LAMPIRAN
Lampiran 1. Karakteristik Responden Pemanfaat Bambu di Desa
Sihombu, Kec. Tarabintang, Kab. Humbang Hasundutan
Lampiran 2. Kuisioner Penelitian Pemanfaatan Bambu oleh Masyarakat Desa Sihombu, Kec.Tarabintang, Kab. Humbang Hasundutan
PENELITIAN UNTUK SKRIPSI (S-1) PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kuisioner Untuk Mengetahui Tingkat Pemanfaatan Bambu Oleh Masyarakat
I. Identitas Responden
1. Nama/Usia :
7. Jumlah anggota keluarga :
8. Apakah saudara merupakan penduduk asli?
Jika ya, sudah berapa lama tinggal di sini?
Jika tidak, dari mana asal saudara?
II. Budidaya, Pemanenan dan Pemanfaatan Bambu
1.Bambu yang bagaimana yang sudah dapat diambil?
2.Bagaimana sistem pengambilan bambu?
a. Berkelompok b. Perorang
3.Bila berkelompok, berapa jumlahnya?
a. 2 Orang b. 5 Orang c. ≥5 orang
4.Warna bambu yang bagaimanakah yang baik?
5.Apa saja yang Bapak/Ibu manfaatkan dari bambu?
6.Apakah saudara menanam bambu di kebun misalnya?
a.Ya b. Tidak
7.Manfaat bambu untuk apa saja?
a. Peralatan rumah b. Perabot rumah c. Kerajinan
a.Ya b. Tidak
9.Bagaimana persepsi saudara mengenai potensi bambu, apakah akan habis?
a. Ya b. Tidak
Jika ya, alasan:
Jika tidak, alasan:
10. Apa saja alat yang saudara gunakan dalam mengambil bambu?
11. Berapa jarak jelajah untuk mendapatkan bambu?
a. ≤5 km b. >5 km c. >10 km
12. Sudah berapa lama saudara memungut bambu?
a. < 1 tahun b. 1-10 tahun c. >10 tahun
13. Apa yang saudara manfaatkan selain batang bambu?
14. Apakah bambu dimanfaatkan juga dalam komponen bangunan rumah?
15. Apakah ada perabotan di rumah saudara yang terbuat dari bambu?
III. Sosial Ekonomi Masyarakat
1. Berapa banyak mengambil bambu dalam sebulan?
2. Berapa lama di dalam hutan mengambil bambu?
a. Pulang hari b. Dua hari c. Lebih dari tiga hari
3. Jenis bambu apa saja yang diambil?
4. Apakah saudara mengetahui status hutan tempat sudara mengambil bambu?
a. Ya b. Tidak
Jika Ya, alasan:
5. Kemana bambu yang dipungut dipasarkan?
a. Ke pengumpul b. Ke pengolah c. Ke pengrajin
6. Apa saja produk bambu yang saudara buat?
7. Berapa banyak yang bisa saudara hasilkan dalam sebulan?
8. Apakah saudara menjualnya atau untuk keperluan sendiri?
9. Apakah saudara langsung menjual setelah diambil dari hutan?
Lampiran 4. Titik Koordinat Bambu di Hutan Produksi TerbatasDesa Sihombu, Kec. Tarabintang, Kab. Humbang Hasundutan
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad. 2012. Profil Potensi Tanaman Obat Kalimantan Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Timur 2012. 1 Maret 2013 : P.8
Awang, S. A., Heri Santoso, Wahyu Tri Widayanti, Yuli Nugroho, Kustomo dan Sapardiono. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. CV Debut Press. Yogyakarta.
Bapedal. 2010. Pelestarian Bambu dan Manfaatnya Terhadap Lingkungan Hi
Batubara, R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. USU Digital Library. Medan.
Berlian, V. A. N. dan Estu R. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Dephut. 2004. Sari Penelitian
Bambu.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Duryatmo, S. 2000. Wirausaha Kerajinan Bambu. Puspa Swara. Jakarta.
Frick, Heinz. 2004. Ilmu Kontruksi Bangunan Bambu.
http://id.wikipedia.org./wiki/pemanasanglobal. Pemanasan Global.
Kanisius. Semarang.
Gerbono, A dan A. D Siregar. 2009. Aneka Anyaman
Bambu.http://books.google.co.id, [07 April 2013]
Gunardja, E. 1995. Strategi penelitian bambu. Rubrik Tinjauan Pustaka. Jurnal PPT Vol I No 4. 1995.
Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II. 2009. Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Jakarta : Departemen Kehutanan.
Mason, C. F. 1980. Ecology, Second Edition. Longman, Inc. New York
Nandika, D., J. R. Matangaran dan I. G. K. T. Darma. 1994. Strategi Penelitian Bambu Indonesia : Keawetan dan Pengawetan Bambu. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor.
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology, Third Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia
Pasaribu, G. 2007. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian 12 November 2007 : Aplikasi Pengawetan Mebel Bambu dengan Bahan Pengawet Borax dan Asam Borat. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematang Siantar.
Permenhut. 2008. Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional. P. 67/Menhut-II/2006.
Resosudarmo, P. dan Colfer P. 2003. Kemana Harus Melangkah?. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sastrapradja, S., A. Widjaya, S. Prawiroatmado dan S. Soenarko. 1977. Beberapa jenis bambu. LBN-LIPI. Jakarta.
Simon, H. 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Smith. R. L. 1992. Elements of Ecology, Third Edition. Harper Collins, Publishers, Inc. New York.
Sutiyono. 2006. Bamboo Cultivation. Proceeding of the International Seminar on
Palntation Forest Research and Development in Yogyakarta. Campus of
FORDA. Bogor.
Swara, P. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. KDT. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Usman, H. dan Purnomo Setiady Akbar. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Wahyudin. 2008. Pelestarian Hutan Bambu untuk Menanggulangi Illegal Logging dan Global Warmi
Widjaja, E. A., Mien, A.R., Bambang, S., Dodi, N. 1994. Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor.
Widjaja, E. A. 2004. Jenis-Jenis Bambu Endemik dan Konservasinya di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV.
Widjaja E. A., Mahyar U. W., Utomo S. S. 1988. Tumbuhan Anyaman di Indonesia. Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang,
Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini berlangsung dari bulan April
sampai dengan Juni 2013.
Gambar 2. Peta Lokasi Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah camera digital, tali rafia,
parang, kompas, Global Positioning System (GPS), peta wilayah penelitian, pita
meter, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah tally sheet, kuisioner, dokumen lain yang
berhubungan dengan lokasi penelitian dan buku identifikasi bambu yaitu: Berlian
Prosedur Penelitian
1. Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan responden
berdasarkan kuisioner yang telah disiapkan, dan observasi langsung di lapangan
untuk mengumpulkan spesimen bambu yang dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat terutama jenis-jenis bambu yang belum diidentifikasi. Identifikasi
spesimen bambu dilakukan dengan menggunakan jasa pengenal jenis bambu.
Data primer yang dikumpulkan meliputi:
1. Inventarisasi dan observasi lapangan
Melakukan inventarisasi dan observasi langsung di lapangan untuk
mengumpulkan spesimen bambu yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
terutama jenis-jenis bambu yang belum diidentifikasi. Identifikasi spesimen
bambu dilakukan dengan menggunakan jasa pengenal jenis bambu.
2. Informasi, potensi dan pemanfaatan bambu
Informasi ini menyangkut jenis-jenis bambu yang terdapat di wilayah
penelitian dan pemanfaatannya oleh masyarakat Dusun Sihombu meliputi
nama lokal dan ilmiahnya serta bagian tumbuhan yang dimanfaatkan.
3. Informasi sosiokultur
Data yang dikumpulkan meliputi identitas responden yaitu nama, umur,
b. Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi keadaan umum daerah yang
meliputi letak, batas dan luas wilayah, iklim, topografi, kualitas air serta flora dan
fauna. Keadaan sosial ekonomi yang meliputi pemerintahan, jumlah penduduk,
sarana dan prasarana, serta peta lokasi yang diperoleh dari Kantor distrik maupun
dari Instansi terkait yang dilakukan melalui studi literatur.
2. Penentuan responden
Penentuan responden dibagi menjadi 2 bagian yaitu responden umum dan
responden kunci. Responden umum pada penelitian ini adalah masyarakat Desa
Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan yang
mengetahui jenis-jenis bambu dan memanfaatkan tumbuhan bambu. Sedangkan
responden kunci adalah kepala kampung, kepala suku, tokoh agama dan tokoh
masyarakat lainnya. Penentuan responden kunci dilakukan dengan menggunakan
metode purpossive sampling yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Usman
dan Purnomo, 2001) melalui wawancara dan kuisioner secara langsung kepada
masyarakat. Dimana apabila jumlah kepala keluarga >100 KK, maka yang
diwawancarai adalah 10-15% dari jumlah KK tersebut. Dan apabila jumlah kepala
keluarga <100 KK, maka yang diwawancarai adalah seluruh kepala keluarga yang
ada.
