• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studies of Spatial Pattern Based on Environmental Carrying Capacity in Garut Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studies of Spatial Pattern Based on Environmental Carrying Capacity in Garut Regency"

Copied!
276
0
0

Teks penuh

(1)

LINGKUNGAN HIDUP

ARDHY FIRDIAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Ardhy Firdian

(3)

ARDHY FIRDIAN. Studies of Spatial Pattern Based on Environmental Carrying Capacity in Garut Regency. Under supervision of BABA BARUS and DIDIT OKTA PRIBADI.

Enviromental Carrying Capacity is measured in three methods such as, land capability, land carrying capacity and water carrying capacity. Garut Regency which is located at the upstream Cimanuk Watershed have an important role in protecting the sustainability of downstream area. The aims of this study are: (1) identifying land use in Garut Regency in 2009, (2) identifying land capability in Garut Regency, (3) assessing the suitability of land use with land capability and spatial pattern of Garut Regency, (4) identifying the status of environmental carrying capacity in Garut Regency, and (5) setting spatial pattern based on environmental carrying capacity. Based on the analysis through the interpretation of Landsat Satellite Imagery and Alos AVNIR in 2009, dryland agriculture has dominated about 45,4% and forest cover has about 23,8%. The result in land capability aspect, most areas in Garut Regency belong to Class IV (36,4% of the regency areas) and there is no Class I. The suitabilty of land cover regarding to land capabilty show that 49,6% area is categorized as suitable and 50,4% area is categorized as not suitable. Evaluation between the spatial patern and the land capability shown that 58,4% area is suitable, 24,4% area is not suitable and 17,2% area is suitable with some limitation factors. In the evaluation beetween spatial pattern and land cover shown that 64,5% area is suitable, 34,5% area is not suitable and 0,1% area is suitable with some condition. The status of land carrying capacity is deficit, and the status of water carrying capacity is deficit. According to spatial pattern that is made based on land capability and existing forest, region that can be used as the preservation area is about 60,1% and region that can be used as the cultivation area is about 41,5% of the area of Garut Regency.

Keywords : spatial pattern, land use and land cover, land capability,

(4)

ARDHY FIRDIAN. Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup. Dibimbing oleh BABA BARUS dan DIDIT OKTA PRIBADI

Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan dan pengaturan pola serta struktur ruang di Indonesia, diatur melalui undang-undang tersebut bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang juga merupakan sebuah piranti untuk menjamin terpenuhinya bukan hanya hak-hak individu seperti keselamatan, kesehatan, lingkungan, kenyamanan, maupun kemudahan akses, namun juga untuk hak-hak publik.

Kabupaten Garut, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang saat ini sedang menyusun rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Kabupaten Garut 2010 – 2030 sebagai pengganti RTRW sebelumnya

yang berakhir tahun 2011. Di dalam RTRW tersebut, kebijakan rencana pemanfaatan ruang bagi kawasan lindung ditetapkan sebesar 74,2% atau lebih besar daripada kebijakan sebelumnya. Hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ruang dan berdampak terhadap aktifitas masyarakat lainnya.

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu: (1) mengidentifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut, (2) mengidentifikasi kelas kemampuan lahan, (3) mengevaluasi kesesuaian antara pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan ruang dan kelas kemampuan lahan, (4) mengidentifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut dan (5) merumuskan arahan pemanfaatan ruang berbasis daya dukung lingkungan hidup.

Pemanfaatan lahan aktual diperoleh melalui interpretasi citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2009 Path 121 dan 122 Row 065 dan Alos AVNIR tahun 2009

menggunakan strategi klasifikasi terbimbing metode Maximum Likelihood (MLC).

Kelas kemampuan lahan diidentifikasi dengan menggunakan peta sistem lahan dan peta unit lahan. Perhitungan evaluasi kesesuaian dilakukan terhadap tiga aspek, yaitu : (1) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, (2) kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang dan (3) kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan.

(5)

yang diperoleh dari evaluasi kesesuaian dan daya dukung lingkungan hidup. Arahan pemanfaatan lahan difokuskan kepada deliniasi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Faktor yang digunakan adalah kelas kemampuan lahan VII dan VIII serta VI yang memiliki faktor penghambat kelerengan (l) serta kelerengan dan erosi (le). Selain itu arahan pemanfaatan lahan juga mempertimbangkan faktor pemanfaatan lahan aktual hutan yang perlu dipertahankan keberadaannya.

Terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual, yaitu: (1) hutan, (2) perkebunan, (3) pertanian lahan kering, (4) pertanian lahan basah, (5) permukiman, (6) pertambangan, (7) padang rumput, (8) tanah terbuka, dan (9) tubuh air. Pemanfaatan lahan terbesar terdapat pada pertanian lahan kering (139.760 Ha/45,4%) sedangkan pemanfaatan lahan terkecil berupa tambang pasir (200 Ha/0,1%). Pemanfaatan lahan aktual lain yang dominan adalah hutan dan pertanian lahan basah, dengan masing-masing luasan 73.290 Ha dan 51.870 Ha.

Terdapat 27 (dua puluh tujuh) sub kelas kemampuan lahan yang ada di Kabupaten Garut. Luas terbesar merupakan sub kelas kemampuan IV-lb seluas 79.750 Ha (25,9%). Sub kelas ini secara spasial penyebarannya terdapat di wilayah Garut bagian selatan. Sedangkan sub kelas kemampuan terkecil adalah V-o dengan luasan 170 Ha (0,1%). Sub kelas kemampuan ini pada kenyataannya merupakan daerah aluvial pada muara sungai yang terbentuk dari sedimentasi material tanah yang terbawa aliran sungai. Faktor dominan yang menjadi penghambat utama adalah kelerengan (l) dan erosi (e) yang dapat ditemukan pada semua kelas kemampuan. Faktor ini merupakan faktor penghambat terberat sedangkan faktor penghambat lain yang dominan adalah faktor erosi (e) dimana tinggi rendahnya penghambat faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kelerengan (l), kondisi tutupan tanah, tekstur tanah dan curah hujan.

Hasil evaluasi kesesuaian menunjukkan bahwa dilihat dari segi pemanfaatan lahan aktual maupun segi rencana pemanfaatan ruang, secara umum masih dikatakan belum sesuai. Faktor dominan yang menjadi pembatas utama adalah faktor lereng (l) dan erosi (e).

(6)

kawasan lindung yang dimungkinkan untuk dialokasikan di Kabupaten Garut sebesar 60,1% dari keseluruhan wilayah. Hal ini menunjukkan capaian target rancangan RTRW Kabupaten Garut 2010-2030 yang menetapkan kawasan lindung sebesar 74,16% sulit diwujudkan.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG

LINGKUNGAN HIDUP

ARDHY FIRDIAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Ardhy Firdian NRP : A156090114

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Baba Barus, MSc. Ketua

Didit Okta Pribadi, SP, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Proram Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M..Sc. Agr.

