• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pola perubahan pemanfaatan ruang dan implikasinya terhadap pelaksanaan rencana tata ruang wilayah kabupaten Sumedang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pola perubahan pemanfaatan ruang dan implikasinya terhadap pelaksanaan rencana tata ruang wilayah kabupaten Sumedang"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

RENCANA TATA RUANG WILAYAH

KABUPATEN SUMEDANG

ARIF JUNAEDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan YAYAT SUPRIATNA

Sebagai penyangga perkembangan wilayah Bandung, Kabupaten Sumedang telah menjadi daerah perluasan kawasan perkotaan untuk sektor pemukiman, sehingga mendorong pertumbuhan penduduk. Perkembangan Kabupaten Sumedang menyebabkan kebutuhan akan ruang meningkat, sedangkan ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan (Land Use). Perubahan penutupan/penggunaan lahan akan mendorong penyimpangan terhadap pelaksanaan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan penutupan/penggunaan lahan dari tahun 2002-2006, mengidentifikasi pusat-pusat perubahan ppenggunaan lahan, menentukan konsistensi/inkonsistensi pelaksanaan RTRW Kabupaten Sumedang dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi pelaksanaan RTRW.

Penutupan/Penggunaan lahan dianalisis melalui pengolahan citra landsat 7 ETM tahun 2002 dan 2006, dan perubahan penggunaan lahan diidentifikasi dengan menumpangtindihkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dengan tahun 2006 hasil pengolahan citra. Peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2006 ditumpangtindihkan dengan peta RTRW 2012 untuk mengetahui konsistensi/inkonsistensi pelaksanaan RTRW. Pusat-pusat perubahan penutupan/penggunaan lahan dianalisis menggunakan analisis Locational Quotient (LQ). Faktor penentu inkonsistensi, dianalisis berdasarkan peubah penduga yang berasal dari data Podes Kabupaten Sumedang Tahun 2006 yang diolah dengan metode Principal Component Analysis (PCA), selanjutnya dilakukan analisis regresi berganda (multiple regression analysis) dengan factor scores hasil PCA sebagai variabel bebas (x), dan luas inkonsistensi sebagai variabel tak bebas (y).

(4)

memiliki luas hutan lindung relatif lebih luas menjadi pusat penurunan luas hutan lindung dan peningkatan luas pertanian lahan kering. Sedangkan penurunan luas pertanian lahan basah sejalan dengan peningkatan luas pemukiman, dan umunya terjadi pada kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi. Luas hutan lindung tahun 2006 sudah dibawah luas target pada RTRW tahun 2012, sedangkan pertanian lahan basah, walaupun luasannya masih di atas luas rencana tahun 2012 dan pemukiman masih di bawah luas rencana tahun 2012, tapi perubahan per tahunnya sudah melebihi rencana perubahan per tahun. Faktor yang mempengaruhi penyimpangan antara lain Kepadatan penduduk, Rendahnya rasio luas lahan sawah dan ladang, mudahnya akses ke pusat pemerintahan, akse ke sarana prasaran kesehatan dan jumlah rumah di pemukiman kumuh.

(5)

Spatial Planning in Sumedang Regency. Under Direction MUHAMMAD ARDIANSYAH and YAYAT SUPRIATNA

The development of Sumedang Regency has the implication on the need of spatial which is increase from time to time. In the other side, spatial condition relatively constant, thus it will force the change of land use. The aim of this research are to identifie the change of land use and its centre of land use change from 2002-2006, to determine the consistency/inconsistency of Sumedang Regency spatial planning (RTRW) implementation and other factors determining its inconsistency. The method of this research base on geographical information system (GIS), that is used to determine land use change and the inconcistency of spatial planning implementation. The centre of land use change is analysed by using Locational Quotient (LQ) analysis. The main factor determining inconsistency of spatial planning implementation is analysed based on certain variable from profile of villages data in Sumedang regency in 2006 by using Principal Component Analysis Method and multiple regression analysis. The result of the research indicate that in 2002-2006, natural reserve decreases in line with increasing of upland farming area, and the centre of land use change in general is located in certain sub district that has relatvely wide of natural reserve. Wet land farming decrease in line with the increasing of housing area, it happen in certain sub district that has high people dencity. The area of natural reserve in 2006 is below the area that is targeted on spatial planning in 2012. Wet land farming and housing area is over yearly target, although the total area still below the 2012 target. The factors that influence inconcistency of spatial planning are : population dencity, ratio of wetland farming, ratio of upland farming, acces to governmental centre, acces to health infrastructure, and the number of house dirty settlement.

(6)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

RENCANA TATA RUANG WILAYAH

KABUPATEN SUMEDANG

ARIF JUNAEDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Perencanaan Wilayah (PWL)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : ARIF JUNAEDI

NRP : A.353060224

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Ketua

YayatSupriatna, MSP

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

rasuulillaah!,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT, atas ridho dan pertolongan-Nya akhirnya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak September – Desember 2007 ini adalah Penyimpangan Pemanfaatan Ruang dengan judul Analisis Pola Perubahan Pemanfatan Ruang dan Implikasinya terhadap Penyimpangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang.

Banyak bantuan, dukungan, dan dorongan dari berbagai pihak dalam penyelesaian tesis ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah dan Bapak Yayat Supriatna, MSP selaku pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya. Bapak Dr. Ir. Iskandar selaku penguji luar atas segala saran dan masukannya, Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai Ketua program studi Perencanaan Wilayah beserta seluruh jajaran manajemen. Terima kasih pula kami sampaikan kepada pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, khususnya kepada Bapak Drs. H. Osin Herlianto selaku Wakil Bupati Sumedang atas ijin, nasehat, dukungan dan segala bentuk perhatian yang selalu diberikan. Kepala Bapeda Kabupaten Sumedang, Kepala BPS Kabupaten Sumedang atas segala bantuan datanya, serta rekan-rekan sekpri dan ajudan Wakil Bupati dan staf Subag Protokol Setda Kabupaten Sumedang atas segala dorongan dan kerjasamanya.

Kepada staf pengajar Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, tak lupa kepada Ibu Tuti, Sdri Yuli, Bu Tini, Kang Suratman dan seluruh staf administrasi Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan atas segala bantuannya. Kepada rekan-rekan mahasiswa PWL angkatan 2006 khusus dan reguler atas, bantuan, dukungan dan kerjasamanya, semoga kekompakan dan silaturahmi di antara kita tetap terjaga walau sudah tidak bersama-sama lagi.

Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua serta ibu mertua atas segala doa, dorongan dan dukungannya. Juga kepada istri tercinta Idah Khoeriyah yang demikian tulus menemani dengan penuh pengertian. Terima kasih juga kepada buah hati tersayang kedua putri cantik Syntia Fitriyani Layinah dan Luthfiya A’yuni yang mengkayakan jiwa dan menyalakan api semangat berkarya.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa pun yang membacanya

Bogor, Maret 2008

(11)

pasangan D. Suharma dan Arnasih. Penulis merupakan putra kelima dari delapan bersaudara. Sekolah dasar diselesaikan di SDN Nyalindung 2 Sumedang tahun 1985, SMP Negeri 2 Cimalaka Sumedang tahun 1988, SMA Negeri 2 Sumedang tahun 1991 dan kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis mengambil Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun 1996.

Penulis bekerja pada PT Galasari Gunung Swadaya (Perkebunan) tahun 1997-1998, dan pada Januari 1999 diterima sebagai PNS di lingkungan Pemda Kabupaten Sumedang, dan ditempatkan pada Kantor Kecamatan Paseh sampai dengan Oktober 2001. Selanjutnya pada Kantor Pemberdayaan Masyarakat sampai Pebruari 2002 serta pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial sampai Juni 2003. Dari Juni 2003 sampai mengikuti tugas belajar penulis bekerja pada Subag Protokol Bagian Umum Setda Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2007, ketika penulis mengikuti pendidikan di PWL penulis ditugaskan sebagai staf pada Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Sumedang.

(12)

i

hal

DAFTAR TABEL…... iii

DAFTAR GAMBAR... . v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN... . 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan ... 6

Manfaat Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Perencanaan Pengembangan Wilayah ... 8

Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 8

Sumberdaya Lahan dan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan ... 9

Ruang ... 14

Penataan Ruang ... 15

Penataan Ruang Wilayah Kabupaten ... 16

Penyimpangan Penataan Ruang ... 20

Analisis Spasial ... 21

Sistem Informasi Geografis ... 23

METODE PENELITIAN... 25

Kerangka Pemikiran... 25

Jenis Data dan Alat ... 27

Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

Analisis dan Pengolahan data... 28

Ekstraksi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra... 31

Deteksi Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan ... 31

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan.. 31

Analisis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang terhadap RTRW …... 32

(13)

ii

Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ... 35

Transportasi ... 36

Kondisi Demografi ... 37

Kondisi Ekonomi ... 38

Rencana Alokasi Pemanfaatan Ruang ... 40

Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN... 44

Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2006... 44

Perubahan Penutupan /Penggunaan Lahan... 48

Pemanfaatan Ruang Tahun 2002-2006... 49

Perubahan Pemanfaatan Ruang... 52

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Pemanfaatan Ruang... 59

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumedang... 62

Analisis Penyimpangan RTRW Kabupaten Sumedang... 66

Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang per Tahun ... 68

Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang Setiap Wilayah Pengembangan . 73 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyimpangan RTRW Kabupaten Sumedang... 91

KESIMPULAN DAN SARAN... 100

Kesimpulan ... 100

Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA... 102

(14)

iii

No Teks hal

1. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten SumedangTahun 1996 dan

2002... 5

2. Matriks Penelitian………... 30

3. Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumedang Tahun 2006... 38

4. Kontribusi Setiap Sektor terhadap PDRB Kabupaten Sumedang... 39

5. Pendapatan Per Kapita Kabupaten Sumedang Tahun 2002-2006 ... 40

6. Luas dan Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2006. ... 44

7. Matriks Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 -2006 48 8. Padanan Data Pemanfaatan Ruang dengan Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan... 50

9. Luas dan Perubahan Pemanfaatan Ruang Tahun 2002 dan 2006... 51

10. Luas Perubahan Pemanfaatan Ruang Tahun 2002-2006 per Kecamatan... 53

11. Data Kependudukan Kabupaten Sumedang Tahun 2006... 54

12. Hasil Perhitungan LQ... 60

13. Rencana Pemanfaatan Ruang menurut RTRW 2002-2012... 63

14. Perbandingan Kawasan Hutan Menurut TGHK dan RTRW... 66

15. Pemanfaatan Ruang berdasar RTRW dan Kondisi Tahun 2006... 67

16. Rencana Perubahan Pemanfaatan Ruang menurut RTRW... 69

17. Klasifikasi Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang... 70

18. Tingkat Perubahan Pemanfatan Ruang Per Tahun ... 71

19. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Sumedang Kota.. 74

20. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Sumedang Kota... 77

21. Proyeksi Penduduk Wilayah Sumedang Kota 2002-2012... 78

(15)

iv

23. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Tanjungsari... 80

24. Proyeksi Penduduk Wilayah Tanjungsari 2002-2012... 80

25. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Darmaraja... 82

26. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Darmaraja... 83

27. Proyeksi Penduduk Wilayah Darmaraja 2002-2012... 84

28. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Tomo... 85

29. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Tomo... 87

30. Proyeksi Penduduk Wilayah Tomo 2002-2012... 87

31. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Buahdua... 88

32. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Buahdua... 89

33. Proyeksi Penduduk Wilayah Buahdua 2002-2012... 89

34. Hasil Perhitungan LQ PerubahanLand Usedi Tiap WP ... 90

35. Peubah Asal Penduga Penentu Konsistensi RTRW Kabupaten Sumedang... 92

36. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Tutupan Hutan Lindung ... 94

37 Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pertanian Lahan Kering... 95

38. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pertanian Lahan Basah ... 96

39. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pemukiman... 98

(16)

v

No Teks Hal

1. Diagram Kerangka Pemikiran ... 27 2. Diagram Tahapan Penelitian ... 29 3. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumedang... 35 4. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun

2002... 45 5. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun

2006... 46 6. Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan menjadi Pemukiman di

Lereng Gunung Geulis Kecamatan Tanjungsari... 57 7. Pertambangan Galian C di Lereng Gunung Tampomas... 58 8. Peta Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang

2002-2012... 64 9. Peta TGHK Kabupaten Sumedang... 65 10. Bekas Pertambangan Galian Ciletuh Kecamatan Jatigede yang tidak

(17)

vi

No Teks Hal

1. Daftar Kecamatan dan Desa di Kabupaten Sumedang ... 106

2. Citra Landsat Tahun 2002 Kabupaten Sumedang ... 113

3. Citra Landsat Tahun 2006Kabupaten Sumedang... 114

4. Penduga Awal Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW... 115

5. NilaiEigenvalueHasil Pengolahan PCA... 120

6. Loading FactorHasil Pengolahan PCA... 121

(18)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Lokasi Kabupaten Sumedang berada pada jalur lalu lintas Bandung dan Cirebon, sehingga perkembangan Kabupaten Sumedang dipengaruhi oleh perkembangan Bandung dan Cirebon. Kabupaten Sumedang memiliki arti penting bagi wilayah Bandung. Sebagai penyangga perkembangan wilayah Bandung Kabupaten Sumedang telah menjadi daerah perluasan kawasan perkotaan untuk sektor pemukiman dan industri. Berpindahnya lokasi Universitas Padjadjaran ke Kabupaten Sumedang tepatnya Kecamatan Jatinangor, yang diikuti oleh berdirinya beberapa Perguruan Tinggi lain di Kecamatan Jatinangor (IPDN, IKOPIN, UNWIM), menjadikan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan berimplikasi pula terhadap perkembangan Kabupaten Sumedang.

