• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wuku : Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Wuku : Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan."

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

i

WUKU

(Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian pada Orang Bali di Pegajahan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapat gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Disusun

Oleh

Andri Nugraha

050905018

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:

Nama : Andri Nugraha Nim : 050905018

Judul : “Wuku” Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan.

Pembimbing Ketua Departemen

Dra Sri Alem Sembiring,M.Si Dr.Fikarwin Zuska NIP. 19690823 199403 2 001 NIP 19621220 198903 1 005

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

PERNYATAAN

“Wuku” Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan

Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan.

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terdapat ketidaksesuaian dengan data yang ada di dalam skripsi ini dan terbukti melakukan plagiat terhadap karya orang lain, maka saya akan siap diproses secara hukum dan dicabut gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juni 2011

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, dan keselamatan serta anugerah yang berlimpah sampai skripsi ini selesai. Penulis juga menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang saya sayangi Ayahanda Mayor CPM (Purn) Ojod Koswara dan Ibunda Dede Mulyati yang tak pernah lelah memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada saya dari kecil sampai sekarang. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekertaris Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara dan Ketua Penguji Proposal Penelitian ini, Bapak Lister Berutu MA selaku dosen wali saya selama menjalani pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Terimakasih untuk waktu, saran dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

Kakak Dra. Sri Alem Sembiring, M.Si yang selalu tabah dan semangat membimbing saya menyelesaikan proposal sampai skripsi saya selesai. Bapak Drs. Ermansyah M.Hum sebagai penguji I, di mana telah banyak membantu penulis dalam perbaikan proposal. Para Dosen Departemen Antropologi, Staf Pegawai FISIP, Pegawai Perpustakaan Fakultas dan Pegawai Perpustakaan Universitas.

Buat kekasih saya Novi Eriyanti, terima kasih atas perhatian, kesabaran dan kasih sayang serta waktu dan dukungan baik itu materi, tenaga dan pikiran kepada saya sampai selesainya skripsi saya ini. Buat suluruh keluarga saya yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam penyelesaian skripsi. Buat Seluruh keluarga bapak I Nengah Sumadiase di Desa pegajahan, yang membantu penulis untuk menjadi informan dalam menyelesaikan proposal penulis sampai dengan skripsi ini selesai..

(5)

Kerabat-kerabat mahasiswa/i Antropologi Fisip USU yakni Yenni Farida, Sulia Rimbi, ,Bambang Napitupulu, Daniel Sitorus, Heri Manurung, Sri Ulina Girsang, Meiny Saragih, Toni Manurung, Roseva Bangun, Salsa Tarigan, Tuti Naibaho, Mia Br Barus, Darwin Tambunan dan seluruh Dongan Antropologi 2005 yang tidak dapat penulis sebutkan terima kasih atas dorongan dan semangat serta bantuan yang diberikan dalam lapangan dan dalam penyelesaian skripsi ini. Adik-adik junior, Rabitah, Zizah, Fiza, Asrul, Dea serta kepada kerabat Antropologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semangat dan doanya yang diberikan kepada penulis.

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Menyadari akan keterbatasan penulis, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Juni 2011

(6)

RIWAYAT HIDUP

Andri Nugraha, lahir pada tanggal 25 Juli 1987 di Kota Medan. Beragama Islam, anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda bernama Mayor CPM (Purn) Oyod Koswara dan Ibunda bernama Dede Mulyati.

Riwayat pendidikan formal penulis: SD Swasta Medan Putri (1993-1999), SMP Negeri 12 Medan (1999-2001), SMU Negeri 7 Medan (2002-2005), Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara (2005-2011).

Selama kuliah penulis aktif dalam mengikuti pelatihan/seminar diantaranya Peserta Seminar “Dialog Budaya Daerah Sumatera Utara” di Museum Medan (2007), Peserta Seminar Sarasehan Nasional-IX Jaringan Kekerabatan Antropologi Sosial Indonesia di Universitas Cendrawasih Papua (2008), Panitia Seminar “Evaluasi Hasil Inventarisasi Tenun Oles Pakpak serta Identifikasi dan Kajian Organisasi Sosial (sistem Gotong Royong) Masyarakat Pakpak Bharat di Sumatera Utara” (2009).

Pengalaman berorganisasi penulis diantaranya pernah menjadi Kabid Informasi dan Komunikasi PEMA – FISIP USU (2007-2008) dan Sekretaris INSAN Antropologi FISIP-USU (2009-2010),

(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam rangka memenuhi persyaratan tersebut penulis telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Wuku” Kearifan Lokal Penanggalan Musim dalam Kegiatan Pertanian pada Orang Bali di Pegajahan.

Pada skripsi ini dilakukan pembahasan secara menyeluruh mengenai pengetahuan yang dimiliki Orang Bali di Pegajahan dalam memahami perhitungan musim khususnya dalam bidang pertanian dengan menggunakan system penanggalan tradisional. Pembahasan tersebut diuraikan dari bab I sampai dengan bab V.

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan menguraikan garis besar penulisan skripsi secara menyeluruh, antara lain dikemukakan latar belakang masalah, perumusan masalah penelitian sehingga dapat diketahui apa yang ingin dikemukakan dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya, akan diuraikan juga lokasi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, metode penelitian, dan teknik pengumpulan data. Penguraian pada bab ini, dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran secara keseluruhan mengenai materi penulisan yang dimaksud dalam penelitian/skripsi ini.

(8)

dan topografi desa), tata ruang desa, tata pemukiman, sarana prasarana desa, tata ruang pertanian, kelembagaan desa, dan Sumber Daya Alam desa.

Bab III. Pengenalan Wuku. Pada bab ini akan diuraikan secara keseluruhan mengenai sejarah dan perkembangan wuku yang menjadi bagian dari system penanggalan tradisional orang Bali yang disebut dengan wariga. Hubungan antara wuku dan wariga serta penentuan hari-hari dalam melaksanakan upacara adat yang berpedoman kepada wuku.

Bab IV. Pada bab ini akan diuraikan tentang Bali dan Kearifan Lokal, yang dimulai dari proses pengenalan musim, konsep tanah yang subur bagi orang Bali, tahapan cara bertani yang di pakai orang Bali, cara pengendalian hama yang menggunakan pengetahuan local orang Bali, berbagai jenis sesajen atau banten yang digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan upacara adat sampai kepada modifikasi pengetahaun local yang dilakukan oleh orang Bali yang ada di Desa Pegajahan.

Bab V Penutup. Penutup berisikan tentang kesimpulan dan saran. Pada bab ini akan disimpulkan kembali secara keseluruhan dari hasil penelitian tentang Kearifan orang Bali dalam menjaga dan melestarikan lingkungan dengan cara mengangkat kembali pengetahuan yang mereka punya. Diakhir bab ini, penulis menyampaikan beberapa saran yang berguna untuk pengatuhan dalam mengolah dan menjaga lingkungan yang ada serta membuka sedikit pemahaman tentang pentingnya menjaga sebuah warisan leluhur.

(9)

wawancara, Sketsa lokasi penelitian, surat penelitian, serta gambar-gambar di lokasi penelitian.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga skrpisi ini bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman penulis. Penulis, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mengharapkan kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

1.4 Tujuan dan Manfaat...10

1.5 Tinjauan Pustaka...12

1.6 Metode Penelitian...18

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI DAN MASYARAKAT DESA PEGAJAHAN 2.1 Sejarah singkat Kabupaten Serdang Bedagai dan Desa Pegajahan...21

2.2 Batas Wilayah dan Aksebilitas Desa...23

2.3 Pola Pemukiman...27

2.4 Kependudukan...28

2.5 Sistem Sosial Masyarakat Desa Pegajahan...33

2.6 Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Bali...35

BAB III PENGENALAN WUKU 3.1 Sejarah Wariga...38

3.2 Hubungan Wariga dan Wuku...43

3.3 Penentuan Hari Upacara Umat Hindu Bali...49

BAB IV BALI DAN KEARIFAN LOKAL 4.1 Pengenalan Musim...56

4.2 Konsep Tanah Subur Menurut Orang Bali di Pegajahan...65

4.3 Tahapan Cara Bertani Menurut Wariga...67

4.3.1 Tahap Pematangan Sawah Dan Penanaman Benih...69 Ngedagin ( mengawali bertani)

Menyemai benih padi

(11)

Angurit (menyemai padi)

Ngabut Bulih (mencabut bibit padi)

Ngetep Bulih (memotong ujung daun bibit padi

4.3.2 Penanaman Padi………73

Anandur Pari (Menanam Padi) 4.3.3 Perwatan Padi………74

Uwus Anandur Pari (selesai menenam padi) Usia padi 12 hari

4.4 Menghindarkan Padi (Pamungkem) dari Hama...87

Hama sebagai perusak Hama sebagai pengganggu 4.5 Jenis Banten yang digunakan dalam Upacara Secara Umum...92

4.6 Rekonstruksi Kearifan Lokal ………..107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...109

5.2 Saran...113

DAFTAR PUSTAKA………..114

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ………24

Gambar 2.2 ………26

Gambar 2.3 ………26

Gambar 4.1 ………94

Gambar 4.2 ………95

Gambar 4.3 ………96

Gambar 4.4 ………98

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 ………30

Tabel 2.2 ………31

Tabel 2.3 ………32

Tabel 2.4 ………32

Tabel 2.5 ………33

Tabel 2.6 ………36

Tabel 3.1 ………42

Tabel 3.2 ………47

Tabel 3.3 ………51

Tabel 3.4 ………52

Tabel 3.5 ………54

Tabel 4.1 ………58

Tabel 4.2 ………64

Tabel 4.3 ………68

Tabel 4.4 ………80

(14)

DAFTAR DIAGRAM

(15)

ABSTRAK

ANDRI NUGRAHA, 050905018 (2011), WUKU; Kearifan Lokal Penanggalan Musim Dalam Kegiatan Pertanian Pada Orang Bali di Pegajahan, skripsi ini terdiri dari 5 bab, 112 halaman, 16 Tabel, 8 Gambar, 1 Diagram, beberapa lampiran dan surat keterangan penelitian.

