• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Elastisitas Transmisi Harga CPO (Crude Palm Oil) Domestik Terhadap Harga TBS (Tandan Buah Segar) Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Elastisitas Transmisi Harga CPO (Crude Palm Oil) Domestik Terhadap Harga TBS (Tandan Buah Segar) Sumatera Utara"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil)

DOMESTIK TERHADAP HARGA TBS (Tandan Buah Segar)

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

BINSAR TOHAP SITUMORANG 050304059

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil)

DOMESTIK TERHADAP HARGA TBS (Tandan Buah Segar)

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

BINSAR TOHAP SITUMORANG 050304059

Diajukan Kepada Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Skripsi : Analisis Elastisitas Transmisi Harga CPO (Crude Palm Oil) Domestik

terhadap Harga TBS (Tandan Buah Segar) Sumatera Utara

Nama : Binsar Tohap Situmorang

Nim : 050304059

Departemen : Agribisnis

Program Studi : Agribisnis

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Rahmanta Ginting, MSi NIP. 1963 0928 1998 031001

Anggota

Ir. Diana Chalil, MSi, Ph.D NIP. 1967 0303 1998 022001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis

(4)

RINGKASAN

Binsar Tohap Situmorang (050304059), dengan judul skripsi ”ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK TERHADAP HARGA TBS (Tandan Buah Segar) SUMATERA UTARA”, di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dibawah bimbingan bapak Dr. Ir. Rahmanta Ginting, Msi sebagai ketua komisi pembimbing dab ibu Ir. Diana Chalil, M.Si, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing.

Ketika harga CPO Domestik mengalami pelonjakkan, petani hampir tidak menikmati keuntungan dari melonjaknya harga CPO tersebut tetapi ketika harga CPO Domestik turun, petani langsung terkena imbas kerugiannya. Kebun-kebun sawit yang dikelola oleh rakyat hanya mampu untuk menjual sawit dalam bentuk TBS saja, yang harganya lebih sering dikendalikan oleh pihak pedagang, karena tidak ada peraturan mengenai harga pembelian minimum (harga dasar) untuk TBS sawit. Dengan demikian transmisi harga CPO Domestik dengan harga TBS tidak berjalan dengan baik. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas, penulis mencoba melakukan penelitian untuk melihat perbandingan perubahan harga CPO Domestik terhadap Harga TBS Sumatera Utara. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive yaitu pada daerah yang memiliki luas terbanyak di Sumatera Utara. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode Accedental yaitu pengambilan sample tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana penulis langsung mengumpulkan data dari sampel yang merupakan petani kelapa sawit yang mempuyai lahan dengan tanaman yang telah menghasilkan. Metode analisis data yang digunakan adalah rumus elastisitas transmisi harga dan dengan pendekatan ekonometrika regresi linier sederhana dengan menggunakan program SPSS 16, dengan variabel yang mempengaruhi adalah harga CPO Domestik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS petani di Sumatera Utara lebih besar dari satu (Et > 1), dapat diartikan bahwa setiap perubahan harga CPO Domestik sebesar 1% akan mengakibatkan perubahan harga TBS petani di Sumatera Utara besar dari 1%. berarti bersifat inelastis atau dengan kata lain perubahan harga CPO domestik terhadap harga TBS petani di Sumatera Utara tidak ditransmisi dengan sempurna

(5)

RIWAYAT HIDUP

BINSAR TOHAP SITUMORANG, lahir di Balikpapan pada tanggal 24 Oktober

1986 anak pertama dari empat bersaudara dari Ayahanda B. Situmorang dan Ibunda R. Br.

Lumbanbatu.

Tahun 2004 lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 12 Medan, dan pada tahun

2005 melalui jalur Reguler, diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Departemen Agribisnis, Medan.

Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai organisasi kemahasiswaan,

antara lain organisasi Ikatan Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP), Pemerintahan Mahasiswa

(PEMA) FP-USU.

Tahun 2009 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Bangun,

Kecamatan Paebuluan, Kabupaten Dairi, dan pada tahun yang sama penulis melaksanakan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul dari skripsi ini

adalah “ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK

TERHADAP HARGA TBS (Tandan Buah Segar) SUMATERA UTARA”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

• Bapak Dr. Ir. Rahmanta Ginting, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing dan memotivasi penulis dalam penyelesaian

skripsi ini.

• Ibu Ir. Diana Chalil, MSi, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

• Ibu Ir. Salmiah, MP selaku Ketua Departemen SEP, FP-USU dan Ibu Dr. Salmiah, MS

selaku Sekretaris Departemen SEP, FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam

hal perkuliahan dan administrasi kegiatan organisasi saya di kampus.

• Seluruh Dosen Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

yang telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis selama ini.

• Seluruh pegawai di Fakultas Pertanian khususnya pegawai Departemen Agribisnis

Segala hormat dan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepadai ayahanda B.

Situmorang atas kesabarannya dalam mendidk penulis dan ibunda R. br Lumbanbatu atas

motivasi, kasih sayang, dan dukungan baik secara materi maupun do’a yang diberikan kepada

penulis selama menjalani kuliah, tak lupa kepada abangda Jhonson Limbong dan para adinda

penulis, Rismawati Aprita Situmorang, SS, Erlince Situmorang, dan Benny Situmorang yang

(7)

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman penulis di Departemen

Agribisnis angkatan 2005. Dan juga penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada

sahabat-sahabat Roma Parulian Nababan, SP, Surya, Dedi, Johanes, Helova, PRIUK37, serta

adinda Putri Sirait yang telah membantu penulis dalam membuat skripsi ini.

Dan secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Tetty Uli Oktaviana

br.Situmeang, STP yang telah memberikan keceriaan, motivasi, dan inspirasi kepada penulis

dalam membuat skripsi ini.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi

kita semua.

Medan, April 2011

(8)

DAFTAR ISI

1.4. Kegunaan Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1. Penetapan Harga ... 5 3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 14

3.2. Metode Penentuan Sampel.... ... ... 14

3.3. Metode Pengumpulan Data... ... 15

3.3.1. Data Primer ... 15

3.3.2. Data Sekunder ... 15

3.4. Metode Penelitian ... 16

3.5. Defenisi dan Batasan Operasional ... 20

3.5.1. Defenisi Operasional ... 20

(9)

BAB IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN ... 21

4.1. Kabupaten Labuhan Batu ... 21

4.2. Kabupaten Serdang Bedagai ... 22

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan harga CPO Internasional, harga CPO Domestik, harga TBS Sumatera Utara, dan tingkat pertumbuhan harga rill ... 25

5.1.1. Perkembangan harga CPO di pasar Internasional ... 25

5.1.2. Perkembangan harga CPO Domestik... 28

5.1.3. Perkembangan harga TBS Sumatera Utara... 31

5.1.4. Tingkat Pertumbuhan harga rill ... 35

5.2. Hubungan korelasi antara harga CPO Internasional, harga CPO Domestik, dan harga TBS Sumatera Utara ... 39

5.3. Elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS petani Sumatera Utara ... 44

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 50

6.2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Wilayah dan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara ... 14

2. Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Labuhan Batu ... 21

3. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Labuhan Batu ... 22

4. Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Serdang Bedagai ... 23

5. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Serdang Bedagai ... 23

6. Tingkat Pertumbuhan Harga Rill ... 36

7. Hubungan Korelasi antara Harga CPO Internasional, Harga CPO Domestik, dan harga TBS Sumatera Utara ... 39

8. Fungsi regresi linier sederhana Harga CPO Domestik terhadap Harga TBS Sumatera Utara ... 45

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Skema kerangka Pemikiran... 12

2. Grafik Perkembangan Harga Nominal CPO Internasional ... 25

3. Grafik Perkembangan Harga Rill CPO Internasional ... 27

4. Grafik Perkembangan Harga Nominal CPO Domestik ... 28

5. Grafik Perkembangan Harga Rill CPO Domestik ... 30

6. Grafik Perbandingan Harga Nominal dan Rill CPO Domestik ... 31

7. Grafik Perkembangan Harga Nominal TBS Sumatera Utara ... 32

8. Grafik Perkembangan Harga Rill TBS Sumatera Utara ... 33

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

3. Perkembangan Harga Nominal TBS Sumatera Utara ... 56

4. Perkembangan Harga Nominal CPO Domestik ... 57

5. Perkembangan Harga Nominal CPO Internasional ... 58

6. Harga Rill TBS Sumatera Utara ... 59

7. Harga Rill CPO Domestik ... 62

8. Harga Rill CPO Internasioanl ... 65

9. Tingkat Pertumbuhan Harga CPO Internasional ... 68

10. Tingkat Pertumbuhan Harga CPO Domestik ... 71

11. Tingkat Pertumbuhan Harga TBS Sumatera Utara ... 74

12. Hasil Korelasi Harga antara Harga CPO Internasional, CPO Domestik terhadap TBS Sumatera Utara ... 77

13. Perhitungan Korelasi Harga TBS Sumatera Utara terhadap harga CPO Domestik ... 78

14. Perhitungan Korelasi Harga TBS Sumatera Utara terhadap harga CPO Internasional .. 82

15. Perhitungan Korelasi Harga CPO Domestik terhadap CPO Internasional ... 86

16. Hasil Regresi Linier Sederhana Elastisitas Transmisi Harga CPO Domestik terhadap Harga TBS Sumatera Utara ... 90

17. Perhitungan Regresi Linier Sederhana... 93

18. Perhitungan Elastisitas Transmisi Harga 14. 18a. Kabupaten Labuhan Batu ... 98

(13)

19. Pembentukan Harga TBS di Tingkat Petani

14. 19a. Kabupaten Labuhan Batu ... 99

(14)

RINGKASAN

Binsar Tohap Situmorang (050304059), dengan judul skripsi ”ELASTISITAS TRANSMISI HARGA CPO (Crude Palm Oil) DOMESTIK TERHADAP HARGA TBS (Tandan Buah Segar) SUMATERA UTARA”, di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dibawah bimbingan bapak Dr. Ir. Rahmanta Ginting, Msi sebagai ketua komisi pembimbing dab ibu Ir. Diana Chalil, M.Si, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing.