Teknik Pengambilan Data
1. Inventarisasi bambu
Teknik penempatan petak ukur pada inventarisasi bambu dilakukan secara
sistematik. Bentuk satuan contoh tegakan bambu dewasa berupa jalur dengan
petak ukur untuk tegakan bambu tingkat permudaan mengikuti jalur ukur pada
setiap 100 meter berselang seling dengan ukuran petak ukur 5 x 5 meter. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Simon (2007) bahwa untuk mengetahui potensi bambu,
tiap rumpun sampel dihitung jumlah bambunya, kalau perlu dipisahkan menjadi
tiga kelompok yaitu bambu yang masih muda, berumur sedang dan tua.
Secara skematis gambar jalur ukur dan petak ukur dalam inventarisasi
bambu menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1998), dapat dilihat
pada Gambar 3.
Hm-1
a1
a2
Gambar 3. Bentuk jalur inventarisasi bambu
Keterangan:
Melakukan observasi dan analisis pemanfaatan di lapangan, guna
mengetahui jenis bambu dan sistem pemanfaatan bambu.
3. Wawancara dan diskusi
Melakukan wawancara dan diskusi untuk memperoleh informasi dan data
dengan menggunakan kuisioner terhadap para pelaku (aktor utama atau yang
mewakili) dan para instansi yang berkaitan dengan penelitian.
4. Keseluruhan data
Baik data primer maupun data sekunder yang selanjutnya ditabulasikan
sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data. Data
primer selanjutnya dianalisis secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian,
serta dilakukan analisis terkait pemanfaatan bambu. Sedangkan data yang bersifat
kuantitatif diolah secara tabulasi.
Analisis Data
Data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui teknik pengumpulan
data selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif, yaitu memberikan
gambaran dan penjelasan yang sesuai dengan hasil lapangan. Dari hasil analisa ini
akan diperoleh keterangan-keterangan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun
parameter yang dikaji antara lain meliputi:
1. Hasil Inventarisasi Bambu
Data yang diperoleh di lapangan dianalisis dengan menggunakan formulasi
metode sebagai berikut:
- Kerapatan suatu spesies (K) menurut Smith (1992)
(ha)
- Kerapatan relatif suatu spesies (KR) menurut Smith (1992)
- Frekuensi suatu spesies (F) menurut Smith (1992)
- Frekuensi relatif suatu spesies (FR) menurut Smith (1992)
%
- Indeks Nilai Penting (INP) menurut Smith (1992)
INP = KR + FR
- Indeks keanekaragaman Shannon menurut Odum (1971)
( ) ( )
H' = Indeks keanekaragaman Shannon
S = Jumlah spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Total seluruh individu spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan
Kriteria yang digunakan menurut Mason (1980):
H' < 1, keanekaragaman tergolong rendah;
H' 1 − 3, keanekaragaman tergolong sedang; dan
H' > 3, keanekaragaman tergolong tinggi
- Indeks kemerataan Shannon menurut Odum (1971)
E = H'/ln (S)
Keterangan:
E = Indeks kemerataan Shannon
S = Jumlah spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan
Kriteria yang digunakan menurut Krebs (1985):
- Kemerataan dikatakan rendah jika 0 < E < 0,5
- Kemerataan dikatakan tinggi jika 0,5 < E < 1
Kemudian data yang di peroleh dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan
dalam bentuk tabel.
2. Data Pemanfaatan Bambu
Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner dengan responden
dianalisis secara deskriptif. Adapaun tujuannya adalah untuk memperoleh
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis
Desa Sihombu merupakan salah satu desa terpencil di Sumatera Utara yang
terletak di Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan yang terdiri
atas lima dusun yaitu; Dusun Pinim, Dusun Muara Tolu, Dusun Sitonong, Dusun
Simatongtong dan Dusun Hutarambi. Desa Sihombu terletak pada garis ± 98° 27'
40'' BT - 98° 31' 20'' BT dan ± 02° 13' 58,8'' LU - 02° 16' 34'' LU.
Luas dan Batas Wilayah
Menurut Surat Keterangan Tanah Adat No.470/077/VII/2010 pada tanggal
26 Juli 2010, luas Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang
Hasundutan adalah sebesar 4.000 Ha. Adapun batas-batas wilayah adalah sebagai
berikut :
a. Sebelah utara : Desa Sihastoruan
b. Sebelah timur : Desa Sijarango
c. Sebelah selatan : Desa Sihorbo Tanjung
d. Sebelah barat : Desa Tarabintang
Topografi
Kondisi fisik Kabupaten Humbang Hasundutan berada pada ketinggian
antara 500-670 m di atas permukaan laut. Kelerengan tanah yang tergolong curam
sebesar 25% hingga sangat curam sebesar 40%.
Aksesibilitas
Desa Sihombu dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum baik
Simatabo dan dusun Simatongtong transportasi masih belum memadai. Jalan
menuju dusun tersebut hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh pejalan
kaki.
Penduduk
Jumlah penduduk Desa Sihombu adalah 289 kepala keluarga. Pada
umumnya penduduk desa ini memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain, baik
hubungan darah maupun hubungan dari perkawinan. Selain yang bermukim di
desa, banyak pula penduduk yang merantau baik untuk melanjutkan pendidikan
maupun bekerja, yang pada waktu tertentu kembali ke kampung halaman. Suku
bangsa penduduk desa Sihombu adalah Batak Toba.
Penduduk desa ini sebagian besar menganut agama Kristen Katolik dan
Kristen Protestan hanya beberapa bagian saja yang menganut agama Islam.
Kerukunan antar umat beragama di desa ini dapat dilihat dari sifat toleransi dan
saling menghargai antar warga.
Pada umumnya tingkat pendidikan di Desa Sihombu masih rendah. Hal ini
diperlihatkan dari sebagian besar penduduk yaitu hampir 30% hanya lulusan
Sekolah Rakyat/ Sekolah Dasar. Sarana pendidikan yang tersedia di desa ini
cukup terbatas karena hanya ada satu SD, SMP, dan SMA. Sedangkan untuk
tingkat Perguruan Tinggi, belum ada di desa ini sehingga warga yang ingin
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi harus merantau.
Mata Pencaharian
Sebagaian besar penduduk Desa Sihombu adalah bermata pencaharian
berdagang, pengrajin bambu dan rotan. Peruntukan lahan penduduk adalah kebun
karet, sawah, kebun coklat, ladang sayur dan ubi.
Potensi Bambu
Potensi bambu di desa Sihombu masih cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat
dari banyaknya lahan yang ditumbuhi bambu secara alami. Pada umumnya bambu
tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatan bambu mereka
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Bambu
Hutan Produksi Terbatas desa Sihombu merupakan merupakan salah satu
Hutan Produksi Terbatas yang terdapat di Sumatera Utara. Lemahnya peraturan
pemerintah dan kurangnya pemantauan terhadap hasil hutan non kayu bila
dibandingkan dengan hasil hutan berupa kayu membuat pengambilan dan
pemanfaatannya tidak mendapat perhatian yang berarti.
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, memasuki kawasan
hutan tanpa adanya izin sudah merupakan suatu pelanggaran. Tetapi implementasi
di lapangan terkadang tidak bisa diatur berdasarkan peraturan yang sudah ada.
Lagipula pemanfaatan bambu oleh masyarakat hanya sebatas untuk kebutuhan
rumah tangga, sehingga tidak memerlukan izin dari instansi pemerintahan.
Hasil penelitian menunjukkan untuk luas areal 1.440 Ha pada Hutan
Produksi Terbatas di Desa Sihombu, terdapat 8 jenis bambu. Dari 8 jenis bambu
tersebut, secara ilmiah termasuk ke dalam 4 genus yaitu Gigantochloa,
Schizostachyum, Dendrocalamus dan Bambusa. yang disajikan pada tabel 2.
berikut:
Tabel 2. Jenis bambu yang ditemukan di Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu.
No Nama jenis bambu
1. Buluh hukkum (Gigantochloa pseudoarundinaceae)
2. Buluh nae (Schizostachyum brachycladium Kurz.) 3. Buluh sullim (Schizostachyum latifolium Gamble.) 4. Buluh songa (Gigantochloa apus Kurz.)