Studi ini membahas tentang kearifan lokal pada masarakat Bali yang ada di Desa Pegajahan, kearifan lokal yang akan dibahas mengenai perhitungan yang mereka gunakan untuk mengenal musim khususnya musim tanam, kearifan lokal ini mereka gunakan untuk kegiatan pertanian. Masyarakat Bali selalu menggunakan sebuah konsep yang yang dikenal dengan nama wuku dan berfungsi sebagai komponen perhitungan musim. Dalam wuku terdapat pengetahuan mengenai sifat-sifat tumbuhan, tanah, hewan dan waktu untuk menanam, memanen dan pengetahuan tentang cuaca. Deskripsi dalam tulisan ini difokuskan pada pengetahuan atau pola pikir masyarakat Bali di Pegajahan dalam menentukan hari-hari wuku bag kegiatan pertanian. Beberapa pertanyaan penelitian yang akan dideskripsikan dalam tulisan ini adalah konsep tantang wariga bagi masyarakat Bali, konsep yang terkandung dalam penentuan nama-nama hari dan hubungannya pada kegiatan pertanian dan manfaat wuku bagi kegiatan pertanian di Desa Pegajahan.

Untuk memahami tentang kearifan lokal masyarakat Bali, penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi kognitif dari James Spradley ,yang mendefenisikan kebudayaan itu adalah sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi prilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Metode folk taksonomi adalah satu cara yang digunakan untuk menjabarkan sistem pengetahuan orang Bali di Pegajahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan pengamatan untuk memperoleh data-data, dan analisis data dilakukan dengan cara pengklasifikasian data berdasarkan emic view.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah masyarakat Bali masih memiliki sebuah kearifan tradisional (local wisdom) dalam menentukan apa yang akan mereka lakukan pada setiap proses pertanian dengan mengacu pada wuku. Dalam menghadapi perubahan iklim saat ini orang Bali melakukan modifikasi terhadap hari-hari di dalam wuku. Wuku yang mereka gunakan tidak bersifat baku dan dapat disesuaikan dengan tuntutan alam. Dalam pemaknaan dan pembacaan wuku pada kegiatan pertanian, masyarakat Bali tidak terlepas dari proses upacara dan segala sesajen yang yang terbuat dari tumbuhan dan hewan yang diolah menjadi sebuah penganan yang dapat dipersembahkan kepada dewa dan dewi yang ada dalam upacara tersebut. Wuku merupakan suatu bentuk budaya yang nyata bagi masyarakat Bali dalam memaknai arti dari sebuah penanggalan musim. Hari, bulan, tahun serta angka-angka yang terdapat di dalam wuku memiliki makna dan kekuatan untuk mengatur serta menjadikan masyarakat Bali lebih bijak dalam menghargai lingkungan, baik itu lingkungan sosial maupun spiritual.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya manusia, karena manusia adalah faktor penting dalam pembentukan kebudayaan. Manusia harus menjaga hubungannya dengan ekosistem disekitarnya agar dapat bertahan hidup (Keesing 1992:146). Manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan cenderung memiliki suatu kearifan tradisional. Kearifan tradisional dikonstruksi oleh sekelompok masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Hal ini wajar terjadi karena manusia memiliki pola pikir dan akal untuk membuat strategi pertahanan dalam melawan ataupun bersahabat dengan lingkungan tempat dia hidup.

Salah satu cara manusia mempelajari alam adalah melalui naluri manusia dalam membaca alam sekitarnya; misalnya dengan melihat gejala-gejala alam yang terjadi, manusia dapat memprediksikan apa yang akan terjadi di alam Kegiatan manusia ini tidak terlepas dari kegiatan berhitung atau matematika atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan etnomatematik1

1Istilah ethnomatematikdiambil dari Ubiratan D’ Ambrosio, D’Ambrosio menggunakan

ethnomatematik pertama sekali pada saat dia melakukan penelitian untuk melihat ringkat pengetahuan matematik pada tingkat siswa Sekolah Dasar di Brasil.

(17)

dan tidak mudah rusak2. Demikian juga dalam kegiatan menenun, baik untuk menbuat anyaman tikar ataupun keranjang yang memiliki motif ataupun tanpa motif, manusia menggunakan perhitungan yang tepat agar semua bahan teranyam dengan baik dan rapi. Studi yang dilakukan oleh Tambunan (2009), menunjukkan bahwa para pengrajin kain tenun seperti ulos, songket dan lain sebagainya yang ada di daerah Pak-pak, secara tidak sadar juga menggunakan perhitungan ‘the Golden Ratio’ untuk menenun untaian-untaian benang sehingga menjadi selembar kain. ‘The Golden Ratio’ diimplementasikan dalam pembuatan pola dalam ulos tersebut, warna benang yang akan menjadi pola disisip dalam warna benang yang akan menjadi warna dasar dalam ulos, banyaknya warna-warna benang dan panjang benang tersebut telah diperhitungkan dengan cermat oleh penenun, sehingga untaian benang tadi menjadi sebuah ulos dengan pola yang indah dan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Pak-pak3

Setiap kelompok etnis

.

4

2Orang-orang Romawi dan Mesir pada zaman dahulu selalu menggunakan perhitungan

yang disebut dengan ‘the Golden Ratio’ dalam membuat sesuatu yang berhubungan dengan arsitektur, seperti rumah, Patung, lukisan dan lain sebagainya. Perhitungan ini dipakai untuk mencari sisi yang paling ideal dari setiap bentuk. The Golden Ratio adalah sautu deretan angka yang ditemukan oleh seorang matematikawan Itali yang bernama Fibonacci, deretan angka-angka ini memiliki sifat yang unik, yaitu setiap angka-angka dalam deretannya adalah hasil penjumlahan dari 2 angka sebelumnya. The Golden Ratio bukanlah hasil dari imajinasi matematis, akan tetapi merupakan kaidah alam yang terkait dengan hukum keseimbangan. The Golden Ratio juga banyak digunakan oleh pelukis-pelukis terkenal dunia seperti Leonardo Da Vinci dan Le Corbusier, karena The Golden Ratio adalah kaidah alam dalam hukum keseimbangan maka mereka menggunakan untuk mengukur tubuh manusia agar ideal di dalam lukisannya (www.yus/harunyahya.com)

3Rytha Tambunan menulis tentang Inventarisasi Tenun Oles Pak-pak yang diseminarkan

dalam Evaluasi Hasil InventarisasiTenun Oles Pak-pak serta Identifikasi dan Kajian Organisasi Sosial (sistem Gotong Royong) Masyarakat Pak-pak Bharat di Sumatera Utara, pada tanggal 28 Oktober 2009 di Ruang Sidang FISIP-USU.

4Kelompok etnik yang dimaksud di atas adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh

kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. “Kesatuan kebudayaan” bukanlah suatu hal yang ditentukan olah orang luar, misalnya seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan atau lainnya dengan menggunakan metode-metode analisis ilmiah mereka, melainkan oleh warga kebudayan yang bersangkutan itu sendiri (Koentjaraningrat 2000:264).

(18)

Indonesia memiliki beberapa jenis kalender yang konsep dan perhitungan harinya berbeda dengan kalender yang dipakai secara umum di Indonesia bahkan di Dunia (kalender Masehi yang di perkenalkan oleh bangsa-bangsa di Eropa terhitung setelah lahirnya Isa Almasih). Orang Jawa memiliki konsep perhitungan hari yang dinamakan dengan pranata mangsa yang didasarkan atas perputaran matahari. Orang Bali juga memiliki konsep perhitungan sejenis yang diberi nama wariga yang didasarkan atas perputaran bulan mengelilingi bumi. Vorhalakan adalah konsep perhitungan hari menurut konsep orang Batak dan lontara adalah konsep perhitungan hari yang digunakan oleh orang Bugis, Buton, Makassar dan Toraja.