Ketika harga CPO Domestik mengalami pelonjakkan, petani hampir tidak menikmati keuntungan dari melonjaknya harga CPO tersebut tetapi ketika harga CPO Domestik turun, petani langsung terkena imbas kerugiannya. Kebun-kebun sawit yang dikelola oleh rakyat hanya mampu untuk menjual sawit dalam bentuk TBS saja, yang harganya lebih sering dikendalikan oleh pihak pedagang, karena tidak ada peraturan mengenai harga pembelian minimum (harga dasar) untuk TBS sawit. Dengan demikian transmisi harga CPO Domestik dengan harga TBS tidak berjalan dengan baik. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas, penulis mencoba melakukan penelitian untuk melihat perbandingan perubahan harga CPO Domestik terhadap Harga TBS Sumatera Utara. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive yaitu pada daerah yang memiliki luas terbanyak di Sumatera Utara. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode Accedental yaitu pengambilan sample tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana penulis langsung mengumpulkan data dari sampel yang merupakan petani kelapa sawit yang mempuyai lahan dengan tanaman yang telah menghasilkan. Metode analisis data yang digunakan adalah rumus elastisitas transmisi harga dan dengan pendekatan ekonometrika regresi linier sederhana dengan menggunakan program SPSS 16, dengan variabel yang mempengaruhi adalah harga CPO Domestik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS petani di Sumatera Utara lebih besar dari satu (Et > 1), dapat diartikan bahwa setiap perubahan harga CPO Domestik sebesar 1% akan mengakibatkan perubahan harga TBS petani di Sumatera Utara besar dari 1%. berarti bersifat inelastis atau dengan kata lain perubahan harga CPO domestik terhadap harga TBS petani di Sumatera Utara tidak ditransmisi dengan sempurna

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia secara fisik terkesan

menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Luas areal, produksi, dan ekspor

meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun dibalik kisah sukses tersebut terdapat

permasalahan yang cukup mendasar, yaitu tingkat harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa

sawit yang masih belum memuaskan petani. Permasalahan ini tentunya bermuara pada

rendahnya pendapatan yang diterima petani (Drajat, 2004).

Menurut Ketua Tim Pelaksana rapat penetapan harga, Ir. Feri Hc, Msi., yang juga

Kasubdin Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Provinsi Riau dalam

pidatonya mengatakan, bahwa kenaikan harga TBS diduga dipengaruhi oleh kenaikan harga

CPO di pasar dunia. Dan sebaliknya penurunan harga TBS juga dipengaruhi penurunan

harga CPO di pasar dunia (Anonymous, 20081)

Seperti yang terjadi di tahun 2007, dimana ekspor yang menjadi andalan Indonesia

adalah produk minyak sawit. karena harga minyak sawit terus meningkat sejak mengalami

titik terendah pada tahun 2001 pada kisaran harga US$200 per ton. Pada tahun 2006 terjadi

peningkatan harga yang tajam dari tingkat US$400 per ton menjadi US$900 per ton di akhir

tahun 2007. Peningkatan harga CPO ini juga mendongkrak TBS. Hal ini membuat petani

kelapa sawit memeperoleh manfaat dari penjualan buah sawit dan dapat meningkatkan

kesejahteraan petani kelapa sawit (Arianto,2008).

Tetapi disaat harga sawit dipasaran internasional melambung tinggi, petani tidak

mendapatkan peningkatan keuntungan yang sebanding. Sebagai contoh, pada bulan Juni 2008

(16)

Sumatera Utara hanya berkisar Rp900 hingga Rp1.190 per kilogram. Sebaliknya, ketika

harga CPO merosot tajam, petani langsung terkena imbas kerugian yang cukup besar. Tidak

berselang lama setelah terjadi peningkatan harga CPO, kini harga CPO anjlok menjadi 498

US$/ton dan petani hanya mendapatkan harga TBS sekitar Rp150 - Rp250/Kg (Anonymous,

20082)

Di sisi lain struktur pasar internasional komoditi ini merupakan pasar yang bersaing,

dimana jumlah pembeli dan penjual di pasar tersebut banyak. Dengan struktur bersaing ini,

indonesia sebagai negara penerima harga. Sebaliknya, struktur pasar domestik cenderung

bersifat Monopolistik, dimana satu pembeli berhadapan dengan penjual yang relatif banyak.

Satu pengekspor menghadapi beberapa pedagang, satu pedagang menghadapi beberapa

pedagang kecil. Satu pedagang kecil menghadapi beberapa petani. Pembeli berperan sebagai

penentu harga dan penjual sebagai penerima harga (Ambar dkk, 2007).

Hal Ini juga menunjukkan indikasi adanya pengaruh yang tidak proporsional antara

harga CPO Domestik terhadap perubahan harga TBS yang diterima oleh petani. ketika harga

CPO Domestik mengalami pelonjakkan, petani hampir tidak menikmati keuntungan dari

melonjaknya harga CPO tersebut tetapi ketika harga CPO Domestik turun, petani langsung

terkena imbas kerugiannya. Kebun-kebun sawit yang dikelola oleh rakyat hanya mampu

untuk menjual sawit dalam bentuk TBS saja, yang harganya lebih sering dikendalikan oleh

pihak pedagang, karena tidak ada peraturan mengenai harga pembelian minimum (harga

dasar) untuk TBS sawit (Anonymous, 20083).

Dengan demikian transmisi harga CPO Domestik dengan harga TBS diduga tidak

berjalan dengan baik. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas, penulis mencoba melihat

(17)

1.2. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang perlu diteliti,

antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan harga CPO di pasar Internasional, harga CPO di pasar

Domestik, harga TBS di Sumatera Utara?

2. Bagaimana korelasi antara harga CPO Internasional dengan CPO Domestik, harga CPO

Internasional dengan harga TBS Sumatera Utara, dan harga CPO Domestik dengan

harga TBS Sumatera Utara?

3. Bagaimana Elastisitas Transmisi Harga CPO Domestik terhadap harga TBS di tingkat

petani?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan, adalah :

1. Untuk mengidentifikasi perkembangan harga CPO di pasar Internasional, harga CPO di

pasar Domestik, harga TBS di Sumatera Utara

2. Untuk mengidentifikasi korelasi antara harga CPO Internasional dengan CPO Domestik,

harga CPO Internasional dengan harga TBS Sumatera Utara, dan harga CPO Domestik

dengan harga TBS Sumatera Utara

3. Untuk mengidentifikasi Elastisitas Transmisi Harga CPO terhadap harga TBS di tingkat

petani

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai gambaran dan bahan informasi bagi pengusaha kelapa sawit dalam menjalankan

(18)

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dan lembaga lainnya dalam

mengambil keputusan yang berhubungan dengan perkembangan harga kelapa sawit

3. Sebagai bahan referensi dan studi untuk pengembangan ilmu bagi pihak-pihak yang

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Penetapan Harga

Pada dasarnya, ada 2 kekuatan besar yang berpengaruh pada pembentukan harga

komoditas kelapa sawit, yaitu kekuatan pasar (marketing forces) dan pengendalian oleh

pemerintah/kebijakan pemerintah.

1. Kekuatan Pasar

Melalui kekuatan pasar, harga di sepanjang rantai supply berpengaruh karena

permintaan di industri hulu merupakan turunan permintaan dari permintaan di industri hilir.

Harga produk di industri hulu dipengaruhi oleh harga produk di industri hilir atau dengan

kata lain harga TBS dipengaruhi oleh harga CPO (Chalil dan Zen, 2009).

2. Kebijkan Pemerintah

Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan dunia, pemerintah mengeluarkan

serangkaian kebijakan harga TBS yang diharapkan dapat melindungi petani. Kebijakan

pemerintah dalam menentukan harga TBS akan mempengaruhi kemampuan petani

kelapa sawit untuk berproduksi.Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi

Pekebun ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.