Analisis Vegetasi Bambu di Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu
Menurut Kusmana dan Istomo (1995), persentase Indeks Nilai Penting
(INP) diperoleh dari hasil penjumlahan kerapatan relatif (KR) dengan frekuensi
relatif (FR). INP menyatakan kepentingan suatu spesies serta memperlihatkan
peranannya dalam komunitas. Data analisis bambu pada Hutan Produksi Terbatas
Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan
disajikan pada Tabel 3. berikut ini:
Tabel 3. Data analisis vegetasi bambu di Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu
No Nama jenis bambu K KR F FR INP
(ind/Ha) (%) (%) (%)
1. Bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) 15,972 17,62 0,25 20,95 38,57 2. Bambu talang (Schizostachyum brachycladium Kurz.) 37,083 40,88 0,417 34,96 75,84 3. Bambu seruling (Schizostachyum latifolium Gamble.) 10,833 11,97 0,194 16,27 28,24 4. Bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) 4,861 5,36 0,069 5,78 11,14 5. Bambu lemang (Schizostachyum grandle Ridley.) 5,694 6,27 0,069 5,78 12,05 6. Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.) 8,333 9,18 0,125 10,48 19,66 7. Bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.) 4,305 4,74 0,056 4,69 9,43 8. Bambu pagar (Bambusa multiplex Lour.) 3,611 3,98 0,013 1,09 5,07
Total 90,611 100 1,193 100 200
H' 1,61
E 0,774
Berdasarkan data analisis vegetasi yang terdapat pada Tabel 3, diperoleh
bahwa nilai H’ yang didapatkan sebesar 1,61. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
keanekaragaman jenis bambu tergolong sedang, karena menurut Mason (1980)
bahwa apabila H’<1 berarti keanekaragaman tergolong rendah, apabila H’ 1-3
berarti keanekaragaman tergolong sedang, dan apabila H’>3 maka
keanekaragaman tergolong tinggi.
Indeks kemerataan jenis bambu yang terdapat pada Tabel 3, menunjukkan
bahwa nilai E yang diperoleh sebesar 0,774. Hal ini menunjukkan bahwa
dikatakan rendah jika 0<E < 0,5 dan kemerataan dikatakan tinggi
jika 0,5 < E < 1.
Hasil perhitungan INP spesies bambu yang ditemukan menunjukkan bahwa
persentase INP dipengaruhi oleh jumlah penemuan individu suatu spesies dan
frekuensi keseringan penemuan spesies tersebut di areal pengamatan. Tingginya
jumlah penemuan individu suatu spesies dan frekuensi spesies, tentu akan
menyebabkan tingginya persentase kerapan relatif dan frekuensi relatif, yang
mana keduanya merupakan variabel penting yang mempengaruhi besar kecilnya
persentase INP suatu spesies.
Jumlah jenis individu bambu yang memiliki kelimpahan jenis yang tertinggi
berdasarkan INP pada Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu adalah jenis
Schizostachyum brachycladium Kurz. sebesar 75,84%. Dominansi spesies ini
ditunjukkan oleh tingginya jumlah penemuan individunya, yakni sebanyak 267
individu yang merupakan spesies dengan jumlah penemuan individu tertinggi
diantara 8 spesies bambu yang ditemukan pada Hutan Produksi Terbatas Desa
Sihombu ini sehingga persentase kerapatannya relatif lebih tinggi. Tingginya INP
spesies ini juga didukung oleh frekuensi penemuan yang cukup sering, dimana
spesies ini ditemukan dalam 30 plot pengamatan dari 72 plot pengamatan.
Sedangkan jenis bambu yang memiliki kelimpahan jenis yang paling rendah
adalah jenis Bambusa multiplex Lour. yaitu sebesar 5,07% dengan jumlah
penemuan sebanyak 26 individu. Rendahnya INP spesies ini juga didukung oleh
frekuensi penemuan yang cukup jarang, dimana spesies ini ditemukan dalam
Spesies dengan INP tertinggi yang merupakan spesies dominan,
mencerminkan bahwa tingginya kemampuan spesies tersebut dalam
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tempat tumbuh dan tingginya
kemampuan spesies tersebut dalam berkompetisi dengan spesies lain di
lingkungan tersebut. Sebaliknya, spesies dengan INP terendah menunjukkan
bahwa spesies tersebut kurang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya
dan kurang mampu berkompetisi dengan spesies lain di lingkungan tersebut.
Untuk mencapai persentasi INP yang tinggi, jumlah penemuan individu dan
frekuensi suatu spesies harus sama-sama tinggi dalam suatu areal pengamatan.
Suatu spesies yang memiliki kerapatan individu yang tinggi, belum tentu menjadi
spesies yang paling dominan dalam areal pengamatan, jika tidak didukung oleh
frekuensi penemuan spesies yang tinggi. Begitu juga sebaliknya, suatu spesies
dengan frekuensi penemuan yang tinggi belum tentu memiliki persentase INP
tertinggi, jika kerapatan individu spesies tersebut rendah. Jadi, jika kerapatan
relatif yang tinggi didukung oleh frekuensi relatif yang tinggi, maka suatu spesies
kemungkinan akan dapat menjadi spesies yang paling dominan atau paling
berpengaruh dalam ekosistemnya.
Pemanfaatan Bambu
Bambu merupakan tanaman yang memiliki manfaat yang sangat penting
bagi kehidupan. Menurut Batubara (2002), pada umumnya seluruh bagian dari
bambu dapat kita manfaatkan yakni mulai dari akar, daun, rebung sampai pada
batang. Adapun pemanfaatan bambu yang dilakukan dengan mengunakan
teknologi paling sederhana hingga teknologi tinggi. Hampir semua bagian bambu
banyak, penghargaan masyarakat terhadap sumberdaya ini masih kurang, bahkan
berbagai aspek pengetahuan tentang bambu banyak yang belum tergali secara
optimal.
Hasil observasi menunjukkan bahwa pemanfaatan bagian-bagian bambu
oleh masyarakat Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang
Hasundutan hingga saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal dan hanya
dimanfaatkan secara terbatas. Misalnya untuk tepas, atap, tampi, saluran air,
kandang ayam dan bahan bangunan dan hanya jenis bambu tertentu saja yang
dimanfaatkan sebagai makanan. Berikut adalah pemanfaatan bambu menurut
jenisnya:
1. Bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae)
Pada umumnya, bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) dapat
tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi. Tipe pertumbuhan rumpun
simpodial, dengan batang yang tegak dan rapat. Tinggi bambu andong antara
15-30 m, dengan diameter buluh antara 5-15 cm dan panjang ruasnya 15-50 cm.
Klasifikasi bambu andong menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :
Nama lokal : Awi surat (sunda), buluh hukkum (Sumatera utara).
Nama Indonesia : Bambu andong
Genus : Gigantochloa
Gambar 4. Bambu andong
Masyarakat Desa Sihombu memanfaatkan bambu andong sebagai bahan
bangunan, atap, pancuran air, tangga yang digunakan untuk mengambil nira dan
kandang ayam. Bambu jenis ini cocok dijadikan sebagai bahan konstruksi ataupun
penyangga pa da bangunan. Karena bambu andong memiliki diameter buluh yang
relatif besar dan cukup kuat. Selain itu, bambu ini juga dapat digunakan sebagai
atap rumah yang biasanya terdapat di ladang. Sebelum dijadikan atap, terlebih
dahulu bambu dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan lalu dibelah
menjadi dua bagian. Kemudian ruas bagian dalam dibersihkan agar nantinya
bambu dapat diletakkan berhadapan. Setelah itu, bambu disusun sejajar dan saling
berhadapan.
Gambar 7. Tangga pengambilan nira Gambar 8. Kandang ayam
Peralatan yang digunakan masyarakat Desa Sihombu masih terbilang cukup
tradisional. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan bambu yang digunakan untuk
membuat saluran ataupun pancuran air. Untuk membuat pancuran air, bambu
yang digunakan harus sudah cukup tua dan berdiameter besar agar dapat
menyalurkan air hujan pada saat musim hujan. Bambu ditempatkan dekat dengan
sumber air agar dapat dengan mudah menyalurkan air.
Tangga yang digunakan untuk mengambil nira juga harus menggunakan
bambu yang berdiameter besar agar tangga yang dihasilkan lebih kokoh dan kuat.
Sedangkan untuk kandang ayam, yang digunakan adalah bambu muda. Tujuannya
adalah agar lebih mudah untuk dibentuk. Selain untuk perlatan rumah, bambu
andong juga dapat dikonsumsi. Bambu jenis ini merupakan bambu yang paling
sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain kegunaannya yang cukup beragam,
bambu andong juga memiliki kelimpahan yang relatif tinggi.
