• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI

DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN

Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas

Kabupaten Cianjur

SRI MULYAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOCOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER lNFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafkv Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

Sri Mulyani

(3)

ABSTRAK

SRI MULYANI. Kajian Terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupatzn Cianjur. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan MOENTOHA SELARI.

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan pada tahun anggaran

2002 diluncurkan program rintisan pengembangan kawasan agropolitan di

delapan kabupaten pada delapan provinsi di Indonesia, salah satu kawasan rintisan agropolitan adalah Kabupaten Cianjur yang berlokasi di Kecamatan Pacet dan Cipanas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan usahatani petani, (2) mengetahui pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan agropolitan terhadap harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan (3) mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap perkembangan nilai PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas.

Hasil analisis menunjukkan program pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan dalam pencapaian manfaat jangka menengah, yaitu meningkatkan pendapatan usahatani petani. Kondisi ini terjadi karena pertama, meskipun terjadi peningkatan intensitas penyuluhan pertanian namun belum terjadi peningkatan produktivitas, karena keterbatasan petani dalam ha1 permodalan. Kedua, pembangunan idrastruktur transportasi di kawasan agropolitan tidak menurunkan biaya transportasi dan tidak mengubah pola pemasaran komoditi pertanian, karena petani tetap menjual komoditi pertaniannya pada tengkulak. Ketiga, petani belum melaksanakan proses pengolahan komoditi pertanian (agroprosesing) yang merupakan subsistem yang memberikan nilai tambah terbesar dalam sistem agribisnis. Namun terdapat kecenderungan program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet dan Cipanas meningkatkan jumlah petani dengan tingkat pendapatan tinggi dan sedang serta meningkatkan rata-rata tingkat pendapatan petani di wilayah inti dibandingkan wilayah transisi dan hinterland.

(4)

ABSTRACT

SRI MULYANI. Analysis of Farmer Income and Land Price in Agropolitm Area: A Case Study in Pacet and Cipanas Sub District, Cianjur District. Under the direction of KOMARSA GANDASASMITA and MOENTOHA SELARI.

Agropolitan regional development program was launched in 2002. This initial program was conducted in eight districts at eight provinces of Indonesia, including Cianjur District in West Java. Agropolitan regional development program in Cianjur District is located in Pacet and Cipanas Sub District. This research was aimed (1) to analyze the impact of agropolitan regional development in farmers income, (2) to analyze the impact of infrastructure development in agropolitan regional development to land price and its influenced factors, and (3)

know effect of agropolitan regional development to Gross Domestik Product (GDP) value in Pacet and Cipanas Sub District.

Analysis result showed, agropolitan regional development program has not been significantly yet in increasing f m e r incomes. This condition was occurred because, firstly, there was no productivity increase although intencity of agricultural socialization was increasing due to capitally limited. Secondly, transportation infrastructure building was not chase marketing pattern because farmer still sell their commodities to suppliers. Thirdly, farmer has not done agroproccesing yet which will shine the biggest added value in agribisnis system. But, trend of agropolitan regional development program in Pacet and Cipanas Sub District showed an increased to farmer sum whose high and moderate income rate also improving the average of farmer income rate in core region than that transition region and hinterland region.

(5)

KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI

DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN

Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas

Kabupaten Cianjur

SRI MULYANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

Nama : Sri Mulyani

NRP

: A253050174

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. Ir. Moentoha Selari, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

(7)

Kupersembahkan untuk :

Masku ... happy birthday dun anak-anakku terkasih

Ghifari, Baihaqi, Khansa, Nabil, dun Kylla dukungan, pengorbanan, kesabaran, kehangatan, dun keceriaan keluarga

merupakan inspirasi dun dian yang mengiringi langkahku

Ibu, abah, ibu dun ayah mertua, adik serta k a h k

(8)

FUWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat pada tanggal 12 Maret 1973 sebagai putri kelima dari enam bersaudara dari pasangan Raden Mochtar Asdilah Sardiwinata (almarhum), dan Hunaenah. Jenjang pendidikan SD hingga SMA diselesaikan penulis dikota kelahiran Cirebon. Tahun 1991 penulis menyelesaikan jenjang pendidikan SMA, dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Agronomi pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, gelar Sarjana Pertanian diraih penulis pada tahun 1996. Tahun 1996 penulis menikah dengan Syaflizar Zain St. Sati dan dikaruniai 3 orang putra, yaitu Ghifari Muhammad Syani (9 tahun), Baihaqi Muhammad Syani (6 tahun), Nabil Muhammad Syani (2 tahun), dan 2 orang putri yaitu Khansa Aisyah Mutia Syani (5 tahun), dan Khaira Nisa Mutia Syani (2 bulan). Kesempatan melanjutkan p e n d i d h pada Sekolah Pascasarjana diperoleh tahun 2005 dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan yang diberikan Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September 2006 ini menitikberatkan pada Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Karenanya dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Moentoha Selari M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas arahan, motivasi, dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Ir. Setia Hadi M.Sc. selaku penguji luar yang telah banyak memberi saran demi perbaikan tesis ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa PWL angkatan 2005 terimakasih atas keja samanya. Disarnping itu penghargaan juga penulis sam~aikan kepada rekan-rekan Penyuluh Pertanian Kecamatan Pacet dan Cipanas dan para petani responden di Kecamatan Pacet dan Cipanas yang telah membantu selama proses pengumpulan data.

Akhimya penulis mengharapkan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2007

(10)

DAFTAR

IS1

..

DAFTAR TABEL

...

11

...

DAFTAR GAMBAR

...

111

DAFTAR LAMPIRAN

...

iv

PENDAHULUAN Latar Belakang

...

1

Perumusan Masalah

...

3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

...

5

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan

...

6

Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan

...

7

Pengenlbangan Kawasan Agropolitan

...

10

Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan 12 Akses Terhadap Lahan

...

14

Konsep Nilai Tanah dan Harga Tanah

...

18

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangun an

...

19

Indikator Pembangunan Wilayah

...

21

Teknologi Sistem Informasi Geografis

...

23

METODE PENELITIAN

. .

Kerangka Pemikiran

...

24

Hipotesis

...

. .

28

Lokasi dan Waktu Penelltian

...

28

Pengumpulan Data

...

28

Jenis dan Sumber Data

...

29

Penentuan Responden

...

30

Metode Analisis

. .

...

33

Analisis Usahatani

...

33

...

Teknologi SIG, Analisis Cross Tab dan Analisis Chi-square 33

...

Teknologi SIG Untuk Menghitung Jarak 34 Analisis Regresi Berganda Untuk Melihat Faktor- faktor yang

...

Mempengaruhi Harga Tanah 34

...

Analisis Skalogram untuk Menentukan Hirarki Wilayah 36 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

. .

Wilayah Penelitian

. .

...

38

Topografi dan F ~ s l o g ~

...

38

IMim

...

38

Jenis Tanah

...

40

Kependudukan

. .

...

. . .

40

Fasilitas dan Aksesibil~tas

...

