DAN ANTI FLU BURUNG (H5N1) PADA KUNING TELUR
AYAM ISA BROWN YANG DIBERI PERLAKUAN
PEMANASAN BERTINGKAT
TRI YULIANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi deteksi keberadaan antibodi anti diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1) pada kuning telur ayam Isa Brown yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Tri Yulianti
Salmonella Enteritidis) dan Anti Flu Burung (H5N1) pada Kuning Telur Ayam Isa Brown yang Diberi Perlakuan Pemanasan Bertingkat. Dibimbing oleh
AGUSTIN INDRAWATI dan RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.
Salmonella Enteritidis) and Anti-Avian Influenza (H5N1) Antibody at Isa Brown Egg Yolk Chicken with warming various level treatment. Supervised by
AGUSTIN INDRAWATI and RETNO DAMAYANTI SOEJOEDONO.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DAN ANTI FLU BURUNG (H5N1) PADA KUNING TELUR
AYAM ISA BROWN YANG DIBERI PERLAKUAN
PEMANASAN BERTINGKAT
TRI YULIANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pemanasan Bertingkat
Nama : Tri Yulianti NIM : B04061452
Disetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. drh. Hj. Agustin Indrawati, M.Biomed Prof. Dr. drh. Retno D Soejoedono, MS 19650815 199103 2 001 19520507 197412 2 001
Diketahui,
a.n Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini 19621205 198703 2 001
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai langkah kecil menuju harapan dan mimpi yang besar. Penelitian ini dimulai bulan Maret hingga Agustus 2010 dengan judul Deteksi Keberadaan Antibodi Anti Diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan Anti Flu Burung (H5N1) pada Kuning Telur Ayam Isa Brown yang Diberi Perlakuan Pemanasan Bertingkat.
Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga tercinta (Mama, Bapak, dan kedua kakak) atas segala dukungan, semangat, perhatian, pengertian, kasih sayang, dan doa yang tidak pernah terputus.
2. Ibu Dr. drh. Hj. Agustin Indrawati, M.Biomed dan Ibu Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, MS selaku pembimbing skripsi atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, dan kesabarannya dalam membimbing penulis menyelesaikan tugas akhir.
3. Ibu Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D selaku dosen penilai dalam seminar skripsi atas saran dan kritik kepada penulis terutama pada proses penulisan skripsi.
4. Bapak Drh. Chaerul Basri, M.Epid selaku dosen moderator dalam seminar skripsi atas segala masukan kepada penulis.
5. Bapak Drh. Nurhidayat, MS, Ph.D dan Ibu Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penguji dalam Ujian Akhir Sarjana Kedokteran Hewan atas saran dan kritik kepada penulis terutama pada proses penulisan skripsi. 6. Ibu Prof. Dr. drh. M. Agatha Winny K. Sanjaya, MS selaku pembimbing
akademik.
Kandang Unggas.
9. Seluruh pegawai Laboratorium Bakteriologi Departemen IPHK FKH IPB (Pak Agus Sumantri, S.Pd dan Mas Ivan).
10.Seluruh pegawai Laboratorium Imunologi bagian Mikrobiologi Medik Departemen IPHK FKH IPB (Pak Lukman dan Mas Wahyu).
11.Rekan-rekan sepenelitian (R. Enen Rosna Manggung dan Winda Mayang Sari) atas kerjasama, semangat, saling mengingatkan, dan keceriaan yang terjalin selama ini.
12.Sahabat-sahabat terbaik (Ivone Noor Arifin, Gendis Aurum Paradisa, dan Melati Anggraini) atas semangat, kebersamaan, pengertian, kasih sayang, dan rasa kekeluargaan.
13.Muhammad Hafidh Adityo atas segala kasih sayang, bantuan, kebersamaan, pengalaman, dan motivasi yang diberikan.
14.Teman-teman ‘seperjuangan’ di Al Quts, Puri Madani, Cempaka 20, Irafan, rekan-rekan Ornith atas semua pengalaman dan petualangan.
15.Teman-teman “43sculapius” yang tetap terkompak dan terbaik atas keceriaan, semangat dan kebersamaan.
16.Sahabat-sahabat angkatan 44 di FKH-IPB.
17.Seluruh civitas akademika FKH IPB yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembaca.
Bogor, Maret 2011
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1988 dari ayah H. Kawit Santoso dan Ibu Bidan Hj. Sugiyati SKM, M.Si. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.
Pada tahun 2000 penulis lulus dari SDN Sungai Bambu 01 Pagi Jakarta Utara dan melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 30 Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2003–2006 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 13 Jakarta. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2006 dan tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
DAFTAR ISI
Telur Ayam dan Pemanasan/ Perebusan Telur ... 10
Sistem Imun dan Imunoglobulin Y pada Ayam ... 12
Tahap pengenceran sederhana/segar kuning telur ... 23
Tahap perlakuan dengan pemanasan bertingkat ... 23
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ... 38 Saran ... 38
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Escherichia coli ... 6
2 Salmonella Enteritidis ... 7
3 Virus Influenza ... 9
4 Struktur Imunoglobulin ... 14
5 Struktur IgY dan IgG ... 16
6 Reaksi presipitasi positif antibodi spesifik terhadap antigen ... 17
7 Interpretasi hasil HI test ... 19
8 Hasil AGPT telur pemanasan terhadap antigen E. coli ... 30
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dan memiliki kelembaban
udara yang tinggi. Faktor pendukung ini menjadikan makhluk hidup termasuk
mikroorganisme yang bersifat patogen dapat tumbuh dan berkembang biak
dengan optimal. Buruknya sanitasi lingkungan dan pola hidup masyarakat
Indonesia yang kurang sehat turut menjadi faktor pemicu tingginya kasus penyakit
akibat bakteri maupun virus berbahaya. Diare merupakan salah satu gejala klinis
yang umum terjadi ketika manusia atau hewan terserang suatu agen penyakit.
Diare banyak menimbulkan masalah dan terjadi secara terus menerus di semua
daerah di Indonesia.
Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali
sehari dengan konsistensi feses menjadi cair (Djojoningrat 2006). Diare dapat
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme antara lain bakteri, virus, dan parasit
lainnya seperti jamur, cacing, dan protozoa. Beberapa bakteri penyebab diare
adalah Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) dan Salmonella Enteritidis (Mustopa 1999). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi kedua bakteri ini
memiliki kesamaan yaitu mual, muntah, dan nyeri abdominal. Kemudian timbul
diare cair dengan volume yang cukup besar, ada kalanya tinja mengandung darah,
sakit kepala, demam, dan adanya perasaan lemah (Lesmana 2006). Diare
merupakan penyakit yang mematikan apabila tidak cepat ditangani dengan baik.
Tingginya angka kejadian diare di dunia khususnya Indonesia
menyebabkan keresahan di masyarakat dan pemerintah. Tidak hanya kasus diare,
peyebaran penyakit influenza yang berasal dari burung (flu burung) juga sempat
menyita perhatian publik. Menurut VSF-CICDA (2005) flu burung (avian influenza) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang bisa mengenai unggas. Sifat virus ini sangat berbahaya karena dapat
membunuh seluruh unggas di area usaha peternakan, cepat menyebar ke area
peternakan lain, dan dapat menyebabkan kematian pada manusia. Virus influenza
sendiri termasuk dalam famili Orthomyxoviridae yang terdiri dari 3 tipe yaitu A,
manusia dengan gejala yang ringan dan tidak fatal sehingga tidak terlalu menjadi
masalah. Semua subtipe dari virus influenza A ini dapat menginfeksi unggas yang
merupakan inang alaminya (Nainggolan 2006). Berdasarkan patogenitasnya virus
AI dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Kasus flu burung yang saat ini dikhawatirkan di Indonesia adalah virus influenza A subtipe H5N1 yang
digolongkan dalam Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) (Wibawan et al. 2009).
Tindakan preventif berupa vaksinasi atau pengebalan pasif dianggap
sebagai langkah yang paling optimal dalam upaya pencegahan terhadap infeksi
oleh suatu agen penyakit. Salah satu caranya diberikan suatu substansi pengebal
tubuh yang mengandung zat antibodi. Antibodi ini dapat digunakan untuk
menangkal berbagai penyakit infeksi termasuk diare dan flu burung. Antibodi
terdiri dari beberapa imunoglobulin (Ig) yang merupakan substansi pertama yang
diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah
mikroorganisme penyebab infeksi (Mustopa 1999).