2. Bambu talang (Schizostachyum brachycladium Kurz.)
Bambu talang tumbuh membentuk rumpun simpodial dan memiliki ranting
yang cukup banyak pada setiap buku dan ukuran setiap ranting hampir sama.
buluh relatif tipis, berserat lemas dan mudah dibelah, warna batang
kekuning-kuningan, hijau muda atau hijau tua. Ranting-rantingnya pendek dan pada
buku-buku bagian tengah keatas ditumbuhi daun (Gerbono dan Abbas, 2009).
Klasifikasi bambu talang menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :
Nama lokal : Buluh nae (Sumatera utara)
Nama Indonesia : Bambu talang
Genus : Schizostachyum
Spesies : Schizostachyum brachycladium Kurz.
Gambar 9. Bambu talang
Di Indonesia minimal terdapat 10 jenis bambu yang cocok untuk dijadikan
bahan baku anyaman. Umur bambu yang paling baik untuk bahan baku anyaman
adalah ketika berumur 1-1,5 tahun. Bila bambu terlalu tua akan sulit untuk diraut,
sedangkan bila bambu terlalu muda akan mudah mengerut dan dimakan bubuk
Gambar 10. Pagar pembatas Gambar 11. tepas
Bambu talang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pagar pembatas antar
ladang dan juga untuk pembuatan tepas. Untuk pembuatan pagar pembatas,
bambu yang diambil harus cukup tua dan panjangnya sesuai dengan kebutuhan
yang diinginkan. Sedangkan untuk pembuatan tepas, bambu yang dibuat tidak
terlalu tua dan tidak terlalu muda. Karena jika bambu terlalu tua, maka akan susah
untuk diraut dan bila terlalu muda maka akan mudah terjadi kerusakan. Tepas
dimanfaatkan untuk dinding dan atap rumah. Kriteria usia bambu yang tumbuh
secara alami dapat dilihat dari warna buluh dan luruhnya pelepah.
Pembuatan satu lembar tepas berukuran 2 x 2 m membutuhkan 6 batang
bambu. Setelah bambu ditebang, bagian ujung dan pangkal bambu diratakan
dengan gergaji. Bambu yang telah diratakan tersebut, kemudian dipukul-pukul
dengan menggunakan kapak. Kemudian bagian dalam bambu dikupas dan
dibuang bagian dalamnya dengan menggunakan parang. Setelah selesai 6 batang
3. Bambu seruling (Schizostachyum latifolium Gamble)
Bambu seruling memiliki tipe rumpun simpodial dengan diameter buluh
5-7 cm dan panjang ruas 50-60 cm. Dinding buluh tipis dengan warna buluh hijau
kekuning-kuningan.
Klasifikasi bambu seruling menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :
Nama lokal : Buluh sullim (Sumatera utara)
Nama Indonesia : Bambu seruling
Genus :Schizostachyum
Spesies : Schizostachyum latifolium Gamble.
Gambar 12. Bambu seruling
Sesuai dengan ketebalan dinding, diameter dan panjang buluh, bambu dapat
dijadikan sebagai alat musik tradisional yang menghasilkan nada dan alunan suara
yang khas. Bambu dapat dibuat menjadi alat musik tiup, alat musik gesek maupun
alat musik pukul. Contoh yang dikenal adalah seruling, angklung, gambang,
calung, kentongan, dan lain-lain. Bambu seruling merupakan bambu yang terdapat
Pemilihan bambu menjadi salah satu faktor penentu keindahan suara. Untuk
dapat memperoleh suara yang indah, bambu yang digunakan adalah bambu yang
tumbuh di dataran tinggi supaya terkena angin. Selain dijadikan sebagai seruling,
bambu jenis ini juga dapat dijadikan bahan dalam pembuatan kandang ayam.
Gambar 13. Seruling Gambar 14. Kandang ayam
4. Bambu apus (Gigantochloa apus Kurz)
Bambu apus memiliki tinggi mencapai 20 m dengan warna batang hijau
cerah sampai kekuning- kuningan. Batangnya tidak bercabang di bagian bawah.
Diameter batang 2,5-15 cm, tebal dinding 3-15 mm, dan panjang ruasnya
45-65 cm. Panjang batang yang dapat dimanfaatkan antara 3-15 m. Bentuk batang
bambu apus sangat teratur dan memiliki tipe pertumbuhan rumpun simpodial.
Klasifikasi bambu apus menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :
Nama daerah : Awi tali (Sunda), buluh songa (Sumatera utara)
Nama Indonesia : Bambu apus
Genus : Gigantochloa
Gambar 15. Bambu apus
Bambu apus berbatang kuat, liat dan lurus. Jenis ini terkenal paling bagus
untuk dijadikan bahan baku kerajinan anyaman karena seratnya yang panjang,
kuat dan lentur. Beberapa masyarakat Desa Sihombu memanfaatkan bambu apus
untuk pembuatan tampi. Biasanya para pengrajin membagi setiap buluh menjadi
6 bagian, kemudian dibuat di atas perapian sampai berwarna agak kehitaman.
Belahan bambu tersebut kemudian direndam selama 2 malam agar mudah dibelah
menjadi 5-7 lembaran untuk kemudian dianyam menjadi tampi. Tampi tersebut
biasanya dapat tahan sampai 3 tahun, dimana hasil kerajinan tersebut digunakan
sendiri dan tidak diperjual belikan ke pasar. Apabila ada tetangga yang memesan,
Gambar 16. Tampi
5. Bambu lemang (Schizostachyum grandle Ridley)
Berbuluh tegak, berwarna hijau tua, tinggi buluh 7-15 m, diameter batang
7-10 cm, tebal dindingnya 3-5 mm, panjang ruas (jarak buku) 30-60 cm.
Klasifikasi bambu lemang menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :
Nama lokal : Buluh lomang (Sumatera utara)
Nama Indonesia : Bambu lemang
Genus :Schizostachyum
Kriteria pemanfaatan bambu secara umum untuk pembuatan lemang adalah
bambu yang akan dipanen agak muda dan tidak terlalu tua agar mudah dikerjakan
dan tidak mudah rusak pada saat dikerjakan. Selain itu, bambu yang muda juga
akan memberikan aroma yang khas. Tanda bambu lemang yang masih muda yaitu
bambu masih terbungkus pelepah dan warna bambu hijau kuning mengkilap.
Penebangan bambu dilakukan pada musim kemarau karena pada saat itu kadar air
bambu menurun.
6. Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.)
Asal usul bambu ini belum diketahui, ada yang menduga bahwa bambu
perling berasal dari Malaysia. Di Indonesia, jenis bambu ini tumbuh liar di
hutan-hutan di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Bambu perling menyukai tempat terbuka,
di dataran rendah dengan ketinggian di bawah 400 m dpl. Buluh bambu dapat
mencapai tinggi 12-15 m dengan diameter 5-10 cm, sehingga ujung buluh atas
biasanya terkulai ke bawah. Panjang ruas bambu mencapai 40-55 cm atau tidak
lebih dari 70 cm. Ketebalan bambu mencapai 4-7mm (Sastrapradja dkk., 1977).
Klasifikasi bambu perling menurut Widjaja (2001):
Nama lokal : Buluh hait (Sumatera utara)
Nama Indonesia : Bambu perling
Genus : Schizostachyum
Gambar 18. Bambu perling
Batang bambu Perling dapat digunakan untuk membuat dinding, tali, tirai
dan alat memancing. Bambu jenis ini tidak begitu dimanfaatkan oleh penduduk
desa. Beberapa orang memanfaatkan bambu perling untuk membuat kandang
ternak.
7. Bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.)
Bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.) tumbuh baik di tanah aluvial
tropis yang lembab dan basah, tetapi juga tumbuh di daerah kering di dataran
rendah maupun dataran tinggi. Pertumbuhan rumpun simpodial, tegak dan padat.
Tinggi bambu betung mencapai 30 meter, lurus dengan ujung melengkung,
diameter 8-15 cm, panjang ruas 30-40 cm, tebal dinding 1 cm. Pelepah buluh
mudah luruh tertutup buluh hitam hinggga coklat tua.
Klasifikasi bambu betung menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :
Nama lokal : Beto (manggarai), buluh godang (Sumatera utara).
Nama Indonesia : Bambu betung
Gambar 19. Bambu Betung
Bambu betung merupakan salah satu jenis bambu penghasil rebung. Rebung
merupakan kuncup bambu muda yang muncul dari dalam tanah yang berasal dari
akar rhizom maupun buku-bukunya. Rebung berwarna hitam keunguan, tertutup
bulu berwarna coklat hingga kehitaman. Umumnya rebung masih diselubungi
oleh pelepah buluh yang ditutupi oleh miang. Rebung ada yang berbentuk
ramping sampai agak membulat. Rebung dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pangan yang tergolong dalam jenis sayur-sayuran. Namun tidak semua jenis
bambu dapat dimanfaatkan rebungnya untuk bahan pangan, karena rasanya ada
yang pahit. rebung bambu betung terkenal paling enak karena rasanya manis,
sehingga masyarakat sekitar desa Sihombu sering memanfaatkannya sebagai
Gambar 20. Rebung Gambar 21. Atap
Gambar 22. Saluran air Gambar 23. Kentongan
Selain rebung, bambu betung juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
saluran air, kentongan, wadah untuk menampung air, atap dan bahan bangunan.
