Proriding Ienrinor Nariaool Teknologi inovati1 Porroponen uotuk Pengembao~on lndurtri Berbaris Pertanion
TANTANGAN KEBERLANJUTAN SISTEM AGRIBISNIS UBI JALAR
DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN
Y u d i Widodo, Erliana Ginting dan Nila Prasetyanti
Sebagai [~c~igllasil k;~rbollicl~.i~l yi~tig dilengkal~i kccukupi~~i v i t i l ~ n i ~ l A dill1 C sertil tni11~1.al. ubijiilil~- bukan saja sesuai u~ituk ballan pangan segar, tetapi juga nienarik u11tok diproses dalan~ induslri serta pakan. Luasnya penggunaan ubijalar tersebut sesungguhnya dapat sebagai pemicu dan pemacu sisteni agribisnis yang berkelanjutan. Keberlanjutan sistem agribisnis sekaligus merupakan bukti bahwa petani terbina kesejahteraannya; sebaliknya sistem agribisnis yang tidak mampu membina kesejahteraati petani akan terbinasakan, karena ditinggalkan oleh petani untuk mencari patron yang mampu menyejahterakan. Dalam sistem agribisnis ubijalar, petani yang berada di hulu sebagai penyedia bahan baku pada subsistem budidaya menghadapi masalah yang tidak mudah untuk diatasi. Penyediaan bibit, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan serta munculnya masalah gangguan fisik kekurangan air atau sebaliknya, gangguan hama penyakit serta
'
tetap menjaga kesuburan tanah untuk waktu panjang sudah sangat menyita waktu, tenaga dan biaya petani di subsistem budidaya. Oleh karena itu, sungguh sangat tidak manusiawi apabila subsistem yang berada di hilir (pemasaran dan pengolahan) justru menjadi agensia yang melucuri hak petani untuk meraih kesejahteraan, akibat mengejar keuntungan jangka pendek semata. Komersialisasi dalam agribisnis memang menjadi aksioma, tetapi jangan justru di sisi lain memperpanjang petani tetap pada kondisi subsisten, artinya sebagian waktu dan tenaga guna beraktivitas hanya cukup untuk mengisi perut. Kebijakan yang diperlukan untuk keberlanjutan agribisnis ubijalar yang berpihak petani, tanpa nierugikan agensia petnasaran dan pengolahan seharusnya dikukuhkan dalam bentuk kemitraan. Dengan pola kemitraan ini, dapat dicegah kejenullan pasokiltl, yang bcrakibat pada ke~nacctan pnsar dan lcbili fatal lagi tidnk berhargn (tidak laku). Pada pola ke~nitraan, l~ak dan kewajiban para pelaku agribisnis akan dituangkan dala~n bentuk kontrak atau petjanjian yang mengikat tetapi tidak tnemaksa. Dengan detnikian dari awal petani akan sadar dan faham taraf liarga yang akan diterimanya, sehingga berapa luas lahan yang akan ditanami serta tirigkat produktivitas yang ingin dicapai menjadi tanggung jawabnya. Membangun pola kemitraan yang sangat transparan justru ~nenghilangkan keunikan agribisnis. Asimetri infortnasi akan lenyap dengat) transparansi, padnhal itu adalali kunci pemikat subsistem pengolahaii dan pemasamii.
K t ~ t a k u ~ ~ c i : kebijaknn, keberln~ijutan, agribisnis ubijalar
ABSTRACT
Aside as potential source o f carbohydrate sweet potato is also as supplemental of vitamin A and C as well as mineral, therefore this crop is not only suitable for source o f food, but it is also interesting to be processed for food industry and feed as well. In fact the broaden utilization of sweet Qotato is triggering and driving factor to attain the sustainable agribusiness. In reality, the sustainable agribusiness is a fact proofing that i t enterprise was able to support fanners' welfare; in the contrary whenever an agribusiness enterprise was not able to contribute farmers' welfare, it
will be neglected by farmers then finally the enterprise will collapse. Farmers are always looking for the patron that able to guarantee the assurance o f welfare. In the sweet potato agribusiness system, farmers' position i s in upward that directly facing many difficult problems in order to provide sufficiently the raw material for agro-industry. The preparation o f good quality of seedling, soil tillage, planting, fertilizer amendments, physical interference due to drought and on the contrary under excessive water, and maintaining the soil fertility in the long run are the challenges faced by fanners that require cost, labor and time consuming for sweet potato cultivation. Therefore, whenever the downward subsystem especially processing and marketing did not pay reasonable attention due to the greedy desire to get maximum profit, which is not humanistic. Because, as the continuum upward and downward is not match, even more the
Prosfding Semlnar Norlonol Teknologl InawtllPorcoponen untuk Pengembangon lodurtrl Berborlr Pertonlon
downward exploiting the upward right in order to attain better welfare. It could be understood, if commercialization under agribusiness as rule of thumb, however to sustain this endeavor farmers as victim that living under subsistence and poverty has to be terminated. The policy oriented to farmers' welfare without a n y distortion to the ~narketing and processing enterprises could be developed by promoting the partnership system. By promoting the partnership establishment, the saturation of supply could be avoided; therefore the drop of price and/or price u p incredibly could be alleviated. By establishing the partnership, a right as well as a duty of each stakeholder could be shared into the equity of shareholder in the form of memorandum of agreement (MoA). A strong commitment of each sliareholder is highly required to sustain agribusiness of sweet potato. Fortunately, by MoA farmers will have better understanding of the price level, so how many area will be planted by sweet potato with level of productivity could be planned, because these are their responsibilities. Developing very transparent of agribusiness will erase its uniqueness. Asymmetrical information will subsequently go away by transparent, in fact this is the key attractant for agribusiness especially processing and marketing.
