• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

 

PEMIKIRAN POLITIK HASSAN HANAFI

( STUDI TERHADAP PEMIKIRAN KIRI ISLAM)

SKRIPSI

OLEH :

HARRY PERDANA HARAHAP 040906022

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

 

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbill’alamiin, puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat

yang diberikan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat beriring salam atas Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan berkehidupan di

muka bumi. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir bagi mahasiswa Ilmu Politik sebagai

syarat untuk menjadi sarjana ilmu sosial dan ilmu politik. Skripsi ini berjudul Pemikiran

Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam).

Manusia tak luput dari kesalahan, penulis mengakui masih terdapat kekurangan secara

kualitatif, bahasa maupun cara penulisan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu

diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.

Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 25 Maret 2010

(3)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : HARRY PERDANA HARAHAP

NIM : 040906022

Judul Skripsi : Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam)

ABSTRAKSI

Kajian terhadap pemikiran politik para pemikir Islam masih sangat relevan untuk dibahas dan ditelusuri karena terus berkembang. Pemikiran politik Islam sangat digandrungi oleh para ilmuwan Islam kontemporer maupun para ilmuwan barat karena mengelaborasi hubungan antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan Tuhan. Begitu juga bagi para mahasiswa yang sedang menyelesaikan penelitiannya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Kiri dan Islam ataupun Kiri Islam yang digagas oleh Hassan Hanafi , baik faktor-faktor yang meliputinya ataupun tujuan akhir dari pemikiran Kiri Islam tersebut. Bagi penulis, hasil dari penelitian ini ialah mengetahui dan mempertegas makna pemikiran Hassan Hanafi terhadap tujuan Islam dalam menyeru kebenaran, membela kaum tertindas, dan rahmat bagi sekalian alam.

(4)

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……… i

Abstraksi ……….. ii

Daftar Isi ……….. iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……...……….………….……… 1

1.2. Perumusan Masalah ...………..……… 8

1.3. Pembatasan Masalah ……...………..………... 9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...…..………... 9

1.4.1. Tujuan Penelitian ……….……….... 9

1.4.2. Manfaat Penelitian ……….………...…………... 9

1.5. Kerangka Pemikiran ……….…...………... 10

1.5.1. Kiri Islam ……….…………...……….... 11

1.6. Metode Penelitian ………...………..………... 15

1.6.1. Jenis Penelitian ……….………... 15

1.6.2. Sumber Data ………..………... 16

1.6.3. Teknik Analisa Data ………...………... 17

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL HASSAN HANAFI 2.1. Riwayat Hidup Hassan Hanafi ………... 18

2.2. Pemikiran – Pemikiran Yang Mempengaruhi Hassan Hanafi ……… 26

(5)

 

BAB III

ANALISA DATA

3.1. Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Kiri Islam ……… 31

3.1.1. Prinsip Turas dan Tajdid ………...……… 34

3.1.1.1. Turas dan Tajdid dan Penyatuan Ilmu – Ilmu ……..……… 36

3.1.2. Revitalisasi Khazanah Islam Klasik ………..……… 38

3.1.3. Oksidentalisme : Sikap Terhadap Turas Barat ……….. 40

3.1.4. Fundamentalisme : Islam Sebagai Reaksi Atas Imperialisme …………...… 43

3.1.5. Oksidentalisme Melawan Neo-Imperialisme ………...………. 44

3.1.6. Hermeneutika : Pembacaan Terhadap Realitas ……….……… 49

3.1.7. Kiri Islam dan Realitas Dunia Islam ………...……….. 53

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan ……….……… 59

4.2. Saran ………...……… 61

DAFTAR PUSTAKA ……… 62

(6)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : HARRY PERDANA HARAHAP

NIM : 040906022

Judul Skripsi : Pemikiran Politik Hassan Hanafi (Studi Terhadap Pemikiran Kiri Islam)

ABSTRAKSI

Kajian terhadap pemikiran politik para pemikir Islam masih sangat relevan untuk dibahas dan ditelusuri karena terus berkembang. Pemikiran politik Islam sangat digandrungi oleh para ilmuwan Islam kontemporer maupun para ilmuwan barat karena mengelaborasi hubungan antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan Tuhan. Begitu juga bagi para mahasiswa yang sedang menyelesaikan penelitiannya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Kiri dan Islam ataupun Kiri Islam yang digagas oleh Hassan Hanafi , baik faktor-faktor yang meliputinya ataupun tujuan akhir dari pemikiran Kiri Islam tersebut. Bagi penulis, hasil dari penelitian ini ialah mengetahui dan mempertegas makna pemikiran Hassan Hanafi terhadap tujuan Islam dalam menyeru kebenaran, membela kaum tertindas, dan rahmat bagi sekalian alam.

(7)

  BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam ranah ilmu politik, kajian mengenai pemikiran politik bukanlah sesuatu hal

yang baru. Ini dapat dilihat dari sejarah pemikiran politik yang ada, baik era klasik,

pertengahan, maupun kontemporer. Tentu saja para pemikir juga mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh arus pemikiran pada zamannya.

Wacana pembebasan belakangan ini menjadi sangat popular dikalangan generasi

muda. Gejala ini merupakan tampilan dari realitas serupa di negara-negara berkembang.

Wacana ini terbit setelah modernisme dinilai tak mampu lagi merespon seluruh dimensi

kehidupan manusia. Modernisme sebagai narasi besar (grand narrative) dianggap tak cukup

tangguh lagi menjawab permasalahan yang muncul.

Diskursus mengenai problematika masyarakat dan pembebasan banyak melahirkan

pemikir-pemikir Islam dengan latar belakang yang tak jauh berbeda. Mereka prihatin dengan

kondisi kaum muslimin yang memiliki konsep ideologi (aqidah) sedemikian maju justru

tidak berkembang dalam ideologi tersebut. Hassan Hanafi adalah salah satu diantara sekian

pemikir tersebut.

Hassan Hanafi merupakan guru besar filsafat di Universitas Kairo. Ketika masih

muda, ia seorang demonstran anti-kolonialisme Barat, pengagum visi revolusioner Sayyid

Qutb, bahkan menemukan keasyikan berIslam bersama Ikhwanul Muslimin sembari

menggeluti filsafat di Universitas Kairo. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sorbone

University, Perancis, sambil mengagumi visi Sosialisme Islam Nasserian. Bahkan ia

(8)

 

Hassan Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide rekonstruksi Muhammad Iqbal,

model reformasi Abduh dan konsep revolusi al-Afghani dan Ali Syari'ati, baginya

rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan Arab-Islam dengan melihat kepada spirit

modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Ilmu yang paling fundamental dalam Islam

harus dibangun dengan perspektif dan standar modernitas.

Pada fase kematangan berfikirnya, ia dikenal sebagai penerus cita-cita besar Afghani

dan Abduh, dengan mengajukan proyek besar peradaban yang dikemas dalam slogan

Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) yang mesti terejawantah dalam tiga proyek besar: kritis terhadap

tradisi Islam, kritis terhadap tradisi Barat dan cerdas menyikapi persoalan kontemporer Islam.

Proyek yang ia namakan tradisi dan pembaharuan (al-turas wa al-tajdid).

Hassan Hanafi sebelumnya dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam dan

juga menjabat guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Kairo Mesir. Ia

mengkonsentrasikan kajiannya pada proyek kebangkitan Islam dan kesatuan umat, sebagai

suatu reaksi atas apa yang ia sebut sebagai tiga ancaman bagi dunia Islam. Tiga ancaman

tersebut mencakup tiga dari luar (imperialisme / kolonialisme, kapitalisme, zionisme) dan

tiga dari dalam (ketertindasan, kemiskinan, keterbelakangan).

Ia menawarkan Kiri Islam sebagai metode alternatif bagi pembaharuan pemikiran

Islam dengan produk sebuah proyek besar, yakni merekonstruksi dan memperbaharui tradisi

(al-turas wa al-tajdid).