Pemanfaatan bambu betung sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh bambu
tersebut, yaitu sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya
besar-besar dan ruasnya panjang. Menurut Frick (2004), bambu betung amat kuat
8. Bambu pagar (Bambusa multiplex Lour.)
Bambusa multiplex Lour. memiliki tipe pertumbuhan rumpun simpodial
sehingga menghasilkan rumpun yang rapat. Umumnya bambu jenis ini tumbuh
pada lahan kering dan lembab.
Klasifikasi bambu pagar menurut Widjaja (2001)
Nama lokal : Aor selat (Kalimantan Barat), buluh pagar (Sumatera
utara)
Nama Indonesia : Bambu pagar
Genus : Bambusa
Spesies : Bambusa multiplex Lour.
Gambar 24. Bambu pagar
Penduduk desa sering menanam bambu disekitar rumahnya untuk berbagai
keperluan. Bambu pagar dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias di pekarangan
rumah warga. Tanaman ini juga dimanfaatkan masyarakat sebagai pembatas
rumah antar tetangga. Pemanfaatan bambu sebagai tanaman hias dikarenakan
bambu pagar ini tidak tumbuh besar seperti bambu pada umumnya. Sifatnya yang
kerdil dan rumpun yang rapat membuat bambu ini digemari untuk dijadikan
Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat Desa Sihombu
menunjukkan bahwa banyaknya pengambilan bambu untuk tiap bulannya tidak
dapat dipastikan. Karena mereka mengambil bambu pada saat membutuhkan saja
dan bambu yang diambil biasanya tidak terlalu banyak. Sehingga tidak dapat
dikalkulasikan dalam bentuk angka. Karena intensitas pengambilan bambu yang
tidak terlalu banyak dan cepatnya pertumbuhan bambu, maka masyarakat
menganggap bahwa bambu tidak akan mengalami penurunan kuantitas.
Masyarakat Desa Sihombu tidak mengetahui status dari hutan tempat
mereka mengambil bambu. Sehingga mereka tidak pernah berpikir akan adanya
konsekuensi yang dapat mereka terima apabila mengambil hasil hutan secara
sembarangan. Akses yang digunakan oleh masyarakat untuk mengambil bambu
dari hutan ialah dengan berjalan kaki. Baik kendaraan roda dua maupun roda
empat tidak dapat masuk ke dalam kawasan hutan, karena medannya yang cukup
terjal. Sistem pengambilan bambu yang dilakukan masyarakat yaitu secara
perorangan, dengan jarak jelajah yang ditempuh yaitu >5 km/hari. Masyarakat
Desa Sihombu telah memanfaatkan bambu sejak lama, bahkan nenek moyang
mereka zaman dahulu juga telah memanfaatkan bambu sebagai tempat air minum
dan penyimpanan makanan.
Waktu yang dibutukan oleh warga dalam pengambilan bambu dari hutan
tidak begitu lama. Karena tempat tinggal mereka berada di sekitar kawasan hutan
tersebut, sehingga dalam pengambilan bambu tidak perlu bermalam di hutan
(pulang hari). Bambu yang dipungut dari hutan tidak dipasarkan oleh warga,
melainkan digunakan untuk kebutuhan pribadi. Hal ini disebabkan karena akses
Teknologi Pemanfaatan Bambu
Pengetahuan masyarakat di Desa Sihombu tentang teknologi pemanfaatan
bambu, baik berupa perlakuan sebelum pengerjaan maupun proses pengerjaannya
masih sederhana. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan masyarakat dan
pengamatan di lapangan, bahwa masyarakat masih mengolah bambu dengan cara
sederhana dan dengan menggunakan peralatan yang sederhana karena produk
yang dihasilkan hanya digunakan untuk keperluan rumah tangga.
Salah satu faktor yang mempengaruhi masa pakai produk bambu adalah
organisme perusak yang menyebabkan kerusakan dan menurunkan masa pakai
produk tersebut. Organisme perusak produk bambu yang diketahui penduduk
adalah jamur perusak bambu dan hama bubuk. Adapun metode tradisional yang
diketahui oleh masyarakat untuk meningkatkan masa pakai produk bambu antara
lain: merendam batang bambu dalam air tergenang, mengurangi kadar air bambu
melalui pengeringan dan pengasapan bambu.
Bambu yang akan digunakan sebagai bahan bangunan biasanya diberikan
perlakuan pengawetan sederhana yakni melalui perendaman dalam air tergenang.
Hal ini terlihat pada bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) dan
bambu betung (Dendrocalamus asper) yang dimanfaatkan sebagai atap oleh
masyarakat. Sebelum dijadikan atap, bambu diberi perlakuan sederhana berupa
perendaman dalam air tergenang selama 3 hari. Manfaat dari perendaman adalah
untuk memperpanjang masa pakai bambu yang akan dijadikan atap.
Perlakuan secara tradisional lainnya yang diaplikasikan terhadap bambu
oleh masyarakat, dilakukan dengan cara pengasapan. Hal ini terlihat pada
dimana bambu yang akan dijadikan tampi dibelah menjadi 6 bagian terlebih
dahulu, lalu kemudian dilakukan pengasapan diatas perapian sampai warna bambu
tersebut kehitaman. Kegunaan dari pengasapan adalah agar bambu terhindar dari
bubuk kayu kering dan jamur pewarna sehingga masa pakainya dapat bertahan
lebih lama dan memiliki keindahan. Pada pembuatan tampi juga diberi perlakuan
berupa perendaman. Bambu yang telah diasapkan sebelumnya direndam selama 2
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Terdapat 8 spesies bambu dan terbagi ke dalam 4 genus yang ditemukan pada
Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu .
2. Spesis bambu yang paling dominan adalah Schizostachyum brachycladium
Kurz. dengan INP sebesar 75,84%. Sedangkan jenis bambu yang memiliki
kelimpahan jenis yang paling rendah adalah jenis Bambusa multiplex Lour.
dengan INP sebesar 5,07%.
3. Masyarakat Desa Sihombu memanfaatkan bambu secara tradisional yakni
sebagai bahan baku pembuatan tampi, kandang ternak, saluran air, atap,
seruling, tanaman hias dan untuk dikonsumsi.
Saran
Perlu diadakan penyuluhan untuk memberi pengertian dan menimbulkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pengawetan pada bambu sebagai usaha
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan dan Manfaatnya
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan
peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan
lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh
terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan (No.41 tahun
1999) tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Awang dkk., 2001).
Manfaat hutan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu manfaat langsung
dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat
dirasakan, dinikmati secara langsung oleh masyarakat antara lain berupa kayu
yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan seperti rotan,
bambu, buah-buahan, madu, dan lain-lain. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat
yang secara tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi yang dapat
dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri seperti: mengatur tata air, mencegah
terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, pariwisata, estetika dan
memberikan manfaat dalam bidang pertahanan dan ketahanan.
Hutan Produksi Terbatas
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
pengertian Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
Hutan Produksi Terbatas dalam pengertian Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia (No. 10 Tahun 2010) adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas
lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan
angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan hutan
lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.
Pengenalan Bambu
Bambu tumbuh menyerupai pohon berkayu, batangnya berbentuk buluh
berongga. Tanaman bambu memiliki cabang-cabang (ranting) dan daun buluh
yang menonjol (Gerbono dan Abbas, 2009).
Menurut Barli (1999) dalam Pasaribu (2007), bambu memiliki keunikan dan
keindahan tersendiri sebagai pengganti kayu. Secara anatomis, bambu berbeda
dengan kayu. Profil bambu antara lain sebagai berikut:
1. Bentuk batang bulat, lancip dan tidak ada pertumbuhan ke samping (radial
growth) seperti pada kayu.
2. Batangnya melengkung di bagian ujung sebagai akibat beban daun. Bagian
batang yang lurus kurang lebih 2/3 dari keseluruhan panjang batang.
3. Batangnya berlubang, berbuku, beruas, kuat, ulet dan mudah dibelah atau
disayat.
4. Kulit batang tidak mengelupas, melekat kuat dan sukar ditembus oleh cairan.
Pengulitan relatif sukar dan sampai saat ini belum ada alat mekanis yang
dapat dipakai.
