• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi dan Pemanfaatan Bambu oleh Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Kasus: Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi dan Pemanfaatan Bambu oleh Masyarakat Sekitar Hutan (Studi Kasus: Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Karakteristik Responden Pemanfaat Bambu di Desa

Sihombu, Kec. Tarabintang, Kab. Humbang Hasundutan

(2)

Lampiran 2. Kuisioner Penelitian Pemanfaatan Bambu oleh Masyarakat Desa Sihombu, Kec.Tarabintang, Kab. Humbang Hasundutan

PENELITIAN UNTUK SKRIPSI (S-1) PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kuisioner Untuk Mengetahui Tingkat Pemanfaatan Bambu Oleh Masyarakat

I. Identitas Responden

1. Nama/Usia :

7. Jumlah anggota keluarga :

8. Apakah saudara merupakan penduduk asli?

Jika ya, sudah berapa lama tinggal di sini?

Jika tidak, dari mana asal saudara?

II. Budidaya, Pemanenan dan Pemanfaatan Bambu

1.Bambu yang bagaimana yang sudah dapat diambil?

2.Bagaimana sistem pengambilan bambu?

a. Berkelompok b. Perorang

3.Bila berkelompok, berapa jumlahnya?

a. 2 Orang b. 5 Orang c. ≥5 orang

4.Warna bambu yang bagaimanakah yang baik?

5.Apa saja yang Bapak/Ibu manfaatkan dari bambu?

6.Apakah saudara menanam bambu di kebun misalnya?

a.Ya b. Tidak

7.Manfaat bambu untuk apa saja?

a. Peralatan rumah b. Perabot rumah c. Kerajinan

(3)

a.Ya b. Tidak

9.Bagaimana persepsi saudara mengenai potensi bambu, apakah akan habis?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, alasan:

Jika tidak, alasan:

10. Apa saja alat yang saudara gunakan dalam mengambil bambu?

11. Berapa jarak jelajah untuk mendapatkan bambu?

a. ≤5 km b. >5 km c. >10 km

12. Sudah berapa lama saudara memungut bambu?

a. < 1 tahun b. 1-10 tahun c. >10 tahun

13. Apa yang saudara manfaatkan selain batang bambu?

14. Apakah bambu dimanfaatkan juga dalam komponen bangunan rumah?

15. Apakah ada perabotan di rumah saudara yang terbuat dari bambu?

III. Sosial Ekonomi Masyarakat

1. Berapa banyak mengambil bambu dalam sebulan?

2. Berapa lama di dalam hutan mengambil bambu?

a. Pulang hari b. Dua hari c. Lebih dari tiga hari

3. Jenis bambu apa saja yang diambil?

4. Apakah saudara mengetahui status hutan tempat sudara mengambil bambu?

a. Ya b. Tidak

Jika Ya, alasan:

5. Kemana bambu yang dipungut dipasarkan?

a. Ke pengumpul b. Ke pengolah c. Ke pengrajin

6. Apa saja produk bambu yang saudara buat?

7. Berapa banyak yang bisa saudara hasilkan dalam sebulan?

8. Apakah saudara menjualnya atau untuk keperluan sendiri?

9. Apakah saudara langsung menjual setelah diambil dari hutan?

(4)
(5)

Lampiran 4. Titik Koordinat Bambu di Hutan Produksi TerbatasDesa Sihombu, Kec. Tarabintang, Kab. Humbang Hasundutan

(6)
(7)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. 2012. Profil Potensi Tanaman Obat Kalimantan Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Kalimantan Timur 2012. 1 Maret 2013 : P.8

Awang, S. A., Heri Santoso, Wahyu Tri Widayanti, Yuli Nugroho, Kustomo dan Sapardiono. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. CV Debut Press. Yogyakarta.

Bapedal. 2010. Pelestarian Bambu dan Manfaatnya Terhadap Lingkungan Hi

Batubara, R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. USU Digital Library. Medan.

Berlian, V. A. N. dan Estu R. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta.

Dephut. 2004. Sari Penelitian

Bambu.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Duryatmo, S. 2000. Wirausaha Kerajinan Bambu. Puspa Swara. Jakarta.

Frick, Heinz. 2004. Ilmu Kontruksi Bangunan Bambu.

http://id.wikipedia.org./wiki/pemanasanglobal. Pemanasan Global.

Kanisius. Semarang.

Gerbono, A dan A. D Siregar. 2009. Aneka Anyaman

Bambu.http://books.google.co.id, [07 April 2013]

Gunardja, E. 1995. Strategi penelitian bambu. Rubrik Tinjauan Pustaka. Jurnal PPT Vol I No 4. 1995.

Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No. P.21/Menhut-II. 2009. Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Jakarta : Departemen Kehutanan.

(8)

Mason, C. F. 1980. Ecology, Second Edition. Longman, Inc. New York

Nandika, D., J. R. Matangaran dan I. G. K. T. Darma. 1994. Strategi Penelitian Bambu Indonesia : Keawetan dan Pengawetan Bambu. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology, Third Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia

Pasaribu, G. 2007. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian 12 November 2007 : Aplikasi Pengawetan Mebel Bambu dengan Bahan Pengawet Borax dan Asam Borat. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematang Siantar.

Permenhut. 2008. Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional. P. 67/Menhut-II/2006.

Resosudarmo, P. dan Colfer P. 2003. Kemana Harus Melangkah?. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sastrapradja, S., A. Widjaya, S. Prawiroatmado dan S. Soenarko. 1977. Beberapa jenis bambu. LBN-LIPI. Jakarta.

Simon, H. 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Smith. R. L. 1992. Elements of Ecology, Third Edition. Harper Collins, Publishers, Inc. New York.

Sutiyono. 2006. Bamboo Cultivation. Proceeding of the International Seminar on

Palntation Forest Research and Development in Yogyakarta. Campus of

FORDA. Bogor.

Swara, P. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. KDT. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Usman, H. dan Purnomo Setiady Akbar. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Wahyudin. 2008. Pelestarian Hutan Bambu untuk Menanggulangi Illegal Logging dan Global Warmi

Widjaja, E. A., Mien, A.R., Bambang, S., Dodi, N. 1994. Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor.

(9)

Widjaja, E. A. 2004. Jenis-Jenis Bambu Endemik dan Konservasinya di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV.

Widjaja E. A., Mahyar U. W., Utomo S. S. 1988. Tumbuhan Anyaman di Indonesia. Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta.

(10)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang,

Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini berlangsung dari bulan April

sampai dengan Juni 2013.

Gambar 2. Peta Lokasi Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah camera digital, tali rafia,

parang, kompas, Global Positioning System (GPS), peta wilayah penelitian, pita

meter, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan adalah tally sheet, kuisioner, dokumen lain yang

berhubungan dengan lokasi penelitian dan buku identifikasi bambu yaitu: Berlian

(11)

Prosedur Penelitian

1. Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer

dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan responden

berdasarkan kuisioner yang telah disiapkan, dan observasi langsung di lapangan

untuk mengumpulkan spesimen bambu yang dimanfaatkan oleh masyarakat

setempat terutama jenis-jenis bambu yang belum diidentifikasi. Identifikasi

spesimen bambu dilakukan dengan menggunakan jasa pengenal jenis bambu.

Data primer yang dikumpulkan meliputi:

1. Inventarisasi dan observasi lapangan

Melakukan inventarisasi dan observasi langsung di lapangan untuk

mengumpulkan spesimen bambu yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat

terutama jenis-jenis bambu yang belum diidentifikasi. Identifikasi spesimen

bambu dilakukan dengan menggunakan jasa pengenal jenis bambu.

2. Informasi, potensi dan pemanfaatan bambu

Informasi ini menyangkut jenis-jenis bambu yang terdapat di wilayah

penelitian dan pemanfaatannya oleh masyarakat Dusun Sihombu meliputi

nama lokal dan ilmiahnya serta bagian tumbuhan yang dimanfaatkan.

3. Informasi sosiokultur

Data yang dikumpulkan meliputi identitas responden yaitu nama, umur,

(12)

b. Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi keadaan umum daerah yang

meliputi letak, batas dan luas wilayah, iklim, topografi, kualitas air serta flora dan

fauna. Keadaan sosial ekonomi yang meliputi pemerintahan, jumlah penduduk,

sarana dan prasarana, serta peta lokasi yang diperoleh dari Kantor distrik maupun

dari Instansi terkait yang dilakukan melalui studi literatur.

2. Penentuan responden

Penentuan responden dibagi menjadi 2 bagian yaitu responden umum dan

responden kunci. Responden umum pada penelitian ini adalah masyarakat Desa

Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan yang

mengetahui jenis-jenis bambu dan memanfaatkan tumbuhan bambu. Sedangkan

responden kunci adalah kepala kampung, kepala suku, tokoh agama dan tokoh

masyarakat lainnya. Penentuan responden kunci dilakukan dengan menggunakan

metode purpossive sampling yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Usman

dan Purnomo, 2001) melalui wawancara dan kuisioner secara langsung kepada

masyarakat. Dimana apabila jumlah kepala keluarga >100 KK, maka yang

diwawancarai adalah 10-15% dari jumlah KK tersebut. Dan apabila jumlah kepala

keluarga <100 KK, maka yang diwawancarai adalah seluruh kepala keluarga yang

ada.