Keywords: policy, sustainability, sweet potato agribusiness
PENDAHULUAN
Agribisaiis menjadi pilihan pemerintah (Departemen Pertanian) untuk dijadikan wallana (bukan Iia~lya sekedar wacana) guns menyejahterakan petalii dan masyarakat lainnya. Sebagai sebuah fakta agribisnis nlerupakan stlatit siste~n ko~nplek yang menyangkut berbagai aspek dan saling terkait. Pensederlia~iaan sisteln agribisnis ke dalaln empat subsiste111 dimaksudkan agar parameter agribisnis lebih dapat diaktualisasikan secara nyata (Budianto, 2002). Oleli karena it11 pengalaman selama ini, ketika praksis agribisnis dianggap i~iemuat anasir potensial tentang hajnt liidup petani dan masyarakat luas lainnya, ~naka seharusnya yalig mengejakan tidak cukup Iianya Departemen Pertanian saja. Departemen lain seperti Perdagangan, Pekeriaan umum, Perhubungan maupun Dalam Negeri selayak~iya juga tcrlibat. Meskipull artikulasi tentang kerjasama interdisiplin dan antar sektor sangat kuat, namun faktanya kerjasama antar lembaga masih merupakan matra yang langka, sehingga masing-masing lembaga terkesan bekerja sendiri-sendiri. Tanpa mengabaikan hasil yang telali dicapai selama ini, tampaknya praksis agribisnis ubijalar perlu dibenahi agar ke depan dapat memberikan sumbangsih yang proporsional terhadap kesejahteraan petani.
Meskipon dari aspek llutrisi telali sangat difaha~ni baliwa i~bijalar bukan hanya sumber karbollidrat, melainkan juga k?y? vitamin A dan C serta ininera1 (Bradbury dan
'
Holloway, 1988; Takagi, et al., 1996); tetspi dulunya ko~noditas ini lianya scbagai balian pangan sampingan (Winarno, 1982), kecuali di kawasan timur Indonesia klitlsusnya Papua ubijalar dijadikan makanan pokok dan sisanya sebagai pakan ternak (CIP, 2000; 2001). Taraf agribisnis ubijalar sebagai ballan pangan sampingan di berbagai wilayall Indonesia maupun bahan pangan pokok di Papua dapat dinyatakan masih sederhana, karena hanya meliputi penanaman dengan input rendah, kemudian hasil panen dipasarkan untuk konsumsi lokal. Bahkan di pedalaman Papua hingga akliir tahun 1980an masih dikenal pasar tradisional ubijalar dengati sistem tukar menukar barang (barter). lni berarti baliwa kebijakan yang diperlukan tidak dapat digeneralisasi, seliingga diperlukan pemaliaman yang cer~nat di inasing-masing wilayali giltla inenghadirkan kcbijakan spesifik yang solutif sesuai masalali yang dihadapi.
Proriding Seminar Norionol Teknoloqi ioovati/ Poscopaoen untuk Pmqembanqan lndurtri Berborir Pertanion
P E R K E M B A N G A N A G R I B I S N I S U B I J A L A R
Widodo (2005) menguraikan bahwa agribisnis ubijalar terkait dengan taraf kematangan (kedewasaan) budaya masyarakat. Pada nlasyarakat subsisten seperti d i pedalaman Papua, agribisnis ilbijalar tentu berbeda dengan masyarakat d i Jawa yang telah ~nemasuki ko~ncrsiaIis;lsi. I'crbedaan budaya dillam pc~i~enulian kebutul~an dasar untuk hidup mempengarul~i perke~iibangan agribisnis ubijalar. D i Papua yang dipengari~hi oleli tradisi berburu dan mengumpulka~~ ballan pangan secukupnya, cenderung bertalian pada ko~idisi subsistensi sebagai konsekue~lsi agribisnis atau tingkat komersialisasi ubijalar relatif lamban. Adapun d i Jawa tradisi agraris dengan niengusahakan komoditas secara ajeg (continue) yang berorientasi hasil tinggi, mempercepat proses komersialisasi dan lebih dinamis. Menurut Suparlan (1992) masyarakat miskin kota, termasuk Jakarta juga menggunaka~l ubijalar sebagai bahan pangan cadangall, ketika harga beras malial. Kenyataan ini menunjtikkan bahwa di kawasan yang tingkat komersialisasinya tinggi dengan ditunjang infrastruktur yang ~nemadai terdapat pula masyarakat dengan kehidupan subsisten, al-tinya l~idupnya lianya sebatas inencari kcperluan perut, itupun pada kondisi kekurangan (miskin). Perkembangan agribisnis ubijalar d i Jawa didorong oleli sisi agroindustri (pengolahan) ubijalar dalam beraneka bentuk produk. Awalnya sekitar pertengallan taliull 1970an ubijalar dalam agroindustri Ilanya digunakan sebagai bahan pencampur (supplement) saus tomat, tetapi dalam perkembangannya menjadi bahan utama. K i n i bentuk olalian ubijalar telall sangat bervariasi dari ice cream, minuman (juice), kripik, niie dan aneka kue lainnya. Meskipun produk olahan ubijalar sangat beragam, tetapi muara akl~irnya menyempit dan hanya pada satu yaitu mulut. Artinya agroindustri dan komersialisasi (agribisnis) yang berkembang selama ini masih sebztas u ~ ~ t i ~ k meningkatka~~ selera da11 memperbanyak j t ~ m l a h ubijalar yang dimakan (Ilurnan consumption). Akibatnya manfaat lain selain pangan, seperti industri pakan, kosmetik dan
far~nasl belull1 terga~ap.