5. Dalam keadaan utuh, relatif sukar atau lambat kering. Apabila pengeringan
Pertumbuhan jenis bambu sangat khas, membentuk rumpun yang tumbuh
lurus dan bercabang ke samping. Daunnya kecil-kecil, lonjong dan berujung
runcing. Tanaman bambu jarang sekali sampai berbunga atau berbuah, kecuali
bila dibiarkan tumbuh terus sampai bertahun-tahun lamanya. Batang bambu
memiliki warna yang bermacam-macam menurut jenisnya. Pada umumnya bambu
berwarna hijau tua. Jika sudah tua, kulit batangnya membentuk bulatan-bulatan
putih kecil-kecil. Ada jenis bambu yang batangnya tidak begitu tebal, akan tetapi
ada pula yang tebal sekali, misalnya bambu betung (Tantra, 2003).
Potensi Bambu
Bambu merupakan tanaman tahunan yang diberi julukan rumput raksasa.
Penghasil rebung ini termasuk dalam famili rumput-rumputan dan masih
berkerabat dekat dengan padi dan tebu. Tanaman bambu dimasukkan ke dalam
subfamili bambusoideae. Dalam klasifikasi selanjutnya bambu terdiri dari
beberapa marga atau genus dan setiap marga memiliki beberapa jenis atau spesies.
(Berlian dan Estu, 1995).
Menurut Widjaja (2001), di dunia terdapat sekitar 1200-1300 jenis bambu
sedangkan menurut data lapangan dan laboratorium bahwa bambu di Indonesia
diketahui terdiri atas 143 jenis. Berdasarkan data di atas dapat dipastikan bahwa
bambu merupakan sumber daya yang sangat melimpah dan memiliki
keanekaragaman yang cukup tinggi. Namun, kenyataan yang terjadi adalah tidak
semua jenis bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik.
Menurut Sutiyono (2006), di seluruh dunia terdapat 1.500 jenis bambu yang
berasal dari 75 marga. Dari jumlah tersebut di Indonesia diperkirakan ada 76 jenis
(19 jenis), Cephalostachyum (1 jenis), Chimonobambusa (2 jenis),
Dendrocalamus (6 jenis), Dinochloa (1 jenis), Gigantochloa (18 jenis), Melocana
(1 jenis), Nastus (3 jenis), Neololeba (1 jenis), Phyllostachys (3 jenis),
Pleioblastus (2 jenis), Pseudosasa (1 jenis), Schizostachyum (14 jenis),
Semiarundinaria (1 jenis), Shibatea (1 jenis), dan Thyrsostachys (1 jenis). Dari 76
jenis tersebut, kelompok Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa merupakan
yang paling banyak dijumpai dan dimanfaatkan. Jenis-jenis yang sudah
dimanfaatkan tersebut umumnya jenis bambu yang berukuran sedang sampai
besar dengan karakteristik batangnya berdiameter > 5 cm dan tebal dinding
>1cm.
Klasifikasi Bambu
Adapun jenis-jenis bambu di Indonesia yang telah diketahui menurut
Sastrapradja dkk. (1977) dalam Manalu (2008), dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Jenis-jenis Bambu yang tumbuh di Indonesia
No Nama Botanis Sinonim Nama lokal dan
penyebaran 1. Bambusa atra Lindley Bambusa lineata Munro Loleba (Maluku,
Bambusa rumphiana Kurz Nena (Shanghai) Dendrocalamus latifolius
Laut & K. Shum
2. Bambusa amahussana - Nitu (Ambon)
Lindley
3. Bambusa bambos (L) Arendo bambos L Bambu duri
Voss Bambusa arundinacea (Indonesia), Pring ori
(Retz) Willd (Jawa)
Bambusa spinosa Roxb
4. Bambusa blumeana Bambusa spinosa Blume Bambu duri J. A & J. H. Schultes ex ness (Indonesia), Haur
Bambusa purens Blanco cucuk (Sunda), Pring Bambusa arundo Blanco gesing (Jawa)
5. Bambusa forbesii - Sasa, akoya, warire
(Ridley) Holtum (Irian)
(Lour) Raeuschel ex Bambusa nana (Roxb) Krisik putih, Bambu J.A. & J.H. Schultes Bambusa glaucescens pagar, Bambu cina
(Willd) Sieb ex Munro (Indonesia), Aor selat (Kalimantan Barat) 7. Bambusa tuldoides Bambusa pallescens Bambu krisik hijau,
Munro (Doell) Hackel Krisik
Bambusa vertricosa Mc. Clure Bambusa longiflora W.T. Lin
8. Bambusa vulgaris Bambusa thouarsii Kunth Ampel hijau tua, Schrad ex Wendl Bambusa surinamensis Ampel hijau muda,
Ruprecht Pring gading, Pring tutul (Indonesia) 9. Dendrocalamus asper Bambusa asperaSchultes Bambu petung
(Roem. & Schultf.) Dendrocalamus flagelifer (Indonesia), Petung Backer ex Heyne. Gigantochloa aspera coklat (Bengkulu),
Schultes F. Kurtz Petung hijau Dendrocalamus (Lampung), Petung merrilianus (Elmer) hitam (Banyuwangi) Elmer
10. Dendrocalamus Bambusa gigantea Bambu sembilang
giganteus Wallich ex. Wallich (Indonesia)
Munro (figure-1) & figure-2
11. Dendrocalamus Bambusa latiflora Bambu taiwan latiflorus Munro (Munro) Sinoca lamus (Indonesia)
latiflorus (Munro) Mc Clure
12. Dinochloa scadens - Cangkoreh (Sunda)
13. Gigantochloa - Buluh apo (Sumatera
Achmadii Barat)
14. Gigantochloa apus Bambusa apus J.A. & Bambu tali
Kurz Schultes (Indonesia)
Gigantochloa Kurzii Gamble
15. Gigantochloa Gigantochloa verticillata Bambu hitam atroviolacea Widjaja (Willd) sensu Backer (Indonesia), Pring
wulung (Jawa), Awi 16. Gigantochloa atter Bambusa thouarsii Kunth Bambu ater
(Hassk) Kurz ex var atter Hassk (Indonesia), Pring Munro Gigantochloa verticillata benel, Pring jawa
(Wild) Munro sensu (Jawa), Awi temen
K.M. Wong (Kalimantan)
18. Gigantochloa Gigantochloa Awi lengka tali
hasskarliana (Kurz) hasskarlianum Kurz (Sunda), Bulok busi (Dayak), Buluh sorik (Tapanuli).
19. Gigantochloa levis Bambusa levis Blanco Pring peting
(Blanco) Gigantochloa (Banyuwangi), Buluh
scribneriana Merril suluk (Kalimantan Dinochloa curranii Selatan)
Gamble
20. Gigantochloa - Pring manggong
manggong Widjaja (Banyuwangi)
21. Gigantochloa Bambusa nigrociliata - nigrociliata (Buse) Buse oxytenan thera
nigroci liata Buse Munro
22. Gigantochloa pruriens - Buluh belangke,
Widjaja buluh regen (Karo),
Buluh yakyak (Gayo) 23. Gigantochloa Bambusa pseudoarun Awi andong besar,
Pseudoarundinacea dinacea Steudel Andong leutik, (Steudel) Widjaja Gigantochloa verticillata Andong kapas,
(Wild) Munro Andong batu (Sunda), Gigantochloa maxima Pring gombong, Pring
Kurz surat (Jawa)
24. Gigantochloa ridleyi - Tiying, Tiying aya
Holtum (Bali)
25. Gigantochloa robusta Gigantochloa verticillata Awi mayan (Sunda),
Kurz (Willd) Munro sensu Pring serit (jawa)
Backer
26. Gigantochloa - Buluh kapal
Scortechinii (Bengkulu)
27. Gigantochloa wrayi Gigantochloa kurzii Buluh dabo
Gamble Gamble (Sumatera)
28. Nastus elegntissimus - Awi eul-eul (Sunda)
29. Phyllostachys aurea Phyllostachys Pring cendani (Jawa), Carr. ex A & Riviere bambusoides Sieb & Awi uncue (Sunda)
Zucc. var aurea (A&C) Riviere Makino
Phyllostachys formosana Hayata
30. Schizostachyum Melocana zollinger Awi tamiyang blumei Ness Steudel var. longispi (Sunda)
ex Munro) Kurz
31. Schizostachyum - Bambu lemang
brachycladun Kurz kuning, Lemang hijau
(Indonesia), Buluh tolang, Buluh sero (Maluku), Pring lampar (Banyuwangi)
32. Schizostachyum - Buluh bungkok, buluh
caudatum Backer batu (Sumatera
selatan)
33. Schizostachyum - Buluh alor (Bintan)
Gracile
34. Schizostachyum - Buluh lemang
grandle Ridley (Sumatera)
35. Siraten steudel Schizostachyum biflorum Awi bunar (Sunda),
McClure Pring wuluh (Jawa)
36. Schizostachyum Schizostachyum Buluh suling latifolium Gamble longisipiculatum (Kurz ex (Sumatera utara)
Munro) Kurz sensu, Holtum ochlandran ridleyi Gamble, Schizostachyum ridleyi (Gamble) Holtum
37. Schizostachyum lima Bambusa lama (Blanco), Buluh toi (Maluku)
(Blanco) Schizostachyum hallieri
Gamble
Sumber : LBN-LIPI, Beberapa Jenis Bambu (1977)
Identifikasi Bambu
Orang sering mengalami kesulitan dalam mengenal jenis bambu, karena
kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Bagi pakar taksonomi, perbungaan
merupakan bagian terpenting untuk membedakan jenis tumbuhan, namun karena
bambu jarang berbunga, maka cara lain mengidentifikasi bambu adalah
menggunakan ciri morfologinya. Ciri morfologi bambu tersebut, misalnya rebung,
pelepah buluh dan sistem percabangannya (Widjaja, 2001).