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011

ini ialah daya dukung lingkungan hidup dalam penataan ruang, dengan judul

Kajian Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Garut Berbasis Daya Dukung

Lingkungan Hidup.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc. dan

Bapak Didit Okta Pribadi, SP, M.Si. selaku pembimbing atas segala motivasi,

arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian

tesis ini, serta Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc. selaku penguji luar komisi

yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Di

samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Ernan

Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta

segenap pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB,

Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Garut, Ir. Hj. Indriana Soemarto, MM yang

telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini,

Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada

penulis, rekan-rekan PWL angkatan 2009 atas segala kebersamaan selama

pendidikan, dan pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan

kepada ibunda, isteri dan kedua anakku serta seluruh keluarga, atas segala do’a,

dukungan, pengertian, pengorbanan dan kasih sayangnya.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

dan semua civitas akademik dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya

khasanah keilmuan bidang perencanaan wilayah di masa mendatang.

Bogor, April 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 8 Februari 1976 dari pasangan

H. Achmad Firdaus (Alm) dan Hj. Asih Miyanti. Penulis merupakan putra

pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2003 penulis menikah dengan Alin Fitriyani

dan dikaruniai dua orang anak, Naufal Fadhil Hafizh dan Rayyaa Zakiyyah

Azhaar.

Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di kota Jakarta, sedangkan

pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas

Kehutanan IPB di Bogor dan lulus tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan

pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun

2009 pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan

dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor

Wilayah (Kanwil) Departemen Kehutanan Propinsi Bali dpk Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Tahun 2005

penulis pindah tugas ke Pemerintah Kabupaten Garut dan ditempatkan pada Dinas

Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan sampai tahun 2009, kemudian di

(13)

DAFTAR TABEL ………. iv

DAFTAR GAMBAR .………... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ……….. 1

Perumusan Masalah ……… 6

Tujuan Penelitian ………. 7

Manfaat Penelitian ……….. 7

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang ... 8

Kemampuan Lahan ... 9

Daya Dukung Lingkungan Hidup ... 12

Sistem Informasi Geografis ... 13

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran ... 15

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

Sumber dan Metode Pengumpulan Data ... 16

Analisis dan Pengolahan Data ... 21

Pemanfaatan Lahan Aktual ... 21

Kemampuan Lahan ... 23

Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan Kemampuan Lahan ...

(14)

Hidup ... 37

Batasan-batasan ... 39

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi ... 40

Kondisi Fisik Wilayah ... 40

Topografi ... 40

Klimatologi ... 43

Hidrologi ... 45

Jenis Tanah ... 45

Kependudukan ... 46

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual ... 50

Kemampuan Lahan ... 57

(15)

Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Daya Dukung Lingkungan Hidup ...

74

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 80

Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ……….83

(16)

Hal

1. Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria ... 11

2. Jenis data dan sumber perolehan data ..………... 17

3. Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis dan keluaran ...

18

4. Hubungan kriteria kelas kemampuan lahan dan atribut peta landsystem

dan peta landunit ...

27

5. Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kelas kemampuan

lahan ... 29

6. Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan

ruang ...

30

7. Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuan

lahan ... 31

8. Contoh perhitungan nilai produksi total ... 34

9. Koefisien limpasan ... 35

10. Keterkaitan antara skenario, faktor pertimbangan dan kriteria yang digunakan untuk menyusun arahan pemanfaatan ruang ...

12. Luasan dan persentase Kabupaten Garut berdasarkan kelas lereng ... 42

13. Jumlah dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Garut ... 47

14. Luas dan persentase rencana pola ruang revisi RTRW Kabupaten Garut 2010 – 2030 ...

49

15. Luas dan persentase pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 ...

50

16. Luas dan persentase kelas kemampuan lahan ... 58

17. Luas dan persentase sub kelas kemampuan lahan ... 60

18. Luas dan persentase kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan ...

(17)

20. Luas dan persentase kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan ...

68

21. Perhitungan ketersediaan lahan ... 69

22. Nilai produk setiap kelompok komoditas ... 70

23. Perhitungan status daya dukung air ... 72

24. Luas dan persentase pemanfaatan ruang ... 74

(18)

Hal

1. Jumlah penduduk Kabupaten Garut 2004 – 2009 ... 4

2. Perkembangan PDRB Garut tahun 2004 – 2008 ... 5

3. Pendapatan perkapita masyarakat ... 6

4. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan... 10 5. Kerangka pemikiran penelitian ... 15

6. Interpretasi pemanfaatan lahan aktual tahun 2009 ... 21

7. Perbandingan perbaikan citra satelit Landsat ETM 7+ Path 121 Row 065 tanggal akuisisi 24 Maret 2009 Band 542 ... 22 8. Pemanfaatan peta landunit dan landsystem ... 24

9. Penyesuaian peta landsystem menggunakan data DEM ... 25

10. Alur proses pembuatan peta kelas kemampuan lahan ... 26

11. Alur pelaksanaan pembuatan peta kesesuaian ... 28

12. Alur proses perhitungan daya dukung lahan ... 33

13. Alur proses perhitungan daya dukung air ... 36

14. Alur penyusunan arahan pemanfaatan ruang ... 37

15. Peta kelas ketinggian Kabupaten Garut ... 41

16. Peta kelas kelerengan ... 43

17. Peta curah hujan ... 44

18. Peta jenis tanah ... 46

19. Rencana pola ruang RTRW Kabupaten Garut 2010 – 2030 ... 48

20. Pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut tahun 2009 ... 51

21. Perkebunan sawit ... 52

(19)

25. Pertanian lahan basah ... 54

26. Permukiman ... 55

27. Tanah terbuka ... 56

28. Kelas kemampuan lahan ... 58

29. Sub kelas kemampuan lahan ... 59

30. Kesesuaian pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan ... 62

31. Pertanian lahan kering pada daerah berbukit ... 64

32. Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual ... 65 33. Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan ... 67

34. Arahan pemanfaatan ruang skenario I ... 75

35. Arahan pemanfaatan ruang skenario II ... 76

(20)

Latar Belakang

Ruang menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan

ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat

manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara

kelangsungan hidupnya sehingga dapat dikatakan, ruang sebagai wilayah bagi

manusia untuk dapat melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan aktifitas lainnya

yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya dan sumberdaya yang ada.

Oleh sebab itu pengaturan ruang perlu dilakukan secara terencana sehingga

pemanfaatannya dapat dilakukan secara terkendali.

Pengaturan ruang dalam kerangka kebijakan hukum di Indonesia, diatur

melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang

diimplementasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik

nasional, provinsi maupun kabupaten yang masing-masing dibedakan berdasarkan

tingkat kedalaman analisis. Hal ini dilakukan dengan tujuan mewujudkan ruang

wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan memperhatikan :

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan

sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Selain itu, rencana tata ruang juga merupakan sebuah piranti untuk menjamin

terpenuhinya bukan hanya hak-hak individu seperti keselamatan, kesehatan,

lingkungan, kenyamanan, maupun kemudahan akses, namun juga untuk hak-hak

publik (Dardak 2005). Mengacu kepada pernyataan ini dapat dikatakan bahwa

pemanfaatan ruang pada suatu wilayah harus sesuai dengan kapasitas lingkungan

(21)

Pertimbangan aspek daya dukung lingkungan hidup dalam perencanaan

pemanfaatan ruang menjadi penting, mengingat keterbatasan sumberdaya yang

ada, khususnya sumberdaya lahan perlu dipertahankan kelestariannya sehingga

dapat memberikan manfaat yang optimal bagi manusia. Pemanfaatan ruang yang

tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan hidup dapat menyebabkan

terjadinya bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir serta dalam jangka

panjang akan mengakibatkan dampak sosial.

Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, pemerintah melalui Kementerian

Negara Lingkungan Hidup, menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan

Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung

Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah, yang merupakan pedoman

untuk menilai daya dukung lingkungan hidup sebagai salah satu dasar

pertimbangan dalam penyusunan RTRW. Konsekuensi hukum penerbitan

peraturan tersebut adalah setiap penyusunan RTRW yang dilakukan pada suatu

wilayah perlu mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungan hidup,

termasuk rancangan RTRW Kabupaten Garut sebagai pengganti RTRW

sebelumnya yang berakhir pada tahun 2011.

Kabupaten Garut, merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Jawa

Barat, dalam penyusunan rancangan RTRW mengacu kepada RTRW Provinsi

Jawa Barat yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat

Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat.

Di dalam rancangan tersebut, alokasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut

terbagi menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasan lindung dan kawasan

budidaya, dengan proporsi luasan masing-masing 74,2% dan 25,8% dari

keseluruhan wilayah. Pengalokasian kawasan lindung yang cukup besar juga

merupakan bagian dalam mendukung program Provinsi Jawa Barat sebagai Green

Province dimana kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat akan mencapai luasan 45% dari luas wilayah Jawa Barat pada akhir tahun perencanaan. Konsekuensi

logis dari penetapan ini akan berdampak terhadap aspek ruang serta aktifitas

(22)

gambaran, pada RTRW Kabupaten Garut yang berlaku sebelumnya,

pengalokasian fungsi kawasan ditetapkan sebesar 46,4% bagi peruntukan kawasan

lindung dan 53,6% bagi kawasan budidaya sehingga dapat diperkirakan

penambahan alokasi peruntukan kawasan lindung sebesar 27,8% akan berasal dari

kawasan budidaya. Dampak lanjutan perubahan kebijakan pengalokasian ruang

ini akan menyebabkan diberlakukannya pembatasan-pembatasan aktifitas

terutama pada wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan kawasan budidaya.

Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) mengemukakan bahwa kawasan non

budidaya (fungsi lindung) adalah bagian dari suatu wilayah yang mempunyai

fungsi non budidaya (dominasi fungsi lindung) terhadap tanah, air, flora, fauna

dan budaya) dengan sudah mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup,

dimana di dalamnya tidak diperkenankan adanya fungsi budidaya ataupun kalau

terpaksa diperkenankannya dalam fungsi terbatas.

Pembatasan pemanfaatan ruang sangat bertolak belakang dengan

perkembangan yang ada, jika dilihat dari faktor perkembangan jumlah penduduk

dan perkembangan ekonomi. Menurut Andriyani (2007) meningkatnya

pertambahan penduduk akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman

selain itu dikatakan, dinamika sosial ekonomi menjadi faktor pendorong

terjadinya dinamika penggunaan lahan yang berakibat pada perubahan dan

pergeseran penggunaan lahan.

Data statistik seperti terlihat pada Gambar 1 menunjukkan, jumlah

penduduk Kabupaten Garut pada tahun 2009 sebesar 2.380.981 jiwa, dengan laju

pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,6% atau meningkat 98,4%

dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1971 yang berjumlah 1.200.407 jiwa.

Selama empat tahun terakhir, jumlah penduduk Kabupaten Garut cenderung

mengalami peningkatan dan akan terus mengalami penambahan mendekati

hampir tiga juta jiwa pada tahun 2030. Hal ini akan mendorong peningkatan

kebutuhan lahan bagi pemukiman serta untuk mendukung aktiftas dan kebutuhan

(23)

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Gambar 1 Jumlah penduduk Kabupaten Garut 2004 – 2009.

Disamping itu perkembangan aktifitas masyarakat di Kabupaten Garut,

selama beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup intensif.

Salah satu indikator untuk melihat perkembangan aktifitas yang terjadi adalah

dengan melihat perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara

keseluruhan pencapaian kinerja PDRB atas harga berlaku relatif mengalami

peningkatan dari 11.323,8 miliar rupiah pada tahun 2004 menjadi 22.271,4 miliar

rupiah pada tahun 2009. Peningkatan ini juga terlihat dalam perkembangan

PDRB yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, dimana pada tahun

2009 nilainya mencapai 10.568,7 milyar rupiah dibandingkan tahun 2004 yang

nilainya mencapai 8.418,4 milyar rupiah. Perbedaan nilai PDRB yang cukup

besar menunjukkan tingginya inflasi yang terjadi di wilayah ini. Namun demikian

secara umum, berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan, dinamika

ekonomi yang terjadi di wilayah ini menunjukkan perkembangan perkenomian

aktifitas masyarakat. Secara multi waktu, gambaran peningkatan aktifitas

perekonomian masyarakat Kabupaten Garut dapat dilihat pada Gambar 2.

2.253.253

2.239.091

2.274.973

2.309.776

2.345.108

2.150.000 2.200.000 2.250.000 2.300.000 2.350.000

2004 2005 2006 2007 2008 2009

(24)

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Gambar 2 Perkembangan PDRB Garut tahun 2004 – 2009.

Pertumbuhan dan perkembangan aktifitas perekonomian secara umum yang

dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan nilai PDRB, berdampak terhadap

pendapatan perkapita masyarakat. Pendapatan perkapita merupakan gambaran

daya beli masyarakat dan dalam analisis sering digunakan sebagai gambaran

indikator kesejahteraan masyarakat secara makro sehingga dapat dikatakan

semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk maka tingkat

kesejahteraannya semakin baik, demikian pula sebaliknya. Gambar 3

menunjukkan bahwa dilihat dari pendapatan perkapita masyarakat yang dihitung

berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan terdapat peningkatan yang

cukup tinggi. Secara agregat pendapatan perkapita riil yang diterima oleh

masyarakat pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta rupiah perkapita dibandingkan

tahun 2004 yang mencapai 3,7 juta rupiah perkapita.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dilihat adanya permasalahan, yang

berpangkal pada dua kepentingan yang saling bertolakbelakang namun memiliki

aspek keruangan, yaitu kepentingan konservasi dan produksi. Pada satu sisi,

kebijakan penetapan kawasan lindung yang cukup besar akan meredam

(25)

dimanfaatkan sebagai media aktifitas manusia. Sehingga perlu dikaji bagaimana

pemanfaatan ruang yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan produksi

maupun konservasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup di

wilayah tersebut.

Sumber : diolah dari berbagai sumber

Gambar 3 Pendapatan perkapita masyarakat

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, terlihat adanya permasalahan

konflik pemanfaatan ruang yang penting untuk dikaji sehingga untuk dapat

memberikan alternatif pemecahannya, penting untuk memahami beberapa hal

yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pemanfaatan lahan yang ada saat ini?

2. Bagaimana potensi sumberdaya lahan yang ada jika dilihat berdasarkan aspek

kemampuan lahannya?

(26)

yang ada serta apakah perencanaan tersebut telah melihat kondisi pemanfaatan

lahan yang ada saat ini?

4. Bagaimana status daya dukung lingkungan hidup wilayah pada saat ini?

Apakah mengalami surplus atau defisit?