627/Kpts.II/1998, dan Peraturan Menteri Pertanian No. 395//Kpts/OT.140/11/2005. Rumus

Harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:

HTBS = K (HCPO x RCPO + HIS xRIS)

dimana:

HTBS : Harga TBS acuan yang diterima oleh Petani di tingkat pabrik, dinyatakan dalam Rp/kg

(20)

K : Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani, dinyatakan dalam

persentase dan ditetapkan setiap bulan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berdasarkan

Tim Penetapan Harga Pembelian TBS

HCPO : Harga rata-rata minyak sawit (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan

lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/Kg dan

ditetapkan setiap bulan

RCPO : Rendemen minyak sawit, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan sebagai

Lampiran SK Menbutbun

HIS : Harga rata-rata tertimbang minyak inti sawit realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal

masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/Kg dan ditetapkan

setiap bulan

RIS : Rendemen minyak inti sawit, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan sebagai

Lampiran SK Menbutbun (Anonymous, 2007).

Harga TBS dipengaruhi oleh harga rata-rata tertimbang dari harga CPO Internasional

dan harga CPO Domestik, serta faktor lain yang terjadi dilapangan. Mutu dan rendemennya

ditentukan oleh jenis bibit, umur tanaman dan mutu panen (Bangun, 1989). Baik melalui

kekuatan pasar dan kebijakan pemerintah, harga TBS di pengaruhi oleh harga CPO.

2.1.2. Penelitian Terdahulu

Arifandi (2008), menunjukkan bahwa ketika harga CPO Internasional naik sebesar 1

%, maka harga CPO Domestik naik sebesar 0,983 %, sedangkan harga minyak goreng

Domestik naik sebesar 1,016 %. Jaldi (2007), menunjukkan bahwa (1) perubahan harga

sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar -0,34% di

tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO ekspor PTPN IV. Hal ini disebabkan, karena

adanya peningkatan input, seperti harga bahan baku (TBS), harga solar dan upah tenaga kerja

(21)

politis, yaitu hubungan diplomatik indonesia dengan negara pengimpor CPO. (2) perubahan

harga sebesar 1% di tingkat pemasar akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 0,59% di

tingkat produsen pada kegiatan pemasaran CPO Domestik PTPN IV. Hal ini disebabkan,

karena adanya kenaikkan input, seperti bahan baku (TBS), harga solar pabrik dan upah

tenaga kerja dalam pembuatan CPO dan lemahnya posisi tawar PTPN IV.

2.2. Landasan Teori

2.2.1 Supply Chain

Konsep supply chain (rantai penawaran) merupakan konsep baru dalam melihat

persoalan logistik. Konsep lama melihat logistik sebagai persoalan intern masing-masing

perusahaan dan pemecahannya dititik beratkan pada pemecahan secara intern di

perusahaan masing-masing. Dalam konsep baru ini, masalah logistik dilihat sebagai masalah

yang lebih luas dan terbentang sangat panjang mulai dari bahan baku sampai produk jadi

yang digunakan oleh konsumen akhir

Konsep rantai penawaran yang relatif baru sebetulnya tidak sepenuhnya baru

karena konsep tersebut merupakan perpanjangan dari konsep logistik. Hanya

manajemen logistik lebih terfokus pada pengaturan aliran di dalam suatu perusahaan,

sedangkan manajemen rantai penawaran menganggap bahwa integrasi dalam suatu

perusahaan tidaklah cukup. Integrasi harus dicapai untuk seluruh mata rantai

pengadaan barang, mulai dari yang paling hulu sampai dengan yang paling hilir. Oleh karena

itu, rantai penawaran terfokus pada pengaturan aliran barang antar perusahaan yang terkait,

dari hulu sampai hilir bahkan sampai pada konsumen terakhir (Isnanto, 2009).

2.2.2. Rantai Pemasaran

Kohl dan Uhl (1980) mendefinisikan pemasaran sebagai tampilan aktivitas bisnis

(22)

konsumen. Menurut Saefuddin (1982) bahwa pemasaran merupakan aktivitas yang berkaitan

dengan bergeraknya barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Berd as arkan definisi

tersebut, maka tujuan dari pada pemasaran adalah agar barang dan atau jasa yang

dihasilkan oleh petani maupun perusahaan sebagai produsen sampai ke konsumen.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan agar barang dan jasa dapat berpindah dari sektor

produksi ke sektor konsumsi disebut sebagai fungsi pemasaran.

Rantai pemasaran yang semakin panjang yang memungkinkan terjadinya

akumulasi bias transmisi harga yang semakin besar. Rantai pemasaran yang semakin

panjang antara lain dapat disebabkan oleh jarak pemasaran yang semakin jauh antara

daerah produsen dan daerah konsumen. Jarak pemasaran yang lebih jauh dapat terjadi

karena produksi komoditas terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sedangkan daerah

konsumennya relatif tersebar dalam lingkup wilayah yang lebih luas (Nasruddin, 2002).

2.2.3. Integrasi Pasar

Integrasi pasar merupakan suatu indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya

efisiensi harga yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang

terjadi pada pasar acuan (pasar di tingkat pedagang pengecer, Pr) akan menyebabkan terjadi

perubahan pada pasar pengikutnya (pasar di tingkat petani, Pf) (Nasruddin, 2002).

Integrasi pasar tergolong menjadi 2, yaitu yang meliputi integrasi vertikal dan

integrasi horizontal. Integrasi vertikal merupakan penggabungan proses dan fungsi dua

atau lebih lembaga pemasaran pada tahap distribusi ke dalam satu sistem manajemen.

Sedangkan integrasi horizontal adalah penggabungan dua atau lebih lembaga pemasaran

yang melakukan fungsi yang sama pada tahap distribusi yang sama pula ke dalam satu

sistem manajemen.

Dua pasar dikatakan terintegrasi secara vertikal apabila perubahan harga dari salah

(23)

pasar persaingan sempurna, dimana perubahan harga acuan diteruskan secara sempurna ke

pasar pengikut (tingkat petani). Dengan demikian, integrasi vertikal dapat digunakan sebagai

indikator. Sedangkan integrasi pasar secara horizontal digunakan untuk melihat apakah

mekanisme harga berjalan secara serentak atau tidak (Kusnadi dkk, 2009).

2.2.4. Law Of One Price

Law of one price mengungkapkan bahwa pada pasar persaingan yang bebas biaya

transportasi dan hambatan perdagangan resmi (seperti tarif), komoditi yang identik yang

dijual di negara yang berbeda harus dijual dengan harga yang sama jika harga barang tersebut

dikonversikan ke dalam mata uang yang sama (Kougmen dan Obstfeld, 2000).

Contoh : Harga sepotong roti di amerika adalah US$1 apabila nilai tukar Rp terhadap

US$ yang berlaku saat ini adalah Rp 8000/US$, menurut asumsi the asumsi The Law of One

Price, harga sepotong roti di Indinesia harus Rp 8000/US$. Jadi,dimana pun kita membeli

roti, apakah itu di Amerika atau di Indonesia, harganya adalah sama, sesuai dengan

perbandingan tingkat nilai tukar yang berlaku antar kedua negara tersebut (Frensidy, 2008).

2.2.5. Elastisitas Transmisi Harga

Elastisitas transmisi harga merupakan perbandingan perubahan persentase dari harga

di tingkat pengecer/ pemasar/konsumen (Y) dengan perubahan harga di tingkat

petani/produsen (X), yang bertujuan untuk mengetahui melihat berapa besar perubahan harga di

pasar pengecer/ pemasar/konsumen (Y) akibat terjadinya perubahan harga sebesar satu satuan

unit di pasar petani/produsen (X). Dari perubahan/hubungan tersebut secara tidak

langsung dapat diperkirakan tingkat keefektifan suatu informasi pasar, bentuk

pasar dan efektifan sistem pemasaran.

Apabila elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu (Et < 1) dapat diartikan

(24)

perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani dan bentuk pasar mengarah ke

Monopsoni. Apabila elastisitas transmisi harga sama dengan satu (Et = 1), maka

perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga

sebesar 1% di tingkat petani dan merupakan pasar persaingan sempurna. Apabila elastisitas

transmisi harga lebih besar dari satu (Et > 1), maka perubahan harga sebesar 1%

di tingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga lebih besar dari 1% di tingkat

petani dan bentuk pasarnya mengarah ke Monopoli.