Atas dasar fakta di atas, secara paradigmatik seperti tidak terdapat perbedaali antara agribisnis i~b(jalar di Papila da11 Jawa, karena sama-sa~na untuk pangan. Namun demikian, cam pe~lyiapnn a~t:~u pengolal,ati (algroindustri) menji~di produk yang siap s a j i
dan santap inendorong cu~nbullnya lapangan dan kesenlpatan kerja (Tabel I ) . Fnkta ini dapat disimak di Jawa dan kini juga berkembang d i L a ~ n p u n g hingga Sutiiatera Utara. Sedangkan di pedalania~l Papua, cara tradisional pengolallan i~bijalar lianya 'bakar bntu' dan itu berkembang hingga saat ini. Padalial cara bakar bat11 ini kurang atau balikan tidak ramall lingkungan, sebab inenlerlukan jumlali kayu yang setiap llarinya tidak sedkit. Kenyataan ini tentu dapat mengancam kelestaria~i liutan di dataran tinggi Papua, karena setiap hari kayu dipotong dari pohon dan hutan yang pertumbuhannya lamban. Kayu selain untiik bakar bat11 juga sebagai sumber pengl~angat (pemanas) dan penerang di inala~n hari bagi masyarakat 'koteka' di pedalaman Papua, khususnya dataran tinggi yang temperaturnya sekitar IOUC. Untuk iiierubali tradisi sekaligus membangun agroindustri ubijalar d i Papua tidaklah mudah, sejak awal 1980an LIPI, BPPT telah mencoba ~nenyajikan inovasi baru guna merubah tradisi, tetapi kenyataannya llingga saat ini beberapa proyek hanya tinggal sebagai monumen saja dan masyarakat tetap meneruskan tradisinya. Pabrik tepung ubijalar di Horn-horn Wamena yang dibangun bekerjasama dengan IPB akhimya juga menamball jumlali monumen, sebagai bukti dari kurang cermatnya perencanaan dan pemahaman situasi setempat. Oleh karena itu 'untuk membangun agribisnis ubijalar bagi masyarakat di Papua diperlukan sebuah pendekatan kliusus. Pada pertengallan 1990an hingga memasuki lnilenium ketiga (2003) dilakukan kegiatan dengan pendekatan partisipatif untuk membangun pertanian yang berkelanjutan dari tradisi berburu dan berladang berpindali me~ijadi bertani menetap dan berternak. Sistem latilian dan kunjungan (training and v i s i t T V ) bagi para kepala suku ke Maluku dan Jawa untuk bela.jar pertanian yang menetap dan secara bertahap meninggalkan tradisi
berburu dan ladang berpindah. Sistem TV memerlukan beaya besar dan waktu untuk proses penyebaran informasi (difusi) dari kepala suku ke anggota masyarakatnya. Selain itu, atas dasar TV ini para kepala suku termotivasi untuk ~iienerapkan inovasi baru yang dililiat dan dialaminya selama sekitar 1,5 bulan. Sistem wanatani (agro-forestry) ubijalar di bawah tegakan pinus, tumpangsari ubijalar dengan jagung dan tanaman pangan lainnya sebagai pilar agribisnis di Jawa juga dipelajari. Ketidak-paduan maupun ketidak- konsistenan program antar departemen menyebabkan perkembangan agribisnis ubijalar dan ketalianan pangan secara kliosus juga terjadi stagnasi. Di Paptta krisis 1997 deraannya diperparal, oleh bencana kekeringan yang ~ n e ~ ~ i r n b t ~ l k a n kclaparati dan korban jiwa. Kondisi tersebut mendorong jaring pengaman sosial (Social srfery pier) dengall program bantuan pangan (World F o o d Progran~) memberikan bahan pangan pokok, berupa beras yang dinilai lebih praktis (Sawit, 2002). Dampaknya sudah dapat diprediksi yaitu melemah dan rapuhnya sistem ketahanan pangan ~nasyarakat yang berbasis ubi- ubian (khususnya ubijalar). Lebih parah lagi, apabila d i masyarakat yang bermukim pada agroekosistem seperti pedalaman Papua terlalu bergantung pada beras maupun terigu, sebagaimana benh~k pangan yang diperbantukan. Olell karena itu inlplementasi ketalianan pangan perlu diperkaya dengan kedaulatan pangan, artinya memperhatikan kondisi bio- fisik setempat serta kearifan lokal yang telah me~ijadi tradisi. Dengan demikian, terwujudnya kedaulatan pangan dipastikan dapat me~icegal~ dan menangkal terjadinya rawan pangan.
P E R C E P A T A N A G R I B I S N I S D E N G A N I N O V A S I
Agribisnis ubijalar sebagai pilar ulituk melnperkokoli ketalianan pangan harus terus dibangun (Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2003). Pengalaman d i Paptta, bantuan pangaci ber~tpa beras dalam jangka panja~ig akan t n c r u n t ~ ~ l l k a ~ l sistem ketalianan pangan. Kenyataan ini lneskipun berawal dari gaga1 panen itbijalar sebagai balian pangan pokok akibat kekeringan dan penyakit busuk ubi, tetapi bantuan beras meni~nbulkan persepsi yang lain. Masyarakat penerima bantuan tanpa penjelasan lnemadai, dan di sisi lain terdapat ulisur politis menyebabkan rnereka semakin bergantung pada bantt~an. Krisis pangan bagi masyarakat pcdala~ilnn Papun aka11 scl;~lu l~cr~tlang..iika c ; ~ r i ~ p c n a n g a ~ i a ~ i ~ ~ y a n~asih parsiiil. Ua11lu:ln P~III~:II~ bcrul~il befils i ~ w i l l t l y i ~ lidilk dist~kai
masyarakat lokal. karena tidak sesuai dengall cara bakar hatu scbagainia~ia yang r l i l w p k e ~ l p:itln ~thi-\~hi:in. N;ni1111i dcnliki;lli, hcr;ls lcrsehi11 ( I i l ~ r i ~ ~ l ; ~ (I~III dij11i11 IIII~II~ ditukarkan ke t~boalar. Ke~nudahan ~ncmpcrolell b a l ~ t l t a ~ ~ nicnycbabka~l ~notivasi masyarakat untuk berkebun ubijalar mengendur, yang berakibat menurunnya hasii pnneli dan di sisi lain permintaan tetap tinggi. Oleli karena itu, pada siluasi seperti itu harga ubijalar menjadi meningkat tiga kali lipat disbanding harga beras. Saat harga beras murah (Raskin) Rp 10001kg harga ubijalar di Wa~nena mencapai Rp 3000lkg. Berbeda dengan yang dikemukakan oleli Rozi dan Raclimat (2001) bahwa pasar ubijalar terintegrasi, ternyata untuk wilayali pedalaman Papua yalig bergunung-gunong pasar yang terintegrasi sulit diwujudkan. Hal ini tampaknya