Ciri morfologi bambu dan istilah yang biasa digunakan dalam identifikasi
(1) Akar rimpang
Akar rimpang ada di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang
khas. Ada dua macam akar rimpang (Gambar 1.), yaitu pakimorf yang
dicirikan oleh akar rimpang yang simpodial dan leptomorf yang dicirikan
oleh akar rimpang yang monopodial.
Pakimorf-Simpodial Leptomorf-Monopodial
Gambar 1. Akar rimpang (Widjaja, 2001).
(2) Rebung
Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal
buluh yang tua. Setiap bambu mempunyai ciri khas warna pada ujung rebung
dan bulu-bulu pada pelepahnya.
(3) Buluh
Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi
maksimum dalam beberapa minggu. Buluh dibedakan berdasarkan ukuran
ruas (panjang atau pendek), diameter, bentuk tumbuh (tegak atau merambat),
keadaan buku-buku pada bagian pangkal buluh (halus atau kasar), keadaan
permukaan ruas buluh muda (gundul atau lebat).
Pelepah buluh merupakan modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas,
terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula. Pelepah
buluh berfungsi untuk menutupi buluh ketika muda.
(5) Percabangan
Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku.
(6) Helai daun dan pelepah daun
Helai daun bambu mempunyai daun yang sejajar seperti rumput dan setiap
daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Helai daun dihubungkan
dengan pelepah oleh tangkai daun yang pendek atau bisa panjang. Kuping
pelepah bisa berukuran besar, kecil atau tidak tampak. Kuping pelepah daun
mempunyai bulu kejur yang panjang atau gundul.
Syarat Tumbuh Bambu
Pertumbuhan bambu tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan.
Dengan demikian perlu diketahui faktor-faktor yang berkaitan dengan syarat
tumbuh tanaman bambu. Tanaman ini akan tumbuh dengan baik di tempat yang
sesuai umtuk pertumbuhannya. Menurut Berlian dan Estu (1995) faktor
lingkungan tersebut meliputi kondisi iklim dan jenis tanah.
1. Iklim
Lingkungan yang sesuai untuk tanaman bambu adalah yang bersuhu sekitar
8,8-36oC. Tanaman bambu bisa dijumpai mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi, dengan ketinggian 0 sampai 2000 m dpl. Walaupun demikian,
tidak semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik pada semua ketinggian
tempat. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimal 1.020
2. Tanah
Bambu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berat sampai
tanah ringan, tanah kering sampai tanah basah dan dari tanah subur sampai tanah
kurang subur. Juga dari tanah pegunungan yang berbukit terjal sampai tanah yang
landai. Perbedaan jenis tanah dapat berpengaruh terhadap kemampuan perebungan
bambu. Tanaman bambu dapat tumbuh pada tanah yang bereaksi masam dengan
pH 3,5 dan pada umumnya menghendaki tanah yang pH-nya 5,0 sampai 6,5. Pada
tanah yang subur tanaman bambu akan tumbuh dengan baik karena kebutuhan
makanan bagi tanaman tersebut akan terpenuhi.
Tipe Pertumbuhan
Dari sekitar 75 genus terdiri dari 1.500 spesies bambu di seluruh dunia, 10
genus atau 125 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Berdasarkan sistem
percabangan rimpang, genus tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian.
Pertama, genus yang berakar rimpang dan tumbuh secara simpodial, termasuk
didalamnya genus Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum.
Kedua, genus berakar rimpang dan tumbuh secara monopodial (horizontal) dan
bercabang secara lateral sehingga menghasilkan rumpun tersebar, diantaranya
genus Arundinaria (Duryatmo, 2000).
Pemanfaatan Bambu
Bambu merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
ekonomi masyarakat. Sampai saat ini bambu sudah dimanfaatkan sangat luas,
mulai dari penggunaan teknologi yang paling sederhana sampai pemanfaatan
teknologi tinggi pada skala industri. Pemanfaatan di masyarakat umumnya untuk
industri biasanya ditujukan untuk orientasi ekspor. Pada umumnya seluruh bagian
dari bambu dapat kita manfaatkan yakni mulai dari akar, daun, rebung sampai
pada batang. Adapun pemanfaatan bambu yang dilakukan dengan mengunakan
teknologi paling sederhana hingga teknologi tinggi diantaranya adalah: bambu
lapis, bambu lamina, papan semen, arang bambu, pulp, kerajinan dan handicraft,
supit, furniture dan perkakas rumah tangga, komponen bangunan dan rumah,
sayuran dan bahan alat musik tradisional (Batubara, 2002).
Secara garis besar pemanfaatan batang bambu dapat digolongkan dalam dua
hal yaitu:
1. Berdasarkan bentuk bahan baku, yaitu:
a. Bambu yang masih dalam keadaan bulat, umumnya digunakan untuk
tiang pada bangunan rumah sederhana.
b. Bambu yang sudah dibelah, umumnya digunakan untuk dinding rumah,
rangka atap (yang terbuat dari ijuk atau rumbia), sumpit, kerajinan tangan
dan lain sebagainya.
c. Gabungan bambu bulat dan sudah dibelah serta serat bambu, umumnya
digunakan untuk aneka kerajinan tangan, misalnya keranjang, kursi, meja
dan lain-lain.
2. Berdasarkan penggunaan akhir yaitu untuk konstruksi dan non konstruksi
(Berlian dan Estu, 1995).
Menurut BAPEDAL (2010), manfaat bambu tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat ekonomi
b. Sebagai bahan dasar bagi kerajinan rakyat untuk membuat alat-alat
rumah tangga seperti meuble, hiasan dan alat-alat dapur.
c. Memenuhi kebutuhan konsumen domestik dan mancanegara (Taiwan,
Singapura dan Hongkong) yaitu sebagai alat bantu makan seperti sumpit
dan pencukil gigi yang terbuat dari bambu.
d. Rebung bambu merupakan salah satu bahan pangan dari penduduk di
Jawa Timur khususnya dalam bentuk sayuran bambu.
e. Bambu banyak dimanfaatkan pula sebagai bahan pembuatan pulp yang
berkualitas tinggi.
f. Bambu dapat pula dipakai sebagai bahan obat-obatan. Ilmu pengobatan
tradisional banyak menggunakan bambu sebagai bahan bakunya baik dari
daun, kulit luar dan kulit dalam dari batang dan rebungnya. Contohnya
rebung bambu kuning dapat digunakan untuk obat sakit kuning (Lever).
2. Manfaat ekologi (lingkungan hidup)
a. Bambu mempunyai pertumbuhan yang cepat, sistem perakaran yang kuat
dan luas sehingga dapat mencegah erosi, tanah longsor dan banjir.
b. Penanaman bambu pada hamparan lahan kritis yang luas diharapkan akan
dapat meningkatkan daya dukung lingkungan.
c. Sebagai tanaman yang memiliki total luas daun yang besar dan berbulu
halus serta mempunyai jaringan akar yang luas, maka tanaman bambu
dapat ikut menyerap dan mengikat berbagai bahan dan gas pencemar di
udara, tanah dan air.
d. Asli dari Indonesia, sehingga bambu mempunyai peranan penting dalam
e. Dengan bentuk dan jenisnya yang beranekaragam bambu dapat digunakan
sebagai tanaman hias di perkotaan, sehingga dapat menambah keindahan
dan kesejukan lingkungan.
f. Dalam komunitas yang luas bambu dapat menjadi habitat berbagai jenis
satwa liar seperti burung, bajing dan lain-lain.
