelompok perlakuan (p<0.05).

Kata Kunci : anak sekolah dasar, karoten, red palm oil, serum retinol.

ABSTRACT

SONI FAUZI. The Efficacy of Non-Branded Cooking Oil Fortified with Carotene from Red Palm Oil to Retinol Serum Level. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI and VERA URIPI

Carotene fortification from red palm oil into food can be an alternative in alleviating vitamin A deficiency problem in Indonesia. This research aimed to assess efficacy of non branded cooking oil fortified with carotene from red palm oil on retinol serum level. Quasy experimental pre post treatment controlled trial design was applied in this study with a number of sample 31 elementary school children aged 7–9 years. Research was conducted at Angsana village, sub-district of Leuwiliang, Bogor regency in May–September 2013. There was increasing average retinol serum levels of RPO respondent from 10.44 ± 1.81 µg/dL to 15.76 ± 3.12 µg/dL after the intervention. Meanwhile, an increase in the average levels of retinol serum of control respondent were 10.88 ± 2.53 µg/dL, becoming at 14.12 ± 3.41 µg/dL after intervention. T-test results showed there was no difference in average levels of retinol on the two groups both before and after intervention (p>0.05). However,there were differences in average levels of retinol between before and after intervention in both groups (p<0.05).

(6)
(7)

EFIKASI PEMBERIAN MINYAK GORENG CURAH YANG

DIFORTIFIKASI KAROTEN DARI

RED PALM OIL

TERHADAP KADAR RETINOL SERUM

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

SONI FAUZI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Efikasi Pemberian Minyak Goreng Curah yang Difortifikasi Karoten dari Red Palm Oil Terhadap Kadar Retinol Serum Nama : Soni Fauzi

NIM : I14090071

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi Pembimbing I

dr. Vera Uripi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan tema fortifikasi pangan yang mendukung rencana program fortifikasi vitamin A pada minyak goreng, dengan judul Efikasi Pemberian Minyak Goreng Curah yang Difortifikasi Karoten dari Red Palm Oil Terhadap Kadar Retinol Serum.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini, Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku dosen Pembimbing Skripsi dan dr. Vera Uripi selaku dosen Pembimbing Akademik sekaligus dosen Pembimbing Skripsi, serta Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi selaku dosen penguji yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, serta saran perbaikan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga, Ismail Saleh SP, MSi, Rina Ekawati SP, MSi, rekan-rekan mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, responden penelitian dan keluarga, seluruh pihak yang berpartisipasi, memberikan doa, dan dukungannya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

(12)
(13)
(14)
(15)

DAFTAR ISI

Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian 6

Populasi dan Sampel Penelitian 6

Variabel Penelitian 7

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 7

Tahapan Penelitian 10

Penyiapan Minyak Goreng RPO 10

Uji Pengaruh (Efikasi) Pemberian Minyak Goreng RPO Terhadap

Peningkatan Retinol Darah 11

Pengambilan Sampel Darah 12

Pengukuran Status Gizi 12

Analisis Retinol Serum 12

Pengolahan dan Analisis Data 13

DEFINISI OPERASIONAL 13

Pengasuh Anak Selain Ibu 15

Karakteristik Keluarga Responden 16

Umur Orang Tua 16

Tingkat Pendidikan Orang Tua 17

Jenis Pekerjaan Orang Tua 18

Jumlah Anggota Keluarga 19

Pengeluaran Keluarga 20

Pendapatan Perkapita Dan Kondisi Ekonomi Keluarga 21

Gizi dan Kesehatan 22

Asupan Energi, Protein, Lemak, dan Vitamin A 24

Konsumsi Minyak Goreng 31

Pengaruh Intervensi Minyak Goreng RPO terhadap Kadar Retinol Serum 33

(16)

Kepatuhan Ibu 36

Status Vitamin A 37

Status Gizi 38

SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 46

(17)

DAFTAR TABEL

1 Kriteria inklusi dan eksklusi untuk penentuan sampel 6

2 Jenis dan cara pengumpulan atau pengukuran data 8

3 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin pada kelompok RPO dan

kelompok kontrol 14

4 Sebaran responden berdasarkan urutan kelahiran anak pada kelompok

RPO dan kelompok kontrol 15

5 Sebaran responden berdasarkan pengasuh anak (selain ibu) pada kelompok

RPO dan kelompok kontrol 16

6 Sebaran responden berdasarkan umur ayah pada kelompok RPO dan

kelompok kontrol 17

7 Sebaran responden berdasarkan umur ibu pada kelompok RPO dan

kelompok kontrol 17

8 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ayah pada kelompok

RPO dan kelompok kontrol 18

9 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu pada kelompok

RPO dan kelompok kontrol 18

10 Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan ayah dan ibu pada

kelompok RPO dan kelompok kontrol 19

11 Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga pada kelompok

RPO dan kelompok kontrol 20

12 Jumlah pengeluaran keluarga per bulan kelompok RPO dan kelompok

kontrol 20

13 Sebaran responden berdasarkan kategori keluarga miskin dan tidak miskin

pada kelompok RPO dan kelompok kontrol 21

14 Sebaran responden berdasarkan penyakit yang diderita dalam 2 minggu

terakhir pada kelompok RPO dan kelompok kontrol 22

15 Sebaran responden berdasarkan lama sakit yang diderita dalam 2 minggu

terakhir pada kelompok RPO dan kelompok kontrol 23

16 Sebaran responden berdasarkan penyakit yang pernah diderita sejak lahir

pada kelompok RPO dan kelompok kontrol 24

17 Rata-rata asupan energi dan zat gizi sebelum dan setelah (selama) intervensi pada kelompok RPO dan kelompok kontrol, serta nilai p uji

beda paired sample t test 25

18 Rata-rata asupan energi dan zat gizi sebelum dan setelah (selama) intervensi pada kelompok RPO dan kelompok kontrol, serta nilai p uji

beda independent sample t test 27

19 Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah intervensi menurut kategori tingkat kecukupan energi 29 20 Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah

intervensi menurut kategori tingkat kecukupan protein 30 21 Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah

intervensi menurut kategori tingkat kecukupan lemak 30 22 Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah

(18)

23 Perbandingan angka kecukupan energi, protein, lemak, dan vitamin A

menurut AKG Indonesia dan Filipina pada kelompok anak umur 7−9

tahun 31

24 Rata-rata konsumsi minyak goreng per hari serta kontribusi rata-rata vitamin A minyak goreng tersebut pada kelompok RPO dan kelompok

kontrol 32

25 Rata-rata konsumsi minyak goreng per hari sebelum dan setelah intervensi

pada kelompok RPO dan kelompok kontrol 33

26 Rata-rata kadar retinol serum sebelum dan setelah intervensi pada

kelompok RPO dan kelompok kontrol 34

27 Skor morbiditas responden sebelum dan selama intervensi pada kelompok

RPO dan kelompok kontrol 35

28 Presentase kepatuhan ibu responden kelompok RPO dan kelompok kontrol 37 29 Rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum dan setelah intervensi pada

kelompok RPO dan kelompok kontrol 39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka penelitian efikasi pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari red palm oil terhadap kadar retinol serum 5

2 Minyak goreng intervensi 12

3 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi sebelum dan setelah

(selama) intervensi pada kelompok RPO 28

4 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi sebelum dan setelah

(selama) intervensi pada kelompok kontrol 28

5 Sebaran responden kelompok RPO dan kelompok kontrol menurut status

vitamin A sebelum dan setelah intervensi 37

6 Sebaran responden kelompok RPO dan kelompok kontrol menurut status

gizi sebelum dan setelah intervensi 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan ukuran sampel penelitian berdasarkan peningkatan serum

retinol pada penelitian Gusthianza (2010) 46

2 Perhitungan jumlah fortifikan (RPO) untuk proses fortifikasi 46

3 Prosedur analisis kadar retinol serum 46

4 Hasil uji Statistik 48

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah gizi merupakan masalah multi faktor yang dapat memengaruhi kualitas hidup setiap individu, sehingga secara global menentukan pembangunan suatu negara. Kerangka Unicef tahun 1998 menggambarkan bahwa masalah gizi secara langsung disebabkan oleh rendahnya asupan makanan dan tingginya infeksi. Infeksi adalah salah satu akibat dari defisiensi (kekurangan) zat gizi mikro. Zat gizi mikro memiliki peran dalam pembentukan antibodi dan melaporkan bahwa sebanyak 250 juta anak usia sekolah diperkirakan mengalami KVA, dan 250 000–500 000 anak mengalami kebutaan setiap tahunnya. Setengah dari mereka meninggal pada kurun waktu 12 bulan dalam kondisi kehilangan penglihatan. KVA dapat menyebabkan kebutaan pada anak dan meningkatkan risiko penyakit serta kematian akibat penyakit infeksi. Berdasarkan hasil studi masalah gizi mikro pada tahun 2006, masalah KVA di Indonesia tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi, karena berada di bawah batasan IVACG (International Vitamin A Consultative Group) yaitu 15% (Depkes 2009). Namun, hal tersebut tidak menjamin bahwa kasus KVA tidak akan muncul lagi pada tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, tetap diperlukan upaya alternatif untuk menjaga kondisi tersebut. Fortifikasi merupakan strategi yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut.