sebagai akibat kurang baiknya sarana transportasi serta arus informasi atau komunikasi. Sebagai contoh jarak antara Wamena (ibukota kabupaten) dengan Kurima (kecamatan) maupun Userem (desa) sekitar 20-35 km, tetapi perbedaan harga sangat mencolok. Usere~n dengan Kurilna lianya dapat ditelnptlll dengan ' jalan kaki, selnentara untuk K u r i ~ n a ke Wa~nena kendaraan bermotor roda empat juga dapat, jika kocidisi jembatan tidak putts ole11 taliall longsor akibat llujan deras. Sembari terus mengupayakan pembangunan prasarana dan sarana transportasi yang ~nenggunakan bahan bakar motor, sesungguhnya sejak lama melalui berbagai diskusi penulis menyarankan untuk mengembangkan transportasi jasa hewan, seperti sapi, kuda atau lama (sejenis keledai d i Amerika Latin). Dengan cara de~nikian beban kerja masyarakat pedalaman Papua menjadi berkurang. Inovasi dalam sistem transportasi ini secara
Proriding Sembor Norionol Tekwiogi Inowlif Parcaponen untuk Pengembongan Indu$lrl Berbosir Pertonion
tampaknya seiring dengan tradisi bakar batu. Kombinasi tu~npatigsari ubijalar, jagung dan
talas dapat menyediakan pangan mulai dari umur sekitar 60-75 hari diawali dengan panen
jagung dikonsumsi masak susu hingga menjelang masak fisiologis; kemudian ubijalar
dipanen secara bertaliap dari umur 4-8 bulan; dan talas dipanell 8-12 bulan. lnovasi
polatanam ini akan dapat meningkatkan efisiensi pematifaata~i lalian dan sekaligus
~iiencegali peramballan hutaci t ~ ~ i t u k
lading berpindah. Tercbih penti~ig lagi adalali
terciptanya ketahanati pangan yang tnandiri d a ~ i berdat~lat. lnovasi teknologi dalam
subsistem budidaya pada sisteln agribis~iis i~bjjalar bagi masyarakat pedalanian Papua
Iiart~s sctiantiasa dipcrsiapkan sccara ccrmat, mc~igi~ig:~t
koli(lisi ;ig~.ockosislcm yang
bergunung-gunung merupakan kendala fisik yang berat. Sistem wanatani antara pohon
(penghasil kayu maupun tanaman perkebunan seperti kopi) dengan i~bijalar maupun
tanaman pangan lain perlu terus digalakan guna membangt~n agribisnis yang terintegrasi.
Dari aspek sosial, tingginya kohesivitas sosial dalam suku-suku yang ada, memerlukan
pemaliaman ekstra hati-hati agar inovasi teknologi yarig diintroduksikan tidak
menimbulkan konflik baru yang dapat memicu kekacauan atau bahkan disintegrasi.
Jangan sampai tumbuh kesan baliwa agribisnis yang dikembangkati di pedalamati Papua
justru hanya akan memperkaya masyarakat pendatang (rambut lurus), sedangkan
masyarakat asii Papua hanya akan tetap diekploitasi untuk niencukupi balian baku atau
sebagai pasar bagi sarana produksi dari luar (exlernal itt/>ut). Pola partisipatif dari
perenca~iaan hingga pelaksanaan serta evaluasinya perlu diba~igt~ii
u ~ i t t ~ k
~iie~nbualikan
praksis agribistiis yang berpiliak pada masyarakat Papt~a
(Widodo, et al., 2000).
lnovasi baru dalam pengembangan agribisnis tidak saja diperlukan bagi
masyarakat yang masih tradisional seperti di Papua, tetapi juga di Jawa maupun Sumatra
yang reiatif lebih maju. Di Jawa dan Sumatra, agribisnis ubijalar taraf komersialisasinya
telah mampu meli~itasi antar Negara (exporf), kotisekuensi~iya tuntutan mutu dan jumlab
yang memadai sesuai standar harus dapat dipenuhi. Ekspor produk ubijalar ke luar negeri,
khususnya Jepang dalam bentuk goreng-beku (firiedfrozen), pasta beku (stcanted frozen)
maupun bentt~k lain (bakedfrozen) telali niulai dilakt~ka~i
sejak awal tahun 1990an.
Perkembangan agribisnis ubijalar ini ierbukti telah mampu menyedinkan lapangan kerja,
contoh di Kuningan Jawa Bartit PT. Galih Estetika tnemiliki karyawan sekitar 600 orang
untuk proses pengolahan. Petani yang terlibat lebih dari 2500 orang tersebar liingga Jawa
Timur. Hal yang s a ~ n a
juga PT. Cia~i.jt~r
Asri Ma~idiri (Jawa Barat); PT. Sumberboga
Abadi, PT. T w a s Prospekta, Kern Farm (Jawa Tengall);
PT.Ra~id~~tatall
Agro
Ce~nerlang, Ganken Farm, Arjuno Flora (Jawa Timur); PT. Toyota Bio indonesin
(Lalnputig). Masing-masing pert~saliaa~i
meiierinia jatah (quota) i111k1k
ckspor bervariasi,
sebagai contoh PT. Galih Estetika yang terbesar harus memasok
GOOtonlbulan atau 150
tonlminggu atau sekitar 7 container 20 feetlminggu. Tetapi kendala justru rendahnya
produktivitas varietas yang ditanam, khususnya varietss introdi~ksi dari Jepang. Penyakit
dan hama serta sempitnya daya adaptasi varietas introduksi rnerupakan aspek bio-fisik
~ e n y e b a b
rendahnya produktivitas. Pcnyakit kudis pada p l ~ c l ~ k ,
d a t ~ ~ i
dan batang (E/,~i~toe
halalas);
layu Fusariurit sp., busitk ubi akibat bakteri mattpull jamnr (Er~vinicr
chrysanthemi, Ceratocyslis ,'inibriala, Bottyodiplodia sp)
;kerusakan oleh penggerek
batang (O~ttphisa anaslotnasalis) dan hama boleng (Cylas for~tticarius) serta larva
Blosyrus sp. merupzken penjjaltit dan hama utama pada uboalar (Braun dan Priatna,
1994; COPR, 1986). Selain itu, aspek yang berkaitan dengan ketidaktepatan cara
bttdidaya serta kurangtiya input juga mc~ijadi kcndala rendali~iya produktivitas ttbijalar
(Widodo, et al., 1990; Widodo, 1993; 19951; 1995b; 1996: 1999). Kect~ali varietas
Sliiroyutaka, varietas lain introduksi dari Jepang tidak melalui prosedur baku, tetapi atas
dasar kontrak antara perusahaan dengan pembeli (exporfer aird btryer). Oleh karena itu,
tatkala terjadi gangguan aspek biofisik yang serius, perusahaan ~naupun pembeli di
Jepang juga kelabakan sebab quota tidak dapat terpenuhi. Sesunggulinya beberapa
varietas unggul nasional maupun lokal memiliki kemiripan penampilan visual, tetapi
sayacignya dari aspek kualitas khusus~iya
kadar air dati serat terlalu tinggi (Tabel 2).