Perkembangan Kabupaten Sumedang diikuti pertumbuhan penduduk, menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Sementara itu, ruang terbatas dan jumlahnya relatif tetap, sehingga terjadi persaingan pemanfaatan lahan dan konsekuensinya terjadi alih fungsi lahan. Perubahan penggunaan lahan menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari sebagai akibat dari pergeseran alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan-keseimbangan baru (Andriyani, 2007). Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman.

(19)

Kegiatan manusia dan mahluk hidup membutuhkan ruang sebagai lokasi berbagai kegiatan atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Oleh karena itu, pemanfaatan ruang yang baik memerlukan suatu penataan yang komprehensif. Penataan ruang harus mempertimbangkan berbagai aspek yang mencakup perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bila suatu penataan ruang tidak didasari pertimbangan rasional sesuai dengan potensi wilayah tersebut, maka dapat terjadi inefisiensi ruang atau penurunan kualitas ruang. Hal ini dapat berdampak pada rusaknya lingkungan dan beresiko mengalami bencana yang dapat muncul secara tak terduga.

Agar kegiatan masyarakat dapat berlangsung secara efisien dan dapat menciptakan keterpaduan dalam pencapaian tujuan pembangunan, perlu dilakukan pengaturan alokasi lahan (Dardak, 2005). Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam pola alokasi investasi yang bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Menurut Rustiadi et al. (2006), penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan), dan (c) keberlanjutan (prinsip sustainability). Tujuan lain dari penataan ruang adalah untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Dengan kata lain penataan ruang diharapkan dapat mengefisienkan pembangunan dan meminimalisasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan (Budiharjo, 1997).

(20)

kebijakan-kebijakan baru yang kurang memperhatikan aspek fisik lahan sehingga dapat mengganggu ekosistem. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya degradasi lahan (Marisan, 2006).

Sebagai upaya penataan ruang pemerintah Kabupaten Sumedang telah menyusun RTRW 2002-2012 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 33 Tahun 2003. Menurut RTRW 2002 – 2012, pada tahun 2012 pemanfaatan ruang di Kabupaten Sumedang direncanakan meliputi kawasan lindung 25,84% yang terdiri dari hutan lindung/konservasi seluas 23.025 ha (15,13%) dan sempadan sungai 16.304 ha (10,71 %). Kawasan budidaya 74,16% meliputi budidaya pertanian seluas 93.808 ha (61,63%) dan budidaya non pertanian 19.082 ha (12,54 %). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian pemanfaatan ruang pada tahun 2006 dengan RTRW 2012.

Izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak sesuai dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan, seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman. Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota menunjukkan adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota. Ketidakterpaduan rekomendasi Pemerintah Daerah dengan Perda yang telah ditetapkan dan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang menunjukan adanya inkonsistensi dalam penataan ruang kabupaten. Inkonsistensi yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya penyimpangan penggunaan ruang dari RTRW yang telah ditetapkan.

Pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota belum benar-benar mengacu pada RTRW yang telah ditetapkan dalam melaksanakan pembangunan. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang adalah selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota (Sunardi, 2001).

(21)

berkurang akibat arah pembangunan dan kebijakan tidak jelas. Menurut Kasie Penyuluhan Pertanian, Kantor Penyuluhan Pertanian, Kehutanan dan Ketahanan Pangan, secara visual, lahan pesawahan di Kabupaten Sumedang sudah banyak beralih fungsi menjadi bangunan, sebagai salah satu contoh, areal pesawahan di Kecamatan Sumedang Selatan yang merupakan sawah beririgasi teknis, sudah beralih ke perumahan dan pekarangan. Padahal menurut ketentuan dan peraturan, sawah irigasi tidak boleh dikonversi, kecuali pemerintah melakukan konversi dengan mengganti dengan sawah baru.

Perumusan Masalah

Perkembangan Kabupaten Sumedang yangdiikuti pertumbuhan penduduk, menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat sehingga konsekuensinya terjadi alih fungsi lahan. Perubahan penggunaan lahan menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari sebagai akibat dari pergeseran alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan-keseimbangan baru (Andriyani, 2007). Alih fungsi lahan sebagai konsekuensi dari perkembangan wilayah yang diperparah dengan inkonsistensi penataan ruang wilayah akan mengakibatkan berbagai dampak negatif seperti degradasi lahan yang bahkan pada akhirnya bisa menimbulkan bencana. Pada Tabel 1 disajikan struktur penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang untuk tahun 1996 dan 2002.

(22)

Tabel 1. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun 1996 dan 2002

No Penggunaan Lahan 2002 1996 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha)

1 Permukiman 10.060 6,61 9.699 6,37 361

- Perumahan 943 0,62 654 0,43 289

- Perkampungan 9.054 5,95 9.045 5,94 9

- Lap Olah Raga 63 0,04

2 Perdagangan 1 0,00

3 Jasa 228 0,15 185 0,12 43

4 Pariwisata 152 0,10

5 Kawasan Perguruan Tinggi 534 0,35 534 0,35 0

6 Padang Golf 170 0,11 140 0,09 30

7 Industri 469 0,31 395 0,26 74

- Kawasan Industri 201 0,13

- Zona Industri 268 0,18

8 Sawah 34.412 22,61 34.487 22,66 -75

- Irigasi Teknis 17.427 11,45 17.427 11,45

- Tadah Hujan 16.985 11,16 17.060 11,21 -75

9 Pertanian Lahan Kering 50.413 33,12 49.771 32,70 642

- Tegalan 11.325 7,44 11.744 7,72 -419

- Kebun Campuran 39.088 25,68 38.026 24,98 1.062

10 Perkebunan 1.599 1,05 2.052 1,35 -453

- Perkebunan Rakyat 810 0,53 810 0,53 0

- Perkebunan Besar 789 0,52 1.242 0,82 -453

11 Perikanan/ Kolam 445 0,29 445 0,29 0

12 Peternakan 60 0,04

13 Hutan 48.780 32,05 46.112 30,29 2.668

- Hutan Lebat 15.796 10,38 - Hutan Belukar 7.995 5,25 - Hutan Sejenis 24.989 16,42

14 Padang 1.878 1,23

- Semak Belukar 1.644 1,08 1.663 1,09 -19

- Padang rumput/Alang-alang 234 0,15

15 Tanah Galian C 370 0,24 364 0,24 6

16 Lain-lain 2.649 1,74 6.373 4,19 -3.724

Jumlah 152.220 100,00 152.220 100,00 0,00

(23)

Untuk meminimalisir dampak-dampak negatif tersebut perlu diketahui sejauh mana penyimpangan penataan ruang terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan pemanfaatan/peruntukan lahan, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya sehingga bisa memberikan arahan bagi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang ke depan untuk meminimalkan dampak negatif dari alih konversi lahan.

Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002-2006 ? 2. Di mana pusat-pusat terjadinya perubahan penggunaan lahan?

3. Apakah terjadi penyimpangan pola ruang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyimpangan pola ruang terhadap RTRW tersebut?

Tujuan

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002-2006; 2. Mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan;

3. Mengevaluasi/menilai penyimpangan pola ruang terhadap RTRW;

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW. Manfaat Penelitian

Pemahaman terhadap inkonsistensi Rencana Tata Ruang Wilayah dan faktor-faktor penyebabnya diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai informasi untuk menentukan langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan guna mengantisipasi dampak buruk dari inkonsistensi RTRW; 2. Memberikan arahan bagi Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam melakukan

(24)
(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Pengembangan Wilayah

Bidang kajian pengembangan wilayah mempunyai ruang lingkup dari berbagai disiplin ilmu, yaitu ilmu-ilmu fisik (geografi dan geofisik), ilmu sosial ekonomi (sosiologi, ekonomi) dan ilmu manajemen. Menurut Rustiadi et al. (2006) perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek proses politik, manajemen dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang atau wilayah. Perencanaan pengembangan wilayah adalah konsep yang utuh dan menyatu dengan pembangunan wilayah. Secara luas perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Dari sisi proses, Rustiadiet al. (2006) mengemukakan bahwa perencanaan dan pembangunan wilayah memerlukan pendekatan-pendekatan yang mencakup : (1) aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar wilayah. Oleh karena itu diperlukan pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem sebagai alat (tools) untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan wilayah. Selanjutnya (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknik-teknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi dan manajerial pembangunan.

Penutupan dan Penggunaan Lahan

(26)

lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut. Sementara Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung pengertian yang berbeda. Penggunaan lahan menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan lebih bernuansa fisik. Rustiadi (1996) mendefinisikan penggunaan lahan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan baik yang bersifat permanen atau cyclic dalam rangka memenuhi kepuasan dan kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual.

Arsyad (1989) mengelompokan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut; (2) penggunaan lahan non-pertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya. Sebagai wujud dari kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan. Dengan demikian sebagai keputusan manusia untuk memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu selain sisebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan, perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah.

Sumberdaya Lahan dan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan

(27)

wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Pemanfatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta infrastruktur perumahan dan fasilitas publik. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya, sehingga perubahan tidak bisa dihindari.

Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Menurut Winoto et al. (1996), perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan menurut Saefulhakim (1999) secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu : (1) struktur permintaan atau kebutuhan lahan, (2) struktur penawaran atau ketersediaan lahan, dan (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktivitas sumber daya alam.

(28)

persawahan, (3) daerah persawahan pada umumnya lebih mendekati wilayah konsumen yang relatif padat penduduk dibandingkan lahan kering yang sebagian besar terdapat di daerah bergelombang, perbukitan dan pegunungan (Nofarianty, 2006).

Rustiadiet.al.(2006) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan seringkali memiliki permasalahan-permasalahan yang saling terkait satu sama lain, sehingga tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang parsial namun memerlukan pendekatan-pendekatan-pendekatan-pendekatan yang integratif. Permasalahan-permasalahan tersebut berupa : (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, dan (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Proses alih fungsi lahan sudah merupakan pemandangan yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Winoto (1995) alih fungsi lahan merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, disamping merupakan berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian, juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Sementara Sumaryanto et al. (1994) menjelaskan alih guna lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumber daya antar sektor penggunaan. Akibat struktur perekonomian yang mengarah pada semakin meningkatnya peranan sektor non pertanian, menyebabkan terjadinya perubahan komposisi besaran dan laju penggunaan sumber daya (tenaga kerja,modal dan tanah) antar sektor. Lazimnya, sektor-sektor ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan sumber daya yang lebih tinggi. Akibatnya realokasi sumber daya dari sektor pertaniaan ke non pertaniaan sangat sulit dihindari.

(29)

bahwa lahan akan digunakan sesuai dengan nilai ekonomi (land rent) yang dapat memberikan nilai tertinggi, maka konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya tidak dapat dicegah.

Irawan (2005) mengemukakan bahwa, konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antar sektor pertanian dan sector non-pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian pada tingkat yang lebih tinggi di bandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Ini disebabkan karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat pertumbuhan penduduk), yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian (akibat pertumbuhan Penduduk) mendorong terjadinya konversi lahan pertanian.