Fortifikasi vitamin A ke dalam makanan umumnya dilakukan dalam bentuk sintetik yang diproduksi secara komersial, tetapi dapat pula dilakukan dalam bentuk alami yang berasal dari sumber pangan nabati. Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber pangan nabati yang dapat dimanfaatkan untuk fortikasi, karena kandungan karotennya yang cukup tinggi, terutama beta-karoten (provitamin A) yaitu 643 ppm (Nagendran et al. 2000). Beta-karoten merupakan salah satu dari ratusan jenis karotenoid yang memiliki aktivitas vitamin A paling aktif dengan dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier 2006).

Kandungan karoten pada CPO 15 kali lebih tinggi dibanding wortel (Mukherjee dan Mitra 2009). Selain itu, CPO cukup melimpah di Indonesia. Menurut data BPS (2011), produksi kelapa sawit pada tahun 2010 mencapai 21.958.120 ton. Namun, CPO merupakan bahan yang belum layak konsumsi oleh manusia. Permunian CPO yang diproses secara minimal menghasilkan minyak sawit merah atau Red Palm Oil (RPO) yang masih memiliki kadungan karoten yang cukup tinggi yaitu 513 ppm (Nagendran et al. 2000). Menurut Zeb dan Mehmood (2004), kandungan karoten turunan RPO setara dengan 15 kali karoten wortel, 120 kali karoten tomat, dan 44 kali karoten pada sayuran hijau.

(20)

2

konsumsi rata-rata minyak goreng per minggu di wilayah perdesaan mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan pendapatan rata-rata perkapita/bulan. Konsumsi tertinggi mencapai 0,228 liter/kap/minggu dengan konsumsi rata-rata sebanyak 0,147 liter/kap/minggu (BPS 2009). Hasil survei lain melaporkan bahwa sebesar 77,5% rumah tangga di Indonesia menggunakan minyak curah untuk menggoreng dan rata-rata konsumsi minyak goreng sebesar 23 g/hari (Martianto et al. 2005). Terpilihnya minyak goreng sebagai pembawa provitamin A diharapkan juga mampu meningkatkan konsumsi energi, terutama pada golongan menengah ke bawah.

Fortifikasi provitamin A pada minyak goreng juga dapat memberikan keuntungan lain, yaitu mengurangi biaya impor vitamin A sintetik. Hal ini terkait dengan program pemerintah tentang Mandatory fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A. Oleh sebab itu, perlu diketahui efikasi pemberian minyak goreng yang difortifikasi provitamin A terhadap status gizi dan status vitamin A pada anak.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menilai efikasi pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari red palm oil (RPO) terhadap kadar retinol serum.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik anak (umur, jenis kelamin, dan kondisi sosial ekonomi keluarga).

2. Menghitung dan menilai konsumsi pangan, khususnya asupan vitamin A. 3. Mengukur dan menilai kadar retinol serum anak sebelum dan setelah

intervensi.

4. Menilai morbiditas anak sebelum dan setelah intervensi

5. Menganalisis pengaruh pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari red palm oil (RPO) terhadap kadar retinol serum.

Hipotesis

H0 : Pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari RPO tidak

meningkatkan retinol serum anak sekolah dasar usia 7–9 tahun.

H1 : Pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari RPO

meningkatkan retinol serum anak sekolah dasar usia 7–9 tahun.

Kegunaan Penelitian

(21)

3

goreng dengan vitamin A untuk mencegah peningkatan prevalensi KVA. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberi informasi lebih mengenai pemanfaatan RPO sebagai fortifikan, sehingga dapat mengurangi impor vitamin A sintetis dan sebagai referensi untuk penelitian berikutnya.

KERANGKA PEMIKIRAN

Umur, jenis kelamin, dan kondisi sosial ekonomi anak merupakan faktor yang dapat memengaruhi konsumsi pangan dari segi jumlah maupun jenisnya (Darmon dan Drewnowski 2008). Konsumsi pangan anak memberikan kontribusi terhadap asupan energi dan zat gizi. Ledikwe et al. (2006) menyebutkan bahwa seseorang dengan diet rendah energi memiliki asupan energi lebih rendah, dengan kata lain konsumsi diet sumber energi (protein, lemak, dan karbohidrat) dapat memberikan kontribusi energi. Selain sebagai sumber tenaga, asupan energi yang terjaga juga dapat memperbaiki status gizi.

Vitamin A merupakan zat gizi mikro yang menjadi fokus pada penelitian ini. Peningkatan konsumsi pangan sumber vitamin A dan provitamin A dapat memperbaiki status vitamin A. Hasil penelitian Zagre et al. (2003), menunjukkan bahwa asupan vitamin A dan provitamin A dapat meningkatkan status vitamin A ibu dan anak. Umumnya di dalam tubuh vitamin A berperan pada proses penglihatan, sintesis protein, diferensiasi sel, reproduksi, dan pertumbuhan (Rolfes et al. 2009). Fungsi lain vitamin A adalah meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit, terutama penyakit infeksi. Selain vitamin A, status gizi yang baik juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak. Peningkatan sistem imun diharapkan mampu mengurangi prevalensi kejadian sakit (morbiditas), sehingga kualitas hidup anak semakin baik.

Perbaikan status vitamin A juga dapat dilakukan melalui upaya fortifikasi sumber provitamin A pada bahan pangan, dalam hal ini adalah minyak goreng yang difortifikasi karoten dari Red Palm Oil (RPO). Betakaroten adalah provitamin A yang utama (Hess 2005). Minyak goreng dipilih sebagai pembawa fortifikan karena minyak goreng merupakan salah satu bahan pangan yang rutin dikonsumsi oleh hampir semua golongan masyarakat, baik golongan berdasarkan keadaan sosial ekonomi, maupun golongan berdasarkan kelompok umur, terutama minyak goreng curah.

(22)

4

gizi RPO terhadap kesehatan bisa dilakukan dengan harapan dapat mengubah pola pikir ibu terhadap minyak goreng.

(23)

5

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Hubungan yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka penelitian efikasi pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari red palm oil terhadap kadar retinol serum

Karakteristik Anak:

 Umur

 Jenis kelamin

 Kondisi sosial ekonomi

keluarga Kepatuhan Ibu

Intervensi : minyak goreng

curah yang diperkaya RPO Konsumsi pangan

Asupan zat gizi

Status Vitamin A (Retinol Serum) Status Gizi

Anak (IMT/U)

Status Kesehatan Anak : Angka Morbiditas

Respon Imun

Penerimaan minyak goreng

RPO

Protein

Vitamin A Lemak

Karbohidrat

Energi

(24)

6

METODE

Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experimental pre post treatment controlled trial yaitu suatu desain penelitian eksperimental semu dengan random assignment. Desain penelitian tersebut digunakan untuk melihat pengaruh pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari Red Palm Oil (RPO) terhadap kadar retinol serum anak usia 7–9 tahun. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan. Pelaksanaan intervensi selama dua bulan, yaitu Mei sampai Juni 2013 di Desa Angsana, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Analisis betakaroten pada minyak goreng curah dan minyak goreng RPO dilakukan di Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA), Bogor. Analisis kadar retinol serum dilakukan di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Bogor.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah anak sekolah dasar berusia 7–9 tahun di kecamatan Leuwiliang, kabupaten Bogor. Responden (unit penelitian) adalah populasi penelitian yang dipilih secara purposif dengan kriteria inklusi dan eksklusi (Tabel 1).