5. Bagaimana pemanfaatan ruang yang optimal dengan mempertimbangkan aspek

daya dukung lingkungan hidup di wilayah tersebut?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dilaksanakannya

penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi pemanfaatan lahan aktual di Kabupaten Garut.

2. Mengidentifikasi kelas kemampuan lahan di Kabupaten Garut.

3. Mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana pemanfaatan

ruang dan kelas kemampuan lahan.

4. Mengidentifikasi status daya dukung lingkungan hidup di Kabupaten Garut.

5. Merumuskan arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Garut berbasis daya

dukung lingkungan hidup.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai masukan

kebijakan pemerintah daerah dalam merumuskan arahan pemanfaatan ruang yang

(27)

Ruang dan Penataan Ruang

Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari

alam yang dapat pula menimbulkan pertentangan jika tidak diatur dan

direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengembangannya. Oleh sebab

itulah perlu dilakukan penataan ruang sehingga menjadi hak dan kewajiban setiap

individu dalam upaya menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan

tujuan bersama. Dikatakan pula oleh Sugandhy (1999) dalam Aliati (2007) bahwa

didalam penataan ruang perlu juga dipertimbangkan adanya ruang-ruang yang

mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara,

tata air, konservasi flora dan fauna serta kesatuan ekologi.

Proses penataan ruang secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu

perencanaan, implementasi dan pengendalian. Menurut Permana (2004) penataan

ruang adalah suatu proses yang mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan

rencana tata ruang wilayah), pemanfaatan ruang melalui serangkaian program

pelaksanaan yang sesuai dengan rencana dan pengendalian pelaksanaan

pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan sebagai: (1) optimasi pemanfaatan

sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya

efisiensi dan produktifitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya guna

terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) menjaga

keberlanjutan pembangunan. Dikatakan selanjutnya, sebagai suatu proses

terdapat setidaknya dua unsur penting dalam penataan ruang, pertama

menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang, dan kedua,

menyangkut proses fisik ruang.

Wujud akhir dari suatu proses penataan ruang adalah dokumen Rencana

Tata Ruang Wilayah yang memuat rencana, pemanfaatan dan pengendalian ruang

dari suatu wilayah. Menurut Dardak (2005) rencana tata ruang, sebagai produk

yang dihasilkan dari proses perencanaan tata ruang, pada dasarnya merupakan

(28)

lainnya dengan lingkungannya, baik alam maupun buatan, dapat berjalan serasi,

selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan hierarki dan kedalamannya, rencana tata ruang wilayah dapat

dibedakan menjadi tiga, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi

dan Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan strategi

dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah negara, yaitu arahan

pengembangan sistem nasional, yang meliputi sistem permukiman dalam skala

nasional, jaringan prasarana wilayah yang melayani kawasan produksi dan

permukiman lintas provinsi dan pulau, penentuan wilayah yang akan

diprioritaskan pengembangannya dalam waktu yang akan datang dalam skala

nasional dan penetapan kawasan tertentu. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

memuat strategi dan struktur pemanfaatan ruang dalam skala wilayah provinsi,

yaitu berupa arahan lokasi dan struktur pemanfaatan ruang yang bersifat lintas

kabupaten dan kota agar kawasan dan wilayah tetap terjaga fungsi dan

pengembangan ekonominya secara efisien, pemanfaatan sumberdaya alamnya

terjaga lestari dan mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan

perkembangan wilayah kabupaten/kota dan kawasan serta antar sektor kegiatan

secara sinergis dan efektif. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten maupun

Kota memberikan arahan pengembangan pemanfaatan ruang yang mengacu

kepada struktur makro, penetapan lokasi investasi, sistem pelayanan infrastruktur

lingkup kabupaten/kota, arahan pengendalian rencana struktur dan pola

pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam lingkup kabupaten/kota (Dardak 2005).

Kelas Kemampuan Lahan

Kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat

pembatas dan penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk

pertanian yang umum (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2010). Metode kemampuan

lahan digunakan untuk mengetahui kesesuaian lahan bagi penggunaan pertanian,

lahan yang seharusnya dilindungi dan lahan yang dapat digunakan untuk

pemanfaatan lainnya. Klasifikasi yang digunakan dalam metode ini menggunakan

sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika

(29)

klasifikasi kemampuan lahan USDA sebenarnya sangat praktis untuk digunakan

di Indonesia karena sangat sederhana, hanya memerlukan data tentang sifat-sifat

fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapangan, tanpa

memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di

laboratorium. Pengelompokan kemampuan tanah disusun dengan tujuan : (1)

Membantu pemilik tanah dan pengguna lainnya dalam menginterpretasi peta

tanah, (2) Memperkenalkan pengguna terhadap kedalaman informasi yang

terdapat pada peta tanah dan (3) Membangun kemungkinan penggunaan tanah

secara umum berdasarkan potensi, batasan penggunaan dan kendala

pengelolaannya (USDA 1961).

Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub kelas dan unit, dimana

penggolongan ke dalam kategori tersebut didasarkan atas kemampuan lahan

tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan

kerusakan dalam jangka panjang (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut

Arsyad (2010) pengelompokkan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor

penghambat sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

Kelas Kemampuan

Lahan

Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat 

Cagar

Alam Hutan

Penggembalaan Garapan

Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat Intensif

Gambar 4 Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan

macam penggunaan lahan (Arsyad 2010).

Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf

Romawi dari I sampai VIII. Semakin tinggi kelas, ancaman kerusakan atau

hambatan semakin meningkat sehingga penggunaannya semakin terbatas. Tanah

(30)

sesuai untuk berbagai penggunaan. Tanah pada Kelas V, VI dan VII sesuai untuk

padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Tanah dalam kelas

VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010). Secara rinci

kriteria setiap kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi kelas kemampuan lahan dan kriteria

KLS KRITERIA

I 1. Tidak mempunyai atau hanya sedikithambatan yang membatasi penggunaannya. 2. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian.

3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: topografi datar, kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, tidak mengalami erosi, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir dan di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman pada umumnya

II 1. Mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau memerlukan tindakan konservasi yang sedang.

2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan.

3. Memiliki salah satu atau kombinasi faktor: lereng landai-berombak, kepekaan erosi sedang, kedalaman efektif sedang, struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, salinitas sedikit atau sedang, kadang terkena banjir, kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, dan keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan

III 1. Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya.

2. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.

3. Hambatan membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut.

4. Hambatan dapat disebabkan: topografi miring-bergelombang, kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi, telah mengalami erosi sedang, dilanda banjir satu bulan tiap tahun selama lebih 24 jam, kedalaman dangkal terhadap batuan, terlalu basah, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, salinitas sedang, kerikil atau batuan permukaan tanah sedang, atau hambatan iklim agak besar IV 1. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga

terbatas.

2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. 3. Memiliki salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas: lereng miring-berbukit, kepekaan erosi

tinggi, mengalami erosi agak berat, tanah dangkal, kapasitas menahan air rendah, selama 2-5 bulan dalam setahun dilanja banjir lebih dari 24 jam, drainase buruk, banyak kerikil atau batua permukaan, salinitas tinggi dan keadaan iklim kurang menguntungkan

V 1. Tidak terancam erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya.

2. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai.

VI 1. Mempunyai faktor penghambat berat sehingga tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. 2. Memiliki pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu

atau kombinasi faktor: lereng curam, telah tererosi berat, sangat dangkal, mengandung garam laut, daerah perakaran sangat dangkal atau iklim yang tidak sesuai.

VII Tidak sesuai untuk budidaya pertanian dengan penghambat berat dan tidak dapat dihilangkan yaitu: lereng curam dan atau telah tererosi sangat berat dan sulit diperbaiki

VIII 1. Sebaiknya dibiarkan secara alami.

2. Pembatas dapat berupa: lereng sangat curam, berbatu atau kerikil atau kapasitas menahan air rendah.

(31)

Daya Dukung Lingkungan Hidup

Konsep tentang daya dukung muncul karena adanya kesadaran manusia

tentang dampak aktifitas yang dilakukan terhadap keberlangsungan atau

keberlanjutan sumberdaya alam. Rustiadi et al. (2009) menyebutkan bahwa konsep ini berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap

sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Dalam

perspektif biofisik wilayah, daya dukung dapat didefinisikan sebagai jumlah

maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan

kemampuan teknologi yang ada (Binder dan Lopez 2000 dalam Rustiadi et al.

2009).

Daya dukung menurut Rustiadi et al. (2009) dapat dibedakan menjadi beberapa empat aspek, yaitu (1) daya dukung fisik, (2) daya dukung

lingkungan/ekologi, (3) daya dukung sosial, dan (4) daya dukung ekonomi.

Diantara keempat aspek tersebut, konsep daya dukung lingkungan merupakan

yang paling menjadi perhatian, dikaitkan dengan beberapa kejadian bencana dan

dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Dikatakan oleh Khanna

et al. (1999) daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).

Didalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, terminologi tentang

daya dukung telah ada dan disebutkan dalam beberapa peraturan perundangan,

antara lain Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pasal 1 butir 18, 19 dan 20,

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

pasal 1 butir 6 dan butir 8 serta yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun

demikian, penerapan konsep tersebut dalam kaitan dengan Rencana Tata Ruang

baru ditemukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan

Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah.

Perhitungan daya dukung lingkungan hidup dilakukan terhadap dua aspek

(32)

dan biokapasitas serta kemampuan lahan yang mengadopsi konsep ecological footprint dan kelas kemampuan lahan sedangkan aspek air mengadopsi konsep

water footprint (Rustiadi et al. 2010). Konsep Kemampuan Lahan yang digunakan merujuk kepada metode penentuan Kelas Kelas Kemampuan Lahan

Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dikembangkan A.A.

Klingebiel dan P.H. Montgomery Tahun 1961 (Hardjowigeno dan Widiatmaka

2007).

Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias

Wackernagel dalam desertasi yang berjudul Ecological Footprint and

Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Tujuan dikembangkannya konsep ini

untuk mengetahui indikator yang dapat digunakan untuk menilai pembangunan

berkelanjutan serta lebih jauh mengukur penggunaan sumberdaya oleh manusia

dikaitkan dengan daya dukung bumi. Ukuran yang digunakan sebagai unit

penggunaan sumberdaya adalah ruang bioproduk per produktifitas rata-rata dunia

(global hectares/gha) yang secara khusus digunakan untuk menyatakan produksi semua sumberdaya yang dikonsumsi oleh populasi tertentu dan menyerap limbah

yang mereka hasilkan, menggunakan teknologi yang ada (Chambers et al. 2000

dalam Hoekstra 2008). Sedangkan konsep Water Footprint pertama kali

diperkenalkan oleh A.Y. Hoekstra dalam sebuah prosiding yang berjudul Virtual Water Trade pada Tahun 2002 dan selanjutnya bersama dengan A.K. Chapagain mengembangkan konsep ini (Romaguera et al. 2010). Konsep ini digunakan sebagai indikator penggunaan air yang dilihat dari aliran air langsung maupun

tidak langsung yang digunakan oleh konsumen maupun produsen (Hoekstra 2003

dalam Aldaya et al. 2010). Walaupun Ecological Footprint berbeda dengan

Water Footprint dalam dasar analisa dan metode, namun keduanya memiliki kesamaan dalam bagaimana menterjemahkan konsumsi manusia kedalam

penggunaan sumber daya alam (Hoekstra 2008).

Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh

Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi

(33)

berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005)

serta Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama

dalam menjalankan prosesnya antara lain : (1) Data Input, (2) Data Manajemen,

(3) Data Manipulasi dan Analisis dan (4) Data Output.

Aplikasi dan pemanfaatan SIG telah banyak dilakukan oleh berbagai orang

untuk memudahkan analisis dan pengambilan keputusan. Namun teknologi ini

lebih sering dimanfaatkan dalam analisis sumberdaya alam, seperti pertanian dan

kehutanan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Kalogirou (2001) memanfaatkan

teknologi ini yang dikombinasinasikan dengan sistem pakar LEIGIS untuk

melakukan kajian evaluasi lahan pada areal pertanian di Yunani. Reshmidevi et al. (2009) mengintegrasikan metode fuzzy kedalam aplikasi SIG untuk melakukan evaluasi kesesuaian lahan pada pertanian lahan basah. Kolomyts (2008)

memanfaatkan aplikasi ini dalam permodelan untuk menduga keseimbangan

karbon pada ekosistem hutan di Daerah Aliran Sungai Volga Rusia. Permodelan

dilakukan dengan mengkombinasikan metode statistik empiris. Pemetaan model

pendugaan kesimbangan karbon dilakukan berdasarkan data survey bentang lahan

ekologi dengan menggunakan metode hierarchical extrapolation.

Pada beberapa penelitian, penggunaan teknologi SIG sering dikombinasikan

dengan teknologi penginderaan jauh untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas

mengenai kondisi suatu wilayah pada cakupan yang luas. Menurut Lillesand dan

Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang

diperoleh dengan suatu alat tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek,

daerah atau fenomena yang dikaji.

Media yang digunakan untuk memperoleh informasi tersebut dengan

pemanfaatan foto udara, citra satelit dan citra radar. Penggalian informasi pada

media penginderaan jauh tersebut dilakukan menggunakan metode interpretasi

baik secara visual maupun digital. Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan

bahwa keberhasilan di dalam interpretasi, sangat tergantung kepada latihan dan

pengalaman penafsir, sifat obyek yang diinterpretasi dan kualitas citra yang

digunakan. Selain itu kedekatan interpreter dengan wilayah dimana obyek yang

(34)

Kerangka Pemikiran

Secara singkat bagan alir kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 5.

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian.

Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki sifat dapat diperbaraui

dan dapat melakukan regenerasi secara terus menerus baik secara biologi maupun

tidak. Sesuai dengan karakteristiknya agar pemanfaatan lahan dapat dilakukan

secara berkelanjutan, harus dilakukan dengan tanpa melebihi laju regenerasinya

(Rustiadi et al. 2009). Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan, dalam jangka pendek akan berakibat terjadinya bencana alam sedangkan dalam

(35)

melalui pengaturan pola pemanfaatan ruang yang memperhatikan daya dukung

lingkungan hidup.

Didalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 secara tegas dinyatakan

bahwa daya dukung lingkungan merupakan aspek penting dan perlu diperhatikan

dalam penyusunan RTRW suatu wilayah dan telah diperkuat melalui penerbitan

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 sebagai

pedoman revisi dan evaluasi terhadap penyusunan rencana tata ruang wilayah

yang sesuai daya dukung lingkungan hidup. Hal ini dilakukan dengan tujuan

menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Garut, Provinsi Jawa

Barat yang terletak pada koordinat 6o57’01” – 7o45’07” Lintang Selatan (LS) dan 107o25’15” – 108o8’58” Bujur Timur (BT) dengan luas wilayah 306.519 hektar yang terdiri dari 42 kecamatan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama enam

bulan, dimulai bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011.

Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber,

baik instansi pemerintah dan situs-situs penyedia data maupun studi literatur.

Pada data yang terkait dengan aspek spasial, serta standarisasi mutlak diperlukan.

Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai standar agar dapat

digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut. Secara rinci, kaitan antara jenis

data sumber perolehan data dapat dilihat pada Tabel 2.

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini baik data primer maupun

data sekunder didapatkan melalui metoda pengumpulan data yang berbeda. Data

sekunder didapatkan dengan penelusuran terhadap buku, peta, internet,

perundang-undangan, penelitian terdahulu maupun dari instansi terkait sedangkan

data primer diperoleh dari hasil survey/cek lapangan. Keterkaitan antara tujuan,

(36)

Tabel 2 Jenis data dan sumber perolehan data

No. Jenis Data Sumber Perolehan

1. Citra satelit Landsat 7 ETM+ Tahun 2009 Path 121 dan 122 Row 065 tanggal 24 Maret 2009 dan 27 Mei 2009 serta 6 Agustus 2009 dan 21 Juli 2009

http://glovis.usgs.gov/

2. Citra Alos AVNIR Tahun 2009 Earth Observation Research Center Japan Aerospace Exploration Agency

http://www.eorc.jaxa.jp/

melalui P4W IPB

3. Digital Elevation Model (DEM) http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp/ 4. Peta Landunit DAS Cimanuk Hulu

8. Garut dalam Angka 2010 Badan Pusat Statistik Jakarta 9. Data Base 2004 – 2008 Tanaman

Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Garut

10. Statistik Perkebunan Kabupaten Garut Dinas Perkebunan Kab. Garut

Selain itu beberapa perangkat tambahan juga digunakan dengan fungsi dan

tujuan yang berbeda. Pengolahan data spasial berbasis vektor dilakukan dengan

menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 sedang pengolahan data yang berbasis

raster dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imangine 9.2 dan

ENVI 4.5. Perangkat lain yang digunakan adalah Global Position System (GPS), kamera digital dan alat pencatat yang digunakan untuk kepentingan survey lokasi

(37)

Tabel 3 Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis, dan keluaran

No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran

(38)

No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran

Analisis Kuantitatif - Status Daya Dukung

Lahan

- Status Daya Dukung

(39)

No. Tujuan Variabel Jenis Data Metode Analisis Keluaran

Tertimbang

- Curah hujan rata-rata

5. Merumuskan pola

pemanfaatan lahan yang optimal di Kabupaten Garut yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidupnya

- Kawasan Lindung

- Kawasan Budidaya

- Peta Kelas

Kemampuan Lahan

- Peta Penunjukan

Kawasan Hutan

- Peta Pemanfaatan

Lahan Aktual

- Overlay

- Analisis Pola Spasial

Arahan Pemanfaatan

(40)

Analisis dan Pengolahan Data

Pemanfaatan Lahan Aktual

Pemanfaatan lahan aktual diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit.

Identifikasi setiap kelas pemanfaatan mengacu kepada sistem klasifikasi yang

digunakan oleh Departemen Kehutanan dengan generalisasi terhadap beberapa

kelas pemanfaatan. Generalisasi dilakukan terhadap kelas pemanfaatan lahan

hutan primer dan sekunder menjadi kelas pemanfaatan hutan dan kelas

pemanfaatan sawah irigasi dan sawah tadah hujan menjadi kelas pemanfaatan

sawah atau pertanian lahan basah (PLB). Proses interpretasi pemanfaatan lahan

aktual dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Interpretasi pemanfaatan lahan aktual tahun 2009

Persiapan awal sebelum dilakukan pengolahan lanjutan antara lain :

perbaikan stripping, koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Perbaikan

(41)

mengalami kegagalan operasi yang menyebabkan terjadinya stripping pada produk citra Landsat ETM 7+ yang dihasilkan dan bersifat permanen hingga saat

ini (USGS, 2009).

Perbaikan dapat dilakukan dengan menggunakan citra pengisi yang berada

pada path dan row yang sama namun tanggal akuisisi yang berbeda. Persyaratan utama adalah stripping pada citra utama dengan citra pengisi harus bersilangan sehingga area stripping pada citra utama dapat menutup secara penuh. Penelitian ini menggunakan 4 (empat) scene citra Landsat ETM 7+, dimana untuk citra utama pada path 121 dan row 065 digunakan citra pada tanggal akuisisi 24 Maret 2009 sedangkan sebagai pengisi menggunakan citra path dan row yang sama dengan tanggal akuisisi 27 Mei 2009. Pada citra utama path 122 dan row 065 digunakan citra pada tanggal 06 Agustus 2009 sedangkan sebagai pengisi

digunakan citra pada tanggal akuisisi 21 Juli 2009.

Proses pengisian citra utama dilakukan dengan menggunakan perangkat

lunak ENVI 4.5 yang telah disisipi oleh script libraryLandsat Gapfill. Script ini dibuat oleh Mari Minari pada tahun 2009 berdasarkan metodologi yang dibangun

oleh Pat Scaramuzza, Esad Micijevic dan Gyanesh Chander pada tahun 2004.

Hasil perbaikan citra Landsat ETM 7+ dapat dilihat pada Gambar 7.

a. Citra Landsat ETM 7+ Path 121

Row 065, sebelum perbaikan

b. Citra Landsat ETM 7+ Path 121

Row 065 sesudah perbaikan

(42)

Koreksi geometrik dilakukan untuk menyamakan sistem proyeksi yang

digunakan terhadap basis data yang ada. Sistem proyeksi yang digunakan dalam

penelitian adalah UTM 48 South Datum WGS 84. Koreksi radiometrik dilakukan

untuk memperbaiki penampakan citra sehingga lebih mudah untuk membedakan

obyek. Kombinasi kanal yang digunakan yaitu kanal 5, kanal 4 dan kanal 2.

Tahapan selanjutnya adalah melakukan interpretasi digital dengan

menggunakan strategi klasifikasi terbimbing metode Maximum Likelihood

(MLC). Penting untuk dipahami, penggunaan metode MLC dapat mempercepat

identifikasi obyek dengan memberikan akurasi yang cukup tinggi. Namun

demikian metode ini memiliki kelemahan terutama terhadap obyek-obyek berbeda

yang memiliki nilai digital berdekatan akan diklasifikasikan sebagai obyek yang

sama. Terhadap hal ini perlu dilakukan perbaikan melalui interpretasi secara

visual.

Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk menilai kualitas hasil interpretasi

yang dilakukan. Penentuan titik lokasi pemeriksaan dilakukan secara selektif

dengan memperhatikan hasil interpretasi yang dianggap meragukan. Indikator

yang digunakan untuk menilai kualitas hasil interpretasi dengan menggunakan

nilai bilangan Kappa dimana, jika nilai yang diperoleh melebihi ambang nilai 85%, maka kualitas hasil interpretasi dinyatakan cukup baik untuk digunakan

dalam proses pengolahan selanjutnya. Sebaliknya jika nilai tersebut kurang dari

ambang batas yang ditetapkan (85%) maka dilakukan perbaikan terhadap hasil

interpretasi.

Kemampuan Lahan

Peta kelas kemampuan lahan wilayah Kabupaten Garut dibuat dengan

menurunkan data spasial dan atribut pada peta landunit skala 1:50.000 wilayah DAS Cimanuk dan peta landsystem skala 1:250.000. Peta landunit digunakan pada daerah Kabupaten Garut bagian Utara, sedangkan peta landsystem digunakan pada daerah Kabupaten Garut bagian selatan, sebagaimana terlihat pada

(43)

Gambar 8 Pemanfaatan peta landunit dan landsystem

Peta landsystem skala 1:250.000 pada tingkat analisis regional kabupaten tidak dapat langsung digunakan karena informasi dan satuan poligon yang ada

masih terlalu kasar sehingga memerlukan penyesuaian melalui deliniasi terhadap

bentuk lahan dan relief. Deliniasi dilakukan dengan bantuan data Digital Elevation Model (DEM) yang diunduh secara bebas dari situs

http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp/ sebagai data pendukung. Data DEM yang

diperoleh dari situs ini memiliki resolusi spasial 30 meter sehingga dapat

dikatakan memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik dibandingkan data SRTM

yang memiliki resolusi spasial 90 m.

Sukarman (2005) menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk

membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah

bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian,

DEM dapat mengidentifikasi landform (bentuk lahan) dan relief dengan baik. Tahapan proses penyesuaian peta landsystem secara rinci dapat dilihat pada Gambar 9.

Peta Landunit DAS

Cimanuk Hulu skala 1:50.000

Peta Landsystem

(44)

a. Citra Digital Elevation Model

(DEM)

b. Konversi citra DEM menjadi

Hillshade

c. Tumpang tindih dengan peta

landsystem

d. Hasil dijitasi manual

Gambar 9 Penyesuaian peta landsystem menggunakan data DEM

Pada tahap awal, data DEM dikonversi menjadi bentuk hillshade dengan menggunakan fasilitas 3D Analysis pada perangkat lunak ArcGIS 9.3 (Gambar 9b). Konversi ini dilakukan untuk menampilkan bentuk lahan dari area penelitian.

Hasil konversi ditumpangtindihkan dengan peta landsystem untuk kemudian dilakukan deliniasi terhadap bentuk lahan melalui proses dijitasi manual (Gambar

9c). Hasil akhir dari proses ini adalah peta landsystem yang telah disesuaikan dengan penajaman yang dilakukan terhadap aspek bentuk lahan (Gambar 9d).

Secara lengkap tahapan proses pembuatan peta Kemampuan Lahan dapat dilihat

(45)

Gambar 10 Alur proses pembuatan peta kelas kemampuan lahan

Selain terhadap bentuk lahan, penajaman juga dilakukan terhadap aspek

kelerengan, sehingga diperoleh hasil peta landsystem yang telah mengalami penyesuaian terhadap aspek bentuk lahan dan kelerengan sedangkan atribut

lainnya tetap menggunakan atribut yang terdapat pada peta landsystem. Hasil pada proses ini akan akan digabungkan dengan peta landunit yang telah memiliki skala lebih detail.

Identifikasi faktor pembatas dilakukan untuk menentukan indikator yang

akan digunakan sebagai penentu kelas kemampuan lahan. Indikator tersebut

antara lain : (1) tekstur, (2) lereng permukaan, (3) drainase, (4) kedalaman efektif,

(5) keadaan erosi, (6) kerikil/batuan dan (7) banjir.

Interpretasi terhadap ketujuh indikator tersebut dilakukan dengan

(46)

Beberapa kriteria yang digunakan serta hubungannya dengan informasi pada peta

landsystem dan landunit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hubungan kriteria kelas kemampuan lahan dan atribut peta landsystem

dan peta landunit

No. Indikator Kelas Kemampuan Informasi Peta Landsystem dan Landunit

1. Tekstur Tektur Lapisan Atas/Bawah

2. Lereng Permukaan Lereng

3. Drainase Drainase

4. Kedalaman Efektif Kedalaman Tanah

5. Keadaan Erosi Bahaya Erosi

6. Kerikil/Batuan Singkapan Batuan

7. Banjir Ancaman Banjir

Kesesuaian Pemanfaatan Lahan Aktual, Rencana Pemanfaatan Ruang dan

Kemampuan Lahan

Analisis kesesuaian dilakukan terhadap tiga aspek, yaitu : (1) kesesuaian

pemanfaatan lahan aktual terhadap kemampuan lahan, (2) kesesuaian rencana

pemanfaatan ruang terhadap kemampuan lahan dan (3) kesesuaian pemanfaatan

lahan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang.

Tahapan proses yang dilakukan adalah dengan melakukan tumpang tindih

terhadap masing-masing peta sesuai dengan kriteria tersebut untuk kemudian

dilakukan interpretasi kesesuaian berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap

data atribut hasil tumpang tindih. Proses interpretasi dilakukan dengan

memanfaatkan bantuan tabel keputusan yang dibuat sesuai kriteria kesesuaian

sebagaimana terlihat pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7. Secara singkat alur

proses pembuatan peta kesesuaian pemanfaatan lahan aktual, rencana

(47)

Gambar 11 Alur pelaksanaan pembuatan peta kesesuaian

Penggunaan tabel hanya dapat dilakukan satu arah secara horisontal dari kiri

ke kanan dengan penilaian antara kondisi yang pertama terhadap kondisi kedua.

Tabel 5 menunjukkan penilaian antara pemanfaatan lahan aktual terhadap

kemampuan suatu lahan, Tabel 6 menunjukkan penilaian antara rencana

pemanfaatan ruang terhadap kemampuan suatu lahan sedangkan Tabel 7

menunjukkan penilaian kesesuaian antara rencana pemanfaatan ruang terhadap

pemanfaatan lahan aktual yang ada.