Konversi lahan pertanian terkait pada beberapa faktor antara lain disebabkan oleh : (1)natureatauinstriticsumberdaya lahan, sesuai prinsip hukum ekonomi supply-demad yang mengalami struktur kelangkaan sebagai akibat meningkatnya permintaan lahan sawah irigási ke non pertanian, sementara secara kuantitas sumberdaya lahan yang tersedia tetap, (2) berkaitan dengan market failure pergeseran struktural dalam perekonomian, dan dinamika pembangunan yang cenderung mendorong petani untuk alih profesi dengan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya, (3) berkaitan goverment failure yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi yang lebar kepada sektor industri namun laju investasi di sektor belum diikuti dengan laju penetapan peraturan dan perundang-undangan yang bisa dipakai sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan (Rustiadi et al. 2006). Sementara menurut Saefulhakim dan Nasution (1995), ada beberapa faktor yang sangat berperan penting dalam proses alih guna lahan pertanian ke non pertanian, yaitu:

(30)

2. Fluktuasi harga pertaniaan menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditi yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija);

3. Stuktur biaya produksi pertaniaan. Biaya produksi dan aktifitas budidaya tanah sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses pengalihgunaan tanah. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha;

4. Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada penggunaan tanah yang memiliki tingkat permintaan yang terus meningkat, akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstentsfikasi dari penggunaan tanah yang demikian akan terus mendorong proses alih guna lahan;

5. Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesibilitas lokasi, akan lebih mendorong perkembangan penggunaan pertanian ke non pertanian;

6. Resiko dan ketidakpastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungan. Hal ini menimbulkan nilailand rent menjadi lebih rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang mempunyai resiko dan ketidakpastian lebih tinggi akan cenderung dialihfungsikan ke penggunaan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastiannya lebih rendah; 7. Tanah sebagai aset. Walaupun tanpa pemanfaatan, pandangan ini

memperumit permasalahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan aksesibilitasnya, sama sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi (milik pribadi penguasa tanah). Sistem kepemilikan atas dasar keperansertaan untuk saat ini “tidak ada”, maka terjadi fenomena spekulan tanah yang mengalihgunakan tanah pertanian ke penggunaan lain yang tidak jelas peruntukannya.

(31)

pemerintah, (2) sistem non-kelembagaan yang kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya lahan. Kedua faktor tersebut diperkuat pula dengan adanya dua kebijakan dari luar sistem pertanian yang berimplikasi tidak senantiasa kondusif terhadap perkembangan pertanian. Kebijakan yang dimaksud adalah :

1. Strategi pembangunan yang bias terhadap pembangnan perkotaan (urban bias) yang bertmpu pada sektor industri

2. Urbanisasi, yaitu satu proses alamiah yang menyertai terjadinya pusat transformasi struktur perekonomian nasional dan wilayah.

Ruang

Menurut Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.Menurut istilah geografi secara umum ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Menurut istilah geografi regional ruang sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata, 1999).

(32)

menstimulasi sekaligus mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah.

Penataan Ruang

Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai suatu proses yang ketiganya tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang).

Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjoet al., 2001).

(33)

mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjoet al., 2001).

Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Menurut UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Hal ini menjelaskan bahwa sumber daya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur wilayah, dan kegiatan usaha merupakan unsur pembentuk ruang wilayah dan sekaligus unsur bagi pembangunan wilayah.

Sementara itu wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif dan kawasan fungsional.

(34)

pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai, sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan ini meliputi hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan.

Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang ke dalam bentuk program-program pemanfaatan ruang oleh sektor-sektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Dari usaha pemanfaatan ruang ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup (PP 47 Tahun 1997).

(35)

sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.

Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap, sementara aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang senantiasa berkembang sehingga menimbulkan terjadinya persaingan pemanfaatan ruang. Agar pemanfaatan ruang bisa efisien dan menciptakan keterpaduan guna mencapai ruang kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan diperlukan suatu penataan ruang. Penataan ruang adalah suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun berasaskan : (a) keterpaduan; (b) keserasian, keselarasan dan keseimbangan; (c) keberlanjutan; (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (e) keterbukaan; (f) kebersamaan dan kemitraan; (g) perlindungan kepentingan umum; (h) kepastian hukum dan keadilan; dan (i) akuntabilitas.

(36)

pemerataan, keberimbangan, dan keadilan); c) keberlanjutan (prinsip

sustainability).

Menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Adapun yang dimaksud struktur ruang adalah susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku (Sastrowihardjoet al., 2001).

Hasil dari proses perencanaan tata ruang wilayah adalah berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW selain merupakan guidance of future actions juga merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras dan seimbang untuk mencapai kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (Dirjen Penataan Ruang, 2003).

Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga menyatakan setiap daerah kabupaten perlu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten sebagai arahan pelaksanaan pembangunan. Sejalan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 13/2004 yang menitikberatkan kewenangan pelaksanaan pembangunan pada pemerintah kabupaten, dalam hal ini termasuk pelaksanaan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten.

(37)

dan RTRW provinsi; pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan rencana pembangunan jangka panjang daerah (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). RTRW kabupaten menurut UU 26 Tahun 2007 merupakan pedoman yang digunakan untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antar sektor; penetapan fungsi ruang untuk investasi; dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten. Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatan-kegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et al., 2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang.

Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan dan perkembangan di wilayah perencanaan. RTRW kabupaten/kota disusun berdasarkan perkiraan kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Penyimpangan Penataan Ruang

(38)

serta kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan. Selain itu, dalam pelaksanaannya juga sering dijumpai tumpang tindih dalam pengaturannya dengan sektor lain.

Menurut Dirjen Penatan Ruang Depkimpraswil (2003), upaya pengembangan wilayah ditempuh melalui proses penataan ruang (spatial planning process), yang terdiri atas 3 (tiga) hal :

(a) proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).

(b) proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujudoperasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,

(c) proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

Dalam pelaksanaannya pemanfaatan lahan belum seluruhnya mengacu kepada RTRW karena beberapa kendala sebagai berikut :

1. Pelaksanaan atau pengarahan kesesuaian penggunaan lahan hanya terbatas pada perorangan atau Badan Hukum yang mengajukan izin lokasi atau hak atas tanah, sedang masyarakat pada umumnya belum banyak berpartisipasi bahkan banyak yang tidak mengetahui keberadaan dan fungsi RTRW .

2. Penyusunan RTRW belum banyak melibatkan partisipasi masyarakat antara lain dalam pemberian informasi tentang potensi wilayahnya.

3. RTRW disusun berdasarkan potensi fisik dan ekonomi wilayah yang di dalam fungsi-fungsi kawasan terdapat bidang-bidang lahan yang telah digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang penggunaannnya tidak sesuai dengan arahan RTRW.

Analisis Spasial

(39)

terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Haining dalam (Rustiadi et al., 2006) mendefinisikan analisa spasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya.

Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah :

1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat.

2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi.

3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis.

(40)

Sistem Informasi Geografis

Menurut Star dan Ester dalam Barus dan Wiradisastra (2000), Sistem Informasi Geografis (SIG) didefinisikan sebagai suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. SIG dinyatakan juga mempunyai kehandalan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi.

Aronoff dalamWahyuni (2006) membuat pernyataan yang hampir sama dengan Star dan Ester yaitu SIG merupakan sistem informasi yang dirancang menggunakan basis data yang memiliki referensi spasial atau berkoordinat geografi. Sebagai suatu sistem yang berbasis komputer SIG mempunyai kemampuan untuk menangani data spasial dan non spasial yang mencakup pemasukan data, manajemen data, manipulasi data dan pengembangan produk dan pencetakan.