Teknik Pengambilan Data

1. Inventarisasi bambu

Teknik penempatan petak ukur pada inventarisasi bambu dilakukan secara

sistematik. Bentuk satuan contoh tegakan bambu dewasa berupa jalur dengan

(13)

petak ukur untuk tegakan bambu tingkat permudaan mengikuti jalur ukur pada

setiap 100 meter berselang seling dengan ukuran petak ukur 5 x 5 meter. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Simon (2007) bahwa untuk mengetahui potensi bambu,

tiap rumpun sampel dihitung jumlah bambunya, kalau perlu dipisahkan menjadi

tiga kelompok yaitu bambu yang masih muda, berumur sedang dan tua.

Secara skematis gambar jalur ukur dan petak ukur dalam inventarisasi

bambu menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1998), dapat dilihat

pada Gambar 3.

Hm-1

a1

a2

Gambar 3. Bentuk jalur inventarisasi bambu

Keterangan:

Melakukan observasi dan analisis pemanfaatan di lapangan, guna

mengetahui jenis bambu dan sistem pemanfaatan bambu.

(14)

3. Wawancara dan diskusi

Melakukan wawancara dan diskusi untuk memperoleh informasi dan data

dengan menggunakan kuisioner terhadap para pelaku (aktor utama atau yang

mewakili) dan para instansi yang berkaitan dengan penelitian.

4. Keseluruhan data

Baik data primer maupun data sekunder yang selanjutnya ditabulasikan

sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data. Data

primer selanjutnya dianalisis secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian,

serta dilakukan analisis terkait pemanfaatan bambu. Sedangkan data yang bersifat

kuantitatif diolah secara tabulasi.

Analisis Data

Data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui teknik pengumpulan

data selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif dan kuantitatif, yaitu memberikan

gambaran dan penjelasan yang sesuai dengan hasil lapangan. Dari hasil analisa ini

akan diperoleh keterangan-keterangan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun

parameter yang dikaji antara lain meliputi:

1. Hasil Inventarisasi Bambu

Data yang diperoleh di lapangan dianalisis dengan menggunakan formulasi

metode sebagai berikut:

- Kerapatan suatu spesies (K) menurut Smith (1992)

(ha)

- Kerapatan relatif suatu spesies (KR) menurut Smith (1992)

(15)

- Frekuensi suatu spesies (F) menurut Smith (1992)

- Frekuensi relatif suatu spesies (FR) menurut Smith (1992)

%

- Indeks Nilai Penting (INP) menurut Smith (1992)

INP = KR + FR

- Indeks keanekaragaman Shannon menurut Odum (1971)

( ) ( )

H' = Indeks keanekaragaman Shannon

S = Jumlah spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan

ni = Jumlah individu spesies ke-i

N = Total seluruh individu spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan

Kriteria yang digunakan menurut Mason (1980):

 H' < 1, keanekaragaman tergolong rendah;

 H' 1 − 3, keanekaragaman tergolong sedang; dan

 H' > 3, keanekaragaman tergolong tinggi

- Indeks kemerataan Shannon menurut Odum (1971)

E = H'/ln (S)

Keterangan:

E = Indeks kemerataan Shannon

(16)

S = Jumlah spesies yang ditemukan dalam areal pengamatan

Kriteria yang digunakan menurut Krebs (1985):

- Kemerataan dikatakan rendah jika 0 < E < 0,5

- Kemerataan dikatakan tinggi jika 0,5 < E < 1

Kemudian data yang di peroleh dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan

dalam bentuk tabel.

2. Data Pemanfaatan Bambu

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner dengan responden

dianalisis secara deskriptif. Adapaun tujuannya adalah untuk memperoleh

(17)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis

Desa Sihombu merupakan salah satu desa terpencil di Sumatera Utara yang

terletak di Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan yang terdiri

atas lima dusun yaitu; Dusun Pinim, Dusun Muara Tolu, Dusun Sitonong, Dusun

Simatongtong dan Dusun Hutarambi. Desa Sihombu terletak pada garis ± 98° 27'

40'' BT - 98° 31' 20'' BT dan ± 02° 13' 58,8'' LU - 02° 16' 34'' LU.

Luas dan Batas Wilayah

Menurut Surat Keterangan Tanah Adat No.470/077/VII/2010 pada tanggal

26 Juli 2010, luas Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang

Hasundutan adalah sebesar 4.000 Ha. Adapun batas-batas wilayah adalah sebagai

berikut :

a. Sebelah utara : Desa Sihastoruan

b. Sebelah timur : Desa Sijarango

c. Sebelah selatan : Desa Sihorbo Tanjung

d. Sebelah barat : Desa Tarabintang

Topografi

Kondisi fisik Kabupaten Humbang Hasundutan berada pada ketinggian

antara 500-670 m di atas permukaan laut. Kelerengan tanah yang tergolong curam

sebesar 25% hingga sangat curam sebesar 40%.

Aksesibilitas

Desa Sihombu dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum baik

(18)

Simatabo dan dusun Simatongtong transportasi masih belum memadai. Jalan

menuju dusun tersebut hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh pejalan

kaki.

Penduduk

Jumlah penduduk Desa Sihombu adalah 289 kepala keluarga. Pada

umumnya penduduk desa ini memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain, baik

hubungan darah maupun hubungan dari perkawinan. Selain yang bermukim di

desa, banyak pula penduduk yang merantau baik untuk melanjutkan pendidikan

maupun bekerja, yang pada waktu tertentu kembali ke kampung halaman. Suku

bangsa penduduk desa Sihombu adalah Batak Toba.

Penduduk desa ini sebagian besar menganut agama Kristen Katolik dan

Kristen Protestan hanya beberapa bagian saja yang menganut agama Islam.

Kerukunan antar umat beragama di desa ini dapat dilihat dari sifat toleransi dan

saling menghargai antar warga.

Pada umumnya tingkat pendidikan di Desa Sihombu masih rendah. Hal ini

diperlihatkan dari sebagian besar penduduk yaitu hampir 30% hanya lulusan

Sekolah Rakyat/ Sekolah Dasar. Sarana pendidikan yang tersedia di desa ini

cukup terbatas karena hanya ada satu SD, SMP, dan SMA. Sedangkan untuk

tingkat Perguruan Tinggi, belum ada di desa ini sehingga warga yang ingin

melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi harus merantau.

Mata Pencaharian

Sebagaian besar penduduk Desa Sihombu adalah bermata pencaharian

(19)

berdagang, pengrajin bambu dan rotan. Peruntukan lahan penduduk adalah kebun

karet, sawah, kebun coklat, ladang sayur dan ubi.

Potensi Bambu

Potensi bambu di desa Sihombu masih cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat

dari banyaknya lahan yang ditumbuhi bambu secara alami. Pada umumnya bambu

tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatan bambu mereka

(20)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Bambu

Hutan Produksi Terbatas desa Sihombu merupakan merupakan salah satu

Hutan Produksi Terbatas yang terdapat di Sumatera Utara. Lemahnya peraturan

pemerintah dan kurangnya pemantauan terhadap hasil hutan non kayu bila

dibandingkan dengan hasil hutan berupa kayu membuat pengambilan dan

pemanfaatannya tidak mendapat perhatian yang berarti.

Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, memasuki kawasan

hutan tanpa adanya izin sudah merupakan suatu pelanggaran. Tetapi implementasi

di lapangan terkadang tidak bisa diatur berdasarkan peraturan yang sudah ada.

Lagipula pemanfaatan bambu oleh masyarakat hanya sebatas untuk kebutuhan

rumah tangga, sehingga tidak memerlukan izin dari instansi pemerintahan.

Hasil penelitian menunjukkan untuk luas areal 1.440 Ha pada Hutan

Produksi Terbatas di Desa Sihombu, terdapat 8 jenis bambu. Dari 8 jenis bambu

tersebut, secara ilmiah termasuk ke dalam 4 genus yaitu Gigantochloa,

Schizostachyum, Dendrocalamus dan Bambusa. yang disajikan pada tabel 2.

berikut:

Tabel 2. Jenis bambu yang ditemukan di Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu.

No Nama jenis bambu

1. Buluh hukkum (Gigantochloa pseudoarundinaceae)

2. Buluh nae (Schizostachyum brachycladium Kurz.) 3. Buluh sullim (Schizostachyum latifolium Gamble.) 4. Buluh songa (Gigantochloa apus Kurz.)