Hassan Hanafi meluncurkan jurnal Kiri Islam (Al-Yasar al-Islami) pada 1981 di Kairo

-hanya berumur satu terbitan- Hassan Hanafi memancangkan tiga pilar Kiri Islam. Tiga pilar

(9)

 

oksidentalisme untuk menentang Barat; dan (3) sebagai upaya analisis atas realitas dunia

Islam, kritik atas metode tradisional yang terlalu bertumpu pada tekstual.

Di masa revolusi Prancis, Kaum Yakobin yang merupakan kelompok radikal

mengambil tempat duduk di sebelah kiri Konvensi Nasional. Sejak itulah istilah “kiri” dan

“kanan” digunakan dalam politik. Dalam terminologi politik, kata “kiri” seringkali

diidentikkan sebagai perlawanan dengan label radikal, sosialis, anarkis, reformis, komunis,

bahkan liberalis. Berlawanan dengan “kanan” yang cenderung mapan dalam sebutan yang

lebih lembut, “kiri” mendobrak sakralisasi gagasan, sistem dan nilai. Dalam konotasi

akademis maka istilah kiri sebenarnya adalah identifikasi sosial, sebagaimana dimunculkan

oleh pendukung gagasan-gagasan Karl Marx untuk mengidentifikasi diri sebagai kelompok

yang berlawanan dengan kemapanan sistem masyarakat Eropa yang kapitalistik.

Istilah Kiri Islam bukanlah ciptaan Hassan Hanafi, istilah ini sudah digunakan oleh

Ahmad Gabbas Salih dalam sebuah tulisannya Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Islam tahun 1972 :

Dalam Islam, kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi

orang-orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan

kewajiban di antara seluruh masyarakat. Singkat kata, kiri adalah

kecenderungan sosialistik dalam Islam.1

Hassan Hanafi, seorang cendikiawan Mesir alumni Universitas Sorbonne, Prancis

dan Profesor Filsafat di Universitas Kairo, yang mengelola gagasan Kiri Islam (Yasar

al-Islam) dalam konotasi akademis sebagai sebuah konsepsi ‘perlawanan terhadap pemapanan’

Islam. Dalam hal ini Hassan Hanafi tidak membicarakan Islam yang digariskan Tuhan tidak

terpisah-pisah dalam “kiri” dan “kanan”, melainkan sebuah wacana tentang kaum muslimin

      

1

(10)

 

dalam realitas sejarah dan sistem sosial tertentu. Sepanjang kita terlibat dalam sejarah, maka

kita akan selalu dalam pertentangan kekuatan dan kepentingan. Maka “kiri” dan “kanan” bagi

Hassan Hanafi berada pada tingkat sosial dan historis ini.

Dengan mengacu pada gagasan kritisisme, Hassan Hanafi kemudian menyusun peta

pemikiran sebagai berikut: Dalam teologi Islam, Mu’tazilah adalah kiri, sedangkan

Asy’ariyah adalah kanan. Tafsir dengan aql adalah “kiri”, sedangkan dengan naql adalah

“kanan”. Dan dalam politik, Ali dan Husein adalah “kiri”, sedangkan keluarga Mu’awiyah

dan Yazid adalah “kanan”. Termasuk juga membagi realitas masyarakat muslim “kiri”

sebagai masyarakat yang dikuasai, tertindas, miskin dan tersingkir, di antara masyarakat

muslim “kanan” yang berkelebihan, cenderung tidak peduli dengan masyarakat muslim

lainnya dan bahkan terseret dalam kehidupan kapitalisme Barat hingga tercerabut dari

identitas keIslamannya.

Hassan Hanafi berusaha mengembalikan Islam yang dipahami sebagai ideologi,

agama dan gerak (revolusi) kaum muslimin. Semua dimulai Hassan Hanafi dengan

melakukan kritik internal komunitas muslim. Maka bagi salah satu kelompok, Argumen Kiri

Islam Hassan Hanafi terasa mengganggu, bahkan mungkin mengancam, terutama berkaitan

dengan kenyamanan terhadap tata cara beragama yang dikritisinya. Masyarakat muslim yang

merasakan terusik mulai mengembangkan propaganda yang memandang Kiri sebagai

pengingkaran terhadap agama, atheis dan pemecah belah.

Menurut Hassan Hanafi, Kiri Islam juga merupakan tahap lain dalam perkembangan

reformasi keagamaan dimana ia bertugas bukan sekadar melakukan konfrontasi terhadap

bahaya-bahaya abad ini, melainkan juga melakukan rekonstruksi terhadap kenyataan

(11)

 

kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Akal dianggap perlu untuk

memperoleh bantuan dari langit untuk menghasilkan kemampuan praktis.

Hassan Hanafi mempunyai pandangan bersahabat dengan pemikiran Barat, kendati

menurut sementara kalangan sikap kritisnya terhadap Barat kurang terakomodasi dengan

tuntas, Hassan Hanafi memang selalu mengingatkan tentang kekeliruan Barat dalam

memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalis. Ia menapilkan sosok yang menyerap

sepenuhnya nilai dan lmu-ilmu Barat. Namun dari sana pula ia berpijak mengkaji Barat

dalam suatu pemahaman dan wawasan yang berbeda dari pemikir sebelumnya terutama

kelompok modernis yang mungkin agak emosional baik mereka yang menerima atau

menolak Barat. Inilah beberapa sisi pemikiran Hassan Hanafi tentang Islam.

Hassan Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan

kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk

memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin

memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta

menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi

untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan

kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan

keterbelakangan sebagai ancaman internal.

Lebih lanjut, Kiri Islam Hassan Hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi

Kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan Kiri

Islam Hassan Hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi —kapitalisme

dan sosialisme. Hassan Hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang

(12)

 

yang diberi ruh pendasaran-religius-spiritualistik (dalam hal ini adalah Islam) dengan

menghilangkan materialistiknya.

Ini dilakukan supaya Islam yang awalnya merupakan sistem kehidupan yang

membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang

populistik —ideologi kaum tertindas— yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah

yang menjadi kesimpulan dan pilihan Hassan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan

Kiri Islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya

yang bersifat spiritualitas dan historis.

Kiri Islam menurut Hassan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid sebagai

basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau tak mau diperlukan

upaya membangun kembali semangat revolusi tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi

Muhammad saw. sebagai rasul terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid —la

ilaha illa-Allah— yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan

transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah.

Revolusi tauhid ilahiyah merupakan konsekuensi logis yang membebaskan manusia

dari penghambaan, pengultusan dan penyakralan terhadap mitos-mitos politik, ekonomi,

sosial dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan revolusi tauhid al-ummah

menekankan pada aspek transformasi pembebasan kehidupan manusia dalam sistem

kemasyarakatan tanpa dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala

dimensi pada kehidupan kemasyarakatan.

Oleh karena itu ada dua penyebab utama mengapa peneliti tertarik untuk menelitinya.

Pertama, Hassan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang

akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Kiri Islam, oksidentalisme,

(13)

 

pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme

modern. Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam

standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya,

harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam di mana tradisi

tersebut terbentuk. Dengan upaya ini, Hassan Hanafi yakin umat Islam akan mampu

menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan

sosial, ketidakadilan, kebodohan, kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat.

Kedua, teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika sistem

kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan

budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk

memelihara kemurniannya. Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah.

Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode

kolonisasi2. Karena itu, lanjut Hassan Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual

baru, yang berasal dari kebudayaan modern.

Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau

sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi

legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang

berbeda. Karena itu, Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau

arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan

demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hassan Hanafi, persesuaian

antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif berupa nilai-nilai

      

2

Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi,

(14)

 

manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca

kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.

Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam

pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki

makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan politik

kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak

berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik,

Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik

melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai reformasi.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai mengapa masalah yang

dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti.

Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan

penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Atau dengan kata lain

perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup

masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.3

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka

dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah :

“Bagaimana Pemikiran Politik Hassan Hanafi tentang Pemikiran Kiri Islam?”