Dasar perhitungan setiap penanggalan kalender tersebut memiliki perhitungan hari dan bulan yang berbeda-beda. Acuan untuk penanggalan tersebut juga berbeda-beda. Ada yang mengacu pada pergerakan bulan (kalender lunar), ada yang acuannya mengacu pada pergerakan matahari (kalender solar), dan ada juga yang mengacu pada pegerakan bulan dan matahari (kalender lunisolar)5

Konsep perhitungan hari atau perhitungan lainnya yang ada pada setiap kelompok etnis dikenal dengan sebutan ethnomathematic. Istilah ethnomathematic ini diperkenalkan oleh tokoh pendidikan Brasil dan matematikawan Ubiratan D'Ambrosio pada tahun 1977 pada saat presentasi untuk Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Sejak D'Ambrosio mengajukan istilah ethnomathematic, orang-orang termasuk D’Ambrosio sendiri telah bergumul

.

5Kalender Lunar: sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan fase bulan. Setiap

hari dalam penanggalan ini menandakan satu lokasi bulan dalam mengelilingi matahari.

Kalender Solar: sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi (perputaran)bumi mengelilingi matahari. Secara fisika satu tahun surya adalah unit relatif, waktu relatif sebuah planet mengitari matahari.

(19)

dengan maknanya. D’Ambrosio (1987), menjelaskan ethnomathematic merupakan suatu kodifikasi atau penyusunan angka-angka yang memungkinkan suatu kelompok budaya, dalam hal ini masyarakat untuk menjelaskan, mengelola, memahami bahkan meramalkan suatu relitas yang ada6

Pada salah satu dari studi perhitungan hari tersebut adalah studi Indrowuryatno (dalam Adimiharja 2006). Indrowuryatno menjelaskan bahwa orang Jawa menggunakan perhitungan hari (pranata mangsa) untuk mengklasifikasikan kapan awal dari musim kemarau dan kapan awal dari musim hujan. Pranata mangsa dalam studi tersebut sudah digunakan sebagai pedoman bertani oleh nenek moyang orang Jawa ratusan tahun sabelum zaman Hindu. Indrowuryatno lebih lanjut menjelaskan bahwa, sekalipun penanggalan Jawa ini sudah diperbaharui oleh Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono VII dari system penangglan asli, ternyata pranata mangsa dianggap masih memadai untuk

.

Masing-masing perhitungan hari tersebut dianggap penting oleh kelompok etnis penggunanya. Perhitungan hari tersebut banyak membantu penggunanya dalam segala aspek kehidupan, terutama dalam bidang pertanian. Berdasarkan panduan perhitungan itu, mereka mengklasifikasikan jenis-jenis musim yang baik untuk melakukan penanaman, pemanenan, pemupukan bahkan sebagai suatu tindakan antisipasi untuk menghindari serangan hama yang dapat menggangu tanaman mereka, atau untuk kegiatan-kegiatan ritual.

6

Ethnomathematics adalah studi mengenai hubungan numerik dan sistem untuk pendidikan

(20)

digunakan hingga saat ini, dan orang-orang Jawa memodifikasi sistem perhitungannya (dalam Adimiharja 2006:126).

Kegiatan modifikasi tersebut dilakukan karena pranata mangsa menggunakan perhitungan bulan dengan total hari dalam sebulan adalah 365,25 hari, sedangkan waktu yang diperlukan Matahari dalam peredaran tahunan mengelilingi bumi adalah 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 46 detik, sehingga terdapat selisih 11 menit, 14 detik, dalam satu tahun. Dengan demikian, terjadi perbedaan dalam satu hari setiap 128 tahun (dalam Adimiharja 2006:126). Menurut Boediharjo (1917), perhitungan pranata mangsa yang dilakukan setiap 400 tahun sekali, tahun Wuntu-nya harus dikurangi 3 (tiga), atau setiap 128 tahun sekali tahun Wuntu-nya dikurangi 1 (satu).

Oleh karena itu, mangsa Kalima yang berlaku 13 Oktober sampai 8 November merupakan mangsa pancaroba atau labuh yang sifatnya pancuran mancur ing jagad, artinya sering turun hujan. Pada kenyataannya, saat itu belum merupakan awal musim penghujan, bahkan masih terjadi musim kemarau yang panas. Itulah sebabnya, pada 1950-an, murid-murid sekolah diliburkan dengan istilah prei panas. Liburan ini terjadi pada Oktober, sebenarnya berdasarkan pedoman pranata mangsa bulan tersebut merupakan mangsa Labuh. Berdasarkan angka jumlah pengurangan di atas, musim Labuh atau awal musim penghujan dalam dekade abad ke-20 berkisar awal November, atau setidak-tidaknya akhir Oktober jika tidak terjadi penyimpangan lain secara alami.

(21)

dikenal adanya wuku, yaitu penyebutan yang menunjukkan siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan. Satu pekan atau satu minggu terdiri dari tujuh hari, sehingga satu siklus wuku terdiri dari 210 hari7. Dengan perhitungan 1 wuku = 7 hari, sehingga 30 wuku8

Ide dasar perhitungan menurut wuku ini adalah bertemunya dua hari dalam sistem pancawara (pasaran) dan saptawara (pekan) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari

mengalami perputaran dengan periode waktu 7 x 30 = 210 hari. Menurut kalender ini dalam 1 bulan itu terdiri dari 30 hari dan jumlah harinya konstan tidak mengalami perubahan seperti yang ada pada kalender masehi, karena kalender ini termasuk dalam jenis kalender lunisolar yang perputaran waktunya dihitung dari siklus bulan mengelilingi bumi. Waktu yang diperlukan bulan dalam peredaran tahunan mengelilingi bumi adalah 360 hari (dengan ketentuan yang ditetapkan kalender 1 tahun = 12 bulan).

9

Penelitian tentang perhitungan kalender ini sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan latar belakang ilmu dan keahlian yang berbeda. Budiarto (2004) . Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti, misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku ugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali (dan orang Jawa), semua hari-hari ini memiliki makna khusus.

7 Perhitungan wuku juga dipakai oleh orang Jawa yang masih menganut paham kejawen. 8

Nama 30 wuku tersebut adalah : sinta, landep, ukir, kulantir, tulu, gumbreg, wariga, warigadian, julungwangi, sungsang, dunulan, kuningan, langkir, medangsia, pujut, pahang, krulut, merakih, tambir, medangkungan, maktal, uye, menial, prangbakat, bala, ugu, wayang, kelawu, dukut dan watagunung. Nama-nama wuku yang tiga puluh didasarkan pada suatu kisah mengenai suatu kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Watugunung. Raja ini beristri Sinta dan memiliki 28 putra. Nama-nama semua tokoh inilah yang menjadi nama-nama setiap wuku. Setiap wuku menurut kepercayaan di kaum tradisional di Bali dan Jawa dilindungi oleh seorang pelindung.

9

Hari pancawara adalah hari yang biasa dipakai oleh orang Jawa, yaitu, wage, pahing,

legi, pon dan kliwon, sedangkan hari saptawara adalah hari yang biasa kita kenal dalam kehidupan

(22)

misalnya, dia adalah seorang mahasiswa Ilmu Komputer dari University Sains of Malaysia, yang dalam tulisannya membahas permainan anak yang mempunyai makna simbolik untuk menunjukkan atau menggambarkan benda-benda yang ada di sekitar mereka. Rahmad Budiarto mengupas masalah yang ada dengan menggunakan teori etnomathematik-nya Ubiratan D’Ambrosio. Nama permainannya Cat Craddle’s, permainan ini sangat popular bagi sebagian etnis yang ada di Amerika Latin, permainan ini digunakan sebagai salah satu alat bantu bagi ppendongeng yang ada pada kelompok etnis tersebut untuk mengilustrasikan legenda yang akan diceritakan atau dengan fungsi yang lebih sederhaana adalah hanya sekedar untuk melepaskan kejenuhan semata (Budiarto 2004).

Selain Rahmad Budiarto, Eldson Best juga meneliti tentang etnomathematik, tapi kajiannya tentang sistem pengukuran pada suku Maori yang pada saat itu belum ada alat ukur yang dapat di gunakan untuk mengukur dan membuat sesuatu, sehingga mereka membuat alat ukur sendiri dengan menggunakan anggota tubuh mereka, pengukuran dengan menggunakan anggota tubuh ini dipakai untuk membuat segala sesuatu yang berhubungan denga kehidupan mereka, seperti membangun rumah, membuat sampan (canoe), melukis, memahat, bahkan untuk membuat tattoo sekalipun (Best 1918).

Suku Maori membuat sebuah klasifikasi dalam pengukuran tersebut, seperti contoh, luas telapak tangan disubut dengan ringa, rentangan kedua tangan yang diukur dari ujung jari tangan kanan sampai ujung jari tangan kiri disebut dengan maro, panjang ujung jari sampai garis tengah dada disebut dengan han, jadi hitungannya 1 han = ½ maro10

10 Artikel selengkapnya dapat di baca di Ethnomathematic Digital Library (EDL), atau juga

dapat langsung mengakses

.