(21)

Analisis Vegetasi Bambu di Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu

Menurut Kusmana dan Istomo (1995), persentase Indeks Nilai Penting

(INP) diperoleh dari hasil penjumlahan kerapatan relatif (KR) dengan frekuensi

relatif (FR). INP menyatakan kepentingan suatu spesies serta memperlihatkan

peranannya dalam komunitas. Data analisis bambu pada Hutan Produksi Terbatas

Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang Hasundutan

disajikan pada Tabel 3. berikut ini:

Tabel 3. Data analisis vegetasi bambu di Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu

No Nama jenis bambu K KR F FR INP

(ind/Ha) (%) (%) (%)

1. Bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) 15,972 17,62 0,25 20,95 38,57 2. Bambu talang (Schizostachyum brachycladium Kurz.) 37,083 40,88 0,417 34,96 75,84 3. Bambu seruling (Schizostachyum latifolium Gamble.) 10,833 11,97 0,194 16,27 28,24 4. Bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) 4,861 5,36 0,069 5,78 11,14 5. Bambu lemang (Schizostachyum grandle Ridley.) 5,694 6,27 0,069 5,78 12,05 6. Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.) 8,333 9,18 0,125 10,48 19,66 7. Bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.) 4,305 4,74 0,056 4,69 9,43 8. Bambu pagar (Bambusa multiplex Lour.) 3,611 3,98 0,013 1,09 5,07

Total 90,611 100 1,193 100 200

H' 1,61

E 0,774

Berdasarkan data analisis vegetasi yang terdapat pada Tabel 3, diperoleh

bahwa nilai H’ yang didapatkan sebesar 1,61. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

keanekaragaman jenis bambu tergolong sedang, karena menurut Mason (1980)

bahwa apabila H’<1 berarti keanekaragaman tergolong rendah, apabila H’ 1-3

berarti keanekaragaman tergolong sedang, dan apabila H’>3 maka

keanekaragaman tergolong tinggi.

Indeks kemerataan jenis bambu yang terdapat pada Tabel 3, menunjukkan

bahwa nilai E yang diperoleh sebesar 0,774. Hal ini menunjukkan bahwa

(22)

dikatakan rendah jika 0<E < 0,5 dan kemerataan dikatakan tinggi

jika 0,5 < E < 1.

Hasil perhitungan INP spesies bambu yang ditemukan menunjukkan bahwa

persentase INP dipengaruhi oleh jumlah penemuan individu suatu spesies dan

frekuensi keseringan penemuan spesies tersebut di areal pengamatan. Tingginya

jumlah penemuan individu suatu spesies dan frekuensi spesies, tentu akan

menyebabkan tingginya persentase kerapan relatif dan frekuensi relatif, yang

mana keduanya merupakan variabel penting yang mempengaruhi besar kecilnya

persentase INP suatu spesies.

Jumlah jenis individu bambu yang memiliki kelimpahan jenis yang tertinggi

berdasarkan INP pada Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu adalah jenis

Schizostachyum brachycladium Kurz. sebesar 75,84%. Dominansi spesies ini

ditunjukkan oleh tingginya jumlah penemuan individunya, yakni sebanyak 267

individu yang merupakan spesies dengan jumlah penemuan individu tertinggi

diantara 8 spesies bambu yang ditemukan pada Hutan Produksi Terbatas Desa

Sihombu ini sehingga persentase kerapatannya relatif lebih tinggi. Tingginya INP

spesies ini juga didukung oleh frekuensi penemuan yang cukup sering, dimana

spesies ini ditemukan dalam 30 plot pengamatan dari 72 plot pengamatan.

Sedangkan jenis bambu yang memiliki kelimpahan jenis yang paling rendah

adalah jenis Bambusa multiplex Lour. yaitu sebesar 5,07% dengan jumlah

penemuan sebanyak 26 individu. Rendahnya INP spesies ini juga didukung oleh

frekuensi penemuan yang cukup jarang, dimana spesies ini ditemukan dalam

(23)

Spesies dengan INP tertinggi yang merupakan spesies dominan,

mencerminkan bahwa tingginya kemampuan spesies tersebut dalam

menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tempat tumbuh dan tingginya

kemampuan spesies tersebut dalam berkompetisi dengan spesies lain di

lingkungan tersebut. Sebaliknya, spesies dengan INP terendah menunjukkan

bahwa spesies tersebut kurang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya

dan kurang mampu berkompetisi dengan spesies lain di lingkungan tersebut.

Untuk mencapai persentasi INP yang tinggi, jumlah penemuan individu dan

frekuensi suatu spesies harus sama-sama tinggi dalam suatu areal pengamatan.

Suatu spesies yang memiliki kerapatan individu yang tinggi, belum tentu menjadi

spesies yang paling dominan dalam areal pengamatan, jika tidak didukung oleh

frekuensi penemuan spesies yang tinggi. Begitu juga sebaliknya, suatu spesies

dengan frekuensi penemuan yang tinggi belum tentu memiliki persentase INP

tertinggi, jika kerapatan individu spesies tersebut rendah. Jadi, jika kerapatan

relatif yang tinggi didukung oleh frekuensi relatif yang tinggi, maka suatu spesies

kemungkinan akan dapat menjadi spesies yang paling dominan atau paling

berpengaruh dalam ekosistemnya.

Pemanfaatan Bambu

Bambu merupakan tanaman yang memiliki manfaat yang sangat penting

bagi kehidupan. Menurut Batubara (2002), pada umumnya seluruh bagian dari

bambu dapat kita manfaatkan yakni mulai dari akar, daun, rebung sampai pada

batang. Adapun pemanfaatan bambu yang dilakukan dengan mengunakan

teknologi paling sederhana hingga teknologi tinggi. Hampir semua bagian bambu

(24)

banyak, penghargaan masyarakat terhadap sumberdaya ini masih kurang, bahkan

berbagai aspek pengetahuan tentang bambu banyak yang belum tergali secara

optimal.

Hasil observasi menunjukkan bahwa pemanfaatan bagian-bagian bambu

oleh masyarakat Desa Sihombu, Kecamatan Tarabintang, Kabupaten Humbang

Hasundutan hingga saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal dan hanya

dimanfaatkan secara terbatas. Misalnya untuk tepas, atap, tampi, saluran air,

kandang ayam dan bahan bangunan dan hanya jenis bambu tertentu saja yang

dimanfaatkan sebagai makanan. Berikut adalah pemanfaatan bambu menurut

jenisnya:

1. Bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae)

Pada umumnya, bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) dapat

tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi. Tipe pertumbuhan rumpun

simpodial, dengan batang yang tegak dan rapat. Tinggi bambu andong antara

15-30 m, dengan diameter buluh antara 5-15 cm dan panjang ruasnya 15-50 cm.

Klasifikasi bambu andong menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :

Nama lokal : Awi surat (sunda), buluh hukkum (Sumatera utara).

Nama Indonesia : Bambu andong

Genus : Gigantochloa

(25)

Gambar 4. Bambu andong

Masyarakat Desa Sihombu memanfaatkan bambu andong sebagai bahan

bangunan, atap, pancuran air, tangga yang digunakan untuk mengambil nira dan

kandang ayam. Bambu jenis ini cocok dijadikan sebagai bahan konstruksi ataupun

penyangga pa da bangunan. Karena bambu andong memiliki diameter buluh yang

relatif besar dan cukup kuat. Selain itu, bambu ini juga dapat digunakan sebagai

atap rumah yang biasanya terdapat di ladang. Sebelum dijadikan atap, terlebih

dahulu bambu dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan lalu dibelah

menjadi dua bagian. Kemudian ruas bagian dalam dibersihkan agar nantinya

bambu dapat diletakkan berhadapan. Setelah itu, bambu disusun sejajar dan saling

berhadapan.

(26)

Gambar 7. Tangga pengambilan nira Gambar 8. Kandang ayam

Peralatan yang digunakan masyarakat Desa Sihombu masih terbilang cukup

tradisional. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan bambu yang digunakan untuk

membuat saluran ataupun pancuran air. Untuk membuat pancuran air, bambu

yang digunakan harus sudah cukup tua dan berdiameter besar agar dapat

menyalurkan air hujan pada saat musim hujan. Bambu ditempatkan dekat dengan

sumber air agar dapat dengan mudah menyalurkan air.

Tangga yang digunakan untuk mengambil nira juga harus menggunakan

bambu yang berdiameter besar agar tangga yang dihasilkan lebih kokoh dan kuat.

Sedangkan untuk kandang ayam, yang digunakan adalah bambu muda. Tujuannya

adalah agar lebih mudah untuk dibentuk. Selain untuk perlatan rumah, bambu

andong juga dapat dikonsumsi. Bambu jenis ini merupakan bambu yang paling

sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain kegunaannya yang cukup beragam,

bambu andong juga memiliki kelimpahan yang relatif tinggi.

2. Bambu talang (Schizostachyum brachycladium Kurz.)

Bambu talang tumbuh membentuk rumpun simpodial dan memiliki ranting

yang cukup banyak pada setiap buku dan ukuran setiap ranting hampir sama.

(27)

buluh relatif tipis, berserat lemas dan mudah dibelah, warna batang

kekuning-kuningan, hijau muda atau hijau tua. Ranting-rantingnya pendek dan pada

buku-buku bagian tengah keatas ditumbuhi daun (Gerbono dan Abbas, 2009).