Rumus elastisitas transmisi harga sebagai berikut :

∆Y X

Et = x

∆X Y

Dimana :

Et = Elastisitas Transmisi Harga

∆Y = Perubahan Harga di tingkat pengecer (∆Rp/∆Kg)

∆X = Perubahan Harga di tingkat petani (∆Rp/∆Kg) X = Harga di tingkat petani (Rp/Kg)

Y = Harga di tingkat pengecer (Rp/Kg) (Sudiyono, 2004)

Elastisitas transmisi harga umumnya bernilai lebih kecil satu. Apabila nilai Et

suatu pasar lebih tinggi dari pasar yang lain, berarti pasar tersebut lebih efisiensi karena

perubahan harga (fluktuasi) di tingkat produsen ditransmisikan dengan lebih sempurna ke

(25)

2.3. Kerangka Pemikiran

Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati kelapa sawit yang disebut dengan CPO

(Crude Palm Oil). CPO merupakan hasil olahan dari TBS (Tandan Buah Segar), yang dimana

CPO dan TBS mempunyai nilai yang disebut dengan harga. Dalam kaitannya dengan

pemasaran, harga ini di indikasikan mengalami perubahan harga.

Suatu pasar dapat dikatakan sempurna dilihat dari integrasi pasar dan elastisitas

transmisi harga yang terjadi. Dimana integrasi harga dikatakan sempurna, jika pembentukan

harga ditingkat petani dengan ditingkat PKS bernilai sama dengan satu. Sama halnya dengan

elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap TBS di tingkat petani yang mengacu pada

harga CPO Internasional bernilai sama dengan satu. Ini di karenakan harga CPO Domestik di

pengaruhi oleh harga internasional, dimana ketika harga CPO Internasional mengalami

peningkatan harga jual, maka harga CPO Domestik akan mengalami peningkatan harga jual

pula sesuai dengan harga dalam satu mata uang (kurs).

Jika ini berjalan dengan baik, maka akan terbentuk keadaan harga yang seimbang,

sehingga elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS ditransmisikan

dengan sempurna. Apabila hukum ini tidak berjalan baik, maka elastisitas transmisi harga

yang terjadi tidak ditransmisikan dengan sempurna dan akan mengakibat dampak pada harga

(26)

Harga TBS Petani Kelapa Sawit

Keterangan :

: Dampak : Transmisi

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Harga CPO Internasional

Harga CPO Domestik

Harga TBS Sumatera Utara

(27)

2.4. Hipotesis

Sesuai dengan landasan teori yang telah dijelaskan, maka penulis menganggap

hipotesis penelitian yang akan diteliti adalah

1. Adanya hubungan yang erat antara harga CPO Internasional dengan CPO Domestik,

harga CPO Internasional dengan harga TBS Sumatera Utara, dan harga CPO Domestik

dengan harga TBS Sumatera Utara pada periode yang sama

2. Harga CPO Domestik ditransmisikan dengan sempurna terhadap harga TBS di tingkat

(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu penentuan lokasi sampel

dilakukan secara sengaja, yaitu di Kabupaten Labuhan Batu (kabupaten dengan luas lahan

terbesar) dan Kabupaten Serdang Bedagai (salah satu kabupaten hasil pemekaran yang

mempunyai prospek pengembangan kelapa sawit) sebagai sentra perkebunan kelapa sawit di

Provinsi Sumatera Utara (Tabel 1).

Tabel 1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit

Kabupaten Luas Lahan (ha)

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2007

3.2. Metode Penentuan Sampel

Sampel diambil dengan metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang

pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung

(29)

mempunyai lahan dengan tanaman yang telah menghasilkan. Berdasarkan teori penarikan

sampel, sampel petani yang diambil dalam penelitian ini adalah 60 sampel petani kelapa

sawit (30 sampel petani x 2 Pemkab), karena bagaimanapun bentuk populasinya teori

penarikan sampel menjamin akan diperolehnya hasil yang memuaskan. Untuk penelitian

yang menggunakan analisis statistik, ukuran sampel paling minimum 30. Selain itu, metode

ini digunakan karena keterbatasan waktu dan biaya dalam penelitian (Walpole, 1992).

3.3. Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Data Primer

Data PKS dan petani kelapa sawit akan diperoleh melalui wawancara dengan

berpedoman pada kuisioner yang terstruktur, yang mana sampel memberikan jawaban

berdasarkan pilihan yang tersedia dalam kuisioner. Selain itu, peneliti juga melakukan

pengamatan langsung terhadap objek studi.

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari BPS, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas

Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PT. Perkebunan

Nusantara I – IV cabang Medan, serta instansi lain yang terkait baik pada tingkat propinsi

maupun daerah penelitian, serta bahan-bahan yang telah diterbitkan berupa hasil penelitian

terdahulu.

Data-data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :

• Data harga TBS Sumatera Utara

• Data harga CPO domestik

• Data harga CPO internasional

(30)

3.4. Metode Analisis Data

Identifikasi Masalah 1, Untuk mengetahui perkembangan harga CPO internasional,

harga CPO domestik, harga TBS sumatera utara digunakan analisis deskriptif dengan melihat

harga nominal dan harga riil bulanan yaitu dari bulan januari 2001 sampai bulan desember

2010, dan tingkat pertumbuhan masing-masing.

Hipotesis 1, untuk mengetahui hubungan yang erat pada periode yang sama

digunakan analisis korelasi model Gujarati (1999), yaitu uji yang menentukan derajat atau

kekuatan hubungan antara variabel terikat (Y) dengan variabel bebas (X), yang bertujuan

untuk menentukan apakah suatu hipotesa dapa diterima atau tidak. Model korelasi dapat

dilihat sebagai sebagai berikut :

Y = b0 + b1X

Keterangan :

b0 : Konstanta

b1 : Koefisien Regresi

r : Koefisien Korelasi

X : Harga Rill Konsumen (Rp/Kg)

Y : Harga Rill Produsen (Rp/Kg)

n : Jumlah Sampel

Jika b1 = 1, maka terjadi hubungan yang erat antara harga konsumen dengan harga produsen,

sehingga pasarnya merupakan pasar persaingan sempurna, terjadi integrasi

(31)

Jika b1 < 1, maka tidak terjadi hubungan yang erat antara harga konsumen dengan harga

produsen dan pasarnya mengarah ke monopsoni, tidak terjadi integrasi harga

secara sempurna dan pemasarannya tidak efisien.

Jika b1 > 1, maka tidak terjadi hubungan yang erat antara harga konsumen dengan harga

produsen dan pasarnya mengarah ke monopoli, tidak terjadi integrasi harga

secara sempurna dan pemasarannya tidak efisien.

Hipotesis 2, Elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap h arga TBS

S u m at era Ut ara merupakan perbandingan perubahan persentase dari harga CPO

Domestik (X) dengan perubahan harga TBS Sumatera Utara (Y). Untuk melihat elastisitas

transmisi harga yang terjadi, dapat digunakan rumus sebagai berikut :

∆Y X Et = x ∆X Y

Parameter tersebut dapat diduga dengan menggunakan model regresi linier sederhana

(32)

Dimana :

Et = Elastisitas Transmisi Harga

∆X = Perubahan Harga Rill CPO Domestik (Rp/Kg)

∆Y = Perubahan Harga TBS Rill Sumatera Utara(Rp/Kg)

Y = Harga TBS Rill Sumatera Utara(Rp/Kg)

X = Harga CPO Rill Domestik (Rp/Kg)

b0 = Konstanta

b1 = Koefisien Regresi Elastisitas Transmisi Harga

Jika Et = 1, maka kepekaan perubahan harga CPO sebesar 1% di tingkat domestik akan

mengakibatkan perubahan harga TBS sebesar 1% di tingkat Sumatera Utara

atau elastisitas transmisi harga terjadi secara sempurna dan merupakan pasar

persaingan sempurna

Jika Et > 1, maka kepekaan perubahan harga CPO sebesar 1% di tingkat domestik akan

mengakibatkan perubahan harga TBS besar dari 1% di tingkat Sumatera Utara

atau elastisitas transmisi harga tidak terjadi secara sempurna dan mengarah ke

pasar monopoli

Jika Et < 1, maka kepekaan perubahan harga CPO sebesar 1% di tingkat domestik akan

mengakibatkan perubahan harga TBS kurang dari 1% di tingkat Sumatera Utara

atau elastisitas transmisi harga tidak terjadi secara sempurna dan mengarah ke

pasar monopsoni

Untuk menghindari hasil regresi linear sederhana yang palsu akibat penggunaan data

Time Series di dalam penelitian ini diperlukan pengubahan harga dari nilai nominal ke dalam

nilai riil. Data harga CPO Domestik dan Harga TBS Sumatera Utara merupakan data harga

(33)

digunakan sehingga nilai yang dihitung benar-benar merupakan nilai sebenarnya pada saat

berlakunya harga.

Data nominal harga CPO Internasional terlebih dahulu diubah kedalam mata uang rupiah dan

diteruskan diubah kedalam data riil dengan menggunakan rumus :

* US$ x Exchange Rate

*

Data nominal harga CPO Domestik diubah kedalam data riil dengan menggunakan rumus :

Data nominal harga TBS Sumatera Utara diubah kedalam data riil dengan menggunakan

rumus :

Dimana :

Harga CPO Domestik : Data harga CPO Domestik dalam bentuk nominal

(34)

3.5. Definisi dan Batasan Operasional

Definisi dan batasan operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahapahaman

istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi.