Bambu merupakan suatu ekosistem yang unik dengan fungsi
bermacam-macam dan terdiri dari :
a) Fungsi hidrologis
Fungsi hidrologis yaitu menjaga ketersediaan sumber air tanah, sebagai
penahan erosi guna mencegah bahaya banjir, serta mempertahankan kelestarian
lingkungan hidup.
b) Fungsi ekonomis
Fungsi ekonomis yaitu sebagai sumber bahan bangunan (tiang rumah, atap
rumah dan dinding rumah), bahan kerajinan tangan, makanan, obat-obatan dan
bahan selulosa pembuatan kertas serta produk ekonomis lainnya.
c) Fungsi sosial
Fungsi sosial ini berupa pemberian cuma-cuma bagi yang
membutuhkannya, hal ini dapat dilihat dari pedesaan.
d) Fungsi pertahanan
Fungsi pertahanan ini dapat dikatakan sangat tradisional dan bersifat
Kelebihan Bambu
Bambu mudah menyesuaikan diri dengan kondisi tanah dan cuaca yang ada.
Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran lebih kecil dibandingkan
dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini, tumbuh akar akar yang
memungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap
ruasnya, disamping tunas-tunas rimpangnya. Menurut Wahyudin (2008),
setidaknya ada tiga kelebihan bambu jika dibandingkan dengan tanaman
kayu-kayuan, antara lain:
1. Tumbuh dengan cepat
Bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dalam waktu yang singkat
dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu dapat
bertambah panjang 30-90 cm. Rata-rata pertumbuhan bambu untuk mencapai usia
dewasa dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu memiliki mutu dan
kekuatan yang paling tinggi. Bambu yang telah dipanen akan segera tergantikan
oleh batang bambu yang baru. Hal ini berlangsung secara terus menerus secara
cepat sehingga tidak perlu dikhawatirkan bambu ini akan mengalami kepunahan
karena dipanen. Berbeda dengan kayu, setelah ditebang akan memerlukan waktu
yang cukup lama untuk menggantinya dengan pohon yang baru.
2. Tebang pilih
Bambu yang telah dewasa yakni umur 3-6 tahun dapat dipanen untuk
digunakan dalam berbagai keperluan. Dalam pemanenan dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Tebang habis yaitu
menebang semua batang bambu dalam satu rumpun baik batang yang tua maupun
bambu yang berbeda-beda dan tidak sesuai dengan yang diinginkan, selain itu
akan memutuskan regenerasi bambu itu sendiri. Metode tebang pilih adalah
metode penebangan berdasarkan umur bambu. Metode ini sangat efektif karena
akan didapatkan mutu bambu yang sesuai dengan yang diinginkan dan
kelangsungan pertumbuhan bambu akan berjalan tetap.
3. Meningkatnya volume air bawah tanah
Tanaman bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini
menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan
dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu
dapat menyerap air hujan hingga 90%.
Kelemahan Bambu
Kelemahan bambu terdapat pada sifat dari keawetannya. Keawetan bambu
adalah daya tahan bambu terhadap berbagai faktor perusak bambu terhadap
serangan rayap, kumbang bubuk atau hama bubuk dan jamur perusak bambu.
Ketahanan alami bambu lebih rendah dibandingkan dengan kayu. Ketahanan
bambu tergantung pada kondisi iklim dan lingkungan. Bambu tanpa perlakuan
khusus dapat bertahan antara satu sampai tiga tahun jika berinteraksi dengan tanah
dan udara, jika berinteraksi dengan air laut usianya kurang dari satu tahun. Jika
diawetkan usianya bisa mencapai 4-7 tahun dan dalam kondisi tertentu bisa
mencapai 10-15 tahun (Swara, 1997).
Teknologi Pemanfaatan Bambu
Bambu yang telah ditebang adakalanya tidak langsung digunakan sehingga
perlu disimpan terlebih dahulu. Cara penyimpanan bambu perlu diperhatikan agar
tempat yang mempunyai pertukaran udara yang baik, kering dan tidak
terpengaruh oleh angin atau hujan. Cara penyimpanan bambu yang baik adalah
disandarkan pada dinding. Tempat penyimpanan yang terlalu lembab atau tempat
terbuka dapat menurunkan kualitas bambu (Duryatmo, 2000).
Beberapa faktor yang mempengaruhi umur pakai bambu antara lain: waktu
tebang, umur saat tebang, kandungan pati, pengeringan, cara penyimpanan, iklim
dan serangan organisme perusak. Serangan organisme perusak, misalnya bubuk
kayu kering, jamur dan rayap merupakan kendala yang sering dihadapi berkaitan
dengan penggunaan bambu. Akibat serangan itu, muncul cacat fisik berupa warna
yang tampak kotor dan lapuk (Duryatmo, 2000).
Penebangan bambu sebaiknya dilakukan pada saat umur tanaman sudah
cukup untuk ditebang/ dipanen, pada umumnya dilakukan setelah bambu berumur
3 tahun. Bambu yang ditebang pada usia yang belum cukup tua dapat
mengakibatkan terjadinya penyusutan yang besar. Di samping itu, dalam
pemanenan bambu juga harus memperhatikan musim saat berkurangnya hama
bambu. Biasanya hama bambu berkurang pada awal hingga akhir musim kemarau,
yaitu pada bulan April sampai Juni. Pada musim kemarau, kandungan zat pati
yang juga disukai oleh kumbang bubuk akan menurun akibat transpirasi
(Berlian dan Estu, 1995).
Dalam rangka meningkatkan nilai ekonomis bambu dan meningkatkan masa
pakainya, maka perlu dilakukan pengawetan. Dalam pengawetan bambu dikenal
dua metode pengawetan yaitu pengawetan bambu tanpa bahan kimia (metode
tradisional) dan pengawetan bambu dengan bahan kimia. Metode pengawetan
Metode ini paling sering digunakan, mudah pelaksanaannya, ekonomis, serta
bersahabat dengan lingkungan meskipun beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa metode tersebut hanya efektif terhadap serangan bubuk kayu kering
(Nandika dkk., 1994).
Pengeringan merupakan salah satu cara memperpanjang masa pakai bambu.
Batang bambu yang telah ditebang sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu.
Pengeringan bambu yang baik adalah dengan cara diangin-anginkan di udara
terbuka atau di tempat yang teduh. Pengeringan langsung dengan penjemuran di
bawah sinar matahari langsung sebaiknya dihindarkan karena bambu akan retak
sehingga mengurangi mutu (Berlian dan Estu, 1995).
Menurut Krisdianto dkk. (2000), beberapa teknologi pengawetan alami yang
sering digunakan adalah pengasapan, pelaburan dan perendaman (termasuk
metode perebusan).
1.Pengasapan
Teknologi pengawetan ini meskipun sederhana tetapi sudah terbukti
keunggulannya. Bambu yang digunakan sebagai rangka atap dapur yang
senantiasa terkena asap terbukti lebih tahan lama dan mampu bertahan
hingga 15 tahun.
2.Pelaburan
Bahan yang dimanfaatkan untuk melabur bambu antara lain aspal, kapur
dan minyak tanah. Caranya bahan-bahan tersebut dilaburkan pada potongan
3.Perebusan
Metode ini akan membuat bambu resisten terhadap serangan organisme
perusak. Pengawetan dengan perebusan dikaitkan dengan sifat zat pati.
Menurut matangaran (1987) dalam Nandika dkk. (1994), zat pati pada
bambu tidak hanya dapat terurai oleh enzim yang dihasilkan bakteri tetapi
juga oleh suhu dan air. Dengan merebus bambu pada temperatur 550C-600C selama 10 menit atau lebih akan dapat mengurai pati menjadi gelatin
sempurna, yang selanjutnya terurai menjadi amilosa dan larut dalam air.
4.Perendaman
Pengawetan bambu dengan cara merendam dibedakan menjadi tiga,
yaitu dalam air tergenang, air mengalir dan lumpur. Perendaman dalam air
mengalir lebih banyak dilakukan dibandingkan dalam air menggenang
sebab dapat mencegah bau busuk.
Selain metode pengawetan alami, metode pengawetan dengan bahan kimia
juga dapat dilakukan untuk memperpanjang umur pakai bambu. Metode
pengawetan yang umum dilakukan dengan bahan kimia adalah metode rendaman.
Bahan pengawet yang digunakan biasanya Wolmanit CB, TCB, ACC, boraks atau
asam borat. Pemakaian bahan kimia ini akan menurunkan serangan faktor
perusak. Bahan pengawet tidak mempengaruhi kekuatan bambu