Klasifikasi bambu talang menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :

Nama lokal : Buluh nae (Sumatera utara)

Nama Indonesia : Bambu talang

Genus : Schizostachyum

Spesies : Schizostachyum brachycladium Kurz.

Gambar 9. Bambu talang

Di Indonesia minimal terdapat 10 jenis bambu yang cocok untuk dijadikan

bahan baku anyaman. Umur bambu yang paling baik untuk bahan baku anyaman

adalah ketika berumur 1-1,5 tahun. Bila bambu terlalu tua akan sulit untuk diraut,

sedangkan bila bambu terlalu muda akan mudah mengerut dan dimakan bubuk

(28)

Gambar 10. Pagar pembatas Gambar 11. tepas

Bambu talang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pagar pembatas antar

ladang dan juga untuk pembuatan tepas. Untuk pembuatan pagar pembatas,

bambu yang diambil harus cukup tua dan panjangnya sesuai dengan kebutuhan

yang diinginkan. Sedangkan untuk pembuatan tepas, bambu yang dibuat tidak

terlalu tua dan tidak terlalu muda. Karena jika bambu terlalu tua, maka akan susah

untuk diraut dan bila terlalu muda maka akan mudah terjadi kerusakan. Tepas

dimanfaatkan untuk dinding dan atap rumah. Kriteria usia bambu yang tumbuh

secara alami dapat dilihat dari warna buluh dan luruhnya pelepah.

Pembuatan satu lembar tepas berukuran 2 x 2 m membutuhkan 6 batang

bambu. Setelah bambu ditebang, bagian ujung dan pangkal bambu diratakan

dengan gergaji. Bambu yang telah diratakan tersebut, kemudian dipukul-pukul

dengan menggunakan kapak. Kemudian bagian dalam bambu dikupas dan

dibuang bagian dalamnya dengan menggunakan parang. Setelah selesai 6 batang

(29)

3. Bambu seruling (Schizostachyum latifolium Gamble)

Bambu seruling memiliki tipe rumpun simpodial dengan diameter buluh

5-7 cm dan panjang ruas 50-60 cm. Dinding buluh tipis dengan warna buluh hijau

kekuning-kuningan.

Klasifikasi bambu seruling menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :

Nama lokal : Buluh sullim (Sumatera utara)

Nama Indonesia : Bambu seruling

Genus :Schizostachyum

Spesies : Schizostachyum latifolium Gamble.

Gambar 12. Bambu seruling

Sesuai dengan ketebalan dinding, diameter dan panjang buluh, bambu dapat

dijadikan sebagai alat musik tradisional yang menghasilkan nada dan alunan suara

yang khas. Bambu dapat dibuat menjadi alat musik tiup, alat musik gesek maupun

alat musik pukul. Contoh yang dikenal adalah seruling, angklung, gambang,

calung, kentongan, dan lain-lain. Bambu seruling merupakan bambu yang terdapat

(30)

Pemilihan bambu menjadi salah satu faktor penentu keindahan suara. Untuk

dapat memperoleh suara yang indah, bambu yang digunakan adalah bambu yang

tumbuh di dataran tinggi supaya terkena angin. Selain dijadikan sebagai seruling,

bambu jenis ini juga dapat dijadikan bahan dalam pembuatan kandang ayam.

Gambar 13. Seruling Gambar 14. Kandang ayam

4. Bambu apus (Gigantochloa apus Kurz)

Bambu apus memiliki tinggi mencapai 20 m dengan warna batang hijau

cerah sampai kekuning- kuningan. Batangnya tidak bercabang di bagian bawah.

Diameter batang 2,5-15 cm, tebal dinding 3-15 mm, dan panjang ruasnya

45-65 cm. Panjang batang yang dapat dimanfaatkan antara 3-15 m. Bentuk batang

bambu apus sangat teratur dan memiliki tipe pertumbuhan rumpun simpodial.

Klasifikasi bambu apus menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :

Nama daerah : Awi tali (Sunda), buluh songa (Sumatera utara)

Nama Indonesia : Bambu apus

Genus : Gigantochloa

(31)

Gambar 15. Bambu apus

Bambu apus berbatang kuat, liat dan lurus. Jenis ini terkenal paling bagus

untuk dijadikan bahan baku kerajinan anyaman karena seratnya yang panjang,

kuat dan lentur. Beberapa masyarakat Desa Sihombu memanfaatkan bambu apus

untuk pembuatan tampi. Biasanya para pengrajin membagi setiap buluh menjadi

6 bagian, kemudian dibuat di atas perapian sampai berwarna agak kehitaman.

Belahan bambu tersebut kemudian direndam selama 2 malam agar mudah dibelah

menjadi 5-7 lembaran untuk kemudian dianyam menjadi tampi. Tampi tersebut

biasanya dapat tahan sampai 3 tahun, dimana hasil kerajinan tersebut digunakan

sendiri dan tidak diperjual belikan ke pasar. Apabila ada tetangga yang memesan,

(32)

Gambar 16. Tampi

5. Bambu lemang (Schizostachyum grandle Ridley)

Berbuluh tegak, berwarna hijau tua, tinggi buluh 7-15 m, diameter batang

7-10 cm, tebal dindingnya 3-5 mm, panjang ruas (jarak buku) 30-60 cm.

Klasifikasi bambu lemang menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :

Nama lokal : Buluh lomang (Sumatera utara)

Nama Indonesia : Bambu lemang

Genus :Schizostachyum

(33)

Kriteria pemanfaatan bambu secara umum untuk pembuatan lemang adalah

bambu yang akan dipanen agak muda dan tidak terlalu tua agar mudah dikerjakan

dan tidak mudah rusak pada saat dikerjakan. Selain itu, bambu yang muda juga

akan memberikan aroma yang khas. Tanda bambu lemang yang masih muda yaitu

bambu masih terbungkus pelepah dan warna bambu hijau kuning mengkilap.

Penebangan bambu dilakukan pada musim kemarau karena pada saat itu kadar air

bambu menurun.

6. Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.)

Asal usul bambu ini belum diketahui, ada yang menduga bahwa bambu

perling berasal dari Malaysia. Di Indonesia, jenis bambu ini tumbuh liar di

hutan-hutan di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Bambu perling menyukai tempat terbuka,

di dataran rendah dengan ketinggian di bawah 400 m dpl. Buluh bambu dapat

mencapai tinggi 12-15 m dengan diameter 5-10 cm, sehingga ujung buluh atas

biasanya terkulai ke bawah. Panjang ruas bambu mencapai 40-55 cm atau tidak

lebih dari 70 cm. Ketebalan bambu mencapai 4-7mm (Sastrapradja dkk., 1977).

Klasifikasi bambu perling menurut Widjaja (2001):

Nama lokal : Buluh hait (Sumatera utara)

Nama Indonesia : Bambu perling

Genus : Schizostachyum

(34)

Gambar 18. Bambu perling

Batang bambu Perling dapat digunakan untuk membuat dinding, tali, tirai

dan alat memancing. Bambu jenis ini tidak begitu dimanfaatkan oleh penduduk

desa. Beberapa orang memanfaatkan bambu perling untuk membuat kandang

ternak.

7. Bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.)

Bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.) tumbuh baik di tanah aluvial

tropis yang lembab dan basah, tetapi juga tumbuh di daerah kering di dataran

rendah maupun dataran tinggi. Pertumbuhan rumpun simpodial, tegak dan padat.

Tinggi bambu betung mencapai 30 meter, lurus dengan ujung melengkung,

diameter 8-15 cm, panjang ruas 30-40 cm, tebal dinding 1 cm. Pelepah buluh

mudah luruh tertutup buluh hitam hinggga coklat tua.

Klasifikasi bambu betung menurut Widjaja (2001) adalah sebagai berikut :

Nama lokal : Beto (manggarai), buluh godang (Sumatera utara).

Nama Indonesia : Bambu betung

(35)

Gambar 19. Bambu Betung

Bambu betung merupakan salah satu jenis bambu penghasil rebung. Rebung

merupakan kuncup bambu muda yang muncul dari dalam tanah yang berasal dari

akar rhizom maupun buku-bukunya. Rebung berwarna hitam keunguan, tertutup

bulu berwarna coklat hingga kehitaman. Umumnya rebung masih diselubungi

oleh pelepah buluh yang ditutupi oleh miang. Rebung ada yang berbentuk

ramping sampai agak membulat. Rebung dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pangan yang tergolong dalam jenis sayur-sayuran. Namun tidak semua jenis

bambu dapat dimanfaatkan rebungnya untuk bahan pangan, karena rasanya ada

yang pahit. rebung bambu betung terkenal paling enak karena rasanya manis,

sehingga masyarakat sekitar desa Sihombu sering memanfaatkannya sebagai

(36)

Gambar 20. Rebung Gambar 21. Atap

Gambar 22. Saluran air Gambar 23. Kentongan

Selain rebung, bambu betung juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan

saluran air, kentongan, wadah untuk menampung air, atap dan bahan bangunan.