3.5.1 Definisi Operasional

Adapun defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan pada produk atau jasa atau jumlah dari

nilai yang ditukar konsumen atas manfaat yang diperoleh dari produk atau jasa tersebut

2. Harga CPO adalah harga rata-rata penjualan dari perkebunan besar negara ke pengolahan

dalam negeri atau pada penjualan dipasar internasioanal

3. Harga FOB (free on board) adalah penetapan harga yang dilakukan diatas kapal, artinya

bahwa segala biaya sampai barang yang dijual berada diatas kapal merupakan

tanggungan penjual termasuk keamanan selama perjalanan. Tetapi setelah barang berada

diatas kapal, hak atas barang menjadi tanggung jawab si pembeli sampai di tempat tujuan

4. Elastisitas transmisi harga adalah persentase perubahan harga suatu barang dimana yang

disebabkan oleh persentase perubahan harga barang yang lain

5. Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah nomor indeks yang mengukur harga rata-rata dari

barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga

1.5.2. Batasan Operasional

Adapun batasan operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Daerah penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu Kabupaten Labuhan Batu dan

Kabupaten Serdang Bedagai sebagai sentra perkebunan kelapa sawit di Provinsi

Sumatera Utara

2. Waktu penelitian adalah tahun 2011

(35)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di 2 kabupaten yaitu: Kabupaten Labuhan Batu dan

Kabupaten Serdang Bedagai.

4.1. Kabupaten Labuhan Batu

Kabupaten Labuhan Batu yang terdiri dari 9 Kecamatan dan 98 Desa/Kelurahan

Definitif dan merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Labuhan Batu

terletak antara 1°41’ - 2°44’ LU dan 99°33’ -100°22’ BT dan menempati area seluas 256.138

Ha yang adapun batas administratif Kabupaten Labuhan Batu adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Labuhan Batu Utara.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Kabupaten

Padang Lawas Utara.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Utara.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau.

Adapun luas kebun kelapa sawit berdasarkan kepemilikan di daerah Kabupaten

Labuhan Batu adalah :

Tabel 2. Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Labuhan Batu

Kepemilikan

Luas

(Ha)

Persentase terhadap Jumlah (%)

Perkebunan Negeri 81.842,02 23,02

Perkebunan Swasta 240.802,51 67,72

Perkebunan Rakyat 32.927 9,26

Jumlah 355.571,53 100

(36)

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui Kabupaten Labuhan Batu memiliki luas

Perkebunan Negeri, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat yaitu sebesar 81.842,02 Ha

(23,02%), 240.802,51 Ha (67,72%), 32.927 Ha (9,26%) lebih luas dibandingkan Kabupaten

Serdang Bedagai. Di daerah Kabupaten Labuhan Batu Perkebunan Swasta lebih luas

dibandingkan Perkebunan Negeri dan Perkebunan Rakyat.

Adapun jumlah produksi kebun kelapa sawit di daerah Kabupaten Labuhan Batu

adalah :

Tabel 3. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Labuhan Batu

Kepemilikan

Produksi

(Ton)

Persentase terhadap Jumlah (%)

Perkebunan Negeri 1.347.465,92 20,83

Perkebunan Swasta 4.697.467,83 72,61

Perkebunan Rakyat 424.241 6,56

Jumlah 6.469.174,75 100

Sumber : BPS,Labuhan Batu Dalam Angka 2009

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui Kabupaten Labuhan Batu memiliki produksi TBS

Perkebunan Negeri, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat yaitu sebesar 1.347.465,92

Ton (20,83%), 4.697.467,83 Ton (72,61%), 424.241 Ton (6,56%). Di daerah Kabupaten

Labuhan Batu Perkebunan Swasta memiliki jumlah produksi TBS yang lebih banyak

dibandingkan Perkebunan Negeri dan Perkebunan Rakyat.

4.2. Kabupaten Serdang Bedagai

Kabupaten Serdang Bedagai adalah salah satu Kabupaten pemekaran dari induknya

yaitu Kabupaten Deli Serdang yang terletak diantara 2057' - 30 16' LU dan 970 52' - 980 45'

BT. Kabupaten Serdang Bedagai secara administrative terdiri dari 11 Kecamatan, 243 desa, 5

kelurahan yang memliki luas 1.900,22 Km2 yang adapun batas administratif Kabupaten

(37)

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Simalungun.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Batubara dengan Kabupaten Simalungun

Adapun luas kebun kelapa sawit berdasarkan kepemilikan di daerah Kabupaten

Serdang Bedagai adalah :

Tabel 4. Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Serdang Bedagai

Kepemilikan

Luas

(Ha)

Persentase terhadap Jumlah (%)

Perkebunan Negeri 21.937,8 40,97

Perkebunan Swasta 19.760,89 36,9

Perkebunan Rakyat 11.849,1 22,13

Jumlah 53.547.79 100

Sumber : BPS,Serdang Bedagai Dalam Angka 2009

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat diketahui Kabupaten Serdang Bedagai memiliki luas

Perkebunan Negeri, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat yaitu sebesar 21.937,8 Ha

(40,97%), 19.760,89 Ha (36,9%), 11.489,1 Ha (22,13%). Kabupaten Serdang Bedagai

memiliki luas Perkebunan Negeri paling besar dibandingkan Perkebunan Swasta dan

Perkebunan Rakyat.

Tabel 5. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Serdang Bedagai

Kepemilikan

Produksi

(Ton)

Persentase terhadap Jumlah (%)

Perkebunan Negeri 378.827,19 44,95

Perkebunan Swasta 311.241,31 36,93

Perkebunan Rakyat 152.724,83 18,12

Jumlah 842.793,33 100

(38)

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui Kabupaten Serdang Bedagai memiliki produksi

TBS Perkebunan Negeri, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat yaitu sebesar

378.827,19 Ton (44,95%), 311.241,31 Ton (36,93%), 152.724,83 Ton (18,12%). Kabupaten

Serdang Bedagai Perkebunan Negeri memiliki jumlah produksi yang besar dibandingkan

(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perkembangan harga CPO Internasional, harga CPO Domestik, harga TBS Sumatera Utara, dan tingkat pertumbuhan harga rill

5.1.1. Perkembangan harga CPO di pasar Internasional

Dalam beberapa tahun belakang ini, harga CPO Internasional mengalami lonjakan

harga yang sangat pesat atau fluktuatif, dimana Fluktuasi adalah keadaan dimana pada saat

tertentu harga melonjak naik, sementara pada saat yang lain harga menjadi anjlok baik harga

nominal dan harga rill CPO Internasional. Perubahan tersebut dapat dilihat dari gambar

berikut ini :

Gambar 2. Grafik Perkembangan Harga Nominal CPO Internasional

Pada gambar 2 dapat kita lihat bahwa perkembangan harga nominal CPO

Internasional mengalami fluktuasi harga yang tidak stabil, dimana pada awal tahun 2001

(40)

fluktuasi dari 185 US$ hingga 520 US$ per Ton di bulan Maret 2004, namun di awal kwartal

kedua 2004 harga mengalami penurunan yang cukup signifikan. Awal tahun 2007 kenaikan

harga yang cukup signifikan terus terjadi hingga menembus angka 550 US$ per ton dan

puncaknya pada akhir tahun 2007 dimana harga CPO Internasional berada pada angka 883

US$ per Ton.

Di tahun 2008 bisa dikatakan tahun keemasan, tetapi juga bisa dikatakan tahun

keterpurukkan. Dikatakan tahun keemasan karena harga CPO Internasional sempat mencapai

angka 1.146 US$ per Ton yang dimulai dari awal tahun 2007, sehingga banyak pihak yang

ikut mengembangkan bisnis ini mulai dari pengembang bisnis hulu hingga hilir. Tetapi pada

bulan Agustus 2008, banyak pihak yang mengalami kerugian besar yang disebabkan harga

CPO Internasional mengalami penurun harga sebesar 300 US$ yang bulan sebelumnya

berada pada angka 1.026 US$ per Ton sehingga banyak pengembang bisnis hilir komoditi

kelapa sawit beralih ke bisnis hilir minyak nabati yang lain. Keadaan ini berlangsung hingga

akhir 2008 dan merupakan harga terendah dua tahun terakhir, yaitu 440 US$ per Ton. Tetapi

tahun keemasan pun berada di tahun 2008, dimana harga CPO Internasional sempat berada

pada 1.146 US$ yang merupakan harga tertinggi yang sempat berada di pasar Internasional

dalam delapan tahun terakhir.

