• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat penganngguran dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat penganngguran dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah"

Copied!
307
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN

INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH

DISERTASI

EVI LISNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Guru bagiku adalah ibarat bulan purnama yang bersinar di tengah

kegelapan malam

Ilmu membuat pemiliknya dapat membedakan yang salah dengan yang benar,

Ilmu merupakan cahaya menuju surga, Ilmu adalah teman di tengah padang pasir,

Ilmu adalah teman dalam kesunyian,

Ilmu adalah pendamping saat kita tidak ada teman, Ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan, Ilmu membuat kita tabah dalam kesulitan.

(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala

pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan

ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan

rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program

sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan

telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2007

EVI LISNA

(4)

Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era Otonomi Daerah

(BONAR M. SINAGA selaku Ketua, SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan

HERMANTO SIREGAR selaku Anggota Komisi Pembimbing).

Kebijakan ketenagakerjaan secara langsung mempengaruhi pasar tenaga kerja dan kondisi perekonomian makro. Isu kebijakan ketenagakerjaan masih menjadi topik penting untuk dibahas di era otda karena kebijakan ketenagakerjaan merupakan masalah yang sensitif bagi buruh. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda, (2) menganalisis faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja dan perekonomian lndonesia, (3) mengevaluasi dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2001-2004, dan (4) meramalkan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2007-2010.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dibangun model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 34 persamaan struktural dan 18 persamaan identitas. Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1980-2004. Data dianalisis dengan analisis deskriptif, model ekonometrika, simulasi historis dan peramalan yang menggunakan berbagai alternatif skenario kebijakan. Model diestimasi dengan metode 2SLS menggunakan prosedur SYSLIN. Simuasi historis dan peramalan menggunakan prisedur SIMNLIN.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) beberapa kelemahan Undang-Undang Ketenagakerjaan era otda cenderung menghambat penyelesaian perselisihan hubungan industrial, (2) meskipun upah minimum ditargetkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh di semua tingkatan, peningkatan tingkat pengangguran dan inflasi dan pada akhirnya menurunkan GDP, (3) peningkatan kebijakan penyesuaian upah minimum, peningkatan kekuatan serikat pekerja dan peningkatan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa berpengaruh nyata terhadap investasi, penawaran agregat, pengangguran dan inflasi, dan (4) diperkirakan upaya mencari solusi penyelesaian masalah hubungan industrial, penurunan suku bunga dan pengeluaran infrastruktur tahun 2007-2010 akan lebih efektif untuk menstimulasi peningkatan investasi dan produksi agregat serta penurunan tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Bila pemerintah tetap mempertahankan kebijakan upah minimum di era otda maka bersama dengan serikat buruh dan pihak pengusaha perlu melakukan: (1) evaluasi kembali penetapan upah minimum, (2) kontrol terhadap kekuatan serikat pekerja dan (3) upaya peningkatan produktifitas TK agar tidak memperburuk tingkat pengangguran dan perekonomian 2007-2010 mendatang.

(5)

EVI LISNA. The Impact of Labour Policy on Unemployment and The Indonesian Economy in The Era of Regional Autonomy (BONAR M.

SINAGA as Chairman, SJAFRI MANGKUPRAWIRA and HERMANTO

SIREGAR as Members of the Advisory Committee).

Labour policy directly influences labour market and macroeconomic condition. The issue of labour policy is still an important topic to be discussed in the era of regional autonomy since it is a sensitive problem for the labours. The objectives of this study are: (1) to evaluate the issues of labour policy in the era of regional autonomy, (2) to analyze the influence of labour policy to labour market and the Indonesian economy, (3) to evaluate the expost impacts of some alternative labour policies on unemployment and Indonesian economy in the era of regional autonomy (2001-2004), and (4) to forcast the exante impacts of some alternative labour policies on unemployment as well as Indonesian economy in the era of regional autonomy (2007-2010).

To reach those objectives, a simultaneous equation model containing 34 stuctural equations and 18 identity equations is constructed. The analysis used annual time series data for the period 1980-2004. The descriptive analysis, econometric model, historical and forcasting simulation using various alternative policy scenarioes were used to analyze the data. The model was estimated by using 2SLS Method and SYSLIN Procedure of the SAS package. Historical and forcasting simulation used the SIMNLIN Procedure.

The research conclude that: (1) some weakness points of labour legislation tend to obstruct the solution of industrial relation issues in the era of regional autonomy, (2) although it is targeted to the labors without any experience and have zero hour of work, minimum wage creates an increase for all the average wages of labor at all level, increases unemployment level as well as inflation, and decreases the GDP, (3) an increase of minimum wage policy, emergence of labour union and strike cases affect significantly investment, agregate supply, unemployment and inflation, and (4) solving industrial relation issues, decreasing interest rate as well as increasing government expenditure on infrastructure are potential to increase investment and agregate supply as well as to decrease unemployment and inflation for the 2007-2010 period. Further, it is important to consider the emergence of labor unions to participate in deciding and evaluating the labour policy hoping that it will help encouraging changes of labour policies toward a better condition for the welfare of the labours, the continuity of the business as well as a better condition for the Indonesian economy (2007-2010).

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(7)

TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN

DAN PEREKONOMIAN INDONESIA

DI ERA OTONOMI DAERAH

EVI LISNA

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama Mahasiswa : Evi Lisna

Nomor Pokok : A 161020041

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua

Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Penulis dilahirkan di Aceh Timur sebagai anak kedua dari Ayahanda

almarhum H. M. Natsir Muchlis dan Ibunda almarhumah Sakinah Usman.

Pada tahun 1986 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3

Banda Aceh. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1991 di Jurusan Sosial

Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Pada

semester akhir kuliah, penulis lulus seleksi sebagai mahasiswa penerima

ikatan dinas dosen dan tahun 1991 diangkat sebagai Staf Pengajar di Jurusan

Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Nanggroe Aceh

Darussalam. Pada Tahun 1996 penulis mendapat kesempatan tugas belajar di

Marketing Laboratory, Agricultural Social Economics Department, Faculty

of Agriculture, Kyushu University, Jepang, dan selesai tahun 1998. Pada

tahun 2002 penulis menempuh Program Doktor di Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menikah dengan Dr. Ir. Sofyan Samsudin, M. Agric. Sc dan

(10)

Puji dan Syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat

dan karuniaNya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan disertasi dengan

judul DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP

TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI

ERA OTONOMI DAERAH. Penelitian dan disertasi ini dapat dilaksanakan

dan diwujudkan melalui arahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari

banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing,

yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak telah mencurahkan waktu,

memberikan banyak arahan akademik sejak perkuliahan dan khususnya

dalam membimbing sejak mempersiapkan proposal, pengumpulan dan

pengolahan data, sampai penyusunan disertasi. Kendala dalam proses

mewujudkan disertasi selalu ada solusi setelah berkonsultasi dengan

Bapak. Cara Bapak membimbing, menjadikan saya kembali bersemangat

untuk melalui setiap proses sejak ujian kualifikasi satu dan dua, kolokium,

seminar, ujian tertutup, sampai ujian terbuka Program Doktor.

2. Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira selaku Anggota Komisi

Pembimbing, yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak senantiasa

memberikan limpahan ilmu, pengalaman dan nasehat sehingga membuka

wawasan saya dan memberi spirit saya dalam mencari studi empiris

pendukung, juga mempertajam kemampuan saya dalam merumuskan

(11)

sehingga cita-cita untuk menyelesaikan penelitian dan disertasi ini dapat

terwujud.

3. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing,

yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak senantiasa memberikan

bimbingan akademik selama perkuliahan dan senantiasa memberikan

tambahan wawasan dan mengarahkan setiap gagasan dalam penelitian dan

penyusunan disertasi. Bapak sangat bijaksana dan selalu menghargai

setiap gagasan, usaha dan kerja keras saya untuk kemudian memotivasi

agar saya lebih berusaha lagi mewujudkan disertasi ini menjadi lebih baik .

4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai penguji luar komisi, Dr. Harianto

sebagai a.n. Ketua Program Studi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri

sebagai Pimpinan Sidang pada ujian tertutup yang telah memberikan

saran dan masukan demi perbaikan disertasi ini.

5. Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak dan Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan,

MSc sebagai penguji luar komisi dan Dr. Sri Hartoyo sebagai

pimpinan ujian terbuka yang telah memberikan saran dan masukan

demi penyempurnaan disertasi ini.

6. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi EPN

dan seluruh Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana IPB yang telah

memberikan limpahan ilmu dan pengalaman bagi penulis.

7. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala NAD

(12)

8. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan

Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS program

Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB bagi penulis.

9. Pemda Nanggroe Aceh Darussalam dan Badan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi (BRR) Aceh yang telah memberikan bantuan dana

penelitian pada saat BPPS telah berakhir.

10.DAAD yang telah memberikan bantuan SPP pada pasca bencana

tsunami Aceh.

11.Kepala dan Staf Depnakertrans, BPPS dan Bank Indonesia yang telah

membantu dalam penyediaan data.

12.Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana di Program Studi EPN IPB

khususnya EPN Angkatan 2002 yang telah memberikan sumbangan

pemikiran dalam penyelesaian penelitian dan pengolahan data.

13.Sekretariat Program Studi EPN (Mbak Rubi, Mbak Yani, Teteh dan

Mashusein), sahabat setia (Sri Hery Susilowati, Atien Priyanti, Anna

Fariyanti, Femy Hadidjah Elly serta Safrida dan Keluarga), adik-adik

kost, Adinda Adhiana, Ceuceu, dan Dek Mun, teman-teman Ikatan

Mahasiswa Pascasarjana Aceh di Institut Pertanian Bogor

(IKAMAPA) atas suasana kekeluargaan yang selama ini terbina.

14.Khusus kepada orangtua tercinta yang telah tiada Ayahanda almarhum H.

(13)

15.Kepada Keluarga Mang Djudju, Keluarga Kang Ade, Keluarga Ceu

Otim, Keluarga Aa Endang, Keluarga Aa Elan, Keluarga Kang Iwan,

Keluarga Dek Yasa, Keluarga Makni Khairani Muchlis, Keluarga Papi

Adi Syahputra, Keluarga Om Rizal Lufty dan Adik-adik tersayang

semoga gelar ini menambah kebahagiaan keluarga besar kita.

16.Yang teramat spesial, suami tercinta Dr. Ir. Sofyan Samsudin, M.

Agric. Sc dan kedua putra tersayang Faiz Yafie Naufal dan Wildan

Dhia Yafie yang sepenuhnya mendukung agar saya dapat melanjutkan

studi sampai pada jenjang tertinggi. Dukungan dan perhatian keluarga

telah membuat saya tetap bersemangat meski harus terpisah jauh.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Terimakasih.

Bogor, Agustus 2007

(14)

Halaman

1.5.Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………

1

2.2. Permasalahan Hubungan Industrial di Era Otda .……….…

2.3. Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia ……….

(15)

3.2. Kebijakan Upah Minimum ………

3.2.1. Pasar Tenaga Kerja yang Bersaing ...

3.2.2. Pasar Tenaga Kerja Monopsoni ...

3.2.3. Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia ....

3.3. Keterkaitan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan

Ekonomi Makro ...

3.3.1. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisinya …..

3.3.2. Pengangguran ………...

4.1. Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia ...

4.1.1. Blok Pasar Tenaga Kerja ...

4.1.2. Blok Fiskal …... ...

4.1.3. Blok Penawaran Agregat ...

4.1.4. Blok Permintaan Agregat ...

(16)

5.1. Kebijakan Ketenagakerjaan Era Otda...

5.1.1. Kebijakan Upah Minimum ...

5.1.2. Ketentuan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon ....

5.1.3. Pengaturan Ketenagakerjaan di Tingkat Perusahaan

5.2. Kebijakan Terkait Pasar Tenaga Kerja di Era Otda ...

5.2.1. Kebijakan Fiskal ...

VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO ...

7.2. Evaluasi Alternatif Simulasi Kebijakan Periode Historis Tahun 2001-2004 ...

7.2.1.Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai Tahun 2000 ...

(17)

7.2.4.Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 10 persen ...

7.2.5.Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 persen, Industri 2 persen, dan Jasa 2.5 persen ...

7.2.6.Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 persen ...

7.2.7.Penurunan Suku Bunga 5 persen ...

7.2.8.Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 25 persen ...

7.2.9.Kombinasi Simulasi 4 dan 5 ...

7.2.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 ...

7.3. Simulasi Kebijakan Peramalan Tahun 2007-2010 ...

7.3.1.Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai Tahun 2006 ...

7.3.2.Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1 persen ...

7.3.3.Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 6.64 persen ...

7.3.4.Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8 persen ...

7.3.5.Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 persen, Industri 1.5 persen, dan Jasa 2.5 persen ....

7.3.6.Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 persen ...

7.3.7.Penurunan Suku Bunga 6 persen ...

7.3.8.Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 persen ...

7.3.9.Kombinasi Simulasi 4 dan 5 ...

7.3.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 ...

7.3.11. Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 ...

7.3.12. Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 ...

(18)

VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...

8.1. Simpulan ...

8.2. Implikasi Kebijakan ...

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ...

195

195

198

199

DAFTAR PUSTAKA ... 202

LAMPIRAN ... 208

(19)

Nomor Halaman

Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka di Indonesia …...

Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda ……...……

Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK di Era Otda ...………

Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda ...

Perkembangan Kasus Pemogokan Sektoral di Era Otda ...

Perkembangan Produktivitas Sektoral di Era Otda ...

Studi Terdahulu Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran …….

Perubahan Perundang-undangan Tentang Kebijakan Upah Minimum di Indonesia ...

Analisis Surplus Produsen dan Surplus Konsumen dari Kekuatan Monopsoni ...

Pembagian Blok Persamaan Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia ...

Defenisi Operasional Variabel ... …..

Isu-isu Kebijakan Dominan berkenaan dengan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor ...

Perkembangan Kebijakan Moneter di Era Otda ...

Hasil Estimasi Persamaan Penawaran TK Tahun 1980-2004 ...

Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah Tahun 1980-2004 ...

Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Menengah Tahun 1980-2004 ...

(20)

20.

Hasil Estimasi Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun 1980-2004

Hasil Estimasi Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun 1980-2004 ...

Hasil Estimasi Persamaan Investasi Sektoral Tahun 1980-2004 ...

Hasil Estimasi Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang serta Suku Bunga Tahun 1980-2004 ...

Hasil Estimasi Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun 1980-2004 ...

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai Tahun 2000 di Era Otda 2001-2004 ...

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 1 Persen di Era Otda 2001-2004 ………...

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 8.83 Persen di Era Otda 2001-2004 ...………

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 10 Persen di Era Otda 2001-2004 ...………

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat Pekerja Sektor Pertanian 90 Persen, Industri 2 Persen dan Jasa 2.5 Persen di Era Otda 2001-2004 ...….……..