Telur merupakan produk perunggasan yang sangat akrab, banyak
digemari, dan telah menjadi bahan makanan masyarakat. Telur mempunyai nilai
gizi yang tinggi, komposisi nutrisi lengkap, dan mudah dicerna. Selain sebagai
bahan pangan yang bermanfaat, telur dapat pula dijadikan sebagai media untuk
memproduksi antibodi (Mustopa 1999). Antibodi spesifik sebagai respon
vaksinasi yang ada dalam darah ditransfer secara efektif ke dalam kuning telur
yang disiapkan untuk melindungi anak ayam pada hari-hari pertama setelah
menetas (maternal antibody). Penggunaan telur ayam sebagai pabrik biologis penghasil immunoglobulin yolk (IgY) sangat menjanjikan karena telur dapat dengan mudah diproduksi secara massal, relatif murah, dan mudah didapat. Selain
itu, ayam memiliki sistem kekebalan tubuh atau imunitas yang cukup berkembang
sehingga sangat responsif terhadap antigen yang memaparnya. Keunggulan
lainnya adalah IgY dapat diperoleh dari telur dengan konsisten menjaga animal welfare, tanpa harus menyakiti hewan, serta jumlah antibodi yang dihasilkan oleh ayam petelur lebih banyak dibandingkan dengan antibodi hewan model lainnya
Tindakan pencegahan maupun pengobatan terhadap suatu penyakit melalui
pemberian antibodi (IgY) dalam telur ayam sampai saat ini masih terbatas dalam
skala laboratorium. Sebagai bentuk aplikasi pemberi antibodi dapat dilakukan
secara oral dengan mengkonsumsi telur positif mengandung IgY spesifik.
Antibodi dalam telur agar dapat diberikan secara oral harus melewati beberapa
tahapan yang dapat menurunkan aktivitas antibodi seperti denaturasi akibat
pemanasan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk
mengetahui sejauh mana penurunan aktivitas IgY anti diare dan anti flu burung
akibat proses pemanasan atau perebusan telur.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tahan antibodi (IgY)
spesifik terhadap Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, dan H5N1 pada telur ayam setelah diberi perlakuan pemanasan bertingkat. Telur ayam yang diujikan
merupakan telur koleksi positif mengandung antibodi anti diare dan anti flu
burung. Deteksi keberadaan IgY pada kuning telur setelah proses pemanasan
dilakukan dengan metode imunodifusi dan uji hambat hemaglutinasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keberadaan dan
daya tahan antibodi spesifik Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, dan H5N1 pada telur ayam yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat. Serta untuk
merancang dan memproduksi telur khasiat three in one (anti diare dan anti flu burung) sebagai kemungkinan aplikasi makanan fungsional dan nilai tambah telur
konsumsi baik dari sisi manfaat maupun sisi ekonomi.
TINJAUAN PUSTAKA
Diare dan Penyebabnya
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, negara-negara
berkembang khususnya di Asia Tenggara perlu lebih memperhatikan kasus diare
dan pneumonia dalam program kesehatan nasional. Diare hingga kini masih
menjadi penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun (balita) di
Asia Tenggara. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) (ESP 2009; Persi 2009). Kematian yang
terjadi berhubungan dengan kejadian diare pada anak-anak atau usia lanjut
dikarenakan kesehatan pada usia pasien tersebut rentan terhadap dehidrasi sedang
sampai berat. Frekuensi kejadian diare pada negara-negara berkembang termasuk
Indonesia lebih banyak 2–3 kali dibandingkan dengan negara maju (Tadda 2010).
Diare sesuai dengan definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan
frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek
atau cair (Suharyono 2008). Simadibrata (2006) mendefinisikan diare yaitu buang
air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau
200 ml/24 jam. Definisi ini tidak menunjukkan pada berapa frekuensi diarenya,
tetapi definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar lebih dari tiga
kali dengan konsistensi yang berubah. Diare umumnya disebabkan oleh infeksi
virus, protozoa; (Giardia lambdia, Entamoeba hystolitica), bakteri; yang memproduksi enterotoksin (S. aureus, C. perfringen), E. coli, V. cholera, C. difficile dan yang menimbulkan inflamasi mukosa usus (Shigella sp., Salmonela sp., Yersinia), iskemia intestinal Inflammatory Bowel Disease (acute on chronic), dan kolitis radiasi (Djojoningrat 2006) .
Infeksi yang disebabkan oleh virus maupun bakteri pada traktus
intestinalis disebut sebagai enteritis. Infeksi paling luas pada kasus diare terjadi
pada seluruh usus besar dan ujung distal ileum. Dimanapun infeksi terjadi,
mukosa teriritasi secara luas, dan kecepatan sekresinya sangat tinggi. Sebagai
tambahan, motilitas dinding usus biasanya meningkat berlipat ganda. Akibatnya,
dan pada saat yang sama gerakan mendorong yang kuat akan mendorong cairan
ini ke depan. Ini merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan
kotoran traktus intestinalis dari infeksi yang mengganggu (Guyton & Hall 1997).
Diare yang terjadi tanpa adanya kerusakan mukosa usus
(non-inflamatorik) umumnya disebabkan oleh toksin bakteri (terutama
Enteropathogenic Escherichia coli / EPEC dan Salmonella Enteritidis). Gejala klinis diare yang disebabkan oleh kedua bakteri ini adalah konsistensi feses sangat
cair, tidak ada darah, nyeri perut terutama daerah umbilikus (karena kelainan
terutama di daerah usus halus), kembung, mual, muntah dan demam ringan
(Djojoningrat 2006).
Agen infeksius yang menyebabkan penyakit dengan gejala diare biasanya
ditularkan melalui jalur fecal-oral terutama karena menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan atau kontak dengan tangan yang
terkontaminasi. Penularan secara fecal-oral, yaitu kontak dari manusia/hewan ke manusia dan atau hewan atau kontak orang/hewan dengan alat rumah tangga
(Manggung 2010). Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena
tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut (dehidrasi) (Harianto 2004).
Akan tetapi menurut Djojoningrat (2006) pada umumnya diare akut dapat bersifat
sembuh sendiri dalam 5 hari dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi.
Escherichia coli
Escherichia coli merupakan salah satu anggota famili Enterobacteriaceae yang sering menimbulkan penyakit diare. Bakteri ini ditemukan oleh Theodor
Escherich pada tahun 1885. Secara garis besar klasifikasi bakteri Escherichia coli berasal dari Filum Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo
Enterobacteriales, Familia Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies Escherichia coli. Morfologi Escherichia coli yaitu berbentuk batang pendek, gemuk, berukuran 2,4 µ x 0,4 sampai 0,7 µ , bersifat gram-negatif, motil dengan
dalam pembentukan vitamin K yang berperan dalam proses pembekuan darah
(Munif 2009).
Gambar 1 Escherichia coli (Todar 2008)
Escherichia coli memiliki sejumlah antigen yaitu O, K, dan H. Antigen (serotipe) ini penting untuk membedakan strain Escherichia coli yang menyebabkan penyakit. Lebih dari 700 jenis antigen Escherichia coli yang teridentifikasi, hanya sebagian kecil bersifat patogen, misalnya strain O157:H7
(EPEC). Antigen O mengacu pada antigen somatik, H mengacu pada antigen
flagellar (Todar 2008).
Sebagian besar Escherichia coli merupakan flora normal usus kecil dan usus besar yang umumnya tidak menyebabkan penyakit (non-patogenik). Namun
demikian, non-patogenik Escherichia coli dapat menyebabkan penyakit jika
berada di luar usus misalnya, ke dalam saluran kemih (infeksi kandung kemih atau
ginjal), maupun ke dalam aliran darah (sepsis). Strain Escherichia coli yang lain (enterovirulent Escherichia coli strain atau EEC termasuk EPEC) menyebabkan keracunan atau diare meskipun berada di dalam usus dengan memproduksi racun
mengakibatkan peradangan pada usus (Davis 2009).
Masa inkubasi Escherichia coli sekitar 3–5 hari dengan gejala awal mual, muntah, kram perut, diare dapat disertai darah, seringkali di ikuti demam (37,7–
38,3ºC) (Davis 2009). Umumnya Escherichia coli masuk ke dalam tubuh melalui rute oral dari makanan atau benda yang tercemar bakteri ini.
Salmonella Enteritidis
Salmonella enterica subspesies enterika (Salmonella Enteritidis) merupakan satu dari enam subspesies Salmonella yang memiliki tingkat insidensi tinggi sebagai pencemar makanan (foodborne salmonellosis) (Lesmana 2006).
Gambar 2 Salmonella Enteritidis(Anonim(3) 2010)
Salmonella Enteritidis merupakan bakteri yang bersifat gram negatif, berbentuk batang, tidak berspora, tidak berkapsul, motil dengan flagella peritrikus,
dan dapat hidup secara aerob atau fakultatif anaerob (Lesmana 2006). Bentuk
bakteri ini terlihat pada gambar 2. Salmonella Enteritidis dapat tumbuh optimum pada suhu 35–37oC dan pH 6,5–7,5. Bakteri ini dalam kondisi lingkungan yang
memungkinkan dapat hidup selama berbulan-bulan. Namun Salmonella rentan terhadap panas, sinar matahari, dan kebanyakan jenis desinfektan
(Schnurrenberger & Hubbert 1991).