Tabel 1 Kriteria inklusi dan eksklusi untuk penentuan sampel

No Kriteria

Inklusi:

1. Kelas dua atau tiga (usia 7–9 tahun)

2. Sehat (tidak menderita infeksi sekunder) berdasarkan hasil pemeriksaan dokter

3. Telah mendapat penjelasan penelitian 4. Menyetujui informed consent

5. Bersedia untuk mematuhi prosedur penelitian Eksklusi:

1. Mempunyai kelainan kongenital/cacat bawaan

2. Mempunyai alergi berat berdasarkan medical Questionnaire 3. Mengonsumsi antibiotik dan/atau laxative (empat minggu sebelum

penelitian)

4. Menerima kapsul vitamin A dosis tinggi setahun sebelum penelitian 5. Berpartisipasi dalam penelitian lain

(25)

7

2 σ2 (Z1-α/2 + Z1-β)2

n =

δ2 Keterangan:

n = besar sampel

Z1-α/2 = suatu nilai sehingga P(Z > Zα) = 1-α/2, Z adalah peubah acak normal

baku

Z1-β = suatu nilai sehingga P(Z > Zβ) = 1-β, Z adalah peubah acak normal baku

σ = 4,61 (perkiraan standar deviasi serum Imunoglobulin G (IgG) berdasarkan penelitian Gusthianza 2010)

δ = 6,62 (Peningkatan titer IgG yang diharapkan setelah intervensi) berdasarkan penelitian Gusthianza 2010)

(Sumber : Steel dan Torrie 1991)

Nilai Z1-α/2 diperoleh sebesar 2,575 dan Z1-β sebesar 1,272, berdasarkan

rumus perhitungan tersebut, maka diperoleh ukuran sampel (n) sebanyak 14 responden. Antisipasi drop out yang digunakan pada penelitian ini sebesar 10%, sehingga diperoleh sebanyak 16 responden.

Variabel Penelitian

Variabel utama yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pengaruh pemberian minyak goreng yang difortifikasi RPO terhadap kadar retinol serum. Variabel lain dalam penelitian ini adalah status gizi (yang diukur secara antropometri dengan indeks IMT/U), karakteristik anak sekolah dasar dan keluarganya, konsumsi pangan, dan angka kesakitan anak (skor morbiditas).

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(26)

8

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan atau pengukuran data

No Data Cara Pengukuran atau pengumpulan Frekuensi

1. Identitas anak 3 Konsumsi Pangan Food recall (Wawancara dengan anak

menggunakan kuesioner recall)

(27)

9

No Data Cara Pengukuran atau pengumpulan Frekuensi

5. Status vitamin A

Observasi dan catatan dalam form isian 56 hari (selama intervensi)

Data konsumsi pangan hasil food recall, dihitung energi dan kadar zat gizi dari masing-masing jenis bahan makanan untuk mengetahui tingkat konsumsi anak. Perhitungan energi dan kadar zat gizi dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), sebagai berikut:

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:

KGij = kosnsumsi zat gizi i dari bahan makanan j dalam jumlah B gram Bj = berat bahan makanan j yang dikonsumsi (gram)

Gij = kadar zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = persen berat bahan makanan j yang dapat dimakan (%BDD)

Kadar zat gizi bahan makanan dan persen BDD dapat diketahui dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Pada penelitian ini setiap jenis makanan yang dikonsumsi anak, terutama makanan olahan minyak akan dihitung energi dan kadar zat gizinya berdasarkan komposisi bahan mentahnya agar dapat diketahui jumlah minyak goreng yang dikonsumsi. Minyak goreng yang dikonsumsi ditentukan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus konversi berat mentah masak dan konversi berat penyerapan minyak. Nilai faktor dapat diketahui dari Daftar Konversi Berat Mentah Masak (DMM 2007) dan Daftar Konversi Berat Penyerapan Minyak (DPM 2007).

BMj = Fj x BOj

Keterangan :

BMj = berat makanan j dalam bentuk mentah (gram) Fj = faktor konversi mentah masak bahan makanan j BOj = berat makanan j dalam bentuk olahan (gram)

BKj = (Mj x BMj)/100

Keterangan :

BKj = minyak goreng yang diserap bahan makanan j (gram)

(28)

10

Tingkat kecukupan gizi (TKG) subyek penelitian dihitung berdasarkan konsumsi energi dan zat gizi harian. Selain itu, untuk menghitung TKG perlu diketahui angka kecukupan gizi (AKG) dari masing-masing subyek berdasarkan standar. Standar yang digunakan pada penelitian ini adalah AKG 2012. Berikut adalah cara menghitung AKG masing-masing subyek penelitian.

AKG = (BBi/BBj) x zat gizi yang dianjurkan TKG (%) = (konsumsi zat gizi/AKG) x 100

Keterangan :

BBi = bobot badan subyek penelitian (kg) BBj = bobot badan standar AKG 2012 (kg)

Tahapan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah penyiapan minyak goreng curah dan minyak goreng curah yang difortifikasi RPO (selanjutnya disebut minyak goreng RPO) untuk diberikan kepada keluarga responden selama 8 minggu. Tahap kedua adalah uji pengaruh (efikasi) pemberian minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari Red Palm Oil (RPO) terhadap kadar retinol serum anak usia 7–9 tahun.

Penyiapan Minyak Goreng RPO

Proses penyiapan minyak goreng RPO dilakukan dengan menggunakan metode Wijaya (2013). Penyiapan minyak goreng RPO dilakukan seminggu sebelum intervensi pemberian minyak kepada responden. Minyak goreng curah dibeli dari salah satu produsen minyak goreng di daerah Jabodetabek. Fortifikan yang digunakan adalah minyak sawit merah (RPO) yang diperoleh dari Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB. Fortifikan yang ditambahkan setara dengan kandungan vitamin A 45 IU (27 mg/kg betakaroten = 4.5 RE/g vitamin A) sesuai dengan RSNI (Rancangan Standar Nasional Indonesia). Berdasarkan perhitungan, fortifikan yang dibutuhkan untuk 1 kg minyak goreng curah adalah 64.52 g atau setara dengan 3.22 kg untuk 50 kg minyak goreng curah.

(29)

11

Uji Pengaruh (Efikasi) Pemberian Minyak Goreng RPO Terhadap Peningkatan Retinol Darah

Langkah awal yang dilakukan yaitu mengurus perizinan penelitian dan ethical clearance dari komisi etik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kemudian, dilakukan survei lapang untuk menentukan lokasi penelitian. Pengurusan perizinan kepada Kepala Desa, Puskemas, dan Dinas Pendidikan setempat dilakukan sebelum survei lapang. Lokasi penelitian yang dipilih adalah SDN 1 Angsana (kelompok RPO) dan SDN 2 Angsana (kelompok kontrol), Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Alasan terpilihnya lokasi tersebut yaitu kedua SD tersebut terletak berdekatan dan tempat tinggal murid berada di sekitar lingkungan sekolah tersebut (kondisi geografi sama), sehingga dapat diasumsikan bahwa contoh cenderung homogen dari segi pola konsumsi pangan, karakteristik contoh, kondisi sosial ekonomi keluarga, serta paparan infeksi penyakit yang mungkin terjadi.

Setelah izin penelitian dari Kepala Sekolah didapatkan, tahap berikutnya adalah melakukan screening contoh pada kedua sekolah tersebut terutama siswa yang sedang duduk di bangku kelas dua atau tiga. Contoh yang terpilih sebagai responden adalah siswa yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah responden terpilih, orang tua responden diundang ke sekolah untuk mendapatkan penjelasan mengenai penelitian sekaligus penandatanganan informed consent sebagai bentuk persetujuan orang tua yang menyatakan kesediaan orang tua terhadap proses penelitian yang dilakukan kepada anaknya.

Kelompok penelitian terdiri atas kelompok RPO dan kelompok kontrol. Kelompok RPO adalah kelompok yang akan diberikan minyak goreng curah dengan penambahan RPO, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang diberikan minyak goreng curah tanpa penambahan RPO. Total responden minimum adalah 28 anak (14 anak untuk masing-masing kelompok). Sebelum intervensi, responden yang terpilih adalah 34 orang, yaitu 17 responden pada kelompok RPO dan 17 responden pada kelompok kontrol. Terdapat tiga anak yang dikeluarkan (drop out), yaitu dua anak dari kelompok RPO dan satu anak dari kelompok kontrol. Hal itu dilakukan karena anak tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu berumur 6 tahun, 10 tahun, dan orang tua tidak patuh selama masa penelitian.