Masa pemulihan di mulai pada awal tahun 2009 dengan berada pada harga 522 US$

per Ton dan cenderung stabil di kisaran harga 500 – 700 US$ per Ton hingga akhir tahun

2009. Keadaan ini terus mengalamami peningkatan harga yang cukup signifikan hingga akhir

tahun 2010, yaitu 1.171 US$ per Ton dan menjadi harga tertinggi dalam sepuluh tahun

(41)

Gambar 3. Grafik Perkembangan Harga Rill CPO Internasional

Perkembangan harga rill CPO Internasional juga cenderung sama dengan

perkembangan harga nominal CPO Internasional. Ini dapat kita lihat dari gambar 2 dan 3,

dimana dari tahun 2001 hingga tahun 2010 perkembangan harga rill CPO Internasional

cenderung sama dengan perkembangan harga nominal CPO Internasional. Hanya saja harga

tertinggi selama dalam sepuluh tahun terakhir berada pada tahun 2008 bukan di tahun 2010

yaitu Rp 9.998 per Kg, tidak seperti halnya pada gambar 2. Harga rill CPO Internasional

tertinggi pada tahun 2008 berada di bulan Maret, sedangkan harga rill tahun 2010 berada

pada bulan Desember sebesar Rp 8.484 per Kg. Ini dikarenakan nilai tukar rupiah terhadap

mata uang dolar amerika (Lampiran 2) pada bulan Maret 2008 mengalami kenaikan, yaitu

sebesar Rp 9.230 per US$, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar amerika

pada bulan Desember 2010 mengalami penurunan, yaitu sebesar Rp 9.067 per US$.

Perkembangan Index Harga Konsumen (IHK) di Indonesia dalam sepuluh tahun

(42)

perkembangan harga rill CPO Internasional. Dimana IHK Pada bulan Maret tahun 2008

sebesar 105 lebih rendah dari IHK pada bulan Desember tahun 2010 sebesar 125.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan harga nominal dan harga rill CPO

Internasional cenderung sama yaitu mengalami peningkatan harga yang sama secara

fluktuatif.

5.1.2. Perkembangan harga CPO Domestik

Meskipun Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia tetapi perkembangan

harga CPO Domestik mengacu pada perkembangan harga CPO Internasional yang ditetapkan

di Rotterdam, Belanda. Ini dikarenakan Indonesia bersama Malaysia belum dapat menjadi

price maker CPO Internasional. Ini dapat dilihat dari setiap pergerakan harga CPO Domestik

yang cenderung sama dengan pergerakan harga CPO Internasional (Gambar 4).

Gambar 4. Grafik Perkembangan Harga Nominal CPO Domestik

Pada gambar 4 dapat kita lihat bahwa perkembangan harga nominal CPO Domestik

(43)

Domestik berada pada kisaran Rp 1.532 per Kg yang terus fluktuasi dari Rp 2.027 per Kg

hingga Rp 4.130 per Kg di bulan Mei 2004, namun di akhir kwartal kedua 2004 harga

mengalami penurunan yang cukup signifikan. Awal tahun 2007 kenaikan harga yang cukup

signifikan terus terjadi hingga menembus angka Rp 4.617 per Kg dan puncaknya pada akhir

tahun 2007 dimana harga CPO Domestik berada pada angka Rp 7.186 per Kg.

Di tahun 2008 bisa dikatakan tahun keemasan, tetapi juga bisa dikatakan tahun

keterpurukkan. Dikatakan tahun keemasan karena harga CPO Domestik sempat mencapai

angka Rp 8.952 per Kg yang dimulai dari awal tahun 2007, sehingga banyak pihak yang ikut

mengembangkan bisnis ini mulai dari pengembang bisnis hulu hingga hilir. Tetapipada bulan

Oktober 2008, banyak pihak yang mengalami kerugian besar yang disebabkan harga CPO

Domestik mengalami penurun harga sebesar Rp 1.325 yang bulan sebelumnya berada pada

angka Rp 5.316 per Kg dan merupakan harga terendah dua tahun terakhir, yaitu Rp 3.990 per

Kg. Ini dikarenakan pada tahun 2008, Indonesia ikut mengalami krisis global yang terjadi di

Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang berimbas pada perekonomian Indonesia dan

nilai tukar mata uang Dollar Amerikat Serikat terhadap Rupiah. Tetapi tahun keemasan ini

pun sempat dirasakan pengembang bisnis ini di tahun 2008, dimana harga CPO Domestik

berada pada Rp 8.952 per Kg yang merupakan harga tertinggi yang sempat berada di pasar

Domestik dalam sepuluh tahun terakhir.

Masa pemulihan di mulai pada awal tahun 2009 dengan berada pada harga Rp 5.222

per Kg dan cenderung stabil di kisaran harga Rp 5000 – 7000 per Kg hingga akhir tahun

2009. Keadaan ini terus mengalamami peningkatan harga yang cukup signifikan hingga akhir

tahun 2010, yaitu Rp 7.624 per Kg dan menjadi harga kedua tertinggi dalam sepuluh tahun

terakhir. Ini dikarenakan, negara Amerika Serikat telah mengalami pemulihan ekonomi

setelah negara tersebut mengalami krisis global yang berkepanjangan, sehingga berdampak

(44)

Serikat terhadap Rupiah sebagai mata uang yang sering dipergunakan Indonesia sebagai mata

uang transaksi perdagangan internasional.

Gambar 5. Grafik Perkembangan Harga Rill CPO Domestik

Perkembangan harga rill CPO dan harga nominal CPO Domestik sama-sama

mengalami perkembangan yang juga cenderung dalam kurun waktu sepuluh tahun. Ini dapat

kita lihat dari gambar 4 dan gambar 5, dimana dari tahun 2001 hingga tahun 2010

perkembangan harga rill CPO Domestik cenderung sama dengan perkembangan harga

nominal CPO Domestik dan harga tertinggi selama dalam sepuluh tahun terakhir sama-sama

berada pada bulan Mei tahun 2008. Dimana harga nominal CPO Domestik sebesar Rp 8.952

per Kg dan harga rill CPO Domestik sebesar Rp 8.329 per Kg. begitu juga di tahun 2009,

harga nominal dan harga rill CPO Domestik sama-sama berada pada bulan Mei 2009 yang

merupakan harga tertinggi kedua dalam sepuluh tahun terakhir. Dimana harga nominal CPO

(45)

Gambar 6. Grafik Perbandingan Harga Nominal dan Rill CPO Domestik

Pada gambar 6 tampak jelas bahwa grafik perkembangan harga nominal dan

perkembangan harga rill CPO Domestik cenderung sama. Hanya saja pada bulan September

2007 hingga bulan Desember 2010, grafik perkembangan harga rill CPO Domestik

mengalami penurunan grafik jika dibandingkan dengan grafik perkembangan harga nominal

CPO Domestik yang mengalami peningkatan grafik. Dimana sebelumnya pada bulan Januari

2001 hingga bulan Agustus 2007, grafik perkembangan harga nominal CPO Domestik lebih

rendah dengan grafik perkembangan harga rill CPO Domestik. Tetapi secara keseluruhan

grafik perkembangan harga nominal CPO Domestik mengalami peningkatan secara

signifikan dibandingkan dengan grafik perkembangan harga rill CPO Domestik.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan harga nominal dan

harga rill CPO Domestik cenderung sama yaitu mengalami peningkatan harga yang sama

secara fluktuatif.

5.1.3. Perkembangan harga TBS Sumatera Utara

Harga TBS Sumatera Utara merupakan harga acuan TBS di tingkat Pabrik Kelapa

(46)

bersama oleh Dinas Perkebunan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit, dan Pengusaha

pengembang bisnis hulu hingga hilir komoditi kelapa sawit di Propinsi Sumatera Utara.

Perkembangan harga TBS Sumatera Utara dalam sepuluh tahun terakhir mengalami fluktuasi

harga yang tidak stabil. Ini dikarenakan perkembangan harga TBS di Sumatera Utara di

pengaruhi oleh perkembangan harga CPO Domestik dan perkembangan harga CPO Domestik

dipengaruhi oleh perkembangan harga CPO Internasional. Ini dapat dilihat dari setiap

pergerakan harga TBS di Sumatera Utara cenderung sama dengan pergerakan harga CPO

Domestik (Gambar 7).

Gambar 7. Grafik Perkembangan Harga Nominal TBS Sumatera Utara

Pada gambar 7 dapat kita lihat bahwa perkembangan harga nominal TBS Sumatera

Utara pada awal tahun 2001 berada pada kisaran Rp 283 per Kg yang terus fluktuasi dari

Rp 381 per Kg hingga Rp 842 per Kg di bulan Mei 2004, namun di akhir kwartal kedua 2004

harga mengalami penurunan yang cukup signifikan. Awal tahun 2007 kenaikan harga yang

cukup signifikan terus terjadi hingga menembus angka Rp 913 per Kg dan puncaknya pada

(47)

Di tahun 2008 banyak pihak yang ikut mengembangkan bisnis ini mulai dari

pengembang bisnis hulu hingga hilir dimana merupakan tahun keemasan, tetapi juga bisa

dikatakan tahun keterpurukkan. Dikatakan tahun keemasan karena harga TBS sempat

mencapai angka Rp 1.896 per Kg yang dimulai dari awal tahun 2007 dan merupakan harga

tertinggi di tingkat Propinsi Sumatera Utara dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga banyak

pihak mencoba membuka lahan perkebunan baru seluas-luasnya untuk menanam komoditi

kelapa sawit . Tetapi pada bulan Agustus 2008, banyak pihak yang mengalami kerugian besar

yang disebabkan harga TBS mengalami penurunan harga sebesar Rp 334 yang dua bulan

sebelumnya berada pada angka Rp 1.136 per Kg sehingga banyak pengembang bisnis hulu

membiarkan lahan mereka tidak dikelola dengan baik sehingga banyak TBS dibiarkan masak

pada pohon kelapa sawit hingga mengalami pembusukan, dan merupakan harga terendah di

tahun 2008, yaitu Rp 802 per Kg.