Menurut WHO (2010) bakteri ini umumnya ditularkan ke manusia melalui
konsumsi makanan yang terkontaminasi yang berasal dari hewan, terutama
daging, unggas, telur, dan susu. Gejala infeksi Salmonella biasanya muncul 12–72 jam setelah infeksi dengan gejala klinis termasuk demam, sakit perut, diare, mual,
dan kadang-kadang muntah. Penyakit ini biasanya berlangsung 4–7 hari dan
kebanyakan orang sembuh tanpa pengobatan. Namun, pada anak-anak dan orang
tua, ketika bakteri memasuki aliran darah, diperlukan pula pengobatan
menggunakan antibiotik.
Reservoir utama untuk Salmonella Enteritidis adalah hewan termasuk didalamnya hewan ternak dan ternak unggas, burung, dan hewan peliharaan, serta
produk-produk asal hewan. Transmisi organisme ini pada manusia dapat terjadi
merupakan sumber infeksi yang paling umum. Ayam yang terinfeksi oleh
Salmonella dapat menyebabkan inkorporasi bakteri ini ke dalam telur pada saat proses pembentukannya, ketika kulit telur belum mengalami proses kalsifikasi
secara lengkap. Atau mungkin terjadi kontaminasi permukaan telur oleh feses
(Lesmana 2006).
Perkiraan jumlah inokulum yang diperlukan untuk terjadinya infeksi pada
seorang individu dewasa adalah sekitar 105–106 organisme, tetapi pada bayi dan
anak-anak diperkirakan jumlah inokulum ini lebih kecil (Lesmana 2006). Vought
dan Tatini (1998) mengemukakan bahwa wabah salmonellosis di Inggris telah terjadi pada orang dewasa akibat mengkonsumsi es krim yang terkontaminasi
Salmonella Enteritidis sebanyak ≥ 107 CFU. Pada orang dewasa yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi bakteri tersebut sebanyak 105–106 CFU
dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Namun beberapa penelitian
menyatakan bahwa sejumlah kecil Salmonella Enteritidis dalam makanan (≤105 CFU) telah dapat menyebabkan infeksi. Hal ini dapat terjadi karena produk
makanan tersebut mengandung banyak lipid dan atau gula yang dapat melindungi
Salmonella dari barrier lambung yang bersifat asam sehingga bakteri tersebut dapat mencapai usus halus dan menimbulkan gejala penyakit.
Flu Burung (H5N1)
Avian Influenza (AI) adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza subtipe A dari famili Orthomixoviridae. Virus influenza memiliki
tiga tipe antigenik yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Virus influenza mempunyai
selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini
mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang
spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel (gambar 3). Terdapat 2
jenis spikes yaitu mengandung hemaglutinin (HA) dan mengandung
neuraminidase (NA) yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto &
Kawaoka 2001). Virus influenza tipe A dapat dibagi menjadi subtipe dan varian
berdasarkan hemaglutinin (HA), terdiri dari H1–H15, dan neuraminidase (NA),
terdiri dari N1–N9. Variasi antigen H dan N ini dapat menghasilkan 135
H5N1, H7N7, H9N1 (Soejoedono & Ekowati 2005) Akibat dari kombinasi ini
penyakit yang disebabkan oleh virus AI dapat muncul dalam beberapa bentuk
yang berbeda, yaitu tanda-tanda klinis yang umum dan parah atau Highly Pathogenic (HPAI), tanda-tanda klinis pada pernafasan dan ringan atau Low Pathogenic (LPAI), dan tanpa tanda-tanda klinis (VSF-CICDA 2005).
Virus influenza pada unggas mempunyai sifat dapat bertahan hidup di air
sampai 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari pada suhu 0oC. Di dalam tinja
unggas dan di dalam tubuh unggas sakit dapat hidup lebih lama, tetapi mati pada
pemanasan 60oC selama 30 menit atau 56oC selama 3 jam dan pemanasan 80oC
selama 1 menit. Virus akan mati dengan detergen, desinfektan misalnya formalin,
cairan yang mengandung iodine dan alkohol 70% (Nainggolan 2006).
Gambar 3 Virus Influenza (Todar 2008)
Salah satu ciri penting dari virus influenza adalah kemampuannya untuk
mengubah antigen permukaan (H dan N) baik secara cepat/mendadak maupun
lambat (bertahun-tahun). Peristiwa terjadinya perubahan besar dari struktur
antigen permukaan yang terjadi secara singkat disebut antigenic shift. Bila perubahan antigen permukaan yang terjadi hanya sedikit disebut antigenic drift. Antigenic shift hanya terjadi pada virus influenza A sedangkan antigenic drift terjadi pada virus influenza B dan virus influenza C relatif stabil. Teori yang
mendasari terjadinya antigenic shift adalah adanya penyusunan kembali dari gen-gen pada H dan N diantara manusia dan virus influenza melalui perantara host
ketiga. Proses antigenic shift akan memungkinkan terbentuknya virus baru yang lebih ganas sehingga keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi sistemik
yang berat kerena sistem imun inang baik seluler maupun humoral belum sempat
Penularan penyakit yang disebabkan oleh virus flu burung dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung adalah
penularan dengan cara kontak langsung antara hewan penderita flu burung dengan
hewan lain yang peka maupun manusia. Hewan yang terinfeksi mengeluarkan
virus melalui saluran pernafasan, mata, dan feses. Penularan secara tidak langsung
dapat terjadi melalui udara yang tercemar meterial atau debu yang mengandung
virus avian influenza dengan semua barang yang pernah mengalami kontak dengan penderita (Yuliarti 2006).
Telur Ayam dan Pemanasan/ Perebusan Telur
Telur merupakan sumber protein hewani yang baik, bergizi tinggi, lezat,
dan mudah didapatkan. Telur ayam banyak mengandung berbagai jenis protein
berkualitas tinggi termasuk mengandung semua jenis asam amino esensial bagi
kebutuhan manusia. Telur terdiri dari protein 13%, lemak 12%, serta vitamin, dan
mineral. Vitamin dan mineral yang terkandung dalam telur diantaranya vitamin A,
riboflavin, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, choline, besi, kalsium, fosfor,
dan potasium. Kandungan vitamin A, D, dan E terdapat dalam kuning telur. Kadar
proteinnya sekitar 14%, sehingga dari tiap butir telur akan diperoleh sekitar 8
gram protein (PoultryIndonesia 2002; Muchtadi 2005).
Adanya mitos di masyarakat bahwa telur mentah ataupun setengah matang
memiliki khasiat lebih tinggi dibandingkan dengan telur matang masih perlu
diteliti lebih lanjut. Mencampur telur mentah dalam minuman seperti jamu,
minuman energi, atau makanan dipercaya cukup higienis dan aman dikonsumsi
sudah menjadi kebiasaan sejumlah orang. Berdasarkan penelitian tentang
kandungan nilai gizi dari perlakuan konsumsi telur baik mentah, setengah matang,
dan matang, menunjukkan hasil yang tidak jauh beda. Mengkonsumsi telur
mentah akan memberikan rasa kenyang yang lebih lama daripada mengkonsumsi
telur matang. Telur mentah memiliki daya cerna yang lebih rendah sehingga lebih
lama berada dalam saluran pencernaan manusia dalam keadaan utuh. Keawetan
membuat kenyang inilah yang menyebabkan telur mentah dianggap lebih bergizi
Menurut Poultry Indonesia (2002) telur mentah hanya mengandung 51%
zat gizi biologis sementara telur yang sudah dimasak mengandung hampir 91%
zat gizi biologis. Kandungan protein dalam telur matang hampir dua kali lipat
dapat diserap tubuh dibandingkan dengan telur mentah. Mengkonsumsi telur
mentah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya adanya bakteri
(Salmonella) dan zat-zat yang mengganggu proses penyerapan nutrisi dalam tubuh seperti avidin dan ovomucoid yang hanya dapat inaktif dengan proses pemanasan
(Pramita 2009). Faktor yang penting dalam proses pemanasan/perebusan adalah
waktu dan suhu perebusan telur. Menurut berbagai sumber untuk membuat telur
rebus setengah matang diperlukan waktu 5–8 menit dengan suhu 70–80oC
(Wikipedia 2010; Anonim(1) 2009).
