BEKASI UTARA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh :
HALIMAH NIM: 106043201319
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BEKASI UTARA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh :
HALIMAH NIM: 106043201319
Di bawah bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. KH. Ahad Mukri Aji, MA Fahmi M. Ahmadi, S.Ag., M.Si
NIP : 195703121985031003 NIP: 197412132003121002
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
SAMUDERA JAYA KECAMATAN TARUMA JAYA BEKASI UTARA, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 April 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum (PMH).
Jakarta, 7 April 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 195505051982031021
PANITIA UJIAN
1. Ketua Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP. 196511191998031002
2. Sekretaris Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002
3. Pembimbing I Dr. KH. Ahmad Mukri Adji. MA NIP. 19570703121985031003
4. Pembimbing II Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002
5. Penguji I Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 18 Maret 2011
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘alamin, tiada kata yang pantas saya ucapkan selain
ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang
diberikan Allah SWT, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Sesajen Pada Pelaksanaan Walimatul „Ursy di Desa Samudera Jaya
Kecamatan Taruma Jaya Bekasi Utara” ini dengan baik walaupun masih banyak
kekurangan diberbagai segi. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarga, sahabat dan ummatnya yang
senantiasa mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amien.
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan sepenuhnya penulis menyadari,
bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi.
Namun adanya bantuan dan motivasi yang konstruktif dari berbagai pihak. Maka
dengan tulus dan ikhlas penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. Dan bapak Fahmi Muhammad
Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku Kepala dan Sekretaris Program Studi
ii
membimbing dan memotivasi Penulis dalam menyelesaikan skripsi.
4. Pimpinan perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas
kepada Penulis untuk mengadakan studi pustaka.
5. Kepada Kepala Desa Samudera Jaya beserta jajarannya yang telah membantu
penulis memberikan data, juga kepada bapak Lihan, bapak Makmur, ibu
Rodiah, ibu Jami, dan bapak Muslim yang telah menyempatkan waktunya
untuk di wawancara.
Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Saran dan kritik penulis sangat harapkan demi perbaikan ke depan.
Jakarta, 18 Maret 2011 M 14 Rabiul Awal 1432 H
iii
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Riview Studi Terdahulu ... 7
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : SESAJEN DALAM KERANGKA BUDAYA A. Pengertian Sesajen ... 15
B. Sejarah Sesajen Walimahan ... 16
C. Filosofi Yang Terkandung Dalam Sesajen. ... 19
D. Dasar Hukum Sesajen ... 26
iv
B. Kondisi Demografis Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma
Jaya Bekasi Utara ... 36
C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Samudera Jaya
Kecamatan Taruma Jaya Bekasi Utara ... 36
BAB IV : SESAJEN DAN PENGETAHUAN MASYARAKAT
A. Proses Penggunaan Sesajen Dalam Walimatul ‘Ursy di Desa
Samudera Jaya ... 41
B. Faktor Penyebab Penggunaan Sesajen Dalam Walimatul ‘Ursy
Pada Masyarakat Desa Samudera Jaya ... 52
C. Pandangan Ulama Terhadap Tradisi Sesajen Walimatul ‘Ursy di
Desa Samudera Jaya ... 56
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 65
1
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya begitu banyak unsur-unsur yang terkandung dalam
pelaksanaan perkawinan seperti unsur agama, adat-istiadat, dan budaya
masyarakat setempat. Setiap ada pernikahan selalu dibarengi dengan resepsi
pernikahan atau walimah. Acara semacam ini sudah dianggap lumrah dan telah
membudaya bagi setiap lapisan masyarakat manapun, hanya cara dan sistemnya
yang berbeda. Sedangkan maksud yang terkandung dari mengadakan walimahan
itu tiada lain hanya untuk menunjukan rasa syukur atas pernikahan yang telah
terjadi sebagai rasa bahagia untuk dinikmati bersama handai taulan dan
masyarakat sekitar lingkungannya.1
Dalam arti luas walimah ialah makanan dalam perkawinan, berasal
(pecahan) dari kata walam, yaitu mengumpulkan, karena suami istri berkumpul.
Imam Syafi‟i dan sahabat-sahabatnya berkata bahwa walimah itu berlaku pada
setiap undangan yang diadakan karena kegembiraan yang terjadi: seperti nikah,
sunatan (khitan) maupun lainnya. Yang terkenal kalau dikatakan secara mutlak,
walimah dipergunakan dalam nikah dan terbatas dalam penggunaan lainnya.2
1
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), Cet-1, h. 175.
2
Walimahan diadakan ketika acara akad nikah berlangsung atau
sesudahnya, atau ketika hari pernikahan. Walimahan bisa juga diadakan menurut
adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam hukum Islam, jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah
itu hukumnya sunnah mu‟akad. Hal ini berdasarkan hadits Rasulallah SAW:
Artinya: “Dari Anas, ia berkata “Rasulallah SAW. Belum pernah mengadakan
walimah untuk istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk Zainab, beliau mengadakan walimah untuknya dengan seekor kambing.”(HR Bukhory).
Artinya: “Dari Buraidah, ia berkata, “Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulallah
SAW. Bersabda, “Sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.”(HR Jalaluddin Al-Shuyuthiy)”.5
Namun setiap ada masyarakat terdapat adat yang tetap berlaku sekalipun
dalam masyarakat yang beragama Islam. Seperti halnya dalam masyarakat
3
Abi Abdillah Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhory, Shohih Al-Bukhory, (Beirut: Al-Maktabah Al-Ishriyyah, 1997), Jilid 3, h. 1664, No. Hadits 5167.
4
Jalaluddin Al-Shuyuthiy, Sunan An-Nasa’i, (Beirut: Daar Al-fikr, 1995), Jilid 6, h. 72, No. Hadits 3348.
5
Samudera Jaya yang masih mempercayai penggunaan sesajen pada pelaksanaan
walimah terutama walimatul „ursy. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar
masyarakat yang berada disekitar Desa ini adalah keturunan Jawa. Karena seperti
kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal
adat atau kebudayan. Dalam kehidupan sehari-hari orang tidak mungkin tidak
berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. 6
Seperti diketahui pula isi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak
dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam
masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk
atau berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi,
dan etos kebudayaan.7
Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk
simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik,
dan kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologis dari
sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistimologi juga tidak
terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi,
agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku sosial.8
6
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1990), Cet-31, h. 187.
7
Elly M Setiadi, Kama Abdul Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Bandung: Kencana, 2007), Cet-2, h. 30.
8
Begitu pula halnya pada saat pelaksanaan pesta perkawinan atau
walimatul ursy, orang-orang cenderung tidak bisa lepas dari unsur budayanya.
Salah satunya budaya atau tradisi sesajen yang tidak pernah tertinggal pada saat
pelaksanaan walimatul „usry di Desa Samudera Jaya.
Memang ada suatu fenomena yang menarik dari hal ini karena tidak lazim
acara walimah disertakan dengan sesajen ketika penyelenggaraannya. Tujuannya
bermacam-macam tergantung yang mempunyai hajat tetapi tujuan utamanya yaitu
meminta berkah dari arwah leluhur. Adapun bentuk sesajiannya bervariasi,
tergantung permintaan atau sesuai bisikan ghaib yang diterima oleh orang pintar
(paranormal), dukun, dan sebagainya.
Banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan
hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Sehingga
diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji
lalu pada suatu saat tidak diberi sesaji maka yang tidak memberikan sesaji akan
kualat. Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan
Dinamisme ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada zaman modernisasi
yang serba canggih ini.9 Seperti masyarakat yang berada disekitar Desa
Samudera Jaya padahal mayoritas agamanya adalah Islam.