(30)

12

(a) Minyak goreng kontrol (b) Minyak goreng RPO Gambar 2 Minyak goreng intervensi

Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah diambil dengan frekuensi dua kali yaitu pada saat satu hari sebelum intervensi dan satu hari setelah intervensi dengan melibatkan tenaga medis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Bogor. Darah untuk analisis retinol diambil dari pembuluh darah vena. Pengambilan darah dilakukan pada bulan Mei dan Juli 2013 dan selesai dianalisis pada September 2013.

Pengukuran Status Gizi

Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan untuk mengetahui status gizi responden. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan injak digital dengan ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran status gizi dilakukan pada sebelum dan setelah intervensi oleh peneliti. Status gizi dinilai berdasarkan indeks IMT/U dengan menggunakan standar baku Kemenkes 2012.

Analisis Retinol Serum

Analisis kadar retinol serum dilakukan dengan menggunakan metode ektraksi (Concurrent Liquid Chromatographic Assay of Retinol). Metode ini menggunakan prinsip serum diencerkan dengan larutan retinil asetat pada etanol, larutan retinil asetat berperan sebagai standar dan etanol berperan mengendapkan protein, yang membebaskan retinol, kemudian diekstraksi dengan heptana. Ekstrak dievaporasi dalam nitrogen atmosfer dan residu dilarutkan dalam metanol diklorometan. Retinol dipisahkan dengan menggunakan HPLC.

(31)

13

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data primer dilakukan dengan beberapa tahapan meliputi entry data, editing dan coding untuk melihat konsistensi informasi. Data yang telah diverifikasi, diolah menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan dianalisis menggunakan software Statistical Program for Social Science (SPSS) v.16.0 for Windows.

Analisis data dilakukan secara statistik dan deskriptif. Data identitas dan karakteristik keluarga responden dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik frekuensi. Alat uji yang digunakan adalah uji beda t-test, uji beda Mann Whitney, dan uji beda berpasangan. Perbedaan kadar retinol serum dan status gizi kelompok RPO dan kelompok kontrol baik pada awal intervensi maupun akhir intervensi, dianalisis dengan uji beda yaitu uji t. Selain itu, uji t juga digunakan untuk mengetahui perbedaan usia anak dan orang tua, pekerjaan dan pendidikan orang tua, kondisi ekonomi, pengeluaran keluarga, dan asupan zat gizi, antara kelompok RPO dan kelompok kontrol. Uji Mann Whitney digunakan untuk menganalisis perbedaan tingkat kepatuhan ibu, konsumsi minyak, dan skor morbiditas anak. Uji t berpasangan digunakan untuk melihat pengaruh intervensi terhadap kadar retinol serum responden sebelum dan setelah dilakukan intervensi. Apabila nilai p hasil

uji kurang dari 0,05 (α sebesar 5%) maka terdapat perbedaan yang signifikan

antara variabel yang dianalisis.

DEFINISI OPERASIONAL

Karakteristik Responden adalah ciri-ciri dan keadaan umum anak yang terkait gizi, meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, status gizi, dan lain-lain.

Morbiditas adalah keadaan sakit atau terjadinya penyakit yang mengubah

kesehatan dan kualitas hidup anak.

Pola Konsumsi adalah bentuk atau susunan keragaman konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap hari.

Retinol adalah vitamin A dalam bentuk alkohol yang diukur dengan satuan g/dL, merupakan indikator status vitamin A

Status Gizi adalah keadaan kesehatan tubuh responden (anak) yang diakibatkan

oleh konsumsi, penerapan, dan penggunaan zat gizi. Dalam hal ini, ditentukan berdasarkan antropometri dengan menggunakan indeks IMT/U menurut standar baku Kemenkes 2010.

Status Kesehatan adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan klinis yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah intervensi.

Tingkat Konsumsi adalah tingkatan upaya pemanfaatan makanan dan minuman

(32)

14

Kepatuhan Ibu adalah tingkatan ketaatan dan kedisiplinan orang tua atau pengasuh responden untuk menggunakan minyak goreng penelitian dalam proses pengolahan makanan minimal satu kali per hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan gambaran keadaan responden (anak sekolah dasar) saat ini. Responden dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Data karakteristik responden terdiri atas umur responden, jenis kelamin, urutan anak dalam keluarga, dan pengasuh anak selain ibu.

Umur

Pada kedua kelompok penelitian responden mayoritas berumur delapan tahun, yaitu sebesar 53.3% pada kelompok RPO dan 50% pada kelompok kontrol. Kelompok RPO memiliki sebanyak lima responden (33.3%) berumur tujuh tahun dan sebanyak dua orang (13.4%) berumur sembilan tahun dengan rata-rata umur sebesar 7.8 ± 0.7 tahun. Kelompok kontrol memiliki responden berumur sembilan tahun sebanyak lima orang (31.2%) dan sebanyak tiga orang (18.8%) berumur tujuh tahun dengan rata-rata umur 8.1 ± 0.7 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan umur yang nyata pada kedua kelompok tersebut (p = 0.202).

Jenis Kelamin

Total responden penelitian adalah sebanyak 31 orang yang terdiri atas responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 45.2% dan responden berjenis kelamin perempuan sebesar 54.8%. Responden yang memenuhi kriteria inklusi pada kelompok RPO adalah sebanyak 15 responden, antara lain sembilan orang (60%) berjenis kelamin laki-laki dan enam orang (40%) berjenis kelamin perempuan, sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 16 responden, meliputi responden laki-laki sebanyak lima orang (31.3%) dan responden perempuan sebanyak 11 orang (68.7%) memenuhi kriteria inklusi. Jumlah responden pada kedua kelompok tersebut telah memenuhi kriteria jumlah responden minimum yaitu 14 orang. Data sebaran responden berdasarkan jenis kelamin pada kedua kelompok tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Jenis kelamin RPO Kontrol

n % n %

Laki-laki 9 60 5 31.3

Perempuan 6 40 11 68.7

(33)

15

Urutan Kelahiran Anak

Secara umum, responden anak merupakan anak pertama atau kedua di dalam keluarga (29%). Urutan anak ketiga dan keempat memiliki proporsi yang hampir sama dari keseluruhan responden, secara berturut-turut yaitu 16.1% dan 19.4%. Mayoritas responden kelompok RPO adalah anak pertama (40%), sedangkan urutan anak terkecil adalah urutan kedua, yaitu hanya satu orang responden (6.7%). Sebagian besar responden kelompok kontrol merupakan anak kedua di dalam keluarga (50%), sedangkan urutan anak terkecil adalah urutan anak ketiga, yaitu 12.4%. Sebanyak dua reponden anak (6.5%) dari total responden merupakan anak dengan urutan ≥ 5. Responden tersebut tergolong dalam kelompok RPO. Urutan kelahiran anak diduga dapat memengaruhi status gizi anak. Hal ini terkait dengan pengalaman ibu dalam merawat anak (prenatal dan postnatal care) pada pertama kehamilan mungkin berbeda dengan kehamilan berikutnya. Selain itu, terdapat hubungan positif antara interval kelahiran dengan status gizi anak (Rutstein 2005; Shahjada et al. 2014). Kozuki dan Walker (2013) menyebutkan bahwa interval kelahiran yang rendah berhubungan dengan tingginya mortalitas anak. Menurut hasil uji beda Mann Whitney, urutan kelahiran anak antara kelompok RPO dan kelompok kontrol tidak berbeda (p = 0.396). Sebaran responden berdasarkan urutan kelahiran anak pada kelompok RPO dan kelompok kontrol disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan urutan kelahiran anak pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

(34)

16

tahapan mental, dan hubungan perkawinan (WHO 2004). Hal tersebut diduga menjadi faktor yang membedakan pola asuh pada anak antara ibu dan anggota keluarga lain. Wanita (ibu) secara umum merupakan pengasuh utama di dalam keluarga, menghabiskan lebih banyak waktu untuk menjaga dan merawat anak dari pada pria. Ibu memiliki kematangan umur, berpengalaman, dan mental lebih stabil dibanding saudara (si anak), sehingga dapat memengaruhi pola asuh yang diberikan. Penelitian lain menyebutkan bahwa dukungan keluarga (terutama nenek) dapat membantu ibu dalam melaksanakan praktek pengasuhan anak (Sharma dan Kanani 2006). Sebuah tren penting yang terlihat adalah nenek dapat melakukan pengasuhan lebih seperti bermain dengan anak, menjaga anak tetap bersih, dan memberi asupan makanan kepada mereka.

Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan pengasuh anak (selain ibu) pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Pengasuh anak (selain ibu)

RPO Kontrol Total

n % n % n %

Tidak ada 8 53.3 11 68.8 19 61.3

Kakek/Nenek 1 6.7 1 6.2 2 6.5

Paman/Bibi 2 13.3 0 0.0 2 6.5

Kakak 2 13.3 4 25.0 6 19.4

Anggota

keluarga lain 1 6.7 0 0.0 1 3.2

Karakteristik Keluarga Responden

Karateristik keluarga responden yang diteliti meliputi umur, jenjang pendidikan, jenis pekerjaan orang tua responden, jumlah anggota keluarga, dan pengeluaran keluarga (pangan dan non pangan). Selain itu, penelitian ini juga menilai pendapatan perkapita untuk menggambarkan kondisi ekonomi keluarga responden.

Umur Orang Tua

(35)

17

Tabel 6Sebaran responden berdasarkan umur ayah pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Tabel 7 memperlihatkan bahwa mayoritas responden kedua kelompok tersebut memiliki ibu berusia muda, yaitu pada rentang umur 20 30 tahun (61.3%). Menurut Santrock (2003), umur ibu responden berada pada rentang dewasa awal. Pada kedua kelompok penelitian tidak ditemukan ibu yang berumur lebih dari 50 tahun. Rata-rata total umur ibu adalah 30.7 ± 5.8 tahun. Rata-rata umur ibu kelompok RPO lebih tinggi dibanding rata-rata umur ibu kelompok kontrol, berturut-turut yaitu 32.3 ± 7.1 tahun dan 29.1 ± 5.8 tahun. Umur ibu antara kedua kelompok tersebut juga tidak berbeda (p=0.126).

(36)

18

Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ayah pada kelompok RPO dan kelompok kontrol pendidikan ayah, sebagian besar ibu menempuh pendidikan hingga bangku SD (71.4%). Ibu dengan pendidikan tidak tamat SD lebih tinggi dibanding ayah, yaitu sebesar 25%. Secara keseluruhan, pendidikan ibu tertinggi hanya mencapai tingkat SMP, yaitu terdapat 1 orang pada kelompok kontrol. Rata-rata total lama pendidikan ibu yaitu 5.6 ± 1.4 tahun. Tingkat pendidikan orang tua (terutama ibu) dapat memengaruhi bentuk pola asuh orang tua yang berdampak pada status gizi dan kesehatan anak. Srivastava et al. (2012) menyebutkan bahwa pendidikan ibu merupakan predictor kuat dari status gizi anak. Semakin tinggi tinggi pendidikan orang tua diduga semakin baik pula pengetahuan gizinya, sehingga status gizi anak lebih terjamin (Astari et al. 2005). Orang tua dengan pendidikan yang tinggi memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai peranan orang tua dalam mengasuh anak. Omokhodion et al. (2003) menyatakan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan rendah dapat menempatkan anak pada risiko penyakit. Menurut uji statistik, pendidikan ibu juga tidak memiliki perbedaan bermakna pada kedua kelompok tersebut (p>0.05).

Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Pendidikan

(37)

19

jenisnya terdiri atas, a) tidak berkerja, b) petani, c) pedagang, d) buruh tani, e) buruh non tani, f) jasa, dan g) lainnya.

Pada Tabel 10 terlihat bahwa lebih dari setengah total ayah responden memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani (55.3%). Urutan kedua adalah buruh non tani yaitu sebesar 17.3%. Pada kategori lainnya ditemukan sebanyak 3 orang ayah, sedangkan bidang jasa terdapat 2 orang ayah. Kategori pedagang, petani, dan tidak berkerja memiliki proporsi yang sama yaitu 3.4%. Secara keseluruhan, mayoritas ibu responden tidak berkerja (77.4%) atau sebagai ibu rumah tangga. Beberapa ibu berprofesi sebagai pedagang (12.9%) dan buruh tani (6.5%). Terdapat satu ibu responden kelompok kontrol yang tergolong kategori lainnya. Ibu yang bekerja dapat meningkatkan pendapatan per kapita keluarga, sehingga meningkatkan akses pangan dan kesehatan. Namun, ibu yang bekerja dapat mengurangi waktu ibu untuk mengawasi dan mengurus anak, sehingga dapat menurunkan status kesehatan anak (Gennetian et al. 2010; Srivastava et al. 2012).

Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan ayah dan ibu pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Jumlah anggota keluarga (JAK) adalah banyaknya individu sebagai anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga yang menunjukkan ukuran keluarga tersebut. BKKBN (1998) membedakan ukuran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga menjadi 3 kategori : keluarga kecil (1-4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar ( 8 orang). Variabel ini perlu diteliti karena terkait dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan setiap anggota keluarga, sehingga diduga dapat memengaruhi status gizi anak. Studi yang dilakukan oleh Ahmad et al. (2011) menunjukkan bahwa anak dengan kondisi normal memiliki ukuran keluarga yang kecil bila dibandingkan dengan anak-anak KEP (Kurang Energi Protein). Risiko gizi salah meningkat secara signifikan pada anak yang tinggal di dalam gabungan keluarga (joint families) (Srivastava et al. 2012).

(38)

20

Tabel 11 menunjukkan bahwa 61.3% total responden tergolong keluarga kecil dan sisanya, yaitu 38.7% merupakan keluarga berukuran sedang. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Jumlah anggota keluarga RPO Kontrol Total P value

n % n % n %

Pengeluaran keluarga adalah semua jenis pengeluaran terhadap konsumsi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pengeluaran keluarga dibedakan menjadi 2, meliputi pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Pengeluaran pangan meliputi bahan pangan pokok (beras), lauk pauk, sayur, buah, minyak goreng, minuman, jajanan, makanan atau minuman balita, dan lain-lain. Pengeluaran non pangan terdiri atas pengeluran untuk kesehatan dan kebersihan (imunisasi, suplemen, KB, pengobatan, perlengkapan kebersihan), pendidikan, pakaian, bahan bakar, rokok, dan lain-lain.

Secara keseluruhan, keluarga responden memiliki pengeluaran pangan lebih besar dibanding non pangan, berturut-turut adalah Rp 948 226.4 ± 352 484 dan Rp 722 626.8 ± 528 956.4 dengan rata-rata total pengeluaran sebesar Rp 1 671 910.1 ± 697 746.1 (Tabel 12).

Tabel 12Jumlah pengeluaran keluarga per bulan kelompok RPO dan kelompok kontrol

(39)

21

beda tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada pengeluaran keluarga kelompok RPO dan kelompok kontrol (p=0.470).

Pendapatan Perkapita Dan Kondisi Ekonomi Keluarga

Menurut BPS (2013), garis kemiskinan adalah representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan setara dengan 2100 kkal per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Garis kemiskinan provinsi Jawa Barat untuk wilayah perdesaan pada tahun 2013 adalah Rp 268 251 (BPS 2013). Kondisi ekonomi keluarga digambarkan dengan keadaan keluarga tersebut yaitu tergolong miskin atau tidak miskin. Keluarga digolongkan miskin dan tidak miskin berdasarkan pendapatan per kapita per bulan dengan garis kemiskinan sebagai pembanding. Keluarga tergolong miskin, jika pendapatan per kapita < Rp 268 251, namun jika pendapatan per kapita keluarga Rp 268 251, maka keluarga digolongkan tidak miskin. Pendapatan per kapita merupakan perbandingan antara total pendapatan keluarga selama satu bulan dan jumlah anggota keluarga yang ditanggung. Rata-rata total pendapatan per kapita keluarga responden adalah Rp 1 254 608.3 ± 1 472 389.4 per bulan. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga responden RPO dan kontrol berturut-turut adalah Rp 298 955.6 ± 254 849.8 dan Rp 373 559.5 ± 644 019.7 per bulan.

Data memperlihatkan bahwa jumlah keluarga miskin lebih banyak dibanding keluarga tidak miskin pada kedua kelompok penelitian. Pada kelompok RPO keluarga miskin sebesar 66.7%, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 68.8% (Tabel 13). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Munparidi (2010) menunjukkan bahwa alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan total keluarga. Semakin kecil pendapatan keluarga, maka pengeluaran pangan semakin besar. Sejalan dengan penelitian tersebut, hal serupa juga terlihat pada penelitian ini yang ditunjukkan oleh presentase pengeluaran pangan keluarga responden lebih besar dibanding pengeluaran non pangan, yaitu mencapai 59.4%. Terdapat hubungan positif antara status sosioekonomi dengan status kesehatan anak (Lindeboom et al. 2009). Hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin baik status sosioekonomi keluarga (pendapatan per kapita keluarga), maka diduga semakin baik pula status kesehatan anak. Hal ini berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan yang berkualitas serta akses dalam pelayanan kesehatan masyarakat.

Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan kategori keluarga miskin dan tidak miskin pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Kategori RPO Kontrol Total

n % n % n %

Miskin 10 66.7 11 68.8 21 67. 8

Tidak

(40)

22

Gizi dan Kesehatan

Pemeriksaan gizi dan kesehatan dilakukan secara langsung melalui pemeriksaan klinis oleh tenaga kesehatan dan wawancara kepada ibu responden. Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam dua minggu terakhir, mayoritas anak menderita demam (54.8%) dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebesar (48.4%). Penyakit lain yang pernah diderita adalah diare dan penyakit kulit. Penyakit tersebut lebih besar diderita pada kelompok kontrol, yaitu sebesar 12.5% (diare) dan 25% (penyakit kulit). Tabel 14 menunjukkan sebaran responden berdasarkan penyakit yang diderita dalam dua minggu terakhir pada kedua kelompok penelitian.

Tabel 14Sebaran responden berdasarkan penyakit yang diderita dalam dua minggu terakhir pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Jenis penyakit RPO Kontrol Total

n % n % n %

ISPA 8 53.3 7 43.7 15 48.4

Diare 1 6.7 2 12.5 3 9.7

Demam 9 60.0 8 50.0 17 54.8

Penyakit kulit 1 6.7 4 25.0 5 16.1

ISPA biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri yang menular melalui udara. Penyakit ini diawali dengan panas (demam) yang disertai oleh salah satu atau lebih gejala antara lain: tenggorokan sakit, nyeri saat menelan, pilek, batuk kering atau berdahak. Demam pada dasarnya bukanlah penyakit, melainkan gejala yang timbul akibat penyakit tertentu, terutama penyakit infeksi. Risiko demam pada anak di kawasan perdesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan perkotaan (Kandala et al. 2008). Hal ini diduga karena risiko penyakit, terutama penyakit infeksi di area perdesaan lebih besar.

Diare adalah gangguan buang air besar (BAB) ditandai dengan BAB lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai darah atau lendir. Diare akut didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi defekasi tiga kali atau lebih per hari yang berlangsung kurang dari 14 hari, bisa disertai mual, muntah, keram perut, gejala klinis sistemik atau malnutrisi (Thielman et al. 2004). Dampak lebih buruk dari diare adalah kematian, terutama pada kelompok yang rentan, seperti anak-anak. Kematian global akibat diare pada anak kurang dari lima tahun diperkirakan sebanyak 1.87 juta, sekitar 19% dari total kematian anak. Gabungan wilayah Asia tenggara dan Afrika yaitu sebesar 78% dari semua kasus kematian pada anak akibat diare dan 73% terkonsentrasi pada 15 negara berkembang (Pinto et al. 2008). Kemenkes (2013) melaporkan bahwa insiden diare pada kelompok usia balita di Indonesia adalah 10.2%.

(41)

23

WHO-Unicef 2006 (Kemenkes 2013). Rendahnya akses rumah tangga perdesaan terhadap fasilitas sanitasi dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, khususnya diare. Rendahnya pengetahuan ibu terhadap kejadian dan faktor risiko diare pada anak juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah anak penderita diare (Mohammed et al. 2012). Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengurangi prevalensi diare yaitu dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan meningkatkan kualitas air (Cairncross et al. 2010).

Lama hari sakit infeksi saluran pernapasan cukup beragam, hari sakit terpanjang yaitu 10 hari (3.2%), sedangkan terpendek hanya satu hari (3.2%). Penyakit diare terlama sekitar tujuh hari diderita oleh 3.2% total responden. Demam terparah dialami oleh 3.2% total responden selama 10 hari. Lama hari terendah penyakit ini adalah dua hari, sedangkan proporsi penderita terbesar yaitu pada kurun waktu 3 hari (19.4%). Penyakit lain yang cukup lama diderita adalah penyakit kulit yaitu selama satu minggu (12.9%). Tabel 15 menunjukkan sebaran responden berdasarkan lama sakit yang diderita dalam dua minggu terakhir pada kedua kelompok penelitian.

Tabel 15Sebaran responden berdasarkan lama sakit yang diderita dalam 2 minggu terakhir pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Jenis

Penyakit yang pernah diderita anak sejak lahir didominasi oleh penyakit ISPA (48.4%), diare (58.1%), dan demam (67.7%) (Tabel 16). Selain itu, penyakit kulit (29%), cacar (19.4%), amandel (6.5%), nyeri dada (3.2%), dan sakit perut (3.2%) juga pernah diderita. Tabel 15 memperlihatkan bahwa jumlah anak yang pernah menderita ISPA, diare, demam, dan penyakit kulit tidak jauh berbeda antara kelompok RPO dan kelompok kontrol, tetapi penyakit cacar hanya pernah diderita oleh responden RPO (40.0%).

(42)

24

mencegah penyakit tertentu. Vaksin adalah suatu bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan, seperti vaksin BCG, DPT, campak, dan melalui mulut seperti vaksin polio (Maryunani 2010). Lebih kurang sebanyak 50% total responden pernah mendapatkan imunisasi BCG, DPT, Campak, TT, dan polio. Namun, seluruh responden tidak pernah mendapatkan imunisasi hepatitis.

Tabel 16Sebaran responden berdasarkan penyakit yang pernah diderita sejak lahir pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Jenis penyakit RPO Kontrol Total

n % n % n %

ISPA 8 53.3 7 43.8 15 48.4

Diare 9 60.0 9 56.2 18 58.1

Demam 10 66.7 11 68.8 21 67.7

Penyakit kulit 5 33.3 4 25.0 9 29.0

Cacar 6 40.0 0 0.0 6 19.4

Asupan Energi, Protein, Lemak, dan Vitamin A

(43)

25

Tabel 17 Rata-rata asupan energi dan zat gizi sebelum dan setelah (selama) intervensi pada kelompok RPO dan kelompok kontrol, serta nilai p uji beda paired sample t test

Peningkatan rata-rata asupan energi pada kelompok RPO disebabkan oleh peningkatan rata-rata asupan protein (15.9%), lemak (6%), dan karbohidrat (12.4%). Sebaliknya, penurunan rata-rata asupan energi pada kelompok kontrol setelah intervensi merupakan akibat dari penurunan rata-rata asupan karbohidrat (40.9%), protein (13.1%), dan lemak (21.8%) selama masa tersebut.

Protein adalah senyawa kompleks yang terdiri dari asam-asam amino yang diikat satu sama lain dengan ikatan peptida (Muchtadi 2010). Protein amat penting bagi tubuh, karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, protein juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno 2008). Retinol binding protein (RBP) merupakan protein khusus (plasma carrier) yang berperan dalam proses transportasi retinol (Bychkova et al. 1998). Kekurangan asupan protein dapat menghambat metabolisme vitamin A, dikarenakan terganggunya sintesis enzim, RBP, dan reseptor (Ball 2004).

Rata-rata asupan protein pada kelompok RPO meningkat menjadi 31.4 ± 7.2 g, meskipun tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan sebelum intervensi. Sementara, rata-rata asupan protein kelompok kontrol menurun menjadi 19.9 ± 4.2 g. Sumber protein responden umumnya adalah telur ayam (6.9 g/butir), tempe (4.6 g/25g), ayam (4.2 g/40 g), dan ikan mas (5.1 g/40 g).

Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Selain itu, lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibanding protein dan karbohidrat. Satu gram lemak atau minyak menyumbang energi sebesar 9 kkal, sedangkan protein dan karbohidrat menyumbang sebesar 4 kkal per gram (Winarno 2008). Kecukupan asupan lemak merupakan faktor gizi yang dapat memengaruhi status vitamin A. Pemenuhan kebutuhan lemak secara esensial berguna dalam pembentukan misel dan sebagai alat transportasi vitamin A (Ball 2004).