(23)

Dengan contoh 2 (dua) penelitian di atas, menerangkan bahwa setiap etnis yang ada atau pun yang tersebar di seluruh dunia ini memiliki suatu sistem perhitungan yang khas bagi mereka. Sistem perhitungan tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda bagi yang penggunanya.

Penelitian ini, akan mengkaji tentang konsep wuku yang terdapat dalam wariga (Kalender Saka) yang digunakan oleh orang Bali sebagai pedoman mereka dalam melakukan segala aktifitas sehari-hari khususnya kegiatan pertanian, yang dimulai dari proses penyemaian bibit, penanaman, pemanenan serta aktivitas-aktivitas lain yang mendukung kegiatan pertanian tersebut, seperti ritual-ritual, sesajen-sesajen yang digunakan dalam ritual tersebut dan benda-benda yang ada dalam setiap tahap proses ritual tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dalam tulisan ini nantinya akan dibahas suatu permasalahan mengenai konsep dan pola pikir masyarakat Bali dalam menentukan hari-hari wuku dalam aktivitas pertanian mereka yang mengacu pada kalender Saka Bali.

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka terlebih dahulu harus menjawab beberapa pertanyaan ini:

1. Apa konsep wariga bagi masyarakat Bali yang ada di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai?

(24)

3. Apa manfaat wuku bagi kegiatan pertanian orang Bali yang ada di Desa Pegajahan?

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada orang-orang Bali yang tinggal di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena di desa tersebut bermukin suatu kelompok masyarakat Bali yang cenderung masih memegang teguh adat istiadat mereka. Orang Bali di Pegajahan merupakan etnis minoritas di antara etnis Batak yang mayoritas di lokasi tersebut. Orang Bali yang tinggal di desa itu ada sekitar 8 kepala keluarga yang berjumlah kurang lebih 25 jiwa, dan terdapat 1 kepala keluarga yang berkasta Brahmana serta 7 lainnya berkasta Sudra.

(25)

D. Tujuan dan Manfaat

Dengan melihat kondisi sekarang ini yang lebih mengutamakan pertanian modern yang lebih banyak menggunakan bahan-bahan yang berbahan dasar kimia, sehingga dapat berakibat merusak kondisi tanah dan lahan pertanian yang dipakai tidak menjadi semakin subur, melainkan dapat merusak komposisi unsur hara dalam tanah dan berdampak berkurangnya hasil panen, hal itu tentu berbanding terbalik bila para petani menggunakan cara yang tradisional yang kebanyakan menggunakan alam dan tanda-tanda atau kejadian yang terjadi di alam dalam pengolahan lahan pertanian mereka, karena semua pengolahan lahan berasal dari alam maka secara otomatis lingkungan tidak akan mungkin rusak dan malah akan menjadi lebih subur dari semula.

Isu ketahanan pangan juga sudah mulai mencuat kepermukaan, dengan dikonversikannya lahan pertanian menjadi lahan untuk berbagai macam perumahan elit dan areal bisnis, sehingga muncul pertanyaan apakah Indonesia mampu untuk tetap menjadi Negara pengekspor hasil tani khususnya beras atau sebaliknya apakah Negara ini akan menjadi Negara agraris yang setia untuk mengimpor beras dari Negara lain.

Untuk menghindari pertanyaan kedua agar tidak menjadi kenyataan maka sebaiknya masyarakat khususnya para petani lebih concern mengelola lahan mereka dengan menggunakan bahan-bahan pertanian yang alami seperti menggunakan pupuk kandang dan mengembangkan sistem pertanian organik yang cara mengelolanya dengan menggunakan cara yang tradisional.

(26)

justru dengan cara ini para petani dapat lebih mengenal budaya dan tradisi yang ada pada mereka serta sekaligus dapat melestarikannya menjadi suatu kebudayaan yang besar yang dapat menjadi suatu ciri khas suatu masyarakat dalam mengelola lahan pertanian.

Dari pemaparan di atas, penelitian ini dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk:

1. Mendeskripsikan kearifan lokal para petani khususnya yang beretnis Bali dalam menggunakan kalender wariga (khususnya konsep wuku) yang diaplikasikan untuk mengelola lahan pertanian mereka.

2. Mengkaji lebih dalam lagi apa itu konsep wuku dan fungsinya bagi masyarakat Bali.

Manfaat yang akan dicapai apabila tujuan penelitian ini berjalan dengan lancar adalah:

1. Akademis

Menambah bahan bacaan dan studi kepustakaan bagi ilmu-ilmu pendidikan yang bersangkutan dengan penelitian ini.

2. Praktis

(27)

E. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan dapat didefenisikan dengan berbagai cara tergantung bagaimana kita melihat kebudayaan itu sendiri. Para Antropolog mendefenisiskan kebudayaan dari berbagai sudut pandang dengan focus kajian ilmu mereka masing-masing. Salah satunya adalah Ward H. Goodenough (dalam Spradley 1997;xix), yang menjelaskan konsep kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berprilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat, kebudayaan bukanlah fenomena material, tidak terdiri atas benda-benda, perilaku dan emosi, melainkan ia lebih merupakan suatu pengaturan hal-hal tersebut.

Dengan demikian, konsep kebudayaan yang diacu dalam penelitan ini mengikuti konsep kebudayaan James Spradley. Spradley mendefenisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka dan sekaligus menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka (Spradley;1997).

(28)

dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaitu melalui metode folk taksonomi11

Orang Bali sebagai pemilik budaya dalam studi ini memiliki pengetahuan mengenai sistem penanggalan. Sistem penanggalan yang di pakai oleh orang Bali memiliki banyak manfaat bagi kehidupan mereka, salah satu manfaatnya ada di bidang pertanian. Dari hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan,

orang-.

Metode folk taksonomi hanya dapat digunakan apabila memakai pendekatan Kognitif, karena dalam pendekatan ini, kebudayaan itu akan hidup apabila budaya itu diorganisasikan dalam pikiran dan diimplementasikan dalam kehidupan. Pendekatan kognitif sering disebut dengan etnosains. Menurut Haviland (1985;13), etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Hal yang lebih pokok dalam penelitian ini adalah melukiskan aturan-aturan yang mendasari prilaku budaya menurut penduduk asli. Aturan tersebut dapat dipersamakan dengan aturan tata bahasa yang mengatur seseorang berbahasa dengan tepat. Jika aturan-aturan yang menjadi dasar perilaku budaya dapat diungkapkan dengan tepat, maka banyak hal yang dilakukan manusia dan alasan mengapa dia berlaku demikian dapat dijelaskan. Budaya yang diangkat dalam hal ini adalah budaya yang berdasarkan pendapat dari pemilik budaya tersebut, tanpa campur tangan peneliti. Peneliti hanya membantu menjelaskan kepada khalayak ramai (publik) tentang pandangan-pandangan pemilik budaya yang bersangkutan (lihat Endaswara 2006;143 dan Dharma 2006;5).

11 Folk taksonomi adalah sebuah metode yang ada dalam penulisan etnografi untuk

(29)

orang Bali yang ada di Desa Pegajahan ini hidup dari kegiatan bertani khususnya bertani padi ladang. Orang-orang Bali di sini dapat mengklasifikasikan musim-musim tanam dari sistem penanggalan mereka, mereka dapat mengetahui kapan harus menanan padi dan kapan harus memanennya, serta kapan serangan hama muncul, sehingga mereka dapat mengantisipasinya agar tidak terjadi kegagalan panen.

Ascher berpendapat bahwa pada masyarakat tradisional telah mendapat pembelajaran tentang matematika, ide-ide matematis pada setiap masyarakat itu tertuang dalam sebuah konsep kebudayaan mereka sendiri, pengetahuan ini didapat secara tidak sengaja. Contohnya dalam perhitungan Hari pada setiap kalender etnis, dengan melihat dan memperhatikan kondisi alam yang selalu berubah, mereka mencoba untuk mengklasifikasikan kondisi tersebut dalam perhitungan matematik, sehingga tercipta pemikiran tentang musim-musim, dan hal ini mereka gunakan sebagai strategi untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka (www.wikipedia.org/wiki/Ethnomathematic)

(30)

juga akan melihat aspek yang sama yang dikaitkan dengan penyebutan benda-benda, mantra-mantra dan sesajen yang digunakan dalam ritual atau upacara-upacara adat yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, tujuannya untuk melihat persepsi mereka terhadap pemaknaan kata-kata yang mereka gunakan dalam memaknai wuku yang ada pada wariga sebagai sistem kalenderisasi mereka. Selanjutnya Koentjaraningrat (1990), menjelaskan persepsi adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa manusia secara sadar maupun nyata terkandung dalam otaknya.