Keadaan masyarakat Desa Samudera Jaya mereka meyakini penggunaan
sesajen dalam pelaksanaan walimatul „ursy karena dengan adanya sesajen, maka
pesta perkawinan atau walimatul „ursy yang berlangsung pada saat itu mampu
9
mendatangkan berkah seperti: rizkinya bertambah melalui banyaknya tamu yang
hadir, makanannya matang, tidak sampai kehabisan, terhindar dari hujan,
dijauhkan dari mara bahaya, tidak ada gangguan dari roh jahat, dilindungi oleh
para leluhur, dan keluarga yang mengadakan acara walimahan tersebut bisa
menjadi keluarga yang bahagia, rukun dan langgeng.10
Mengenai hal-hal yang diyakini oleh manusia lebih jauh lagi, seorang
sosiolog yaitu Spencer secara tegas berpendapat bahwa semua manusia,
bagaimanapun sederhananya teknologi yang dikembangkan, adalah makhluk
rasional. Menurut Spencer, agama berkembang dari observasi bahwa di dalam
mimpi jiwa bisa meninggalakan raga. Manusia karena itu memiliki aspek ganda,
dan setelah matinya jiwa berlanjut muncul menjadi living descendants di dalam mimpi-mimpi. Hantu-hantu dari tokoh-tokoh pendahulu tersebut pada akhirnya
memperoleh status dewa.
Praktek menyajikan sesajen yang menyebar luas di gua-gua nenek moyang
dan memberi mereka makanan berkembang menjadi ritual pengorbanan bagi
dewa. Ritual nenek moyang karena itu dianggap sebagai akar dari setiap agama.11
Dari peristiwa tersebut yang semakin tumbuh dan melekat pada
masyarakat Desa Samudera Jaya maka, inilah yang menjadi ketertarikan penulis
untuk mengkaji fenomena dalam skripsi dengan judul: “SESAJEN PADA
PELAKSANAAN WALIMATUL „URSY DI DESA SAMUDERA JAYA
KECAMATAN TARUMA JAYA BEKASI UTARA”
10
http://Gunung Jati Cirebon.com/sesajen-selametan-manten/. Diakses tanggal 21 April 2010. 11
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan mengenai sesajen maka pada pembahasan
skripsi ini penulis hanya membahas sesajen yang digunakan pada pelaksanaan
walimatul „ursy yang hidup pada masyarakat dan sudah menjadi tradisi di Desa
Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya, Bekasi Utara. Adapun permasalahan
pokok yang akan diteliti dan diuraikan dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana proses walimatul „ursy yang menggunakan sesajen pada
masyarakat Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya, Bekasi Utara?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang sesajen yang digunakan pada
pelaksanaan walimatul „ursy di Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya,
Bekasi Utara?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui proses walimatul „ursy yang menggunakan sesajen yang
dilakukan masyarakat Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya, Bekasi
Utara.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penggunaan sesajen yang
dilakukan pada acara walimatul „ursy di Desa Samudera Jaya Kecamatan
D. Riview Studi Terdahulu
Penelitian seputar tradisi sesajen belum banyak penelitian yang dilakukan
oleh peneliti sebelumnya, apalagi penelitian tentang sesajen yang dijadikan tradisi
dalam sebuah acara walimatul „ursy. Dari hasil penelusuran, penulis hanya
menemukan tema tentang “AKULTURASI BUDAYA ANTARA TRADISI
SUNDA WIWITAN DENGAN ISLAM DALAM BENTUK RITUAL SESAJEN
DI DESA NARIMBANG, KECAMATAN CONGGEANG, KABUPATEN
SUMEDANG”. Penelitian ini ditulis oleh Pipit Pitriani mahasiswa Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam. Penelitian ini mengidentifikasikan
penelitiannya pada wilayah kajian ilmu Komunikasi Antar Budaya dan pada
wilayah kajian Ilmu Dakwah, karena penelitian ini erat kaitannya dengan Agama
dan Kemasyarakatan. Isi dari temuan dan analisisnya meliputi: ritual sesajen
bulan keempat, bulan ketujuh dan kelahiran, ritual sesajen sunatan, ritual sesajen
pernikahan, ritual sesajen kematian, ritual sesajen ketika bepergian jauh, ritual
sesajen pada acara-acara keagamaan, ritual sesajen ketika menanam padi atau
menuai (panen) padi, ritual sesajen ketika membangun gedung, dan ritual sesajen
ketika membeli barang yang berharga.
Peneliti ini pun merumuskan masalah utamanya dengan pertanyaan: Apa
makna pada sesajen yang masih dilakukan oleh masyarakat Narimbang sekarang?
Dan Bagaimanakah proses perubahan makna pada sesajen itu terjadi?.
Hasil dari penelitian yang disimpulkan oleh penulis skripsi itu sendiri
sesajen ini sudah berlangsung lama sekitar tahun 1990-an. Setelah menggunakan
berbagai macam cara, seperti ceramah, pendekatan personal serta pendekatan
melalui tradisi, makna yang terkandung di dalam sesajen sekarang sudah ada
perubahan. Perubahan ini bukan pakem atau bersifat tetap, tapi perubahan ini adalah siasat agar masyarakat berkenan meninggalkan niat penyajian sesajen
untuk hal-hal yang selain Allah SWT.
Sedangkan dalam skripsi ini, penulis membedakan pembahasan penelitian
dari skripsi yang sudah ada di atas dengan perbedaan, yaitu pada skripsi ini
menjelaskan bagaimana proses walimatul „ursy yang menggunakan sesajen pada
masyarakat Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya Bekasi Utara dan
bagaimana pula tinjauan hukum Islam tentang sesajen tersebut. Dalam
kesimpulan yang dihasilkan skripsi ini, sesajen merupakan tradisi yang sudah
melekat pada masyarakat Desa Samudera Jaya dan dijadikan sebagai budaya
dalam acara walimatul „ursy. Skripsi ini juga menjelaskan bagaimana antara
tradisi atau kebiasaan yang sudah berlaku dikaitkan dengan pandangan secara
hukum Islam.
E. Metode Penelitian
1. Sifat dan Pendekatan
Penelitian ini bersifat deskriptif, di mana suatu penelitian yang
bertujuan memberikan gambaran terhadap keadaan seseorang dan masyarakat
nampak dalam situasi yang diselidiki. Selain itu juga penelitian ini terbatas
pada usaha mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya,
sehingga hanya merupakan penyingkapan fakta.12
Pendekatan yang peneliti gunakan yaitu metode penelitian hukum
sosiologis yang dinyatakan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di
dalam kehidupan.13 Karena banyak permasalahan yang berkaitan dengan
masalah hukum diantaranya perilaku dalam tradisi sesajen yang dapat dijawab
secara positif dengan cara mempelajari hukum sebagai sesuatu social phenomena. Berkaitan dengan hal ini, Thimaseff menulis:
“Umumnya norma-norma hukum secara nyata akan menentukan perilaku
manusia di dalam masyarakat”.14
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis yaitu ada dua sumber data:
a. Data Primer
Data penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara terhadap
masyarakat Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya, Bekasi Utara
yang dilakukan secara langsung dengan pihak yang terkait yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti dan fakta-fakta riil di lapangan.
12
Hermawan Wasito, Pengantar Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1992), h 10
13
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h.76.
14
Pihak-pihak yang terkait terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Orang-orang yang mengetahui tentang praktik sesajen dan dianggap
sebagai petua atau sesepuh adat di Desa Samudera Jaya Kecamatan
Taruma Jaya, Bekasi Utara ada 2 orang yaitu: Bpk. Lihan (Selaku
sesepuh Desa Samudera Jaya), Bpk Makmur (Dukun/paranormal di
Desa Samudera Jaya).