Sebelum intervensi, rata-rata asupan lemak pada kelompok RPO sedikit lebih besar dibanding kelompok kontrol dan lebih besar lagi pada setelah intervensi. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan rata-rata asupan lemak pada kelompok RPO, tetapi sebaliknya pada kelompok kontrol. Rata-rata asupan lemak kelompok RPO meningkat menjadi 38.6 ± 7.5 g, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan sebesar 6.9 g.

(44)

26

karoten yang banyak terdapat bahan pangan nabati (Winarno 1997). Karoten merupakan provitamin A yang dapat diubah menjadi vitamin A oleh tubuh. Vitamin A berfungsi untuk memelihara kesehatan kornea untuk penglihatan, sel-sel epitel, dan membran mucus, kesehatan kulit, serta pertumbuhan tulang dan gigi. Vitamin A juga berperan dalam pengaturan dan sintesis hormon untuk reproduksi, sistem imun, dan pencegah kanker (Reinhard 1998).

Rata-rata asupan vitamin A mengalami peningkatan pada setelah intervensi baik kelompok RPO maupun kontrol. Sebelum intervensi, rata-rata asupan vitamin A pada kelompok RPO sebesar 302.4 ± 190.5 RE, lalu mengalami peningkatan sebesar 39.8% menjadi 422.7 ± 71.2 RE. Rata-rata asupan vitamin A pada kelompok kontrol sebesar 196.7 ± 84.2 RE pada sebelum intervensi dan mengalami penurunan sebanyak 13.7 % menjadi 223.6 ± 109.9 RE.

Pangan sumber vitamin A yang biasa dikonsumsi responden antara lain telur ayam dan mi instan, sedangkan provitamin A meliputi wortel, sawi, bayam, kangkung, dan daun singkong. Sebutir telur ayam berkontribusi sebesar 166.86 RE, sedangkan mi instan mengandung vitamin A sebanyak 105.75 RE per bungkus. Wortel mengandung vitamin A sebesar 158.4 RE/10 g, sawi 84.3 RE/10 g, bayam 64.9 RE/10 g, kangkung 66.1 RE/10 g, dan daun singkong 143.4 RE/10 g.

Konsumsi pangan sumber vitamin A dan provitamin A pada kedua kelompok penelitian berbeda baik dari jumlah maupun keragaman. Pada kelompok RPO jumlah dan keragaman konsumsi pangan tersebut lebih banyak dibanding kelompok kontrol. Hal ini diduga menjadi penyebab adanya perbedaan jumlah asupan vitamin A pada kedua kelompok tersebut. Faktor lain yang dapat menyebabkan perbedaan tersebut adalah konsumsi minyak goreng RPO pada kelompok RPO.

(45)

27

Tabel 18Rata-rata asupan energi dan zat gizi sebelum dan setelah (selama) intervensi pada kelompok RPO dan kelompok kontrol, serta nilai p uji beda independent sample t test

Jenis Asupan

Sebelum Setelah

RPO Kontrol P value RPO Kontrol P value

Energi

(kkal) 1123 ± 398 1184 ± 288 0.633 1264 ± 214 906 ± 198 0.000 Protein (g) 27.1 ± 13.4 22.9 ± 4.9 0.265 31.4 ± 7.2 19.9 ± 4.2 0.000 Lemak (g) 36.4 ± 16.5 31.7 ± 7.6 0.326 38.6 ± 7.5 24.8 ± 6.9 0.000 Vitamin A

(RE) 302.4 ± 190.5 196.7 ± 84.2 0.063 422.7 ± 71.2 223.6 ± 109.9 0.000

Angka kecukupan gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh, dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat

kesehatan yang optimal. Responden penelitian berumur 7−9 tahun, sehingga

memiliki angka kecukupan zat gizi yang sama berdasarkan AKG 2012. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi merupakan rasio rata-rata asupan energi dan zat gizi per hari terhadap kebutuhan energi dan zat gizi yang telah dikonversi menurut angka kecukupan gizi. Gibson (2005) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein menjadi 5 kategori sebagai berikut : defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70−79%), defisit tingkat ringan (80−89%), normal

(90−119%) dan kelebihan (≥120%). Kebutuhan lemak orang normal dalam sehari yaitu sebesar 10−25% dari kebutuhan energi total (Almatsier 2004). Tingkat kecukupan zat gizi mikro dibedakan menjadi dua, yaitu kurang (<77%) dan cukup

(≥77%) (Gibson 2005).

Secara umum, rata-rata tingkat kecukupan energi (TKE), protein (TKP), dan vitamin A (TKVitA) responden kelompok RPO mengalami peningkatan meskipun belum mencapai batas normal (Gambar 3). TKE dan TKP responden RPO tergolong defisit tingkat berat pada sebelum intervensi, namun meningkat menjadi defisit tingkat sedang setelah intervensi. TKVitA mengalami peningkatan yang cukup tinggi setelah intervensi, sehingga tergolong dalam kategori cukup

(46)

28

Gambar 3 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi sebelum dan setelah (selama) intervensi pada kelompok RPO

Rata-rata TKE dan TKP responden kontrol menurun pada setelah intervensi, tetapi sebaliknya pada TKVitA (Gambar 4). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa asupan energi dan zat gizi belum mencukupi menurut angka kecukupan yang seharusnya. Pada sebelum intervensi, TKE kelompok kontrol tergolong defisit sedang (>70%), lalu semakin menurun saat setelah intervensi. Begitu pula dengan TKP. Setelah intervensi, TKVitA sedikit mengalami peningkatan (39.35% menjadi 44.7%), namun masih tergolong kategori kurang. Hal ini disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan zat gizi responden kontrol dari makanan sehari-hari.

(47)

29

Tabel 19 memperlihatkan bahwa tingkat kecukupan energi sebagian besar responden kelompok RPO dan kontrol pada sebelum intervensi tergolong ke dalam kategori defisit berat, yaitu 46.7% (RPO) dan 62.5% (kontrol). Sebesar 33.3% responden RPO tergolong defisit ringan dan 20% tergolong normal. Responden kategori normal pada kelompok kontrol lebih besar dibanding kelompok RPO yaitu 31.2%, sedangkan sisanya (6.3%) termasuk kategori defisit ringan. Setelah intervensi, terdapat perbaikan pada kelompok RPO, tetapi tidak pada kelompok kontrol. Terjadi penurunan jumlah responden RPO pada kategori defisit berat sebesar 20% dan defisit ringan sebesar 13.3%, sedangkan pada kategori normal tidak berubah. Penurunan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah responden RPO pada kategori defisit sedang dari 0% menjadi 33.3%. Jumlah responden kontrol pada kategori defisit berat justru meningkat saat setelah intervensi hingga mencapai 81.2%. Peningkatan ini diakibatkan oleh jumlah responden kontrol kategori normal yang turun dari 31.2% menjadi 6.2%. Banyaknya responden kontrol dengan kategori defisit berat tentu dapat memengaruhi rata-rata TKE kelompok kontrol.

Tabel 19 Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah intervensi menurut kategori tingkat kecukupan energi

(48)

30

Tabel 20Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah intervensi menurut kategori tingkat kecukupan protein

TKG Kategori

Berdasarkan kebutuhan lemak harian, mayoritas responden RPO dan kontrol memiliki TKL pada kategori cukup baik sebelum maupun setelah intervensi. Pada sebelum intervensi, ditemukan pula responden dengan kategori TKL berlebih, yaitu 33.3% (RPO) dan 6.2% (kontrol), sedangkan kategori kurang sebanyak 13.3% (RPO) dan 6.2% (kontrol). Tabel 21 menunjukkan bahwa TKL kelompok RPO cenderung membaik yang ditandai dengan meningkatnya jumlah responden kategori cukup (73.3%) dan menurunnya jumlah responden kategori kurang (0.0%) pada setelah intervensi, sedangkan kelompok kontrol sedikit mengalami penurunan pada kategori cukup yaitu 68.8%. Asupan lemak sangat dibutuhkan dalam proses penyerapan vitamin A. Ball (2004) menyatakan bahwa absorpsi retinol dan karotenoid akan lebih rendah ketika asupan lemak dari makanan sangat kecil, yaitu kurang dari 5 g per hari.