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005).

(41)

Menurut Lioubimstseva dan Defourney dalam Elfida (2007), peran SIG semakin besar dalam kajian sumberdaya ekologi termasuk perencanaan penggunaan lahan. Secara umum SIG sangat bermanfaat baik untuk pemetaan, evaluasi sumberdaya lahan, permodelan atau aplikasi model. Peran SIG secara spesifik antara lain:

1. Menyediakan struktur data untuk penyimpanan dan pengolahan data yang lebih efisien termasuk untuk luasan yang besar.

2. Memungkinkan pengumpulan atau pemisahan data dengan skala yang berbeda.

3. Mendukung analisis statistik spasial dari distribusi ekologi.

4. Menyediakan masukan data/parameter dalam permodelan atau aplikasi model. 5. Meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi dari penginderaan jauh.

Pellika et al. (2004) mengatakan bahwa SIG telah terbukti dapat menghasilkan penelitian yang akurat dan potensial tentang perubahan penggunaan lahan di perbukitan Taita Kenya bagian Tenggara.

(42)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Penyusunan RTRW dan Peraturan-peraturan Daerah merupakan upaya pemerintah kabupaten untuk memajukan daerahnya, melalui berbagai aktivitas pembangunan. Dalam pelaksanaannya sering terjadi suatu penyimpangan terhadap RTRW yang diakibatkan ketidaktahuan masyarakat mengenai RTRW, kurangnya koordinasi antar Satuan Kerja Pemerintahan, dan ketidakkonsistenan pemberian ijin pembangunan dengan peraturan yang berlaku, yang mendorong perubahan fungsi lahan yang dapat berakibat dalam penurunan kualitas lingkungan.

RTRW pada dasarnya telah mengatur arahan pemanfaatan ruang secara umum. Agar penggunaan dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkesinambungan, setiap ruang dalam suatu wilayah dengan batasan administrasi pemerintahan (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) dialokasikan penggunaannya dalam kawasan-kawasan tertentu. Peta RTRW pada tingkat Kabupaten/Kota merupakan gambaran mengenai kondisi atau bentuk tata ruang pada 10 tahun mendatang sejak RTRW ditetapkan dengan asumsi pertambahan penduduk dan kebutuhan infrastruktur wilayah sesuai dengan prediksi yang dibuat.

Peningkatan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dipengaruhi pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pula kebutuhan lahan (ruang), baik pada lahan pertanian maupun lahan non pertanian. Sementara itu, total luasan lahan dan lokasi lahan tetap.

(43)

Kondisi penggunaan lahan yang merupakan gambaran dari pemanfaatan ruang suatu wilayah dapat dipantau melalui data penginderaan jauh, sedangkan perubahan dan perkembangannya dapat disintesis dari SIG. Sistem ini merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan untuk berbagai analisis yang menyangkut aspek spasial. Pada pengertian lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Pengolahan data berupa peta-peta tematik digital dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3.2., dengan menggunakan fungsi analisis tumpang tindih. Dari hasil overlay tersebut diperoleh polygon-polygon baru yang memiliki informasi tentang kombinasi atribut dari peta-peta tematik. Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai data basis untuk analisis yang diperlukan seperti konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dan perubahan penutupan lahan.

Analisis dilakukan dengan membandingkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dan tahun 2006 dan menumpangtindihkan peta RTRW dengan peta citra kondisi terakhir. Hasil perbandingan berupa luas perubahan penutupan lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW yang kemudian dijadikan sebagai basis data untuk analisis lanjutan untuk mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan dalam unit kecamatan dengan menggunakan metode

Location Quotient (LQ). Selain itu, data tersebut juga dipakai dalam analisis regresi guna mengetahui keeratan hubungan antara luas area inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW dalam unit desa. Faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi diperoleh dari hasil pengolahan data potensi desa dengan menggunakan analisisPrincipal Component Analysis (PCA).

(44)

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran

Jenis Data dan Alat

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder berupa data spasial digital,data Potensi Desa (Podes) Kabupaten Sumedang Tahun 2006 dan dokumen RTRW Kabupaten Sumedang tahun 2002-2012. Data spasial digital yang digunakan meliputi : peta Wilayah Administrasi, peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang tahun 2002-2012. Data primer berupa citra landsat ETM 7 tahun 2002 dan 2006. Alat

(45)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer PentiumIV yang dilengkapi oleh software Arc View versi 3,3, Erdas Imagine versi 8,6, Statistica versi 6,o

Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian adalah wilayah Kabupaten Sumedang. Penelitian dimulai pada minggu keempat bulan Agustus sampai Oktober 2007.

Analisis dan Pengolahan Data

(46)

Gambar 2. Diagram Tahapan Penelitian

Land Use per tahun

Klasifikasi Perubahan Land Use per tahun

Perubahan Land Use

(47)

Tabel 2. Matriks Penelitian

No Masalah Tujuan Analisis Data yang dibutuhkan Sumber Data

1 Bagaimanakah pola

Analisis SIG - Citra Land Sat Tahun 2002 dan 2006

BTIC Biotrop

2 Di manakah pusat-pusat terjadinya

Analisis Location Quotient (LQ) - Data Peta Perubahan

Penutupan/Penggunaan Lahan

Analisis SIG (Overlay Peta Penggunaan Lahan tahun 2005 dengan Peta RTRW)

- Peta Panggunaan Lahan Tahun 2006

- Peta RTRW

Bapeda Kabupaten Sumedang

4 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

- AnalisisPrincipal Component Analysis (PCA)

- Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis)

- PODES Tahun 2006 - Data Atribut Luas

Inkonsistensi RTRW

Badan Pusat Statistik

3

(48)

Ekstraksi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra

Perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui analisis citra penginderaan jauh, dengan ekstraksi citra untuk memperoleh informasi penggunaan/penutupan lahan. Ekstraksi dilakukan dengan klasifikasi multispektral citra land sat tahun 2002 dan 2006.

Klasifikasi merupakan proses pengelompokan piksel-piksel yang mempunyai ciri yang sama ke dalam kelas penutupan/penggunaan lahan. Metode klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing dengan pendekatan

Maximum Likelihood Classification (MLC). Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan area contoh (training area) terhadap obyek-obyek yang mudah dikenali dan representatif pada citra dengan cara menggambarkan poligon-poligon.