Selain sebagai bahan pangan bermanfaat telur dapat pula dijadikan media
untuk memproduksi antibodi. Penggunaan telur sebagai sumber antibodi untuk
kepentingan preventif dan imunoterapi dilakukan untuk mendongkrak konsumsi
telur masyarakat Indonesia (Mustopa 1999). Penggunaan telur ayam sebagai
pabrik biologis sangat menjanjikan karena telur dapat dengan mudah diproduksi
secara massal, relatif murah, dan mudah didapat. Antibodi spesifik dalam kuning
telur dapat diberikan dan disajikan dalam bentuk nutriceutical food atau antibodi (IgY) dimurnikan dari kuning telur menggunakan metode yang sederhana dengan
jumlah yang cukup banyak. Ayam biasanya bertelur 5 sampai 6 butir per minggu
dan sebutir kuning telur yang mempunyai volume 15 ml, rata-rata mengandung
50–100 mg IgY, dengan kandungan antibodi spesifik 2% sampai 10% (Wibawan
et al. 1999).
Menurut Mustopa (2004) keuntungan penggunaan telur sebagai sumber
antibodi dibandingkan dengan mamalia adalah (1) satu butir telur menghasilkan
IgY setara dengan IgG yang diambil dari 40 ml darah kelinci, (2) cara panenya
sederhana, (3) pengambilan tidak invasif dan tidak menyakiti hewan, (4)
merupakan alternatif yang paling menjanjikan sebagai pengganti cara
memproduksi IgG konvensional, (5) dapat dipanen setiap hari terus menerus, (6)
tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia, karena
jarak filogenik antara unggas dan mamalia sangat jauh, (7) telur dapat disimpan
imun yang lebih spesifik, dan (9) tidak memiliki efek samping, karena tidak
bereaksi dengan IgG mamalia dan reseptor.
Sebagai bentuk aplikasi baik untuk pencegahan maupun pengobatan
terhadap penyakit diare dan flu burung pada individu terinfeksi, antibodi dalam
telur ayam dapat diberikan secara oral, yaitu dengan mengkonsumsi telur yang
mengandung antibodi. Untuk dapat diberikan secara oral antibodi dalam telur
harus melewati beberapa tahapan yang dapat menurunkan aktivitas antibodi anti
diare dan anti flu burung seperti denaturasi akibat pemanasan saat telur direbus,
pH asam lambung yang rendah (asam), dan pH usus yang basa. Antibodi juga
melewati aktivitas enzim pencernaan seperti pepsin (asam lambung) dan tripsin
(enzim dalam usus) (Carlender 2002).
Proses pemanasan atau perebusan telur akan mengakibatkan terjadinya
denaturasi protein. IgY sebagaimana protein lainnya akan mengalami kerusakan
akibat suhu yang tinggi. Hatta et al. (1992) menyatakan bahwa IgY mulai terdenaturasi pada suhu 73,9ºC. Pemanasan protein dapat memutus ikatan
nonkovalen sehingga molekulnya akan terdenaturasi (Whitaker 1994). Kerusakan
dari struktur IgY akibat panas dapat menyebabkan menurunnya kemampuan
antibodi. Oleh karena itu informasi tentang stabilitas IgY sangat diperlukan saat
digunakan sebagai reagen imunodiagnostik maupun imunoterapi (Shimizu et al.
1992).
Sistem Imun dan Imunoglobulin Y pada Ayam
Ayam mempunyai kandungan antibodi yang mampu melawan berbagai
serangan infeksi. Sistem pertahanan tubuh dalam kuning telur adalah antibodi
humoral utama pada anak ayam. Antibodi dalam telur pertama kali dipublikasikan
oleh Klemperer pada tahun 1893, yang menggambarkan adanya kekebalan pasif
terhadap toksin tetanus yang diturunkan dari induk ke anak ayam. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya induk ayam adalah produsen antibodi yang
sangat potensial (Carlender 2002). Secara umum untuk memproduksi antibodi di
dalam telur dapat dilakukan dengan menyuntik ayam menggunakan antigen
Cara penyuntikan dapat dilakukan secara intravena, intramuskular, atau subkutan
tergantung dari preparasi antigen yang dikehendaki (Wibawan 2008).
Sistem kekebalan pada unggas merupakan suatu mekanisme yang
digunakan dalam tubuh unggas sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan dan sekitarnya (Poultry Indonesia 2009).
Sistem kekebalan tubuh yang terpapar oleh suatu zat yang dianggap asing, maka
tubuh akan mengalami dua jenis respon, yaitu respon kebal non-spesifik dan
respon kebal spesifik. Kekebalan non-spesifik merupakan sistem kebal bawaan
dan respon kebal spesifik merupakan respon kebal dapatan (Roitt 1994). Respon
kebal non-spesifik biasanya berupa kekebalan tubuh yang bersifat fisik dan terdiri
dari berbagai macam fungsi yang berperan sebagai garis pertahanan pertama
terhadap infeksi. Respon kebal spesifik dimulai dengan pengenalan zat yang
dianggap asing sampai dengan menyingkiran zat tersebut.
Menurut Roitt dan Delves (2001) komponen-komponen yang mendasar di
dalam mekanisme respon kekebalan antigen spesifik (adaptive defense) adalah limfosit B dan limfosit T sedangkan kekebalan non-spesifik (innate defense) diperankan oleh sel-sel neutrofil, monosit (di dalam jaringan disebut makrofag),
eosinofil, dan basofil. Semua komponen dasar yang berperan pada mekanisme
kekebalan tersebut berasal dari stem sel. Limfosit (sel B) bertanggung jawab
terhadap produksi antibodi. Limfosit (sel T) bertanggung jawab terhadap respons
sitotoksik, dan sel T helper (Th) bertanggung jawab terhadap sel B dan sel T sitotoksik. Pemeliharaan (maintenance) sistem kekebalan membutuhkan komunikasi interseluler yang memperantarai hubungan sel ke sel (misalnya
melalui produksi sitokin) dan sel-sel pelengkap (misalnya sel fibroblast dan sel
endotel).
Pemaparan antigen ke dalam tubuh induk ayam akan menghasilkan reaksi
kebal yang terdiri dari respon kekebalan humoral dan respon kekebalan seluler.
Sel-sel sistem kekebalan humoral yaitu limfosit B memberikan respon terhadap
rangsangan antigenik dengan jalan menghasilkan dan mengeluarkan
imunoglobulin khusus yang disebut antibodi (Fenner et al. 1995). Antibodi di dalam telur memiliki spesifisitas antibodi yang tinggi terhadap antigen yang telah
induk kepada anaknya sebagai immunoglobulin yolk (IgY) berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing ketika sistem imun anak belum sempurna.
Menurut Stowell (2002) Imunoglobulin tersusun atas 2 rantai berat dan 2
rantai ringan (heavy and light chain) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida sehingga membentuk struktur Y (gambar 4). Secara morfologi IgY pada ayam
berbeda dengan IgG mamalia, hal ini terlihat dari H (heavy chain) yang lebih besar dan secara antigenik berbeda dengan H chain pada IgG mamalia. Konsentrasi IgY pada kuning telur cenderung konstan sesuai dengan tingkat
kematangan oocyte, dan pada kuning telur yang telah siap (mature) ditemukan 10–20 mg/ml IgY. Ayam dapat digunakan untuk memproduksi antibodi selama
masa produksi telurnya. Ayam yang telah digunakan untuk memproduksi antibodi
selama 3 bulan harus diberikan imunisasi booster setiap bulan berikutnya untuk memastikan titer antibodi yang tetap tinggi. Bila diasumsikan satu ekor induk
ayam mampu untuk menghasilkan 20 butir telur per bulan, maka lebih dari 2 gram
IgY kuning telur dapat diisolasi per bulan. Konsentrasi IgY pada serum ayam
berkisar antara 5–7 mg/ml. Oleh karena itu 2 gram IgY kuning telur sama dengan
kandungan IgY pada 300 ml serum atau 600 ml darah (Carlender 2002 ; Falkhi
2008).
Gambar 4 Struktur imunoglobulin (Stowell 2002)
Fraksi imunoglobulin pada ayam yang terbanyak dikenal dengan
pertama IgY ditransfer dari serum ke kuning telur sebagaimana transfer plasenta
mamalia. Keberadaan reseptor IgY pada oosit akan mendorong kejadian
pengikatan dan pemindahan seluruh populasi IgY pada`serum ayam ke telur.
Kemudian tahap kedua adalah tranfer Ig Y dari kantung kuning telur ke telur yang
berembrio (Gassman et al. 1990).