Tabel 21Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah intervensi menurut kategori tingkat kecukupan lemak

TKG Kategori

(49)

31

Tabel 22Sebaran responden kelompok RPO dan kontrol sebelum dan setelah intervensi menurut kategori tingkat kecukupan vitamin A

TKG Kategori

Rendahnya tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan vitamin A secara langsung dipengaruhi oleh kurangnya jumlah asupan energi dan zat gizi tersebut dari makanan yang dikonsumsi. Hal itu merupakan akibat adanya perubahan pola makan responden yang cenderung menurun pada saat setelah intervensi, terutama pada kelompok kontrol. Sebelum intervensi, responden kontrol sering mengonsumsi biskuit, roti, dan susu. Selain itu, juga terdapat bias dalam menentukan jumlah gram bahan pangan menurut URT (ukuran rumah tangga) pada enumerator yang berbeda terutama jenis bahan pangan pokok seperti nasi goreng. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah perbedaan standar AKG yang digunakan dalam penelitian ini. Bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti Filipina, AKG di Indonesia relatif lebih tinggi. Pada kelompok umur yang sama (anak umur 7−9 tahun), energi, protein, dan vitamin A pada AKG Indonesia lebih tinggi dibandingkan AKG Filipina, sedangkan angka kecukupan lemak di negara tersebut belum ditentukan (Tabel 23).

Tabel 23 Perbandingan angka kecukupan energi, protein, lemak, dan vitamin A menurut AKG Indonesia dan Filipina pada kelompok anak umur 7−9 tahun

Jenis asupan aAKG 2002 Filipina bAKG 2012 Indonesia

Energi (kkal) 1600 1850

Protein (g) 43 49

Vitamin A (RE) 400 500

Sumber: aBarba dan Cabrera (2008) b

Hardinsyah et al. (2013)

Konsumsi Minyak Goreng

(50)

32

Tabel 24Rata-rata konsumsi minyak goreng per hari serta kontribusi rata-rata vitamin A minyak goreng tersebut pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Responden kelompok kontrol mengonsumsi rata-rata minyak goreng kontrol sebanyak 12.9 ± 4.7 g/hari, sedangkan kelompok RPO mengonsumsi rata-rata minyak goreng RPO sebanyak 21.1 ± 4.2 g/hari. Selain itu, kelompok RPO juga mengonsumsi minyak goreng curah non intervensi yaitu sebanyak 0.2 ± 0.6 g/hari. Kecilnya jumlah konsumsi minyak goreng non intervensi disebabkan responden cenderung lebih sering mengonsumsi jajanan selain gorengan, seperti biskuit, chiki, roti, mi instan, atau minuman teh. Rata-rata konsumsi minyak goreng responden RPO sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Martianto et al. (2005), yang melaporkan bahwa rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita orang dewasa di Indonesia adalah 23 g/hari. Rata-rata konsumsi minyak goreng responden kontrol relatif kecil karena diduga dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan dan kebiasaan jajan responden yang tergolong rendah. Minyak goreng RPO menyumbang vitamin A sebesar 53.4 ± 10.5 RE (10.7 % dari angka kecukupan vitamin A pada anak usia 7–9 tahun). Tabel 24 menunjukkan adanya perbedaan jenis minyak goreng yang dikonsumsi oleh kedua kelompok responden penelitian yaitu minyak goreng intervensi (minyak goreng RPO dan minyak goreng kontrol) dan minyak goreng non intervensi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah nyata vitamin A yang berasal dari minyak goreng RPO. Sama halnya dengan kelompok RPO, responden kontrol pun juga mengonsumsi minyak goreng non intervensi. Namun, jenis minyak goreng tersebut tidak dibedakan karena baik minyak goreng kontrol maupun minyak goreng non intervensi tidak memberikan kontribusi vitamin A.

(51)

33

Tabel 25 Rata-rata konsumsi minyak goreng per hari sebelum dan setelah intervensi pada kelompok RPO dan kelompok kontrol

Kelompok Konsumsi minyak goreng (g) P value

Sebelum Setelah

RPO 14.4 ± 8.9 21.4 ± 4.1 0.013

Kontrol 14.2 ± 7.8 12.9 ± 4.5 0.598

P value 0.957 0.000

Hasil uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan konsumsi minyak goreng antara kelompok RPO dan kontrol (p = 0.957) pada sebelum intervensi, tetapi terlihat perbedaan yang nyata antara keduanya pada saat setelah intervensi (p = 0.000). Hal ini dikarenakan rata-rata konsumsi minyak goreng kelompok RPO meningkat cukup besar setelah intervensi, sehingga tampak adanya perbedaan konsumsi minyak goreng yang signifikan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok tersebut (p = 0.013). Penurunan rata-rata konsumsi minyak goreng pada kelompok kontrol tidak terlalu besar, sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p = 0.598). Rata-rata konsumsi minyak goreng responden RPO meningkat disebabkan anak gemar mengonsumsi makanan (lauk) yang menyerap banyak minyak goreng, seperti ikan mas, daging ayam, dan tempe. Sepotong tempe sedang (25 g) dapat menyerap minyak goreng sebanyak 6 g, ikan mas (75 g) menyerap minyak goreng sebanyak 15 g, dan daging ayam (40 g) menyerap sebanyak 6.4 g. Faktor lain yang juga diduga dapat menyebabkan perbedaan tersebut adalah jumlah food recall antara sebelum dan setelah intervensi. Pada sebelum intervensi, food recall hanya dilakukan 2 x 24 jam, sedangkan setelah intervensi 8 x 24 jam. Semakin sering food recall dilakukan, maka hasil yang didapat akan mendekati gambaran pola konsumsi anak sebenarnya. Jika food recall pada saat sebelum intervensi menunjukkan bahwa anak mengonsumsi makanan yang tidak terlalu banyak menyerap minyak goreng, maka rata-rata konsumsi minyak goreng anak tidak terlalu besar.

Pengaruh Intervensi Minyak Goreng RPO terhadap Kadar Retinol Serum

Retinol merupakan bentuk vitamin A utama yang disirkulasikan di dalam darah (VMNIS 2011). Hati akan melepas retinol dengan perbandingan 1:1 terhadap protein pembawa (RBP), apabila jaringan membutuhkan. Kadar serum retinol mencerminkan simpanan vitamin A hati hanya ketika dalam kondisi kekurangan secara ekstrim (depleted) yaitu <0.07 mol/L (20 g/dL) atau lebih secara ekstrim (> 1.05 mol/L) (Gibson 2005). Diantara kondisi ekstrim tersebut, retinol serum dikontrol secara homeostasis. Oleh karena itu, kadar retinol serum tidak selalu berkorelasi dengan asupan vitamin A atau gejala klinis akibat defisiensi (VMNIS 2011). Banyak indikator biokimia status vitamin A lain yang dapat dinilai, tetapi retinol serum cenderung dipilih sebagai indikator untuk menilai defisiensi vitamin A tingkat populasi dan merupakan indikator biokimia status vitamin A terbaik (de Pee dan Dary 2002).

Gambar

Gambar 2 Minyak goreng intervensi
Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin pada kelompok RPO dan kelompok kontrol
Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan urutan kelahiran anak pada kelompok RPO dan kelompok kontrol
Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan pengasuh anak (selain ibu) pada kelompok RPO dan kelompok kontrol
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Guru memberikan contoh ekspresi untuk bertanya jawab dengan siswa yaitu contoh- contoh pertanyaan yang menanyakan like dan dislike.. - Siswa secara berpasangan

Napsu badan jeung sagala panga- jakna teh ku jelema anu geus jadi kagungan Kristus Yesus mah geus Ka pan urang teh geus maot tina dosa, piraku bisa keneh hirup dina

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif terjadi pada partisipan karena pemberian uang saku dari orang tua yang dapat dibelikan sesuatu

Oman Sukmana, M.Si selaku Kepala Jurusan Program Studi Kesejahteraan sosial sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, dukungan serta motivasinya

yang terjadi akibat gesekan antara drillstring dan formasi. Sumur X-01 merupakan sumur vertikal pada lapangan X yang akan dilakukan pemboran horizontal re-entries dengan membuat

Jumlah pertanyaan yang digunakan dalam Kuesioner yang digunakan adalah 25 pertanyaan dengan 6 pertanyaan pada dimensi Kualitas Sistem, 4.. pertanyaan pada dimensi

Mengenai kebenaran beliau, Hadrat Masih Mau'ud ‘alaihis salaam menulis: 'Aku melihat bahwa orang yang mau mengikuti alam dan hukum alam telah diberikan kesempatan bagus oleh

Pemberitaan yang disajikan Kompas juga lebih bersifat langsung (Straight news) dan memperlihatkan pengelolaan pemerintah terkait pariwisata, dibandingkan dengan media