Aspek religi juga tidak terlepas dalam penelitian ini, karena semua yang dilakukan oleh orang Bali tidak terlepas dari apa yang mereka percayai, orang Bali juga kental akan upacara-upacara adat yang bersifat spiritual, kesucian dan kebersihan diri sangat diutamakan bagi orang Bali dalam melakukan segala aktivitas. Keterkaitan antara religi dan aktivitas orang Bali ditunjukkan oleh studi Dharmana (2006) yang meneliti tentang kegiatan “mejejahitan” bagi perempuan Bali, kajiannya menggambarkan adanya suatu keterikatan spritual antara proses ‘mejejahitan’ dengan kepercayaan orang Bali, keterikatan itu jelas tergambar dari menyatunya ‘mejejahitan’ dan kaum perempuan dalam memancarkan inner beauty-nya dalam setiap upacara-upacara ‘yadnya’ dengan menggunakan hasil ‘mejejahitan’ dalam upacara tersebut (Dharmana, 2006).

(31)

mereka mengukur semua alat-alat yang mereka gunakan dengan tubuh mereka sendiri. Dalam membuat perahu, untuk mengukur panjang perahu yang ideal bagi suku Maori adalah dengan membaringkan tubuh mereka dan mensejajarkan dengan kayu yang akan mereka jadikan perahu, jadi dengan kata lain panjang perahu sama dengan panjang tubuh mereka, sedangkan untuk menciptakan dayungnya mereka mengukurnya dengan panjang lengan mereka dari ujung jari tengah sampai garis tengah dada. Hal yang sama juga dilakukan untuk membuat rumah, alat-alat rumah tangga, perlengkapan berburu, ukiran dan benda-benda seni lainnya (Best, 1918). Studi ini juga akan melihat apa alat ukur yang digunakan oleh komunitas petani Bali di Desa Pegajahan untuk menetapkan pembagian wuku atau hari dalam kegiatan pertanian.

(32)

Wariga atau Kalender Saka yang digunakan oleh orang-orang Bali di Desa Pegajahan adalah sebuah kalender yang digunakan untuk mengetahui penanggalan-penanggalan dan musim-musim yang tepat untuk melakukan aktivitas pertanian. Wariga digunakan sebagai kalender yang memiliki banyak fungsi dalam berbagai aktifitas mereka jika dibandingkan dengan kalender Masehi yang digunakan secara umum di Indonesia. Kalender Saka Bali12 yang digunakan di lokasi studi tidak sama dengan Kalender Saka dari India, karena kalender Saka yang dipakai di lokasi studi ini adalah kalender yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen local, seperti adanya penambahan mantera dalam melaksanakan aktivitas mereka sehari-hari, selain itu nama-nama hari yang mereka pakai dalam kalender Saka tersebut diambil dari nama-nama dewa-dewi yang mereka anggap sebagai penjaga keseimbangan alam semesta13

Etnis Bali yang dikaji dalam studi ini merupakan orang-orang Bali yang ada di Desa Pegajahan Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, yang dimaksud dengan

. Kalender Saka Bali dapat dikatakan merupakan penanggalan syamsiah-kamariah (surya-candra) atau luni-solar. Jadi penanggalan ini berdasarkan posisi matahari dan bulan. Wariga adalah produk budaya yang dihasilkan oleh orang Bali. Dalam wariga terdapat wuku, yaitu sebuah siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan, setiap wuku menurut orang Bali memiliki keistimewaan tersendiri.

12

Kalender Saka Bali masih Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan tarikhnya masih dibicarakan bagaimana cara perhitungannya. Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari kabisat dalam seratusan tahun.

13

(33)

etnis Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaranakan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama (Bagus, 1975).

F. Metode Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang berusaha mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin yang merupakan data utama untuk menjelaskan permasalahan yang akan dibahas nantinya. Untuk mencapai sasaran yang akan dituju yang menggambarkan tentang konsep wariga pada masyarakat Bali.

a. Lapangan

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan di lapangan, penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

Wawancara

Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam untuk mendapatkan data dari informan. Wawancara mendalam (indepth interview) digunakan untuk memperoleh data mengenai konsep orang Bali Desa Pegajahan tentang wariga dengan berpedoman kepada interview guide sebagai bahan acuannya.

(34)

memahami informasi yang dibutuhkan peneliti dan dapat menjalin kerja sama yang baik dengan peneliti. Informan kunci dipilih berdasarkan pengetahuan mereka tentang wariga, semakin banyak mereka tahu tentang wariga dan wuku, maka semakin banyak pula informasi yang peneliti dapatkan, usia dan jenis kelamin tidak menjadi patokan dalam menentukan informan kunci, informan kunci bisa laki-laki dan bisa juga perempuan.

Untuk melengkapi data yang diperoleh dari lapangan, peneliti akan mencari data kepustakaan yang terkait dengan masalah penelitian berupa buku-buku, majalah, surat kabar dan tulisan-tulisan lainnya termasuk tulisan dari media elektronik untuk menambah pemahaman penulis terhadap permasalahan yang akan diteliti. Selain data kepustakaan, peneliti juga akan menggunakan dokumentasi visual untuk melengkapi data dari hasil observasi dan wawancara.

Observasi

(35)

b. Analisa Data

Pada tahap analisis ini, peneliti akan memeriksa ulang data untuk melihat kelengkapan data. Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis secara kualitatif dan disusun sesuai dengan kategori-kategori tertentu sebagaimana yang dikemukakan oleh informan,

Menurut Suwardi Endraswara, terdapat 3 cara yang harus dicermati ketika mengadakan kategorisasi dan analisa, yaitu: (1) Peneliti harus memperhatikan istilah-istilah khusus dari informan. Istilah tersebut harus terpampang dalam klasifikasi; (2) Peneliti harus berusaha mendeskripsikan atau melukiskan aturan-aturan budaya yang digunakan oleh informan. Aturan tersebut diklasifikasikan, sehingga tampak jelas penggunaannya dalam interaksi budaya; (3) Peneliti juga harus berusaha menemukan tema-tema budaya dari klasifikasi istilah dan aturan tadi (Endaswara, 2006).

(36)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN MASYARAKAT DESA PEGAJAHAN

2.1. Sejarah Singkat Kabupaten Serdang Bedagai dan Desa Pegajahan Hari jadi kabupaten yang beribukota Sei Rampah ini adalah kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003, semasa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Bupatinya adalah Ir. HT Erry Nuradi MBA, Wakil Bupati adalah Ir. Soekarmin serta sekretaris Kepala Daerah adalah Ir. H. Djalil Azwar,M.Si. Ketiga pimpinan ini dikenal sangat kompak, sehingga menjadikan Serdang Bedagai menjadi Kabupaten Pemekaran Terbaik di Indonesia, dan Kabupaten terbaik di Sumatera Utara.

Proses lahirnya undang-undang tentang pembentukan Sergai sebagai kabupaten pemekaran merujuk pada usulan yang disampaikan melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 18/K/2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang, kemudian Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang atas usul rencana pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk, dan Kabupaten Serdang Bedagai.

(37)

Pegajahan juga telah menjadi sorotan masyarakat dan dianggap menjadi salah satu dari sektor pariwisata dikarenakan salah satu desanya ada sesuatu yang dianggap menjadi keunikan bagi kecamatan tersebut. Keunikan tersebut dikarenakan adanya suatu pura yang dimiliki oleh umat Hindu Bali di Kecamatan tersebut, lebih tepatnya terletak di Desa Pegajahan dusun Harapan II. Desa inilah yang menjadi lokasi dalam penelitian ini

Desa Pegajahan sebagai sentra kerajinan rumahan makanan atau lebih dikenal dengan home industry, tidak kalah pentingnya di sekitar beberapa daerah di Kabupaten Sumatera Utara, khususnya bagi penduduk kota Medan. Desa Pegajahan yang terletak jauh dari pusat kota memiliki udara yang segar dan masih banyak ditumbuhi oleh banyak pepohonan, kebun-kebun sawit dan coklat membuat suasana pagi terasa lebih nyaman, jauh dari kebisingan kota serta polusi udara yang telah menjadi menu harian penduduk kota, kini selalu didatangi oleh kalangan masyarakat pedagang jajanan makanan ringan dari berbagai penjuru yang ada di Sumatera Utara, karena selain ingin mengakses langsung berbagai jenis bahan makanan ringan setengah jadi dari ubi, belakangan sebahagian masyarakat juga datang untuk melihat langsung proses dan aktivitas pembuatan makanan ringan dan sebahagian lagi masyarakat yang datang untuk berwisata.

(38)

Adolina sekitar tahun 1963 dan mereka adalah korban peletusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1962.

Sebelum datangnya etnik Bali ke Desa Pegajahan, desa ini adalah desa yang pertama kalinya dibuka oleh masyarakat Simalungun yang ber-marga (kelompok kekerabatan yang eksogami dan unilier baik secara matrilineal maupun patrilineal) Saragih, Purba dan Sinaga14

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Desa Pegajahan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara, terbagi atas 6 (enam) dusun yaitu : Dusun Perjuangan, Dusun Harapan I, Dusun Harapan II, Dusun Sari Asih, Dusun Karang Asih dan

.