Transfer IgY secara transovarial berlangsung kurang lebih 3–6 hari,
tergantung dari jumlah sel telur yang ada di dalam tubuh ayam (Patterson et al. 1962; Wooley et al. 1995). IgY ditansfer dari serum melewati oolemma ke dalam oosit yang telah matang dalam folikel ovari (Rose dan Orland 1981). Transfer ini
terjadi melalui reseptor spesifik di permukaan membran kantung kuning telur
(Tressler dan Roth 1987). Tingginya kadar IgY di dalam darah tidak selalu sama
dengan dengan kadar IgY di dalam kuning telur karena transfer IgY ke dalam
kuning telur diketahui terjadi dalam 2 tahap. Setiap tahap memerlukan waktu
tertentu (Wibawan 2008).
Dilihat dari sifat transfer antibodi tersebut maka ayam petelur memiliki
potensi efektif sebagai produsen antibodi. Antibodi spesifik yang dihasilkan oleh
ayam menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan antibodi yang
dihasilkan mamalia. Antibodi dalam sebutir telur sama dengan antibodi yang
dihasilkan sekali pemanenan darah kelinci (Poetri 2006). Selain itu ayam memiliki
sensitifitas yang tinggi terhadap pemaparan antigen asing sehingga sistem imun
ayam sangat responsif dan persisten untuk produksi IgY (Hau & Hendriksen
2005).
Hal penting yang membedakan IgG dengan IgY yaitu Imunoglobulin Y
(IgY) memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan IgG (gambar 5),
lebih resisten terhadap suhu dan pH dibandingkan dengan IgG (Szabo et al. 1998). IgY dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik dibandingkan dengan antibodi
yang diproduksi mamalia. IgY bersifat lebih asam dan memiliki kerapatan
molekul lebih rendah (Higgins 1995) dibandingkan dengan IgG mamalia. IgY
tidak berikatan dengan faktor komplemen, protein A, protein G, dan reseptor Fc
bakteri (Jensenius et al. 1981). Tidak berikatan dengan faktor rheumatoid dalam darah, tidak mengaktifkan faktor komplemen mamalia sehingga tidak merangsang
dan kemampuan mengikat antibodi sekunder 3 hingga 5 kali lebih kuat (Poetri
2006).
Gambar 5 Struktur IgG dan IgY (Szabo et al. 1998)
Secara keseluruhan struktur IgY menyerupai IgG mamalia, dengan dua
rantai ringan dan rantai berat. Molekul ini memiliki masa 167.259 Da, sedikit
lebih besar dari IgG ( 160 kDa) (Carlender 2002). Cara penyimpanan IgY dapat
dilakukan seperti cara penyimpanan IgG, yaitu disimpan dalam refrigerator yang
dilengkapi dengan kelengkapan penghambat pertumbuhan bakteri. (Carlender
2002).
Imunoglobulin Y relatif stabil untuk dipertahankan aktivitasnya jika
disimpan dalam kondisi ruang (normal). Aktivitas IgY dapat dipertahankan
dengan baik jika disimpan pada suhu 37°C untuk jangka waktu satu bulan atau
pada suhu kamar untuk jangka waktu 6 bulan dan aktivitas IgY dapat
dipertahankan selama 10 tahun jika disimpan pada suhu 4°C (Larsson et al. 1993). Shin et al. (2002) menyatakan bahwa IgY stabil pada suhu 40°C, dan hanya kehilangan 20% aktivitasnya pada pemanasan dengan suhu 60°C selama 10 menit
serta stabil pada pH 4–8.
Imunodifusi (Agar Gel Presipitation Test / AGPT)
Teknik imunodifusi merupakan salah satu cara untuk menganalisa
keberadaan antibodi. Salah satu tekniknya adalah Agar Gel Presipitation Test (AGPT). Uji ini menggunakan teknik presipitasi (pengendapan) antigen oleh
antibodi yang sesuai. Uji ini bersifat kualitatif yaitu dapat mengetahui keberadaan
merupakan dasar imunokimia terdiri dari kategori primer dan katekori sekunder.
Interaksi antibodi-antigen sekunder dapat mengakibatkan presipitasi, sehingga
Agar Gel Presipitation Test (AGPT) termasuk dalam kategori ini. AGPT merupakan teknik imunopresipitasi yang banyak dipakai untuk mengukur titer
antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibandingkan dengan uji
pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan (Anonim(4) 2010).
Uji ini menggunakan selapis media agar yang dilubangi. Kemudian
kedalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan serum
atau kuning telur yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan
merembes, berdifusi disekitar sumur secara radial. Apabila antigen bereaksi
dengan antibodi spesifik, akan terbentuk kompleks antigen antibodi yang besar
sehingga kompleks mengendap dan terjadi presipitasi yang membentuk garis
putih (homolog). Garis presipitasi yang terbentuk dapat terlihat seperti pada
gambar 6. Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara antigen dan antibodi, maka garis
presipitasi tidak akan terbentuk (heterolog). Jika positif akan terlihat garis putih
yang terletak di antara antigen dan antibodi begitu pun sebaliknya (Medion 2009).
Antibodi umumnya adalah bivalen dan karenanya hanya mampu berikatan silang
dengan dua determinan antigen dalam satu waktu, tetapi antigen umumnya
bersifat multivalen yang mempunyai determinan antigen yang relatif sangat besar
(Tizard 1988).
Gambar 6 Terbentuknya garis putih (garis presipitat) mengelilingi lubang menunjukkan hasil positif (Medion 2009)
Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam
reaksi presipitasi. Pembentukan presipitat terjadi apabila antara konsentrasi
antigen dan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan
mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk, sedangkan antibodi
pertama disebut postzone effect dan yang kedua disebut prozone effect (Anonim(4) 2010).
Metode uji serologis ini termasuk metode yang sederhana untuk
mendeteksi antibodi terhadap berbagai virus berdasarkan reaksi positif (+) atau
negatif (-) (Medion 2008). Reaksi positif ditandai dengan adanya garis presipitasi
antara serum dan antigen homolog. Keberadaan antibodi spesifik E.coli dan S.Enteritidis dalam kuning telur dikonfirmasi dengan uji imunodifusi/Agar Gel Precipitation Test (AGPT). Teknik ini dipilih karena nilai positif pada AGPT mencerminkan kandungan antibodi yang cukup besar pada material (kuning telur).
Uji Serologis Hemaglutinasi Inhibisi
Beberapa virus memiliki virus-coded protein pada permukaannya yang mampu berikatan dengan sel darah merah. Hal tersebut memungkinkan beberapa
virus dapat menghubungkan beberapa sel darah merah menjadi satu gumpalan
(lattice). Fenomena ini dinamakan hemaglutinasi, pertamakali dijelaskan oleh Hirst tahun 1941 (Fenner et al. 1974) yang selanjutnya melakukan analisa terhadap mekanisme hemaglutinasi virus influenza. Pada virus influenza protein
hemaglutinin tersebut adalah glikoprotein. Virus ini menempel pada sel darah
merah yang memiliki reseptor komplemen berupa glikoprotein dengan bentuk
yang berbeda (Fenner et al. 1974).
Virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah itu antara lain ortho- dan
paramyxovirus; alfa-, flavi-, dan bunyavirus; serta adeno-, reo-, parvo-, dan
coronavirus (Tizard 1988). Hemaglutinasi yang diakibatkan oleh virus influenza
dan paramoxovirus berbeda dengan virus lain kerana disertai dengan enzim
(neuraminidase). Neuraminidase ini yang menghancurkan reseptor glikoprotein
dengan bentuk yang berbeda (Fenner et al. 1974).
Antibodi yang berfungsi melawan virus tersebut menghambat terjadinya
hemaglutinasi. Deteksi virus berdasarkan kemampuannya mengaglutinasi darah
digunakan sebagai uji praeliminasi ketika akan mengidentifikasi virus. Sedangkan
reaksi inhibisi oleh antibodi yang biasa disebut hemaglutinasi inhibisi test (HI), digunakan untuk mengidentifikasi virus spesifik dan untuk menghitung level
merah oleh virus dengan cara virus diikat oleh antibodi yang homolog sehingga
tidak dapat melekat pada reseptor membran sel darah merah. Dengan demikian
aglutinasi sel darah merah tidak terjadi.
Uji ini dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode α dan metode β.
Metode α digunakan untuk menguji jenis antigen. Pada metode ini jumlah serum
yang dimasukkan ke dalam setiap tabung uji tetap, sedangkan jumlah antigen
yang diujikan diencerkan secara berseri. Sedangkan metode β digunakan untuk
menguji atau mengidentifikasi antibodi dan menghitung titer antibodinya serta
menguji jenis antigen. Pada metode ini yang diencerkan secara seri adalah serum.
Apabila ingin melakukan pengujian anigen dengan metode ini maka harus
melakukan uji Heaglutinasi (HA) terlebih dahulu untuk membuat virus standarnya (Tizard 1988).