Proridins Seminor Narionol Teknoiogi inowlif Porcapanen untuk Pengembangon indurtri Berbosir Pertonion
[image:7.605.103.512.213.585.2]Atas dasar uraian d i atas inovasi selalu diperlukan u ~ i t u k mempercepat, ~iiemperlancar den mengalllankan sistem agribisnis. Bahkan pendampingan (istilali pengawalan terkesan militeristik) dala~ii penerapan inovasi juga masill diperlukan. Agar keunggulan liayati yalig d i ~ i i i l i k i oleli i~bijalar dapat dimanfaatka~i tidak hanya oleli konsu~nen, perusallaan tetapi juga petani penanam, maka diperlukan suatu dukunga11 kebijaknn yang mampu mclestarikan keberla~i.iutan sisten~ agribis~iis.
Tabel 2. Varietas introduksi dari Jepang dan beberapa varietas u ~ i g g u l nasional dan lokal yang berpotensi sebagai pengganti.
Karakter ubijalar Varietas obijalar Varietas u ~ i g g u l Kendala dan cara untuk ekspor Jepang untuk ekspor nasional dan lokal mengatasinya
sebagai pengganti, karena kemiripan karakter
Produk goreng lbaraki Sari, Boko, Kidal, Melacak karakter
beku irisan bentuk Beniazurna Genjali Rante, Citok yang diinginkan
intan, umulnllya Naruto Kintoki Bogor Merali pada koleksi plasma
daging i ~ b i warna Varietas-varietas Produktivitas
>
25 nutfali yang tersedia. kilning kadar air tersebut t/ha, tetapi kadar air Memperbaiki teknik ubi segar<
68%.
produktivitas<
20 >70% (kecuali pengolahan,sehingga setelah t/ha dan 65% yang Bogor Merah d a ~ i sehingga tii~gginya digoreng bentilk mernenulii criteria. Genjali Rante). kadar air awal tidak irisall tidak W a r m kulit ubi Klon-klon liarapan menimbulkan i ~ b i
niengkerut merall dan daging program beta rnengkerut setelah
ubi k u ~ i i n g karote~i tinggi digoreng Produk kukus- Seperti varietas Seperti varietas d i Menawarkan
pasta beku ubijalar di atas yang atas dita~nball kekayaan plasma
maupuli bakal- berwarna kulit Bestak Putili dan nutfah serta
(panggai1g)-pasta merah dan daging Bestak Wulung ~nelengkapi data
beku. k i ~ n i ~ i g . (niirip Sliiroyotaka) klon-klon beta
Sliiroyutaka (warna dari Mojokerto; karoten dan
kulit dan daging ubi Asih Putili dan Asih antosianin tinggi
putih) Merali dari yang sesuai industri.
Ayamurasaki Kuningan. Memanfaatkan by-
(wartla kulit rnerali Kln~i-klon product untuk
tua, daging ubi ungu antosianin ti:iggi industri pakan
tua) ternak
DUKUNGAN KEBIJAKAN UNTUK KEBERLANJUTAN AGRIBISNIS
a.
Agribisnis TerintegrasiD i s;~tu an:~sir. :~grihisnis I1:lrus bcrcor:~k :II;NI bcrorie~~t:tsi p:ttl;~ p;ls:lr. Sifill p;ls;~r
sebageimanil lazi~llllya ;ldalall dillalllis dan kotiipetitil: Sisi lain agribisnis pada sub-sistem budidaya yang melibatkan banyak petani bersifat sebaliknya, yaitu cenderung statis dan koperatif. Pelnbuat kebi,jakall harus bere~npati pada dua sisi, sayangnya pembuat kebijakan sering kurang berpoak pads fakta karena tidak pernah mengalami, sehingga kebijakan yang diputuspn mandl11 (tidak efektif). Kebijakan yang dibangun harus malnp~ mencegah terjadln~a lJom0 hon~irti
lupus
(~nanusia serigala sesamanya) dari sifat pasar terhadap petani. Informasi tentang pengolahan dan pemasaran meskipun disuluhkanBola1 Beror Penelltlan don Pensembangon Parcopanen PertonIan
Proriding Seminor Norionol Teknologi lnovatlf Parcopanen untuk Pengembongon indvrtrl Berborir Pertonion
giat, tampaknya akan mustaliil dikerjakan oleh petani secara individual, kecuali berkelompok (koperasi). Tetapi apabila menyimak perkernbangan koperasi pertanian selama ini apalagi untuk menangani ubijalar yang masih dianggap inferior, tentu masili belum memberikan liasil (Saifullah, 2002). Asinietri informasi tentang pengolahan dan pemasaran yang menjadi daya tarik pihak swasta (perusaliaan) untuk melakukan kegiatan agribisnis memang perlu dihormati. Namun demikian, pembuat kebijakan seyogyanya faliam terhadap pengolahan dan pemasaran sehingga kebijakannya mampu memberikan nuansa ironzo izotnit~i socirrs (manusia mengasihi sesamanya) antara sub-sistem pengolahan dan pelnasaran dengan petani di sub-sistem budidaya. Ole11 karena itu, kebijakan dalam pengembangan keberlanjutan agribisnis tidak dapat bersifat parsial hanya condong dari aspek ekonomi semata, tetapi juga perlu mengedepankan etika, estetika serta nilai-nilai humanistika (Bird, 2000; Bogdan dan Taylor, 1992). Untuk menuangkan kebijakan agar dapat melingkupi semua pihak yang terlibat memang harus dilibatkan, seliingga matra yang dillasilkan aka11 ~ n e ~ n i l i k i kekuatan katalkata sesuai fakta yang membunii dan bersifat operasional (Widodo, 2005; Widodo dan Yusuf, 2005). Akan percuma j i k a kebijakan lianya beritpa liimbauan tanpa ada konsekue~~si lanjut, karena yang seperti it11 hanya retorika. Perttsaliaan yanz telah berinvestasi dalam agribisnis ubijalar merupakan asset yang iangka yang liarus disela~iiatkan, tetapi tanpa l~arus tnengorbankan hak-liak petani itntuk meraih kesejahteraanya. Hingga saat ini agribisnis yang berkembang khususnya pada ubijalar tnaupun itbikayu (komoditas pertanian umumnya) masill cenderung mengliambat atau bahkan melucuti petani untuk nieraih liak guna menikmati kesejahteraa~i
(WCHR,
2003).11. K e m i t r a a n Partisipatif
Kebijakan desentralistik scsitai semangnt otononli daerali liarus clitumbuh- kembangkan. Dalam lial ini pe~iierintah daerah, ditiss pcrt;mia~i kabupaten l~ingga propinsi, demikian pula turut peduli terliadap pcrkcnihnnpa~~ sknla ngrihisnis ubiialar. I'ri~isip pcduli utituk bcrbagi i.as;~ (pctxn) sccara j t ~ j l ~ r (C(II.E 10 ~ 1 ~ r 1 . c Jizirly) pcrlii diwujudkan dala~n meri~muskan kebijakan yang bersifat partisipatif. Van de Fliert et al (1996; 2003) nienyarankan agar penerapan teknik partisipatif yang luas dapat diperluas tidak lianya dalam aspek penelitian saja. Tingginya beban biaya yang ditanggung perusahaan untirk ~nelakukan lobi terliadap penierintali sering berkonsekuensi terliadap rendahnya harga bahan baku berupa ubijalar segar (fresh suwetpolalo as r a w rna/eriaO yang harus diterima oleh petani untok efisiensi, sebab menaikkan harga produk akliir lebih rawan keliilangan konsumen. Oleh karetia itit, kebijakan yang diputuskan harus adil, tidak memihak dan pembuat kebijakan tidak menjadi beban bagi perusahaan maupiln petani. Pola Kemitraan (partnership pal/ertz) untitk melindungi petani dan industri atau sebaliknya perlu dibangun. Pola kemitraan yang bercorak niencairkan pemangkuan hak 1iie11,jadi pemhagian tanggung jawab (froni .s/kchol&r to .sl~tircl~olt/cr) perlu dist~burkan,
seliingga tidak ada peluang bagi ciiasi~lg-tnasing pihak untuk melakukan exploitasi pada piliak lain. Dengan pola kemitraan perusaliaan dan petani akan berbagi peran (sharing role) dalam suatu kesatuan rangkaian agribisnis (conlinuunz). Atas dasar pola kemitraan, kebutuhan bahan baku perusaliaan dapat dipenuhi oleh petani j i k a taraf liarga ditentukan saat awal sebelum penanaman. Dengan demikian, petani akan dapat menghitung berapa luas lahan yang akan ditanami, berapa input yang dipakai guna mencapai produktivitas titiggi. Bagi petani yang terpenting adalah kepastian pasar d a ~ i tingkat liarga yan$ ~nerupakan insentif dalani ber~~sahatani ubijnlar. Bagi perusaliaan ineskipun telah me~ijalin pola kemitraan dengan pctani, tctapi pcrlu kea~n;ula~~ pasok bnh;ln baku. U n t ~ k maksud tersebut, peri~saliaan dapat didorong untuk mengusaliakan kebun sendiri yang dapat memasok sekitar 30-50% kcbutulian balia~i bnku yang tliperlukan. Kebuti terscbttt dapat cnenyewa lahan m i l i k petani, lahan desa, ntau niilik ulayat atau tanall Hak Guna Usaha (HGU). Dengan cara seperti ini sekaligus merupakan wahana retrospeksi bagi
Proriding Seminor Noriaooi Teknolosi inovatl/ Parcaponen uotuk Pengembangon lndurtrl Berborls Pertanion
perusahaan untuk ~nenilai praksis (praktek dan refleksi) agribisnis ubijalar. Biaya produksi dan taraf produktivitas yang dicapai oleh perusahaan di kebu~i yang dikelola sendiri dapat digiinak;~n sebagai tolok i ~ l i u r 1111luk n i e ~ i e ~ ~ t u k a ~ i taraf liarga yang liarus diteri~na petani (Widodo. 2003; Widodo dan Rahayi~ningsih. 2003).
Tabel 3. Kebijakan yang diperlukan untuk ~nendukung keberlanjutan agribisnis ubijalar
M;itra bidang ~;II.:I~:III I ' e r k e ~ i i b a ~ ~ g a ~ ~ l i i n g a kiiii I ' e r k e ~ ~ i b a ~ i g a ~ i ke depaii Areal penanaman ubijalar Kontraktif sebagai reaksi Stabil sesuai permintaan
Pasar i~bijalar segar yang dialami petalii
Harga yang diterima
petani
Hubu~igan petani dengan i~idustri dan pasar
Inforinasi tentang industri dan pasar
Bentuk keteriliatan i ~ ~ i t i i r . i ~ petani dengiln industri dill1 p:war
I~iluk;~si, atlvoliasi iIi111
1cgisl;isi d;iri p c ~ i ~ c r i ~ ~ l i i l i d;~n L)I'I< t~ntuk pelilni ubijalar
Pola pembiayaan
Taraf responsibilitas selain petaoi
petani terhadap harga
Petani pasrali kepada
pedagang (penebas) d i lokasi, sering sulit laku sehingga petani rugi
Flukruiitif, sering rendah dan petani rugi
Petaiii pasif dan komunikasi satu arall pedagang ke petani
Asimetri i~iformasi,
pedagang (penebas) sebagai kunci i~iformasi
Saling bebes sesainanya, beluiil terkoordinasi dan hcrkol)cr;~si
I3clu111 p e r ~ ~ a l ~ i ~ t l ; ~
Berjalan sendiri-sendiri, seliingga tidak efektif dan efisiensi
Bersifat formal kos~netik (formalitas) belaka
industri dail konsumsi segar Petani mengetahui dengan pasti hasil ubijalar akan ke industri atau pasar konsumsi segar
Taraf harga pasti (stabil),
sehingga petani dapat
menikmati keuntungan Saling aktif, komunikasi dua arah atitara petani, pedagang /pasar& industri
Pemerintah sebagai
penengah untuk berbagi
informasi dan manfaat
secara adil
Saling terkait, terkoordi~iasi, berkoperasi dalam pola k c ~ i i i t r n i ~ n yang p;lrlisil,ntif K o ~ ~ ~ i i ~ ~ i k i l s i i~iteri~klil' y i ~ i ~ g erelitif i ~ ~ ~ l u l i IIICI~~III~~III~ berbiigai rn;~sal;~li bers;u~ia gutla ~ n e n u j u keberlanjutan Mengedepankan efisiensi dan efektifitas
Bersifat substansial
paradig~natik uncuk
~nelahirkan solusi
1. Tingkat keinajuan agribisnis ubijalar seiring dengan perkembangan pemanfaatan komoditas ini dalam peinbangunan pertanian, khususnya peran agroindustri untuk meiighasilkan produk pangall, paka~i serta industri.
[image:9.602.98.514.178.563.2]3 .
Agar petani tidak metijadi korban dalam agribis~iis, maka poln kemitraan yangtransparan dan bertanggungjawab perlu diwujudkan. Dengan detnikia~i, masing- ~iiasing pihak (pctani, pcnlnsok intlustri nfau pilink i~~cluslri) i ~ h i r ~ ~ l;iI111 dnn sntl;tr terlladap link dan kewajibannya.
4. Biaya produksi d a ~ i taraf produktivitas serfa nilai ta~nbah produk serta biaya pemasaran dapnt digunakati scbagai tolok ukur itntitk tncncntttknn taraf hnrga yang harus diterima petani sebagai pe~nasok bahan baku.
DAFTAR PUSTAKA
Bird, A. 2000. Philosophy o f science : Fundamentals o f Philosophy. Series Editor John Shand. University College London (UCL), London, United Kingdom. 3 13 p.
Bogdan, S. dan S.J. Taylor. 1992. Pengantar metode penelitian kualitatif: Suatu pendekatan fenomenologis terhadap ilmu-ilmu sosial (Terjemahan oleh A r i e f Furchan). Usaha Nasional, Surabaya. 425 p.
Bradbury, J.H. and W.D. Holloway, 1988. Chemistry o f Tropical Root Crops: significance for nutritioti and agriculture in the Pacific. Austral. Cecitre for Internat. Agricult~tral Rescarcll (ACIAR) Motlograp11 No. 6, Canberra. 20 1 p.
Braun, A.R. dan E. Priatna. 1994. Suatu tinjauan penelitian tentang hama dati penyakit ublj'alar. Caraka Tani Edisi Klii~sus. Fak Pertanian UNS, Surakarta
P
18-24.Uudianto, J. 2002. I'eti~ba~igu~la~i pcrl;l~~iat~ bcrkelati.jrtta~i p;itlit era g1ob;llisasi. L);rl;~~ii 'I'. Sudarynnto dkk. (Eds.) At~nlisis Kehijaksa~lnnn : Pcndckalnn pc~iihatig~~tiati dnn keblj'aksan;tnn pengentba~~g;~r~ agtibisnis. I'uslitbang Sosck, Uogor. 1' 9-25.
Centre for Overseas Pest Research (COPR). 1986. Pest Control in Tropical Root Crops. Pans Manual N i ~ t n b e r 4. Centre for Overseas Pest Research. London. 235 p.
CIP. 2000. Stories from the field. International Potato Centre. Annual Report 2000. Ce~itro lnternaciotial de la Papa (CIP) Litlla Peru. 6 1 p.
CIP. 2001. Broddenicg boundaries in agriculture: Impact on llealth habitat and hunger. International Potato Centre. A~itiual Report 2001. Centro lnternacional de la Papa (CIP) L i m a Peru. 106 p.
Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2003. Upaya pengetnbangan agribisnis ubijalar. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Dirjeri Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta. 9 p.
Rozi, F. and M. Raclimat. 2001. Kajiall integrasi pasar komoditas ubijalar dalam menunjang pemanfaatan sumberdaya wilayah. Makalah disarnpaikan dalam Seminar BPTP Yogyakarta ' Teknologi Pertanian Pendukung Agribisnis dalam Upaya Pengembangan Eko~iotni Wilayali. Tanggal 14 Nope~nber 2001. 13 p.
Sawit, M.H. 2002. Beras untuk keluarga miskin (RASKIN): sebuah program pcrlindu~iga~i sosial. Mqjalal~ Pnngnn Mcdin Konit~ttik;tsi dati It~fortnasi Nomor 38 (X1):lO-19.
Proriding Senrinar Narionoi
Teknolosi
lnovolil Parcaponen uoluk Perrgembongan lndurlri Berborij PerroniooSaifullali, A. 2002. Badan penyangga kebijaksanaan pasar hasil-hasil pertanian dalaln
usaha menciptakan ketahanan pangan. Majalah Pangan Media Komunikasi dan
Inforniasi Nonior 38 (XI):30-40.
Speddins, C.R.W. 1988. An Introduction to Agricultu~.al Systems. Second Edition,
Elsevier Applied Science. London and New York. 189 p.
Suparlan, P. 1992. Keliidupan orang miskin
:Kasus di Jakarta. Majalah Pangan Media
I<omunikasi dan lnformasi Nomor 13 (lV):49-6 1.
Takagi, H.. C.G. Kuo and S. Sakamoto. 1996. Ipomoea batatas (L.) La~nk.
I n Flach, M
and Rumawas,
F.
(Eds.) Plant Resources of South-East Asia No 9. Plants
yielding non-seed carbohydrate. Backliuys Publishers, Leiden. Pp 102-107.
Van de Fliert, E., R. Asmunati, Wiyanto, Y. Widodo and A.R. Braun. 1996. From basic
approach to tailored curriculum: Participatory development of a farmer field
scliool model for sweetpotato. In: UPWARD. Into action research
:Partnzrships
ill
Asi:tti r~io1c1.01)
rcscareIi ii~id d e v ~ I ~ ~ ~ ~ i i e n ( .
IJI'WARD, 1.0s B~inos, i2agu~i:~,
I'liilil~l~incs.
1'89-74.
Van dc Flier!, I:.,
N.L. Jolinso~i, R. Asmutinti and Wiyanto. 2003. Beyond higher yields
:The inipact of sweetpotato integrated crop management and farmer field schools
in Indonesia. In K.O. Fuglie (Ed.) Progress in potato and sweetpotato research
in
Indonesia. CIP-ESEAP and AARD, Jakarta, Indonesia.
P
171 -185.
Widodo,
Y.,
K. Harlojo, Sunardi, Antarlina and S. Brotonegoro. 1990. Alleviating some
agronomic problems of sweet potato
inEast Java under farmers coliditio~i.
InR.H. Howeler (Ed.) Proc. of tlie 8th Symp. of lnt. Soc. of Trop. Root Crops
(ISTRC). Oct. 78-
Nov.5, 1988. Ba~igkok,
Tliiiil~i~id.
pp565-572.
Widodo, Y. 1993. Improving the existing production technology of sweetpotato in
mediu~ii altitude at Mojokerto East Java.
I n K.tl. Hendoatmodjo et al. (Eds.)
Research acco~nplislirnent of root crops for agricultuial development in
Indonesia. RILET-Unibraw-IDRC. P 65-71,
Widodo,
Y.
1995a. Sweetpotato cultivation i n a rice-based farming system
:tlie dyna~nics
of indegenoi~s knowledge. I I I Jurg Sclineider (Ed.) Proc. of an lnter~iatio~~al
Workshop on l ~ i d e g e ~ ~ o u s
Knowledge in Conservation of Crop Genetic
Resources. Cisarua Bogor January 30 February 3, 1995. CIP-CRIFC. pp105-I 14.
Widodo, Y. 1995b. Ubi-ubian potensi dan prospeknya ontuk dimanfaatkan dalam
program diversifikasi. Majalali Pangan Media Komunikasi dan Infor~nasi
N o ~ n o r
22
(Vl):46-55.
Widoilo,
Y.
IOC)O. Agrol~oliiic ~ i i i ~ ~ i i ~ g c ~ ~ i c ~ ~ [
liir s\vecI l)~ili11o
i l lIIic ~)os[ricc
C I I V ~ ~ ~ I ~ I I ~ C I I Lof Indonesia. Paper presented during tlie "Study Tour and Workshop on
Agrono~iiic
Management of Sweetpotato i n Vietnam". 7-1 3 January 1996. 25p.
Widodo,
Y.
1999. Produce Illore food from tlie starchy roots, a strategy for feeding tlie
people against tlie eco~io~iiic
crisis. Paper subniitted to ATAS Foundation for
discussioli with NGOs. I0 p.
Prosldlng lemlnor Narlanol Teknologl
lnovatl/
Parcoponen ontuk Pengembongan lndilrtrt Berborlr Pertonla"Widodo, Y., Aser Row, Atekan, dan Yohanes Oagay. 2000. Optitnasi i~saliatani ubijalar
dan talas melalui perbaikan cara budidaya di lrian Jaya. Laporan Hasil Penelitian
PAATP. 25 p.
Widodo,
Y .
2003. Rekadaya kultur teknis tanaman ubi-ubian yang berkelanjutan untuk
mendukung ketahanan pangan. Makalah Seminar di Puslitbangtan Bogor 8 Mei
2003.35 p.
Widodo, Y. and St.
A .Rahayuningsih. 2003. Pengembangan Teknologi Usahatani
Ubijalar Secara Partisipatif dan Tindak Lanjut yang Diperlukannya: Suatu
Pelajaran dari Mojokerto. Dalam Prosiding Teknologi lnovatif Agribisnis
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan. S.
Hardaningsih et al (Eds.) Pusat Penelitian dan Penge~iibangan
Tanaman Pangan.
Pp 475-486.
Widodo, Y. and
M.
Yusuf. 2005. Sustaining sweetpotato production system and the
challenges for poverty alleviation.
I nSetiawan, A. and
K.O. Fuglie (Eds) Sweet
Potato Research and Development; Its Contribution to the Asian Food Economy.
Proceedings of a Seminar held at Bogor Agricultural Utiiversity, September 19"'.
2003. Bogor Indonesia: I~itcrnatiot~;~l
Potato CCII~CI..
Pp 119-126.
Widodo, Y. 2005. Retaining Subsistence and Attaining Cotii~nercialization for Sustaining
Sweetpotato Production System in Indonesia. Paper Presented
i n tlie 2""tit.
S y ~ n p .
Of Sweetpotato and Cassava June 14-18"' 2005 held al Kuala Lumpur
Malaysia. 16 p.
Winarno, F.G. 1982. Sweetpotato processing and by product t~tilizatiot~
in the tropics. In
Proc. 1st Int. Symp. Sweet potato. R.L. Villareal and T.D. Griggs (Eds.)
AVRDC, Sliat~hua,
Tainan, Taiwan. Pp.373-384.
World Conference on Human Right (WCHR), 2003. Poverty and the crime against
humanity. Translated into Indotlesian version by Sitar Warta.