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50 Persen di Era Otda 2001-2004 ...……….

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 5 Persen di Era Otda 2001-2004 ...….

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 8) Peningkatan Pengeluaran

Infrastruktur 25 Persen di Era Otda 2001-2004 ...

Hasil Simulasi Historis (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5 di Era Otda 2001-2004 ...………

(21)

36.

Hasil Peramalan (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai 2006 Tahun 2007-2010 ……….

Hasil Peramalan (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 1 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 6.64 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing

Dinaikkan 8 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 6 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Simulasi (S8) Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5 Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 10) Kombinasi Simulasi 7 dan 8 Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 11) Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 Tahun 2007-2010 ...

(22)

51. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Peramalan Terhadap Triple Track Strategy Tahun 2007-2010 ... 188

(23)

Nomor Halaman

Penawaran Tenaga Kerja yang Melengkung ke Belakang ...

Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ...

Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Bersaing

Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja

Monopsoni ...

Surplus Produsen dan Konsumen pada Pasar Monopsoni ...

Skema Hubungan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro ...

Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisi ...

Inflasi Dorongan-Biaya akibat Tuntutan Kenaikan Upah oleh Serikat Pekerja ...

Kurva Phillips ………..

Kerangka dan Bagan Alur Penelitian ………...

Tahapan Membangun Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia

Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia ...

Perkembangan Upah Minimum Sektoral Riil (Tahun Dasar 1990) di Era Otda ...

Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Kepentingan ...

(24)

Nomor Halaman

Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam Bentuk Undang-Undang Tahun 1956-2004 ….

Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Peraturan Menteri Tahun 1985-2004 …

Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Keputusan Presiden Tahun 1995-2004

Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Instruksi Presiden ..………….………..

Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Keputusan Menteri ………….………..

Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Intruksi Menteri ……….…...

Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di Indonesia dalam Bentuk Keputusan Dirjen ………….………….

Program Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur SYSLIN Metode 2SLS pada Program SAS/ETS 8.02 ...

Hasil Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur

SYSLIN Metode 2SLS pada Program SAS/ETS 8.02 ...

Program Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ...

Hasil Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN

Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ...

Program Simulasi Historis Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ...

(25)

9.

Program Peramalan Nilai Konstanta Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier

Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ………..

Program Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ….…….

Hasil Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010

Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ……….

Hasil Peramalan (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai 2006 Tahun 2007-2010 ....……….

Hasil Peramalan (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 1 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 6.64 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing Dinaikkan 8 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 6 Persen Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 8) Peningkatan Pengeluaran

Pembangunan Infrastruktur 40 Persen Tahun 2007-2010 ...

(26)

23.

24.

Hasil Peramalan (Simulasi 11) Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 Tahun 2007-2010 ...

Hasil Peramalan (Simulasi 12) Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 Tahun 2007-2010 ...

315

317

(27)

1.1. Latar Belakang Penelitian

Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya

menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

(Depnakertrans, 2004a). Argumennya adalah karena pertumbuhan kesempatan

kerja dan pertumbuhan angkatan kerja masih relatif seimbang. Pendapat itu

ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran

terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja.

Namun perkembangan angka pengangguran pada tahun 1990-an dan tahun

2000-an menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Hal ini tercermin

dari besarnya penambahan angkatan kerja yang tidak sebanding dengan

penambahan lapangan kerja. Tabel 1 memperlihatkan bahwa permasalahan

ketenagakerjaan Indonesia sepertinya masih akan sulit diatasi karena adanya

ketidakseimbangan antara pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan

angkatan kerja. Ketidakseimbangan ini dapat berakibat pada penyerapan angkatan

kerja yang relatif terbatas dan tidak proporsional sehingga angka penganguran

diperkirakan dapat terus bertambah. Jika perkiraan pertumbuhan ekonomi pada

2007 dan 2008 sebesar 5.91 persen dan 6.50 persen, maka angka pengangguran

terbuka tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 9.12 juta orang atau 8.00

persen dari angkatan kerja.

Di balik fakta permasalahan semakin meningkatnya angka pengangguran di

(28)

Pengangguran

1997 91.32 3.13 4.70 87.05 3.15 670.21 4.28 4.69

1998 92.73 1.41 -13.13 87.67 0.62 -47.22 5.06 5.46

1999 94.85 2.11 0.79 88.82 1.44 143.03 6.03 6.36

2000 95.65 0.94 4.92 89.84 1.00 208.25 5.81 6.07

2001 98.81 3.16 3.44 90.81 0.97 281.98 8.00 8.10

2002 100.78 1.97 3.66 91.65 0.84 229.51 9.13 9.06

2003 102.63 1.85 4.10 92.81 1.16 282.93 9.82 9.50

2004 103.97 1.34 5.05 93.72 0.91 180.20 10.25 9.86

2005 105.80 1.83 5.60 94.95 1.23 219.64 10.85 10.26

2006 106.28 0.48 6.11 95.18 0.23 37.64 11.11 10.44

2007 112.23 2.17 5.91 101.94 1.96 331.64 10.29 9.19

2008 114.37 2.14 6.50 105.25 3.31 509.23 9.12 7.97

*Keterangan: Untuk tahun 1997-2004 menggunakan angka Sakernas-BPS. Untuk tahun 2000 tanpa Provinsi Maluku.

Untuk tahun 2001-2006 menggunakan defenisi pengangguran terbuka yang disempurnakan dan termasuk Provinsi Maluku. Untuk tahun 2007-2008 menggunakan angka proyeksi Bappenas.

(29)

22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Otonomi daerah (otda)merupakan era

dimana pemerintah diharuskan melakukan pembangunan daerah dengan fokus

utama pada pelimpahan wewenang pemerintahan, perimbangan keuangan, dan

pengayaan politik dan sosial budaya penduduk daerah setempat(Oentarto, 2004).

Namun, diantara tiga aspek tersebut implikasi otonomi daerah bagi penduduk dan

sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian.

Fokus utama bidang ketenagakerjaan adalah penting karena salah satu

pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah penduduk.

Perhatian tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan analisis situasi,

merencanakan, serta memonitor proses pembangunan yang bertumpu pada

ketenagakerjaan. Dalam kaitan ini, semacam informasi ketenagakerjaan dan

perekonomian akan sangat membantu sebagai dasar perumusan alternatif

kebijakan. Potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai kelebihan dan

kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis ekonomi secara

makro dalam era otda.

Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan kajian dampak kebijakan

pemerintah terhadap keragaan pasar tenaga kerja dan beberapa indikator ekonomi

makro Indonesia (Safrida, 1999; Adriani, 2000; Zulkifli, 2002; Hadi, 2002;

Suryahadi, 2003). Namun dalam studi sebelumnya belum dikaji secara eksplisit

bagaimana pengaruh perubahan di pasar tenaga kerja akibat penerapan kebijakan

ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan transmisinya pada

(30)

1.2. Perumusan Masalah

Keberhasilan program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004 dapat

diukur dari pencapaian sejumlah indikator ekonomi makro. Indikator-indikator

tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat secara bertahap

sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan

tingkat pengangguran menjadi sekitar 5.1 persen dan menurunkan jumlah penduduk

miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Namun, data menunjukkan

bahwa sasaran kuantitatif tersebut tampaknya masih jauh dari yang diharapkan.

Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada

tahun 2004 masih sekitar 5.13 persen. Sementara angka pengangguran menurut

Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004 masih sekitar 9.86 persen dari

total angkatan kerja yang berjumlah 103.97 juta jiwa.