      

(15)

  1.3. Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu membuat pembatasan masalah terhadap

masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang

dicapai yaitu menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah

dalam penelitian ini, adalah :

“Pemikiran Hassan Hanafi tentang pemikiran Kiri Islam.”

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengungkap pemikiran Hassan Hanafi sebagai salah seorang pemikir

kontemporer terhadap pemikiran Kiri Islam.

2. Untuk mengetahui landasan Kiri Islam Hassan Hanafi.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan

penelitian lebih lanjut atas permasalahan yang relevan.

(16)

 

3. Diharapkan berguna bagi para pemikir politik Islam di Indonesia tentang wacana

Islam dan pemikiran kiri.

1.5. Kerangka Pemikiran

Bagian ini merupakan salah satu unsur yang penting dalam penelitian, karena pada

bagian ini peneliti mencoba menjelaskan pemikiran yang sedang diamati dengan

menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Kerangka pemikiran berusaha

menjelaskan arahan yang akan diteliti dan berkait dengan landasan teori atau penelitian yang

sebelumnya.

Teori menurut Masri Singarimbun dan Sofian Effendi dalam buku Metode Penelitian

Sosial mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan preposisi

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan

hubungan antar konsep.4

Sebelum membahas tentang konsep yang dipergunakan maka peneliti akan

mendefinisikan hal-hal terkait dalam penelitian ini. Suatu konsep adalah abstraksi. Konsep

adalah sepatah kata yang menyatakan kesamaan-kesamaan diantara peristiwa-peristiwa dan

situasi-situasi lain.5 Oleh karena itu, dalam skripsi ini, untuk menggambarkan masalah penelitian yang menjadi objek penelitian, peneliti menggunakan konsep Kiri Islam.

Dalam menjelaskan Kiri Islam, peneliti menggunakan tahapan : pertama,

pembentukan teori (turas dan tajdid). Kedua, analitika (hermeneutika, oksidentalisme) dan,

ketiga, teori vis a vis realitas dunia Islam.

      

4

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Sosial. Jakarta : LP3ES, 1998, hal.37.

5

(17)

  1.5.1. Kiri Islam

Istilah “kiri” dalam wacana global seolah terinspirasi dari gerakan kaum sosialis

maupun pemikiran Herbert Marcuse yang disebut member ruh bagi New Left yang

menginspirasi revolusi mahasiswa 1968. Ini seakan-akan menunjukkan bahwa “kiri” selalu

bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat revolusioner. Kiri Islam merupakan sintesa dan

tafsir ulang terhadap khazanah keilmuan Islam dan juga analisis konsep Marxian atas kondisi

obyektif serta tradisi yang mengakar dalam rakyat, tradisi yang dimaksud adalah tradisi

keagamaan yang membentuk medan kebudayaan massa6.

Berbicara tentang kiri maka tak terlepas dari kata kanan, maka dalam konteks ini

adakah yang disebut dengan kanan Islam? Secara tersirat Hanafi menjelaskan tidak ada kanan

Islam dan yang ada hanya kiri Islam. ini dikarenakan Islam tidak patut ataupun boleh

bertindak sebagai penindas karena Islam adalah agama pembebasan. Bahkan posisi kaum

tertindas dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Qasas (28) : 5, yang berbunyi :

Dan kami hendak member karunia kepada orang-orang tertindas di bumi

itu dan hendak menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.

Hassan Hanafi, seperti dikatakan Issa J Boulatta dikutip dari Listiyono Santoso7,

berkeyakinan bahwa Kiri Islam dapat berhasil setelah realitas masyarakat, politik, ekonomi,

khazanah Islam dan tantangan barat dapat dianalisis. Dalam beberapa hal, Kiri Islam

bertumpu dalam tiga tatanan metodologi : pertama, tradisi atau sejarah Islam; kedua,

fenomenologi; ketiga, analisis sosial Marxian.

      

6

Muhammad Mustafied, dalam Muhidin M. Dahlan(ed), Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta : Kreasi

Wacana, 2000, hal.177.

7

(18)

 

Kiri Islam, menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikutip Shimogaki, lahir setelah

melihat berbagai kegagalan dalam masyarakat dunia Timur(Islam) dalam beberapa generasi

dalam mengentaskan keterbelakangan dan kemiskinan8. Ini disebabkan karena : pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan yang menjadikan agama (Islam)

hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi. Padahal itu bukanlah

pencerminan dari system Islam. Sementara kecenderungan keagamaan yang tidak

terkooptasi, terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan dan berorientasi kekuasaan.

Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi berakhir, jelas

didikte oleh kebudayaan barat, berperilaku seperti penguasa kolonial dan hanya melayani

kelas-kelas elite yang menguasai asset negara. Ketiga, Marxisme yang berpretensi

mewujudkan keadilan sosial dan menantang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan

pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkan

tujuan-tujuan kemerdekaan nasional. Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil

melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak

berumur lama karena banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran

mayoritas rakyat. Itu sebabnya Kiri Islam dimunculkan dalam rangka merealisasikan

tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip sosialis dengan cara mengembangkan

khazanah intelektual klasik yang berdimensikan revolusioner dan berpijak pada kesadaran

rakyat.

Kiri Islam (al-Yasar al-Islamiy) merupakan bentuk idiologisasi Islam untuk

mewujudkan pemihakannya kepada kepentingan rakyat. Tugas Kiri Islam adalah

mendefinisikan kuantitas Barat, yakni mengembalikannya ke batas alamiahnya dan

mengakhiri mitosnya yang mendunia. Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin

      

8

(19)

 

mengekspor peradabannya kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model

pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa

lain. Akibatnya bangsa- bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai

kekayaan mereka sendiri.

Krisis abad ke-20 di Barat bagi kita adalah awal reformasi. Tugas Kiri Islam adalah

mengembalikan peradaban Barat pada tempat kelahiran, lingkungan dan sejarahnya. Ini untuk

menghilangkan hambatan bagi berkembangnya peradaban non-Barat. Dan model-model bagi

kemajuan, dengan demikian, bisa menjadi banyak dan berviariasi. Tugas Kiri Islam adalah

mendorong peradaban Barat kembali ke Barat; menjadikan Barat sebagai tema studi khusus

bagi peradaban non-Barat. Lebih jauh ia akan melahirkan suatu disiplin baru, “Orientalisme”,

untuk menandingi “Oksidentalisme”. Orientalisme sendiri menghadirkan alam pikiran,

pandangan dunia dan motivasi Barat yang terselubung ketimbang studi tentang objeknya.

Kiri Islam memberikan suatu gambaran situasi di dunia Islam tanpa mengikuti suatu

metode bimbingan atau nasehat. Realitas menampakan dirinya, seperti statistik. Pemikiran

keagamaan kita bersandar pada metode yang mentransfer teks ke realitas. Kiri Islam juga

berfungsi guna meneliti unsur-unsur revolusioner dalam agama. Agama adalah apa yang kita

miliki dalam tradisi yang asli; revolusi adalah hasil zaman kita. Dan dalam agama sendiri ada

revolusi. Para nabi adalah para revolusioner dan sekaligus reformis. Revolusi tauhid

menentang kemusyrikan dibawa Nabi Ibrahim; revolusi semangat oleh Nabi Isa, revolusi

orang miskin, budak, dan orang-orang yang malang dibawa Nabi Muhammad.

Kiri Islam sepenuhnya bebas dari Timur atau pun Barat. Ia bukan Marxisme baru,

liberalisme revolusioner atau gerakan Syi’ah. Konsepsi ini hadir dari kecenderungan budaya

(20)

 

mempertimbangkan politik dalam budaya ummah dan renaissans ummah, dan perjuangannya

adalah pada tingkat kesadaran budaya dan peradaban ummah. Ia bertujuan melampaui

pemecahan-pemecahan yang parsial untuk mencapai pandangan yang menyeluruh. Hassan

Hanafi berpandangan bahwa Kiri Islam bukan hanya semangat yang berapi-api dalam pikiran

masyarakat, tapi bertujuan untuk mentransformasikan semangat itu ke dalam akal, dialog dan

pencerahan untuk mempertahankan kebaikan Islam.

Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi riil problem umat Islam saat ini, seperti

keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos kerja, menolak penjarahan

tanah, dan praktik kekerasan berdarah. ''Saya ingin memperkenalkan Islam modern, yang

memberi penafsiran baru terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi

tantangan modernitas, tanpa harus taklid pada Barat dan juga ulama klasik Arab. Islam yang

saya maksud mendorong bangkitnya budaya nasional serta melestarikan identitas bangsa

Indonesia,'' paparnya.

Dalam pandangannya, Islam yang dibutuhkan Indonesia bukan konservatif yang

hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler Barat yang belum tentu

cocok dengan budaya bangsa Indonesia. ''Apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia

Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni

teritorial dan identitas budaya, serta nasionalisme, dan khasanah warisan di satu sisi dan

legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi

hukum di sisi lain.

(21)

 

Metode penelitian secara umum membahas bagaimana penelitian dilakukan. Metode

penelitian dalam karya tulis ilmiah ini sebenarnya lebih bersifat refleksi, sekalipun disana-sini

menggunakan sumber rujukan. Hal ini peneliti lakukan setelah melihat dan mengamati

perjalanan intelektual seorang tokoh yakni Hassan Hanafi.

1.6.1. Jenis Penelitian

Metodologi yang dibutuhkan dalam studi tokoh adalah kualitatif. Akan tetapi,

metodologinya berbeda dengan penelitian-penelitian bidang sosial lainnya.

Dalam penelitian pemikiran tokoh kerangka yang dipakai dalam meneliti adalah

kualitatif. Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun dalam bukunya “Studi Tokoh : Metode

Penelitian Mengenai Tokoh,” melalui metode kualitatif, peneliti dapat mengenal sang tokoh

secara pribadi dan melihat dia mengembangkan definisinya sendiri tentang dunia dengan

berbagai pemikiran, karya, dan perilaku yang dijalaninya.

Di samping itu, metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih

mendalam mengenai konsep-konsep atau ide-ide. Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam

karya-karya tokoh akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari tulisan-tulisannya yang

mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya. Pengaruh tersebut tidak

hanya dalam perkembangan teori, tetapi juga dalam hal praktek sehingga akan dapat

dikatakan apakah pemikiran tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah dan memenuhi criteria

ilmu pengetahuan. Dari pengaruh terhadap perkembangan pemikiranlah akan terlibat

kekuatan dari pemikiran tokoh tersebut.

Penelitian ini bersinggungan dengan wacana keagamaan kontemporer dan objek

(22)

 

Penelitian studi tokoh, seperti yang dikatakan oleh Arief Furchan dan Agus Maimun,

dikategorikan kedalam jenis penelitian kualitatif, yang menelusuri pemikiran melalui

karya-karya, peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya karya tersebut dan pengaruh dari karya yang

dihasilkan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian,

interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti

mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang

analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

1.6.2. Sumber Data

Penelitian jenis ini berisi satu topik yang didalamnya memuat beberapa gagasan dan

atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari sumber

pustaka atau dokumentasi.

Ada dua sumber data yang dibutuhkan yaitu data primer dan data sekunder. Sumber

data primer yang berkaitan dengan pemikiran tokoh adalah karya-karya yang pernah ia tulis

semasa hidupnya. Dan untuk sumber data sekunder berasal dari teoritisi sosial lainnya yang

pernah menginterpretasikan pemikiran Hassan Hanafi dalam pemikiran Kiri Islam.

(23)

 

Teknik yang digunakan melalui tahapan pengumpulan data, klasifikasi data yang

relevan dengan subjek penelitian, analisa, lalu menarik kesimpulan.

Data primer dan data sekunder dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang mendalam

(in-depth) dan tidak melebar (out-depth).

Setelah data yang diperoleh dirasa memadai untuk mendukung proses analisa, maka

tahapan selanjutnya adalah analisa data. Analisa data yang dilakukan dalam penelitian

pemikiran tokoh disini, mempergunakan pendekatan sejarah (historical approach).

Menurut Tolfsen, ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah. Pertama,

kegunaan dari konsep periodesasi atau derivasi lainnya. Kedua, rekonstruksi proses genesis,

perubahan dan perkembangan. Dengan cara demikianlah, manusia dapat dipahami secara

kesejarahan. Melalui analisa sejarah, baru dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkan

suatu ide dari seseorang tokoh. Melalui analisa sejarah pula, dapat diketahui bahwa seseorang

tokoh dalam berbuat atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan

tekanan-tekanan yang muncul dari dirinya sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakan

secara mendalam dipengaruhi tidak cuma oleh dorongan internal yang berupa ide.

Keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan

eksternal (Abdullah dan Karim, 1990:73).

(24)

 

BIOGRAFI INTELEKTUAL HASSAN HANAFI

2.1. Riwayat Hidup Hassan Hanafi

Hassan Hanafi, sebagaimana disebutkan oleh Abad Badruzzaman, lahir di Kairo,

ibukota Republik Arab Mesir (Jumhuriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Februari

1935.9 Keluarganya berasal dari provinsi Banu Swaif, salah satu provinsi di Mesir bagian

selatan. Namun kemudian mereka kemudian pindah ke Kairo. Kakek Hassan Hanafi berasal

dari al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur. Kakek

Hassan Hanafi yang orang Maroko itu memutuskan untuk menetap di Mesir ketika ia singgah

di negeri itu sepulang menunaikan ibadah haji. Dalam persinggahan itu pula ia menikah

dengan seseorang yang kemudian menjadi nenek Hassan Hanafi.

Pada usia sekitar lima tahun. Hassan Hanafi mulai menghafal Al-Qur’an dibawah

bimbingan Syaikh Sayyid. Sentuhan awal Hassan Hanafi dengan Al-Qur’an itu berlangsung

di jalanan al-Banhawi kompleks bab al-Sya’riyah, pinggiran kota Kairo bagian selatan.

Pendidikan dasarnya ia selesaikan selama lima tahun di Madrasah Sulayman Ghawish, Bab

al-Futuh, suatu daerah yang berbatasan dengan Benteng Salahuddin. Setamat dari sekolah itu,

Hassan Hanafi masuk ke sekolah pendidikan guru Al-Mu’allimin. Namun ketika hendak

memasuki tahun kelima, tahun terakhir pendidikan di sekolah tersebut, ia pindah mengikuti

jejak kakaknya ke sekolah Silahdar. Sekolah barunya itu berada di komplek Al-Hakim bi

      

9

Abad Badruzaman. Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana,

(25)

 

Amrillah. Di sekolah itu pula Hassan Hanafi banyak belajar bahasa asing. Pendidikan

menengah atasnya ditempuh di Sekolah Menengah Atas Khalil Agha10.

Sewaktu masih kanak-kanak, pada waktu libur musim panas, Hassan Hanafi bersama

keluarga selalu meluangkan waktu untuk pulang kampung asal mereka, Banu Sweif. Di

kampung asalnya itu, Hanafi sekeluarga menenangkan diri dari kebisingan kota Kairo. Belum

lagi kebisingan yang bersumber dari bentrokan antara tentara nasional pembela kemerdekaan

Mesir dengan kekuatan kolonial Inggris yang masih ingin menguasai negeri itu. Di Banu

Sweif, mereka masih dapat menikmati indahnya pemandangan alam yang masih murni

dengan suasana masyarakat desa yang bersahaja11.

Saat kanak-kanak, Hassan Hanafi sangat senang berolahraga dan bermain musik.

Renang menjadi olahraga yang paling digemarinya meski sering dilarang keluarganya.