Masa pemulihan di mulai pada awal tahun 2009 dengan berada pada harga

Rp 1.008 per Kg dan cenderung stabil di kisaran harga Rp 1000 – 1300 per Kg hingga akhir

tahun 2009. Keadaan ini terus mengalamami peningkatan harga yang cukup signifikan hingga

akhir tahun 2010, yaitu Rp 1.624 per Kg dan menjadi harga kedua tertinggi dalam 10 tahun

terakhir.

(48)

Perkembangan harga rill TBS Sumatera Utara juga cenderung sama dengan

perkembangan harga nominal TBS Sumatera Utara. Ini dapat kita lihat dari gambar 7 dan

gambar 8, dimana dari tahun 2001 hingga tahun 2010 perkembangan harga rill TBS Sumatera

Utara cenderung sama dengan perkembangan harga nominal TBS Sumatera Utara. Hanya

saja harga rill tertinggi selama dalam sepuluh tahun terakhir berada pada bulan Maret tahun

2008 bukan di bulan Mei tahun 2008 yaitu Rp 1.784 per Kg, tidak seperti halnya pada

gambar 7. Ini di karenakan harga rill TBS Sumatera Utara pada bulan Maret hingga bulan

Mei 2008 mengalami penurunan sebesar Rp 20, dengan Index Harga Konsumen di Indonesia

(Lampiran 1) pada bulan Maret tahun 2008 sebesar 105, sedangkan IHK pada bulan Mei

tahun 2008 sebesar 107.

Gambar 9. Grafik Perbandingan Harga Nominal dan Rill TBS Sumatera Utara

Pada gambar 9 tampak jelas bahwa grafik perkembangan harga nominal dan

perkembangan harga rill TBS Sumatera Utara cenderung sama. Hanya saja pada bulan

September 2007 hingga bulan Desember 2010, grafik perkembangan harga rill TBS Sumatera

(49)

nominal TBS Sumatera Utara yang mengalami peningkatan grafik. Dimana sebelumnya pada

bulan Januari 2001 hingga bulan Agustus 2007, grafik perkembangan harga nominal TBS

Sumatera Utara lebih rendah dengan grafik perkembangan harga rill TBS Sumatera Utara.

Tetapi secara keseluruhan grafik perkembangan harga nominal TBS Sumatera Utara

mengalami peningkatan secara signifikan dibandingkan dengan grafik perkembangan harga

rill TBS Sumatera Utara. Dan ini sama seperti halnya pada gambar 6, yaitu grafik

perkembangan harga nominal dan perkembangan harga rill CPO Domestik cenderung sama

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan harga nominal dan harga rill TBS

Sumatera Utara cenderung sama yaitu mengalami peningkatan harga yang sama secara

fluktuatif.

5.1.4. Tingkat pertumbuhan harga

Tingkat pertumbuhan harga pada harga TBS Sumatera Utara, harga CPO Domestik

dan harga CPO Internasional mengalami pergerakkan yang cenderung sama pada setiap

tahunnya. Pada tahun 2001 sampai 2009 tingkat pertumbuhan harga rill masing-masing harga

per tahun mengalami pergerakkan fluktuasi yang sama. Tetapi di tahun 2010 tingkat

pertumbuhan harga rill TBS Sumatera Utara dan harga rill CPO Domestik mengalami

penurunan, sedangkan tingkat pertumbuhan harga rill CPO Internasional mengalami

peningkatan.

Pada tahun 2001, 2003 sampai 2009 tingkat pertumbuhan harga nominal

masing-masing harga per tahun mengalami pergerakkan fluktuasi yang sama. Tetapi di tahun 2002

dan 2010 tingkat pertumbuhan harga nominal TBS Sumatera Utara dan harga nominal CPO

Domestik mengalami penurunan, sedangkan tingkat pertumbuhan harga nominal CPO

Internasional mengalami peningkatan.

Tingkat pertumbuhan masing-masing harga ini dapat kita lihat pada tabel 6 di bawah

(50)

Tabel 6. Tingkat pertumbuhan harga (%)

Tahun

P TBS P CPO Domestik P CPO Internasional

Nominal (Rp/Kg) Rill (Rp/Kg) Nominal (Rp/Kg) Rill (Rp/Kg) Nominal (US$/Ton) Rill (Rp/Kg)

2001 3,642 2,753 3,731 2,840 2,749 2,630

Sumber : Data olahan dari lampiran 9,10 dan 11

Pada tabel 6 tampak jelas bahwa tingkat pertumbuhan harga di tahun 2010 mengalami tingkat

pertumbuhan harga per tahun yang berbeda pada tingkat pertumbuhan harga TBS Sumatera

Utara, harga CPO Domestik dengan harga CPO Internasional dimana tingkat pertumbuhan

masing-masing sebesar 0,931%, 0,619% dan 2,856%. Ini dikarenakan pada bulan November

2010 harga CPO Internasional mengalami kenaikkan harga sebesar Rp 863,809 per Kg

dengan tingkat pertumbuhan harga per bulan sebesar 11,262%, sedangkan harga TBS

Sumatera Utara dan CPO Domestik masing-masing mengalami kenaikkan harga sebesar Rp

0,007 dan Rp 37,295 per Kg dengan tingkat pertumbuhan per bulan masing-masing sebesar

0,001% dan 0,619%.

Pergerakan tingkat pertumbuhan harga nominal juga cenderung sama dalam sepuluh

tahun terakhir, hanya saja di tahun 2002 dan 2010 tingkat pertumbuhan harga TBS Sumatera

Utara dan Harga CPO Domestik mengalami penurunan, sedangkan tingkat pertumbuhan

(51)

pertumbuhan harga di tahun 2002 dan 2010 mengalami tingkat pertumbuhan harga per tahun

yang berbeda pada tingkat pertumbuhan harga TBS Sumatera Utara, harga CPO Domestik

dengan harga CPO Internasional dimana tingkat pertumbuhan di tahun 2002 dan 2010

masing-masing sebesar 2,855%, 2,395%, 3,02%, dan 1,478%, 1,177%, 3,782% . Ini

dikarenakan pada bulan Juni 2002 dan November 2010 harga CPO Internasional mengalami

kenaikkan harga masing-masing sebesar 38,180 US$ per Ton dan 123,790 US$ per Ton

dengan tingkat pertumbuhan harga per bulan masing-masing sebesar 10,154% dan 11,262%,

sedangkan harga TBS Sumatera Utara dan CPO Domestik masing-masing mengalami

kenaikkan harga sebesar Rp 44,833 dan Rp 195,503 per Kg dengan tingkat pertumbuhan

masing-masing 7,288% dan 6,319% di bulan Juni 2002, serta Rp 9,210 dan Rp 90,510 per Kg

dengan tingkat pertumbuhan per bulan masing-masing sebesar 0,597% dan 1,212% di bulan

November 2010.

Tahun 2004 dan 2008 merupakan tahun dimana tingkat pertumbuhan harga nominal

masing-masing harga mengalami penurunan harga jual yang sangat drastis, yaitu antara 0% –

11%. Penyebabnya adalah :

• Sejak Juli-September 2008 karena berkurangnya permintaan akibat melambatnya kinerja

perekonomian global atau terjadinya krisis global

• Harga minyak mentah dunia yang melemah

• Meningkatnya produksi minyak kedelai dan bunga matahari di Amerika Latin, Amerika

Serikat, dan Eropa semakin menekan harga CPO

• Meningkatnya produksi minyak sawit di negara Malaysia dan Indonesia, sebagai negara

produsen minyak sawit terbesar di dunia

• Adanya isu-isu seperti produk yang tidak higienis, pengrusakan ekosistem

(52)

untuk menjatuhkan harga CPO dunia oleh negara penghasil produk subtitusi

minyak nabati selain CPO.

Sedangkan tahun 2006 dan 2009 merupakan tahun dimana tingkat pertumbuhan

masing-masing harga mengalami peningkatan harga jual yang sangat drastis, yaitu antara 1% - 3%.

Ini dikarenakan :

• Penurunan produksi sawit dan kedelai, yang merupakan bahan baku utama minyak nabati

dunia

• Munculnya El Nino yang menyebabkan kekeringan panjang di Asia Tenggara.

Sebaliknya, fenomena alam itu menyebabkan hujan luar biasa deras di Amerika Latin,

sehingga merusak panen kedelai

• Membaiknya kembali harga minyak mentah dunia, seiring dengan mulai pulihnya

perekonomian di Amerika Serikat (AS), Jepang, dan negara-negara di Eropa.