Tahap klasifikasi dimulai dengan menentukan training area, yang merupakan lokasi contoh representatif dari tipe penutupan lahan yang diketahui, yang digunakan untuk mengkompilasi kunci interpretasi numerik yang mendeskripsikan atribut spektral untuk setiap tipe kenampakan yang dipilih. Semua area yang penampakannya berbeda diambil, dan diusahakan training area

yang didapat warnanya homogen. Pengklasifikasian dilakukan dengan mengelompokan setiap pixel pada citra ke dalam kelas penutupan lahan yang paling dekat kemiripannya.

Deteksi Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan

Analisis deteksi perubahan penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dengan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2006. Hasil proses ini dapat diinterpretasi secara deskriptif pada peta output (peta overlay), sedangkan data atributnya akan digunakan untuk analisis lanjutan.

Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan

(49)

analisis LQ merupakan cara permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu. Jika dari hasil perhitungan LQ tersebut didapatkan nilai Indeks LQ (LQij 1) diartikan bahwa terjadi konsentrasi suatu

aktivitas tertentu di sub wilayah ke-i yang secara relatif dibandingkan dengan total wilayah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa suatu wilayah administratif terkecil yang dianalisis (desa tertentu) merupakan wilayah yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan jenis pemanfaatan tertentu.

Analisis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang terhadap RTRW

Tujuan analisis ini adalah untuk melihat seberapa jauh tingkat penyimpangan pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis dilakukan dengan membandingkan peta RTRW dengan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2006 dengan cara menumpangtindihkan peta RTRW dengan peta penutupan/penggunaan lahan. Tumpangtindih akan menghasilkan sebuah peta yang menjadi masukan, yang dijadikan sebagai basis data dalam analisis SIG selanjutnya untuk analisis konsistensi/inkonsistensi RTRW.

Basis data SIG yang menyangkut data atribut RTRW dan penutupan lahan tahun 2005 dieksport kemicrosoft exceldan diolah. Pengolahan dilakukan dengan cara membuat kolom baru yang memberikan informasi mengenai jenis penutupan lahan yang berada pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan dalam RTRW. Selanjutnya hasil pengolahan data tersebut dikembalikan ke dalam basis data SIG, agar dapat dimanipulasi untuk menampilkan data spasial yang konsisten atau inkonsisten terhadap RTRW.

Penentuan konsisten dan inkonsistens dilakukan berdasarkan model logika efektivitas tata ruang. Hal yang paling penting untuk dimengerti dari model logika ini adalah, bahwa alih fungsi lahan menjadi ruang terbangun memiliki sifat

(50)

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyimpangan Pemanfaatan Ruang

Untuk mengetahui variabel penduga penentu perubahan penutupan/penggunaan lahan, digunakan data Potensi Desa Kabupaten Sumedang Tahun 2006, meliputi : data kependudukan, struktur penutupan lahan, struktur aktifitas perekonomian masyarakat, struktur pendidikan dan ketersediaan fasilitas umum. Penduga awal faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan pemanfaatan ruang disajikan pada Lampiran 4. Sebelum data tersebut diolah dengan metode PCA, terlebih dahulu dilakukan seleksi dan standarisasi data. Seleksi data dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif yang terkait dengan penggunaan. Selanjutnya, data hasil seleksi tersebut dilakukan standarisasi untuk memperoleh keseragaman satuan data, misalnya : data luas lahan sawah dibagi dengan total luas desa tersebut. Untuk data jarak dilakukan invers data jarak (1/km), misalnya : data jarak dari desa ke rumah sakit adalah 2 km, maka data tersebut menjadi ½ km. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan hasil analisis data. Dasar pemikirannya adalah, bahwa semakin besar nilai data jarak maka semakin jauh jarak tersebut dari obyek atau dengan kata lain aksesibilitasnya semakin rendah.

Hasil seleksi data yang telah dirasiokan disusun dalam suatu tabel sebagai database untuk analisis PCA, dengan unit analisis terkecil kecamatan., Analisis ini merupakan salah satu teknik analisis untuk mereduksi suatu set data/peubah dengan jumlah yang banyak menjadi set data baru yang lebih sederhana dengan jumlah data/peubah lebih sedikit dan saling orthogonal (tidak saling berkorelasi) (Rustiadiet. Al. 2002). Format data untuk analisisPCAdisusun membentuk matriks ukuran n x p, di mana n: unit sampel danp : jumlah peubah (jumlah kolom).

Hasil analisis PCA antara lain : akar ciri (eigenvalues), Faktor Loading

(51)

nilai ini yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya (Analisis Regresi Berganda/Multiple Regression Analysis).

Analisis Regresi dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan antara faktor-faktor penduga penentu konsistensi RTRW dengan luas inkonsistensi RTRW dari atribut Peta inkonsistensi dengan analisis desa. Factor Scores hasil analisis PCA dijadikan sebagai variabel bebas (x), sedangkan luas inkonsistensi RTRW dijadikan sebagai variabel tak bebas (y).

Secara umum hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

Yi = a + b1X1i+ b2X2i+ .... +bjXji+ …. + bnXni

Dimana : Yi = Luas Area Inkonsistensi pada Desa ke –i (%)

a = Intercept

b = Koefisien variabel j (Xj)

Xji = Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi

(52)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Wilayah Administrasi

Sumedang adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang mempunyai letak strategis dimana kabupaten ini berbatasan langsung dengan Ibukota Provinsi, Bandung. Jarak Ibukota Kabupaten Sumedang dari Ibukota Provinsi ± 45 km dan berada di antara jalur dua jalan tujuan wisata yakni Bandung dan Cirebon. Secara geografis letak daerah berada pada posisi 6o40’ – 7o83’ Lintang Selatan dan 107o44’- 108o13’ Bujur Timur. Sementara batas-batas wilayah Kabupaten Sumedang adalah Kabupaten Indramayu disebelah utara, Kabupaten Garut di sebelah selatan, Kabupaten Bandung di sebelah barat, dan Kabupaten Majalengka di sebelah timur.

Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah 152.220 ha yang merupakan daerah berbukit hingga daerah pegunungan dengan ketinggian bervariasi mulai dari 25 sampai 1001 m di atas permukaan laut. Keadaan curah hujan di Kabupaten Sumedang termasuk pada iklim agak basah sedang dengan curah hujan rata-rata sekitar 2430 mm.

(53)

Wilayah ini secara administrasi terdiri dari 26 kecamatan, yang mencakup 18 Kecamatan merupakan kecamatan lama dan 8 Kecamatan merupakan hasil pemekaran. Daftar kecamatan dan desa diuraikan dalam Lampiran 1.