Sampai saat ini pasar tenaga kerja Indonesia masih dicirikan oleh adanya

ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Hasil kajian

Depnakertrans menyimpulkan bahwa pada tahun 1990-an Indonesia dikategorikan

sebagai Labour Surplus Economy yaitu negara yang mempunyai masalah dengan

jumlah angkatan kerja yang berlebih (Depnakertrans dan BPPS ,1999). Ekses

angkatan kerja ini berlangsung sampai saat memasuki era otda sehingga angka

pengangguran dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat.

Berdasarkan data statistik, karakteristik pengangguran Indonesia didominasi

(31)

Tabel 2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda

Menurut Depnakertrans, distribusi tenaga kerja menurut status pekerjaan,

tingkat pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia terus mengalami

perubahan dari tahun ke tahun sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi

dan pembangunan. Ada dua alasan mengapa terjadi pergeseran struktur tenaga

kerja yaitu : (i) terjadinya penurunan peran tenaga kerja pada sektor yang

mempunyai produktivitas rendah yaitu sektor pertanian dan (ii) perkembangan

yang cepat dari buruh penerima upah yang terkonsentrasi di sektor industri.

Perubahan distribusi tenaga kerja tersebut searah dengan dinamika pembangunan

ekonomi yang awalnya bertumpu pada sektor pertanian kemudian beralih ke

sektor industri. Pada periode tahun 1970-an sumbangan sektor pertanian dalam

Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 45 persen dan pada tahun 2000-an telah

turun menjadi kurang dari 16 persen.

Selain karena bertambahnya angkatan kerja baru, pertambahan jumlah

penganggur Indonesia juga disebabkan oleh peningkatan kasus Pemutusan

(32)

Tabel 3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK di Era Otda

Tahun Jumlah PHK (orang) Jumlah Pengangguran

Terbuka (000 orang)

2001

2002

2003

2004

85 537.00

116 176.00

85 020.00

66 009.00

8 005.03

9 132.10

9 531.09

10 251.35

Rata-rata 88 186.00 9299.89

Sumber: Depnakertrans, 2007.

Tabel 3 memperlihatkan selama tahun 2002 jumlah pekerja yang

kehilangan pekerjaan mencapai 116.176 orang. Jumlah ini telah mendekati

jumlah pekerja yang terkena PHK selama puncak krisis tahun 1998 yang tercatat

sebanyak 127.735 orang. Secara umum rata-rata jumlah pekerja yang kehilangan

pekerjaan pada era otda lebih tinggi dibandingkan empat tahun sebelum

memasuki era otda.

Menekan angka pengangguran hingga mencapai tingkat sebagaimana

ditargetkan Propenas tentunya memerlukan upaya keras dan sistematis. Angka

pengangguran sampai tahun 2008 diperkirakan masih akan berjumlah sekitar 9.12

juta jiwa atau 7.97 persen dari total angkatan kerja. Seperti yang telah ditargetkan

Propenas untuk menurunkan angka pengangguran, target Propenas untuk

mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diramalkan jauh dari harapan, karena

pada tahun 2007-2008 angka rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun diramalkan

hanya sekitar 6 persen.

Sejalan dengan permasalahan diatas, di sisi lain, pemerintah telah membuat

(33)

penyediaan lapangan kerja. Sisi normatif merupakan kebijakan perlindungan

norma-norma sosial ketenagakerjaan yang diatur oleh Departemen Tenaga Kerja

dan Transmigrasi. Penyediaan lapangan kerja lebih banyak diatur secara

bersama-sama pada masing-masing sektor.

Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di

Indonesia meliputi: (1) kebijakan tentang pengupahan, (2) hubungan kerja antara

pekerja dan pengusaha serta pengaturan tentang penyelesaian perselisihan termasuk

didalamnya pemogokan kerja dan pengaturan tentang permutusan hubungan kerja

termasuk di dalamnya uang pesangon dan pengaturan jam kerja, dan (3) pengaturan

organisasi pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan

dan lain-lain. Berkaitan dengan kebijakan normatif ketenagakerjaan, ada dua pihak

yang seharusnya mendapat perhatian secara proporsional oleh pemerintah dalam

memikirkan dan merealisasikan kebijakan sehingga tidak merugikan para pekerja

dan pengusaha serta tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia pada

umumnya.

Sebagai contoh dari sisi pengupahan, pemerintah membuat peraturan Upah

Minimum Provinsi (UMP) yang setiap tahunnyadisesuaikan dengan tingkat inflasi.

Di pihak pekerja, kebijakan ini bertujuan agar pekerja dapat memenuhi kebutuhan

hidup minimum (KHM). Tetapi dibandingkan dengan Kebutuhan Hidup Minimum

(KHM) periode 2001-2004 penetapan nilai upah minimum hanya mampu

memenuhi rata-rata 89.63 persen dari KHM (BPS, 2006). Artinya kesejahteraan

buruh yang menjadi target kebijakan upah minimum masih rendah. Sementara

(34)

Peningkatan upah minimum dapat berdampak pada rendahnya penanaman modal

luar negeri dan memperburuk inflasi (karena upah yang meningkat akan dibebankan

pada harga output).

Selanjutnya pemerintah membuat keputusan Menteri no. 150 tahun 2000,

Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 dan Undang-undang no 2 / 2004

tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pihak pengusaha merasa

diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang

mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh

mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja

perempuan. Selanjutnya tentang adanya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi RI No. Kep – 226/ Men/ 2000 bahwa upah minimum untuk tingkat

provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota ditinjau ulang satu tahun sekali. Dalam

pelaksanaan keputusan ini memunculkan masalah yang menimbulkan pro kontra

diantara pihak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun kelompok masyarakat

lainnya (Simanjuntak, 2005).

Ada banyak kontroversi seputar kebijakan ketenagakerjaan di atas. Menurut

pihak pengusaha, kebijakan ketenagakerjaan ternyata membuat beban pengusaha

dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan

pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran

berat (Wirahyoso, 2002). Disamping itu adanya UU Ketenagakerjaan no 13 tahun

2003 Pasal 76 tentang aturan mempekerjakan perempuan yang relatif dapat

meningkatkan hiaya operasional perusahaan dapat menjadi pemicu tingginya

(35)

dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja. Namun di sisi lain,

kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat mengurangi daya serap pasar kerja.

Pada akhirnya hal tersebut justru akan berdampak negatif bagi pekerja dan

perekonomian makro yang dapat tercermin pada tingginya tingkat pengangguran.

Diperlukan suatu kajian secara ilmiah agar kebijakan ketenagakerjaan secara

makro dapat memenuhi harapan pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk

perekonomian Indonesia di era otda yang akan datang.

Berkenaan dengan semakin meningkatnya permasalahan perburuhan,

tingkat pengangguran dan adanya berbagai kebijakan ketenagakerjaan oleh

pemerintah sebagai alat pemulihan perekonomian dan juga oleh pemerintah daerah

sebagai alat kebijakan sosial, maka secara umum pertanyaan yang muncul adalah

"Bagaimanakah dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran

dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah ?". Secara lebih spesifik, studi

ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimanakah perilaku pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di

era otonomi daerah dengan adanya faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan?

2. Bagaimanakah kemungkinan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan

terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era

(36)

Fokus penelitian diarahkan pada era otonomi daerah (otda). Secara khusus

tujuan penelitian yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja didasarkan pada

disagregasi tingkat pendidikan dan sektor ekonomi.

1. Mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda.

2. Menganalisis faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi

pasar tenaga kerja dan perekonomian lndonesia.

3. Mengevaluasi dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap

perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda

tahun 2001-2004.

4. Meramalkan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap

perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda

tahun 2007-2010.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan perencanaan kebijakan ketenagakerjaan yang

lebih tepat dalam rangka menjaga kestabilan tingkat pengangguran dan

indikator ekonomi makro lainnya pada era otonomi daerah di

Indonesia, dan

2. Sebagai referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian

ketenagakerjaan selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(37)

ketenagakerjaan dari sisi normatif dan sisi kebijakan penyediaan lapangan

kerja;

3. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada tingkat pengangguran

berdasarkandisagregasi tingkat pendidikan;

4. Cakupan penelitian adalah agregat nasional;

5. Data penelitian dari tahun 1980 sampai tahun 2004;

6. Kebijakan ketenagakerjaan yang dianalisis adalah kebijakan upah minimum

dan kebijakan perselisihan hubungan industrial;

7. Cakupan sektoral dibatasi pada sektor pertanian, industri, dan jasa

kemasyarakatan;

8. Data penawaran TK menggunakan data jumlah angkatan kerja;

9. Disagregasi penawaran TK dilakukan berdasarkan tingkat pendidikan rendah,

menengah, dan tinggi; dan

10.Memburuknya perselisihan hubungan industrial diproksi dengan data jumlah

(38)

2.1. Otonomi Daerah di Indonesia

Pada masa pemulihan krisis ekonomi lalu muncul tuntutan ketidakpuasan

daerah dengan sistem sentralistik dan menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa.

Pemerintah segera menanggapi gejala tersebut dengan mengeluarkan UU No. 22

tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya sejak 1

Januari 2001, dimulailah era otonomi daerah (otda) dengan harapan ada

perkembangan perekonomian bagi daerah yang selama ini terbelakang akibat

alokasi pendapatan yang tidak merata. Otda memang telah menyebabkan

terjadinya perubahan lingkungan strategis di Indonesia. Perubahan ini

memberikan nuansa baru bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah

kabupaten dan kota, untuk mengembangkan daerahnya secara optimal sesuai

dengan potensi yang dimiliki daerah.

Ada tiga matra utama yang menjadi fokus pelaksanaan otonomi daerah di

Indonesia dimana otonomi daerah mengharuskan:

1. Adanya pelimpahan wewenang dalam hal pengambilan keputusan

yang bersifat sektoral yang mencakup daerah (government power

sharing),

2. Adanya perimbangan keuangan yang rasional dan adil antara pusat dan

daerah serta perimbangan kemampuan dan potensi sumber daya

(39)

3. Lahirnya perkembangan daerah sebagai satuan yang khas dalam

memperkaya kebhinnekaan negara (political and social cultural power

sharing) yang pada akhirnya diharapkan mampu mengenal penduduk

setempat (indigenous population).

Ketiga matra di atas merupakan kondisi yang dibutuhkan (necessary

condition) agar otonomi daerah berlangsung baik dan bisa memenuhi harapan

berbagai pihak. Kondisi cukup (sufficientcondition) berupa undang-undang otda

beserta berbagai perangkat administratif dan hukum yang menjadi sistem otonomi

daerah juga harus terus dilengkapi sejalan dengan pelaksanaan otda.

Diantara tiga aspek yang telah diutarakan di atas, implikasi otda bagi

penduduk dan sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian.

Sebahagian besar fokus penelitian otonomi daerah lebih banyak menyoroti

government power sharing dan financial sharing. Sementara kita ketahui bahwa

salah satu pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah

penduduk. Secara luas, potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai

kelebihan dan kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis

perekonomian secara makro dalam era otda. Hal ini disebabkan potensi penduduk

sebagai faktor produksi (tenaga kerja) dalam kegiatan perekonomian daerah

sangatlah penting.

2.2. Permasalahan Hubungan Industrial di Era Otda

Salah satu permasalahan perekonomian makro Indonesia di era otda yang

berkaitan dengan TK adalah masih tingginya tingkat pengangguran dan

banyaknya kasus permasalahan hubungan industrial. Menurut Simanjuntak (2004)

(40)

with or having an interest in the process of producing goods or services in a

company or enterprise. Ada dua hal penting yang dapat dijelaskan menyangkut

permasalahan hubungan industrial dewasa ini. Pertama, diberlakukannya otonomi

daerah (otda) sejak tahun 2001 telah merubah sistem pengambilan keputusan

dalam penetapan kebijakan upah minimum. Kedua, era kebebasan berserikat

sehingga muncul banyak serikat buruh yang merupakan representasi buruh dalam

hubungan industrial. Kedua hal tersebut telah membuka peluang bagi pekerja dan

serikat pekerja untuk berpartisipasi dalam perubahan kebijakan ketenagakerjaan.

Pada kenyataannya peluang partisipasi serikat pekerja dalam penetapan

kebijakan ketenagakerjaan belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu

faktor penyebab kecilnya peluang partisipasi serikat pekerja adalah kebijakan

pemerintah yang membuat mekanisme penentuan kebijakan itu sendiri yang tidak

demokratis bagi buruh (Wirahyoso, 2002).

Hasil jajak pendapat yang telah dilakukan Kompas (Mei 2007) tentang

posisi pekerja, pengusaha dan pemerintah memperkuat pernyataan tersebut.

Sebanyak 73.6 persen dari 832 sampel pekerja menjawab bahwa peran pemerintah

dalam penetapan standar upah minimum tidak memadai dan lebih jauh sebanyak

76.3 persen pekerja menganggap penetapan upah minimum yang layak oleh

pemerintah belum memadai. Jajak pendapat tersebut menyimpulkan bahwa

sebahagian responden menganggap seluruh kebijakan ketenagakerjaan selama ini

lebih banyak merugikan pekerja (Sultani, 2007). Meski pemerintah dan pengusaha

memberi peluang kepada pekerja untuk menuntut hak melalui kebebasan

berserikat namun perjuangan pekerja selama ini terperangkap diantara

(41)

yang dapat menekan kesejahteraan pekerja untuk mempertahankan keuntungan.

Sementara pemerintah cenderung membatasi upah minimum pekerja untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi.

Tidak adanya dampak negatif bagi pekerja dan pengusaha serta tidak

memperburuk kondisi perekonomian adalah harapan para pelaku ekonomi dalam

memikirkan dan merealisasikan kebijakan ketenagakerjaan. Tetapi gejolak

ketenagakerjaan dewasa ini memang nyata terjadi. Berbagai tuntutan pekerja

untuk memperoleh imbalan kerja selalu menimbulkan ketegangan diantara pihak

pekerja, pengusaha dan pemerintah. Kuat dugaan ketiga pihak kokoh

memperjuangkan kepentingan masing-masing sehingga penyelesaian kasus

hubungan industrial menjadi konflik yang berkepanjangan.

Tabel 4. Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda

Tahun Kasus

Sumber : Depnakertrans, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial (2007).

Gejolak ketenagakerjaan yang relatif sering terjadi adalah pemogokan atau

unjuk rasa. Pemogokan adalah upaya serikat pekerja untuk menekan dan

memaksa pengusaha menerima tuntutan serikat pekerja (Simanjuntak, 2006).

Banyaknya kasus pemogokan setiap tahun seperti pada Tabel 4 mencerminkan

(42)

dipenuhi pihak perusahaan,dan (2) ketidakharmonisan hubungan antara pekerja

dan pengusaha.