Terkhususnya meredanya krisis global yang terjadi di Amerika Serikat

• Sentimen pemanfaatan CPO sebagai bahan baku biodiesel, sebagai dampak dari

meningkatnya harga minyak bumi dunia (Crude Oil)

Tahun 2004 dan 2008 merupakan tahun dimana tingkat pertumbuhan harga Rill

masing-masing harga mengalami penurunan harga jual yang sangat drastis, yaitu antara 6% –

9%. Ini di karenakan :

• Pada umumnya faktor yang mempengaruhi penurunan harga nominal ikut juga juga

mempengaruhi penurunan harga rill

• Setiap tahun pada semester kedua, Indonesia sebagai negara produsen CPO Dunia

mengalami “banjir buah”. Terkhususnya pada tahun 2008, banyak TBS yang dibiarkan

busuk akibat imbas krisis global

• Terjadinya peningkatan persentase inflasi yang ditandai dengan meningkatnya persentase

(53)

Sedangkan tahun 2003 dan 2009 merupakan tahun dimana tingkat pertumbuhan

masing-masing harga mengalami peningkatan harga jual yang sangat drastis, yaitu antara 2% - 5%.

Penyebabnya adalah :

• Pada umumnya faktor yang mempengaruhi peningkatan harga nominal ikut juga juga

mempengaruhi peningkatan harga rill. Terkhususnya di tahun 2009, dimana Indonesia

mengalami perbaikan ekonomi pasca krisis global terjadi

• Setiap tahun pada semester pertama, Indonesia sebagai negara produsen CPO Dunia

mengalami “track buah”

• Terjadinya penurunan persentase inflasi yang ditandai dengan menurunnya persentase

Index Harga Konsumen secara fluktuatif

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan harga nominal

dan harga rill CPO Internasional, CPO Domestik, dan TBS Sumatera Utara cenderung sama

yaitu mengalami peningkatan harga yang sama secara fluktuatif.

5.2. Hubungan korelasi antara harga CPO Internasional, harga CPO Domestik, dan Harga TBS Sumatera Utara

Hasil analisis korelasi antara harga CPO Internasional, harga CPO Domestik, dan harga

TBS Sumatera Utara (semua harga dalam nilai rill) dapat di lihat pada tabel 7 di bawah ini :

Tabel 7. Hubungan korelasi antara harga (P) CPO Internasional, harga (P) CPO Domestik, dan harga (P) TBS Sumatera Utara

Variabel N Signifikansi Pearson Correlation

P TBS Sumatera Utara - P CPO Domestik 120 0,000 0,992**

P TBS Sumatera Utara - P CPO Internasional 120 0,000 0,967**

PCPO Domestik - P CPO Internasional 120 0,000 0,972**

(54)

Pada tabel 7 menjelaskan bahwa terdapat tiga variabel hubungan korelasi, yaitu hubungan

korelasi antara harga TBS Sumatera Utara terhadap harga CPO Domestik, hubungan korelasi

antara harga TBS Sumatera Utara terhadap harga CPO Internasional, dan hubungan korelasi

antara harga CPO Domestik terhadap harga CPO Internasional. Dan jumah data Time Series

masing-masing variabel sebanyak 120.

Dari hasil diatas tampak bahwa Koefisien korelasi antara variabel harga TBS

Sumatera Utara (Y) terhadap harga CPO Domestik (X) adalah 0,992 dengan signifikansi

0,000. Koefisien korelasi 0, 992 berarti terjadi hubungan yang sangat kuat antara kedua

variabel. Tingkat signifikansi sebesar 0,000 < 0,05, berarti ada korelasi yang nyata antara

variabel Y dengan variabel X. Koefisien bertanda positif berarti apabila variabel X naik maka

variabel Y juga naik, demikian sebaliknya, dengan kata lain menyatakan adanya hubungan

linier sempurna langsung. Ini berarti bahwa titik-titik yang ditentukan oleh (X,Y) seluruhnya

berada pada garis regresi linier.

Secara estimasi, penjelasan diatas seharusnya menjadi kenyataan. Dimana ketika

harga CPO Domestik mengalami peningkatan ataupun penurunan harga, maka harga TBS

Sumatera Utara juga mengalami perubahan tersebut. Tetapi secara nyata ketika harga CPO

Domestik mengalami peningkatan harga, maka harga TBS Sumatera Utara tidak mutlak

mengalami peningkatan harga, sedangkan ketika harga CPO Domestik mengalami penurunan

harga, maka harga TBS Sumatera Utara mutlak mengalami penurun tersebut dan bahkan

lebih turun lagi. Ini dikarenakan, penerima harga TBS tersebut tidak mempunyai posisi tawar

yang kuat untuk ikut serta dalam menentukan harga hasil panennya, Harga TBS yang wajar

diterima telah distorsi oleh berbagai kepentingan, biaya produksi yang mahal, Tidak adanya

perbedaan antar rendemen dengan umur tanaman, serta terlalu panjangnya jalur tataniaga,

sehingga banyak yang menggunakan jasa pengangkutan untuk menjual hasil TBS atau

(55)

Dari tabel 7 menjelaskan bahwa Koefisien korelasi antara variabel harga TBS

Sumatera Utara (Y) terhadap harga CPO Internasional (X) adalah 0,967 dengan signifikansi

0,000. Koefisien korelasi 0, 967 berarti terjadi hubungan yang sangat kuat antara kedua

variabel. Tingkat signifikansi sebesar 0,000 < 0,05, berarti ada korelasi yang nyata antara

variabel Y dengan variabel X. Koefisien bertanda positif berarti apabila variabel X naik maka

variabel Y juga naik, demikian sebaliknya, dengan kata lain menyatakan adanya hubungan

linier sempurna langsung. Ini berarti bahwa titik-titik yang ditentukan oleh (X,Y) seluruhnya

berada pada garis regresi linier.

Dari penjelasan diatas seharusnya secara estimasi menjadi kenyataan. Dimana ketika

harga CPO Internasional mengalami peningkatan ataupun penurunan harga, maka harga TBS

Sumatera Utara juga mengalami perubahan tersebut. Tetapi secara nyata ketika harga CPO

Internasional mengalami peningkatan harga, maka harga TBS Sumatera Utara tidak mutlak

mengalami peningkatan harga, sedangkan ketika harga CPO Internasional mengalami

penurunan harga, maka harga TBS Sumatera Utara mutlak mengalami penurun tersebut dan

bahkan lebih turun lagi. Ini dikarenakan, Penurunan harga CPO ataupun harga Kernel (inti

sawit). Jika hal ini terjadi , perusahaan inti tidak akan mau mengurangi keuntungannya.

Selanjutnya hal yang terjadi di lapangan adalah penurunan harga TBS yang akan diterima

petani sehingga biaya pengolahan yang dikeluarkan perusahaan dapat dikatakan tidak

mengalami banyak perubahan. Dan secara tidak langsung, harga TBS tersebut ikut terkena

punggutan ekspor, meskipun penerima harga TBS tersebut tidak mengekspor, yang

seharusnya pungutan ekspor tersebut di kenakan pada perusahaan yang melakukan ekspor

CPO.

Dari tabel 7 juga menjelaskan bahwa bahwa Koefisien korelasi antara variabel harga

CPO Domestik (Y) terhadap harga CPO Internasional (X) adalah 0,972 dengan signifikansi

Gambar

Gambar 1.  Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit
Tabel 2. Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Labuhan Batu Luas
Tabel 3. Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Labuhan Batu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada waktu yang bersamaan kelompok P.lombinasi diberi diet tinggi kolesterol yaitu suspensi otak sapi sebanyak 3 ml per tikus per hari dan diet kombinasi madu + minyak

Contoh : jika site-site gagal dalam sebuah sistem terdistribusi, site lainnya dapat melanjutkan operasi jika data telah direplikasi pada beberapa sitev. —

H asil penelitian pada α = 5% diperoleh: (1) Terdapat pengaruh penerapan strategi Problem Posing terhadap pencapaian kemampuan kognitif dalam pembelajaran

Saat ini, para konsumen banyak yang beralih ke internet shoppping karena ada dua pertimbangan besar yaitu: (1) biaya pencarian yang relatif mudah, dengan kata lain tidak

xxii ( جنوجا جنولوت دنادنوج ةيعفاشلا ةطسوتلما ةسردلما في نماثلا 3 ) يرثتأ ةفرعلم نم صاخشلاا لاصتا ةسردلما في نماثلا فص بلاطل قلاخلااو ةديقعلا ةدام

Dalam rangka meningkatkan produktivitas padi dan menunjang program P2BN di Jawa Barat, dilakukan pendampingan SL- PTT Padi sawah di Desa Mekar Pananjung, Desa Kertajaya,

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas

Walaupun hasil analisis kriteria kelayakan investasi usaha peternakan ayam buras pedaging layak untuk dijalankan berdasarkan aspek finansial tetapi laba bersih yang diterima