Zat haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus atau bakteri tersebut
bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik. Antibodi
yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan menghambat terjadinya aglutinasi
darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus. Uji HI menggunakan reaksi
hambatan haemaglutinasi tersebut untuk membantu menentukan diagnosa
penyakit secara laboratorium dan mengetahui status kekebalan tubuh (titer
antibodi). Prinsip kerja dari uji HI adalah mereaksikan antigen dan serum dengan
pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa
antibodi yang terkandung dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi
eritrosit. Uji HI merupakan metode uji serologis yang mudah dilakukan dan
hasilnya dapat diketahui dengan cepat (Kusumawardhani 2008).
Gambar 7 Interpretasi hasil HI test ditunjukkan dari ada tidaknya proses aglutinasi.
(A = tidak terjadi aglutinasi dan B = terjadi aglutinasi) (Medion 2008) Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi
ditetapkan dengan mengamati sel darah merah pada lubang-lubang cawan mikro
dengan dasar berbentuk “V”, bila cawan dimiringkan akan terlihat tetesan air mata
(Indriani et al. 2004). Gambar 7 memperlihatkan terjadinya reaksi antara antibodi, antigen, dan sel darah merah. Hambatan aglutinasi terlihat dengan tidak adanya
massa menggumpal pada sumur (sel darah merah tidak teraglutinasi). Uji HI
mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana untuk mengidentifikasi jenis
antigen tertentu dengan mereaksikannya terhadap antibodi homolog yang telah
diketahui. Kedua adalah untuk mengetahui jenis antibodi dan titernya, dengan
cara mereaksikan serum yang ingin diketahui jenis antibodinya dengan antigen
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan
Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit
pelayanan mikrobiologi terpadu Bagian Mikrobiologi Medik, dan Laboratorium
Imunologi bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, serta kandang ayam Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan dalam lima tahap, yaitu tahap kultur bakteri murni
untuk dibuat antigen, tahap penyuntikan antigen, tahap ekstraksi IgY dari kuning
telur dengan teknik pemisahan sederhana, tahap uji keberadaan antibodi spesifik
pada kuning telur segar, dan tahap uji keberadaan antibodi spesifik pada telur
yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat. Pengujian keberadaan antibodi
dilakukan dengan teknik imunodifusi (AGPT) dan Haemaglutinasi Inhibisi (HI).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor ayam betina
petelur tipe Isa Brown umur 20 minggu yang siap bertelur, isolat bakteri Escherichia coli strain EPEC dan Salmonella Enteritidis dari Laboratorium Bakteriologi FKH IPB, koleksi telur positif mengandung antibodi anti diare dan
anti flu burung, vaksin AI (killed vaccine), media cair Brain Heart Infusion (BHI Broth), NaCl fisiologis, Blood Agar, aquadestilata, miliQ, NaOH 1 N, HCl 0,2 N, agarose, PBS, Freund Adjuvant Complete dan Incomplete, RBC 1%, virus (AI) standar 4 HAU, alkohol teknis 70%, dan pakan ayam komersial produksi PT.
Gold Coin 105 untuk layer.
Alat yang digunakan adalah sentrifuse Sorvall T21, vortex, cawan petri, tabung reaksi, gelas objek, tisu, tusuk gigi, kapas, ose, api bunsen, korek/
air, refrigerator, freezer, kandang baterai, tempat pakan dan tempat minum hewan percobaan.
Metode Penelitian
1. Tahap Kultur Biakan Antigen Murni Untuk Dijadikan Vaksin Inaktif
Antigen yang digunakan untuk disuntikan ke tubuh ayam adalah bakteri
Escherichia coli dan Salmonella Enteritidisyang telah dibiakkan/ditumbuhkan di media agar (Blood Agar), kemudian diinkubasi selama 24 jam. Isolat bakteri ini selanjutnya dibiakan di BHI Broth sebanyak 50 ml dan diinkubasi
selama 24 jam. Bakteri yang telah dibiakan di BHI Broth tersebut
disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 19°C selama 15 menit,
kemudian supernatan dibuang dan pelet dicuci sebanyak 3 kali dengan larutan
NaCl fisiologis sebanyak volume supernatan yang dibuang. Larutan pelet
disentrifugasi kembali selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Pelet
ditampung dan ditambahkan NaCl fisiologis, kemudian pada tabung yang
berbeda sebanyak 20 ml NaCl fisiologis dihomogenkan dengan campuran
pelet tadi dan distandarkan dengan standar McFarland II. Standar Mcfarland II merupakan penyetaraan kandungan bakteri dalam media cair pertumbuhan yang mengandung saline menggunakan pendekatan densitas spektrofotometri
yaitu 6x108 CFU/ml (Anonim(2) 2009). Tahapan selanjutnya homogenat
tersebut ditangas dalam penangas air (water bath) pada suhu 60°C selama 2 jam untuk menginaktifkan antigen. Penambahan adjuvant dilakukan dengan mencampurkan homogenat antigen dengan Freund Adjuvant Complete atau Incomplete dengan perbandingan 1:1, kemudian dihomogenkan.
2. Tahap Penyuntikan Antigen
Ayam yang disuntik dengan antigen sebanyak 22 ekor, sedangkan 3 ekor tidak
diberi perlakuan/kontrol negatif. Penyuntikan antigen bakteri dilakukan
sebanyak 4 kali dengan interval 1 minggu. Pada minggu pertama, untuk
dicampur dengan Freund Adjuvant Complete, sedangkan minggu ketiga dan keempat menggunakan Freund Adjuvant Incomplete diberikan sebanyak 1 ml per ekor secara subkutan. Vaksin AI inaktif diberikan pada minggu pertama
dan minggu keempat sebanyak 1 ml per ekor secara subkutan.
3. Tahap Pengenceran Sederhana/Segar Kuning Telur
Pasca penyuntikan antigen telur yang dihasilkan selanjutnya dikoleksi.
Dilakukan pengujian setiap minggu pada kuning telur dengan pengenceran
sederhana/segar untuk mengetahui keberadaan antibodi spesifik (Manggung
2010). Kuning telur dipisahkan dari putih telur, kemudian diletakkan diatas
kertas saring agar putih telur tidak ikut terbawa bersama kuning telur.
Sebanyak 0,5 ml kuning telur ditampung dalam microtube yang berisi 1 bagian PBS atau sekitar 0,5 ml. Campuran dalam microtube tersebut dihomogenkan dengan alat vortex. Suspensi yang telah homogen dapat digunakan untuk uji (Poetri 2006).
4. Tahap Perlakuan dengan Pemanasan Bertingkat pada Telur yang
Sebelumnya telah diketahui Positif Mengandung Antibodi Spesifik
Penelitian ini menggunakan telur yang telah dikoleksi dan mengandung
antibodi anti diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1) (Manggung 2010). Digunakan 10 butir sampel telur hasil
koleksi dari induk ayam yang berbeda pada tanggal produksi yang sama.
Selanjutnya ke-10 telur dibagi dalam 5 kelompok (lima suhu pemanasan yang
berbeda), masing-masing kelompok terdiri dari 2 butir telur. Dilakukan
pemanasan atau perebusan telur menggunakan water bath selama 5 menit. Pemanasan/perebusan telur menggunakan lima suhu berbeda dengan rentang
10oC dimulai dari suhu 60oC, 70oC, 80oC, 90oC, dan 100oC. Derajat
pemanasan dan waktu yang digunakan merupakan suhu dan waktu eksploratif
yang mendekati metode pemanasan/perebusan telur setengah matang hingga
matang yang umum dilakukan di masyarakat. Selanjutnya telur yang sudah
direbus masing-masing diberi label sesuai dengan derajat pemanasannya.
Dilakukan pengenceran kuning telur menggunakan PBS dengan perbandingan
1 bagian kuning telur dengan 2 bagian pengencer, selanjutnya kuning telur
yang telah diencerkan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 5
menit, supernatan digunakan untuk menguji keberadaan antibodi spesifik
dengan metode AGPT dan HI (Soejoedono et al. 2005).
5. Tahap Uji Keberadaan Antibodi Spesifik dengan AGPT dan Uji HI
5.1. Teknik Imunodifusi Agar Gel Precipitation Test (AGPT)
Agar gel dibuat dengan melarutkan 0,5 gram agarose dalam 25 ml miliQ dan 25 ml PBS pH 7,2. Ditambahkan Na Acid sebagai bahan anti jamur
sebanyak 0,001 gram/ml. Larutan ini dipanaskan dengan penangas air
sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Sebanyak 4 ml agar gel
tersebut dituangkan pada gelas objek menggunakan pipet dan ditunggu
hingga mengeras. Setelah agar gel mengeras, dibuat sumur-sumur
dengan puncher.