Nama Pegajahan merupakan penamaan konstektual yang berasal dari bahasa Simalungun yaitu Pargajahan, yang artinya tempat gajah. Dimana mereka pertama kali menemukan beberapa ekor gajah liar di desa ini, itulah yang melatarbelakangi mereka (etnik Simalungun) menamakan desa tersebut sebagai Desa Pargajahan. Seiring waktu berjalan nama Pargajahan mengalami perubahan penyebutan menjadi Pergajahan hingga tahun 1974. Nama desa ini berubah kembali penyebutannya menjadi Pegajahan dikarenakan semakin banyaknya etnik pendatang (di luar etnik Simalungun) yang menyebutkan Desa Pergajahan dengan berbagai macam bahasa dan penyebutannya yang akhirnya nama desa tersebut dikenal dengan Desa Pegajahan.

2.2. Batas Wilayah dan Aksebilitas Desa

14 Proses perpindahan ini berlatarbelakang dari konflik sesama etnik Simalungun di Raya

(39)

Dusun Pelita. Adapun batas wilayah Desa Pegajahan yang dijabarkan di bawah ini : Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lestari Dadi

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukasari - Sebelah Timur berbatasan dengan Perkebnan PTPN II - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bingkai

Gambar 2.1 : Peta geografi desa Pegajahan

Adapun orbitasi waktu dan jarak tempuh desa ini yang dapat dilihat dari

penjelasan di bawah ini :

Jarak dari desa ke kecamatan dapat menempuh jarak sekitar 2 (dua) kilometer

dan menghabiskan waktu hanya 5 (lima) menit saja

- Jarak dari desa ke kabupaten menempuh jarak sekitar 30 (tiga puluh)

(40)

- Jarak dari desa ke provinsi menempuh jarak 60 (enam puluh) kilometer dan

menghabiskan waktu selama 2-3 jam

Untuk mencapai Desa Pegajahan hanya dapat menggunakan satu jalur

perhubungan yaitu perhubungan darat. Namun, tidak ada angkutan umum yang trayeknya

melewati Desa pegajahan. Penduduk Desa Pegajahan hanya menggunakan kendaraan

pribadi atau memakai jasa angkutan lain seperti ojek dan becak motor (bettor) untuk

berpergian dari luar dan keluar desa. Kondisi jalan yang sangat rusak dan

berlobang-lobang sangat mengganggu perjalanan, sehingga menyulitkan kendaraan melewatinya.

Jika ingin lebih sedikit nyaman, maka dapat menyewa bettor dengan ongkos Rp.20.000,-

dari pertigaan jalan lintas Sumatera Utara menuju Desa Pegajahan ataupun Taxi dengan

tarif sesuai agrometer taxi tersebut.

Dilihat dari peta Kecamatan Pegajahan, Desa Pegajahan termasuk salah satu daerah yang strategis yang merupakan daerah perkembangan kecamatan. Hal tersebut dikarenakan besarnya semangat kerjasama masyarakat Desa Pegajahan untuk mengembangkan desanya, keperdulian masyarakat untuk membangun desanya dengan ikut bergotong-royong membangun fasilitas-fasilitas yang diperlukan seperti sekolah, rumah ibadah, jembatan, jalan, dan sebagainya.

(41)

Gambar 2.2 : Pembuatan Titi / Jembatan Dsn. Perjuangan menuju Dsn. Karangsari Desa

(42)

Masyarakat memanfaatkan dengan baik lahan-lahan kosong yang mereka gunakan untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh semua masyarakat Desa Pegajahan, dari dusun yang pertama sampai dusun yang terakhir. Untuk lebih jelasnya akan dijabarkan berikut ini (sumber profil desa buku I) : pemanfaatan lahan kosong sebanyak 2 (dua) hektar untuk pembangunan sekolah yang berjumlah 2 unit untuk sekolah SD (Sekolah Dasar) dan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), 5 (lima) hektar untuk jalan, 15 (lima belas) hektar untuk ladang atau tegalan, 2 (dua) hektar untuk padang ilalang, untuk mesjid yang berjumlah 1 (satu) unit, pura yang berjumlah 1 (satu) unit, gereja yang berjumlah 1 (satu) unit, kantor kepala desa berjumlah 1 (satu) unit dan puskesmas berjumlah 1 (satu) unit.

2.3. Pola Pemukiman

(43)

desa dijumpai Dusun Harapan II dimana pertama kalinya akan terlihat sebuah pura Bali.

Rumah-rumah yang dijumpai di desa tersebut banyak terbuat dari batu bata dan semen serta beratapkan seng, namun ada juga rumah dengan lantai semen, dinding setengah batu dan setengah papan serta beratapkan daun rumbia. Pada umumnya dan kebanyakan rumah penduduk di Dusun Harapan II ini dicat berwarna putih sehingga terlihat lebih bersih dan terang serta beratap seng yang sudah terlihat berwarna kecoklatan. Hampir semua rumah penduduk memiliki pekarangan (halaman) yang luas dan biasanya dijadikan sebagai tempat menjemur hasil tani seperti padi dan lainnya. Selain itu, sebahagian rumah penduduk memiliki kandang sapi, ayam dan bebek. Pemilik kandang sapi di Pegajahan adalah etnik Bali, dikarenakan hewan sapi merupakan hewan yang penting atau berharga dalam kepercayaan mereka15

Secara umum penduduk Desa Pegajahan adalah mayoritas etnik Simalungun dikarenakan suku ini adalah suku asli yang pertama-tama mendiami Desa Pegajahan. Saat ini, selain etnik Simalungun sudah ada etnik lain yang menetap seperti etnik Jawa, Bali, Toba dan beberapa etnik lainnya. Untuk , namun etnik Bali juga memelihara ayam atau bebek seperti masyarakat Desa Pegajahan kebanyakan, kedua hewan ini dipelihara selain untuk dikonsumsi sendiri juga memiliki fungsi lain dalam setiap sesajen dalam upacara-uapacara adat Bali.

2.4. Kependudukan

15

(44)

masyarakat yang beretnik Bali, masuk ke Desa Pegajahan karena pada awalnya mereka adalah buruh tani yang bekerja di PTPN II, jadi setelah pensiun mereka keluar dari mess PTPN dan pindah ke Pegajahan dimana penduduk Desa Pegajahan juga adalah para petani yang mengerjakan lahan kosong milik perusahaan yang terdapat di desa tersebut. Dengan demikian, di desa tersebut etnik Bali kembali bekerja menjadi buruh tani.

Mengenai jumlah penduduk Desa Pegajahan yang mempunyai luas sekitar 10.19 Km2 yang didapat dari data desa pada bulan April 2006 dengan keseluruhan penduduk 3.361 jiwa dan terdiri dari 780 kepala keluarga (KK). Dari jumlah tersebut dapat dirincikan lagi yaitu, Etnik Simalungun mayoritas terdiri dari 46.85%, Etnik Jawa 41.1%, Etnik Karo 2.3%, Etnik Toba 7.09% dan etnik lainnya sekitar 2.66%.

(45)

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Desa PegajahanBerdasarkan Golongan Usia dan Jenis Kelamin

No Golongan Umur Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 0 - 12 Bulan 39 39 78

2 13 Bulan - 4 Tahun 50 52 102

3 5 – 6 Tahun 126 127 253

4 7 - 12 Tahun 314 315 629

5 13 - 15 Tahun 215 217 432

6 16 - 18 Tahun 187 132 375

7 19 - 25 Tahun 212 212 424

8 26 - 35 Tahun 164 164 328

9 36 - 45 Tahun 164 166 327

10 46 - 50 Tahun 134 134 268

11 51 - 60 Tahun 124 120 242

12 61 - 75 Tahun 51 52 103

13 Lebih dari 76 Tahun 47 53 100

JUMLAH 1821 1840 3661

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

(46)

Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Desa Pegajahan Berdasarkan Mata

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Dari semua pekerjaan yang telah dijabarkan di atas, usaha home industry tidak dimasukkan karena usaha itu tidak setiap harinya mereka lakukan, hanya pada saat-saat tertentu saja. Misalnya pada hari-hari besar seperti lebaran, tahun baru dan sebagainya, dimana mereka akan menyetor hasil usahanya ke daerah-daerah yang bisa menjual dan salah satunya adalah Pasar Bengkel.

(47)

Tabel 2.3 Berdasarkan Kepala Keluarga

No Dusun KK L P Anggota

Keluarga

1 2 3 4 5 6

1 Perjuangan I 194 377 375 752

2 Haapan I 92 216 219 435

3 Harapan II 108 192 194 386

4 Sri Asih 61 125 129 254

5 Karang Asih 287 587 591 1178

6 Pelita 205 373 379 752

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi manusia. Sehingga setiap orang atau keluarga selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Di Desa Pegajahan sudah terdapat 3 (tiga) unit sekolah yang terdiri dari 2 (dua) unit bangunan Sekolah Dasar (SD), 1 (satu) unit bangunan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan untuk Sekolah Menengah Atas masih sedang dalam perencanaan, jadi jika ingin melanjutkan ke SMA mereka harus pergi ke luar daerahnya untuk bersekolah. Untuk Taman Kanak-kanak (TK) memang sudah berjalan, namun prosesnya dilakukan di Kantor Kepala Desa Pegajahan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah :

Tabel 2.4 Prasarana Pendidikan Formal

No Prasarana Keterangan Jumlah Kondisi Ada/Tidak (Unit) Baik/Rusak

1 TK Tidak - -

2 SD Ada 2 Baik

3 SLTP (Mts) Ada 1 Baik

4 SLTA Tidak - -

5 Universitas/Akademi Tidak - -

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

(48)

ini. Di Desa Pegajahan ini, perempuan yang lebih tinggi kemauannya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.5 Tingkat Pendidikan Penduduk

No Uraian Laki-laki Perempuan Jumlah Tamat Pendidikan Umum

1 SD/Sederajat 255 320 575

2 SLTP/Sederajat 443 410 553

3 SLTA/Sederajat 679 430 1109

4 Akademi 20 10 30

5 Universitas 9 15 54

Jumlah seluruhnya 1236 1185 2431

Sumber : Profil Desa Pegajahan (Buku I) Tahun 2009

Dari tabel-tabel pendidikan di atas, dapat digambarkan bahwa penduduk desa ini sangat memperhatikan sektor pendidikan dengan adanya bangunan-bangunan sekolah baik SD/sederajat maupun SLTA/sederajat dapat menjadi cerminan bagi penduduk Desa Pegajahan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk universitas atau akademi mereka dapat melanjutkannya di luar Desa Pegajahan menuju kota Medan atau kota-kota lain di Sumatera Utara atau di luar Sumatera.

2.5. Sistem Sosial Masyarakat Desa Pegajahan

(49)

Penduduk Desa Pegajahan ini hampir setengahnya beragama Kristen Protestan, Islam menduduki tempat kedua dan aliran kepercayaan lain menduduki tempat ketiga dan sisanya agama Budha dan Hindu. Di sini dapat dilihat bahwasannya pemeluk agama yang mayoritas dapat bertoleransi dengan pemeluk agama yang minoritas sehingga tidak terjadi konflik antar agama di desa ini.

Tabel 2.6 Aliran Agama/Kepercayaan

No Agama Jumlah

1 Islam 1626

2 Kristen (Protestan) 1845

3 Kristen (Katolik) 171

4 Hindu 19

5 Budha -

6 Aliran Kepercayaan -

Jumlah 3661

Sumber : Profil Desa (Buku I)

Penduduk Desa Pegajahan umumnya dikategorikan etnik Batak dengan sub-etnik yang beragam, antara lain: Toba, Simalungun, Jawa, dan Bali. Sistem kekerabatan penduduk Desa Pegajahan mengikuti garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Dalam berkomunikasi, biasanya mayarakat Desa Pegajahan umumnya memakai bahasa Indonesia, namun banyak juga yang memakai bahasa Batak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya, etnik Bali di Pegajahan yang menggunakan bahasa batak jika berbicara dengan etnik batak di Pegajahan meskipun bahasa batak yang mereka ucapkan tidak sefasih aslinya.

(50)

Pegajahan pergi ke luar desa menuju Kabupaten Serdang Bedagai dan ikut berkumpul dengan semua masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai. Dalam acara ini, semua masyarakat diwajibkan memakai pakaian sesuai dengan adatnya masing-masing, agar masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat mengetahui adat-istiadat yang lainnya.

Organisasi sosial yang lainnya yang diikuti oleh masyarakat Desa Pegajahan adalah organisasi umum. Organisasi yang dimaksud adalah sebuah wadah atau perkumpulan yang mengurusi kepentingan umum, seperti STM (Serikat Tolong Menolong), Kelompok Tani, Karang Taruna, LKMD (Lembaga Kerjasama Masyarakat Desa). Misalnya, STM yang beragama Islam berbeda dengan STM yang beragama Kristen (Protestan dan Katholik), semuanya memiliki struktur dan kelembagaan yang diakui oleh masyarakat Desa Pegajahan. 2.6 Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Bali

(51)

dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh etnik Bali di Pegajahan, dengan menjalankan upacara religius yang dilakukan di pura ataupun di sanggah juga dengan membuat sesajen-sesajen setiap harinya yang dipersembahkan untuk dewanya.

Setiap harinya etnik Bali di Pegajahan melakukan sembahyang, seperti yang mereka lakukan biasanya di daerah asalnya. Oleh sebab itu dibangunlah sebuah pura untuk tempat mereka beribadah, sehingga mereka tidak lagi harus pergi jauh-jauh ke kota Medan untuk menumpang di kuil tempat ibadahnya umat Hindu Tamil.

Selain kegiatan keagamaan, kondisi rumah mereka juga terlihat begitu kentalnya budaya Bali yang mereka bawa. Mulai dari halaman rumah sampai ke dalam rumah terlihat benda-benda yang berornamen Bali. Meskipun tidak sepenuhnya kegiatan-kegiatan yang biasa mereka lakukan di daerah asalnya tidak bisa terwujud di Desa Pegajahan, tidak membuat mereka kecewa dikarenakan hal tersebut tidak bisa dilaksanakan karena masalah situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.

(52)

Selain bahasa, etnik Bali di Pegajahan juga melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pegajahan lainnya, misalnya dengan mengikuti kegiatan gotong-royong, LKMD ( Lembaga Kerjasama Masyarakat Desa), mereka juga mau membantu dengan memberikan sumbangan-sumbangan untuk kegiatan-kegiatan di Desa pegajahan, misalnya untuk pelaksanaan acara 17 agustusan dan acara-acara yang lainnya.

(53)

BAB III

PENGENALAN WUKU

3.1. Sejarah Wariga dan Rekonstruksi Kedatangan Orang Bali ke Pegajahan

Pengetahuan Sansekerta disebut pengtahuan tentang dewasa (Dewa = Jiwa = Cahaya = Sinar = Teja). Dewasa diartikan sebagai pengaruh cahaya dari benda-benda angkasa terutama bintang16 dan matahari terhadap kehidupan makhluk yang ada di bumi. Pengaruh tersebut dikenal dengan sebutan surya koti. Pengetahuan tentang bintang dan matahari tersebut telah diajarkan oleh para filsuf Hindu yang sudah memiliki pandangan tajam dan suci17

Wariga merupakan sebuah penanggalan tradisional yang dipakai oleh masyarakat Bali untuk mengenal waktu dengan menggabungkan ilmu astronomi dan matematika. Wariga ada seiring dengan perkembangan agama Hindu, filosofi alam semesta dirangkum menjadi sebuah tulisan-tulisan yang ada dalam kitab Weda. Wariga menjadi penanggalan yang khusus seiring dengan perkembangan

.

16

Kitab-kitab yang bersumber dari pustaka suci Weda, antara lain: Adi Parwa, Bhawana

Mabah, Sundari Bungkah, menerangkan bahwa sebelum ada matahari, bulan, dan bintang serta

benda-benda langit lainnya semuanya hanya berwujud kabut, dan pada zaman itu kehancuranlah yang menguasai semuanya, dan zaman itu disebut zaman pralaya.

Pada waktu setelah dunia (bumi) ada isinya terutama mahluk hidup yang paling utama adalah manusia, menurut ajaran Hindu pada pustaka suci menyebutkan terjadinya dua zaman, yaitu zaman Ketu dan zaman Rau.

Hal ini berjalan terus silih berganti dengan tak berkeputusan sepanjang zaman dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia misalnya pengaruh waktu16 siang dan malam. Ternyata bahwa Sanghyang Ketu dan Sanghyang Rau memegang peranan sangat penting selama peredaran waktu dan zaman. Tiap-tiap zaman lama waktunya berbeda-beda, zaman besar waktunya lama sekali, zaman kecil waktunya sangat singkat sedangkan zaman madya lama waktunya berada diantara zaman besar dan zaman kecil, misalnya lingkaran siang dan malam lamanya 24 jam, triwara lama waktunya tiga hari dan lima malam, dan demikian seterusnya.

Penting untuk dimaklumi bahwa sifat atau watak dari berbagai zaman (zaman besar atau zaman kecil) adalah sama saja, sama-sama mengandung unsur-unsur baik dan buruk.

(54)

ilmu astronomi yaitu sekitar 2000 tahun sebelum masehi18

Konsep matematika yang dipakai adalah konsep Shulbasutra yang sudah ada di India sejak masa perang Mahabarata. Konsep ini dicatat dan disarikan dalam kitab Veda yang merupakan konsep matematika yang suci

. Sejak saat itu wariga banyak digunakan untuk segala aktivitas masyarakat hindu.