Larangan ini karena mereka khawatir Hassan Hanafi menjadi tuli, karena telinganya

kemasukan air, atau mati tenggelam. Kegemaran Hassan Hanafi untuk bermain musik pun

kurang disetujui keluarganya dengan alasan alat musik mahal harganya. Ketika keluarganya

berusaha mencegahnya berenang, Hanafi selalu berkilah dan “melawan”, dengan mengatakan

bahwa renang, memanah dan berkuda merupakan olah raga yang dianjurkan agama.

“Menjaga kesegaran jasmani sama pentingnya dengan merawat kesehatan jiwa,” demikian

Hassan Hanafi berkilah.

Seringkali ketika Hassan Hanafi ngotot dengan hobinya, dan keluarganya pun sama

ngotot dengan larangannya, Hassan Hanafi pun berinisiatif mogok makan untuk melunakkan

hati orang tuanya. Mereka akhirnya dapat mengabulkan keinginan Hassan Hanafi setelah

      

10

Ibid.

11

(26)

 

kakak iparnya turun tangan dan berhasil membuat orang tua Hassan Hanafi memahami

bahwa setiap orang mempunyai watak dan kecenderungan tersendiri.

Pada tahun 1946, memasuki usia sekitar sebelas tahun, Hassan Hanafi sudah ikut serta

dalam demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Di usianya masih relatif muda, ia sudah

memandang perlunya tindakan turun ke jalan, tidak cukup hanya duduk belajar di bangku

sekolah. Ilmu yang dimiliki di sekolah harus didedikasikan untuk membela tanah air. Pada

tahun 1948, Hanafi mencoba mendaftarkan diri ke Organisasi Pemuda Islam (Jam’iyah

Syubban al-Muslimin) untuk bergabung dengan para prajurit sukarelawan yang membantu

perjuangan bangsa Palestina melawan kaum Zionis. Namun permohonannya ditolak. Usia

masih terlalu muda untuk menjadi pejuang. Itulah alasan penolakan tersebut.12

Gagal ikut berjuang ke Palestina, Hanafi menyalurkan semangat revolusionernya ke

dalam gerakan-gerakan politik-keagamaan di negaranya. Ia berkenalan dengan pemikiran dan

aktivitas Ikhwan al-Muslimin (Moslem Brothers) di Khalil Agha. Pada tahun 1952 ia tercatat

sebagai anggota resmi gerakan itu. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Kairo, Hassan

Hanafi terus terlibat aktif dalam berbagai aktivitas Ikhwan hingga organisasi itu dilarang oleh

Pemerintah Mesir13.

Pada tahun 1951, Hassan Hanafi mendapat kesempatan untuk ikut dalam perjuangan

pembebasan al-Qanat (terusan Suez). Waktu itu ia sempat belajar memegang senjata di

Fakultas Teknik di Abbasiyah, Kairo bagian selatan. Dalam perjuangan pembebasan itu

Hassan Hanafi ikut mengantar dan mensholatkan jenazah para syahid di masjid al-Kukhya

dengan mengenakan pakaian kumal sambil membawa tongkat yang dibuat mirip senapan.

Pada bulan Januari 1952 di kota Kairo terjadi kebakaran hebat. Kebakaran itu konon

      

12

Ibid. hal 47

13

(27)

 

disengaja guna mengalihkan perhatian gerakan nasionalisme Mesir yang anti pemerintah

yang bersekongkol dengan kolonialis Inggris. Dalam hal itu, Hassan Hanafi jelas berada di

pihak kaum nasionalis yang memperjuangkan nasib kaum lemah. Ia tidak suka dengan

kekuasaan kaum istana yang bersekongkol dengan Inggris.

Bagi Hassan Hanafi tahun 1952 merupakan tahun transisi – perpindahan jenjang

pendidikan dari pendidikan menengah atas menuju bangku kuliah. Saat itu ia harus memilih

antara pendidikan sains atau pendidikan sastra; antara ilmu eksakta atau filsafat. Hassan

Hanafi memilih keduanya. Ia memilih eksakta karena ia menyukai matematika. Ia pernah

bercita-cita menjadi seorang insinyur. Ia juga memilih filsafat, karena ia menemukan

kebebasan berpikir didalamnya. Ia pernah mengikuti lomba karya tulis tentang orientasi

filsafat, dan ia menjadi juara satu dalam lomba itu.

Selain ilmu eksak dan filsafat, seni lukis juga ia gemari. Dalam suatu lomba melukis,

Hassan Hanafi keluar sebagai juara. Beethoven, Muhammad Abduh, Raja Farouk adalah

tokoh yang pernah ia lukis. Lukisan-lukisannya dipajang disekolahnya. Dalam diri Hassan

Hanafi ternyata berpadu minat dan bakat dalam seni lukis, musik, logika dan filsafat.

Pada musim panas Juli 1952 terjadi peristiwa penting dalam sejarah pergerakan politk

di Mesir. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama “Revolusi Juli” – suatu revolusi yang

telah merubah konstelasi sosial, politik dan kulturah yang cukup mendasar. Dan agama

termasuk pula di dalamnya. Revolusi itu telah merubah bentuk pemerintahan Mesir dari

Monarki-Kerajaan menjadi Republik-Demokrasi. Oleh Hassan Hanafi, Revolusi Juli

dijadikan sebagai titik awal untuk membahas pergulatan pemikiran dan pergolakan politik

(28)

 

dibukukan dengan judul Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981, yang dicetak dalam

delapan volume14.

Bagi Hassan Hanafi, di Mesir tidak ada gerakan-gerakan politik yang revolusioner

dan mempunyai koordinasi organisasi yang baik dan murni. Umumnya organisasi-organisasi

itu dihuni oleh orang-orang yang munafik dam oportunis belaka. Satu-satunya organisasi

yang masih ia nilai baik dan bersih adalah Al-Ikhwan al-Muslimun (Ikhwan). Selain Ikhwan,

di Mesir saat itu ada Partai Hay’ah al Tahrir (Gerakan Pembebasan), Partai Wafd dan partai

yang berhaluan Sosialis-Marxis.

Hassan Hanafi pun kemudian menjadi anggota Ikhwan, dan dibawah paying

organisasi ini dia mengkoordinir Persatuan Pelajar Mesir. Ikhwan dikenal semakin kental

dengan gerakan revolusi. Ketika terjadi perundingan antara Inggris dan Mesir tentang

Terusan Suez pada bulan Maret 1954 – di mana di antara salah satu butir perundingan dinilai

sangat merugikan bangsa Mesir karena memberi peluang bagi Inggris untuk kembali

menguasai Terusan Suez, Ikhwan mengkritik sangat tajam atas hasil perundingan itu. Hanafi

bertugas mengedarkan selebaran kritik Ikhwan itu.

Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari Kulliyat al-Adab

(Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hassan Hanafi pergi ke

Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbonne, dengan spesialisasi Filsafat

Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang dari sepuluh tahun Hassan Hanafi tinggal di

Perancis, salah satu Negara tempat orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi,

pemikiran, dan keilmuan barat dikuasainya. Ia sempat pula mengajar Bahasa Arab di Ecole

des Langues Orientales di Paris.

      

14

(29)

 

Pada tahun-tahun awal keberadaannya di Perancis, Hassan Hanafi sempat mengikuti

kursus musik di salah satu sekolah tinggi musik di Paris. Hal itu tak lain karena Hassan

Hanafi memiliki minat pada dunia seni. Keluarganya pun terkenal sebagai keluarga musisi.

Begitu seriusnya ia menekuni bidang itu sampai-sampai ia pernah bercita-cita menjadi musisi

dan komponis dunia. Pagi hari kursus musik, siangnya kuliah, dan sore hari ia gunakan untuk

membaca atau mencipta suatu simponi musik. Ia harus membagi waktu untuk kursus musik,

kuliah, membaca dan menggubah. Setelah dua tahun, dengan kesibukan seperti itu, Hassan

Hanafi sempat terserang TBC akibat kelelahan. Dokter menyarankan untuk menentukan

pilihan antara musik atau filsafat. Hassan Hanafi akhirnya memilih filsafat, sebab dalam

filsafat ia masih dapat menemukan pandangan yang apresiatif terhadap aspek estetis

kehidupan. Pandangan itu ia temukan dalam aliran Filsafat Romantisme.

Hassan Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai sur la methode d’Exegese

(Esei Tentang Metode Penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman tersebut memperoleh

penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 19615. Karya yang

tebal dan monumental tersebut merupakan upaya Hassan Hanafi dalam menghadapkan Ilmu

Ushul Fiqh (Filsafat Hukum Islam) kepada suatu madzhab filsafat modern, yaitu

fenomenologi yang dirintis oleh Edmud Husserl. Upaya Hassan Hanafi itu merupakan suatu

eksperimen yang menarik, sebab infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan, yang sama

sekali tidak memiliki pretensi kelanggengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir

yang dimaksudkan untuk mendukung keabadian Al-Qur’an. Setelah meraih gelar Doktor,

Hassan Hanafi kembali ke almamaternya, Universitas Kairo, Mesir, dan mengajar di Fakultas

Sastra, Jurusan Filsafat. Ia mengajar mata kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan

Filsafat Islam.

      

15

(30)

 

Reputasi internasionalnya sebagai pemikir ternama mengantarkan Hassan Hanafi

untuk merengkuh beberapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi diluar

Mesir. Pada tahun 1969, Hassan Hanafi menjadi professor tamu di Perancis. Kecuali itu,

Hassan Hanafi pernah mengajar di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait

(1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985)16.

Hassan Hanafi juga pernah berkunjung ke negeri Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol,

India, Sudan, Saudi Arabia, dan juga Indonesia. Kunjungan-kunjungan itu berlangsung antara

1980-1987. Dalam berbagai kunjungan tersebut, Hassan Hanafi banyak bertemu dengan para

pemikir ternama, yang kemudian memberi sumbangan pada keluasan tentang persoalan

hakiki yang dihadapi oleh umat manusia umumnya, dan umat Islam khususnya.

Kunjungan-kunjungan tersebut juga digunakan Hassan Hanafi untuk mengamati

secara langsung berbagai kontradiksi dan penderitaan kaum lemah yang terjadi di berbagai

belahan dunia. Hassan Hanafi sempat menyaksikan agama revolusioner di Amerika Serikat.

Di Amerika Latin, ia menyaksikan berkembangnya gerakan teologi pembebasan, yang

kemudian membuka pikiran Hassan Hanafi bahwa agama (Islam) sudah saatnya

dikembalikan kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu sebagai agama pembebasan, agama

yang sangat peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Teologi Islam harus segera

direkonstruksi dari bentuk lamanya yang bersifat teosentris menjadi suatu kerangka ilmu

yang dapat memajukan umat Islam, membela kaum lemah, dan berdiri tegak melawan

kekuatan apa pun yang mempertahankan rezim tiran dan status quo yang merampas hak

hidup dan kebebasan hakiki karunia Tuhan. Teologi Islam harus berbicara tentang manusia

dengan sejumlah persoalannya : masalah sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.

      

16

(31)

 

Kepergiannya ke Amerika Serikat untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975)

sebenarnya merupakan pilihan Hassan Hanafi ketika pemerintah Mesir memberikan pilihan

kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan

gerak-geriknya yang membuat gerah dan merah kuping pemerintah, atau pergi keluar negeri.

Di Amerika Serikat, Hassan Hanafi mempertajam penguasaannya atas filsafat Anglo-Saxon

dan studi tentang agama-agama. Pada periode itu ia menulis tentang agama Yahudi, Kristen

dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama.

Pada tahun 1975, Hassan Hanafi kembali ke Mesir dengan membawa obsesi lamanya,

yaitu membangun kesadaran diri (al-wa’y) lewat penelusuran dan pengkajian serta penafsiran

ulang atas tradisi klasik (turats) di satu sisi, dan menjadikan Barat sebagai objek kajian

sekaligus mitra sejajar dalam hubungan Timur (Islam) – Barat. Ia pun mulai menulis buku

Al-Turats al-Tajdid. Namun, naskah buku tersebut belum sempat selesai ditulis, karena ia

kemudian (antara tahun 1976-1981) ikut aktif dalam gerakan anti-pemerintahan Presiden

Anwar Sadat yang dinilainya pro Barat dan bersedia untuk berdamai dengan Israel, musuh

bebuyutan bangsa Arab.

Keterlibatan Hassan Hanafi pada gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat,

menjadikannya dipecat dari Universitas Kairo dengan tuduhan menentang penguasa. Hassan

Hanafi pun kemudian banyak menulis di berbagai surat kabar dan majalah.

Tulisan-tulisannya merupakan refleksi Hassan Hanafi atas sejumlah persoalan agama, sosial dan

politik di Mesir. Ia kemudian mengumpulkan tulisan-tulisannya tersebut dan menerbitkannya

dalam bentuk buku berjudul Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi

di Mesir 1952-1981). Buku itu dikemas dalam delapan volume – Vol.I: Agama dan

Kebudayaan Bangsa; Vol.II: Agama dan Pembebasan Kebudayaan; Vol.III: Agama dan

(32)

 

Keagamaan Kontemporer; Vol.VI: Fundamentalisme Islam; Vol.VII: Kanan dan Kiri dalam

Pemikiran Islam; dan Vol.VIII: Kiri Islam dan Kesatuan Nasional.

Hassan Hanafi tercatat sebagai pelopor berdirinya organisasi perhimpunan para

filosof Mesir yang berdiri tahun 1986. Perhimpunan itu diketuai oleh Dr. Abu Al-Wafa

al-Taftazani, dan selanjutnya digantikan oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq. Hassan Hanafi

sendiri memegang jabatan sekretaris jendral.

2.2. Pemikiran – Pemikiran yang Mempengaruhi Hassan Hanafi

Sebagai pemikir modernis, gagasan Hassan Hanafi terfokus pada perlunya

pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Tradisi

dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Kiri Islam) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu

merupakan kepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan

Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra

akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme.

Hassan Hanafi mulai mengajar di Universitas Kairo bahkan sebelum ia menyelesaikan

kuliah disana. Diberkati dengan kecerdasan berfikir, ia memiliki ketertarikan tentang

kontradiksi antara apa yang ia pelajari di Universitas dengan apa yang ia baca dari buku-buku

pemikir Islam seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb, yang pada belakangan hari akan

(33)

 

Guyau, sosiologis Prancis, filsuf Bergson, dan pemikir Idealis dari Jerman, Immanuel Kant,

Schelling dan Hegel17.

Kiri Islam yang ia gagas juga punya akar dalam karya pemikir Islam revolusioner, Ali

Syari’ati, dan pemikir yang menggerakkan revolusi Islam Iran yang agung, Imam Khomeini.

Menurutnya, Kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah

satu respon Islam terhadap Barat. Ia juga terkait dengan gerakan-gerakan yang

bermacam-macam di Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, dan gerakan-gerakan di bawah pimpinan Hasan

al-Banna, Sayyid Quthb, dan lain-lain. Kiri Islam menggalang revolusi melawan

imperialisme dan keterbelakangan. Ia membangkitkan gerakan-gerakan Islam revolusioner

sekarang, dan merumuskan teorinya.

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Kairo pada 1956, Hassan Hanafi

melanjutkan perkuliahannya di University of Paris (Sorbonne) selama sepuluh tahun. Disini

dia melanjutkan eksplorasi pemikirannya mengenai hubungan antara Barat dan pemikiran

Arab. Ia sangat dipengaruhi oleh Jean Guitton, filsuf terkenal di Paris pada masa itu. Pada

1959 dan 1960 menyelesaikan bacaan karya Edmund Husserl dengan bahasa Jerman, orang

yang kelak akan ia jadikan acuan untuk disertasi doktoralnya. Dia juga mengagumi filsuf

yang terkenal melalui pemikiran protesnya, Spinoza dan Kierkegaard.18

Kiri Islam terlibat di zaman ini, dan mengupayakan transformasi kaum Muslim dari

keterbelakangan ke kemajuan, dari kolonialisme ke pembebasan, dari penyalahgunaan ke

kekuasaan masyarakat Muslim yang sejahtera, dari feodalisme suku dan kapitalisme kelas

menengah ke sosialisme masyarakat Muslim, ummah, dan dari penguasaan ke kebebasan dan

demokrasi. Ini merupakan partisipasi dalam gerakan sejarah kaum Muslim setelah Revolusi

      

17

Diterjemahkan oleh penulis dari http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3404702767.html diakses 12 November 2009 pukul 01.28

18

(34)

 

Islam di Iran, dan bertugas merebut hak-hak dan kekayaan kaum Muslim agar dikuasainya.

Kalau kaum Muslim memenangkan revolusi dan merebut kekayaan mereka, mereka akan

menguasai dunia.

2.3. Karya - Karyanya

Karya karya Hassan Hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga periode, yaitu :

Periode pertama berlangsung pada tahun 1960-an; periode kedua pada tahun 1970-an, dan

periode ketiga dari tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Analisis tentang perkembangan

pemikiran Hassan Hanafi akan di dasarkan perkembangan perperiode dari karya karya

tersebut. Masing masing periode terdapat perkembangan pemikiran Hassan Hanafi dan

dinamika politik di Mesir mempunyai pengaruh besar pada pemikirannya19.

Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hassan Hanafi dipengaruhi oleh

faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang

juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang

menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967.

Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, ketika ia berada di Perancis

ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang

ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks

realitas kontemporer. Ketiga, usaha untuk menginterprestasikan realitas umat Islam dalam

kerangka baru. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada

Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang

mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.

      

19

(35)

 

Awal periode 1970-an, Hassan Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk

mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh

karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak

menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan

Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku

dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.

Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr

al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat

bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan

pembaruan.

Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun

1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keIslaman klasik, seperti

ushul fiqih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk

melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu

tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.

Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an,

dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa

sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit

pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide

pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al-Yasar Al-lslamiy (Kiri

Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau

(36)

 

Buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh

tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang

pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu.

Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hassan Hanafi

yang paling monumental.

Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hassan Hanafi menulis banyak artikel

yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat,

Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu

kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development

yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi

judul Islam in the Modern World (2 jilid).

Bapak tiga anak ini menulis sedikitnya 20 buku dan puluhan makalah ilmiah.

Karyanya yang populer di Indonesia antara lain Al-Yasar Islami (Kiri Islam), Min

al-`Aqidah ila al-Tsaurah (Dari Teologi ke Revolusi), Turats wa Tajdid (Tradisi dan

Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Hasan Hanafi bukan sekedar

pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.20

      

20

(37)

  BAB III

ANALISA DATA

3.1. Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Kiri Islam

Revolusi kultural sebagai model gerakan pembaharuan Islam yang berkembang sejak

akhir abad ke-19. Salah satu pemikir Muslim yang menyokong gerakan ini adalah Hassan

Hanafi, seorang intelektual dan filosof Muslim kontemporer di Mesir. Beliau menawarkan

”Kiri Islam” sebagai metode alternatif bagi pembaharuan pemikiran Islam dengan produk

sebuah proyek besar, yakni merekonstruksi dan memperbaharui tradisi (turath wa

al-tajdid).

Hassan Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan

kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk

memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin

memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta

menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi

untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan

kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan

keterbelakangan sebagai ancaman internal.

Untuk proyek besar seperti itu, menurut dia, tak bisa mengandalkan kebaikan orang

lain. Untuk dapat mengubah kondisi tersebut, yang mendesak dilakukan umat Islam adalah

rekonstruksi (pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia telah terjadi

(38)

 

Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam

standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya,

harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk.

Dengan upaya ini, Hassan Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi

tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial,

ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat.

Dunia Islam, katanya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan.

Kondisi tersebut harus diubah.

Yang terjadi selama ini adalah hidupnya al-turath (tradisi), yang merupakan

akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam menjawab tantangan

zamannya, justru menguatkan ketidakadilan tersebut. Tradisi macam inilah yang ia sebut

sebagai 'kanan Islam'.

Dalam menghadapi hegemoni Barat, Hanafi merumuskan paradigma pikir yang ia

sebut oksidentalisme--cara memandang Barat-- sebagai anti-tesa orientaslime Barat. Untuk

ini, ia menulis buku khusus berjudul Muqaddimah fi 'Ilmi Istighrab, yang telah

di-Indonesiakan dengan judul: Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Ia mengajak

umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik

kajian orientalisme.

Hassan Hanafi yakin orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti

kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media informasi dengan

mempropagandakan Barat sebagai pusat kebudayaan kosmopolitan. Bahkan, orientalisme

dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap

(39)

 

Apakah dengan oksidentalisme ini Hanafi berambisi merebut kekuasaan orientalisme? Tidak.

Hanafi menulis, oksidentalisme hanya ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman

kolonialisme orientalis. Menurut Hassan Hanafi, ego oksidentalisme lebih bersih, objektif, dan netral

dibandingkan dengan ego orientalisme. Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam

kebudayaan, kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Dengan

oksidentalisme, Hassan Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang

dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan) dunia.

Proyek Hanafi ini sangat erat kaitannya dengan tipe-tipe masyarakat21. Pertama disebut juga dengan masyarakat tradisional. Pada tipe ini, tradisi atau khazanah klasik

menjadi sumber inspirasi, sumber sistem nilai dan argumen bagi kekuasaan. Sebaliknya, pada

tipe kedua, masyarakat modern, tradisi dikritik tajam dan tidak lagi dianggap sebagai acuan

nilai. Hanafi meniscayakan adanya titik temu antara keduanya sehingga menghasilkan

pembaruan yang berarti penafsiran kembali atas khazanah klasik agar sesuai dengan

kebutuhan zaman.

Selanjutnya gagasan pembaruan ini mengharuskan ”me-muhasabah kembali”

alternatif-alternatif lama yang pernah dimunculkan orang-orang terdahulu, dan bahkan

menciptakan sebuah alternatif baru agar dapat menghasilkan pilihan terbaik yang sesuai

dengan tuntutan zaman. Baginya, yang harus dilakukan sekarang adalah pengembangan

tradisi sehingga menjadi ”spirit zaman”.

Berikut akan penulis paparkan pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi yang melandasi

dan melingkupi gagasan Kiri Islam-nya.

      

(40)

  3.1.1. Prinsip dari Turas dan Tajdid

Turas atau Turath (untuk kepentingan penulisan, untuk selanjutnya akan digunakan

istilah Turas) adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban

yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang

hadir dalam berbagai tingkatan. Turas merupakan titik awal sebagai tanggung-jawab

kebudayaan dan bangsa. Secara bahasa, Turas bisa juga diartikan sebagai tradisi. Adapun

tajdid (secara bahasa berarti pembaruan) sendiri bermakna penafsiran ulang atas turas sesuai

dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru22. Oleh karena itu, pembahasan mengenai turas dan tajdid dalam kajian Hassan Hanafi tidak dalam konteks

filosofis an sich, melainkan dengan menyertakan argumen historis.

Dalam perkembangannya, turas bagi umat Islam akan dijumpai pada beberapa hal23.

Pertama, disebut juga turas tulis, adalah turas yang terdapat pada lembar-lembar ataupun

shuhuf-shuhuf yang tersebar di perpustakaan-perpustakaan. Kedua, diistilahkan turas formal,

yakni turas yang dilegitimasikan oleh lembaga atau institusi formal yang berujung pada taqlid

formalistik, bukan bangunan kesadaran. Adapun yang ketiga dikenal dengan nama turas

mental, yakni turas yang sudah terfomulasi menjadi gaya hidup yang tanpa sadar terwariskan

tanpa reserve.

Jadi tugas turas dan tajdid adalah mengembalikan semua kemungkinan lama, tetapi

dengan memposisikan kemungkinan-kemungkinan baru dan mencari yang paling sesuai

dengan kebutuhan-kebutuhan, karena tidak ada standar kebenaran dan kesalahan teoretis

untuk menilainya, tetapi yang ada hanyalah standar praktis.