Jarak ibukota Kabupaten Sumedang ke Ibukota Propinsi Jawa Barat lebih kurang 45 km. Dengan jarak yang relatif dekat terhadap pusat kegiatan propinsi, maka segala aktivitas yang berlangsung pada daerah bersangkutan satu sama lain akan saling mempengaruhi perkembangan daerahnya. Begitu pula halnya dengan faktor lokasi Kota Sumedang yang dilalui oleh jaringan jalan negara yang menghubungkan kota-kota di bagian timur seperti Cirebon dan Majalengka.

Transportasi

Posisi Kabupaten Sumedang secara geografis ditunjang dengan Jalan Negara yang melintasinya, menyebabkan Sumedang menjadi kota lintasan terutama pergerakan barat-timur (Bandung-Cirebon). Di samping pergerakan arah Barat – Timur, Kota Sumedang dapat menjadi jalur alternatif pergerakan dari arah utara ke selatan, ke utara ke arah seperti Subang Purwarkarta, Cikampek, dan Karawang dan ke arah selatan menuju Garut, Malangbong Tasikmalaya dan Ciamis. Pada saat hari Raya atau liburan, jalur utara atau selatan ini menjadi alternatif pilihan. Hingga saat ini arus pergerakan ke arah utara masih memperlihatkan frekwensi lintasan yang relatif kecil bila dibanding arah pergerakan ke barat begitu pula halnya dengan frekwensi pergerakan pergerakan ke arah selatan Kota Sumedang, dimana akan menghubungkan Kota Sumedang dengan kota-kota seperti Malangbong, Ciawi, dan Tasikmalaya juga masih relatif kecil.

(54)

sedangkan ratio rata-rata Jawa Barat mencapai 0,70. Dibandingkan kabupaten tetangga, ratio Sumedang lebih rendah, hal ini menunjukan bahwa akses internal Kabupaten Sumedang belum baik dan perlu ditingkatkan agar pengembangan wilayah yang terjadi tidak mengalami ketimpangan.

Kondisi Demografi

Jumlah penduduk Kabupaten Sumedang berdasarkan hasil registrasi akhir 2006, tercatat sebanyak 1.091.674 jiwa dengan rincian 545.740 jiwa berjenis kelamin laki dan 545.934 jiwa berjenis kelamin perempuan sehingga menghasilkan rasio jenis kelamin sebesar 99,96. Kecamatan Jatinangor merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar yaitu 95.517 jiwa, sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Surian sebesar 12.240 jiwa.

Dari tahun 2005 -2006 perkembangan jumlah penduduk yang terbesar ada di Kecamatan Cisitu 4,96% dan yang terendah Kecamatan Cisarua 0,15% (rata-rata Kabupaten Sumedang adalah sebesar 4,38 persen). Penyebaran dan kepadatan penduduk masih terkonsentrasi di beberapa Kecamatan seperti : Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, Tanjungsari dan Sumedang Utara. Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Tanjungsari memiliki karakteristik yang sama yaitu berorientasi ke wilayah Bandung Metropolitan Area (BMA). Dengan karakteristik seperti itu maka tingkat kepadatan penduduk pun menjadi tinggi dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Sumedang. Disamping itu kawasan ini merupakan kawasan perguruan tinggi yang menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk.

(55)

Tabel 3. Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumedang Tahun 2006

NO Kecamatan

Jumlah Penduduk Laju Pertum-buhan

1 Buahdua 32.324 33.592 3,92 131,37 256

2 Cibugel 20.352 21.330 4,81 48,81 437

3 Cimalaka 55.613 56.918 2,35 41,61 1.368

4 Cimanggung 70.455 74.020 5,06 40,76 1.816

5 Cisarua 20.159 20.190 0,15 18,92 1.067

6 Cisitu 26.399 27.962 5,92 53,31 525

7 Conggeang 29.952 31.431 4,94 105,31 298

8 Darmaraja 37.905 39.897 5,26 54,94 726

9 Ganeas 23.172 24.255 4,67 21,36 1.136

10 Jatigede 24.607 25.675 4,34 111,97 229

11 Jatinangor 90.431 95.517 5,62 26,2 3.646

12 Jatinunggal 41.591 43.446 4,46 61,49 707

13 Pamulihan 37.349 38.675 3,55 52,28 740

14 Paseh 36.658 37.856 3,27 34,37 1.101

15 Rancakalong 49.528 51.930 4,85 57,85 898

16 Situraja 35.631 37.282 4,63 54,03 690

17 Sukasari 29.639 30.956 4,44 47,12 657

18 Sumedang Utara 80.359 84.087 4,64 28,26 2.975

19 Sumedang Selatan 72.220 75.268 4,22 117,37 641

20 Surian 11.361 12.240 7,74 50,74 241

21 Tanjungkerta 33.129 34.350 3,69 40,14 856

22 Tanjungmedar 24.017 25.311 5,39 65,14 389

23 Tanjungsari 65.931 67.992 3,13 35,62 1.909

24 Tomo 23.326 24.329 4,30 66,26 367

25 Ujungjaya 30.195 31.457 4,18 80,56 390

26 Wado 43.520 45.708 5,03 76,42 598

Kab. Sumedang 1.045.823 1.091.674 4,38 1522,2 717

Sumber : Kabupaten Sumedang dalam angka Tahun 2007 Kondisi Ekonomi

Gambar

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Diagram Tahapan Penelitian
Gambar 3. Peta Wilayah Adminitrasi Kabupaten Sumedang
Tabel 3. Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten SumedangTahun 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tema yang dipilih adalah pemodelan spasial dengan judul disertasi: Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi

Pada daerah yang rawan bencana erupsi, penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana perlu dilakukan agar pembangunan wilayah dapat menghindari lokasi – lokasi

Penyusunan RTRW Kabupaten ini merupakan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk menyusun rencana tata ruang pembangunan yang realistis dengan memperhatikan kondisi

 Perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada kawasan terbangun di perdesaan (misalnya pada zona permukiman sebagian digunakan untuk fasilitas umum,

Tema yang dipilih adalah pemodelan spasial dengan judul disertasi: Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi

Regulasi Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992, membawa perubahan yang cukup mendasar bagi

Pemerintah Kabupaten Lamongan telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menuntut perubahan ruang dalam skala besar, diantaranya adalah pengembangan Kawasan Strategis

Kecamatan Tejakula; 4 ruang laut adalah wilayah laut paling jauh 4 empat mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dan sejauh jarak garis