19

. Pada mulanya konsep ini digunakan digunakan untuk tujuan keagamaan, pada intinya konsep20

Konsep wariga digunakan secara umum oleh orang Bali, wariga tetap digunakan untuk segala aktivitas baik itu di daerah asalnya Bali maupun di tempat-tempat lain di luar Pulau Bali. Wariga ada dan dikenal di Pegajahan seiring dengan masuknya orang-arang Bali ke desa tersebut, yaitu sekitar tahun 1960-an. Pada tahun tersebut terjadi bencana besar di Bali yaitu meletusnya Gunung Agung dan membuat penduduk Bali khususnya Desa Gianyar kehilangan sanak saudara dan semua harta bendanya Setelah bencana itu terjadi, penduduk Desa Gianyar tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu bantuan yang datang shulbasutra berisikan rumus-rumus matematika untuk merancang berbagai bangunan altar tempat pemujaan dalam ritual. Dari dasar perhitungan inilah wariga lahir sebagai pedoman dalam menentukan waktu yang tepat untuk memulai segala aktivitas.

18 Dikutip dari Rajaram dalam Vedic Aryan and The Origin of Civilization (1995;139),

mengatakan bahwa Shulbasutra ada sejak tahun 2000 sebelum masehi. Tetapi, setelah memperhitungkan data astronomi sejak Ashvalayana Grihyasutra, Shatapantha Brahmana, dll, saat penyusunannya bisa dibawa jauh kebelakang mendekati 3000 B.C., mendekati saat terjadinya Perang Mahabharata dan penyusunan naskah-naskah Veda lainnya oleh Srila Vyasadeva.

19

Shulbasutra dianggap suci karena Shulbasutra merupakan model-model matematika paling awal. Model-model matematika yang ada dalam konsep Shulbasutra ini lebih maju dari pada model-model yang ada dan dikenalkan oleh para filsuf Yunani dan Eropa pada umumnya. (Rajaram, NS. 1995:157)

20

(55)

dari luar dan pemerintah, karena merekapun sebelumnya memang hidup dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan hanya untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah. Setahun lamanya mereka tinggal dipengungsian dengan kondisi yang seadanya, bahkan sangat minim. Kondisi yang sangat memprihatinkan itu menyebabkan banyak yang meninggal dunia karena terserang penyakit.

Setelah setahun lamanya mereka berada di pengungsian, akhirnya pada tahun 1963 pemerintah memberikan bantuan kepada para korban dengan menawarkan mereka untuk melakukan transmigrasi (perpindahan dari suatu daerah ke daerah yang lain), tetapi pemerintah tidak memaksakan transmigrasi tersebut untuk diikuti oleh para korban bencana alam tersebut.

Tawaran transmigrasi, disambut dengan antusias oleh etnik Bali yang menjadi korban letusan Gunug Agung tersebut, dan pemerintah mendaftarkan mereka sebagai peserta transmigrasi. Etnik Bali tersebut merupakan transmigran umum, dimana semua biaya ditanggung oleh pemerintah yang bekerja sama dengan Direktorat Jendral Transmigrasi yang merupakan bagian dari Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi, dan sesampainya di tempat tersebut para transmigran diberikan pekerjaan dan tempat tinggal sampai akhirnya mereka mapan.

Pada masa itu (setelah tahun 1960-an), para pengungsi/transmigran yang ada di Sumatera bekerja sebagai buruh kebun kelapa sawit milik PTPN IV (persero) Kebun Adolina21

21 Lokasi pemukiman orang Bali yang menjadi trasmigran berada sekitar 15 km dari

kantor PTPN IV (persero) Kebun Adolina yang berada di pinggir jalan utama lintas Sumatera yang ada di Kecamatan Pebaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

(56)

kepala keluarga yang tinggal di dusun ini pada tahun 1963 sebanyak 145 kepala keluarga.

Kedatangan orang Bali di Pegajahan tidak mengalami konflik atau perselisihan dengan etnik pribumi yang terlebih dahulu menempati tempat tersebut. Seperti yang diungkapkan salah satu informan bahwa :

“Kedatangan kami disambut baik dengan penduduk Pegajahan, dan dari awal kedatangan kami samapai sekarang tidak pernah ada masalah atau keributan, bahkan penduduk setempat banyak membantu kami dengan bantuan-bantuan seperti memberikan alas tidur, meminjamkan perlengkapan masak dan ada juga yang memberikan makanan. Mereka juga membantu kami membangun rumah untuk tempat tinggal kami” (wawancara, tanggal 29/05/2010).

Pemukiman orang-orang Bali yang ada di Pegajahan telah disiapkan oleh pihak PTPN IV (persero) Kebun Adolina, lahan pertanian juga diberikan oleh pihak PTPN IV (persero) Kebun Adolina, tetapi hanya sebatas hak pakai saja bukan hak milik, karena pada dasarnya pemukiman dan areal pertanian masuk ke dalam Hak Guna Usaha (HGU) pihak PTPN IV. Jadi tidak akan ada masalah perebutan tanah bagi mereka sebagai pendatang dengan penduduk setempat. Sehingga mereka dapat tetap tenang berada di daerah yang baru. Lagi pula, lahan kosong yang ada di Desa Pegajahan tersebut adalah lahan milik PTPN IV (persero) Kebun Adolina dan masyarakat yang pertama tinggal di Desa Pegajahan juga adalah masyarakat pendatang yang menetap di desa tersebut (etnik Simalungun). Jadi, pada dasarnya masyarakat setempat pun tidak punya hak untuk menghalangi etnik-etnik pendatang.

(57)

mulai berkurang. Rekonstruksi kedatangan orang Bali ke Pegajahan dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3.1. Rekonstruksi Kedatangan Orang Bali Ke Pegajahan

No Tahun Jumlah KK Pemukiman Latar Belakang Mata Pencaharian

Penggunaan Wariga

Pertanian Hari Baik Upacara Sudah Belum Sudah Belum Sudah Belum

(58)

Wariga mulai dipakai oleh orang Bali di Pegajahan untuk kegiatan pertanian pada tahun 1970. Pada tahun ini orang Bali yang mengungsi mulai mendapatkan hak pakai atas lahan pertanian dari pihak PTPN IV (persero) Kebun Adolina. Lahan yang mereka pergunakan untuk kegiatan pertanian merupakan lahan sisa yang tidak dapat digunakan lagi untuk di tanami pohon kelapa sawit, karena kondisi lahan yang cenderung basah serta memiliki kadar air yang sangat tinggi. Mereka menerapkan wariga pada aktivitas pertanian karena kondisi lingkungan di Pegajahan tidak berbeda jauh dengan kondisi lingkungan yang ada di Bali, seperti suhu, kondisi tanah dan musim yang ada di Pegajahan relatif sama dengan yang ada di Bali, perbedaan yang ada dapat dilihat dari segi sistem sosial lokal yang berbeda dengan sistem sosial orang Hindu yang ada di Bali.

Dalam melakukan kegiatan pertanian, masyarakat Bali menggunakan wariga untuk mengetahui waktu yang cocok dalam memulai proses pertanian, khususnya konsep wuku. Mereka percaya dengan mengikuti kaidah-kaidah yang ada dan tertera dalam wuku-wuku niscaya segala yang mereka lakukan itu diberkahi oleh Hyang Sang Widhi.

3.2 Hubungan Wariga dan Wuku

Gambar

Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5
Gambar 2.1 : Peta geografi desa Pegajahan
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Desa Pegajahan Berdasarkan Golongan Usia dan Jenis Kelamin
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Desa Pegajahan Berdasarkan Mata Pencaharian
+7

Referensi

Dokumen terkait

KOMPETENSI GURU MENGEMBANGKAN MATERI PPKN BERBASIS KEARIFAN LOKAL ( LOCAL WISDOM ) BALI DALAM MEMBENTUK SIKAP KEWARGANEGARAAN SISWA Universitas Pendidikan Indonesia |

Secara umum dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal Bali memang mengandung unsur- unsur dari nilai-nilai Pancasila yang masih dipelihara dan dipraktikkan dalam

NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi ‘TRIHITAKARANA’ di Bali.. Disusun oleh : Ida

Penelitian etnografi dalam hal ini berfungsi untuk mengkonsepsi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Bali Aga di desa Trunyan sebagai pusat pembudayaan,

Setelah kami selesai mengada- kan pengenalan pendidikan karakter para masyarakat mulai percaya diri bahwa mereka tidak akan kehilangan kearifan lokal yang terdapat di

Kearifan lokal yang dimiliki petani Bakumpai di lahan pasang surut tidak hanya dilihat pada kemampuan bertani, tetapi juga pemilihan lokasi pertanian. Hal tersebut

Disimpulkan, terdapat beberapa kesamaan konsep dalam kearifan lokal masyarakat etnik Lampung yang berupa falsafah Piil Pesenggiri dan kearifan lokal masyarakat etnik Bali seperti Tri

Mendulang Mutiara Kata: Identifikasi dan Intertektualitas Ekspresi Kearifan Lokal Dalam Sastra Bali Modern I Nyoman Darma Putra1, Ida Ayu Laksmita Sari2 1Prodi Sastra Indonesia,