Penyebab utama dari sejumlah kasus pemogokan selama era otda

bersumber dari ketidakpuasan pekerja tentang upah. Hasil penelitian

Depnakertrans (2005) faktor utama pemicu kasus pemogokan tenaga kerja adalah

masalah upah yang tidak mencukupi biaya hidup pekerja. Hal ini bisa dipahami,

meskipun setiap tahun pemerintah telah berupaya melakukan penyesuaian upah

minimum yang secara nominal terus meningkat namun nilai riil hanya mampu

memenuhi rata-rata 89.63 persen dari Kebutuhan Hidup Minimum (BPS, 2006).

Beberapa faktor penyebab lain kasus pemogokan adalah adalah katidakpuasan

kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan tunjangan kerja,

permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan terhadap metode

kerja baru yang diterapkan perusahaan.

Berdasarkan sektor, jumlah kasus pemogokan lebih sering terjadi pada

sektor industri seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Perkembangan Kasus Pemogokan Sektoral di Era Otda

Kasus Perkembangan (%)

Sektor

2001 2002 2003 2004 2001 2002 2003 2004

(43)

Pada dasarnya pemogokan tenaga kerja (TK) dibenarkan olah pemerintah

berdasarkan UU No. 13 tahun 2003. Dinyatakan bahwa pemogokan TK dapat

dibenarkan bila dilakukan secara sah, tertib, damai dan sebagai akibat gagalnya

perundingan. Namun pada kenyataannya, kasus pemogokan TK yang terjadi tidak

selaras dengan yang diatur dalam UU ketenagakerjaan. Kasus pemogokan relatif

sering terjadi disertai dengan tindakan pengrusakan fasilitas perusahaan, fasilitas

umum, dan mengganggu kepentingan umum.

Maraknya kasus pemogokan dewasa ini tidak dapat dipandang hanya

sebagai masalah antara pihak pekerja dan pihak perusahaan dalam proses

produksi. Masalah kasus pemogokan terkait dan mempengaruhi keadaan

perekonomian, kestabilan politik, keamanan, produktifitas kerja dan

perkembangan investasi. Artinya perubahan keseimbangan di pasar TK

berdampak pada perubahan keseimbangan makro.

2.3. Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia

2.3.1. Kesempatan Kerja

Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung

mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja di Indonesia. Permasalahan tersebut

(i) menyangkut kebijaksanaan kependudukan, (ii) berkaitan dengan penyebaran

penduduk antara Pulau Jawa dan luar Jawa, (iii) menyangkut kualitas tenagakerja,

(iv) berkaitan dengan adanya kesenjangan antara program pendidikan dengan arah

pembangunan, (v) kurang berkembangnya informasi pasar tenagakerja sehingga

menimbulkan kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja dan (vi)

(44)

Menyangkut permasalahan mendasar yang terakhir, memasuki tahun 2000,

sektor pertanian masih merupakan sektor penting meskipun pangsanya dalam total

perekonomian dari tahun ke tahun mengecil. Tampaknya pekerjaan di sektor

pertanian tidak menarik bagi tenaga tenaga terdidik, sehingga tingkat kesempatan

kerja sektor pertanian menurun dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Artinya

sebagian besar golongan tenaga terdidik memilih menganggur sambil menunggu

terbukanya lapangan pekerjaan yang dikehendaki. Hal tersebut mengakibatkan

tingkat pengangguran semakin tinggi dengan jenjang pendidikan .

Jumlah penduduk usia kerja sampai dengan akhir tahun 2004 mencapai

152.65 juta orang, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari jumlah

tersebut, sebanyak 67.7 persen merupakan angkatan kerja yang juga mengalami

peningkatan. Namun peningkatan jumlah angkatan kerja tersebut masih belum

diikuti oleh peningkatan kualitas yang tercermin dari masih besarnya proporsi

angkatan kerja yang berpendidikan Sekolah Dasar yaitu mencapai 63.5 persen.

Survey dari United Nation Development Program (UNDP) menunjukkan bahwa

Human Development Index (HDI) Indonesia masih berada pada peringkat 109

dari 147 negara (BI, 2005).

Ditinjau berdasarkan lapangan usaha terjadi penurunan jumlah pekerja di

sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Meskipun mengalami penurunan, sektor

pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar (42.5 persen),

disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran (19.6 persen), sektor industri

pengolahan (13.7 persen), dan sektor jasa-jasa (11.9 %). Sejalan dengan dominasi

sektor pertanian sebagai penyedia lapangan kerja, jenis pekerjaan juga didominasi

(45)

dan tenaga usaha penjualan (18.4 persen). Jumlah pekerjaan yang berprofesi

sebagai tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional masih sangat kecil, yaitu

masing-masing 0.4 persen dan 3.5 persen dari penduduk yang bekerja (BI, 2005).

Meskipun jumlah penduduk yang bekerja tercatat meningkat, jumlah

penduduk yang bekerja dengan status formal mengalami penurunan, sedangkan

jumlah penduduk yang bekerja dengan status informal mengalami peningkatan.

Perkembangan ini mengindikasikan adanya peralihan pekerja dari sektor formal

ke sektor informal sehingga pangsa pekerja di sektor formal semakin menurun

sebagaimana kecenderungan yang terjadi sejak tahun 1997.

Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal bersumber dari

penurunan jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh atau karyawan, yang

merupakan status pekerjaan terbanyak. Di sisi lain, terjadi peningkatan pada

jumlah penduduk yang berusaha dengan dibantu buruh tetap. Perkembangan

tersebut mengindikasikan bahwa jumlah unit usaha formal sebenarnya mengalami

peningkatan pada tahun 2004 namun secara keseluruhan usaha formal tersebut

mempekerjakan lebih sedikit karyawan dibandingkan tahun 2003. Sementara itu

jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal mengalami peningkayan sebesar

1.6 persen, yang disebabkan oleh terjadinya kenaikan jumlah pekerja bebas dan

jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu anggota keluarga atau buruh

tetap.

2.3.2. Pengangguran

a. Indonesia

Pengangguran tidak hanya menampilkan masalah ekonomi Indonesia,

(46)

pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional dan akhirnya menjadi

ketegangan dalam hubungan antar bangsa-bangsa di kawasan sekitar Indonesia.

Melambatnya kegiatan ekonomi 2004 sebagai dampak dari rendahnya investasi,

meningkatnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta masih rendahnya

tingkat pendidikan angkatan kerja mengakibatkan angka pengangguran

diperkirakan semakin meningkat. Jumlah penganggur sampai dengan akhir 2004

mencapai 38.4 juta orang, yang terdiri dari 9.5 juta orang penganggur terbuka dan

28.9 juta orang setengah penganggur.

Masih tingginya jumlah penganggur tersebut tidak terlepas dari rendahnya

tingkat pertumbuhan yang hanya mampu menyerap penambahan tenaga kerja

sebanyak 0.8 juta orang, sementara penambahan angkatan kerja baru periode yang

sama mencapai 1.7 juta. Hal ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka

meningkat dari 9.50 persen pada tahun 2003 menjadi 9.86 persen pada tahun

2004. Ditinjau dari komposisi tingkat pendidikan, penganggur terbuka

didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah (tidak berpendidikan hingga

berpendidikan SD dan berpendidikan SLTP).

b. Indonesia Dibanding Negara Tetangga

Diantara beberapa negara yang diamati (Malaysia, Philippina, Thailand

dan Korea Selatan), Philippina menduduki peringkat teratas dalam hal tingkat

pengangguran. Pengamatan secara data saja memanglah tidak tepat karena

konsep dasar tentang penganggur di tiap negara yang diamati tidaklah persis

sama. Menurut Brooks (2002), laju kesempatan kerja Philippina tidak mencukupi

untuk menurunkan angka pengangguran karena pertumbuhan populasi dan

(47)

Brooks memperlihatkan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja dan penurunan

pengangguran Philippina berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan GDP dan

berkorelasi secara negatif dengan upah minimum riil.