2) Orang-orang yang sering melakukan praktik sesajen dan bertugas
sebagai penunggu atau penjaga Ngandang beras (penjaga
pendaringan/dapur) di Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya,
Bekasi Utara ada 2 orang yaitu: Ibu Rodiyah (Penunggu pendaringan/
ngandang beras), dan Ibu Jami (Penunggu pendaringan/ ngandang
beras).
3) Tokoh Agama atau ulama di Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma
Jaya ada 1 orang yaitu: Ust. Muslim S.Ag.
b. Data Sekunder
Data yang bersifat pelengkap atau data yang diperoleh secara tidak
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh orang lain).
Dan dapat juga diperoleh dari kantor Desa dan Kecamatan, buku, majalah,
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu:
a. Data Primer
1) Observasi (penelitian lapangan) mengadakan pengamatan langsung
terhadap obyek dari masalah yang akan diteliti. Dengan menggunakan
pedoman observasi.
2) Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
penulis atau pewawancara dengan informan dan menggunakan
instrumen pengumpulan data yang dinamakan interview guide
(panduan wawancara).15
Penulis menggunakan teknik ini karena teknik interview
merupakan teknik tanya jawab secara lisan yang berpedoman pada
pertanyaan terbuka untuk mencari informasi secara detail dan terperinci
dan menggunakan snowbolling proses. Dengan demikian diperoleh
jawaban secara langsung yang sedalam-dalamnya tentang masalah yang
dibahas.
b. Data Sekunder
1) Melakukan pencarian buku-buku yang berkaitan dengan hukum adat
dan sesajen.
2) Melakukan kategorisasi terhadap buku-buku yang telah dikumpulkan.
15
3) Menemukan kata kunci dari sumber-sumber buku yang berkaitan
dengan sesajen.
4. Instrumen Pengumpulan Data
Dalam hal ini yang dimaksud instrumen penelitian adalah perangkat
untuk menggali data primer dari responden sebagai sumber data terpenting
dalam sebuah penelitian survei. Instrumen penelitian ilmu sosial berbentuk
pedoman pertanyaan (interview guide).16
5. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis
secara kualitatif. Analisis data dilakukan setelah data-data di lapangan
terkumpul secara berkesinambungan yang diawali dengan proses klarifikasi
data agar tercapai konsistensi di lapangan. Analisis terhadap informasi
lapangan mempertimbangkan hasil pernyataan-pernyataan yang sangat
memungkinkan dianggap mendasar dan universal. 17
6. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam teknik penulisan, penulis mengacu kepada prinsip-prinsip yang
telah diatur dan dibukukan dalam pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
16Bagong Suyanto dan Sutinah, “Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan”, (Jakarta: Kencana,2007), Cet-3, h. 59.
17
F. Sistematika Penulisan
Adapun untuk mempermudah dan lebih mengarah dalam susunan skripsi
ini maka, penulis menyusun Sistematika Penulisan Skripsi ini sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Perumusan dan
Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan
Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Pada bab kedua ini penulis akan menguraikan tentang Pengertian
Sesajen, Sejarah Sesajen Walimahan, Filosofi yang Terkandung
Dalam Sesajen, dan Dasar Hukum Sesajen.
BAB III Bab bab ketiga ini penulis menguraikan tentang Gambaran Umum
Lokasi Penelitian yang meliputi: Geografi Desa Samudera Jaya
Kecamatan Taruma Jaya Bekasi Utara, Kondisi Demografis Desa
Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya Bekasi Utara, Kondisi Sosial
Ekonomi Masyarakat Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya
Bekasi Utara.
BAB IV Sedangkan pada bab empat ini penulis akan menguraikan tentang
Sesajen dan Pengetahuan Masyarakat yang meliputi: Proses
Penggunaan Sesajen Dalam Walimatul „Ursy Pada Masyarakat Desa
Samudera Jaya, Faktor Penyebab Penggunaan Sesajen Dalam
Walimatul „Ursy Pada Masyarakat Desa Samudera Jaya, dan
Pandangan Seorang Ulama Terhadap Tradisi Sesajen Walimatul „Ursy
BAB V Pada bab lima ini merupakan hasil akhir penelitian dan bab ini
meliputi Penutup dan Kesimpulan dari pembahasan bab-bab
15
A. Pengertian Sesajen
Sajen menurut bahasa adalah makanan (bunga-bungaan) yang disajikan untuk
atau dijamukan kepada makhluk halus. Sedangkan menurut istilah, sajen adalah
mempersembahkan sajian dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara
simbolik dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan ghaib, dengan
cara mempersembahkan makanan dan benda-benda lain yang melambangkan
maksud dari pada berkomunikasi tersebut.1
Sedangkan secara luas kata sesajian atau sesajen atau yang biasa disingkat
dengan „sajen‟ ini adalah istilah atau ungkapan untuk segala sesuatu yang
disajikan dan dipersembahkan untuk sesuatu yang tidak tampak namun ditakuti
atau diagungkan, seperti roh-roh halus, para penunggu atau penguasa tempat yang
dianggap keramat atau angker, atau para roh orang yang sudah mati. Sesajian ini
bisa berupa makanan, minuman, bunga atau benda-benda lainnya. Bahkan
termasuk diantaranya adalah sesuatu yang bernyawa.2
Namun sesajian atau sesajen dalam arti yang sebenarnya adalah
menyajikan hasil bumi yang telah diolah manusia atas kemurahan Tuhan
penguasa kehidupan dan mengingatkan kita bahwa ini semua adalah milik Tuhan.
1
Dato Paduka Haji Ahmad bin Kadi, Kamus Bahasa Melayu Nusantara, (Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2003), h. 2337.
2
Karena semuanya sudah ada ketika kita mulai diberi kehidupan, juga
menggambarkan lingkungan biotik dan abiotik yang ada dan terkandung di bumi.
Sesajen hanya berwujud segala sesuatu yang dihasilkan oleh bumi.
Utamanya yang berupa pepohonan, buah-buahan, dan sumber makanan yang lain.
Selain itu, sesajen juga mempunyai arti menurut wujud, rupa warna, dan namanya
sesuai pengertian yang diketahui oleh orang Jawa zaman dahulu.3
Abu Abdillah Ahmad mengartikan bahwa sesajen berarti sesajian atau
hidangan. Sesajen memiliki nilai sakral disebagian besar masyarakat kita. Pada
umumnya acara sakral ini dilakukan untuk memburu dan mendapatkan berkah di
tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau diberikan kepada benda-benda
yang diyakini memiliki kekuatan ghaib yang berasal dari paranormal atau
tetuah-tetuah, semacam keris trisula dan sebagainya untuk tujuan yang bersifat duniawi.
Sedangkan waktu-waktu penyajianya ditentukan pada hari-hari tertentu, temasuk
dalam acara sakral seperti pesta pernikahan.4
B. Sejarah Sesajen Walimahan
Dimasa berjayanya kerajaan Majapahit, agama Hindu tersebar ke seluruh
pelosok daerah, termasuk diantaranya Jawa. Kepercayaan Animisme dan
Dinamisme sangatlah kuat mengakar pada masyarakat Jawa. Dasar agama Jawa
(Javanisme) adalah keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah satu,
3
http://backpackermom17.wordpress.com/2010/04/23/filosofi-sesajen-offerings/. Diakses tanggal 23 April 2010.
4
dan merupakan kesatuan hidup. Maka dari itu Javanisme meliputi lebih banyak
bidang daripada agama-agama formal yang membedakan antara bidang sakral dan
bidang profan. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut dalam
kosmos alam raya dan dengan demikian hidup manusia merupakan semacam
pengalaman religius.5 Melalui lintas sejarah perjalanan agama ini, masyarakat
setempat masih terpengaruh oleh upacara-upacara ritual diantaranya penggunaan
sesajen pada acara walimahan.
Sejarah atau asal-usul sesajen yaitu sesajen atau biasa juga disebut
upakara merupakan warisan budaya hindu dan budha yang biasa dilakukan untuk
memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu
persimpangan, dan tempat-tempat yang diyakini angker) dapat mendatangkan
keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti: ritual menjelang panen yang
mereka persembahkan kepada Dewi Sri (Dewi padi dan kesuburan) yang
mungkin masih dipraktekkan di sebagian daerah yang ada di Indonesia misalnya
di Jawa upacara Nglarung (membuang kesialan) ke laut yang masih banyak
dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai selatan Pulau Jawa tepatnya
di tepian Samudera Indonesia yang terkenal dengan mitos Nyi Roro Kidul.6
Dalam agama Hindu, upakara terdapat banyak simbol-simbol dengan
penuh memiliki makna yang tinggi, di mana makna tersebut menyangkut isi alam
5
Neils Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), Cet- 5, h. 31.
6
dan isi permohonan manusia, untuk mencapai keseimbangan dari segala aspek
kehidupan.
Sesajen ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat
yang masih mempercayainya, tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari
berkah yang berasal dari sumber-sumber yang tidak jelas.pemberian sesajen ini
biasanya dilakukan ditempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai
magis yang sangat tinggi. Proses ini terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan
sudah berasal dari nenk moyang kita yang mempercayai adanya
pemikiran-pemikiran yang religious.kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai
sesuatu keinginan atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi.7
Dalam lintas sejarah, sesajen walimahan adalah sesajian lengkap yang
meliputi bermacam-macam sesajian dan bersumber dari naskah Jawa Kuno
Purwakara. Pada dasarnya sebuah ajaran kehidupan bagi manusia ada sejak
kelahiran hingga kematian. Namun, ajaran itu tidak diawali dari kelahiran
melainkan saat perkawinan dengan sajen bucalan (tumpeng moncowarno) sebagai
sesaji pertama. Sajen bucalan atau sajen yang berupa tumpeng moncowarno
diartikan sebagai penegasan keberadaan kiblat mata angin dan ditambah dengan
tumpeng megono yang berupa tumpeng (gunung) Meru yang diaduk-aduk dewa,
yang diartikan sebagai simbolisasi usaha manusia memperoleh tirta amerta (air
kehidupan) dan sumber kehidupan itu sendiri.
7
Sedangkan sajen yang kedua dalam pernikahan yang terdapat dari naskah
Jawa Kuno Purwakara yaitu sajen brokolan sajen ini berupa dawet (cendol)
potongan kelapa dan gula jawa, serta telur itik. Ini adalah simbol bersatunya
sperma dan sel telur (kelapa dan gula jawa) yang berubah menjadi benih (dawet)
dan kemudian menjadi bibit di langit (telur itik), hasil dari sebuah proses
perkawinan dan pembuahan.
Sedangkan sajen yang ketiga atau sajen yang terakhir adalah sajen banyu
kendi (air dalam kendi) yang diartikan sebagai pencarian manusia akan Tuhan,
atau pencarian nilai kelanggengan karena hanya dengan pencarian kelanggengan
itu adalah modal manusia menghadap Tuhan.8
Namun dari sejarah yang ada pada saat ini ajaran dari naskah Jawa Kuno
Purwakara tersebut ada yang masih murni mempergunakannya seperti yang
tersebut di atas ada pula yang mengembangkan isi dari sesajiannya dengan
sedemikian rupa dan berbagi macam jenis, tergantung kepada yang memiliki hajat
ketika perkawinan dilangsungkan.
C. Filosofi yang Terkandung Dalam Sesajen
Bagi orang Jawa, cita-cita luhur yang harus diraih selama mengarungi
kehidupan adalah memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Cita-cita itu
sifatnya mutlak dan melekat hampir disetiap hati nurani orang Jawa. Makanya
8
demi mencapai cita-cita tersebut selama menjalani laku kehidupan di dunia, orang
Jawa selalu berusaha menciptakan suasana selaras, harmoni dan sinergi sehingga
tercipta kehidupan yang tenteram dan terasa adem-ayem.
Sikap terhadap hidup dapat sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan
konsep-konsep keagamaan. Pengalaman dan pandangan orang Jawa bersifat
keseluruhan, tidak memisahkan individu daripada lingkungannya, golongnnya,
zamannya, bahkan dari alam adikoderati.
Secara turun menurun, nenek moyang orang Jawa mengajarkan bahwa
bentuk rasa syukur dan terima kasih mesti diikuti dengan tindakan bersedekah
kepada sesama makhluk kehidupan.
Ajaran nenek moyang tersebut sampai saat ini masih melekat dan dijalani.
Salah satu bentuk nyata ajaran mewujudkan rasa syukur dan terima kasih tersebut
adalah menghaturkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada
arwah leluhur dengan disertai selametan atau membuat sesaji.9
Seperti kita ketahui bahwa isi dari sesajen itu berupa hasil bumi seperti
makanan, buah-buahan, minuman, atau benda-benda lainnya. Namun dari
keseluruhan sesajian tersebut sebenarnya memiliki arti tersendiri atau terkandung
filosofi atau unsur-unsur biotik dan abiotik yang berbeda-beda, baik sesajen yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan maupun berasal dari hewan, yaitu sebagai berikut:
9
1. Dari tumbuh-tumbuhan
Yang berasal dari tumbuh-tumbuhan umumnya adalah berupa
makanan pokok seperti: beras yang dimasak menjadi nasi tumpeng. Kata
“tumpeng” berasal dari kata “Tumungkulo Sing Mempeng”, artinya kalau kita
ingin selamat, hendaknya kita selalu rajin beribadah. Sedangkan bentuk
kerucut pada tumpeng mengartikan bahwa semakin hari kita harus senantiasa
ingat kepada Tuhan dan tumpeng juga sebagai penjelmaan alam semesta di
mana nasi berwujud gunung dikelilingi oleh hasil bumi berupa
tumbuh-tumbuhan dan hewan darat atau air.10
Ada juga bubur panca warna yaitu bubur abang (merah), bubur putih,
bubur beras merah, ketan hitam, bubur jagung, ketan putih, kacang hijau, yang
ditempatkan di empat penjuru mata angin yang melambangkan sifat atau
elemen alam (air, api, udara, tanah, dan angkasa).
Bubur abang (merah) dan bubur putih menggambarkan bahwa bubur
abang (merah) adalah menyangkut alam nyata yaitu jasmaniah sedangkan
bubur putih menyangkut alam ghaib yaitu bathiniyah. Jadi maksudnya bubur
abang (merah) dan bubur putih dalam sesajen merupakan bentuk permohonan
keselamatan lahir batin, guna dalam menjalani hidup dan kehidupan diberikan
keberkahan di mana secara lahir diberikan rezeki yang cukup dan secara batin
mendapatkan tuntutan yang baik sesuai dengan agama.
10
Terdapat juga makanan tambahan yaitu karak atau rengginang yang
merupakan produk makanan turunan dari padi. Biasanya dalam tumpeng juga
terdapat atau disediakan lauk-pauk sebagai pelengkap isi dari tumpeng yaitu:
orem-orem tempe, tahu, prekedel, dan lainnya hal ini menggambarkan
tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan lauk- pauk.
Cabai merah yang ditusukkan ke sebuah lidi, maksudnya untuk
pelengkap tumpeng sebagai lalaban. Warna merah pada cabai melambangkan
sifat berani, berani berusaha dan berani berjuang. Sifat berani yang positif
akan menuntun seseorang untuk mencapai kehidupan yang makmur dan
bahagia, berani dan memiliki kemauan yang keras untuk menghadapi segala
resiko kehidupan.11
Selanjutnya terdapat sayur-sayuran yang melambangkan tentang
makna hidup. Kita harus sadar di mana kita hidup, apa yang dikerjakan
selama hidup, dan kemanakah tujuan setelah mati. Selama hidup juga, kita
harus mempunyai arti bagi sesama lingkungan, agama, bangsa, dan Negara.
Dalam bermasyarakatpun kita harus bisa berbaur dengan siapa saja.
Ada pula jajanan pasar yang menggambarkan kerukunan walupun ada
perbedaan (tenggang rasa). Pisang raja gandeng juga diartikan lambang
supaya cita-cita yang kita capai senantiasa luhur agar dapat membangun
Bangsa dan Negara. Dan daun pisang sebagai pembungkus kue-kue yang akan
11
dibuat ketika acara walimahan, daun pisang dinamakan takir atau tatang pikir yang artinya bahwa manusia dalam bertindak harus mantap dan tidakk boleh
ragu-ragu. Selain daun pisang yang digunakan sebagai pembungkus kue, ada
juga yang menggunakan daun jati di mana manfaat dari daun jati itu sendiri
yaitu daunnya lebih kuat dari daun pisang dan berfungsi juga sebagai pewarna
makanan alami.
Dari tumbuh-tumbuhan yang dijadikan sesajen terdapat pula tumbuhan
seperti kelapa, sirih, pinang, tembakau, jambe, rokok, dan tidak tertinggal
yaitu kembang atau bunga setaman. Dari filosofi buah kelapa yaitu diartikan
bahwa kelapa adalah tumbuhan yang seluruh bagiannya mempunyai manfaat
bagi kehidupan manusia. Untuk daun sirih, buah pinang, tembakau, dan jambe
orang-orang Jawa zaman dahulu menggunakan tumbuh-tumbuhan ini untuk
memperkuat gigi dan filosofinya adalah agar kita tidak bertutur kata
sembarangan. Rokok yang berarti melambangkan kebutuhan sekunder
manusia bila ada pertemuan. Tumbuhan yang terakhir yaitu kembang setaman
yang artinya melambangkan raga manusia (lahir, tumbuh, mati) juga
melambangkan kerukunan.12
Kembang setaman atau bunga pada sajen memiliki suatu aroma yang
harum atau sering dihubungkan dengan keharuman. Keharuman di sini adalah
keharuman diri manusia, artinya manusia harus menjaga keharuman namanya
12
agar tidak tercemar karena hal-hal yang bersifat sepele. Dalam konteks ini
harus mempertahankan reputasi yang dimilikinya agar ia semakin dihormati.
Bunga juga melambangkan kesucian dan sifat halus, manusia harus memiliki
rasa dan perasaan yang halus, sehingga ia peka terhadap berbagai gejala
disekelilingnya dan juga dapat menimbulkan kesusilaan batin (kesalehan
umat) yang tinggi.13
2. Filosofi yang terdapat dari hewan
Ayam utuh dipanggang (Ingkung): melambangkan pengorbanan
selama hidup, cinta kasih terhadap sesama, juga melambangkan hasil bumi
(hewan darat). Ikan melambangkan hasil bumi (hewan air), biasanya jenis
ikan yang sering dipergunakan dalam sesajen yaitu ikan bandeng di mana
filosofi yang terdapat pada ikan bandeng adalah karena ikan bandeng berduri
banyak maka melambangkann sebagai rizki yang berlimpah, dan telor
melambangkan asal mula kehidupan, dan dalam kehidupan selalu ada dua sisi
kuning-putih, lelaki-perempuan, dan siang-malam.
Hal-hal atau perlengkapan sesajen lainnya yang tidak digolongkan
kepada jenis tumbuh-tumbuhan ataupun hewan adalah air di kendi yang
artinya bahwa supaya kita selalu mempunyai hati suci dan bersih, air juga
sebagai sumber kehidupan. Dengan adanya air, kehidupan menjadi nyaman
(adem), sejahtera, dan makmur. Semua makhluk hidup baik manusia, hewan,
dan tumbuhan membutuhkan air, maka dalam hidup ini air harus selalu ada.
13
Dalam sesajen tterdapat berbagai macam air dan semuanya mempunyai
maksud yang sama yaitu memberikan kenyamanan, keselamatan, dan
kesejahteraan. Air di gelas dan bunga melambangkan air minum yang menjadi
kebutuhan hidup manusia. Minuman kopi pahit melambangkan elemen air
namun bukan suatu minuman pokok (kebutuhan sekunder) dan menjadi
minuman “persaudaraan” bila ada perkumpulan atau pertemuan.
Api dalam lampu cempor bertujuan untuk menerangi kehidupan,
sehingga tidak merasakan kegelapan tetapi hidupnya akan terarah dan lurus.
Arang yang dinyalakan melambangkan elemen berupa api yang berguna bagi
kehidupan manusia, dupa kemenyan yang artinya keharuman dan
ketenteraman juga sembah sujud dan penghantar doa kita kepada Tuhan Juga
menunjukkan eksistensi udara yang bergerak.14
Membakar dupa, mustiki setinggi kayu gaharu, kemenyan yang
harum untuk mengharumkan ruangan yang membawa ketenangan suasana
adalah suatu hal yang baik, sama ditinjau dari sudut adat ataupun agama.
Karena Rasulallah SAW menyukai wangi-wangian, baik berupa minyak
wangi, bunga-bungaan ataupun pembakaran dupa pada pendupaan.15 Kain
putih yang artinya hendaknya dalam tindakan dan ucapan harus dilandasi oleh
kebersihan hati dan fikiran.16
14
http://backpackermom17.wordpress.com/2010/04/23/filosofi-sesajen-offerings/. Diakses tanggal 23 April 2010.
15Sjafi‟i Hadzani, Seratus Masalah Agama
, (Kudus: Menara Kudus, 1982), h. 35.
16
D. Dasar Hukum Sesajen
Munculnya sesaji atau sajen dengan uborampe-nya (perlengkapan sesajen)
ini bagi orang yang tidak memahami terkadang diartikan negatif dan minor.
Padahal asal-muasal sesaji dan uberampe selametan diadakan semata
dimaksudkan sebagai bentuk sedekah kepada seluruh kerabat, keluarga, tetangga,
juga seluruh makhluk Tuhan.
Proses sedekah dilakukan manakala do‟a syukur dan ucapan terima kasih
usai dilakukan, maka sajen dan uborampe-nya (perlengkapan sesajen) akan ditarik
untuk dinikmati bersama atau dibagi-bagikan kepada yang berhak. Tentu saja
niat dalam hati orang melakukan sedekah dalam konteks ini masih dalam rangka
untuk mencipta keselarasan, sinergi, dan harmoni.
Oleh orang Jawa peristiwa menghaturkan do‟a syukur dan terima kasih
disertai dengan memberi sedekah berupa sajen lengkap dengan uborampe-nya itu
disebut dengan memule leluhur. Biasanya memule leluhur ini oleh orang Jawa
diikrarkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad, Sahabat Nabi, para Wali,
tokoh-tokoh masyarakat, dan Danyang Penguasa Teritorial (sungai ,gunung, pertanian,
laut).17
Pada dasarnya budaya dan ritual ini tidak terlepas dari nuansa dan muatan
kesyirikan. Kesyirikan ini sangat terkait dengan tujuan, maksud atau motifasi
dilakukannya ritual sajenan tersebut.
17
Dalam hal ini, lurus berakidah dan bertauhid, serta agama yang toleran
pada sisi amal perbuatan dan pembuatan syari‟at. Lawan dari dua hal ini (agama
yang bertauhid dan toleransi) adalah syirik dan mengharamkan yang halal.
Sebagaimana hadits berikut ini:
Artinya: “Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dengan agama yang lurus. Namun, kemudian datanglah syaithon dan membolehkan agama mereka, dengan mengharamkan apa yang telah Aku halakan, dan menyuruh mereka untuk mempersekutukan Aku dengan apa yang Aku tidak memberikan kepadanya kekuasaan sedikitpun”.(HR. Ahmad).19
Dalam budaya yang bermuatan syirik tersebut, rinciannya adalah sebagai
berikut:
1. Jika melakukan ritual sajenan ini dengan menyajikan dan mempersembahkan
sesajian apapun bentuk bendanya kepada selain kepada Allah SWT, baik
benda mati ataupun makhluk hidup dengan tujuan untuk penghormatan dan
pengagungan, maka persembahan ini termasuk bentuk taqorrub (ibadah) dan
ibadah ini tidak boleh ditujukkan kepada selain Allah. Seperti, untuk roh-roh
orang sholeh yang telah wafat, makhluk halus penguasa dan penunggu
18
Al-Hafidz Abi Al-Qosim At-Thabrani, Mu’jam Al-Kabir Lithabrani, (Maktabah al-Ulum wa Hukum,1983), Juz 17, h. 358, no Hadits 987.
19
tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat atau angker, maka perbuatan
ini merupakan kesyirikkan dengan derajat syirik akbar yang pelakunya wajib
bertaubat dan meninggalkannya karena ia terancam kafir atau murtad. Allah
SWT berfirman dalam surat Al-An‟am ayat 162-163.
Artinya: “Katakanlah,” Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seluruh alam (Al-An’am: 162). Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah aku diperintah dan aku orang yang pertama-tama berserah diri (muslim) (Al-An’am: 163). 2. Bila ritual ini dilakukan atas dasar rasa takut kepada roh-roh atau
makhluk-makhluk tersebut terhadap gangguan atau kemarahannya, atau takut bahaya
yang akan menimpa karena kuwalat disebabkan menyepelekannya, atau
dengan maksud agar bencana yang sedang terjadi segera berhenti atau
malapetaka yang dikhawatirkan tidak akan terjadi, atau untuk tujuan agar
keberuntungan dan keberhasilan serta kemakmuran segera datang
menghampiri, maka dalam hal ini ada dua hal yang harus dikritisi:
- Rasa takut adalah ibadah hati. Setiap ibadah tidak boleh ditujukan kepada
selain Allah SWT, karena ibadah adalah hak mutlak Allah SWT semata
dan Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 175.
Artinya: “Sesungguhnya mereka itu hanyalah syaithon yang hanya menakut -nakuti teman-teman setianya. Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman” (Al-Imran: 175).
- Keyakinan bahwa ada makhluk yang mampu memunculkan marabencana,
bahaya, atau malapetaka serta bisa mendatangkan keberuntungan,
kemakmuran, dan kesejahteraan maka keyakinan seperti ini merupakan
keyakinan syirik, karena meyakini adanya tandingan bagi Allah SWT
dalam hak rububiyyah-Nya berupa hak mutlak Allah dalam memberi dan
menahan suatu manfaat (kebaikan atau keberuntungan) maupun mudhorot
(celaka atau bencana).20 Allah SWT berfirman dalam surat Yusuf ayat
106-107.
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, bahkan
mereka mempersekutukan-Nya. Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya?”. (QS. Yusuf (12): 106-107).
Keyakinan yang menimbulkan syirik seperti yang dilakukan oleh
kaum Yahudi dijelaskan dalam sebuah hadits yaitu:
20
Artinya: “Janganlah kamu melakukan perbuatan sebagaimana kaum Yahudi lakukan. Dan janganlah kamu menghalalkan larangan-larangan Allah dengan siasat murahan”. (HR. Abu Daud).22
3. Namun apabila melakukan ritual sajenan ini hanya bertujuan sekedar untuk
menghidangkan santapan bagi para roh tersebut dengan anggapan bahwa para
roh tersebut akan datang kemudian menyantapnya, maka ini merupakan
anggapan yang keliru dari beberapa sisi yaitu:
- Jika meyakini yang datang dan menyantapnya adalah roh-roh orang yang
telah mati (seperti roh para leluhur), maka ini bertentangan dengan
dalil-dalil hadits yang menjelaskan tentang alam barzakh (kubur) bahwa
keadaan para hamba yang dicabut nyawanya ada dua bentuk. Jika ia
termasuk hamba yang baik ban beruntung, maka ia mendapat nikmat
kubur yang cukup dari Tuhan-Nya sehingga tidak perlu keluar dari kubur
untuk mencari nikmat tambahan. Namun, bila ia termasuk hamba yang
celaka lagi berdosa, maka siksa kubur yang akan ia dapatkan dari Allah
sehingga tidak mungkin baginya untuk bisa lari dari siksa-Nya.
- Apabila meyakini bahwa yang datang dan menyantap sajian tersebut
adalah para roh dari kalangan makhluk halus (jin/syaithon), maka
21
Imam Hafidz Sulaiman ibn Al-Sajastaani, Shahih Sunan Abi Daud, (Riyadh: Maktabah
Al-Ma‟arif Linnasyri wa Al-Tauzi‟, 1998), Jilid 2, h. 146.
22
perbuatan tersebut merupakan hal yang sia-sia dan mubazir, karena Allah
SWT dan Rosul-Nya tidak pernah memerintahkan demikian dan juga
karena perbedaan jenis makanan manusia dan jin. Dalam hal ini Allah
berfirman dalam surat Al-Isro ayat 26-27.
Artinya: “Dan janganlah engkau berbuat mubazir (Al-Isra: 26). Sesungguhnya orang yang berbuat mubazir adalah saudara-saudara syaithon. (Al-Isra: 27)”.23
Jika ada diantara kita mengatakan bahwa sajian dan santapan yang
dihidangkan untuk para roh orang yang telah meninggal benar-benar
berkurang atau bahkan habis, maka ini tidak lepas dari dua kemungkinan.
Pertama, bisa jadi diambil atau dimakan makhluk yang kasat mata dari
kalangan manusia atau hewan. Dan kedua, bisa jadi pula diambil dan dicuri
oleh makhluk yang tidak kasat mata dari kalangan jin.
23
32
A. Geografi Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya Bekasi Utara
Kota Madya Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun
1950 tentang pembentukan dasar-dasar Kabupaten dalam lingkungan Provinsi
Jawa Barat dan tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkan sebagai lahirnya Kota Madya
Bekasi yang cukup pesat, maka berdasarkan PP No. 48 Tahun 1981 dibentuk
Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 wilayah kecamatan, yaitu Bekasi
Barat, Bekasi Timur, Bekasi Selatan dan Bekasi Utara. Dan berdasarkan UU No.
9 Tahun 1996 tanggal 16 Desember 1996 Kota Administratif Bekasi ditinggalkan
statusnya menjadi Kota Madya Bekasi.
Setelah terbentuknya Kota Madya Bekasi (sekarang Kota Bekasi), maka
wilayah Administrasi Kabupaten Bekasi menjadi 15 Kecamatan dan 187 Desa
dengan wilayah yang semula 148.437 Ha menjadi 127.388 Ha, dan berdasarkan
Peraturan Daerah No. 26 Tahun 2001 wilayah Kota Madya Bekasi terbagi
menjadi 23 Kecamatan.1
Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Bekasi
Lokasi : 1060 4828 – 1070 2729 BT, dan 600 106 – 60306 LS
Suhu rata-rata : 280C – 320C
Kelembaban : 80%
1
Ketinggian : 6- 115 m dpl
Curah Hujan : 1.501 mm/tahun
Hari Hujan : 85 hari
Luas Wilayah : 1.273,88 km2
Jumlah Kecamatan : 23
Jumlah Desa : 187
Jumlah Penduduk : 1.866.791 jiwa
Kepadatan : 1.465 jiwa/km2
Jumlah Keluarga : 457.944.2
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1981
Kecamatan Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administrasi Bekasi yang
meliputi 4 Kecamatan: Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Bekasi
Utara. Dari keempat Kecamatan itu terdiri dari 18 Kelurahan dan 8 Desa.
Pemekaran itu dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan
adanya pelayanan khusus. Pembentukan Kota Administrasi Bekasi digelar pada
tanggal 20 April 1982 yang dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Adapun
yang menjabat sebagai Walikota Administrasi Bekasi adalah Drs. Andi R Sukardi
hingga 1988, dan digantikan oleh Drs. H. Kailani AR.
Selain itu, perkembangan yang ada telah menunjukkan bahwa Kota
Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian potensi di
wilayah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dan untuk mendukung
2
jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU Nomor 9 Tahun 1996 yang
mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya Daerah
Tingkat II Bekasi.
Sedangkan wilayah kerja Eks Kota Administrasi Bekasi meliputi
Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur dan ditambah
wilayah kerja Pondok Gede, Jati Asih, Bantar Gebang serta Kecamatan pembantu
Jati Sampurna. Kesemuanya itu meliputi 23 Desa dan 27 Kelurahan. Pejabat
walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR
selama 1 tahun. Selanjutnya, dijabat secara difinitif oleh Drs. H. Nonon Sonthanie
yang terhitung sejak tanggal 23 februari 2003.3
Seiring waktu perjalanan Pemko Bekasi mengalami pemekaran kembali.
Itu didukung oleh Perda Pemko Bekasi Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Wilayah Administrasi kecamatan dan kelurahan, maka wilayah
Administrasi Kota Bekasi menjadi 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan. Semua itu
ditempuh untuk meningkatkan pelayanan dan mengayomi masyarakat yang ada di
wilayah Administrasi Kota Bekasi. Tak lama kemudian, terbitlah keputusan
DPRD Kota Bekasi Nomor 37-174.2/DPRD/2003 tertanggal 22 Februari 2003
tentang penetapan walikota Bekasi dan wakilnya periode 2003-2008. Yang
dilanjutkan dengan keputusan Mendagri bernomor: 131.32-113 Tahun 2003
tentang Pengesahan Walikota Bekasi, Jawa Barat. Dan Keputusan Mendagri Surat
3
Keputusan Nomor: 132.32-114 Tahun 2003 tentang Pengesahan Walikota Bekasi,
Jawa Barat, H Akhmad HR, S.Sos., yang didampingi oleh Mochtar Mohamad.4
Pada tahun 2010 diadakan lagi sensus penduduk di kota Bekasi dan
mencatat 2,3 juta penduduk kota Bekasi dengan Laju Pertumbuhan Penduduk
(LPP) sebesar 3,4%. Dan hasilnya adalah Kecamatan Bekasi Utara menempati
urutan pertama dalam jumlah penduduk terbanyak, mencapai 304.005 jiwa.5
Adapun gambaran umum Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya
Bekasi Utara dilihat dari hasil data geografis yang diperoleh dari kantor Desa
Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya Bekasi Utara yaitu Desa Samudera Jaya
mempunyai luas 752 Ha terdiri dari tanah daratan dan perairan dengan batas
wilayah:
Sebelah Utara : berbatasan dengan laut Jawa
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Pantai Setia
Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Segera Jaya
Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Buni Bakti
Sedangkan letak geografisnya ada pada ketinggian tanah dari permukaan
laut 0,55 m, banyaknya curah hujan 1500mm/Hm, topografi dari daratan rendah
tinggi pantai –mm/Hm dengan suhu udara rata-rata 26cc.
4Google, @-Yahoo.com
5
B. Kondisi Demografis Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya Bekasi
Utara
Untuk keadaan atau kondisi demografis yang terdapat di Desa Samudera
Jaya Kecamatan Taruma Jaya, Bekasi Utara itu sama halnya dengan kondisi
demografis yang terdapat pada wilayah-wilayah lainnya. Setiap tahun selalu
terdapat peningkatan jumlah penduduk, tidak hanya itu pembangunan secara
fisikpun meningkat sesuai dengan perkembangan, baik dari segi tingkat ekonomi
maupun teknologi.
Data yang diperoleh dari kantor Desa Samudera Jaya sampai 2010 yaitu
meningkatnya perkembangan demografis masyarakat Desa Samudera Jaya.
Jumlah penduduk mencapai 4.955 jiwa, terdiri dari jumlah laki-laki sebanyak
2.466 jiwa, jumlah perempuan 2.489 jiwa ,dan jumlah kepala keluarga sebanyak
1.330 jiwa.
C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Samudera Jaya Kecamatan
Taruma Jaya Bekasi Utara
Dari data yang diperoleh sepanjang tahun 2010 perkembangan jumlah
penduduk yang ada di Desa Samudera Jaya mencapai: 4.955 jiwa, dan jumlah
kepala keluarga mencapai 1.330 jiwa. Sedangkan kompilasi penduduk
Tabel 3.1
Kompilasi penduduk berdasarkan matapencaharian
No Pekerjaan Jumlah Pekerja
1 Petani 829 orang
2 Buruh tani 122 orang
3 Pertukangan 37 orang
4 Nelayan 133 orang
5 Wiraswasta 463 orang
6 TNI 4 orang
7 PNS 15 orang
Sumber Data: Kantor Desa Samudera Jaya Taruma Jaya Bekasi Utara
Dari data demografis yang ada sepanjang tahun 2010 untuk
matapencaharian penduduk di Desa Samudera Jaya, maka jumlah petani sebanyak
829 orang yang mendominasi jumlah terbanyak matapencaharian masyarakat
Desa Samudera Jaya.
Tabel 3.2
Mutasi penduduk berdasarkan komposisi
Data Jumlah
Lahir 56 orang
Meninggal 5 orang
Datang 74 orang
Pindah 18 orang
[image:45.612.176.444.600.683.2]Masyarakat di Desa Samudera Jaya Kecamatan Taruma Jaya, Bekasi
Utara ini mayoritas penduduknya dari keturunan Jawa, di mana masih kental
dengan adat dan budaya. Misalnya, dalam masalah sesajen yang digunakan pada
saat melangsungkan walimatul „ursy. Suatu masyarakat merupakan suatu bentuk
kehidupan bersama yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu
yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan,6 seperti budaya sesajen di
Desa Samudera Jaya.
Dalam bidang sosial, masyarakat Desa Samudera Jaya termasuk
masyarakat yang masih kompak dalam hal gotong-royong. Karena masyarakat
Desa Samudera Jaya menganut sistem kekerabatan bilateral sebagaimana
masyarakat Jawa pada umumnya. Kelompok kekerabatan bilateral seseorang
ditelusuri melalui garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Seluruh kerabat
yang berasal dari keturunan yang sama, baik laki-laki maupun perempuan,
saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sepupu dimasukkan kategori “saudara”
(sedulur).7
1. Bidang Keagamaan
Masyarakat Desa Samudera Jaya adalah pemeluk agama Islam, maka
ada beberapa masjid atau musholah yang dipergunakan sebagai majlis ta‟lim
dari tingkat anak-anak sampai tingkat ibu-ibu. Kehidupan secara agama di
Desa Samudera Jaya juga berjalan dengan cukup baik walaupun adanya
6
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet-6, h. 91.
7
tradisi sesajen dalam pelaksanaan walimatul „ursy namun hal itu tidak
menghalangi jalannya peribadatan dan kepercayaan dalam agama Islam.
Untuk mendukung pelaksanaan ibadah di Desa Samudera Jaya tersedia
[image:47.612.114.512.169.531.2]tempat-tempat ibadah sebagai berikut:
Tabel 3.3
Jumlah Sarana Peribadatan di Desa Samudera Jaya
No Sarana
Peribadatan
Jumlah Keterangan
1 Masjid 3
2 Musholla 7
3 Wihara _
4 Gereja _
5 Pura _
Sumber Data: Kantor Desa Samudera Jaya Taruma Jaya Bekasi Utara
2. Bidang Pendidikan
Sarana pendidikan yang dimiliki Desa Samudera Jaya memang sangat
minim sekali karena hanya tersedia sekolah tingkat PAUD dan SD saja,
namun keterbatasan yang sedemikian tidak menghalangi proses jalannya
pendidikan yang lain. Karena untuk menjalankan atau meneruskan pendidikan
kejenjang SLTP/MTs, SMA/MA, bahkan ke perguruan tinggi bisa keluar dari
Tabel 3.4
Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Samudera Jaya
No Nama Sekolah Jumlah
1 SDN 4 Unit
2 Diniyah 4 Unit
3 PAUD 2 Unit
Sumber Data: Kantor Desa Samudera Jaya Taruma Jaya Bekasi Utara
Jumlah tingkat pendidikan masyarakat Desa Samudera Jaya
1. Lulusan pendidikan umum
TK : 11 orang
SDN : 812 orang
SMP : 671 orang
SMA : 496 orang
Akademi (D1-D3) : 120 orang
Sarjana (S1-S3) : 38 orang
2. Lulusan pendidikan khusus
Pondok Pesantren : 214 orang
Madrasah : 119 orang
Kursus/keterampilan : 93 orang.8
8
41
A. Proses Penggunaan Sesajen Dalam Walimatul ‘Ursy Pada Masyarakat Desa Samudera Jaya
1. Pengetahuan Sesajen Pada Masyarakat Desa Samudera Jaya
Masyarakat Desa Samudera Jaya mengartikan bahwa sesajen adalah
berupa suguhan yang tidak diperbolehkan, karena menyuguhkan terhadap hal
yang ghaib dan tidak terlihat secara kasat mata. Tetapi semua itu tergantung
pada niat masing-masing orang yang mempercayai dan menggunakannya,
kalau sekedar untuk menghargai keberadaan makhluk lain maka hal demikian
dibolehkan.1
Sesajen merupakan syarat untuk melengkapi isi pendaringan dan
digunakan pada acara-acara tertentu termasuk pada saat walimahan. Tradisi
sesajen yang dipercayai oleh masyarakat Desa Samudera Jaya sebenarnya
berasal dari Jawa, karena masyarakat yang pertama ada di Desa Samudera
Jaya adalah orang Jawa maka dari itu tradisi ini diabadikan dan dijadikan
ritual adat pada saat mengadakan acara walimatul „ursy.2
1
Makmur, Paranormal Desa Samudera Jaya, Wawancara Pribadi, Desa Samudera Jaya, tgl 15 Februari 2011.
2
Namun dilengkapi lagi pengertian sesajen oleh orang yang biasa
bertugas menunggu pendaringan (ngandang beras) pada saat walimatul „ursy,
ibu Rodiah yang memegang peranan penting pada acara walimatul „ursy
mengatakan bahwa sesajen adalah isi sesajian yang terdiri dari nasi tumpeng,
nasi putih, nasi kuning, rokok djinggo atau lisong, kue atau jajanan pasar
sebanyak tujuh rupa, pisang, dan banyak jenis makanan lain yang disediakan
pada waktu-waktu tertentu.3 Dilengkapi lagi makna sesajen oleh ibu Jami
yang mempunyai peranan yang sama dengan ibu Rodiah, yaitu sesajen
diartikan pemberian suguhan berupa makanan dan minuman kepada orang
yang telah meninggal dunia. Kalau zaman dahulu sesajen sering disebut
ancak, tetapi sesajen atau ancak sama saja. Makanan dan minuman yang
disediakan untuk sesajen tergantung kepada yang disukai orang yang sudah
meninggal tersebut.4
Dalam pengetahuan masyarakat Desa Samudera Jaya tentang sesajen
menurut bapak Lihan sebagai petua dan sesepuh Desa Samudera Jaya
menjelaskan bahwa tidak semua masyarakat Desa Samudera Jaya mengetahui
sesajen, terutamanya sesajen yang digunakan pada acara walimatul „ursy.
Karena pada masyarakat Desa Samudera Jaya juga tidak semua berasal dari
keturunan Jawa, kalau diklasifikasikan mungkin hampir 65% masyarakat
3
Rodiah, Penunggu Pendaringan (Ngandang Beras), Wawancara Pribadi, Desa Samudera Jaya, tgl 17 Februari 2011.
4
Desa Samudera Jaya yang berasal dari keturunan Jawa dan 35% lagi
masyarakat dari etnis lain betawi misalnya. Dan untuk masyarakat yang
keturunan Jawa sudah pasti semuanya mengetahui tentang tradisi sesajen yang
digunakan pada saat walimatul „ursy. 5
Pengetahuan masyarakat Desa Samudera Jaya tentang sesajen menurut
bapak Makmur selaku petua dan paranormal Desa Samudera Jaya juga
membenarkan bahwa sekarang ini masyarakat yang berada di Desa Samudera
Jaya tidak semua mengetahui, karena tradisi sesajen ini agak sedikit tergeser
keberadaannya. Hal tersebut karena sesuai berkembangnya zaman. Jadi, ada
generasi mudanya yang menganggap hal semacam itu adalah perbuatan yang
mubazir dan hanya membuang-buang biaya saja. Tidak seperti pola fikir
orang-orang tua yang masih hidup pada saat ini, orang tua menganggap tidak
baik kalau kita tidak menghargai peninggalan tradisi sesajen karena sesajen
banyak menjelaskan tentang ajaran-ajaran menghargai sesama makhluk baik
yang nampak ataupun tidak nampak. Namun, masyarakat yang menggunakan
sesajen tetap saja masih dikategorikan mayoritas.
Tidak hanya mengetahui arti dari sesajen saja, masyarakat Desa
Samudera Jaya menjadikan sesajen merupakan sebuah tradisi.6 Menurut bapak
Lihan sesajen memang sudah dijadikan tradisi oleh masyarakat Desa
5
Lihan, Sesepuh Desa Samudera Jaya, Wawancara Pribadi, Desa Samudera Jaya, tgl 11 Februari 2011.
6
Samudera Jaya terutama untuk acara walimatul „ursy. Alasannya sangat
banyak sekali, diantaranya untuk meminta berkah dan terhindar dari
gangguan-gangguan yang tidak diinginkan pada saat walimahan berlangsung.7
Menurut bapak Makmur bahwa sesajen memang benar sudah
dijadikan tradisi, walaupun pada kenyataanya sekarang ini ada yang tidak
menggunakannya lagi tetapi tetap saja yang menggunakan mempunyai
kedudukan terbanyak karena masih banyak orang tua yang tahu tentang tradisi
sesajen ini yang masih hidup.8
Hal tersebut dipertegas juga oleh bapak Lihan yang berkedudukan
sebagai orang yang benar-benar dituakan oleh masyarakat Desa Samudera
Jaya. Orang-orang tua yang masih hidup mewariskan tradisi sesajen walimatul
„ursy kepada anak cucunya atau keturunan-keturunan selanjutnya.9
Bapak Makmur juga mengatakan ada alasannya mengapa sesajen
sampai dijadikan tradisi yaitu sejak berdirinya Desa Samudera Jaya penduduk
yang ada pada saat itu adalah berasal dari keturunan Jawa, di mana
sebenarnya tidak hanya ketika ada walimatul „ursy saja masyarakat yang ada
di Desa Samudera Jaya menggunakan sesajen tetapi dalam hal lain juga. Hal
tersebut dinyatakan berdasarkan pengetahuan sejarah bapak Makmur tentang
masyarakat yang berada di Desa Samudera Jaya