Pemanfaatan bambu betung sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh bambu

tersebut, yaitu sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya

besar-besar dan ruasnya panjang. Menurut Frick (2004), bambu betung amat kuat

(37)

8. Bambu pagar (Bambusa multiplex Lour.)

Bambusa multiplex Lour. memiliki tipe pertumbuhan rumpun simpodial

sehingga menghasilkan rumpun yang rapat. Umumnya bambu jenis ini tumbuh

pada lahan kering dan lembab.

Klasifikasi bambu pagar menurut Widjaja (2001)

Nama lokal : Aor selat (Kalimantan Barat), buluh pagar (Sumatera

utara)

Nama Indonesia : Bambu pagar

Genus : Bambusa

Spesies : Bambusa multiplex Lour.

Gambar 24. Bambu pagar

Penduduk desa sering menanam bambu disekitar rumahnya untuk berbagai

keperluan. Bambu pagar dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias di pekarangan

rumah warga. Tanaman ini juga dimanfaatkan masyarakat sebagai pembatas

rumah antar tetangga. Pemanfaatan bambu sebagai tanaman hias dikarenakan

bambu pagar ini tidak tumbuh besar seperti bambu pada umumnya. Sifatnya yang

kerdil dan rumpun yang rapat membuat bambu ini digemari untuk dijadikan

(38)

Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat Desa Sihombu

menunjukkan bahwa banyaknya pengambilan bambu untuk tiap bulannya tidak

dapat dipastikan. Karena mereka mengambil bambu pada saat membutuhkan saja

dan bambu yang diambil biasanya tidak terlalu banyak. Sehingga tidak dapat

dikalkulasikan dalam bentuk angka. Karena intensitas pengambilan bambu yang

tidak terlalu banyak dan cepatnya pertumbuhan bambu, maka masyarakat

menganggap bahwa bambu tidak akan mengalami penurunan kuantitas.

Masyarakat Desa Sihombu tidak mengetahui status dari hutan tempat

mereka mengambil bambu. Sehingga mereka tidak pernah berpikir akan adanya

konsekuensi yang dapat mereka terima apabila mengambil hasil hutan secara

sembarangan. Akses yang digunakan oleh masyarakat untuk mengambil bambu

dari hutan ialah dengan berjalan kaki. Baik kendaraan roda dua maupun roda

empat tidak dapat masuk ke dalam kawasan hutan, karena medannya yang cukup

terjal. Sistem pengambilan bambu yang dilakukan masyarakat yaitu secara

perorangan, dengan jarak jelajah yang ditempuh yaitu >5 km/hari. Masyarakat

Desa Sihombu telah memanfaatkan bambu sejak lama, bahkan nenek moyang

mereka zaman dahulu juga telah memanfaatkan bambu sebagai tempat air minum

dan penyimpanan makanan.

Waktu yang dibutukan oleh warga dalam pengambilan bambu dari hutan

tidak begitu lama. Karena tempat tinggal mereka berada di sekitar kawasan hutan

tersebut, sehingga dalam pengambilan bambu tidak perlu bermalam di hutan

(pulang hari). Bambu yang dipungut dari hutan tidak dipasarkan oleh warga,

melainkan digunakan untuk kebutuhan pribadi. Hal ini disebabkan karena akses

(39)

Teknologi Pemanfaatan Bambu

Pengetahuan masyarakat di Desa Sihombu tentang teknologi pemanfaatan

bambu, baik berupa perlakuan sebelum pengerjaan maupun proses pengerjaannya

masih sederhana. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan masyarakat dan

pengamatan di lapangan, bahwa masyarakat masih mengolah bambu dengan cara

sederhana dan dengan menggunakan peralatan yang sederhana karena produk

yang dihasilkan hanya digunakan untuk keperluan rumah tangga.

Salah satu faktor yang mempengaruhi masa pakai produk bambu adalah

organisme perusak yang menyebabkan kerusakan dan menurunkan masa pakai

produk tersebut. Organisme perusak produk bambu yang diketahui penduduk

adalah jamur perusak bambu dan hama bubuk. Adapun metode tradisional yang

diketahui oleh masyarakat untuk meningkatkan masa pakai produk bambu antara

lain: merendam batang bambu dalam air tergenang, mengurangi kadar air bambu

melalui pengeringan dan pengasapan bambu.

Bambu yang akan digunakan sebagai bahan bangunan biasanya diberikan

perlakuan pengawetan sederhana yakni melalui perendaman dalam air tergenang.

Hal ini terlihat pada bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae) dan

bambu betung (Dendrocalamus asper) yang dimanfaatkan sebagai atap oleh

masyarakat. Sebelum dijadikan atap, bambu diberi perlakuan sederhana berupa

perendaman dalam air tergenang selama 3 hari. Manfaat dari perendaman adalah

untuk memperpanjang masa pakai bambu yang akan dijadikan atap.

Perlakuan secara tradisional lainnya yang diaplikasikan terhadap bambu

oleh masyarakat, dilakukan dengan cara pengasapan. Hal ini terlihat pada

(40)

dimana bambu yang akan dijadikan tampi dibelah menjadi 6 bagian terlebih

dahulu, lalu kemudian dilakukan pengasapan diatas perapian sampai warna bambu

tersebut kehitaman. Kegunaan dari pengasapan adalah agar bambu terhindar dari

bubuk kayu kering dan jamur pewarna sehingga masa pakainya dapat bertahan

lebih lama dan memiliki keindahan. Pada pembuatan tampi juga diberi perlakuan

berupa perendaman. Bambu yang telah diasapkan sebelumnya direndam selama 2

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Terdapat 8 spesies bambu dan terbagi ke dalam 4 genus yang ditemukan pada

Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu .

2. Spesis bambu yang paling dominan adalah Schizostachyum brachycladium

Kurz. dengan INP sebesar 75,84%. Sedangkan jenis bambu yang memiliki

kelimpahan jenis yang paling rendah adalah jenis Bambusa multiplex Lour.

dengan INP sebesar 5,07%.

3. Masyarakat Desa Sihombu memanfaatkan bambu secara tradisional yakni

sebagai bahan baku pembuatan tampi, kandang ternak, saluran air, atap,

seruling, tanaman hias dan untuk dikonsumsi.

Saran

Perlu diadakan penyuluhan untuk memberi pengertian dan menimbulkan

kesadaran masyarakat akan pentingnya pengawetan pada bambu sebagai usaha

(42)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan dan Manfaatnya

Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan

peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber daya alam yang banyak berpengaruh

terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan (No.41 tahun

1999) tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan

yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Awang dkk., 2001).

Manfaat hutan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu manfaat langsung

dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat

dirasakan, dinikmati secara langsung oleh masyarakat antara lain berupa kayu

yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan seperti rotan,

bambu, buah-buahan, madu, dan lain-lain. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat

yang secara tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi yang dapat

dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri seperti: mengatur tata air, mencegah

terjadinya erosi, memberikan manfaat terhadap kesehatan, pariwisata, estetika dan

memberikan manfaat dalam bidang pertahanan dan ketahanan.

Hutan Produksi Terbatas

Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

pengertian Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

(43)

Hutan Produksi Terbatas dalam pengertian Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia (No. 10 Tahun 2010) adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas

lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan

angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan hutan

lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.

Pengenalan Bambu

Bambu tumbuh menyerupai pohon berkayu, batangnya berbentuk buluh

berongga. Tanaman bambu memiliki cabang-cabang (ranting) dan daun buluh

yang menonjol (Gerbono dan Abbas, 2009).

Menurut Barli (1999) dalam Pasaribu (2007), bambu memiliki keunikan dan

keindahan tersendiri sebagai pengganti kayu. Secara anatomis, bambu berbeda

dengan kayu. Profil bambu antara lain sebagai berikut:

1. Bentuk batang bulat, lancip dan tidak ada pertumbuhan ke samping (radial

growth) seperti pada kayu.

2. Batangnya melengkung di bagian ujung sebagai akibat beban daun. Bagian

batang yang lurus kurang lebih 2/3 dari keseluruhan panjang batang.

3. Batangnya berlubang, berbuku, beruas, kuat, ulet dan mudah dibelah atau

disayat.

4. Kulit batang tidak mengelupas, melekat kuat dan sukar ditembus oleh cairan.

Pengulitan relatif sukar dan sampai saat ini belum ada alat mekanis yang

dapat dipakai.

5. Dalam keadaan utuh, relatif sukar atau lambat kering. Apabila pengeringan

(44)

Pertumbuhan jenis bambu sangat khas, membentuk rumpun yang tumbuh

lurus dan bercabang ke samping. Daunnya kecil-kecil, lonjong dan berujung

runcing. Tanaman bambu jarang sekali sampai berbunga atau berbuah, kecuali

bila dibiarkan tumbuh terus sampai bertahun-tahun lamanya. Batang bambu

memiliki warna yang bermacam-macam menurut jenisnya. Pada umumnya bambu

berwarna hijau tua. Jika sudah tua, kulit batangnya membentuk bulatan-bulatan

putih kecil-kecil. Ada jenis bambu yang batangnya tidak begitu tebal, akan tetapi

ada pula yang tebal sekali, misalnya bambu betung (Tantra, 2003).