Tingkat pengangguran di Malaysia menunjukkan penurunan yang nyata

sampai dengan menjelang resesi di akhir tahun 1990. Thailand relatif

berfluktuasi, sementara Korea Selatan menunjukkan kecenderungan yang relatif

stabil. Krisis yang melanda asia telah menyebabkan suatu lompatan terhadap

tingkat pengangguran di kelima negara, namun kemudian tingkat pengangguran

di Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan relatif cepat kembali menurun. Tidak

demikian halnya dengan Indonesia dan Philippina.

2.3.3. Permasalahan Ketenagakerjaan

a. Produktivitas Tenaga Kerja

Produktivitas adalah rasio output dan input suatu proses produksi dalam

periode tertentu (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007). Produktivitas input tenaga

kerja (TK) menggambarkan kemampuan individu TK dalam menghasilkan output

nasional (produktivitas parsial TK). Gambaran perubahan produktivitas TK

Indonesia secara sektoral sangat dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi

Indonesia. Adanya perubahan kebijakan pembangunan ekonomi yang menitik

beratkan pada sektor industri moderen yang padat modal sementara menempatkan

sektor pertanian sebagai sektor pendukung sangat mempengaruhi produktivitas

TK secara sektoral.

Produktivitas sektoral selama periode sebelum dan selama otda

(48)

Tabel 6. Perkembangan Produktifitas Sektoral di Era Otda

Produktivitas Sektoral Pertumbuhan Produktivitas Sektoral Tahun

Pertanian Industri Jasa Total Pertanian Industri Jasa Total

2001

Tabel 6 memperlihatkan produktivitas rata-rata secara sektoral maupun

secara total meningkat setelah memasuki era otda. Produktivitas terendah pada

sektor pertanian yang hanya mencapai 1.30 juta rupiah per TK per tahun sebelum

otda dan meningkat hanya menjadi 1.32 juta rupiah per TK per tahun pada era

otda. Pertumbuhan produktivitas sektoral rata-rata pada era otda meningkat di

banding sebelum memasuki era otda.

Hasil kajian depnakertrans tentang produktivitas TK sektor pertanian

menyimpulkan kecil kemungkinan dapat merealisasikan harapan rencana TK

nasional bahwa sektor pertanian menjadi harapan mengurangi jumlah

pengangguran. Rata-rata angka produktivitas sektor pertanian paling rendah

diantara sektor lainnya di era otda.

Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas sektor pertanian dapat

dianalisa dari segi umur dan tingkat pendidikan TK sektor pertanian. Hasil kajian

Managara (2004) menyimpulkan sebaran tenaga kerja pertanian (di luar perikanan

dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa, sebagian

besar berada pada umur 25-44 tahun (46 persen), kemudian kelompok umur diatas

(49)

Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut dikhawatirkan sektor pertanian

akan kekurangan TK di masa depan. Sektor pertanian menunjukan tren aging

agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga kerja yang berada di pertanian

adalah tenaga kerja yang berusia lanjut. Dari sisi umur, TK pertanian sampai saat

ini masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah,

yang jumlahnya mencapai 81% dari tenaga kerja pertanian.

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan produktivitas dari sisi makro adalah pertumbuhan dalam persediaan

modal dan perubahan teknologi. Persediaan modal (stock of capital) adalah

jumlah total modal yang tersedia untuk digunakan dalam proses produksi. Adanya

peningkatan modal menyebabkan setiap pekerja dapat memproduksi output lebih

banyak. Perubahan teknologi menggambarkan perkembangan teknologi baru yang

memungkinkan pekerja berproduksi lebih efektif dan menghasilkan output yang

lebih berkualitas. Sebagai contoh perkembangan teknologi komputer pada

dasarnya membuka peluang bagi pertumbuhan produktivitas. Namun sejalan

dengan perkembangan teknologi diperlukan pekerja yang lebih berkualitas pula.

b. Pemogokan Tenaga Kerja

Masih banyaknya pengusaha yang belum memenuhi ketentuan UMP dan

tuntutan lainnya telah memicu terjadinya kasus pemogokan buruh di Indonesia.

Sampai dengan tahun 2004, tercatat 112 kasus pemogokan yang melibatkan

48092 pekerja dan menyebabkan 497780 jam kerja hilang. Meskipun jumlah

kasus pemogokan mengalami peningkatan, dampak pemogokan terhadap

penurunan produktivitas mengalami penurunan karena jam kerja yang hilang lebih

(50)

masalah pemenuhan UMP, beberapa faktor lain pemicu kasus pemogokan adalah

katidakpuasan kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan

tunjangan kerja, permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan

terhadap metode kerja baru yang diterapkan perusahaan.

c. Permasalahan TKI

Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pada tahun

2004 ditandai dengan diberlakukannya kebijakan baru pemerintah Malaysia yang

lebih keras terhadap tenaga kerja ilegal. Hal ini memicu eksodus besar-besaran

TKI ilegal di Malaysia untuk kembali ke tanah air. Pemberlakuan kebijakan baru

pemerintah Malaysia ini sangat berdampak terhadap TKI Indonesia mengingat

negara ini merupakan negara tujuan terbesar bagi TKI. Selain berdampak pada

meningkatnya jumlah pencari kerja di tanah air, pemulangan TKI ilegal tersebut

diperkirakan mempengaruhi perekonomian desa yang selama ini bergantung pada

kiriman uang dari TKI (BI, 2005).

2.4. Kebijakan Ketenagakerjaan

Pemerintah telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan asasi

warga negara sebagaimana diamanatkan dalam ayat (2) Pasal 27 UUD 1945 :

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”. Dalam amandemen UUD 1945 tentang ketenagakerjaan juga

disebutkan dalam pasal 28d UUD 1945. Hal tersebut berimplikasikan pada

kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar dapat memperoleh

pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu perlu perencanaan di bidang

(51)

Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan pasal 2 serta

pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, telah menetapkan kewenangan

yang besar di bidang ketenagakerjaan bagi pemerintah, propinsi dan kabupaten/

kota yang meliputi perencanaan sampai pengendalian. Pada era otonomi daerah

ini UU No. 13 tahun 2000 tentang ketenagakerjaan telah memberikan landasan

yang kuat atas kedudukan dan peranan Perencanaan Tenaga Kerja dan informasi

ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan pasal 8 yang menggariskan

Perencanaan Tenaga Kerja sebagai pedoman penyusunan strategi kebijakan dan

pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.

Kebijakan normatif ketenagakerjaan mengkaji hubungan antara pekerja

dan pengusaha. Hubungan ini merupakan suatu sistem sikap dan perilaku yang

terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa, yaitu pekerja,

pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Hubungan ini dapat digambarkan dalam

bentuk pola kerja sama, konflik dan penyelesaian konflik antara pekerja dan

pengusaha.

Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di

Indonesia meliputi kebijakan tentang pengupahan, hubungan kerja antara pekerja

dan pengusaha, pengaturan tentang penyelesaian perselisihan termasuk

didalamnya pemogokan kerja, pengaturan tentang pemutusan hubungan kerja

termasuk didalamnya uang pesangon, pengaturan jam kerja, pengaturan organisasi

pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan dan

lain-lain. Sebagai contoh, keputusan Menteri no. 150 tahun 2000, Undang-undang

ketenagakerjaan no.13 tahun 2003 dan Undang-undang no. 2 / 2004 tentang

(52)

pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK)

ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan

pelanggaran berat.

2.4.1. Upah Minimum

Kondisi ketenagakerjaan yang ditandai oleh masih tingginya jumlah

pengangguran terbuka antara lain menyebabkan melemahnya posisi tawar

(bargaining power) pekerja dalam negosiasi upah. Hal ini tercermin dari relatif

kecilnya kenaikan UMP yang ditetapkan. Upah minimum di Indonesia terus

meningkat dari tahun ke tahun. Secara rata-rata UMP tahun 2004 mencapai

Rp.476932 per bulan atau meningkat 7.4 persen dibanding tahun 2003.

Meskipun terjadi peningkatan UMP di tahun 2004, namun peningkatan ini

secara riil masih lebih rendah dibandingkan peningkatan Kebutuhan Hidup

Minimum (KHM) yang pada tahun 2004 mencapai sekitar Rp 500763 per bulan

atau meningkat 8.6 persen dibanding tahun 2003. Relatif tingginya indeks harga

konsumen menyebabkan terjadinya penurunan daya beli pekerja sebagaimana

terlihat dari kenaikan UMP riil yang melambat dari 22.4 persen pada tahun 2003

menjadi 7.3 persen pada tahun 2004. Secara sektoral, UMP sektor industri

pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor keuangan menempati urutan teratas.

Sementara untuk propinsi, UMP tertinggi ada di beberapa propinsi seperti

Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Maluku, dan Maluku Utara pada sektor

(53)

2.4.2. Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-undang no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial telah diberlakukan pada bulan April tahun 2004. UU ini

ditetapkan sebagai dasar hukum baru setelah UU N0. 22 tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang

Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dianggap sudah tidak sesuai

denga kebutuhan masyarakat. UU lama dianggap oleh berbagai pihak terlalu

didominasi pemerintah dalam hubungan industrial sehingga tidak sesuai bagi

Indonesia yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Disamping itu UU baru

ini dilatar belakangi era industrialisasi yang ditandai dengan semakin

kompleksnya masalah perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja

dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.

Ada banyak kontroversi panjang seputar UU No. 2 tahun 2004 ini. Kedua

belah pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak buruh sama-sama keberatan dengan

argumen yang berbeda. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai

kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK,

uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan

juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Sementara pihak buruh

yang diwakili oleh Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB) merasa UU ini tidak

berpihak pada buruh dan masih bernuansa legalisasi perbudakan modern.

Menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Saepul Tavip (dalam Kompas)

ada beberapa alasan yang mendasari KAPB tidak sepakat dengan UU No. 2 tahun

(54)

Di satu sisi, kebijakan dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi

pekerja. Namun, di sisi lain kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat

mengurangi daya serap pasar kerja. Pada akhirnya hal tersebut justru akan

berdampak negatif bagi pekerja.

2.4.3. Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja

Pemerintah telah berupaya melakukan penanganan semakin meningkatnya

tingkat penganguran. Penanganan dilakukan baik melalui: (i) Program Jaring

Pengaman Sosial (JPS), (ii) program penanggulangan pengangguran akut, (iii)

program penanggulangan pengangguran baru dan (iv) program penanggulangan

pengangguran marjinal (Depnakertrans dan BPPS, 1999). Namun terkesan

upaya-upaya tersebut hanya mampu mengalihkan tenaga kerja berlebih ke sektor-sektor

padat karya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya yang ada. Dengan

demikian, kebijakan penyediaan lapangan kerja yang telah diberlakukan hanya

bersifat jangka pendek (Hadi, 2002).

Disamping itu untuk menciptakan lapangan kerja, yang utama dibutuhkan

adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi yang jauh

dari target maka adalah tepat jika pemerintah merasa perlu memikirkan strategi

pertumbuhan melalui iklim usaha yang kondusif berupa pembenahan peraturan di

pasar kerja dan bidang lainnya. Pengalaman masa lalu dimana sejumlah investor

asing (PT. Doson dan megaindustri elektronik Sony) menutup usahanya di

(55)

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu

2.5.1. Kesempatan Kerja

Lucas (1969),telah menganalisis tentang upah riil, kesempatan kerja, dan

inflasi (Lucas dalam Mankiw, 2000). Ia menyimpulkan bahwa keputusan

penawaran tenaga kerja sebagai pilihan yang dibuat pekerja antara bekerja atau

menganggur. Pekerja mempunyai beberapa pemahaman mengenai upah riil yang

akan mereka terima dari bekerja. Mereka kemudian memutuskan apakah akan

bekerja atau tidak dengan membandingkan upah riil dengan keuntungan yang

didapat dari waktu istirahatnya. Jika upah riil yang diharapkan lebih tinggi dari

biasanya pekerja akan mempunyai semangat untuk bekerja. Sebaliknya jika upah

lebih kecil dari biasanya pekerja akan memilih untuk menganggur dan menunggu

sampai upah riil naik. Da1am pengertian ini, pengangguran diterangkan sebagai

pilihan sukarela oleh pekerja yang menunggu naiknya upah riil sampai di atas

tingkat normal.

Calvo-Armengol dan Jackson (2004) mengembangkan sebuah model

datam penelitiannya tentang dampak social net work pada kesempatan kerja dan

ketidak adilan. Mereka menyimpulkan bahwa kesempatan kerja secara positif

berkaitan dengan waktu dan agen.

Mangkuprawira (2000) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

kesempatan kerja di wilayah Jawa (tanpa DKI Jaya) dan Bali. Hasil analisis

menunjukkan bahwa kesempatan kerja di setiap sektor umumnya dipengaruhi

PDB regional masing-masing sektor. Kesempatan kerja sektor dipengaruhi faktor

investasi untuk sektor-sektor jasa perkotaan, pertanian dan jasa pedesaan,

Gambar

Tabel 3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja
Tabel 4. Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda
Tabel 7. Studi Terdahulu Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran
Gambar 1. Penawaran Tenaga Kerja yang Melengkung ke Belakang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menyimpulkan bahwa jenis ijtihad yang digunakan oleh Didin adalah ijtihad istil ā h ī , karena Didin dalam menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara

Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan

Gambar IV.2 Flow Map Diagram pada Sistem yang sedang berjalan Start Data Properti Kavling, Ruko dan Perumahan Proses Legalitas Properti Proses Teknis Properti Stop

Apakah ada Polis atau SPAJ atau proses pemulihan untuk asuransi dasar, asuransi penyakit kritis, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan yang pernah diajukan atau masih dalam

Beberapa masalah yang banyak dijumpai antara lain penggunaan obat-obat golongan Benzodiazepine untuk kasus kecemasan akut yang ringan atau insomnia yang diberikan dalam jangka

Alasan kepastian pasar yang di berikan oleh pihak koperasi kepada petani cabai merah merupakan alasan yang pal- ing utama yang di ungkapkan oleh petani untuk menjalin

Skripsi ini meneliti tentang praktik jual beli padi dengan sistem tebas dan Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa transaksi jual beli padi

sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap.. kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan