• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realita Jugun Ianfu Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 Di Indonesia (Daerah Telawang Kalimantan Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Realita Jugun Ianfu Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 Di Indonesia (Daerah Telawang Kalimantan Selatan)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

REALITA JUGUN IANFU MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 DI INDONESIA (DAERAH TELAWANG KALIMANTAN SELATAN)

INDONESIA NI OKERU 1942 NEN - 1945 NEN NO NIHON SENRYOU JIDAI NO JUGUN IANFU NO GENJITSU (MINAMI BORNEO NO TELAWANG TO IU

CHIHOU)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra

Jepang

OLEH

FRANCISCA ELICABETH 060708021

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

PRAKATA DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Perumusan Masalah………...………….4

1.3Ruang Lingkup Pembahasan ……….4

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………...5

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...7

1.6Metode Penelitian ………...8

BAB II JUGUN IANFU PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA 2.1 Pandangan terhadap Seksualitas Orang Jepang……..………..9

2.2. Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Indonesia a. Tradisi (Tabu)……….…….14

b. Pandangan Agama………..………..19

2.3 Tentara Jepang di Indonesia dan Jugun Ianfu 2.3.1 Tentara Jepang di Indonesia………21

2.3.2 Jugun Ianfu ……….………..24

a. Sejarah ………..………24

b. Sistem……….28

(3)

3.1 Telawang ………31

3.2 Cara Perekrutan………33

3.3 Kehidupan Jugun Ianfu ………...……36

3.4 Jumlah Korban ………...….41

3.5 Berakhirnya Jugun Ianfu ………47

3.6 Ganti Rugi Terhadap Korban Jugun Ianfu ………...….50

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ………54

4.2 Saran………...……55

(4)

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah membimbing

penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “REALITA JUGUN IANFU MASA

PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 DI INDONESIA (DAERAH TELAWANG KALIMANTAN SELATAN)”. Penulisan skripsi ini penulis lakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sastra pada

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Penulis sadari bahwa tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan

skripsi ini sangatlah sulit untuk diselesaikan, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Drs. Syahroni selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Dosen Pembimbing I, Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D dan Dosen

Pembimbing II, Muhammad Pujiono, SS., M.Hum., yang telah banyak

meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam memberikan masukan-masukan,

bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan dengan baik.

4. Seluruh dosen pengajar dan Staff Administrasi Departemen Sastra Jepang

5. Orang tua penulis, Tn. Edison Sinaga dan Ny. Emsa Sitorus yang selalu

mencintai, mendoakan, membimbing dan membantu penulis dalam segalanya.

Kakak Elyda Sinaga, Abang Ranhot Haryanto Sinaga, Abang Johanes Raynaldo

(5)

My little brother Damianus Heber Kristo Sinaga. Abang ipar penulis, Juspentus

Simbolon. Kakak ipar penulis, Risma Sitohang. Keponakan-keponakan penulis,

Tri Roganda Sinaga, Arta Gracia Sinaga, Marentina Yohana Sinaga, Christian

Simbolon dan Mario Simbolon. I Love You All  Terima kasih banyak atas

segenap cinta, kasih sayang dan dukungan yang selalu kalian berikan, semoga

Allah selalu mencurahkan rahmat dan cinta kasihnya kepada keluarga kita serta

membalas semua kebaikan kalian. Amin.

6. Seluruh kawan-kawan Angkatan 2006 Departemen Sastra Jepang : Wilma Prima

Yuniza, Andi Pranata Silalahi, Mahera Frida Br. Ginting, Surya Ningrum, Hartati

Sinambela, Siska Margaret Purba, Octora Hanna Grace, Friska Mawarni Sagala,

M. Israr al-Hadi, Fredy Walis Sembiring, Andar Beny Prayogi, Teddy Sumbari

Jayanto, Zulvianita, Okky Khaereni, Wulandari Fikri, Asti Noermatias,

Musfahayati Amalia, Rizaldi Restu Pratama, Farah Adibah, Febri Antoni, Irwan,

Suci Risky Amalia, Ivana Widya Sari, Sari Zulia Peunawa, Victor Julianto,

Hyantes, Harry Eka Pratama, Frida Winata Togatorop, Jessi Mega Simanjuntak,

Christyani Siregar, Fadiah Sofyani, Randy K. Simanjuntak. Junior 2007 Adjie dan

Ekstensi 2010 Hanum Maulidina. Terima kasih sudah menjadi kawan yang baik

dan menyenangkan. Semoga kita selalu diberkati.

7. Eka Hindra dan Koichi Kimura (Aktivis Jugun ianfu), dan Fery Saputra

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia ) yang membantu penulis

mencari sumber referensi dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih banyak.

(6)

8. Pers Mahasiswa SUARA USU, tempat penulis menimba Ilmu Jurnalistik. Terima

kasih karena pengalaman 3 tahun menjadi Wartawan di SUARA USU sangat

membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Terutama Kawan-kawan Angkatan

18 Persma SUARA USU, Sidriani Handayani Desky, Dewi Nofianty Siregar,

Arizona Boru Maha ’Jontik’, Sarah Dinyati, Huda Perdana Sitepu, Fanny Yulia

Chaniago, Rodhiah, Nur Azizah, Desfa Maulani. Beserta kakanda-kakanda

alumni (Kak Ratni Hardiana Sembiring, Bang Asri Munawwar, Bang Ali

Zakharia, Kak Eka Ryantika, Kak Lista, Bang Liston Damanik dan Bang

Vinsensius Sitepu) serta Anggota Junior lainnya. Terima kasih sudah selalu

mendoakan dan menyemangati penulis serta menjadi kawan curhat yang baik

tentang Ilmu Jurnalistik dan makna kehidupan ini. Thank You for all the good

times that we’ve shared together. I thank God because I have You all. Kalian

saudara-saudaraku yang luarbiasa. Tetap ingat 2 M (MAU, MAMPU) dan 1 W

(WAKTU) . Fighting !  . Juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih

kepada Harian Sumut Pos - Medan tempat penulis magang menjadi Wartawan.

9. Ibu Wanita Sembiring dan Bapak Sarimin selaku Ibu asrama dan penjaga

keamanan Asrama Mahasiswa Puteri USU. Terimakasih atas pengertian Ibu/

Bapak selama ini.

10.Young’s Magazine, Harun Lubis, Safarudin Lubis, Ijal Don Cavilano, Buhari

Burhani, Tri Yuwono, Syafrizal Daulay, Rinaldi, Supriatin, Stella Nindy, Dedek,

Robi, Syawal, Abdullah. Dan special kepada Haelfin Chaniago ’bang Alvin’ dan

(7)

semakin membuat penulis semangat cepat wisuda!) Thanks Guys!! God Bless Us

11.Student Entrepreneur Center USU, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti),

Kiss FM, Panitia Pemilihan Puteri Indonesia Wilayah Sumatera Utara, Pusat

Bahasa USU, Linda T. Maas, Isfenti Sadalia, Wina, Ruly, Buhari, Oding, Wulan,

Nita, Alween Ong, Laura Agustina, Dr. Rahmat Shah, Rika, Tengku, Juriah dan

semua pihak yang telah membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan.

Maka saran dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi Ilmu

Pengetahuan. Terima kasih.

Medan, 22 Desember 2010

Penulis,

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Karakteristik geografis suatu Negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap

kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa tersebut.

Hal ini dapat berlaku terhadap Negara Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1).

Secara topografi, Jepang merupakan bagian dari suatu deretan pegunungan yang

panjang yang terangkai dari Asia Tenggara sampai jauh ke Alaska. Menurut survay dari

Lembaga Survay Geografi Kementrian Pembangunan Jepang, kawasan pegunungan

mencapai 70% dari seluruh daratan Jepang (Anonim, 1982:3). Disana-sini terdapat

gunung-gunung yang menjulang tinggi dan diantaranya adalah gunung berapi.

Luasnya daerah pegunungan menyebabkan tanah dataran berwujud sempit antara

pegunungan dengan pantai Samudera Pasifik dan Laut Jepang. Sempitnya dataran

menyebabkan tanah pertanian hanya meliputi 15% saja dari seluruh daratan Jepang.

Walaupun hanya memiliki daratan yang sempit, berkat keuletannya, bangsa Jepang dapat

menghasilkan 10 juta ton beras setiap tahun. Jepang sebagai Negara kepulauan, sifat

maritimnya menyebabkan bangsa Jepang menjadi bangsa pelaut yang ulung

(Suryohadiprojo, 1982:3).

Meskipun memiliki kondisi topografi seperti ini Jepang tidak pernah putus asa

bahkan terus berjuang dengan rajin dalam membangun Negara dan bangsanya, hal ini

terbukti pada masa kini, Negara Jepang menjadi Negara yang kuat. Kekuatan Jepang

(9)

dan ditakuti. Jepang bersama sekutunya menebarkan horror di seluruh dunia. Jepang

merebut Indonesia dari Belanda pada tahun 1942 dan menjajah Indonesia sampai perang

dunia ke-2 berakhir pada tahun 1945 (Majalah Angkasa, 2008 : 81). Sebagai Negara yang

kalah perang Jepang harus membayar sejumlah pampasan perang yang nilainya tidak

sedikit. Bukan hanya itu saja, mereka juga terpaksa membiarkan sekutu menduduki

Jepang sampai pada tahun 1952. Walupun demikian, Jepang pada tahun yang sama

mencapai produksi yang jumlahnya hampir sama seperti sebelum perang (Vogel,

1982:26).

Pada tahun 1931 militer Jepang mendirikan Negara boneka yang bernama

Manchuko di China. Tujuannya adalah untuk menyerang Uni Soviet dan melakukan

kolonialisasi terhadap China secara keseluruhan. Tahun 1936 militer Jepang telah

menduduk i kota Shanghai dan Nanjing. Bala tentara Jepang disana berjumlah 135.000

orang. Karena terus menerus berperang mengakibatkan persediaan makanan militer

Jepang habis, maka mereka mulai menjarah rumah penduduk. Akibat tindakan militer

Jepang ini, orang China marah dan melakukan pemberontakan. Namun militer Jepang

mengeluarkan perintah untuk membunuh orang China yang ada dihadapan mereka.

Militer Jepang di doktrin bahwa ras Jepang adalah ras yang sudah hidup selama 2600

tahun, dan harus membunuh orang China yang merupakan bangsa yang rendah dan tak

pantas hidup. Selain membunuh, militer Jepang juga memperkosa setiap perempuan

China tanpa pandang usia. Sejarah mencatat dalam waktu enam minggu militer Jepang

telah memperkosa lebih dari 20.000 perempuan China dari segala umur. Seperti yang

dituturkan Kozo Takokoro, salah satu veteran pasukan Jepang dari Divisi ke-114 di

(10)

perkosaan” (Hindra :222). Hal ini mengakibatkan melemahnya pertahanan dan kekuatan

militer Jepang.

Berita mengenai melemahnya kekuatan bala tentara Jepang di China kahirnya

terdengar juga di markas besar militer di Tokyo, dan menimbulkan kekhawatiran akan

upaya kolonialisasi Jepang ke China. Sehingga tahun 1937 militer Jepang memutuskan

untuk mengirim seorang dokter spesialis bernama Aso Tetsuo yang diperintahkan untuk

mnyelidiki mengapa banyak prajurit Jepang yang terjangkiti penyakit kelamin. Melalui

penyelidikan Aso Tetsuo terungkap bahwa sebagian besar prajurit Jepang melakukan

pemerkosaan terhadap penduduk China secara bebas. Sebagian lagi prajurit Jepang

mendatangi komplek pelacuran umum untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut Aso memberikan rekomendasi kepada pihak

militer Jepang untuk menyediakan tempat pelacuran khusus bagi para prajurit Jepang.

Sehingga masalah kesehatan para prajurit bisa dikontrol. Inilah cikal bakal pendirian

ianjo/ rumah hiburan.

Sebagian besar perempuan –perempuan yang melayani nafsu seks Jepang berasal

dari China , Korea dan Taiwan. Mereka ditempakan disalam rumah hiburan atau ianjo

yang disediakan militer Jepang. Sejak itulah ianjo menjadi bagian penting dalam militer

Jepang. Rupanya kebiasaan Jepang ini, mendirikan tempat hiburan atau ianjo terbawa

sampai ke Indonesia ketika Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942-1945, khususnya

(11)

1.2Perumusan Masalah

Jugun ianfu atau perbudakan seksual yang dilakukan tentara Jepang selama

pendudukan di Indonesia merupakan suatu bentuk kekerasan seksual yang tidak biasa.

Hal ini meninggalkan luka yang mendalam bagi para korban karena mereka dijadikan

perempuan penghibur bukan karena keinginan sendiri melainkan dipaksa dan disiksa baik

secara fisik maupun psikis. Para jugun ianfu merasa malu akan diri mereka, malu

terhadap masyarakat masyarakat dan bangsa sendiri yang menganggap mereka sebagai

pelacur.

Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah

1. Mengapa diadakan jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan?

2. Seperti apa realita jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Pembatasan masalah sangat penting dalam penyusunan skripsi agar penelitian

lebih terfokus pada topik yang akan dibahas. Maka ruang lingkup pembahasannya adalah

: Realita keberadaan jugun ianfu di Telawang Kalimantan Selatan selama pendudukan

(12)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4 1 Tinjauan Pustaka

Jugun ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara

kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort

Women. Pada kenyataannya Jugun ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi

perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional

sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13

hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang

Kasus Jugun ianfu yang menimpa para perempuan tersebut diabaikan para pelaku

Jugun Ianfu. Perdana Mentri Jepang, Shinzo Abe menampik adanya bukti tentang adanya

perempuan yang dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang pada masa Perang Dunia ke-

II dan Jepang tidak meminta maaf atas kejahatan perang tersebut setelah pernyataan maaf

di ucapkan oleh Sekretaris Kabinet Yohei Kono pada 1993 meski Dewan Perwakilan

Rakyat Amerika Serikat mengesahkan resolusi yang menghimbau Jepang untuk meminta

maaf.

Hingga sekarang para korban Jugun ianfu ini menuntut kepada Jepang agar

sejarah kelam tersebut diakui Jepang dan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan

Jepang dan menuntut hak mereka dalam bentuk konpensasi dari pemerintah Jepang. (Eka

Hindra : 289)

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa jugun ianfu merupakan suatu

(13)

1.4 .2 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam

memecahkan atau menyoroti suatu masalah. Untuk itu peneliti perlu menyusun sebuah

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran dari sudut manakah masalah

penelitian akan dibahas.

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat dalam Sirait (2008:100) berfungsi

sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret,

suatu teori yang dipakai peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahasan terhadap

fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang

harus diperhatikan.

Penulis menggunakan teori pendekatan kesejarahan/ historis untuk melihat aspek

sejarah dalam realita jugun ianfu yang terjadi di Telawang, Kalimantan Selatan. Menurut

Allan Nevins dalam Nazir (1988 :55) sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa

yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau

fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian studi yang kritis untuk

mencari kebenaran. Berdasarka pemikiran itu akan dideskripsikan bagaimana realita

jugun ianfu pada masa pendudukan Jepang selama 3 tahun di Telawang, Kalimantan

(14)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan tentang realita jugun ianfu di Telawang Kalimantan

Selatan.

2. Sebagai syarat untuk meraih gelar Strata Satu.

Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat mengungkap realita yang

sebenarnya terjadi pada korban jugun ianfu di Telawang, Kalimantan Selatan dan

menghilangkan stigma negatif yang selama ini melekat kepada korban.

1.6 Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode kualitatif dan dalam pengumpulan data

menggunakan metode kepustakaan atau library research dalam penyusunan skripsi.

Penulis mengumpulkan beberapa referensi dari beberapa sumber baik dari sumber

elektronik, internet maupun sumber dari beberapa buku atau media cetak untuk

mendukung penelitian. Menurut Semi dalam bukunya Metode Penelitian Sastra:

“Library research yakni penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perpustakaan di mana peneliti memperoleh data atau informasi tentang objek penelitiannya lewat

buku-buku atau alat-alat visual lainnya. ” (1993: 8).

Setelah data-data dan referensi itu terkumpul, selanjutnya penulis memilih dan

(15)

penyeleksian tersebut sangat penting untuk dilakukan agar sesuai dengan objek kajian

(16)

BAB II

JUGUN IANFU PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

2.1Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Jepang

Seksualitas merupakan suatu proses sosial yang menciptakan, mengatur dan

mengekspresiakan serta mengarahkan hasrat seksual, dapat juga dikatakan kecendrungan

sosial. Seksual adalah mengarah pada hubungan seks dan seks itu sendiri merujuk pada

keadaan anatomis dan biologis yaitu jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan

(Humm 2002: 432,dalam Ikhwanudin ).

Ruth Benedict (1942/1979) dalam Situmorang 2008, mengatakan bahwa

masyarakat Jepang adalah masyarakat berkebudayaan rasa malu. Rasa malu artinya

adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya. Ruth Benedict membedakan

dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam

kebudayaan rasa takut, nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Jadi dia

membedakan dua jenis sistem nilai, yang satu didasarkan pada penilaian masyarakat luas,

dan yang satu lagi adalah nilai yang didasarkan pada benar atau salah menurut Tuhan.

Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menganut kepercayaan politheis dan

juga Shinkretik, dan juga masyarakat yang tidak mengenal konsep dosa. Dalam bahasa

Jepang ada istilah Tsumi tetapi artinya adalah kesalahan, berbeda dengan konsep dosa

dalam pengertian agama Monotheis. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi bukan rasa

takut akan Dewa, tetapi adalah rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya.

(17)

atau prinsip keterutangan terutama terutang budi. Oleh karena itu seluruh aktivitas

mereka difokuskan kepada penghindaran rasa malu.

Penampilan kultural bangsa Jepang dengan banyaknya festival keagamaan

memberi gambaran sesungguhnya ungkapan-ungkapan religiusitas bangsa Jepang sangat

kental. Bangsa Jepang sangat menyukai acara-acara ziarah dan perayaan hari raya

(Benedict, 1982:97) Singer berpendapat bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat

yang matang dari segi budaya (Singer,1990:94). Hal ini dapat dilihat pada

kematangannya mengemas budaya sendiri dan budaya luar menjadi budaya yang khas

Jepang. Orang Jepang menunjukkan perilaku sinkretik dengan mengkombinasikan

beberapa ritual keagamaan dalam hidup untuk tujuan-tujuan tertentu (Earhart, 1984:22).

Agama atau secara lebih umum religi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam

perkembangan Bangsa Jepang dan tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat secara

keseluruhan. Menurut Fukuzawa Yukichi (1985:220) agama dan religi merupakan

sumber nilai bagi kehidupan masyarakat Jepang. Bila dikatakan bahwa agama lazimnya

akan melahirkan budaya agamis pada suatu masyarakat (Brede Krentensen dalam Musa

Asy’ari dkk, 1993:56). Di Jepang dikenal banyak upacara dan festival keagamaan. Boleh

jadi ini salah satu bagian dari kategori agamis. Dalam arti yang lebih rohaniah mungkin

agama akan memberi arti dalam menuntun masyarakat untuk hidup yang lebih beradab,

meskipun istilah beradab tidak selalu memberi pengertian standar. Kadang suatu hal yang

dianggap beradab dalam suatu budaya dihargai berbeda dalam budaya lain. Ekstrimnya

lagi, suatu hal yang dilarang dalam budaya tertentu mungkin tidak dilarang dalam budaya

lain. Yang dilarang di dalam kepercayaan atau religi yang satu tidak atau bahkan

(18)

mungkin ditafsirkan sebagai kejahatan dalam tradisi religi yang lain. Dalam masyarakat

Jepang yang dianggap budayanya telah matang sebagaimana di atas, dengan

jalin-menjalinnya agama-agama di Jepang dengan budaya masyarakat (Inazo Nitobe,

1900:7-10) maka ironis bila ternyata bangsa Jepang menunjukkan perilaku yang menunjukkan

moralitas rendah terutama dalam perlakuannya pada perempuan terkait masalah

seksualitas . Oleh karena itu, maka dimungkinkan ada satu penyebab sehingga muncul

dua hal yang bertentangan tersebut. Yad Mulyadi (1997:58) menengarai bahwa aspek

dominan yang menentukan pola tindakan manusia terhadap lingkungan salah satunya

adalah religi. Oleh karenanya maka sangat mungkin ada unsur-unsur dalam religi yang

tumbuh di Jepang mewarnai fenomena masyarakat yang kemudian muncul. Masalahnya

kemudian, mengapa yang muncul justru hal negatif yang lazimnya tidak mencirikan

moralitas masyarakat religius itu sendiri.

Agama Shinto sebagai agama mayoritas masyarakat Jepang memandang bahwa

seks bukan suatu hal yang tabu, melainkan suci. Agama bukan faktor dalam regulasi

seksualitas di Jepang. Agama hanya terbatas untuk mengorganisir proses pemakaman

dan pernikahan. Begitu juga dalam agama Buddha Jepang yang menganggap melakukan

hubungan seksual itu tidak melanggar moral. Seperti disebutkan oleh Onkou (1718-1804),

seorang pendeta Budha sekte Shingon, “ dotoku to wa ningen no shizen no honsei ni

shitagau koto da” , Artinya, “yang disebut dengan moral adalah sesuatu yang mengikuti

tabiat alami manusia”. Oleh karena itu, terhadap beberapa kebiasaan seperti: meminum

minuman keras, memakan daging, melakukan hubungan seksual dan perbuatanperbuatan

lainnya yang di dalam agama Budha di India maupun di Cina dilarang, namun di dalam

(19)

Dalam agama Budha di India dan Cina, dunia nafsu dengan dunia agama dibedakan

secara tegas. Sebaliknya, kedua dunia yang berlawanan ini di Jepang menjadi sousoku,

yang secara harafiah berarti sama dengan. Dalam pandangan agama Buddha Jepang, di

antara dunia nafsu dengan dunia agama sulit untuk dibedakan “mana yang sebab” dan

“mana yang akibat,” karena kaitan kedua dunia tersebut sangat erat. Tampaknya

merupakan suatu yang dibenarkan oleh pandangan orang Jepang, bahwa di antara cinta

dan nafsu seksual dengan yang bersifat keagamaan, bukanlah merupakan suatu paradoks.

Pada tahun 1715, pemuka agama Shinto, Masuho Zanko menulis sebuah buku

yang berjudul "A Comprehensive Mirror on the Way of Love ”(Sebuah Cermin

Komprehensif di Jalan Cinta). Zanko berpendapat bahwa seks adalah suci.

"Sexual activity between couples is part of yin and yang harmony, which is the primordial and sustaining energy of the cosmos. Moreover, Man and woman make a pair; there are no grades of high and low. Sex is sacred. Lovers re-enact the divine creativity of Izanagi and Izanami.”

Budaya seksualitas telah menjadi bagian tradisional dari kebudayaan Jepang.

Memang betul bahwa kuil-kuil keagamaan, cerita-cerita porno serta kesenian, secara

sugestif dan implisit, telah memasukkan ikon-ikon dan representasi seksual tanpa

malu-malu dan tanpa merasa berdosa. Di Barat, perasaan berdosa seringkali diasosiasikan

dengan seks. Secara tradisional, pandangan Jepang yang seperti ini sesuai dengan

tema-tema atau budaya konfusian yang mengusulkan memperkuat solidaritas keluarga dengan

beranak pinak, pentingnya untuk memberikan pendidikan seks yang layak pada anak,

(20)

Pandangan ini umumnya tetap bertahan di kalangan masyarakat Jepang bahkan

setelah modernisasi Jepang yang dimulai tahun 1868 melalui Restorasi Meiji.

Pemerintahan di era Meiji, dalam rangka mendapatkan rasa hormat dari negara-negara

Barat, mulai merubah pandangan Jepang terhadap seks dengan mengadopsi nilai-nilai

Barat yang lebih penuh aturan dan konservatif. Sebagai contoh, pemandian umum

campur yang sebenarnya telah menjadi kebiasaan umum dilarang untuk diteruskan oleh

pemerintah (Dore, 1958). Peraturan ini sebenarnya diterapkan terutama di kota-kota besar,

sementara di luar itu penegakannya dilakukan secara acak. Namun, ini hanyalah bagian

kecil dari rencana pemerintahan Meiji yang disebut wakonyoosai (semangat Jepang dan

teknologi Barat); yaitu sebuah rencana untuk mengembangkan dan memperkuat bangsa

dengan menggabungkan pengetahuan dan teknologi barat dengan semangat dan budaya

Jepang (Hijirida & Yoshikawa, 1987).

(21)

2.2Pandangan Terhadap Seksualitas Orang Indonesia

a. Tradisi (Tabu)

Persoalan seksualitas telah menjadi objek kajian berbagai pihak. Persoalan

tersebut terkait dengan berbagai hal, dan pengertiannya tidak selalu sederhana. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), seksualitas diartikan 1) ciri, sifat, atau peranan

seks; 2) dorongan seks; dan 3) kehidupan seks. Lebih tegas dari pengertian di atas, Ann

Oakley menyebutkan bahwa seksualitas mendeskripsi keseluruhan aspek kepribadian

yang berhubungan dengan perilaku seksual. Patricia Spencer Fawnce dan Susan

Phippps-Yonas mengatakan bahwa seksualitas mencakup kegiatan yang paling manusiawi yang

tidak harus bertujuan untuk memenuhi tugas reproduksi, dan bahwa kenikmatan bukan

satu-satunya dan bukan pula tujuan utama dari hubungan seks antar manusia. Dengan

demikian, seks bukan sekedar kegiatan atau penampilan kinerja atau prestasi, melainkan

cara berkomunikasi dan berekspresi. Adapun pengertian seksualitas dari Jackson dan

Scott (1996) adalah hasrat, praktik, ataupun identitas yang membawa/mengandung

signifikansi erotis. Definisi ini mengisyaratkan keterkaitan seksualitas tentang hal yang

berhubungan dengan aspek personal dan sosial. Memperbincangkan seksualitas

sesungguhnya memperbincangkan hal yang bersifat tidak sederhana dan kerap

bermasalah sebab pada satu sisi kita berbicara hal yang pribadi dan berdampak pribadi,

yakni yang berupa hasrat. Sementara itu, di dalamnya juga ada hal-hal yang bersifat

sosial dan berdampak sosial, seperti praktik dan identitas. Bahwa seksualitas memiliki

keterkaitan dengan aspek sosial telah dibuktikan oleh Michel Foucoult. Foucoult melihat

(22)

sejarahnya. Seksualitas, menurutnya adalah suatu konstruk sejarah. Oleh karena itu,

batasan atau definisi seksualitas tidak kaku dan selalu berpeluang untuk redefinisi dan

rekonstruksi. Seksualitas sebagai konstruksi sosial mengindikasikan adanya relasi-relasi

sosial yang ada di dalam dan mengikatnya (Noorman, 2004:43).

Hubungan badan yang merupakan bentuk seksualitas yang paling erotis, tetapi

hanya dimungkinkan jika seseorang telah menikah, karena ini adalah norma yang berlaku

di Indonesia, sebagaimana dikatakan Almi 2004: 46 dalam disertasi Ikhwanudin bahwa

heteroseksual-lah yang paling sah dari seksualitas dan kesenangan seksualitas itu

dibingkai dalam suatu heteronormativitas. Artinya pernikahan yang diatur oleh

norma-norma agama, tradisi atau adat yang sah sebagai ikatan heteroseksual tersebut.

Menurut Gunawan pengekspresian seksualitas dalam masyarakat primitif diatur

menurut kaidah-kaidah mitologi dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa penting

dalam kehidupan, seperti upacara inisiasi, upacara korban, pembuatan patung-ptung

leluhur, peristiwa perkawinan, dan peristiwa-peristiwa yang merupakan puncak

kehidupan masyarakat tersebut. Dalam masyarakat seperti itu daya-daya seksualitas

seperti kesuburan atau keturunan sangat dihormati. Selain terlihat dalam ritual, rasa

hormat itu juga dapat dilihat dalam berbagai peninggalan, seperti patung-patung yang

melambangkan seksualitas dan upacara-upacar erotis dalam konteks sebuah peribadatan

suci.

Jadi, sejak jaman dulu semasa Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan

Nusantara, telah terlihat adanya kebebasan seksualitas yang lebih terbuka dengan

membuat citra-citra berupa patung-patung, cerita, mitos, dan relief-relief diberbagai candi

(23)

Karmawibangga bagian bawah di Borobudur dengan terang-terangan dipahat para

pandita agung menggambarkan posisi ideal bercinta ala Kamasutra. Hingga akhirnya

ditutup oleh pemerintah kolonialis Belanda. Alasannya, tidak sesuai norma agama

Belanda. Pada abad 11 muncul sekte varian Buddha di Sumatera, Jawa dan Bali.

Namanya Tantra. Salah satu ajarannya, untuk berhubungan dengan tuhan dan mencapai

surga harus makan ikan, menari dan bersenggama, antar pemeluknya. Tahun 1359 Saka

atau 1437 masehi didirikan Candi Sukuh. Kontroversi. Sebab banyak memuat

perwujudan genital pria wanita. Perwujudan ini sebenarnya lebih cenderung ke arah

paganisme, pemujaan wanita dan reproduksi sebagai pelambang kesuburan. Sekitar

1620-1621 Inggris mengirimkan dua wanita berkulit putih ke Aceh untuk dijadikan selir

mengenyahkan musuh bersama mereka dari Nusantara, yaitu Portugis. Sejarah tidak

pernah mencatat, bahwa sang Sultan nan Agung dan tampan itu menolak hadiah luar

biasa Inggris ini. Tahun

istri di kalangan bangsawan-bangsawan Jawa, dilepas oleh Pakubuwana VII ke khalayak

publik yang diwakili pemerintah kolonial Belanda. Tahun 1900 rumah candu, yaitu

rumah-rumah yang menjual candu dan dipakai untuk menghisap candu, atas ijin

pemerintah kolonial Belanda, mempunyai fungsi ganda, tempat mabuk dan tempat

bercinta. Rumah ini ditandai dengan cat mencolok berwarna merah. Lokalisasi pelacuran

yang terkenal hingga saat ini di Belanda, The Red Light District, katanya diilhami dari

rumah candu dan lokalisasi wanita penghibur nusantara berwarna cat merah itu. Tahun

1904 seorang Wedana yang baru saja terpilih menjadi pemimpin sebuah daerah,

(24)

wedana, dilaporkan memeluk pinggang sang penari ronggeng setelah memberi tip f5

(lima gulden). Lalu setelah memberi tip f20 (dua puluh gulden), sang wedana memuntir

puting payudara terbuka si penari ronggeng. Semua itu dilakukan di depan istri raja dan

putri-putri bangsawan. Tahun 1906 Seorang Mas Ngabehi, anggota dewan penasihat

sang dewan ketahuan berbuat mesum dengan seorang penari ronggeng. Perbuatan itu

diketahui setelah rumah tempat mesum mereka, jatuh berantakan terkena angin puyuh.

Harian itu menggambarkan aksi mereka dalam pantun melayu sebagai berikut “Botjah

Klentang toemboeh diatas, ikan blenak di rawa-rawa, Masbehi di bawah prampoean di

atas, ampir mati bersama-sama” (Koentowijoyo, 1993) . Tahun 1911 Chiang Kai Sek

menumbangkan The Last Emperor China, Pu Yi. Banyak pendukung kaisar lari ke luar

negeri. Diantaranya ke Nusantara. Mereka mendarat di

hingga pesisir Riau Sumatera. Diantaranya adalah perempuan-perempuan Cina yang

dijual paksa oleh orangtuanya kepada bajak laut. Perempuan-perempuan ini banyak yang

‘dikaryakan’ di rumah bordil. Sejak saat itu, dominasi pelacur asal tiongkok tidak lagi

dikua sa

menulis dalam bukunya Bab Alaki Rabi: Wayuh Kalian Boten (Mengenai Perkawinan

Poligami dan Monogami) yang menyerang mentalitas lelaki priyayi, bangsawan,

pedagang, hingga kelas pekerja. Ia menyebut bahwa mentalitas lelaki pada masa itu tidak

terkendali, menjadi budak nafsu, sementara libido mereka menyerupai orang Arab,

melebihi orang Cina, tapi dalam bekerja dan menabung mereka tidak bisa meniru kedua

bangsa tadi. (H.A. Benyamins, 1913) Tahun 1933,

(25)

jawa, dipublikasikan dalam bahasa Belanda, Perancis hingga Inggris. Seks Jawa, mulai

mela nglang dunia. Tahun 1942–1945

muncul. Budaya ini muncul akibat serdadu Jepang yang tak kuasa menahan libido

mereka lalu memperkosa paksa perempuan Indonesia dalam perilaku seks yang buas.

Disisi lain bila dilihat budaya petani Minangkabau menempatkan suami dalam

posisi dipelihara oleh perempuan. Suami tinggal di luar rumah dan sekali-kali digunakan

untuk kepentingan hubungan seks. Posisi ini lalu dianggap para suami sebagai posisi

individu yang tidak memiliki harga diri dan mendorong mereka bermigrasi ke Indochina

mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.

Di kerajaan Jawa (Vorstenlanden), seorang sunan hidup di istana yang menguasai

450 perempuan, dengan hanya 34 yang dijadikan sebagai istri. Sisanya adalah penari dan

pelayan yang, jika diinginkan raja, harus siap menjadi selir.

Sementara itu, di Bali hampir semuanya, tanpa kecuali, perempuan dewasa dan

remaja bertelanjang dada sampai pusar, sedangkan perempuan kecil telanjang bulat.

Mereka dengan bangga menunjukkan keindahan dada, hanya pelacur yang menutup dada

mereka untuk membangkitkan rasa penasaran dan memikat laki-laki.

Setelah Indonesia pada tahun 1945, nama Nusantara menjadi Republik Indonesia.

Seksualitas menjadi ditutup-tutupi dan membicarakan seks adalah suatu hal yang tabu.

Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan

tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau

(26)

menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang

secara

dapat juga membuat

Misalnya dalam masarakat Jawa karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks,

orang Jawa memiliki simbol “Lingga Yoni”. Lingga mengambarkan falus atau penis, alat

kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat kelamin perempuan. Simbol-simbol

ini sudah lama dipakai oleh masyarakt Indonesia sebagai penghalusan atau pasemon dari

hal-hal yang dianggap jorok. Simbol lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan

sebagainya juga bermakna sejenis. Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa

dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk

(27)

b. Pandangan Agama

Masalah konsepsi seksualitas selalu berbenturan dengan norma-norma agama dan

adat istiadat di Indonesia yang mengagungkan keperawanan. Konsepsi seksualitas yang

mendua/ambigu tersebut dimenangkan oleh agama, maka agama dan negara berhak

memaknai bahwa pelacuran yang bersifat promiskuitas, homoseksualitas serta perilaku

seks bebas yang bersifat nonprokreasi akan dianggap sebagai perbuatan tak bermoral,

berdosa, aib, patut dikucilkan, serta kelak pelakunya akan masuk neraka (Ronggeng

Dukuh Paruk , Halaman 23).

Seksualitas yang semula begitu terbuka, alamiah, sudah semakin terbelenggu oleh

aturan-aturan, moral , etika, agama, dan hukum-hukum. Seperti kita ketahui 6 agama

yang diakui di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu) serta

ratusan suku dengan adat istiadat yang berbeda-beda menolak akan hubungan seksualitas

tanpa diikat oleh lembaga pernikahan. Perempuan harus perawan ketika menikah , dan

apabila perempuan tersebut tidak perawan lagi ketika dia menikah, suaminya dan

keluarganya menjadikannya sebagai dasar untuk mengakhiri pernikahan tersebut.

Seperti yang terjadi pada tahun 1997 ketika Farid Hardja, seorang penyanyi terkenal

menanyakan keperawanan istrinya , yang kemudian menjadi perdebatan publik dan

sangat banyak diberitakan di media.

Keperawanan diperlakukan sebagai simbol yang memberikan kebanggaan bagi

suami sebagai laki-laki pertama yang memecahkan perawan si istri. Maka keperawanan

dijadikan bukti kesucian seorang perempuan. Sehingga jika seorang perempuan yang

(28)

dan cap itu akan terus bertengger di diri perempuan dan seolah dunia ikut menghakimi

mereka.

Pandangan masyarakat Indonesia yang mengharuskan perempuan menjaga

keperawanannya yang dianggap sebagai sebuah nilai baku keberhasilan seorang

perempuan yang tidak diperuntukkan bagi perempuan itu sendiri karena pada akhirnya

keperawanan itu dipersembahkan kepada laki-laki. Secara sepihak perempuan dibebani

oleh kewajiban tersebut dan dianggap gagal jika ia tidak bisa menjaganya, dihitung dari

rusaknya selaput dara yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak ternilai-hanya untuk

membuat perempuan tidak terlalu menyeluruh menjelajahi tubuhnya sendiri karena akan

membahayakan sistem patriarkhi yang memberikan kenyamanan bagi laki-laki. (Hanafi,

(29)

2.3 Tentara Jepang dan Jugun Ianfu 2.3.1 Tentara Jepang di Indonesia

Perang dunia II berlangsung pada tahun 1941-1945. Setelah Jerman, Jepang

menduduki tempat kedua dalam kekuatan militer. Pada Desember 1941, Jepang

menyerang Honolulu, Hawai, dari udara. Pada saat itu juga Amerika dan Inggris segera

menyatakan perang terhadap Jepang. Kemudian Gubernur Hindia-Belanda pun turut

menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian pecahlah perang Pasifik. Pada

awal Desember 1941, Indonesia adalah prioritas yang tinggi untuk diduduki

dikarenakan tambang-tambang minyak yang dimiliki oleh Indonesia.

Dengan menggunakan taktiknya, pada tahun 1942 Jepang melancarkan perang

kilat ke Asia Tenggara. Pada akhirnya 10 Januari 1942, Kalimantan mulai diinvasi oleh

Jepang. Cara-cara Jepang masuk ke Indonesia pada waktu itu adalah dengan tidak

menampakkan keinginan ingin menjajah Indonesia, melainkan dengan usaha mengangkat

Indonesia yang selama ini telah disengsarakan oleh Belanda. Pihak militer Jepang di

Indonesia secara terang-terangan menjatuhkan wibawa bangsa Belanda untuk

menyenangkan hati bangsa Indonesia. Maka dari itu, kedatangan Jepang pada waktu itu

disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, tanggal 9

Maret 1942, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hein Ter Poorten,

secara resmi menyerah dan menandatangani surat penyerahan kekuasaan kepada pihak

militer Jepang di Kalijati.

Pemerintah Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia membagi wilayah

kekuasaan pemerintahan menjadi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan Angkatan Darat

(30)

Madura yang dipimpin oleh Tentara Divisi XVI, dengan pusatnya di Jakarta; wilayah

Sumatera dipimpin oleh Tentara Divisi XXV, dengan pusatnya di Bukittinggi. Sedangkan

wilayah lainnya, yaitu wilayah Indonesia bagian Timur dikuasai oleh Angkatan Laut di

bawah Armada Barat Daya, dengan markasnya di Ujung Pandang. Wilayah Timur

merupakan wilayah yang memiliki sumber daya minyak yang melimpah, sehingga

Angkatan Laut Jepang pada waktu itu dapat mengeksploitasi minyak untuk keperluan

bahan bakarnya.

Menurut dokumen-dokumen Menteri Kesejahteraan Jepang yang dibuat tahun

1964, sekitar 260.000 tentara Jepang ditempatkan di Indonesia selama tahun 1942-1945.

Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia lama kelamaan bukan hanya

mengeksploitasi Sumber Daya Alam Indonesia, melainkan juga Sumber Daya

Manusianya. Pihak militer Jepang mulai melakukan pengerahan tenaga kerja manusia

untuk keperluan perang mereka. Semua rakyat dikerahkan, mulai dari pemaksaan untuk

menjadi tenaga sukarela sampai dengan pekerja paksa, bahkan perempuan pun tidak luput

dari pengerahan tersebut.

Perempuan pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk turut aktif dalam

berperan serta dalam peperangan yang dilakukan Jepang. Salah satunya adalah dengan

didirikannya perkumpulan wanita Fujinkai. Kaum perempuan Indonesia ini dipaksa

secara halus untuk menyerahkan perhiasan mereka bahkan peralatan dapur mereka untuk

keperluan perang yang sedang dilakukan oleh bangsa Jepang.

Selain itu perempuan di masa itu juga dikerahkan dalam pekerjaan-pekerjaan

massal yang bersifat kerja bakti, seperti penyediaan dapur umum dan juga keterlibatan

(31)

Jepang yang terluka ketika berperang dengan sekutu. Pekerjaan yang paling menonjol

dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia adalah pengerahan tenaga kerja di bidang

seksualitas, yaitu menjadi jugun ianfu. Semua pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan

Indonesia karena posisi mereka yang lemah, namun membutuhkan pekerjaan untuk

menyambung hidup mereka dan keluarga.

Salah satu hal yang harus dihindari oleh kaum perempuan maupun seluruh

penduduk adalah memperlihatkan sikap anti Jepang. Jepang tidak dapat mentolerir sikap

yang mendekati anti Jepang. Tentara Jepang tidak memandang bulu dalam memberikan

hukumanterhadap yang anti kepada mereka. Orang-orang yang anti tersebut nantinya

akan dimasukkan kedalam daftar hitam yang harus diawasi oleh tentara Jepang. Polisi

rahasia Jepang yang bertugas untuk mengawasi orang-orang dalam daftar hitam disebut

Kempeitai. Kempeitai sangat disegani oleh rakyat maupun tentara Jepang sendiri. Tentara

Jepang pun akan langsung memberi hormat kepada Kempeitai bila mereka bertemu

walaupun saat itu mereka dalam keadaan mabuk.

Para algojo Kempeitai selalau siap melakukan penyiksaan saat mereka melakukan

interogasi kepada para terdakwa. Kaum perempua yang lemah juga diperlakukan seperti

bukan manusia.mereka disiksa lahir dan batin sampai para algojo Kempeitai itu puas

(32)

2.3.2 Jugun Ianfu

a. Sejarah

Istilah jugun ianfu kalau diartikan secara harafiah menjadi ju=ikut, gun berarti

militer/ balatentara, sedangkan ian= penghibur, dan fu= perempuan, dengan demikian arti

keseluruhannya “perempuan penghibur yang ikut militer”. Dapat dikatakan bahwa istilah

jugun ianfu merupakan istilah halus untuk perempuan –perempuan yang dipaksa bekerja

sebagai budak seks yang ditempatkan di barak-barak militer atau bangunan yang

dibangun di sekitar markas militer Jepang selama perang Asia Pasifik.

Jugun ianfu (従軍慰安婦) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada

wanita penghibur (comfort women) yang terlibat dalam perbudakan

dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara

dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945

(http//:Wikipedia.jugunianfu.com).

Pada tahun 1941 menteri urusan luar negeri menolak pengeluaran visa perjalanan

bagi perempuan penghibur Jepang, karena merasa akan mencemari nama kekaisaran

Jepang. Berdasarkan keputusan tersebut, militer Jepang kemudian mencari perempuan

penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak perempuan

dibohongi dan ditipu bahkan diculik untuk kemudian dibawa ke rumah bordil

(33)

Terdapat beberapa alasan terkait dengan pendirian rumah bordil Jepang dan jugun

ianfu, yaitu pertama penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah

ke budak seks, moral dan keefektifan militer Jepang akan meningkat, kedua dengan

mengadakan rumah hiburan dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi,

pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Ketiga, pengadaan

rumah hiburan di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat

bagi tentar

Pada tahun 1931, tentara Jepang menyerbu daratan Cina dan membangun

pangkalan militer untuk menguassai daratan Cina secara keseluruhan. Hal ini terbukti

saat tahun 1936 militer Jepang berhasail menduduki Kota Shanghai dan mulai mencapai

Nanjing yang berjarak 360 KM dari Shanghai. Demi mewujudkan ambisinya, tidak

kurang dari 135.000 tentara Jepang dikerahkan.

Serbuan Jepang membuat peperangan tidak terhindarakan, rakyat China melawan.

Bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan.

Mereka kemudian menjarahi rumah-rumah penduduk. Hal ini membuat Cina melakukan

perlawanan yang lebih gigih lagi. Akibat peperangan yang berkepanjangan, sebagian

besar tentara Jepang mengalami gangguan mental dan menjadi gila. Mereka mulai

membunuhi rakyat sipil dan militer mulai memperkosa perempuan yang mereka lihat di

(34)

Jugun ianfu di Nanking, China

Sesudah Kota Nanjing diduduki militer Jepang, banyak diantara mereka menderita

penyakit kelamin. Oleh karena situasi inilah pihak Angkatan Darat Jepang membuat

kebijakan baru yaitu:

1. Tentara yang menderita penyakit kelamin tidak boleh pulang ke Jepang sampai

mereka sembuh, agar penyakit kelamin tidak menyebar ke Negara Jepang.

2. Militer Jepang menyediakan perempuan-perempuan "bersih" untuk tentara Jepang,

supaya tidak terjangkit penyakit kelamin.

Di Jepang ketika itu pelacuran diakui dan disahkan oleh Undang-undang yang di

namai Kosho Sedo (tempat pelacuran umum). Sebagian besar para perempuan yang

bekerja di lokalisasi pelacuran itu berasal gadis-gadis dari keluarga miskin yang dijual

oleh keluarganya sebagai barang tebusan atau barang gadaian. Berdasarkan Kosho Sedo

inilah militer Jepang membuat sistem jugun ianfu dan membangun Ianjo (rumah bordil)

di setiap wilayah pendudukan militer Jepang di Asia. Upaya ini dilakukan untuk

menghindarkan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, yang dapat melemahkan

(35)

Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia seperti Negara

Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, China, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Belanda

dan Indonesia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual sipil

dan militer Jepang yang dikenal dengan sebutan jugun ianfu.

Masalah jugun ianfu pertama kali muncul pada tahun 1992 ketika seorang perempuan

Korea, Kim Hak Soon membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke

publik. Setelah itu masalah jugun ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai

negara angkat suara, termasuk Indonesia. Di Indonesia masalah jugun ianfu terungkap

pertama kali tahun 1992, seorang perempuan asal Solo, Jawa Tengah yang bernama

Tuminah, menuturkan pengalamannya sebagai korban perbudakan seksual militer Jepang,

dan diikuti oleh Mardiyem pada tahun 1993. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal

Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang

atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan

dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap

pemerintah Jepang terus Dilakukan. Oktober 2007 kongres Amerika Serikat

mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi

tanggung jawab politik atas masalah ini . Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari

ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia

(36)

b. Sistem

Menurut Tanaka Yuki dalam bukunya Japan’s comfort Women Sexual Slavery

and Prostitution During World War II and The US Occupation, terdapat rantai kekuasaan

dalam pembentukan praktik jugun ianfu. Adapun rantai kekuasaan tersebut, yaitu: Sistem

jugun ianfu yang berpusat pada kekaisaran Jepang, lalu turun ke Kementrian Perang dan

Kepala Umum Staf Tentara Jepang. Selanjutnya kekuasaan tersebut diturunkan kepada

Staf tentara di wilayah pendudukan Jepang seperti Korea, Taiwan dan Indonesia. Staf

tentara di wilayah pendudukan biasanya memiliki agen khusus untuk merekrut para

perempuan untuk dijadikan jugun ianfu. Para perempuan tersebut dikumpulkan di suatu

tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi Jepang lalu di tempatkan

ke sebuah tempat hiburan.

Digaris depan terutama di Negara dimana orang yang bertindak sebagai agen

jarang tersedia, militer secara langsung menunjuk pemimipin lokal untuk menyediakan

atau memasok perempuan untuk keperluan rumah hiburan. Di bawah tekanan kondisi

perang, militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara

Jepang (250.000 tentara Jepang); sebagai tanggapan dari permasalahan tersebut, maka

tentara Jepang meminta atau merampok persediaan daerah setempat.

Perempuan yang direkrut militer Jepang sebagi jugun ianfu umumnya

dikumpulkan di suatu tempat lalu dibagi dan disebar ke berbagai wilayah konsentrasi

militer Jepang. Setelah itu mereka ditempatkan dalam satu rumah hiburan atau ianjo.

Pada umumnya ianjo dibagi menjadi 3 atau 4 kategori yang tergantung dari lamanya

pelayanan, yaitu perempuan baru yang tidak mungkin terkena penyakit kelamin

(37)

kelamin maka diturunkan kategorinya. Ketika mereka sudah rusak dan tidak dapat

dipakai lagi maka mereka diabaikan dan diterlantarkan begitu saja. Banyak para korban

melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh dari ribuan lelakii

dalam waktu beberapa tahun bisa dibayangkan penderitaan mereka meladeni 250.000

tentara Jepang dalam waktu 3 tahun.

Sistem yang diterapkan para tentara Jepang pada awalnya merupakan sistem yang

legal dan direstui oleh Tenno Hirohito. Namun kemudian sistem ini berubah menjadi

sebuah bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan-perempuan di wilayah

pendudukan Jepang dieksploitasi sedemikian rupa untuk memuaskan tentara Jepang.

Perempuan-perempuan tersebut diperlakukan tidak adil dan secara paksa dijadikan

perempuan penghibur tentara Jepang.

Pada awal pembentukan sistem jugun ianfu, pemerintah Jepang berharap dengan

adanya hiburan yang layak bagi parra tentara dapat meningkatkan moral dan kinerja

serta menghindari penyakit kelamin tentaranya.untuk menunjang rencana itu,

dibangunlah tempat-tempat hiburan / ianjo bagi tentara di garis depan. Di ianjo inilah

para jugun ianfu di tempatkan untuk memuaskan nafsu tentara Jepang.

Sistem jugun ianfu dibuat secara terorganisir dengan perencanaan yang matang.

Seperti kesaksian Taira Tezo, bekas tentara Dai Nippon yang telah menjadi warga negara

Indonesia dan tellah berganti nama menjadi Nyoman Buleleng, “Perempuan-perempuan

penghibur itu memang benar-benar ada. Saya merasakan sendiri. Jepang rupanya sadar

akan kebutuhan biologis tentara tidak bisa dimatikan meskipun dalam keadaan perang.

Sehingga saya melihat betapa terorganisirnya perempuan-perempuan itu. Di semua

(38)

biasa itu sampai ada 20 kamar yang dikelilingi tembok bambu yang tinggi. Penghuni

rumah bambu macam-macam. Ada yang khusus perempuan Jepang, ada juga yang

menyediakan perempuan campuran Cina dan Indonesia. Yang disebut perempuan Jepang

(39)

BAB III

ANALISIS REALITA JUGUN IANFU DI TELAWANG KALIMANTAN SELATAN

3.1 Telawang

Telawang adalah salah satu kelurahan di kecamatan Banjarmasin Barat,

Banjarmasin, KalimantanSelatan,Indonesia.

Batas-batas wilayah kelurahan Telawang adalah sebagai berikut :

Utara : Kelurahan Telaga Biru dan Kecamatan Banjarmasin Tengah

Selatan : Sungai Martapura

Barat : Kelurahan Telaga Biru dan Basirih

Timur

Telawang sebagai tempat berlangsungnya penelitian penulis ini adalah sebuah

kota di Banjarmasin Barat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Pada masa

pendudukan Jepang di Telawang terdapat 250.000 tentara Jepang. Dalam Eka Hindra

Koichi Kimura tahun 2007, disebutkan Kalimantan merupakan pusat pemerintah militer

Kaigun ( tentara armada militer II) Jepang pada tahun 1945 dan di Telawang didirikan

rumah bordil Jepang atau ianjo yang merupakan ianjo terbesar di Indonesia yang

(40)

Asrama Telawang merupakan tempat/ianjo para jugun ianfu untuk melayani seks

tentara Jepang. Asrama Telawang memang sudah dipersiapkan secara rapi. Lokasi rumah

terletak di tepi kota dan ditutupi pagar yang tinggi memberi kesan tertutup (lihat

lampiran).

“ Rombongan kami menempati rumah yang letaknya berada di pusat kota

telawang. Rumah itu berada di tepi jalan raya, dikelilingi oleh pagar kayu setinggi tiga

meter, ditanami pohon binjai dan dan pohon kelapa yang besar di luar pagarnya. Tempat

itu sangat tertutup dari luar. Untuk masuk ke dalam rumah, rombongan kami harus

melewati jalan kecil yang berada di samping gerbang utama. Dengan demikian tidak

sembarang orang bisa keluar masuk. Kami menyebutnya asrama Telawang karena

tempatnya besar untuk menampung banyak orang” (Hindra :92).

Pemilihan kota Telawang juga terkait akan pengeboman sumber minyak di

Kalimantan tengah dan Kalimantan timur oleh sekutu, maka kelompok sipil, kelompok

militer, Angkatan Laut dan Angkatan Udara Jepang, semua datang ke Asrama

Telawang untuk dipuaskan nafsu seksnya. Seperti penuturan Mardiyem “ Asrama

Telawang menjadi penuh sesak, banyak orang antri seperti pasar malam setiap harinya.

Kami sangat menderita selama bertahun-tahun. Kalau ingat peristiwa itu aku sungguh

(41)

3.2 Cara Perekrutan

Berbagai cara dilakukan militer Jepang untuk merekrut perempuan untuk

dijadikan sebagai jugun ianfu. Seperti tertulis dalam

Jepang direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagi

pemain sandiwara, pekerja rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror

disertai tindak kekerasan dan menyiksa.

Pada umumnya, cara Jepang merekrut para jugun ianfu Indonesia sama dengan

yang dilakukan di Jepang dan Korea. Tentara Jepang awalnya menyebarkan janji-janji

dengan menawarkan beasiswa ataupun pekerjaan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu

jugun ianfu Belanda bernama Ketjee Ruizeveld, tentara Jepang merekrut para gadis

dengan buaian-buaian akan uang yang nantinya dapat membuat mereka mencukupi

kehidupannya. Perempuan –perempuan itu dijanjikan akan diperkerjakan di rumah sakit

ataupun di restoran, dan apabila cara-cara itu tidak berhasil, maka mereka akan

melakukan paksaan-paksaan. Lalu setelah itu tentara Jepang mendata para perempuan

yang akan menjadi sasaran dan menjemput mereka untuk di bawa pada tempat-tempat

tertentu. Sebagian perempuan dibawa melalui jalan darat dan sebagian jalur laut. Ada

yang langsung di bawa ke tempat tujuan, namun ada juga yang melalui beberapa tempat

persinggahan. Para perempuan tersebut disebar ke wilayah-wilayah di Indonesia,

(42)

Selanjutnya (Kimura : 240) mengatakan, terdapat tiga cara perekrutan yang

dilakukan pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yangakan dijadikan jugun

ianfu antara lain:

1. Pemaksaan melalui kekerasan fisik

2. Pemaksaaan dengan jalan menyebarkan perasaa takut dan ancaman disertai teror

yang merupakan kekerasan psikologi

3. Pemaksaan dengan cara tipu daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan

dan janji untuk disekolahkan.

Pemaksaaan dengan kekerasan fisik yang dilakukan tentara Jepang adalah dengan

cara menarik paksa para jugun ianfu (dipukul dan disiksa karena melawan) dari rumah ke

dua orang tuanya. Tindakan ini disebut dengan violence. Violence merupakan tindak

kekerasan melalui psikis dan fisik. Dalam pasal I deklarasi penghapusan kekerasan

terhadap perempuan di Nairobi tahun 1985, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang

berakibat pada penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologi, termasuk

ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau pemerasan kemerdekaan secara

sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Adapun Mardiyem, korban jugun ianfu mengaku bahwa dirinya mendapat kabar akan

bekerja di Borneo dari Zus Lentji dan diming-imingi akan diperkerjakan sebagai pemain

sandiwara di Borneo (Kalimantan). Mardiyem langung saja mendaftar karena dirinya

(43)

dalam di Yogyakarta. Mardiyem direkrut oleh seorang Jepang, dokter gigi Shogenji yang

dibantu oleh seorang dokter Indonesia, Soesoedoro Djatikoesoemo. Mardiyem dan

beberapa temannya yang direkrut tidak hanya dijanjikan sebagai pemain sandiwara, tetapi

ada juga diajanjikan akan menjadi penyanyi, artis, pelayan restoran dll. Mereka tidak

merasa bahwa akan dijadikan jugun ianfu meski dalam proses perekrutan tersebut para

dokter tersebut melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap mereka, dan diketahui

bahwa ternyata umurnya dipalsukan dari 13 tahun ke 15 agar bisa ke Borneo.

Beberapa hari setelah pemeriksaan kesehatan tersebut mereka akhirnya berangkat ke

Borneo dari Stasiun Tugu dengan Kereta Api menuju Surabaya. Semua yang terlibat

dalam proses keberangkatan mereka ke Surabaya dilakukan oleh orang Indonesia. Setelah

tiba di Surabaya mereka di jemput oleh tentara Jepang dengan truk dan menginap di

Hotel Paneleh selama 2 minggu seraya menunggu kapal ke Borneo. Dalam hotel mereka

merasa senang karena diberi uang saku dan bebas berbelanja serta menikmati hiburan.

Kapal Nichimaru (kapal kayu biasa) adalah yang mengangkut mereka ke Borneo.

Selain mereka yang berjumlah 48 orang terdapat juga rombongan romusha di dalam

kapal. Selama dua hari perjalanan mereka tiba di Banjarmasin. Disana mereka dijemput

truk Jepang yang sopirnya adalah orang Jepang, mereka dibawa ke rumah pembantu

dokter Shogenji, Bang Kadir, dan menghabiskan waktu seminggu disana. Di rumah bang

Kadir, mereka masih merasa senang karena masih mempunyai uang saku dan mereka di

bagi menjadi dua kelompak, menjadi pemain sandiwara dan pelayan restoran dan satu

kelompok dibawa ke Telawang. Mardiyem di bawa ke Telawang. Sampai disini

(44)

sandiwara. Setelah pembagian itu barulah dirinya dan kawannya yang lain di bawa ke

Telawang (Asrama Telawang) dan dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang/ jugun ianfu.

3.3 Kehidupan Jugun Ianfu

Perempuan jugun ianfu di ianjo dipaksa untuk memberikan layanan seks kepada

tentara Jepang, martabat manusia mereka diinjak-injak. Waktu mereka untuk melayani

seks Jepang juga diatur.

Jam praktek para jugun ianfu dibagi atas:

a. Waktu siang, yakni antara pukul 12.00-17.00. waktu ini adalah jatah bagi tentara.

b. Waktu malam, yakni antara pukul 17.00-tengah malam. Waktu ini diperuntukkan

bagi kaum sipil Jepang.

c. Waktu dini hari, yakni waktu tengah malam hingga pagi hari.

Dari pembagian waktu di atas dapat dilihat bahwa tidak ada waktu istirahat bagi

jugun ianfu, kecuali bila datang bulan atau menstruasi mereka diberi libur dan setelah itu

kembali bekerja. Seperti penuturan Mardiyem “ Mereka terus bergiliran tanpa memberiku

kesempatan untuk istirahat. Setelah jam tiga sore, mereka baru berhenti memaksaku

untuk melayani nafsu seks. Itu pun karena aku telah mengalami pendarahan hebat”

(Hindra :101).

Setiap pagi hari pukul 07.00-08.00 sebelum bekerja, mereka di cek kesehatannya

oleh mantri kesehatan.Setiap hari Sabtu diperiksa dokter dan penyuntikan antibiotika.

Namun meskipun diadakan pemeriksaan rutin, dokter yang memeriksa tidak selalu yang

(45)

tentara Jepang tujuannya agar mereka tidak terkena penyakit kelamin.selain itu, karena

jumlah kondom yang disebar tidak mencukupi, maka banyak tentara pengguna jugun iafu

tidak memakai kondom. Bahkan ada tentara yang mencuci kondom bekas dan dipakai

kembali.

Di ianjo / asrama Telawang pembayaran dilakukan tidak langsung kepada jugun

ianfu, melainkan kepada kasir yang berada di kantor. Dengan uang tersebut, tamu akan

mendapat karcis dan dua buah kaputjes (kondom). Setiap orang dari kalangan sipil dan

militer yang mengunjungi ianjo harus antri untuk mendapatkan karcis dan kaputjes.

Karcis tersebut bernilai waktu satu jam untuk berhubungan seksual dengan jugun ianfu.

Meskipun sudah dibekali kaputjes saat beli karcis namun sebagian besar pengunjung

ianjo tidak mau memakai kaputjes dengan alasan mengganggu kenikmatan hubungan

seksual mereka.

Mardiyem jugun ianfu asal Yogyakarta bercerita bahwa sistem pembayaran

dilakukan seperti membeli karcis bioskop yaitu melalui loket sebelum memasuki

bangunan asrama. Menurut Mardiyem ada perbedaan harga untuk masuk ianjo bagi

kalangan serdadu dan perwira Jepang.

Setiap malam menjelang dini hari terdapat patroli polisi militer yang mengontrol

setiap kamar. Mengamankan apabila ada tentara yang membuat onar, mabuk atau

menyakiti para jugun ianfu. “Setiap hari, tiap siang hari, dan tengah malam, asrama

selalu dikontrol dan diawasi oleh Kampeitai. Biasanya dua atau tiga orang datang

mengelilingi asrama Telawang. Selain menjaga supaya perempuan-perempuan penghuni

(46)

kamar. Jika ada tamu yang memuat keributan karena mabuk pasti akan ditempeleng dan

dipukuli kampeitai, lalu dilempar ke luar dari asrama” (Hindra :105).

Setiap hari para perempuan tersebut melanayani tentara Jepang 10-15 orang.

Mereka diperkosa secara brutal , jika ada yang mengalami kehamilan maka

kandungannya akan segera digugurkan baik dengan cara meminum obat-obatan

maupun dengan kekerasan seperti dipukuli. “ Belum sempat aku memakai baju,

dalam keadaan badan telanjang dan darah mulai membasahi sprei kasur, tiba-tiba

pintu kamar terbuka. Secara bergiliran datang lagi serdadu Jepang kedua, ketiga,

keempat, kelima, keenam, yang memaksaku untuk melayani nafsu birahi mereka

berkali-kali. Aku menghindari mereka dengann rasa sakit di sekujur badan yang

semakin menjadi-jadi. Aku berusaha member isyarat dengan gelengan kepala dan

tangan kalau tidak mau lagi melayani, dan menunjuk darah yang mulai menetes dari

kedua kakiku. Laki-laki Jepang itu tidak mau mengerti. Mereka malah membuka

semua bajunya dan dengan buas langsung menerkam. Berkali-kali aku dipaksa untuk

memuaskan nafsu mereka. Masing-masing dari mereka memuaskan nafsunya

sebanyak dua kali. Mereka tidak merasa kasihan kepadaku meskipun darahku tidak

(47)

Jika siang hari untuk pangkat serdadu harus membayar 2,5 yen, lalu sore hari

pukul 17.00-24.00 dengan pembayaran 3,5 yen dan pukul 24.00 sampai pagi untuk

pangkat perwira membayar 12,5 yen. Meski ada sistem pembayaran untuk masuk ke

ianjo namun jugun ianfu tidak menerima pembayaran sama sekali. Mereka cuma

menerima karcis dari tamu yang datang. Pengelola ianjo mengatakan karcis-karcis yang

diberikan tamu harus dikumpulkan, nantinya dapat ditukarkan menjadi uang kalau

mereka telah selesai bekerja di asrama. Namun janji itu cuma omong kosong belaka.

Kenyataan pahit ini dialami oleh Mardiyem yang dijadikan jugun ianfu saat berusia 13

tahun.

Mardiyem berkisah perkosaan pertama yang dialaminya saat belum mengalami

menstruasi saat di Asrama Telawang, Kalimantan Selatan "Yang paling menyakitkan

yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan adalah perkosaan yang pertama. Setelah

saya diperkosa oleh laki-laki brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatan saya

pertama di Telawang. Hari pertama di Asrama Telawang, saya dipaksa melayani 6 orang

laki-laki padahal waktu itu saya sudah mengalami pendarahan hebat".

Jika jugun ianfu menolak melayani tentara Jepang mereka akan mendapat siksaan

fisik berupa pukulan dan tendangan. Seperti pengalaman Mardiyem ketika menolak

melayani pengelola Asrama Telawang yang bernama Cikada. Mardiyem mendapat

pukulan dan tendangan bertubi-tubi, sehingga pingsan hampir enam jam. Padahal waktu

itu Mardiyem baru saja mengalami aborsi paksa di usia kandungan lima bulan. Aborsi

paksa dilakukan tanpa proses pembiusan, kandungan yang telah berusia lima bulan

(48)

terjadi ketika usia Mardiyem 15 tahun. Akibat penyiksaan selama menjadi jugun ianfu

Mardiyem mengalami cacat fisik (tulang kaki kanan lebih besar dari kaki kiri,pembekuan

darah pada otak yang menyebabkan sakit kepala berkepanjangan, tidak bisa lagi punya

anak akibat pengguguran paksa saat berumur 15 tahun) dan trauma secara psikologi dan

seksual. Mardiyem meninggal dunia pada malam hari tanggal 21 Desember 2007, pada

(49)

3.4Jumlah Korban

Menurut riset oleh Dr.

penduduk kepulauan

berkisar antara 20.000 dan 30.000. Lalu pada tahun 1996 forum ex Heiho Indonesia

mencatat 22.000 korban jugun ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah

jugun ianfu Indonesia menurut data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Yogyakarta, sampai saat ini tercatat sebanyak 1.156 korban jugun ianfu seluruh

Indonesia.

Berdasarkan dokumen dari tentara Kwantung yang mengatakan bahwa para

perempuan jugun ianfu diperlakukan sebagai “persediaan militer”, dapat diestimasikan

bahwa jumlah perempuan yang dieksploitasi oleh Jepang berkisar antara 80.000-100.000

perempuan. Pada rencana militer Jepang yang dibuat pada Juli 1941, terdapat 20.000

perempuan jugun ianfu yang dibutuhkan untuk 800.000 tentara Jepang, atau dengan kata

lain satu perempuan untuk 40 tentara. Namun terdapat estimasi yang berbeda dari

(50)

Berikut ini tabel mengenai perkiraan jumlah jugun ianfu semasa perang pasifik. NAMA PENELITI TAHUN PUBLIKASI JUMLAH PERSONEL MILITER PARAMETE R

PENGGANTIAN JUMLAH JUGUN IANFU

Ikuhiko

hata

1993 3 juta 1 untuk 50

tentara

1,5 90.000

Yoshiaki

yashimi

1995 3 juta

3 juta

1 untuk 100

tentara

1 untuk 30

tentara

1,5

2

45.000

200.000

Su Zhiliang 1999 3 juta 1 untuk 30

tentara 3,4 4 360.000 410.000 Ikuhiko Hata

1999 2,5 juta 1 untuk 150

tentara

1,5 20.000

Taksiran yang berbeda – beda bergantung dari anggapan dasar dan metodologi yang

yang digunakan masing-masing peneliti. Kolom ketiga adalah jumlah personel militer

yang di tempatkan di perantauan selama perang pasifik, setelah itu kolom keempat adalah

perbandingan jumlah personel militer yang ada dengan tiap jugun ianfu. Setelah itu

kolom kelima merupakan perkiraan rasio pergantian perempuan jugun ianfu, karena

adanya jugun ianfu baru yang mengisi tempat dari perempuan jugun ianfu yang dikirim

(51)

Sedangkan Realita yang terjadi di ianjo asrama Telawang seperti dikatakan

Mardiyem adalah para jugun ianfu direkrut sebanyak tiga kali/ tiga angkatan, yaitu

angkatan pertama, kedua dan ketiga.

Dibawah ini daftar nama tiap angkatan :

Angkatan pertama :

NAMA ASLI NAMA JEPANG NOMOR KAMAR

Sastro - 1

Haniyah - 2

Waginem Sakura 3

Giyah - 4

Soerip Ayami 5

Jarum Hakiko 6

Karsinah - 7

Suharti Masako 8

Mur Noburu 9

Soetarbini Ineke 10

Mardiyem Momoye 11

Jainem Haruye 12

Arjo - 13

Supri - 14

Wajilah - 15

(52)

Ribut Itoko 17

Pawiro Akiko 18

Sastro - 19

Gendut - 20

Sarmini - 21

Sumber: Hindra :92

Angkatan kedua:

NAMA ASLI NAMA JEPANG

Mangun -

Atmo -

Senen -

Lasiyem Takiko

Wagiyem -

Ginem Sakura

(53)

Angkatan ketiga :

NAMA ASLI NAMA JEPANG

Suharti Miki

Sulasmi -

Tuminah -

Karsinah -

Sarju -

Gigo -

Sutiyem -

Kasmini -

Tukinah -

(54)
(55)

1.4Berakhirnya Jugun Ianfu

Pada tahun 1945, setelah Jepang mengangkat kaki dari Indonesia, mereka melepaskan

para jugun ianfu. Ada yang dikembalikan ke wilayah asalnya masing masing, namun

sebagiannya masih terserak di wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asal mereka.

Seperti catatan-catatan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, masih banyak

perempuan mantan jugun ianfu yang tersebar di berbagai pulau di pelosok Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer’

menceritakan perempuan-perempuan yang terdapat di pulau Buru.

Keadaan para perempuan setelah Jepang melepaskan mereka adalah sesuatu yang

menyedihkan. Sebagian dari perempuan yang telah diperlakukan tidak manusiawi itu

ditinggalkan begitu saja di tempat mereka dilecehkan. Pulau Buru merupakan salah satu

wilayah terpencil dan asing bagi para perempuan malang tersebut. Mereka tidak dapat

kembali karena tidak tahu jalan pulang, atau banyak juga yang malu untuk kembali

karena keadaan mereka yang mereka anggap memalukan. Mereka yang bertahan disana

diambil oleh orang-orang dari suku pedalaman untuk dijadikan istri. Kebanyakan dari

mereka adalah perempuan yang menarik. Apabila dibandingkan dengan perempuan asli

Buru, maka keadaan mereka akan sangat jauh berbeda. Perbedaan kulit dan wajah mereka

sangat berbeda dengan penduduk asli Buru, maka tidak heran mereka men

Referensi

Dokumen terkait

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa masayarakat Pangkalan Berandan mengetahui adanya kekejaman Jepang pada masa pendudukannya (1942-1945), mereka merasakan empati dan

Penduduk membedakan antara koperasi pada jaman Belanda yang merupakan koperasi “sesungguhnya” dan Kumiai pada jaman Jepang. Istilah koperasi tidak dipakai untuk

Meskipun begitu, sisi positif yang dapat diambil dari pendudukan Jepang ialah Jepang menanamkan rasa cinta tanah air kepada para pemuda yang pada akhirnya semangat inilah

Meskipun begitu, sisi positif yang dapat diambil dari pendudukan Jepang ialah Jepang menanamkan rasa cinta tanah air kepada para pemuda yang pada akhirnya semangat inilah yang

Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait kebijakan Jepang terhadap pendidikan kaum muslimin di Indonesia (1942-1945) diantaranya; pertama pelatihan

Tentara Jepang sudah melakukan perkosaan, perdagangan orang untuk tujuan seksual, eksplotasi sosial, penyiksaan seksual dan juga perbudakan seksual terhadap

Pendidikan pada masa awal kebijakan Jepang di Pulau Jawa mengalami perubahan dari mulai jenis sekolah, kurikulum, struktur sekolah, serta bahasa pengantar diganti

Bahkan, setelah pendudukan Jepang di Indonesia pada umum- nya dan Sulawesi Selatan khususnya, banyak yang mensinyalir bahwa para tuan-tuan toko itu adalah bagian dari