42

Penggunaan Lahan

...

43

...

Karakteristik Umum Kawasan Agropolitan Cianjur 43

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Pendapatan

...

Usahatani Petani

...

Pola Spasial Pendapatan Usahatani Petani

Pengaruh Program Agropolitan terhadap Tingkat Pendapatan Usahatani Petani

...

...

Nilai PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas

...

Perkembangan Sektor Pertanian

Pengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Harga Tanah

...

Pola Spasial Harga Tanah

...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tanah

...

SIMPULAN DAN SARAN

...

DAFTAR PUSTAKA

...

(12)

DAFTAR TABEL

Aspek, variabel, dan sumber data..

...

Variabel analisis regresi berganda pada fungsi harga tanah

...

J m l a h penduduk dan jumlah keluarga

...

Akses petani terhadap lahan

...

. .

. .

J m l a h fas~l~tas pend~d~kan

...

Persepsi pengaruh agropolitan terhadap intensitas penyuluhan

...

Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infiastruktur

pengruran

...

Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infrastruktur

...

transportasi

Tingkat modal petani di kawasan agropolitan

...

Status kepemilikan lahan petani di kawasan agropolitan

...

Karakteristik pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan

...

Pelaksanaan agroprocessing setelah agropolitan

...

Produk Domestik Regional Bmto WPU atas Dasar Harga Konstan Tahun 1999-2003

...

Produk Domestik Regional Bmto Kecamatan Pacet Dan Cipanas atas

...

Dasar Harga Konstan Tahun 1999-2003

Hasil analisis regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah

(13)

DAFTAR

GAMBAR

Keterkaitan antar indikator Pembangunan Daerah

...

...

Diagmm alir kerangka pemikiran penelitian

...

Strata pada wilayah penarikan sampel

...

Diagram alir metodologi penelitian

...

Wilayah penelitian Kecamatan Pacet Dan Cipanas

...

Pemandangan yang indah di Desa Pusat Pertumbuhan

...

Beberapa program pengembangan kawasan agropolitan

...

Tingkat perkembangan desa hasil analisis skalogram

Persentase jumlah petani pada berbagai tingkat pendapatan

...

Pola spasial pendapatan petani

...

Rata-rata tingkat pendapatan petani

...

Pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan

...

Aktifitas penjualan basil pertanian kepada pedagang pengumpul

...

Aktifitas di tempat pengumpulan

...

Aktifitas penjualan sayur di STA

...

Aktifitas Cleanning. Grading. Packaging. dun Packing

...

Perkembangan PDRB sektor pertanian dan perdagangan di

...

Kecamatan Pacet-Cipanas dan WPU Tahun 1999-2003

Perkembangan PDRB sektor pertanian di Kecamatan Pacet.Cipanas.

....

Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Cugenang Tahun 1999-2003 Pola spasial harga tanah di kawasan agropolitan

...

Hubungan variabel jarak terhadap jalan kabupaten dengan harga tanah

.

.

...

dl wlayah sample

Hubungan variabel jarak terhadap jalan negara dengan harga tanah di

...

wilayah sample

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh jalan negara terhadap

...

harga tanah
(14)

Hubungan variabel jarak terhadap pemukiman dengan harga tanah di wilayah sample

...

Hubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas di wilayah sample dengan harga tanah

...

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh Pasar Cipanas

...

terhadap harga tanah

Hubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas dengan harga tanah

. .

dl wlayah sample yang diseleksi

...

Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan di wilayah

...

sample dengan harga tanah

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh agropolitan terhadap harga tanah

...

Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan dengan harga

.

.

. .

tanah dl wilayah Inti

...

Hubungan variabel jarak terhadap tingkat perkembangan desa dengan

.

.

(15)

DAPTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner

...

91

2 Data base responden di wilayah sample

...

100

3 Pendapatan petani

...

103

4 Metode klasifikasi pendapatan petani dengan perangkat GIs

...

105

5 Hasil analisis jarak dengan perangkat

GIs

...

105

6 Variabel-variabel yang mempengaruhi harga tanah

...

106
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Prioritas pembangunan selama ini cenderung mendahulukan pertumbuhan ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles). Kecenderungan penlbangunan tersebut yang semuia diramalkan akan menciptakan trickle down effect (penetesan) dan spread effect (dampak penyebaran) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, temyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (massive backwash efect), (Myrdal, 1968). Menurut Mercado (2002) kegagalan strategi kutub pertumbuhan yaitu tidak terjadinya trickle down effect dan spread effect disebabkan karena aktifitas industri yang dikembangkan temyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland.

Dalam konteks spasial proses pembangunan tersebut menimbulkan berbagai pernasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai pernasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah- wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak- haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland (perdesaan) menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan (kota) pada akhimya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang terus meningkat. Perkembangan perkotaan pada akhimya sarat dengan pernasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks, sementara desa mengalami pengurasan sumber daya manusia berpendidikan, karena perkembangan ekonomi di wilayah ~erkotaan mendorong perpindahan tenaga keja dari desa ke kota.

(17)

menjadi lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Sehubungan dzngan ide ini Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang.

Menurut Anwar (2005), pembangunan agropolitan pada hakekatnya mempakan pembangunan kota-kota kecil menengah dengan membangun infrastruktur fasilitas publik perkotaan untuk mendorong dan mendukung pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan. Pembangunan tersebut diharapkan dapat menyumbang kepada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Rustiadi dan Setiahadi (2006) juga menyatakan bahwa konsep agropolitan dengan membangun kutub pertumbuhan di wilayah perdesaan, secara spasial dampaknya dapat dinikmati oleh wilayah lokal. Penciptaan nilai tambah dari aktifitas ekonomi terutama pertanian dapat ditangkap dalam wilayah tersebut.

Adapun tujuan dari pengembangan agropolitan sebagai konsep pembangunan wilayahdan perdesaan dapat dimmuskan antara lain sebagai berikut:(l) menciptakan pembangunan desa-kota secara berimbang, (2) meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis, (3) mengembangkan ekonomi dan lingkungan pemukiman perdesaan berbasis aktifitas pertanian, dan (4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perdesaan (Rustiadi

et al. 2005). Sedangkan menurut Rondinelli (1985), pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung turnbuhnya industri agroprocessing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar.

(18)

Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo). Pada tahap selanjutnya jumlah daerah yang mengembangkan agropolitan mencapai 52 kabupaten di 29 provinsi.

Program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur masif relatif muda dan baru berjalan sekitar 3 tahun, sehingga belum signifikan pencapaian manfaat dan dampak jangka menengah maupun jangka panjang berdasarkan indikator pembangunan daerah, karena program pengembangan kawasan agropolitan termasuk ke dalam program pembangunan jangka menengah. Namun demikian untuk mengetahui apakah program pengembangan kawasan agropolitan sudah berjalan sebagaimana mestinya (on the track) perlu dilakukan kajian dengan melihat indikator input dasar (capital) diantaranya infrastruktur, dan pencapaian indikator jangka pendek berdasarkan indikator pembangunan daerah, diantaranya Produk Domestik Regional Bmto (PDRB) (Rustiadi et al. 2005).