Sebanyak 25 µl antigen (Escherichia coli atau Salmonella Enteritidis) dimasukkan ke dalam sumur tengah dan pada sumur sekelilingnya
dimasukan 25 µl kuning telur yang telah diberi perlakuan pemanasan.
Gelas obyek diletakan di atas tisu basah agar terjaga kelembabannya,
dan disimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah terjadinya
kontaminasi. Reaksi dibaca setelah 18–48 jam dan reaksi positif
ditunjukan dengan adanya garis presipitasi (garis buram putih) pada
daerah antara sumur antigen dengan sumur kuning telur segar. Ini
menandakan bahwa antigen dan antibodi tersebut homolog. Uji AGPT
ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen bakteri
Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis.
Antigen yang digunakan adalah isolat bakteri (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) yang ditumbuhkan dalam 50 ml media BHI Broth yang diinkubasi pada suhu 37°C selama 18–24 jam. Kemudian
masing-masing isolat disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama
15 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 5 ml NaCl
15 menit. Pencucian dengan NaCl fisiologis dilakukan sebanyak 3 kali.
Setelah proses pencucian selanjutnya pelet ditambah dengan 0,5 ml HCl
0,2 N dan satu tetes phenol red ditambahkan sebagai indikator kemudian ditangas pada suhu 52°C selama 2 jam. Selanjutnya ditambahkan NaOH
1N sampai warna berubah menjadi merah, lalu disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan
digunakan sebagai antigen terlarut dan disimpan pada suhu 4°C
(Pasaribu & Wibawan 1993).
5.2. Pengujian terhadap antibodi H5N1
5.2.1. Pembuatan larutan sel darah merah 1%
Darah yang digunakan adalah darah ayam bebas avian influenza, yaitu ayam yang tidak pernah terpapar virus avian influenza dan
divaksinasi dengan vaksin H5N1. Darah diambil dengan
menggunakan syringe kemudian dicampur dengan antikoagulan Na sitrat 3,8% dengan perbandingan 4:1.
Darah yang telah siap disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm
selama 10 menit setelah itu supernatan dibuang. Kemudian
ditambahkan NaCl fisiologis dengan volume yang sama seperti
supernatan yang dibuang. Proses ini diulang sebanyak 3 kali
pencucian. Hasil yang didapat dari 3 kali pencucian adalah sel darah
merah 100%.
Untuk pengenceran sel darah merah 100% menjadi 1% dilakukan
dengan 3 kali pengenceran. Pengenceran pertama untuk membuat
stok sel darah merah 50% dengan mencampur 1 bagian sel darah
merah 100% dengan 1 bagian NaCl fisiologis. Pengenceran kedua
untuk membuat stok sel darah merah 5% dengan mencampur 1
bagian sel darah merah 50% dengan 9 bagian NaCl fisiologis.
Pengenceran ketiga untuk mendapatkan sel darah merah 1% dengan
mencampur 1 bagian sel darah merah 5% dengan 4 bagian NaCl
fisiologis. Larutan ini disimpan pada suhu 4°C apabila belum
5.2.2.Penyiapan virus standar 4 HAU
Dilakukan uji hemaglutinasi (HA) untuk mengetahui titer stok virus H5N1 yang tersedia. Untuk mengetahui ketepatan dari antigen 4
HAU yang akan dipergunakan dilakukan uji back titrasi. Pengujian dilakukan menggunkan V bottom microplate yang diisi dengan 25 µl PBS 1x pada kolom 2–12 dimulai dari baris A–F. Selanjutnya
dimasukkan sampel virus H5N1 pada sumur A1–E1 dan sumur A2–
E2. Kemudian pada sumur B2 dimasukkan PBS sebanyak 25 µl,
sumur C2 ditambahkan PBS 75 µl, sumur D2 ditambahkan PBS 125
µl, sumur E2 ditambahkan PBS sebanyak 175 µl, kemudian pada
masing-masing sumur dihomogenkan dengan cara disedot dan
dibuang menggunakan mikropipet sebanyak 10 kali. Selanjutnya
dilakukan pengenceran bertingkat dengan cara mengambil 25µl
cairan dari kolom A2–E2 ke kolom A3–E3 dan dihomogenkan
dengan cara menyedot cairan naik dan turun menggunakan pipet
sebanyak 5 kali. Langkah ini di ulangi sampai ke kolom A12–E12
dan cairan terakhir dibuang sebanyak 25 µl. Ditambahkan kembali
25 µl PBS pada setiap sumur, dilanjutkan dengan memasukkan RBC
1% sebanyak 25 µl. kemudian plate dihomogenkan selama 10 menit,
lalu plate di inkubasi selama 60 menit pada suhu 4°C (CVI 2010).
5.2.3.Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)
Pengujian HI ini menggunakan V bottom microplate. Sumur nomor 1–10 diisikan 25 µl larutan PBS 1x menggunakan mikropipet. Sumur
kolom A diisi sampel kuning telur sebanyak 25 µl kemudian
dihomogenkan dengan mikropipet. Selanjutnya 25 µl dari sumur
kolom A diambil dan dipindahkan ke dalam sumur kolom B, ini
merupakan proses pengenceran bertingkat. Pengenceran tersebut
dilanjutkan ke sumur C hingga sumur kolom H dan dari sumur
kolom H ini suspensi dibuang sebanyak 25 µl. Sumur nomor 1–10
diisikan suspensi antigen/virus AI standar 4 HAU sebanyak 25 µl,
tujuan memberi kesempatan antigen dapat bereaksi dengan antibodi
yang terdapat dalam kuning telur. Tahap selanjutnya semua sumur
nomor 1–10 di mulai dari kolom A–H ditambahkan 25 µl suspensi
RBC 1%, lalu dihomogenkan dengan cara digoyang-goyangkan atau
dapat menggunakan plate shaker. Plate diinkubasikan kembali pada suhu 4°C selama 60 menit (CVI 2010). Uji HI digunakan untuk
deteksi antibodi H5N1.
Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran tertinggi
yang masih memberikan hambatan (inhibisi) pada antigen 4 HAU.
Inhibisi ditetapkan dengan melakukan pengamatan pengamatan sel
darah merah pada sumur-sumur cawan mikro, hasil positif jika sel
darah merah mengendap serupa dengan sel darah merah kontrol.
Inhibisi dapat pula ditetapkan dengan melakukan pengamatan sel
darah merah pada lubang-lubang cawan mikro, bila cawan mikro
dimiringkan terlihat sel darah merah membentuk tetesan air mata
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ayam yang diimunisasi dengan antigen spesifik akan memproduksi
antibodi spesifik terhadap antigen tersebut dalam jumlah banyak dan akan
ditransfer ke kuning telur (Putranto 2006). Antibodi atau imunoglobulin yang
terbentuk dalam darah ayam dan dialirkan ke dalam kuning telur dikenal dengan
nama IgY (Immunoglobulin Yolk). Antibodi induk yang ditransfer secara pasif oleh induk kepada anaknya berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing
ketika sistem imun anak belum sempurna. Antibodi ini berguna untuk pertahanan
tubuh embrio dan janin hingga 7–10 hari setelah menetas. Zat ini dikenal sebagai
maternal antibody (Wibawan 2008).
Keberadaan antibodi dalam kuning telur ayam petelur (Isa Brown) diketahui dengan melakukan teknik imunodifusi menggunakan metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan Hemaglutinasi Inhibisi (HI) test. Metode ini
merupakan suatu uji kualitatif dan uji kuantitatif sederhana serta cepat untuk
mengetahui keberadaan antibodi spesifik, dalam hal ini antibodi anti diare
(Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1). Antibodi yang dideteksi menggunakan uji AGPT adalah antibodi terhadap antigen
penyebab diare. Uji HI digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen
penyebab flu burung.
Didapatkan data dari hasil penelitian sebelumnya bahwa, antibodi mulai
terdeteksi dalam serum dua minggu setelah vaksinasi pertama. Sedangkan, di
dalam telur antibodi mulai terdeteksi pada minggu ke-lima setelah vaksinasi
pertama. Ayam yang digunakan untuk memproduksi antibodi diberikan imunisasi
booster untuk memastikan titer antibodi yang tetap tinggi. Antibodi didalam kuning telur terdeteksi selama 13 minggu (bertahan hingga minggu ke-18 setelah
vaksinasi pertama) (Manggung 2010). Antibodi (IgY) pada penelitian ini
terdeteksi tiga minggu setelah antibodi ditemukan dalam serum, hal ini terjadi
karena diperlukan waktu dari sirkulasi darah sampai terakumuluasi dalam telur.
Carlender (2002) melaporkan antibodi terdeteksi tiga sampai empat hari pada telur
setelah pemunculan atibodi dalam serum, sedangkan Davis dan Reeves (2002)
Wibawan (2008), dibutuhkan waktu 7 hari untuk mentransfer antibodi dari dalam
darah ke kuning telur.
Penelitian ini menggunakan telur koleksi positif yang mengandung
antibodi spesifik anti diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) dan anti flu burung (H5N1). Pengujian daya tahan IgY terhadap suhu dilakukan dengan
merebus telur pada berbagai tingkatan temperatur (60oC, 70oC, 80oC, 90oC, dan
100oC) selama 5 menit. Digunakan dua sampel telur untuk melihat aktivitas
ketahanan IgY terhadap proses pemanasan pada masing-masing suhu dengan
metode AGPT dan HI.
Pengujian antibodi terhadap Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis pada telur yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat menggunakan metode
AGPT menunjukkan hasil sebagai berikut (ditampilkan pada tabel 1).
Tabel 1 Data hasil uji AGPT kuning telur yang diberi perlakuan pemanasan bertingkat
Antigen
Sebelum diberi perlakuan pemanasan
Temperatur (suhu pemanasan)
60oC 70oC 80oC 90oC 100oC
E. coli + + + + - -
S. Enteritidis + + + + - -
Ket :
(+) : Antibodi terdeteksi/terjadi presipitasi (-) : Antibodi tidak terdeteksi/terjadi presipitasi
Hasil positif ditandai dengan adanya ikatan kompleks antigen-antibodi
yang mengendap membentuk garis presipitasi antara sumur antigen dan sumur
antibodi pada media agar. Garis presipitasi yang terbentuk antara antigen
Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis dengan antibodi spesifik terhadap kedua bakteri tersebut setelah telur diberi perlakuan pemanasan bertingkat
Gambar 8 Reaksi presipitasi kuning telur spesifik terhadap antigen Escherichia coli pada uji agar gel presipitasi
Ag = Antigen Escherichia coli; 1,2 = kuning telur pemanasan 60°C; 3,4 = kuning telur pemanasan 70°C; 5,6 = kuning telur pemanasan 80°C; 7,8 = kuning telur pemanasan 90°C; 9,10 = kuning telur pemanasan 100°C; ( ) garis presipitasi
Gambar 9 Reaksi presipitasi kuning telur spesifik terhadap antigen Salmonella Enteritidispada uji agar gel presipitasi
Ag = Antigen Salmonella Enteritidis; 1,2 = kuning telur pemanasan 60°C; 3,4 = kuning telur pemanasan 70°C; 5,6 = kuning telur pemanasan 80°C; 7,8 = kuning telur pemanasan 90°C; 9,10 = kuning telur pemanasan 100°C; ( ) garis presipitasi
Garis presipitasi yang terbentuk pada media agar terjadi karena adanya
keseimbangan antara jumlah antigen dan antibodi dalam kuning telur.
Perbandingan konsentrasi antigen dan antibodi adalah faktor penting dalam reaksi
presipitasi. Dalam campuran yang rasio antara antigen dan antibodinya seimbang,
akan terbentuk ikatan silang yang ekstensif dan terjadi bentukan kisi-kisi.
Kisi-kisi ini berkembang menjadi lebih besar, tidak larut dan akhirnya mengendap.
Ikatan kompleks antigen-antibodi yang mengendap dan terlihat seperti garis
berwarna putih ini disebut garis presipitasi (presipitat). Pada campuran yang berisi
antibodi dalam jumlah berlebih, setiap molekul antigen ditutupi dengan antibodi
sehingga garis presipitasi tidak terbentuk. Sebaliknya pada campuran yang
berlebihan antigen, setiap antibodi diikat sepasang molekul antigen dan ikatan
silang tidak terjadi, menyebabkan kompleks ini kecil dan larut sehingga tidak
terbentuk garis presipitasi (Tizard 1988).
Pemanfaatan IgY sebagai bahan imunisasi pasif dalam aplikasi makanan
bermanfaat dipengaruhi oleh faktor pH, temperatur, enzim saluran pencernaan,
dan dosis. Untuk dapat diberikan secara oral antibodi dalam telur harus melewati
beberapa tahapan yang dapat menurunkan aktifitas antibodi seperti denaturasi
akibat pemanasan saat telur direbus (Suartini 2007).
Uji aktivitas biologi antibodi terhadap Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis dilakukan dengan menguji ketahanan IgY terhadap suhu (pemanasan).
Pengujian dilakukan dengan merebus telur utuh yang masih lengkap dengan
kerabang telur, hal ini dilakukan sebagai bentuk penelitian berdasar aplikasi dari
proses pemasakan telur. Umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi telur
dengan cara direbus. Proses pemanasan pada telur dapat mengakibatakan
berubahnya bentuk fisik dari putih dan kuning telur. Hasil pengamatan
organoleptik menggambarkan bahwa konsistensi kuning telur dan putih telur pada
pemanasan 60°C masih cair serupa dengan telur segar yang belum diberi
perlakuan apa-apa. Pada pemanasan 70°C dan 80°C konsisten putih telur mulai
berubah menjadi kental dan berwarna putih keruh, sedangkan kuning telur mulai
mengental. Pada suhu inilah dikatakan pemasakan telur setengah matang.
Pemanasan telur pada suhu 90°C dan 100°C konsitensi kuning dan putih telur
sudah kental dan mengeras (telur rebus matang).
Perubahan fisik dari putih dan kuning telur merupakan proses denaturasi
protein. Denaturasi protein menyebabkan terjadinya koagulasi pada telur yang
sifatnya tidak dapat kembali. Koagulasi pada telur ditandai dengan kelarutan atau
berubahnya bentuk cairan (sol) menjadi padat (gel). Perubahan struktur molekul
ini dapat disebabkan oleh pengaruh panas, mekanik, asam, basa, garam, dan
perekasi garam lain seperti urea. Koagulasi karena pengaruh panas disebabkan
pemanasan pada suhu 60–70°C. Sifat koagulasi ini dimiliki oleh putih dan kuning
telur (Wardana 2010).
Waktu yang digunakan untuk merebus telur pada penelitian ini adalah 5
perambatan energi panas (konduksi kalor) dari bagian terluar hingga kebagian
tengah telur. Dilakukan pengukuran suhu dibagian tengah kuning telur segera
setelah proses perebusan selesai. Didapatkan hasil bahwa suhu rata-rata bagian
tengah kuning telur setelah proses pemanasan 60°C selama 5 menit adalah 44°C.
Telur yang dipanaskan pada suhu 70°C, terukur bahwa suhu di bagian tengah
berkisar pada 54°C. Suhu bagian tengah kuning telur yang dipanaskan pada 80°C
adalah 64°C. Sedangkan pada pemanasan telur 90°C dan 100°C didapatkan suhu
bagian tengah secara bertutut-turut masing-masing 70°C dan 74°C.
Berdasarkan hasil AGPT didapatkan hasil bahwa IgY tahan terhadap
proses pemanasan telur secara utuh (lengkap dengan kerabang telur) pada suhu
60°C, 70°C, dan 80°C selama 5 menit, ditandai dengan terjadinya presipitasi.
Sedangkan pada pemanasan telur utuh dengan suhu 90°C dan 100°C, aktivitas
IgY mulai menurun bahkan hilang yang ditandai dengan tidak terjadinya
presipitasi. Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa presipitasi merupakan
reaksi sekunder sebagai akibat dari reaksi primer antara antibodi dan antigen
spesifik. Interaksi yang terjadi antara antibodi dan antigen spesifik melibatkan
berbagai interaksi nonkovalen antara determinan antigen, epitope antigen, dan
regio hipervariabel pada molekul antibodi.
Aktivitas IgY pada telur yang dipanaskan suhu 60°C dengan suhu bagian
tengah kuning telur berkisar 44°C masih dapat terdeteksi, hal ini terbukti dengan
adanya garis reaksi presipitasi antibodi spesifik terhadap antigen E. coli dan S. Enteritidis. Hasil ini serupa dengan pernyataan Horie et al. (2004) bahwa 95% dari aktivitas IgY bertahan pada pemanasan 60–65°C, bahkan dengan proses
pemanasan pada kisaran suhu ini selama 60 menit. Pada suhu inilah (63°C)
umumnya dilakukan proses pasteurisasi telur. Konsumsi telur mentah memiliki
potensi yang tinggi terhadap keracunan akibat bakteri Salmonella (Salmonella Food poisoning). Salmonella dapat diinaktifkan dengan pemanasan. Untuk menghindari terjadinya keracunan oleh Salmonella, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengharuskan melakukan pemanasan (pasteurisasi)
selama 3,5 menit pada suhu 56,7°C atau 6,2 menit pada suhu 55,50°C untuk putih
telur, atau 6,2 menit pada suhu 60°C untuk telur utuh (campuran putih telur dan