      

(41)

 

Akhirnya, proyek besar tersebut menghantarkan kita kepada 3 (tiga) dimensi : sikap

kita terhadap khazanah klasik, sikap kita terhadap khazanah Barat dan sikap kita terhadap

realitas. Dimensi pertama melahirkan seruan untuk merevitalisasi khazanah Islam klasik,

dimensi kedua melahirkan oksidentalisme, sebuah kajian kritis atas tradisi Barat, dan yang

terakhir melahirkan sebuah teori penafsiran (hermeneutika)24.

Pada gilirannya kebanggaan atas tradisi dan keterbukaannya melihat kebutuhan

realitas zaman, melahirkan sebuah elaborasi sikap dan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakatnya. Dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang berketuhanan, berkeadilan

dan bersandarkan pada kemaslahatan bersama.

Merunut semangat di atas, dalam melawan neo imperalis dengan kendaraan ekonomi

politiknya, maka seorang muslim dalam berekonomi tidak lagi condong pada semangat

kapitalistik yang jauh dari keadilan. Karena kesadarannya memberi tahu bahwa kapitalisme

tidak akan tercerabut dari tubuh umat Islam Selama masyarakat muslim masih terintegrasi

dengan kapitalisme global. Dalam berpolitikpun tidak lagi menggunakan cara-cara

Machiavelis dengan menghalalkan segala cara. Termasuk sampai pada melakukan

lompatan-lompatan ideologi demi manuver politiknya. Neo-Imperalism akan selalu masuk dan

bercokol dalam jiwa-jiwa terjajah yang pragmatis dan kerdil. Untuk itulah kaum Muslimin

harus melakukan revitalisasi turas.

      

(42)

 

3.1.1.1. Turas Dan Tajdid Dan Penyatuan Ilmu Ilmu

Turas adalah segala sesatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban

yang dominant, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus mesalah penerima yang

hadir dalam berbagai tingkatan. Turas merupakan titik awal sebagai tangungjawab

kebudayaan dan bangsa. Tajdid adalah penafsiran ulang atas turas sesauai dengan kebutuhan

kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru. Turas adalah perantara

sedangkan tajdid adalah tujuan.

Jadi turas dan tajdid berusaha menegakan persoalan persoalan perubahan sosial scara

alamiah dan dalam kerangka sejarah, yang dimulai dengan asas dan syarat sebelum yang di

bangun dan di syariati. Turas dan tajdid mencerminkan proses peradaban yaitu pengungkapan

sejarah, sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan tuntunan revolusioner dalam

kesadaran kontemporer kita.

Walaupun turas telah memberi kita empat ilmu rasional yang luar biasa yaitu kalam,

filsafat, tasawuf dan ushul fiqih, hanya saja tujuan akhir turas dan tajdid adalah penyatuan

ilmu ilmu dalam satu ilmu yang sinonim dengan peradaban itu sendiri. Sebab semua ilmu itu

berusaha untuk memahami dan merubah wahyu menjadi teori seperti ada dalam kalam dan

filsafat.

Penyatuan ilmu-ilmu merupakan peresolan yang mungkin, karena setiap ilmu

menunjuk kepada ilmu-ilmu lain dengan komparasi dan seringkali dengan falsifikasi dan

kritik. Dalam ilmu kalam misalnya terdapat kritik aras filsafat, khusunya menganai hal hal

yang berkaitan dengan falak-falak, makna makna akal akal. Kadang kadang sebagian kajian

fiqih dan ushul fiqih tercakup dalam satu poin bersama dalam kajian kajian bahasa, qiyas dan

(43)

 

Penyatuan ilmu-ilmu merupakan suatu yang mungkin dengan cara mengambil semua

yang diberikan oleh ilmu ilmu tradisional dan apa yang memnuhi tuntutan tuntutan zaman.

Misalnya pengukuhan kebebsana dalam ilmu tauhid akal, amal dan musyawarah.

Jika turas telah memberi kita ilmu ilmu rasional, yang mengeksprsikan puncak

tertinggi pencapainnya yaitu rasionalisasi nash dan analisi wahyu jika tajdid dengan

kemampuannya merubah ilmu ilmu trasisional ini menjadi ilmi ilmu kemanusiaan, maka

zaman sekarang ingin mealangkah jauh lebih maju yaitu merubah ilmu ilmu kemanusiaan

sebagai warisan ilmu ilmu tradisional menajdi idiologi. Itulah tujuan tertinggi turas dan

tajdid.

Dalam Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) tersebut, Hassan Hanafi mendiskusikan

bebarapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan,

Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi

Islam (revolusi Tauhid) dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam

klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah

Islam. Rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan Muslim,

disamping untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah

perlunya menentang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya

imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang,

secara kesejarahan, kaya. Ia mengusulkan "Oksidentalisme" sebagai jawaban "Orientalisme"

dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas

dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks

(nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi

(44)

 

Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu

imperialisme, zionisme dan kapitalisme (dari luar) serta kemiskinan, ketertindasan dan

keterbelakangan (dari dalam). Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini.

3.1.2. Revitalisasi Khazanah Islam Klasik

Hassan Hanafi menjelaskan ada 3 (tiga) pendekatan terhadap khazanah klasik25.

Pertama adalah pendekatan kaum tradisionalis yang beranggapan bahwa khazanah lama telah

memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi di segala zaman (masa lalu, masa

kini, dan masa depan). Pendekatan kedua erat kaitannya dengan usaha-usaha pembaharuan

yang dimotori oleh kaum Modernis. Mereka ingin membangun sebuah ”bangunan” baru

disamping ”bangunan” lama yang dianggap seperti tidak mempunyai nilai sama sekali.

Adapun pendekatan ketiga adalah gabungan antara tradisi dan pembaruan. Sebuah

pendekatan yang bermaksud mengidentifikasi kedua nilai tersebut dalam rangka mencari

yang relevan dengan perubahan zaman.

Menurut Hassan Hanafi, ada 2 (dua) cara dalam menafsirkan kembali khazanah Islam

klasik. Pertama adalah reformasi bahasa (linguistik). Bahasa adalah alat untuk

mengekspresikan ide-ide sehingga perlu direformasi agar tetap memenuhi fungsinya sebagai

media ekspresi dan komunikasi. Reformasi ini dapat dilakukan secara otomatis (tilqa’iyya)

ketika kesadaran berpaling dari bahasa lama kepada makna dasarnya, kemudian berusaha

untuk mengekspresikan kembali makna dasar ini dengan menggunakan bahasa-bah

Referensi

Dokumen terkait

pakaian dengan keunikan dan kekhasan pulau Lombok yang memiliki daya tarik. Suvenir pakaian yang berkembang saat ini memiliki tema dan karakteristik desain yang

Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Fareez pula hanya membiarkannya sahaja dengan senyuman yang tidak lekang.. Fareez masuk dan dia mula

Daya tarik yang dimiliki Wisata Alam Pantai Air Terjun Tompa Ika memiliki keunikan sumber daya alam yang sangat menarik dan beragam, sehingga sangat berpotensi dijadikan

Itik merupakan salah satu unggas air, ternak ini memiliki kulit yang tebal yang disebabkan oleh adanya lapisan lemak tebal yang terdapat di lapisan bawah kulit yang

Membangun mental peserta didik dari tidak mau atau malas belajar ke rajin belajar atau bermental sebagai manusia pembelajar, tidak cukup dengan mengandalkan perubahan

Kita kesampingkan dulu soal kekecewaan dan anggaran, musyawarah yang baru- baru ini diadakan forum pelatih CPCA dan CAC Sport Leadership 2004 dengan

Darmasaba. Tradisi ini sampai sekarang masih dipertahan dan tradisi ini dilakukan setiap wrespati ngepik yaitu hari kamis. Tradisi Ngerebeg masih bertahan sampai