Perumusan Masalah

Master Plan Kawasan Agropolitan menerangkan bahwa, cakupan wilayah Kawasan Agropolitan Cianjur meliputi Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti, serta Kecamatan Cugenang dan Kecamatan Sukaresmi sebagai wilayah hinterland-nya. Secara administrasi kawasan agropolitan ini di sebelah Utara dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah Selatan dengan Kecamatan Warungkondang dan Kecamatan Cianjur, serta sebelah Timur dengan Kecamatan Cikalong Kulon dan Kecamatan Mande. Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti dari kawasan agropolitan terdiri dari 14.desa, dengan Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya sebagai Desa Pusat Perhmbuhan (DPP).

(19)

sedangkan Dinas kimpraswil bertanggung jawab terhadap pembangunm infiastruktur dasar untuk pembangunan agribisnis.

Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan dan wawancara dengm pengelola kawasan dalam rangka program pengembangan kawasan agropolitan telah terbentuk struktur pengelola kawasan agropolitan yang berbentuk Kelompok Keja (Pokja) yang diketuai oleh Asisten Daerah 11 bidang ekonomi, dengan sekretaris Kepala Dinas Pertanian, dan anggota berasal dari Dinas Kimpraswil, Dinas Perindag dan dinas terkait lainnya. Sedangkan untuk kelembagaan petani telah terbentuk 9 kelompok tani, yaitu 4 kelompok tani berada di Desa Sukatani dan 5 kelompok tani berada di Desa Sindang Jaya. Kelompok tani tersebut sebulan sekali mengadakan pertemuan untuk mendapatkan penyuluhan dari Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai koordinator pemadu kawasan agropolitan.

Pembangunan infkastruktur yang telah dilaksanakan diantaranya adalah pembangunan gedung pengelola kawasan agropolitan, sarana transportasi, jalan usaha tani, instalasi irigasi ke hamparan petani, packing house yang berfimgsi sebagai tempat penanganan pasca panen (pencucian, sortasi, dan packing), dan Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Cigombong yang diiengkapi dengan cool storage. Infrastruktur tersebut semuanya berlokasi di Desa Pusat Perhunbuhan,

kecuali STA Cigombong yang berlokasi di Pasar Cigombong Desa Ciherang Kecamatan Pacet. Sedangkan kegiatan yang berkembang diantaranya berkembangnya agribisnis sayuran dataran tinggi, penurnbuhan pos pela~anan agen hayati, pengembangan pupuk Bokashi, penurnbuhan agroindustri dalam skala home industri.

(20)

aspirasi masyarakat dan program pengembangan kawasan agropolitan yang belum marnpu menjawab kebutuhan masyarakat. Perrnasalahan yang juga sangat urgent

dan dapat mengancam sustainability kawasan adalah adanya alih kepemilikan lahan petmi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, diduga ha1 ini terjadi karena pengelola kawasan agropolitan dan instansi terkait belum berfUngsi

optimal.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan petani, ditinjau dari pendapatan usahataninya.

2. Mengetahui pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan agropolitan terhadap harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dengan dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1. Memberikan inferensin (pencerahan) terhadap kegiatan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet atau kegiatan lain yang lebih luas. 2. Merupakan proses pembelajaran yang bersifat analogik pada kasus sejenis

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (unform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan tipologi wilayah termasuk kedalam wilayah homogen.

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen).

Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wiiayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artzjicial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan @eta kemiskinan).

Karena pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut Rustiadi et al. (2005) wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: (1) penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensildaya dukung utama yang ada (comparative advantage), (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah.

(22)

karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sisternnya ditentukan berdasarkan aspek hngsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki hngsi- fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.

Selanjutnya wilayah perdesaan menurut UU No. 24 tahun 1992 yang dalam ha1 ini dinyatakan sebagai kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya dam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Secara demografi dan kriteria ekonomi batasan wilayah perdesaan (rural) dan wilayah perkotaan (urban) sangat bervariasi antara negara satu dengan lainnya. Di Filipina wilayah perkotaan didefinisikan sebagai wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500 orang/km2, dilengkapi dengan infrastruktur transportasi, industri komersial, dan fasilitas publik (Tacoli 1998).

Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini temyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada perhmbuhan ekonomi dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah- wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive backwash effect) (Anwar 2001).

(23)

Menurut Alvarez et al. (2002), kesenjangan di dalam negara biasanya lebih besar dibandingkan kesenjangan antar negara. Kesenjangan wilayah di Asia Timur diantaranya disebabkan oleh perbedaan pendapatan percapita, kepadatan penduduk, tingkat aktifitas ekonomi, pola kepemilikan sumber daya alam dan struktur ekonomi, serta indikator sosial. Ada perbedaan yang sangat besar dalam pendapatan perkapita antara kota dan wilayah. Sebagian besar negara di Asia Timur yang memiliki pendapatan percapita tertinggi adalah ibukota negara, wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya dam, dan wilayah industri. Sebagai contoh Kota Jakarta memiliki pendapatan perkapita sepuluh kali lebih besar dibadingkan provinsi termiskin di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur. Provinsi dengan sumber daya alam terkaya di Indonesia yaitu Kalimantan Timur, memiliki pendapatan percapita lebih besar dibandingkan Kota Jakarta. Distribusi wilayah dengan kepadatan penduduk dan aktifitas ekonomi yang tinggi tidak merata di negara-negara di Asia Timur. Sebagai contoh, Jawa dengan luas wilayah hanya 6% dari total wilayah Indonesia memiliki kepadatan penduduk 60% dari total penduduk Indonesia, dan memiliki GDP yang sama dengan wilayah di luar Jawa (Hi11 2002 dalam Alvarez el al. 2002).

(24)

Menurut Anwar (2001), selama ini pertumbuhan angkatan kerja perdesaan yang terus meningkat ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya ketersediaan lahan. Hal ini tejadi karena masalah institusional yang lemah dalam kebijakan pertanahan yang mengakibatkan banyak lahan-lahan pertanian di perdesaan yang terkonversi maupun yang berpindah hak kepemilikannya karena rnaraknya aktifitas investasi dan spekulasi atas lahan. Kondisi ini rnengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah tenaga keja yang tidak berlahan (landless laborer) sehingga pada akhimya terjadi migrasi besar-besaran dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan.

Namun seperti yang dikemukakan oleh Anwar (2001), dari tenaga keja migran ini temyata hanya sedikit saja yang dapat memperoleh kesempatan ke j a di sektor industri modem. Akibatnya, tejadilah bentuk-bentuk ketergantungan struktu~al dualistik (shucrural dualistic dependency) dimana tejadi lepasnya keterkaitan antara sektor urban modem (industri dan jasa) dan urban informal (pedagang kecil, buruh, pekerja bangunan dan kegiatan informal lain) di wilayah perkotaan, dan lepasnya keterkaitan antara sektor perdesaan tradisional yang mayoritas miskin dengan sektor rural enclave yang pada umumnya menimbulkan kebocoran wilayah karena tidak mampu melahirkan dampak multiplier kepada masyarakat di sekitamya. Dengan kata lain, pembangunan sektor modem di perkotaan maupun di dalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier

tenaga keja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas penduduk di wilayah perdesaan. Bahkan seringkali tejadi sektor-sektor modem tersebut banyak memberikan dampak eksternalitas dalam bentuk biaya-biaya sosial kepada golongan masyarakat kecil dalam bentuk pencemaran air dan udara, erosi tanah, banjir dan perampasan hak-hak tanah penduduk lokal. Karena itu, kesenjangan sosial semakin tinggi dan secara spasial juga tejadi disparitas antara wilayah perkotaan dan perdesaan

(25)

(2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan

kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkst industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.

Pengembangan Kawasan agropolitan

Salah satu ide yang mengemuka dalam mengatasi permasalahan pembangunan ini adalah perlunya mewujudkan kemandirian perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan perekonomian perkotaan harus bisa diminimalkan. Sehubungan dengan ide ini Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jurnlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Friedman (1996) mengusulkan modifikasi dari konsep pembangunan agropolitan yang disebutnya sebagai modular cities. Selain persyaratan jurnlah penduduk, persyaratan utama yang harus dimiliki sebuah modular cities diantaranya mempunyai kelengkapan pusat pelay&an yang dapat ditempuh dengan berkendaraan sepeda atau bejalan kaki kurang dari 20 menit, memiliki fasilitas publik, dan industri kecil.

Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan surnberdaya alam memang menjadi mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas

(26)

Dari berbagai altematif model pembangunan, konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan

ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat agropolitan menurut Rustiadi dan Setia Hadi (2006) adalah: (1) suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong turnbuhnya pengkotaan dalam arti positif, (2) menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti migrasi desa-kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran massif sumber daya alam, pemiskinan desa.

Menurut Anwar (2005), pada hakekatnya merupakan pembangunan kota- kota kecil menengah yang diberikan infrastruktur fasilitas publik perkotaan. Fasilitas-fasilitas tersebut diperlukan untuk mendorong dan mendukung pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan yang dapat menyumbang kepada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Karena pembangunan kota - kota besar sudah cenderung mengarah kepada pertumbuhan yang tidak terkendali, maka dengan pembangunan kota-kota kecil menengah diharapkan dapat mengurangi darnpak dari dari aglomerasi berlebihan.

Berkembangnya kota-kota kecil menengah dapat secara positif mendorong perkembangan dari wilayah hinterland-nya, terutama untuk mentransformasikan pola pertanian perdesaan yang subsisten menjadi pola pertanian komersial dan mengintegrasikan ekonomi perkotaan dan perdesaan di negara-negara berkembang. Pembangunan pusat-pusat industri yang telah dilakukan di negara- negara berkembang sejak tahun 1960, pada dasamya kwang sesuai dan tidak mencukupi untuk menciptakan efek penyebaran (spread effect). Pengembangan sektor jasa, distribusi, perdagangan, marketing, agroprocessing, dan berbagai fungsi lainnya bisa berdampak lebih baik dalam menstimulasi pertumbuhan kota- kota kecil menengah di wilayah perdesaan daripada pengembangan industri manufaktur dalam skala besar.

(27)

agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan masyarakat) di kawasan Agropolitan. Tujuan ini sejalan dengan amanat yang telah digariskan dalam PROPENAS 2000 - 2004, dimana tujuan dari program pembangunan

perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan dan mempercepat industrialisasi perdesaan.

Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Pembangunan infrastruktur agropolitan timbul karena tingginya migrasi

rural urban akibat dari kurangnya kesempatan k e j a dan kenyamanan di wilayah

perdesaan. Konsep agropolitan adalah manifestasi dari growth pole theory namun berbeda dalam perspektif. Growth pole theory mengutamakan pembangunan infrastruktur di wilayah perkotaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan trickle down effect ke wilayah perdesaan. Pembangunan infrastruktur agropolitan di wilayah pedesan mendukung sektor pertanian sebagai sektor ekonomi utama di perdesaan (Elestiano 2005). Pengembangan infrastruktur di dalam pengembangan kawasan agropolitan meliputi (1) pengembangan infrastruktur pemukiman, (2) pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian, dan (3) pengembangan infrastruktur pasar dan sistem infomasi (Anonim 2004).

(28)

Pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian merupakan ha1

yang sangat penting dalam mendukung sistem agribisnis. Infiastruktur sistem produksi pertanian meliputi pengembangan sarana produksi pertanian (saprotan), sarana pengolahan (agroprocessing), sarana transportasi, dan sarana irigasi.

Infrastruktur pasar dalam pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu infrastruktur yang sangat dibutuhkan. Pasar yang dibutuhkan yaitu pasar sebagai tempat transaksi fisik bagi input faktor produksi dan pasar bagi produk petani dan bagi produk olahan, serta pasar jasa pelayanan bagi masyarakat sekitar wilayah pengembangan kawasan agropolitan.

Hasil penelitian Pribadi (2005), dengan menggunakan analisis skalogram dimana jumlah jenis fasilitas, jumlah unit fasilitas dan jumlah penduduk digunakan sebagai variabel penentu hirarki, terlihat bahwa desa-desa di Kecamatan Pacet menempati hirarki paling atas. Dengan demikian apabila dilihat pada level kecamatan, masterplan pengembangan Kawasan Agropolitan Cianjur yang telah disusun oleh Departemen Kimpraswil dan Pemda Cianjur sudah menempatkan secara benar lokasi wilayah inti dan hinterland-nya dimana wilayah inti terdapat di Kecamatan Pacet sedangkan wilayah hinterland terdapat di Kecamatan Sukaresmi dan Cugenang.

Namun lebih lanjut Pribadi (2005) menyebutkan apabila dilihat secara lebih detail sampai ke level desa, nampak bahwa penentuan lokasi desa pusat perhmbuhan yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya sebenarnya kurang sesuai dengan karakteristik hirarki wilayah dan keterkaitan antar hirarki yang telah berkembang di kawasan agropolitan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa menduduki urutan pertarna dari sisi ketersediaan fasilitas. Hal ini memang sesuai dengan kondisi nil di lapangan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa merupakan desa yang paling maju dan bahkan menjadi outlet terbesar bagi hasil produksi sayuran dari ketiga kecamatan yang termasuk dalam Kawasan Agropolitan Cianjur.

(29)

dapat dikatakan bahwa Desa Cipanas dan Cipendawa memang secara realitas di lapangan telah menjadi pusat bagi berbagai aktifitas, baik itu berkaitan dengan permukiman, pendidikan, kesebatan, perdagangan dan sebagainya. Khusus untuk Cipanas aktifitas ekonomi yang cukup menonjol dan terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan adalah perdagangan sayur hasil produksi dari wilayah-wilayah desa di sekitamya.

Menurut Maulana (2006), dari hasil analisis skalogram di Kawasan agropolitan dapat diketahui bahwa Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya memiliki tingkat perkembangan yang paling tinggi. Tersedianya berbagai sarana dan prasarana yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas menjadikan kedua desa tersebut sebagai pusat pelayanan bagi desa-desa di sekitamya. Lokasi Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya yang secara geografis terletak di tengah- tengah Kawasan Agropolitan menjadikan kedua desa tersebut strategis sebagai daerah pusat pelayanan. Berdasarkan hirarki dari hasil analisis skalogram, Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya termasuk ke dalam hirarki I, Desa Cimacan, Desa Palasari, Desa Ciherang, Desa Cipendawa dan Desa Gadog merupakan desa-desa yang memiliki tingkat perkembangan sedang (hirarki 11). Sedangkan desa-desa yang memiliki tingkat perkembangan rendah (hirarki 111) antara lain Desa Batulawang, Desa Ciloto, Desa Sindangjaya, Desa Cibodas, Desa Sukatani, Desa Sukanagalih dan Desa Ciputri.

Perkembangan desa-desa di kawasan agropolitan secara urnum menurut Pribadi (2005), banyak dipengaruhi oleh keberadaan sarana transportasi terutama jalan provinsi dan jalan kabupaten.

Akses Terhadap Lahan

(30)

lahan relatif terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas diperhatikan dan sifatnya dapat balik. Di wilayah perdesaan yang lebih dominan terjadi adalah kelangkaan lahan relatif.

Mengingat sifatnya yang dapat balik, maka untuk mengatasinya ada tiga ha1 yang bisa dilakukan, yaitu melakukan land reform untuk mengatasi masalah kepemilikan lahan yang timpang, melakukan penataan mang untuk mengatasi ke1angkat-m lahan akibat terbatasnya aksesibilitas, dan mendorong tejadinya pembahan prilaku yang bisa mendorong menigkatnya produktivitas lahan. Sementara itu satu-satunya jalan yang perlu dilakukan untuk mengatasi kelangkaan lahan absolut adalah dengan meningkatkan kemampuan teknologi.

Terjadinya kelangkaan lahan di wilayah perdesaan seringkali terjadi karena dua hal, yaitu proses fragmentasi lahan akibat meningkatnya jumlah populasi penduduk di perdesaan dan terjadinya proses alih kepemilikan atau alih fungsi lahan. Namun seringkali yang lebih dominan terjadi adalah proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan lahan sehingga akhirnya terjadi penguasaan lahan yang timpang.

Menurut Rustiadi et al. (2005), di satu sisi proses alih fungsi lahan dapat dipandang mempakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transfomasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya dam akibat meningkatnya pemintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktifitas sektor- sektor sekunder (industri manufaktw dan jasa).

(31)

bagian dari pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumber daya menuju keseimbangan-keseimbangan baru yang lebih optimal.

Namun menurut Rustiadi et al. (2005), seringkali terjadi distorsi yang menyebabkan alokasi pemanfaatan lahan menjadi tidak efisien karena (1) economic land rent aktifitas-aktifitas tertentu, khususnya aktifitas pertanian dan non-budidaya tidak sepenuhnya mencerminkan manfaat ekonomi yang dihasilkannya akibat berbagai eksternalitas yang ditimbulkannya tidak terlihat dalam nilai pasar yang berlangsung, dan (2) struktur permintaan atas lahan seringkali terdistorsi akibat sifat nilai lahan yang juga sangat ditentukan oleh expected value-nya di masa yang akan datang, akibatnya struktur permintaan akan

lahan perumahan dan sektor properti terdistorsi yaitu tidak mencerminkan tingkat permintaan yang sebenamya akibat adanya permintaan investasi dan spekulasi lahan. Akibatnya proses alih fungsi lahan tidak disertai dengan meningkatnya produktivitas lahan melainkan justru te jadi menurunnya produktivitas lahan.

Berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan, pengembangan infrastruktur perkotaan akan bisa meningkatkan nilai land rent dan meningkatkan expected value dari lahan di masa yang akan datang. Hal ini bisa mendorong terjadinya proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan-kawasan agropolitan. Karena itu tentunya diperlukan langkah-langkah untuk mengendalikan proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan agropolitan yang telah mempunyai infrastruktur perkotaan.

(32)

perkotaan, (5) pola spasial aksesibilitas, (6) tingginya resiko dan ketidakpastian, dan (7) sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan.

Sementara itu menurut Anwar (2001), tingginya proses alih kepemilikan dan alih f h g s i lahan ini temtama tejadi karena kurangnya penegasan terhadap hak-hak (property right) masyarakat tehadap lahan. ~ k i b a t n ~ a seringkali te jadi penyerobotan-penyerobotan lahan atau lahan yang ada dihargai sangat murah karena posisi tawar masyarakat perdesaan yang masih sangat lemah. Dalam kondisi seperti ini Saefulhakim (2001) menyatakan bahwa tipe-tipe k e p e m i l i i lahan yang tidak menjamin kepastian (uncertain ownership of land) akan mendorong setiap aktifitas ke arah pola pemanfaatan yang bersifat eksploitatif yang mempercepat degradasi sumberdaya d a m dan kemsakan lingkungan.

Berdasarkan penelitian Pribadi (2005) diketahui bahwa akses petani lokal terhadap lahan yang sifatnya certain karena masih berstatus milik di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur temyata sudah relatif berkurang. Sementara itu akses kepada lahan yang mempunyai tingkat uncertainty yang lebih tinggi karena petani hanya sebagai penggarap atau penyewa sudah relatif banyak ditemui. Sisa lahan pertanian yang ada temyata banyak dimiliki baik oleh orang luar maupun orang dalam kawasan agropolitan, tetapi petani penggarap pada tingkat lokal tidak memiliki akses untuk menggarap lahan tersebut. Kemungkinan lahan ini banyak didominasi oleh pertanian skala besar atau lahan terlantar sehingga petani lokal tidak mempunyai akses untuk menggarap lahan tersebut.

(33)

Menurut Ruswandi (2005), proses konversi lahan pertanian menjadi non pertanian umumnya diawali oleh penjualan lahan milik petani kepada pihak lain yang kemudian oleh pihak lain digunakan untuk aktifitas non pertanian. Damp& dari konversi lahan tersebut jumlah penduduk yang bekeja pada sektor pertanian men- sedangkan pada lapangan usaha perdagangan justru te jadi peningkatan.

Dengan melihat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap semakin terbatasnya akses masyarakat terhadap lahan, maka upaya-upaya

untuk

mengendalikan tejadinya konversi lahan dapat lebih difokuskan pada faktor- faktor dominan yang tentunya bisa berbeda di setiap wilayah. Selain itu dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan agropolitan, peningkatan akses masyarakat terhadap lahan dan penegasan hak-hak mereka atas lahan tersebut perlu untuk dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan sekaligus menurunkan resiko dan ketidakpastian.

Konsep Nilai Tanah dan Harga Tanah

Pengertian dari nilai tanah adalah nilai sekarang sebagai nilai diskonto dari total rente tanah yang diharapkan diperoleh dimasa yang akan datang. Artinya nilai tanah berkaitan erat dengan akumulasi rente tanah dalam suatu periode tertentu. Pengertian rente tanah adalah surplus ekonomi suatu tanah yang dapat dibedakan atas: (1) surplus yang selalu tetap, dan (2) surplus sebagai hasil dari investasi. Surplus yang selalu tetap dimaksudkan sebagai imbalan bagi pemilik tanah dimana tanahnya dibiarkan tidak berproduksi, artinya rente adalah adalah surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa b e ~ s a h a , yang semata-mata diperoleh karena monopoli pemilikan tanah tersebut. Sedangkan surplus dari investasi memandang tanah sebagai faktor produksi. Rente tanah banyak diterapkan untuk kepentingan antara lain: (1) kontrak sewa, (2) penilaian properti, (3) pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan investasi (Barlowe 1978).

(34)

merupakan suatu pengukuran nilai tanah yang didasarkan kepada kemampuan tanah secara ekonomis yang berhubungan dengan produktivitas dan nilai strategis ekonomisnya. Ukuran produktivitas misalnya tingkat kesuburan, sedangkan ukuran strategis ekonomisnya adalah letaknya secara ekonomis. Sedangkan pengertian harga tanah adalah penilaian atas tanah yang diukur berdasarkan harga nominal dalam satuan uang untuk satuan Iuas tertentu menurut harga pasaran tanah.

Istilah harga tanah lebih mencerminkan nilai pasar atas harga kontrak, harga jual, dan biaya pemilikan. Harga jual adalah harga yang sanggup dibayar oleh pembeli setelah mempertimbangkan berbagai altematif dan merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa yang akan datang. Sedangkan biaya pemilikan tanah adalah fungsi dari harga jual dan harga kontrak. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan fungsional antara nilai tanah dan harga tanah, yaitu harga tanah merupakan fimgsi dari nilai tanah. Hubungan fungsional antara harga tanah dan nilai tanah bermanfaat dalam penentuan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi untuk keperluan PBB, yaitu dengan berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE.69/PJ.6/1990. Harga tanah merupakan fungsi penyesuaian dari faktor-faktor waktu, lebar jalan, akses ke jalan besar, fasilitas yang tersedia, frekuensi banir, peruntukkan, dan tingkat kesuburan, dimana faktor-faktor tersebut dihitung dalm bentuk persentase. Dari tahapan-

tahapan tersebut akan menghasilkan harga tanah yang mencerminkan nilai tanah yang sebenamya.

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Seperti telah diketahui bahwa pada awalnya pembangunan di lakukan untuk mendorong pertumbuhan. Seiring dengan berjalannya waktu upaya ini mulai menampakkan hasil ketika pertumbuhan GDP Indonesia telah mencapai rata-rata 6% sampai 7% per tahun. Namun temyata pertumbuhan yang dicapai seolah-olah hilang dengan munculnya krisis ekonomi tahun pada tahun 199711998.

(35)

diperhatikan. Dengan bertambahnya tujuan-tujuan yang hams dicapai maka perencanaan yang dulunya ditujukan untuk mendorong terjadinya perturnbuhan, sekarang mulai dilakukan untuk memanajemen konflik diantara ketiga tujuan tersehut agar bisa mencapai suatu kondisi yang optimal.

Realitanya kondisi yang optimal dan ideal ini susah untuk dirumuskan. Setiap pihak mempunyai pandangan yang masing-masing berbeda sehingga

kondisi yang ideal pada dasarnya bersifat relatif. Karena itu pendekatan yang terbaik adalah perlunya suatu kompromi dan konsensus diantara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang telah disepakati bersama.

Berkaitan dengan upaya untuk mencapai suatu kesepakatan bersama inilah, maka proses partisipasi dari semua pihak menjadi penting. Partisipasi akan mendorong terjadinya pemkaran infomasi sehingga infomasi yang didapatkan menjadi lebih akurat dan komprehensif. Informasi ini penting untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan manajemen konflik antar tujuan pembangunan yang lebih optimal. Selain itu, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan berbagai pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses pembangunan d m menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup tinggi (Darmawan et al. 2003).

Berbagai keuntungan dari pendekatan partisipasi ini telah mengakibatkan

mainstream penyelenggaraan pembangunan di hampir semua negara dengan

menekankan pengembangan partisipasi. Namun sampai sekarang ternyata masih terjadi kesulitan dalam mewujudkan proses partisipasi di lapangan. Pernbahan paradigma pembangunan memang mempakan suatu proses yang memerlukan waktu. Berbagai perangkat, mekanisme, peraturan dan sebagainya h m s dipersiapkan untuk mencapai suatu proses partisipasi yang optimal. Tanpa itu

semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di lapangan (Darmawan et al. 2003).

(36)

interpretasi konsep partisipasi. Dalam kerangka pembangunan perdesaan (rural development), COHEN dan UPHOFF dalam Darmawan et al. (2003) memaknai konsep partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi termasuk proses monitoring.

Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan program, yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan eksekusi, sampai dengan monitoring dan evaluasi.

Sementara itu OECD dalam Darmawan et al. (2003), melihit partisipasi sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif (participatory development) dari OECD adalah: kemitraan (partnership) yang dibangun atas dasar dialog di antara beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externaNy set project agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan bukan sekedar penerima sebuah program.

Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip: keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan, pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor- aktif masyarakat.

Indikator Pembangunan Wilayah

(37)

tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahapan setelah kegiatan selesai dan berfungsi.

Secara umum indikator kineja memiliki fungsi untuk (1) mempejelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatantprogram dan dalam menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi (Rustiadi et al. 2005)

Sampai saat ini indikator yang umum digunakan sebagai tolok ukur kemajuan dan pembangunan wilayah adalah nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik untuk tingkat kecamatan maupun kabupaten. Nilai PDRB ini menggambarkan jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Dalam skala nasional PDRB dikenal dengan istilah Gross Domestic Product (GDP) dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. Nilai PDRB dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku. Penggunan nilai PDRB sering digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang berlaku diperoleh satu wilayah pada akhimya akan menjadi pendapatan wilayah (Rustiadi et al. 2005).

Pembangunan menghendaki terjadinya peningkatq kualitas hidup penduduk yang lebih baik secara fisik, mental maupun secara spiritual. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan yang dilakukan menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia secara fisik dan mental mengandung makna peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar kesempatan 'untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.

(38)

komparatif atau karena adanya dukungan kebijakan khusus (comparative advantages andpolicy driven), karena lokasi yang strategis dan aksesibilitas yang memadai.

Teknologi Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja

.

Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengopersaikan dan menyimpan data spasial (Star dan Estes 1990 dalam Barus dan Wiradisastra 2000).

Menunut Prahasta (2004), SIG merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi infonnasi- informasi geografis. Suatu SIG dirancang untuk menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis m e ~ p a k a n karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis.

(39)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat pengembangan wilayahnya. Secara praktikal pemahaman filosofis demikian sukar diterapkan sehinga perlu dicarikan berbagai tolok ukur yang multidimensional.

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kine rja harus mempakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kine rja baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahapan setelah kegiatan selesai dan berfbgsi.

Secara umurn indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatanlprogram dan dalam menilai kinejanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kine j a organisasi (Rustiadi et al. 2005).

Dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan yaitu: (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3) indikator berbasis proses pembangunan.

Berdasarkan indikator berbasis proses pembangunan, struktur proses pembangunan terdiri dari input, implementasi/proses, output, outcome, benefit,

dan impact (Rustiadi et al. 2005). Keterkaitan antar indikator pembangunan

(40)

-

Kesejahteraan Masyamkat Manfaat - Indeks Kualitas Hidup (Benefit) - Pernerataan Dan Keadilan

- Sustainability

t

I

- Dampak Eksternal Inter-Regional Dampak - Dampak langka Panjang

Ketemgan :

-

...--- Aliran lnformasi

, - - - a Ruang Lingkup Pembangunan Wilayah

[image:40.523.62.462.60.650.2]

! ! Ruang Lingkup Pembangunan Jangka Panjang

(41)

Berdasarkan kondisi biofisik wilayah Kecamatan Pacet dan Cipanas berada pada wilayah dataran tinggi beriklim sejuk dengan struktur tanah yang gembur karena terbentuk dari bahan induk yang berasal dari tuff vulkan gunung Pangrango, sehingga memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan wilayah berbasis agribisnis. Berdasarkan potensi ekonominya, dari hasil analisis

LQ diketahui bahwa komoditi pertanian mempakan sektor basis di Kecamatan Pacet dan Cipanas (Bappeda 2003).

Program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet dan Cipanas dengan program peningkatan sumber daya manusia, sosial capital, dan pembangunan infrastruktur diharapkan dapat lebih menggali ptensi sumber daya alarn dan meningkatkan pendapatan petani.Adanya peningkatan pendapatan petani diharapkan mampu meningkatkan investasi masyarakat (tabungan), meningkatkan

efek multiplier (dampak ganda) sehingga meningkatnya investasi swasta yang

berdampak pada meningkatnya nilai PDRB. Sampai saat ini PDRB dapat dikatakan sebagai ukuran produktifitas wilayah yang paling umum dan paling dapat diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah maupun negara. Walaupun dianggap memiliki kelemahan PDRB dinilai sebagai tolok ukur pembangunan yang paling operasional.

Berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan, pengembangan infrastruktur di perdesaan selain akan memudaNtan aksesibilitas, menurunkan biaya transportasi dan meningkatkan pendapatan petani juga bisa meningkatkan nilai land rent dan meningkatkan expected value dari lahan di masa yang akan datang. Hal ini bisa mendorong terjadinya proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan-kawasan agropolitan. Karena itu tentunya diperlukan langkah- langkah untuk mengendalikan proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan agropolitan yang telah mempunyai infrastruktur perkotaan.

(42)

bagian dari pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumber daya menuju keseimbangan-keseimbangan baru yang lebih optimal.

Disamping ha1 tersebut di atas dalam pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet dan Cipanas dijurnpai adanya infrastruktur yang tidak dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, diduga hal ini terjadi karena adanya gap yang cukup lebar antara aspirasi masyarakat dan program pengembangan kawasn agropolitan. Dalam proses pembangunan, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan berbagai pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses pembangunan dan menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup tinggi.

Pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip- prinsip: keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama- kemitraan, pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor-aktif masyarakat. Adapun diagram alir kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 2.

Latar Belakang : Kebijakan Pembangunan

I

-yang urban bias.

- Disparitas Perkotaan dan Perdesaan

- Hubungan Perkotaan dan Perdesaan yang saling memperlemah

1

Pembangunan

Pertanian dan Perdesaan

- Sektor Unggulan Pengembangan Sayuran - Potensi Wilayah Agropolitan - Kelembagaan Petani

Tujuan Penelitian :

I . Pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan usahatani petani

2. Pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap harga

[image:42.523.47.497.414.718.2]

C

t

C

Gambar

2

Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
(43)

Hipotesis

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah peningkatan produktivitas, penurunan biaya nsahatani dan peningkatan harga. Program pengembangan kawasan agropolitan diharapkan mampu meningkatkan pemahaman petani dalam pemilihan komoditi dan teknologi budidaya sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertaniannya. Disamping itu adanya pembangunan sarana transportasi berpengaruh menekan biaya transportasi sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani.

2. Adanya peningkatan pendapatan petani diharapkan mampu meningkatkan investasi masyarakat (tabungan), meningkatkan efek multiplier (dampak ganda) sehingga meningkatnya investasi swasta yang berdampak pada meningkatnya nilai PDRB.

3. Pembangunan infrastruktur di kawasan agropolitan meningkatkan aksesibilitas sehingga berpengaruh meningkatkan harga tanah. Meningkatnya harga tanah dapat mengakibatkan tejadinya alih kepemilikan lahan dan alih fungsi lahan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu kawasan agropolitan yang secara spasial mempunyai keterkaitan dengan perekonomian kota-kota besar. Merupakan kawasan yang cukup menarik untuk dijadikan studi kasus yaitu Kecamatan Pacet dan Cipanas di wilayah Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur ini mempunyai kedekatan spasial dengari kota Jakarta, Bogor dan Bandung dan merupakan daerah yang didominasi oleh wilayah perdesaan dengan sektor pertanian sebagai sektor unggulan daerah.

Pengambilan data primer dilaksanakan pada Bulan Juli sampai dengan Agustus 2006, sedangkan pengolahan data dilaksanakan mulai Bulan September hingga November 2006.

Pengumpulan Data

(44)

pustaka dalam penelitian ini adalah dari berbagai buku, makalah, dan laporan

terkait.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei lapangan dan

wawancara yang dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuisioner) yang

telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 1).

Data sekunder diperoleh dari studi pustaka maupun data-data yang

diperoleh dari instansi-instansi terkait antara lain Departemen Pertanian, Dinas

Pertanian Kabupaten Cianjur, Dinas Kimpraswil Kabupaten Cianjur, Bappeda

Kabupaten Cianjur, BPS, dan Bakosurtanal.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan

stake holder yang terkait dengan penelitian. Data sekunder, yaitu data yang

diperoleh dari instansi-instansi yang terkait yang telah tersedia dalam bentuk

dokumen, studi literatur maupun peta. Data dan informasi yang digunakan dalam

penelitian ditarnpilkan pada Tabel 1.

Karakteristik pemasaran komoditas

pertanian unggulan

Tabel I Aspek, Variabel dan Sumber Data

Akses terhadap lahan

digarap (daki eksisting tahun2006). Jenis dan kavasitas vroduk vane;

I No

1 .

- -

dihasilkan petani, jenis dan kapasitas kegiatan pengolahan, jenis dan kapasitas kegiatan pemasaran, pelaku pemasaran, karakteristik kelembagaan vemasaran (data

Variabel

Luas lahan yang digarap petani, tingkat produksi, penggunaan sarana produksi, tenaga kerja yang

dimnakan ver luas lahan vane; Aspek

Keragaan sosial ekonomi usaha tani

- .

eksisting tahun 2006).

Status lahan vane; dikelola petani,

Sumber Data Responden, Dinas Pertanian

- -

sistem pengelolaan lahan dan

Responden, Dinas Pertanian

Responden

topografi, tata guna lahan, infrastruktur 4. Bappeda Kabupaten Cianjur tahun 2003 Kondisi fisik wilayah penjualan lahan.

Posisi geografis, batas sosial administratif, luas wilayah,

(45)

I I

ekonomi wilayah

I

Lanjutan Tabel 1

No

5.

~abuvaten Cianiur

I

6.

Aspek Variabel

Karakteristik pelayanan wilayah

7.

I

Agropolitan(data eksisting 2006).

I

Kebijakan

I

Master Plan Kawasan Agropolitan

Kondisi sosial

I

PDRB, kepadatan penduduk

Jumlah dan jenis fasilitas pelayanan

Bentuk dan tingkat partisipasi

masyarakat

Jenis dan jumlah infrastruktur yang telah dibangun dan dampaknya bagi masyarakat petani

pengembangan Kawasan Agropolitan Pola spasial wilayah

Tingkat kedalaman partisipasi, keterlibatan dalam setiap tahapan pembangunan kawasan dan persepsi yang berkembang (data eksisting 2006).

Stmktur penguasaan sarana

prasarana penunjang pertanian, dan distribusi manfaat dari nilai tambah yang dihasilkan dari pengembangan

infrastmktur kawasan Responden, Dinas Pertanian, Dinas Kimpraswil, Bappeda Kabupaten Cianjur

1

Bappeda Kabupaten Cianjur tahun 2003

Peta admistrasi wilayah, peta jaringan jalan, dan peta landuse

Penentuan Responden

Bakosurtanal, Bappeda

Kabuvaten Cianiur

Untuk mengetahui dampak Kawasan Agropolitan terhadap pendapatan

petani dan harga tanah digunakan data primer yang dilakukan dengan teknik

wawancara dengan menggunakan kuisioner. Populasi responden adalah petani

sayuran di kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan yang diteliti meliputi

Kecamatan Pacet dan Cipanas yang terdiri dari 14 desa.

Teknik sampling atau penarikan contoh dalam penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan metode penarikan sample acak Eerlapis (stratified random

sampling). Dalam penarikan sampel acak berlapis wilayah penarikan sample

(populasi) dibagi kedalam subpopulasi yang disebut lapisan atau strata. Bila strata

telah ditentukan kemudian dilakukan penarikan sample secara acak pada masing-

masing strata (Cochran 1991). Jumlah responden pada wilayah sample ialah 89

orang, jumlah responden setiap strata diambil representatif sesuai dengan luas

(46)

Wilayah penarikan sample dibagi menjadi 3 strata yaitu strata 1 (wilayah inti), strata 2 (wilayah transisi), dan strata 3 (wilayah hinterland). Hal ini berkaitan dengan penataan ruang kawasan agropolitan yang membagi kawasan agropolitan menjadi wilayah inti (Desa Pusat Pertumbuhan) yang mencakup Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani, dan wilayah hinterland, yang terdiri dari 12 desa lainnya. Adanya strata 2 (transisi) adalah untuk mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap wilayah hinterland yang berbatasan atau dekat dengan wilayah inti.

Pembuatan strata dilakukan dengan aplikasi SIG dengan menggunakan fasilitas buffer. Dalam pembuatan strata tersebut yang dijadikan pusat atau

centroid adalah gedung pengelola kawasan agropolitan. Dasar pemilihan centroid

tersebut adalah karena gedung pengelola kawasan agropolitan ini menjadi pusat aktifitas penyuluhan dan pelayanan agropolitan di Kecamatan Pacet dan Cipanas. Jarak antara wilayah inti terhadap pusat adalah 3 km, mencakup desa-desa inti yaitu Sindangjaya dan Sukatani, jar& wilayah transisi terhadap pusat adalah 6 km mencakup Desa Ciloto, Sindanglaya, Cipendawa, Ciherang, Ciputri, sedangkan jarak wilayah hinterland terhadap pusat adalah 9 km mencakup Desa Batulawang,

(47)

32

Kabupaen Bogor

k a r n a t a Sukarmkmlr

PENARIKAN SAMPLE

KECAMATAN PACET DAN CIPANAS

Pararciprnas KABUPATEN CIANJUR mratnsrwlitan

1 0 1 2 K m

e5.F

="layah hintmlmd

[image:47.523.75.451.52.664.2]

~i-*rleyahadmitir~ari

(48)

Metode Analisis

Analisis Usahatani

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik usahatani yang dilakukan oleh petani di kawasan agropolitan. Dalam analisis ini, diidentifikasi pola tanam yang digunakan dan biaya-biaya yang digunakan untuk keperluan tenaga keja, benih, pupuk, pestisida dan peralatan. Dengan mengetahui jumlah biaya-biaya yang harus dikeluarkan persatuan lahan, dan produksinya persatuan luas maka dapat dihitung besarnya pendapatan.

Tingkat pendapatan yang akan diukur dibatasi hanya pada pendapatan pertanian saja (on farm), spesifik pada usahatani komoditi sayuran sebagai komoditi unggulan (sektor basis) pada program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Tingkat pendapatan petani dihitung per tahun dengan unit luasan lahan rata-rata yang dimiliki responden di kawasan agropolitan yaitu 3.000 m2.

Teknologi SIG, Analisis Cross Tab dan Analisis Chisquare

Data tingkat pendapatan petani diinput kedalam data atribut dengan perangkat SIG untuk mengetahui sebaran tingkat pendapatan petani secara spasial di kawasan agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas. Data tingkat pendapatan petani

Gambar

Gambar 1 Keterkaitan antar Indikator Pembangunan Daerah
Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3 Strata pada wilayah penarikan sample dan sebaran responden
Gambar 5 Wilayah penelitian di Kecamatan Pacet dan Cipanas.
+7

Referensi

Dokumen terkait

pelaksanakan program kegiatan sekolah/ma-drasah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjut. Secara umum kinerja kepala sekolah dalam kompetensi

[r]

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

1) Setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya ( adaptation ). Tidak ada cara yang sama dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum oleh para pemegang peranan,

Hasil yang diperoleh dari kegiatan PPL ini adalah pengalaman mengajar maupun pengalaman dalam mengenali dan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul di lingkungan

Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,

The most common route to take when going from San José down to Jacó is to drive via Alajuela, continue to Atenas and further down the dark green slopes of the west side of Costa