Potensi Bambu

Bambu merupakan tanaman tahunan yang diberi julukan rumput raksasa.

Penghasil rebung ini termasuk dalam famili rumput-rumputan dan masih

berkerabat dekat dengan padi dan tebu. Tanaman bambu dimasukkan ke dalam

subfamili bambusoideae. Dalam klasifikasi selanjutnya bambu terdiri dari

beberapa marga atau genus dan setiap marga memiliki beberapa jenis atau spesies.

(Berlian dan Estu, 1995).

Menurut Widjaja (2001), di dunia terdapat sekitar 1200-1300 jenis bambu

sedangkan menurut data lapangan dan laboratorium bahwa bambu di Indonesia

diketahui terdiri atas 143 jenis. Berdasarkan data di atas dapat dipastikan bahwa

bambu merupakan sumber daya yang sangat melimpah dan memiliki

keanekaragaman yang cukup tinggi. Namun, kenyataan yang terjadi adalah tidak

semua jenis bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik.

Menurut Sutiyono (2006), di seluruh dunia terdapat 1.500 jenis bambu yang

berasal dari 75 marga. Dari jumlah tersebut di Indonesia diperkirakan ada 76 jenis

(45)

(19 jenis), Cephalostachyum (1 jenis), Chimonobambusa (2 jenis),

Dendrocalamus (6 jenis), Dinochloa (1 jenis), Gigantochloa (18 jenis), Melocana

(1 jenis), Nastus (3 jenis), Neololeba (1 jenis), Phyllostachys (3 jenis),

Pleioblastus (2 jenis), Pseudosasa (1 jenis), Schizostachyum (14 jenis),

Semiarundinaria (1 jenis), Shibatea (1 jenis), dan Thyrsostachys (1 jenis). Dari 76

jenis tersebut, kelompok Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa merupakan

yang paling banyak dijumpai dan dimanfaatkan. Jenis-jenis yang sudah

dimanfaatkan tersebut umumnya jenis bambu yang berukuran sedang sampai

besar dengan karakteristik batangnya berdiameter > 5 cm dan tebal dinding

>1cm.

Klasifikasi Bambu

Adapun jenis-jenis bambu di Indonesia yang telah diketahui menurut

Sastrapradja dkk. (1977) dalam Manalu (2008), dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jenis-jenis Bambu yang tumbuh di Indonesia

No Nama Botanis Sinonim Nama lokal dan

penyebaran 1. Bambusa atra Lindley Bambusa lineata Munro Loleba (Maluku,

Bambusa rumphiana Kurz Nena (Shanghai) Dendrocalamus latifolius

Laut & K. Shum

2. Bambusa amahussana - Nitu (Ambon)

Lindley

3. Bambusa bambos (L) Arendo bambos L Bambu duri

Voss Bambusa arundinacea (Indonesia), Pring ori

(Retz) Willd (Jawa)

Bambusa spinosa Roxb

4. Bambusa blumeana Bambusa spinosa Blume Bambu duri J. A & J. H. Schultes ex ness (Indonesia), Haur

Bambusa purens Blanco cucuk (Sunda), Pring Bambusa arundo Blanco gesing (Jawa)

5. Bambusa forbesii - Sasa, akoya, warire

(Ridley) Holtum (Irian)

(46)

(Lour) Raeuschel ex Bambusa nana (Roxb) Krisik putih, Bambu J.A. & J.H. Schultes Bambusa glaucescens pagar, Bambu cina

(Willd) Sieb ex Munro (Indonesia), Aor selat (Kalimantan Barat) 7. Bambusa tuldoides Bambusa pallescens Bambu krisik hijau,

Munro (Doell) Hackel Krisik

Bambusa vertricosa Mc. Clure Bambusa longiflora W.T. Lin

8. Bambusa vulgaris Bambusa thouarsii Kunth Ampel hijau tua, Schrad ex Wendl Bambusa surinamensis Ampel hijau muda,

Ruprecht Pring gading, Pring tutul (Indonesia) 9. Dendrocalamus asper Bambusa asperaSchultes Bambu petung

(Roem. & Schultf.) Dendrocalamus flagelifer (Indonesia), Petung Backer ex Heyne. Gigantochloa aspera coklat (Bengkulu),

Schultes F. Kurtz Petung hijau Dendrocalamus (Lampung), Petung merrilianus (Elmer) hitam (Banyuwangi) Elmer

10. Dendrocalamus Bambusa gigantea Bambu sembilang

giganteus Wallich ex. Wallich (Indonesia)

Munro (figure-1) & figure-2

11. Dendrocalamus Bambusa latiflora Bambu taiwan latiflorus Munro (Munro) Sinoca lamus (Indonesia)

latiflorus (Munro) Mc Clure

12. Dinochloa scadens - Cangkoreh (Sunda)

13. Gigantochloa - Buluh apo (Sumatera

Achmadii Barat)

14. Gigantochloa apus Bambusa apus J.A. & Bambu tali

Kurz Schultes (Indonesia)

Gigantochloa Kurzii Gamble

15. Gigantochloa Gigantochloa verticillata Bambu hitam atroviolacea Widjaja (Willd) sensu Backer (Indonesia), Pring

wulung (Jawa), Awi 16. Gigantochloa atter Bambusa thouarsii Kunth Bambu ater

(Hassk) Kurz ex var atter Hassk (Indonesia), Pring Munro Gigantochloa verticillata benel, Pring jawa

(Wild) Munro sensu (Jawa), Awi temen

(47)

K.M. Wong (Kalimantan)

18. Gigantochloa Gigantochloa Awi lengka tali

hasskarliana (Kurz) hasskarlianum Kurz (Sunda), Bulok busi (Dayak), Buluh sorik (Tapanuli).

19. Gigantochloa levis Bambusa levis Blanco Pring peting

(Blanco) Gigantochloa (Banyuwangi), Buluh

scribneriana Merril suluk (Kalimantan Dinochloa curranii Selatan)

Gamble

20. Gigantochloa - Pring manggong

manggong Widjaja (Banyuwangi)

21. Gigantochloa Bambusa nigrociliata - nigrociliata (Buse) Buse oxytenan thera

nigroci liata Buse Munro

22. Gigantochloa pruriens - Buluh belangke,

Widjaja buluh regen (Karo),

Buluh yakyak (Gayo) 23. Gigantochloa Bambusa pseudoarun Awi andong besar,

Pseudoarundinacea dinacea Steudel Andong leutik, (Steudel) Widjaja Gigantochloa verticillata Andong kapas,

(Wild) Munro Andong batu (Sunda), Gigantochloa maxima Pring gombong, Pring

Kurz surat (Jawa)

24. Gigantochloa ridleyi - Tiying, Tiying aya

Holtum (Bali)

25. Gigantochloa robusta Gigantochloa verticillata Awi mayan (Sunda),

Kurz (Willd) Munro sensu Pring serit (jawa)

Backer

26. Gigantochloa - Buluh kapal

Scortechinii (Bengkulu)

27. Gigantochloa wrayi Gigantochloa kurzii Buluh dabo

Gamble Gamble (Sumatera)

28. Nastus elegntissimus - Awi eul-eul (Sunda)

29. Phyllostachys aurea Phyllostachys Pring cendani (Jawa), Carr. ex A & Riviere bambusoides Sieb & Awi uncue (Sunda)

Zucc. var aurea (A&C) Riviere Makino

Phyllostachys formosana Hayata

30. Schizostachyum Melocana zollinger Awi tamiyang blumei Ness Steudel var. longispi (Sunda)

(48)

ex Munro) Kurz

31. Schizostachyum - Bambu lemang

brachycladun Kurz kuning, Lemang hijau

(Indonesia), Buluh tolang, Buluh sero (Maluku), Pring lampar (Banyuwangi)

32. Schizostachyum - Buluh bungkok, buluh

caudatum Backer batu (Sumatera

selatan)

33. Schizostachyum - Buluh alor (Bintan)

Gracile

34. Schizostachyum - Buluh lemang

grandle Ridley (Sumatera)

35. Siraten steudel Schizostachyum biflorum Awi bunar (Sunda),

McClure Pring wuluh (Jawa)

36. Schizostachyum Schizostachyum Buluh suling latifolium Gamble longisipiculatum (Kurz ex (Sumatera utara)

Munro) Kurz sensu, Holtum ochlandran ridleyi Gamble, Schizostachyum ridleyi (Gamble) Holtum

37. Schizostachyum lima Bambusa lama (Blanco), Buluh toi (Maluku)

(Blanco) Schizostachyum hallieri

Gamble

Sumber : LBN-LIPI, Beberapa Jenis Bambu (1977)

Identifikasi Bambu

Orang sering mengalami kesulitan dalam mengenal jenis bambu, karena

kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Bagi pakar taksonomi, perbungaan

merupakan bagian terpenting untuk membedakan jenis tumbuhan, namun karena

bambu jarang berbunga, maka cara lain mengidentifikasi bambu adalah

menggunakan ciri morfologinya. Ciri morfologi bambu tersebut, misalnya rebung,

pelepah buluh dan sistem percabangannya (Widjaja, 2001).