Penentuan kondisi sesuai, sesuai bersyarat dan tidak sesuai dapat memiliki

latar pertimbangan yang berbeda. Pada penilaian kesesuaian pemanfaatan lahan

aktual terhadap kemampuan lahan, penilaian kondisi kesesuaian lebih

memperhatikan aspek dampak pemanfaatan lahan yang dilakukan terhadap

lingkungan. Penilaian kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap

kemampuan lahan selain memperhatikan aspek dampak yang mungkin dapat

terjadi juga mempertimbangkan aspek faktor biaya jika kegiatan tersebut

dilaksanakan. Sedangkan penilaian kesesuaian rencana pemanfaatan ruang

terhadap pemanfaatan lahan aktual lebih merupakan potensi kemungkinan

(48)
(49)

Tabel 6 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuan lahan

Keterangan : Faktor Pembatas :

S : Sesuai t : tekstur tanah k : kedalaman efektif o : banjir TS : Tidak Sesuai l : lereng permukaan e : keadaan erosi

(50)

Tabel 7 Kesesuaian rencana pemanfaatan ruang terhadap pemanfaatan lahan aktual

Rencana Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan Lahan Aktual

Keterangan

Hutan Perkebunan Permukiman PLK PLB Pertambangan Padang Rumput Tanah Terbuka Tubuh Air

A. Kawsan Lindung PLK : Pertanian Lahan

Kering

1. Hutan Lindung S S TS TS TS SB S S S

2. Hutan Konservasi S S TS TS TS SB S S S PLB : Pertanian Lahan

Basah

3. Sempadan Pantai/Sungai S S TS TS TS SB S S S

4. Resapan Air S S TS TS TS TS S TS S

5. Perlindungan Geologi Karst S S TS TS TS TS S S S S : Sesuai

6. Rawan Tsunami S S TS TS S TS S S S TS : Tidak Sesuai

7. Rwn Gerakan Tanah S S TS SB TS TS S S S

8. Bahaya Gn Api S S TS S S SB S S S SB : Sesuai Bersyarat

B. Kawasan Budidaya

1. Hutan Produksi Terbatas S S TS TS TS SB S S S

2. Hutan Produksi S S TS TS TS SB S S S

3. Pertanian Lahan Basah S S TS TS S SB S S S

4. Pertanian Lahan Kering S S TS S S SB S S TS

5. Perkebunan S S TS TS TS SB S S TS

6. Peternakan S S S S S SB S S TS

7. Perikanan Budidaya S S S S S SB S S S

8. Permukiman S S S S S SB S S TS

9. Pertambangan SB SB SB SB SB S S SB TS

Catatan:

Pembacaan tabel ini dilakukan dengan cara melihat kondisi pemanfaatan aktual terhadap rencana pemanfaatan ruang yang akan diimplementasikan, sebagai ilustrasi perpotongan sel

(51)

Daya Dukung Lingkungan Hidup

Penentuan status daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan

menggunakan dua pendekatan, yaitu ketersediaan dan kebutuhan lingkungan

hidup. Melalui pendekatan dengan metode ini, dapat diketahui status daya

dukung lingkungan hidup di suatu wilayah, apakah dalam kondisi surplus atau

defisit. Kondisi surplus diperoleh jika ketersediaan lingkungan hidup lebih besar

daripada kebutuhan lingkungan hidup. Perhitungan status mengenai daya dukung

lingkungan hidup sepenuhnya mengacu kepada metode perhitungan yang tertuang

dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009

tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan

Ruang Wilayah. Indikator yang digunakan untuk menentukan daya dukung

lingkungan hidup adalah dengan pendekatan perhitungan terhadap ketersediaan

dan kebutuhan lahan dan air.

Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual

setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk

dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini

digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan

yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan

hidup layak.

Perhitungan kebutuhan lahan dilakukan dengan menggunakan rumus :

� =�× �

Dimana : DL = Total kebutuhan lahan setara beras (ha)

N = Jumlah penduduk (orang)

KHLL = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup

layak per penduduk, dimana :

a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup

layak per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak

per penduduk dibagi produktifitas beras lokal.

b.Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan

sebesar 1 ton setara beras/kapita/tahun.

(52)

lokal, dapat menggunakan data rata-rata produktfitas

beras nasional sebesar 2.400 kg/ha/tahun.

Perhitungan ketersediaan lahan dilakukan dengan menggunakan rumus :

� = (����)

�� ×

1

����

Dimana : SL = Ketersediaan Lahan (ha)

Pi = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan tergantung kepada jenis komoditas)

Komoditas yang diperhitungan meliputi pertanian,

perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan

Hi = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/satuan) di tingkat produsen

Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen

Ptvb = Produktivitas beras (kg/ha)

Faktor konversi yang digunakan untuk menyetarakan produk non beras dengan

beras adalah harga. Agar mempermudah dalam perhitungan konversi harga dapat

digunakan contoh seperti terlihat pada Tabel 8 dalam menghitung total nilai

produksi {Σ(Pi ×Hi)}. Secara garis besar alur proses perhitungan daya dukung lahan dapat dilihat pada Gambar 12.

(53)

Perhitungan ketersediaan air ditentukan dengan menggunakan koefisien

limpasan yang dimodifikasi dari metode rasional berdasarkan informasi

penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan. Sementara itu, perhitungan

kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadap kebutuhan hidup layak.

Perhitungan ketersediaan air dilakukan dengan menggunakan rumus :

SA = 10 × C × R × A

Nilai C dan R didekati dengan menggunakan rumus :

C = Σ(Ci×Ai)/ΣAi R = ΣRi / m

Dimana : SA = Ketersediaan air (m3/tahun)

C = Ketersediaan limpasan tertimbang

Ci = Koefisien limpasan penggunaan lahan (Tabel 9)

Ai = Luas penggunaan lahan i (ha) dari data BPS atau Daerah

Dalam Angka atau dari data Badan Pertanahan Nasional

(BPN)

R = Rata-rata aljabar curah hujan tahunan wilayah

(mm/tahunan) dari data BPS atau BMG atau dinas terkait

setempat

Ri = Curah hujan tahunan pada stasiun i

m = Jumlah stasiun pengamatan curah hujan

A = Luas wilayah (ha)

10 = Faktor konversi dari mm.ha menjadi m3

Tabel 8 Contoh perhitungan nilai produksi total

Gambar

Gambar 5  Kerangka pemikiran penelitian.
Tabel 3   Keterkaitan antara tujuan, variabel, jenis data, metode analisis, dan keluaran
Gambar 6  Interpretasi pemanfaatan lahan aktual tahun 2009
Gambar 8  Pemanfaatan peta landunit dan landsystem
+7

Referensi

Dokumen terkait

The bottom line from this experiment is that the welfare weights can matter in the cost of living, the second-order part of the approximation (which captures substitution effects)

Apabila peserta yang memasukan penawaran kurang dari 3 ( tiga ) penawaran maka dilakukan Klarifikasi Teknis dan Negosiasi Harga bersamaan dengan evaluasi dokumen penawaran untuk

Diharapkan kepada pihak Dinas Kesehatan Tapanuli Utara untuk mengadakan evaluasi mengenai pelaksanaan Asuhan ASI Eksklusif yang dilakukan oleh seorang bidan dalam

Rekeing deposit investasi yaitu uang investasi shahibul maal yang digunakan untuk pemberian pinjaman modal usaha yang sifatnya tidak dapat dicairkan setiap

berkelanjutan. 1) Strategi pembangunan seimbang diartikan sebagai pembangunan berbagai sektor yang berkaitan secara serentak. 2) Strategi pembangunan tak seimbang menekankan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Peningkatan Spiritual

perkampungan yang Islami adalah Yayasan Al Kahfi, cabang Hidayatullah. yang berada di

Pada periode 1 bulan Januari hingga Maret tahun 1994 di sekitar ekuator terlihat adanya angin yang bertiup dari arah barat menuju timur dengan kecepatan antara 3 m/s – 5