Ciri morfologi bambu dan istilah yang biasa digunakan dalam identifikasi

(49)

(1) Akar rimpang

Akar rimpang ada di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang

khas. Ada dua macam akar rimpang (Gambar 1.), yaitu pakimorf yang

dicirikan oleh akar rimpang yang simpodial dan leptomorf yang dicirikan

oleh akar rimpang yang monopodial.

Pakimorf-Simpodial Leptomorf-Monopodial

Gambar 1. Akar rimpang (Widjaja, 2001).

(2) Rebung

Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal

buluh yang tua. Setiap bambu mempunyai ciri khas warna pada ujung rebung

dan bulu-bulu pada pelepahnya.

(3) Buluh

Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi

maksimum dalam beberapa minggu. Buluh dibedakan berdasarkan ukuran

ruas (panjang atau pendek), diameter, bentuk tumbuh (tegak atau merambat),

keadaan buku-buku pada bagian pangkal buluh (halus atau kasar), keadaan

permukaan ruas buluh muda (gundul atau lebat).

(50)

Pelepah buluh merupakan modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas,

terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula. Pelepah

buluh berfungsi untuk menutupi buluh ketika muda.

(5) Percabangan

Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku.

(6) Helai daun dan pelepah daun

Helai daun bambu mempunyai daun yang sejajar seperti rumput dan setiap

daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Helai daun dihubungkan

dengan pelepah oleh tangkai daun yang pendek atau bisa panjang. Kuping

pelepah bisa berukuran besar, kecil atau tidak tampak. Kuping pelepah daun

mempunyai bulu kejur yang panjang atau gundul.

Syarat Tumbuh Bambu

Pertumbuhan bambu tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan.

Dengan demikian perlu diketahui faktor-faktor yang berkaitan dengan syarat

tumbuh tanaman bambu. Tanaman ini akan tumbuh dengan baik di tempat yang

sesuai umtuk pertumbuhannya. Menurut Berlian dan Estu (1995) faktor

lingkungan tersebut meliputi kondisi iklim dan jenis tanah.

1. Iklim

Lingkungan yang sesuai untuk tanaman bambu adalah yang bersuhu sekitar

8,8-36oC. Tanaman bambu bisa dijumpai mulai dari dataran rendah sampai

dataran tinggi, dengan ketinggian 0 sampai 2000 m dpl. Walaupun demikian,

tidak semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik pada semua ketinggian

tempat. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimal 1.020

(51)

2. Tanah

Bambu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berat sampai

tanah ringan, tanah kering sampai tanah basah dan dari tanah subur sampai tanah

kurang subur. Juga dari tanah pegunungan yang berbukit terjal sampai tanah yang

landai. Perbedaan jenis tanah dapat berpengaruh terhadap kemampuan perebungan

bambu. Tanaman bambu dapat tumbuh pada tanah yang bereaksi masam dengan

pH 3,5 dan pada umumnya menghendaki tanah yang pH-nya 5,0 sampai 6,5. Pada

tanah yang subur tanaman bambu akan tumbuh dengan baik karena kebutuhan

makanan bagi tanaman tersebut akan terpenuhi.

Tipe Pertumbuhan

Dari sekitar 75 genus terdiri dari 1.500 spesies bambu di seluruh dunia, 10

genus atau 125 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Berdasarkan sistem

percabangan rimpang, genus tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian.

Pertama, genus yang berakar rimpang dan tumbuh secara simpodial, termasuk

didalamnya genus Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum.

Kedua, genus berakar rimpang dan tumbuh secara monopodial (horizontal) dan

bercabang secara lateral sehingga menghasilkan rumpun tersebar, diantaranya

genus Arundinaria (Duryatmo, 2000).

Pemanfaatan Bambu

Bambu merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

ekonomi masyarakat. Sampai saat ini bambu sudah dimanfaatkan sangat luas,

mulai dari penggunaan teknologi yang paling sederhana sampai pemanfaatan

teknologi tinggi pada skala industri. Pemanfaatan di masyarakat umumnya untuk

(52)

industri biasanya ditujukan untuk orientasi ekspor. Pada umumnya seluruh bagian

dari bambu dapat kita manfaatkan yakni mulai dari akar, daun, rebung sampai

pada batang. Adapun pemanfaatan bambu yang dilakukan dengan mengunakan

teknologi paling sederhana hingga teknologi tinggi diantaranya adalah: bambu

lapis, bambu lamina, papan semen, arang bambu, pulp, kerajinan dan handicraft,

supit, furniture dan perkakas rumah tangga, komponen bangunan dan rumah,

sayuran dan bahan alat musik tradisional (Batubara, 2002).

Secara garis besar pemanfaatan batang bambu dapat digolongkan dalam dua

hal yaitu:

1. Berdasarkan bentuk bahan baku, yaitu:

a. Bambu yang masih dalam keadaan bulat, umumnya digunakan untuk

tiang pada bangunan rumah sederhana.

b. Bambu yang sudah dibelah, umumnya digunakan untuk dinding rumah,

rangka atap (yang terbuat dari ijuk atau rumbia), sumpit, kerajinan tangan

dan lain sebagainya.

c. Gabungan bambu bulat dan sudah dibelah serta serat bambu, umumnya

digunakan untuk aneka kerajinan tangan, misalnya keranjang, kursi, meja

dan lain-lain.

2. Berdasarkan penggunaan akhir yaitu untuk konstruksi dan non konstruksi

(Berlian dan Estu, 1995).

Menurut BAPEDAL (2010), manfaat bambu tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat ekonomi

(53)

b. Sebagai bahan dasar bagi kerajinan rakyat untuk membuat alat-alat

rumah tangga seperti meuble, hiasan dan alat-alat dapur.

c. Memenuhi kebutuhan konsumen domestik dan mancanegara (Taiwan,

Singapura dan Hongkong) yaitu sebagai alat bantu makan seperti sumpit

dan pencukil gigi yang terbuat dari bambu.

d. Rebung bambu merupakan salah satu bahan pangan dari penduduk di

Jawa Timur khususnya dalam bentuk sayuran bambu.

e. Bambu banyak dimanfaatkan pula sebagai bahan pembuatan pulp yang

berkualitas tinggi.

f. Bambu dapat pula dipakai sebagai bahan obat-obatan. Ilmu pengobatan

tradisional banyak menggunakan bambu sebagai bahan bakunya baik dari

daun, kulit luar dan kulit dalam dari batang dan rebungnya. Contohnya

rebung bambu kuning dapat digunakan untuk obat sakit kuning (Lever).

2. Manfaat ekologi (lingkungan hidup)

a. Bambu mempunyai pertumbuhan yang cepat, sistem perakaran yang kuat

dan luas sehingga dapat mencegah erosi, tanah longsor dan banjir.

b. Penanaman bambu pada hamparan lahan kritis yang luas diharapkan akan

dapat meningkatkan daya dukung lingkungan.

c. Sebagai tanaman yang memiliki total luas daun yang besar dan berbulu

halus serta mempunyai jaringan akar yang luas, maka tanaman bambu

dapat ikut menyerap dan mengikat berbagai bahan dan gas pencemar di

udara, tanah dan air.

d. Asli dari Indonesia, sehingga bambu mempunyai peranan penting dalam

(54)

e. Dengan bentuk dan jenisnya yang beranekaragam bambu dapat digunakan

sebagai tanaman hias di perkotaan, sehingga dapat menambah keindahan

dan kesejukan lingkungan.

f. Dalam komunitas yang luas bambu dapat menjadi habitat berbagai jenis

satwa liar seperti burung, bajing dan lain-lain.

Bambu merupakan suatu ekosistem yang unik dengan fungsi

bermacam-macam dan terdiri dari :

a) Fungsi hidrologis

Fungsi hidrologis yaitu menjaga ketersediaan sumber air tanah, sebagai

penahan erosi guna mencegah bahaya banjir, serta mempertahankan kelestarian

lingkungan hidup.

b) Fungsi ekonomis

Fungsi ekonomis yaitu sebagai sumber bahan bangunan (tiang rumah, atap

rumah dan dinding rumah), bahan kerajinan tangan, makanan, obat-obatan dan

bahan selulosa pembuatan kertas serta produk ekonomis lainnya.

c) Fungsi sosial

Fungsi sosial ini berupa pemberian cuma-cuma bagi yang

membutuhkannya, hal ini dapat dilihat dari pedesaan.

d) Fungsi pertahanan

Fungsi pertahanan ini dapat dikatakan sangat tradisional dan bersifat

(55)

Kelebihan Bambu

Bambu mudah menyesuaikan diri dengan kondisi tanah dan cuaca yang ada.

Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran lebih kecil dibandingkan

dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini, tumbuh akar akar yang

memungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap

ruasnya, disamping tunas-tunas rimpangnya. Menurut Wahyudin (2008),

setidaknya ada tiga kelebihan bambu jika dibandingkan dengan tanaman

kayu-kayuan, antara lain:

1. Tumbuh dengan cepat

Bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dalam waktu yang singkat

dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu dapat

bertambah panjang 30-90 cm. Rata-rata pertumbuhan bambu untuk mencapai usia

dewasa dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu memiliki mutu dan

kekuatan yang paling tinggi. Bambu yang telah dipanen akan segera tergantikan

oleh batang bambu yang baru. Hal ini berlangsung secara terus menerus secara

cepat sehingga tidak perlu dikhawatirkan bambu ini akan mengalami kepunahan

karena dipanen. Berbeda dengan kayu, setelah ditebang akan memerlukan waktu

yang cukup lama untuk menggantinya dengan pohon yang baru.

2. Tebang pilih

Bambu yang telah dewasa yakni umur 3-6 tahun dapat dipanen untuk

digunakan dalam berbagai keperluan. Dalam pemanenan dapat dilakukan dengan

dua cara yaitu dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Tebang habis yaitu

menebang semua batang bambu dalam satu rumpun baik batang yang tua maupun

(56)

bambu yang berbeda-beda dan tidak sesuai dengan yang diinginkan, selain itu

akan memutuskan regenerasi bambu itu sendiri. Metode tebang pilih adalah

metode penebangan berdasarkan umur bambu. Metode ini sangat efektif karena

akan didapatkan mutu bambu yang sesuai dengan yang diinginkan dan

kelangsungan pertumbuhan bambu akan berjalan tetap.

3. Meningkatnya volume air bawah tanah

Tanaman bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini

menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan

dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu

dapat menyerap air hujan hingga 90%.

Kelemahan Bambu

Kelemahan bambu terdapat pada sifat dari keawetannya. Keawetan bambu

adalah daya tahan bambu terhadap berbagai faktor perusak bambu terhadap

serangan rayap, kumbang bubuk atau hama bubuk dan jamur perusak bambu.

Ketahanan alami bambu lebih rendah dibandingkan dengan kayu. Ketahanan

bambu tergantung pada kondisi iklim dan lingkungan. Bambu tanpa perlakuan

khusus dapat bertahan antara satu sampai tiga tahun jika berinteraksi dengan tanah

dan udara, jika berinteraksi dengan air laut usianya kurang dari satu tahun. Jika

diawetkan usianya bisa mencapai 4-7 tahun dan dalam kondisi tertentu bisa

mencapai 10-15 tahun (Swara, 1997).

Teknologi Pemanfaatan Bambu

Bambu yang telah ditebang adakalanya tidak langsung digunakan sehingga

perlu disimpan terlebih dahulu. Cara penyimpanan bambu perlu diperhatikan agar

(57)

tempat yang mempunyai pertukaran udara yang baik, kering dan tidak

terpengaruh oleh angin atau hujan. Cara penyimpanan bambu yang baik adalah

disandarkan pada dinding. Tempat penyimpanan yang terlalu lembab atau tempat

terbuka dapat menurunkan kualitas bambu (Duryatmo, 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi umur pakai bambu antara lain: waktu

tebang, umur saat tebang, kandungan pati, pengeringan, cara penyimpanan, iklim

dan serangan organisme perusak. Serangan organisme perusak, misalnya bubuk

kayu kering, jamur dan rayap merupakan kendala yang sering dihadapi berkaitan

dengan penggunaan bambu. Akibat serangan itu, muncul cacat fisik berupa warna

yang tampak kotor dan lapuk (Duryatmo, 2000).

Penebangan bambu sebaiknya dilakukan pada saat umur tanaman sudah

cukup untuk ditebang/ dipanen, pada umumnya dilakukan setelah bambu berumur

3 tahun. Bambu yang ditebang pada usia yang belum cukup tua dapat

mengakibatkan terjadinya penyusutan yang besar. Di samping itu, dalam

pemanenan bambu juga harus memperhatikan musim saat berkurangnya hama

bambu. Biasanya hama bambu berkurang pada awal hingga akhir musim kemarau,

yaitu pada bulan April sampai Juni. Pada musim kemarau, kandungan zat pati

yang juga disukai oleh kumbang bubuk akan menurun akibat transpirasi

(Berlian dan Estu, 1995).

Dalam rangka meningkatkan nilai ekonomis bambu dan meningkatkan masa

pakainya, maka perlu dilakukan pengawetan. Dalam pengawetan bambu dikenal

dua metode pengawetan yaitu pengawetan bambu tanpa bahan kimia (metode

tradisional) dan pengawetan bambu dengan bahan kimia. Metode pengawetan

(58)

Metode ini paling sering digunakan, mudah pelaksanaannya, ekonomis, serta

bersahabat dengan lingkungan meskipun beberapa hasil penelitian menunjukkan

bahwa metode tersebut hanya efektif terhadap serangan bubuk kayu kering

(Nandika dkk., 1994).

Pengeringan merupakan salah satu cara memperpanjang masa pakai bambu.

Batang bambu yang telah ditebang sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu.

Pengeringan bambu yang baik adalah dengan cara diangin-anginkan di udara

terbuka atau di tempat yang teduh. Pengeringan langsung dengan penjemuran di

bawah sinar matahari langsung sebaiknya dihindarkan karena bambu akan retak

sehingga mengurangi mutu (Berlian dan Estu, 1995).

Menurut Krisdianto dkk. (2000), beberapa teknologi pengawetan alami yang

sering digunakan adalah pengasapan, pelaburan dan perendaman (termasuk

metode perebusan).

1.Pengasapan

Teknologi pengawetan ini meskipun sederhana tetapi sudah terbukti

keunggulannya. Bambu yang digunakan sebagai rangka atap dapur yang

senantiasa terkena asap terbukti lebih tahan lama dan mampu bertahan

hingga 15 tahun.

2.Pelaburan

Bahan yang dimanfaatkan untuk melabur bambu antara lain aspal, kapur

dan minyak tanah. Caranya bahan-bahan tersebut dilaburkan pada potongan

(59)

3.Perebusan

Metode ini akan membuat bambu resisten terhadap serangan organisme

perusak. Pengawetan dengan perebusan dikaitkan dengan sifat zat pati.

Menurut matangaran (1987) dalam Nandika dkk. (1994), zat pati pada

bambu tidak hanya dapat terurai oleh enzim yang dihasilkan bakteri tetapi

juga oleh suhu dan air. Dengan merebus bambu pada temperatur 550C-600C selama 10 menit atau lebih akan dapat mengurai pati menjadi gelatin

sempurna, yang selanjutnya terurai menjadi amilosa dan larut dalam air.

4.Perendaman

Pengawetan bambu dengan cara merendam dibedakan menjadi tiga,

yaitu dalam air tergenang, air mengalir dan lumpur. Perendaman dalam air

mengalir lebih banyak dilakukan dibandingkan dalam air menggenang

sebab dapat mencegah bau busuk.

Selain metode pengawetan alami, metode pengawetan dengan bahan kimia

juga dapat dilakukan untuk memperpanjang umur pakai bambu. Metode

pengawetan yang umum dilakukan dengan bahan kimia adalah metode rendaman.

Bahan pengawet yang digunakan biasanya Wolmanit CB, TCB, ACC, boraks atau

asam borat. Pemakaian bahan kimia ini akan menurunkan serangan faktor

perusak. Bahan pengawet tidak mempengaruhi kekuatan bambu

Gambar

Gambar 2. Peta Lokasi Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu
Gambar 3. Bentuk jalur inventarisasi bambu
Tabel 2. Jenis  bambu   yang   ditemukan   di Hutan  Produksi  Terbatas Desa Sihombu.
Tabel 3. Data analisis vegetasi bambu di Hutan Produksi Terbatas Desa Sihombu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk umum perintah SQL untuk menghapus suatu record atau data dari tabel adalah sebagai berikut :. DELETE FROM nama_tabel [ WHERE

Madiun yang bersumber dana dari daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) MIN Bancong Tahun Anggaran 2O1.2 dengan Harga Perkiraan Sendiri GPS) sebesar Rp.. 252340000,

Perencanaan, Pertemuan kelima pada siklus III materi pembelajaran diawali dengan sedikit mengulang materi pada siklus II kemudian dilanjutkan pada materi Mencontohkan

Jika status guru dalam pelaksanaan penelitian sebelumnya adalah guru sekolah yang menjadi objek penelitian dan kemudian dipromosikan/dimutasikan ke sekolah lain ataupun

Pada bab ini akan dibahas mengenai homomorfisma grup beserta sifat-sifatnya, termasuk diantaranya tiga Teorema Utama Homomorfisma.. termasuk diantaranya tiga Teorema

Makhluk hidup Mempunyai komposisi kimia tertentu yang terdiri dari unsur – unsur Karbon , Hidrogen , Oksigen , Nitrogen , Belerang , atau Sulfur , Fosfor dan sedikit Mineral.

Molekul air, lemak, dan gula dalam makanan akan menyerap energi dari gelombang mikro tersebut dalam sebuah proses yang disebut pemanasan dielektrik.. Kebanyakan molekul adalah dipol

dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik