EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH
DI KABUPATEN BATU BARA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Ilmu Administrasi Negara
Oleh :
ANISSA SILVIA DEWI 110903005
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat penulis
selesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus di penuhi untuk
memperoleh gelar Sarjana (S-1) pada Departemen Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelsaikan skripsi
ini, namun penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat
kekurangan baik dari segi isi maupun penulisannya. Akhirnya Alhamdulillah
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Evaluasi Dampak Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kabupaten Batu Bara”.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan
dan bimbingan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Ucapan terima
kasih yang sebesar – besarnya penulis ucapkan kepada pihak yang turut
menemani mulai dari saya berada di bangku pendidikan maupun pada saat
penyusunan skripsi terutama kepada :
1. Kedua orangtua ku yang senantiasa tak pernah letih mengajari dan
membesarkanku dengan penuh kasih sayang, kesabaran, dan perhatian
kalian. Terima kasih mamak ayah untuk jasa yang gak pernah bisa anak –
anakmu balaskan karna jasa kedua orangtua tak bisa di bayar dengan
apapun. Doakan semoga anak – anakmu bisa membanggakan orang
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara
4. Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara sekaligus Dosen Penasehat Akademik selama
perkuliahan.
5. Bapak Drs. Kariono, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Arlina, SH,M.Hum selaku Dosen Penguji dalam Ujian Meja Hijau. 7. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Ilmu Administrasi Negara atas
pengabdian dan dedikasinya menyumbangkan ilmu dan mendidik penulis
selama menuntut ilmu di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Ruzan Siswa Yudha selaku Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan BAPPEDA Kabupaten Batu Bara yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan
informasi maupun data selama penelitian.
9. Kak Mega dan Kak Dian yang telah membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi dan memberikan segala informasi dari departemen.
kecilku Wahyu belajar yang rajin anak lanang semata wayang. Juga terima kasih Cakbanban untuk semangat yang di kasih selama ini.
11.Buat sahabatku Vivinong alias vivin dan Zikrong alias zikra yang dari awal kulia sampek sekarang udah jadi patner terbaik. Semangat untuk jadi
orang kaya kita yaa
12.Terlebih lebih untuk gengges “the kuriks” ditha, tiwi, nisa, zikra, vivin, putri, henny, santo, fariz, dan amin selaku teman senasib seperjuangan melewati masa magang dan melawan kuriks berhari hari, susah senang
selama nyusun laporan magang. Dan seluruh AN’11 salam semangat!
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat di sebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan
dampak positif bagi pembacanya.
Medan, 23 Maret 2015
ABSTRAK
EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH DI KABUPATEN BATU BARA
Nama : Anissa Silvia Dewi
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Kariono, M.Si
Pemekaran wilayah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan landasan pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Kebijakan menjadi daerah otonom dipilih oleh pemerintah daerah karena dianggap mampu mengelola keseluruhan potensi daerahnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Batu Bara serta untuk mengetahui dampak pemekaran wilayah dari aspek peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pelaksanaan pembangunan daerah, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi dan percepatan pengelolaan potensi daerah. Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data – data yang di dapat dengan analisa deskriptif kualitatif adalah dengan menggambarkan obyek sesuai data dan informasi yang diperoleh di lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kebijakan menjadi daerah otonom oleh Kabupaten Batu Bara memberikan dampak yang sangat baik untuk daerah itu sendiri. Banyak perkembangan yang terjadi secara signifikan pada beberapa sektor sejak pemekaran ini berjalan walaupun masih ada yang berjalan biasa saja. Pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara harus lebih mampu untuk mengelola potensi daerahnya. Sehingga, kebijakan pemekaran wilayah oleh Kabupaten Batu Bara betul memberikan dampak yang positif untuk masyarakatnya dan menjadikan Kabupaten Batu Bara lebih baik.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ……….. v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1
1.2 Rumusan Masalah ……….. 5
1.3 Tujuan Penelitian ……… 6
1.4 Manfaat Penelitian ……….. 7
1.5 Kerangka Teori ……….. 7
1.5.1 Kebijakan Publik ………. 8
1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ……… 8
1.5.1.2 Proses Analisis Kebijakan ……… 10
1.5.2 Implementasi Kebijakan ………. 12
1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan ……… 12
1.5.2.2 Model Implementasi Kebijakan ……….. 13
1.5.3 Evaluasi Kebijakan ………. 18
1.5.3.1 Pengertian Evaluasi Kebijakan ……… 18
1.5.3.3 Indikator Evaluasi ……… 21
1.5.3.4 Evaluasi Dampak Kebijakan ... 22
1.5.3.5 Pendekatan terhadap Evaluasi ………. 23
1.5.4 Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah …... 24
1.5.4.1 Pengertian Otonomi Daerah ……… 24
1.5.4.2 Pengertian Pemekaran Wilayah ………... 26
1.5.4.2.1 Latar Belakang terjadinya Pemekaran Wilayah ... 31
1.5.4.2.2 Syarat Pemekaran Wilayah ……… 33
1.5.4.3.2 Indikator Evaluasi Pemekaran Wilayah ………… 35
1.6 Definisi Konsep ……….. 38
1.7 Definisi Operasional ………... 39
1.8 Sistematika Penulisan ………... 40
BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian ………... 41
2.2 Lokasi Penelitian ……….... 41
2.3 Informan Penelitian ……….... 42
2.4 Teknik Pengumpulan Data ………. 43
2.5 Teknik Analisis Data ……….. 44
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Batu Bara ... 45
3.1.1 Sejarah Kabupaten Batu Bara ... 45
3.1.2 Keadaan Geografis ... 52
3.1.3 Demografi Penduduk dan Ketenagakerjaan ... 56
3.1.4 Struktur Pemerintahan... 59
3.2.1 Visi dan Misi Bappeda Kabupaten Batu Bara ... 62
3.2.2 Struktur Organisasi ... 64
3.2.3 Tugas Pokok dan Fungsi ... 65
3.2.4 Program Kerja ... 67
3.3 Gambaran Umum Dinas Pendapatan Kabupaten Batu Bara ... 68
3.4 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kabupaten Batu Bara ... 69
3.4.1 Visi dan Misi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kabupaten Batu Bara ... 69
3.4.2 Struktur Organisasi ... 70
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 72
4.1.1 Deskripsi Hasil Wawancara ... 73
4.1.2 Deskripsi Data Sekunder ... 79
4.1.2.1 Aspek Ekonomi ... 79
4.1.2.2 Aspek Infrastruktur ... 86
4.1.2.3 Aspek Sosial ... 92
4.2 Pembahasan ... 94
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 102
5.2 Saran ... 103
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) setelah Berlakunya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 ... 29
Tabel 3.1 Letak dan Geografi Kabupaten Batu Bara ... 55
Tabel 3.2 Luas Wilayah Kecamatan dan Rasio Terhadap Luas Kabupaten ... 55
Tabel 3.3 Perkiraan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Batu Bara ... 57
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Batu Bara 2010 – 2013 ... 58
Tabel 4.1 Anggaran Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten Batu Bara 2013 ... 81
Tabel 4.2 Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto (%) Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009 – 2013 ... 83
Tabel 4.3 Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Kabupaten Batu Bara Tahun 2008 – 2012 ... 85
Tabel 4.4 Banyaknya Kendaraan Kabupaten Batu Bara Tahun 2009 – 2013 ... 86
Tabel 4.5 Produksi Pos Menurut Jenisnya di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009 – 2013 ... 88
Tabel 4.7 Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman Kabupaten Batu Bara Tahun 2009 – 2013 ... 90
Tabel 4.8 Banyaknya Perusahaan Industri Besar/Sedang Menurut Kecamatan di Kabupaten Batu Bara Tahun 2009 – 2013 ... 91
Tabel 4.9 Fasilitas Pendidikan Umum Kabupaten Batu Bara ... 92
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Model Implementasi Van Meter Van Horn ... 15
Gambar 1.2 Model Implementasi George Edwards ... 16
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pengajuan Judul Skripsi 2. Surat Permohonan
3. Surat Penunjukkan Dosen Pembimbing 4. Undangan Seminar Proposal
5. Jadwal Seminar Proposal 6. Daftar Hadir Seminar Proposal 7. Berita Acara Seminar Proposal
8. Surat Izin Penelitian Fakultas ke Bappeda Kabupaten Batu Bara 9. Surat Keterangan Selesai Penelitian
10.Laporan Bimbingan Skripsi
ABSTRAK
EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH DI KABUPATEN BATU BARA
Nama : Anissa Silvia Dewi
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Drs. Kariono, M.Si
Pemekaran wilayah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan landasan pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batu Bara yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan. Kebijakan menjadi daerah otonom dipilih oleh pemerintah daerah karena dianggap mampu mengelola keseluruhan potensi daerahnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Batu Bara serta untuk mengetahui dampak pemekaran wilayah dari aspek peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pelaksanaan pembangunan daerah, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi dan percepatan pengelolaan potensi daerah. Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data – data yang di dapat dengan analisa deskriptif kualitatif adalah dengan menggambarkan obyek sesuai data dan informasi yang diperoleh di lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kebijakan menjadi daerah otonom oleh Kabupaten Batu Bara memberikan dampak yang sangat baik untuk daerah itu sendiri. Banyak perkembangan yang terjadi secara signifikan pada beberapa sektor sejak pemekaran ini berjalan walaupun masih ada yang berjalan biasa saja. Pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara harus lebih mampu untuk mengelola potensi daerahnya. Sehingga, kebijakan pemekaran wilayah oleh Kabupaten Batu Bara betul memberikan dampak yang positif untuk masyarakatnya dan menjadikan Kabupaten Batu Bara lebih baik.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Undang – Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa setiap
warga negara berhak untuk mendapatkan kesejahteraan secara merata disegala
aspek kehidupan. Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diikuti
dengan kebijakan pemekaran daerah mengakibatkan perubahan pola
perkembangan wilayah. Sehubungan dengan ditetapkannya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan pada dasarnya merupakan
revisi dari Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang hal
yang sama. Revisi atas Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini bertujuan
untuk menyegarkan pelaksanaan otonomi daerah yang mengandalkan
kemandirian dan kemajuan daerah. Hal paling awal yang diatur dalam Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan
Khusus, dimana pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa
daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah
menjadi dua daerah atau lebih.
Otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan
keadaan, baik dalam maupun diluar negeri, serta tantangan persaingan global.
Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan peraturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta potensi dan
keanekaragaman Daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sebagai konsekuensi dari ditetapkannya Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2004, dimana Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang demikian
luas oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri,
termasuk didalamnya adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat di
daerahnya. Besarnya keinginan daerah untuk membentuk daerah otonom
disebabkan oleh keinginan daerah untuk ikut serta dalam memajukan dan
mengembangkan potensi wilayahnya berdasarkan prakasa dan aspirasi sendiri.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang “Persyaratan
Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah”
disebutkan bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui: (1) peningkatan pelayanan kepada masyarakat,
(2) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, (3) percepatan pelaksanaan
pembangunan ekonomi daerah, (4) peningkatan keamanan dan ketertiban, serta
(5) peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.
Pemekaran daerah diasumsikan mampu mempercepat pertumbuhan
ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal. Dengan dikembangkannya
daerah baru, pemerintah setempat memiliki peluang untuk menggali berbagai
potensi ekonomi daerah yang selama ini tidak tergali. Pemekaran daerah juga
memungkinkan terciptanya usaha-usaha baru yang mampu menyerap tenaga
diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendukung proses
pemerataan dalam pembangunan
Namun, pemekaran yang terjadi seringkali di nilai tidak dapat mencapai
tujuan pemekaran bahkan berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri terkait
dengan pemekaran daerah menyebutkan, sekitar 70 persen dari 57 daerah baru
masuk dalam pemerintahan gagal berkembang, yang setidaknya di lihat dalam
tiga tahun pertama pemisahan. Oleh karena itu dengan pemekaran daerah
diharapkan meningkatkan dinamika kemandirian daerah yang pada akhirnya
bermanfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama
otonomi. Bukan sebaliknya bahwa pemekaran daerah telah menguras energi
pemerintah Provinsi dan prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan di daerah
(Suara APPSI, 2007).
Seperti halnya dengan Kabupaten Asahan di Provinsi Umatera Utara yang
hendak mengembangkan daerahnya dengan melakukan pemekaran Kabupaten
menjadi kabupaten Batu Bara. Hal ini dibenarkan dengan adanya Undang
-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pembentukan
Kabupaten Batu Bara Di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Batubara
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Asahan dan beribukota di Kecamatan
Limapuluh yang merupakan salah satu dari 16 kabupaten dan kota baru yang
dimekarkan dalam kurun tahun 2006. Pada pertengahan tahun 2007 berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2007 tanggal 15 Juni 2007
tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Asahan dimekarkan
dikeluarkan keputusan Bupati Asahan Nomor 196-Pem/2007 mengenai penetapan
Desa Air Putih, Suka Makmur dan Desa Gajah masuk dalam wilayah Kecamatan
Meranti Kabupaten Asahan. Sebelumnya ketiga desa tersebut masuk dalam
wilayah kecamatan Sei Balai Kabupaten Batu Bara, namun mereka memilih
bergabung dengan Kabupaten Asahan.
Melihat potensi yang ada di Kabupaten Batu Bara, pemerintah daerah
harus mampu mengembangkan potensi – potensi tersebut terutama dalam
memanfaatkan potensi sumber daya alam seperti kawasan pariwisata dan
perusahaan tambang yang sangat terkenal bahkan sudah ke mancanegara sebagai
pengekspor aluminium dari PT.Inalum yang menjadi keunggulan kabupaten ini.
Alasan ini juga menjadi salah satu faktor Kabupaten Batu Bara ingin
mengembangkan daerahnya dengan menjadi daerah otonom dan memisahkan diri
dari Kabupaten Asahan karena memang Kabupaten Bara mempunya banyak
potensi alam yang bisa dikembangkan dan mensejahterakan masyarakatnya.
Sejak dicetuskannya kembali pada tahun 1999 usaha dan keinginan
masyarakat Batu Bara ini di tolak oleh Pemerintah Kabupaten Asahan melalui
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah
(PROPEDA) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan peraturan
Pemerintah yang lebih tinggi. Isi PROPEDA tersebut tertuang pada angka 2 (dua)
pada kegiatan pokok program pembangunan daerah menyebutkan “ Upaya
rasional pola berfikir masyarakat melalui pendekatan persuasive, khususnya
terhadap provokasi memisahkan diri dari wilayah kabupaten Asahan, serta
ekonomi yang terjadi pasca otonomi daerah memang menunjukkan perubahan ke
arah yang lebih positif.
Memperhatikan hal tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai dampak kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Bata Bara. Sehingga peneliti ingin melihat apakah
tujuan awal dari pemekaran wilayah tersebut berhasil atau belum berhasil.
Sehingga peneliti tertarik untuk mengambil judul “evaluasi dampak kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Batu Bara”.
1.2 Rumusan Masalah
Pemekaran wilayah selalu dibayangi oleh tingginya tuntutan dan harapan
masyarakat akan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Hal tersebut tidak lepas
dari tujuan pemekaran wilayah yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui indikator percepatan pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pendapatan daerah.
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup permasalahan pada
indikator evaluasi kebijakan pemekaran wilayah di Kabupaten Batu Bara.
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka yang menjadi
pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana keberhasilan
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai tujuan yang hendak
dicapai dalam proses penyelenggaraannya. Adapun yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Secara Umum yaitu untuk mengevaluasi kebijakan pemekaran wilayah
yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Batu Bara.
b. Secara Khusus yaitu :
Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah.
Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.
Percepatan pengelolahan potensi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara Subjektif, penelitian ini berguna sebagai sarana untuk melatih dan
mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan
untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah melalui sebuah kajian
literatur sehingga diperoleh kesimpulan yang teruji dan bermanfaat.
2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dan referensi terhadap mahasiswa konsentrasi Kebijakan di Departemen
Ilmu Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara yang tertarik dalam
3. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menambah pengalaman,
pengetahuan, dan mengevaluasi bagaimana kebijakan pemekaran wilayah
di Kabupaten Batu Bara.
1.5 Kerangka Teori
Menurut Singarimbun teori merupakan serangkaian asumsi, konsepsi,
konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara hubungan antar konsep.
Dengan adanya teori, peneliti dapat memahami secara jelas masalah yang
akan diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.5.1 Kebijakan Publik
1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari bahasa Yunani “polis”
berarti negara, kota yang kemudian masuk kedalam bahasa Latin menjadi
“politia” yang berarti negara. Kemudian masuk kedalam bahasa Inggris “policy” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah – masalah publik atau
administrasi pemerintahan. Kebijakan (policy) adalah istilah yang tampaknya
banyak disepakati bersama. Wilson (1887) makna modern gagasan “kebijakan”
dalam Bahasa Inggris ini adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung
tujuan politik yang berbeda dengan makna “administrasi”. Sejak pasca Perang
Dunia II, kata policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale,
kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rsional untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Chandler & Plano (1988) berpendapat bahwa “kebijakan publik adalah
pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah – masalah publik atau pemerintahan”.
Easton (1969) memberikan pengertian kebijakan publik sebagai
“pengalokasian nilai – nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang
keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai – nilai kepada masyarakat”.
Sedangkan menurut James E. Anderson kebijakan publik sebagai
“kebijakan – kebijakan yang dibangun oleh badan – badan dan pejabat – pejabat
Berbagai implikasi dari pengertian diatas ini adalah bahwa kebijakan
publik memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang
berorientasi tujuan.
2. Berisi tindakan – tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.
3. Merupakan apa yang benar – benar dilakukan oleh pemerintah.
4. Bersifat positif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negatif
dalam arti kepuasan itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau perundang – undangan yang
bersifat memaksa.
Jones (1997) menekankan studi Kebijakan Publik ini pada 2 (dua) proses,
yaitu :
a. Proses – proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah – masalah
itu sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan
masalah, dan bagaimana tindakan pemerintah.
b. Refleksi tentang bagaimana seorang bereaksi terhadap masalah – masalah,
terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik (public
1.5.1.2 Proses Analisis Kebijakan Publik
Proses analaisis kebijakan secara umum merupakan suatu proses kerja
yang meliputi lima komponen informasi kebijakan yang saling berkaitan dan
dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagai teknik analisis
kebijakan (Dunn, 1994).
Tahapan analisis kebijakan publik menurut Dunn, yaitu :
1. Agenda Setting, tahapan penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan kali adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan.
Pada hakekatnya permasalahan ditemukan melalui proses problem
structuring. Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan?
2. Policy Formulation, pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap para analisis kebijakan
publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa
sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan
yang lain. Bagaimana mengembangkan pilihan – pilihan atau alternatif –
alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa – siapa saja yang
berpsrtisipasi dalam formulasi kebijakan?
3. Policy Adoption, tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Bagaimna alternatif
ditetapkan? Persyaratan atau criteria apa yang harus dipersiapkan? Siapa
yang melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah
4. Policy Implementation, pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit – unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan
memobilisikan sumber dana dan sumber daya lainnya ( teknologi dan
manajemen ) dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Siapa yang
terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan?
5. Policy Evaluation, tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam
penilaian ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai
dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan
dengan ukuran yang telah ditentukan. Bagaimana tingkat keberhasilan atau
dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa
konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk
melakukan pembatalan atau perubahan?
1.5.2 Implementasi Kebijakan
1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu
kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementsai maka suatu kebijakan yang
telah dirumuskan akan sia – sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan
mempunyai kedudukan yang penting didalam Kebijakan Publik.
Jones (1977) menganalisis masalah pelaksanaan Kebijakan dengan
mendasarkan pada konsepsi kegiatan – kegiatan fungsional. Jones mengemukakan
bebrapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program – program
– aktor yang terkait, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan
lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang
melibatkan secara terus menerus usaha – usaha untuk mencari apa yang akan
dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan – kegiatan
yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang
diinginkan.
Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan
adalah :
1. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2. Organisasi yaitu merupakan unit – unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.
3. Penerapan yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain – lainnya.
1.5.2.2 Model Implementasi Kebijakan
Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik ini dikenal dengan
beberapa model, antara lain :
a. Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Meter dan Horn, ada 6 faktor yang mempengaruhi kinerja
implementasi kebijakan, yakni :
1. Standard kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan
2. Sumberdaya kebijakan berupa dana pendukung implementasi,
3. Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan
oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai,
4. Karakteristik pelaksanaan artinya karakteristik organisasi
merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya
suatu program,
5. Kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil
kebijakan, dan
6. Sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan
ditetapkan.
Gambar 1.1. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn Komunikasi antar
organisasi dan kegiatan pelaksanaan
Ukuran dan tujuan kebijakan
Ciri badan pelaksana
Sumber – sumber kebijakan
Lingk. Enonomi,sosial, dan politik
Prestasi kerja
b. Model George Edward
Pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan, dari
sebuah intisari dan menanyakan:
1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi
kebijakan?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor
yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan
yaitu faktor communication, resources, disposition, dan bureucratic structure.
Gambar 1.2. : Model implementasi George Edwards
a) Komunikasi
Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya
adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang
mereka kerjakan. Jika para pembuat keputusan kebijakan ini berkehendak untuk
melihat yang diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana rinciannya, maka
mungkin akan timbul kesalah pahaman diantara pembuat kebijakan dan
Komunikasi yang tidak cukup juga memberikan implementor dengan
kewenangan ketika mereka mencoba untuk membalik kebijakan umum untuk
menjadi kebijakan khusus
b) Sumberdaya
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Edward mengemukakan bahwa:
Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan
aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau
aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan efektif.
Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan
untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan.
c) Disposisi
Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga didalam
pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi
adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu
apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini
melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi
kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat
kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi
tidak akan terlaksana dengan baik.
d) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu
mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme,
dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur
(SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar
dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan.
Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan
terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan
aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.
1.5.3 Evaluasi Kebijakan
1.5.3.1 Pengertian Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus
kebijakan. Pada umumnya evaluasi kebijakan dilakukan setelah kebijakan public
tersebut diimplementasikan. Ini tentunya dalam rangka menguji tingkat
keberhasilan dan kegagalan keefektifan dan keefisienannya.
Badjuri dan Yuwono (2002) mengemukakan bahwa tahapan yang cukup
evaluasi dengan baik. Namun dmikian substansi kebijakan tersebut ternyata tidak
tersapai secara efektif, bahkan sebagian lagi mengalami kegagalan. Oleh karena
itu, studi evaluasi ini penting khususnya dalam rangka penanaman urgensi
pencapaian tujuan substansial dari sebuah kebijakan, dan bukan formalitas
semata.
Dalam melakukan evaluasi kebijakan publik secara umum ada tiga aspek
yang diharapkan dari seorang evaluator jkebijakan, yaitu:
1. Aspek perumusan kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya untuk
menemukan jawaban bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan
dirumuskan.
2. Aspek implementasi kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya
mencari jawaban bagaimana kebijakan itu dilakukan.
3. Aspek evaluasi dimana analis atau evaluator berusaha untuk mengetahui
apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak
yang diinginkan maupun dampak yang tidak diinginkan.
Berbicara mengenai jenis atau tipe kebijakan, Heath (1997) membedakan evaluasi
kebijakan publik atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
1. Tipe evaluasi proses, dimana evaluasi ini dilakukan dengan memusatkan
perhatian pada pertanyaan bagaimana program dilaksanakan?
2. Tipe evaluasi dampak, dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab
pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai dari program?
3. Tipe evaluasi strategi, dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari
jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksnakan secara
dengan program – program lain yang ditujukan pada masalah yang sama
sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.
Menurut Finsterbusch dan Motz (1980) ada empat jenis evaluasi berdasarkan
kekuatan kesimpulan yang diperolehnya yaitu :
1. Evaluasi Single Program after – only, dimana dalam hal ini evaluator
langsung membuat penilaian terhadap tindakan kebijakan.
2. Evaluai Single program before – after, dimana evaluasi ini dilakukan
untuk menutupi kelemahan dari evaluasi single program after – only.
3. Evaluasi comparative after – before, dimana evaluasi didesain untuk
melakukan evaluasi dari dampak kebijakan.
1.5.3.2 Tujuan Evaluasi
Evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut :
1. Menetukan tingkat kerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat
diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan
2. Mengukur tingkat efisiensi kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat
diketahui beberapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.
3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan
evaluasi adalah mengukur beberapa besar dan kualitas pengeluaran atau
output dari suatu kebijakan.
4. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi
ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif
5. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan
untuk mengetahui adanya penyimpangan – penyimpangan yang mungkin
terjadi dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan
pencapaian target.
1.5.3.3 Indikator Evaluasi
Menurut Subarsono, untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu
dikembangkan beberapa indikator, karena penggunaan indikator yang tunggal
akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya dapat bias dari yang
sesungguhnya. Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan oleh Dunn
mencakup lima indikator sebagai berikut :
a. Efektivitas : penilaian terhadap efektivitas ditujukan untuk menjawab
ketetpatan waktu pencapaian hasil/tujuan. Parameternya
adalah ketepatan waktu. Apakah hasil yang diinginkan telah
dicapai?
b. Kecukupan : penilaian terhadap kecukupan ditujukan untuk melihat sejauh
mana tingkat pencapaian hasil dapat memcahkan masalah.
Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan
masalah?
c. Pemerataan : penilaian terhadap pemerataan ditujukan untuk melihat manfaat
dan biaya dari kegiatan terdistribusi secara proporsional untuk
aktor – aktor yang terlibat. Apakah biaya dan manfaat
didistribusikan merata kepada kelompok yang berbeda?
d. Responsivitas : penilaian terhadap responsivitas ditujukan untuk melihat hasil
Apakah hasil kebijakan memuat preferensi atau nilai
kelompok dan dapat memuaskan mereka?
e. Ketepatan : penilaian terhadap ketepatan ditujukan untuk mengetahui
kegiatan atau rencana tersebut memberikan hasil dan manfaat
pada target grup apakah hasil yang dicapai bermanfaat?
1.5.3.4 Evaluasi Dampak Kebijakan
Untuk keperluan jangka panjang dan kepentingan berkelanjutan suatu
program, evaluasi sangat diperlukan. Dengan evaluasi kebijakan – kebijakan
kedepan akan lebih baik dan tidak mengurangi kesalahan yang sama. Evaluasi
dampak memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan dampak
kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya, sekalipun yang terakhir
ini tidak dikesampingkan dari penelitian evaluatif. Dalam kaitannya dengan
dampak, perlu dipahami adanya dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak
diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika
kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja
yang terjadi. Diantara dampak – dampak yang diduga akan terjadi, ada dampak
yang diharapkan dan tidak diharapkan.
Sehingga dapat disimpulakan bahwa evaluasi dampak kebijakan
merupakan suatu proses untuk menilai atau mengukur tingkat kinerja sebuah kebijakan termasuk isi, implentasi dan dampaknya.
Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi yang
semuanya harus diperhitungkan dalam melakukan evaluasi terhadap suatu
1. Dampak pada masalah publik yang merupakan tujuan dari dampak
kelompok sasaran.
2. Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada kelompok lainnya,
diluar kelompok sasaran.
3. Dampak kebijakan pada dimensi waktu sekarang dan waktu yang akan
dating.
1.5.3.5 Pendekatan terhadap Evaluasi
Menurut Dunn (1994) ada tiga jenis pendekatan terhadap evaluasi :
1. Evaluasi formal, adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid
mengenai hasil – hasil kebijakan berdasarkan sasaran program kebijakan
yang telah ditetapkan secara formal.
2. Evaluasi semu, adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid
mengenai hasil – hasil kebijakan, tanpa menanyakan manfaat atau nilai
dari hasil kebijakan tersebut pada individu, kelompok, atau masyarakat.
3. Evaluasi proses keputusan teoritis, adalah pendekatan evaluasi yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat
dipercaya dan valid mengenai hasil – hasil kebijakan yang secara eksplisit
1.5.4 Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 1.5.4.1 Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa
Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan
namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai
kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan
guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian otonomi daerah menurut Vincent Lemius, adalah: “Kebebasan
(kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun
administasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi
daerah tedapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun apa yang menjadi
kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan
nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi”
Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang dijelaskan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah
pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu : Pada dasarnya, prinsip otonomi
daerah harus mencerminkan tiga hal, yaitu (1) harus serasi dengan pembinaan
politik dan kesatuan bangsa, (2) dapat menjamin hubungan yang serasi antara
pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, (3) harus dapat
menjamin perkembangan dan pembangunan daerah (Andi, 2007). Jadi dalam
konteks otonomi daerah, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus
sesuai dengan peraturan negara yang berlaku. Artinya daerah otonom tetap berhak
menjalankan wewenang dan mengurus urusannya tanpa mengabaikan kepentingan
negara atau merusak bingkai dasar kesatuan negara.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus
Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan
kebijaksanaan sendiri.
Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
1.5.4.2 Pengertian pemekaran wilayah
Wilayah adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki karakteristik
tertentu dan berbeda dengan wilayah yang lain. Istilah lain dari wilayah yang
umum digunakan dalam memahami konsep wilayah adalah region.
Berikut ini beberapa pengertian wilayah yang diungkapkan oleh para ahli geografi:
Menurut Cressey : Wilayah (region) adalah keseluruhan dari lahan, air,
udara, dan manusia dalam hubungan yang saling menguntungkan. Setiap
region merupakan satu keutuhan (entity) yang batasnya jarang ditentukan
secara tepat.
Menurut A. I. Herbertson : Wilayah adalah suatu kesatuan yang
kompleks dan tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, dan manusia yang
dipandang dari hubungan mereka yang khusus yang secara bersama-sama
membentuk suatu ciri tertentu di atas permukaan bumi.
Menurut Taylor : Wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu satuan area
di permukaan bumi yang dapat dibedakan dengan area lain melalui
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang
Rencana: Tata Ruang Wilayah Nasional: Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/aspek
fungsional.
Berbicara mengenai pemekaran wilayah, tentu saja tidak terlepas dari
wacana desentralisasi khususnya, desenralisasi politik. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi ke empat (2008) desentralisasi dapat diartkan sebagai :
sistem pemerntahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah
daerah, penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat
kepada cabang, dsb). Dari sisi fungsional, pengakuan adanya hak kepada
seseorang atau golongan untuk mengurus hal-hal tertentu di daerah ; kebudayaan,
pengakuan adanya hak kepada golongan kecil dalam masyarakat untuk
menyelenggarakan budaya sendiri di daerah ; politik, pengakuan adanya hak
untuk mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan politik di daerah
yang dipilih oleh rakyat di daerah tertentu”.
Berdasarkan sejarah perkembangannya, pemekaran wilayah di Indonesia
sesungguhnya telah terjadi sejak lama yaitu ketika munculnya zaman kerajaan-
kerajaan di nusantara. Pada saat itu, wilayah kekuasaan suatu kerajaan akan
dimekarkan lebih disebabkan karena terjadi konflik ditubuh kerajaan induk atau
yang biasa disebut konflik antar keluarga karajaan maupun karena kalah dalam
peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak tatkala penjajah Belanda mulai
karesidenan maupun district (setingkat kabupaten)1 yang ditujukan sebagai alat
kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak tentara Indonesia.
Pemekaran daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi
dua atau lebih daerah otonom. Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang
nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2
dinyatakan daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, namun
setelah Undang - Undang Nomor 22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang
nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran
wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai
adalah Pemekaran Daerah.
Tabel 1.1 Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) setelah Berlakunya UU No. 22/1999
Alasan mendasar terjadi pemekaran daerah adalah peningkatan
kesejahteraan rakyat lokal. Selama ini sumber daya cenderung ditarik ke daerah
induk hingga daerah yang jauh dari pusat kekuasaan tertinggal. Realitas yang
terjadi seringkali karena pemekaran daerah sebab kepentingan elite untuk
mendapatkn kekuasaan karena mereka kalah dalam suatu pilkada. Ketidakpuasan
terhadap kepemimpinan yang didominasi oleh etnis tertentu seringkali dijadikan
alasan.
Menurut Sumodiningrat, berkaitan dengan pemberian otonomi kepada
daerah maka perlu memperhatikan unsur – unsur sebagai berikut, yakni : (1)
Kemantapan lembaga, (2) Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai,
khususnya aparat pemerintah daerah dan (3) Potensi ekonomi daerah untuk
menggali sumber pendapatannya sendiri.
Pembentukan Kabupaten Batu Bara berawal dari keinginan masyarakat di
wilayah eks Kewedanan Batu Bara untuk membentuk sebuah kabupaten Otonom.
Upaya dimaksud sudah dirintis sejak tahun 1957, namun akibat dinamika politik
nasional hingga akhir tahun 60-an (1969) masyarakat Batu Bara kembali
mengaspirasikan bergabungnya 5 (lima) kecamatan yang ada dalam sebuah
kabupaten Batu Bara, maka dibentuklah Panitia Pembentukan Otonom Batu Bara
(PPOB) yang di prakarsai oleh salah seorang tokoh masyarakat yang pernah
menjadi anggota DPRD Asahan. PPOB ini berkedudukan di jalan Merdeka
Kecamatan Tanjung Tiram. Karena Undang-undang Otonom belum di keluarkan
Kegiatan perekonomian di Kabupaten Batubara yang ditunjukan dengan
PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, pada tahun 2002 menunjukkan
peningkatan sebesar 4,05%. Angka ini menunjukkan bahwa dibandingkan tahun
sebelumnya terjadi kenaikan angka PDRB sebesar 4,05% dengan menganggap
harga konstan pada tahun 2000.Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu
sebesar 4.57%, tahun2004 dan 2005 pertumbuhan ekonomi cenderung melambat
dari 3,97 menurun menjadi 2,30% dipengaruhi adanya penebangan/konversi
tanaman perkebunan di beberapa wilayah.Namun pada berikutnya yakni
2006-2007 kembali naik menjadi 3,73% sampai 4,01%. Selanjut pada tahun2008 terus
meningkat mencapai 4,55%.
1.5.4.2.1 Latar Belakang terjadinya Pemekaran Wilayah
Menurut hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi
Daerah – Lembaga Administrasi Negara (2005) terhadap 14 propinsi dan 28
kabupaten/kota, ada beberapa alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran
daerah, diantaranya:
a) Alasan pelayanan, pemekaran daerah dianggap mampu meningkatkan
pelayanan publik kepada masyarakat karena sistem birokrasi yang lebih
kecil dibanding daerah induk yang memiliki cakupan pelayanan yang
lebih luas.
b) Alasan ekonomi, pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat
pembangunan ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal yang
selama ini belum dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah induk.
publik sehingga suara masyarakat di daerah yang bersangkutan dapat
terakomodasi dan tersampaikan dengan baik.
d) Alasan anggaran, pemekaran daerah diharapkan dapat memberikan
anggaran yang besar bagi daerah otonom baru untuk melakukan
pembangunan di daerahnya.
e) Alasan historis dan kultural.
Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian
wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan
dan mempercepat pembangunan.
Tarigan (2005) mengatakan bahwa suatu wilayah dapat diklasifikasikan
berdasarkan tujuan dari pembentukan wilayah itu sendiri. Dasar dari perwilayahan
dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, di Indonesia dikenal
wilayah kekuasaan pemerintahan, seperti provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan, desa/keluarahan dan dusun/lingkungan.
2. Berdasarkan kesamaan kondisi (homogenity), yang paling umum adalah
kesamaan lokasi fisik. Misal, adanya klasifikasi desa berupa desa pantai,
desa pendalaman dan desa pegunungan. Bisa juga pembagian berupa
wilayah pertanian dan wilayah industri, wilayah perkotaan dengan daerah
pedalaman. Cara pembagian lainnya juga berdasarkan kesamaan sosial
budaya. Misalnya, daerah-daerah dibagi menurut suku mayoritas, agama,
adat istiadat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan mayoritas
3. Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi, perlu ditetapkan terlebih
dahulu beberpa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besar rankingnya,
kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan.
Batas pengaruh antara satu kota dengan kota lainnya hanya dapat
dilakukan untuk kota-kota yang sama rankingnya, kota yang lebih kecil itu
senantiasa berada dibawah pengaruh kota yang lebih besar.
4. Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini ditetapkan
batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program
atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk kedalam suatu perencanaan
untuk tujuan khusus. Suatu wilayah perencanaan dapat menebus beberapa
wilayah administrasi berdasarkan kebutuhan dari perencanaan tersebut.
1.5.4.2.2 Syarat – syarat Pemekaran Wilayah
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam
pembentukan daerah baru, setiap daerah harus mampu memenuhi tiga syarat
yaitu:
1. Syarat administratif. Syarat administratif meliputi persetujuan DPRD
Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah
provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur serta
rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
2. Syarat teknis. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar
pembentukan daerah yang mencakup kemampuan ekonomi, potensi
keuangan, luas daerah, pertahanan, keamanan serta faktor lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
3. Syarat fisik kewilayahan. Syarat ini berhubungan dengan wilayah yang
akan dimekarkan, lokasi calon ibu kota serta sarana dan prasarana
pemerintahan. Dalam pembentukan Provinsi, wilayah baru harus meliputi
minimal lima kabupaten/kota dan dalam pembentukan Kota, wilayah baru
harus meliputi minimal empat kecamatan.
Selain syarat diatas, Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 juga
mencantumkan syarat-syarat pembentukan daerah dengan aspek penilaian sebagai
berikut :
Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha
perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari produk domestik regional bruto
(PDRB) dan penerimaan daerah.
Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat
dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah
dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari: (1) lembaga
keuangan, (2) sarana ekonomi, (3) sarana pendidikan, (4) sarana
kesehatan, (5) sarana transportasi dan komunikasi, (6) sarana pariwisata,
dan (7) ketenagakerjaan.
Sosial budaya, berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya
masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat diukur dari
tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya dan sarana
Sosial politik, merupakan cerminan kondisis sosial politik masyarakat
yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan
organisasi kemasyarakatan.
Jumlah penduduk, berkaitan dengan jumlah penduduk daerah yang
bersangkutan.
Luas daerah, berkaitan dengan luas daerah yang bersangkutan.
Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
1.5.4.2.3 Indikator evaluasi pemekaran wilayah
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang “Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan” dijelaskan
bahwa definisi evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi
masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan
standard. Evaluasi dilakukan berdasarkan sumberdaya yang digunakan serta
indikator dan sasaran kinerja keluaran untuk kegiatan dan atau indikator/sasaran
kinerja hasil untuk program.
Dalam pelaksanaan pemekaran wilayah untuk dapat mewujudkan
terselenggaranya otonomi daerah maka dalam Bab II pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan
Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah disebutkan tujuan
pemekaran daerah yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui :
a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat
d. Percepatan pengelolahan potensi daerah
Perkembangan suatu wilayah merupakan integral pertumbuhan setiap
sistem yang terdiri dari sosial, ekonomi, infrastruktur, berkurangnya kesenjangan
antar wilayah, serta terjaganya kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah
(Riyadi, 2002).
a. Aspek Infrastruktur
Keberhasilan pembangunan dapat diukur dari ketersediaan dan
kecukupan serta kemampuan sarana dan prasarana yang mempunyai peranan
penting terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sistem infrastruktur dapat
didefinisikan sebagai fasilitas – fasilitas atau struktur – struktur dasar, peralatan –
peralatan, instalasi – instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk
berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat. Definisi teknik juga
memberikan spesifikasi apa yang dilakukan sistem infrastruktur dan mengatakan
infrastruktur adalah aset fisik yang dirancang dalam sistem, sehingga memberikan
pelayanan publik yang penting.
Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi,
pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung, dan fasilitas publik lain yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan
ekonomi. Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem
sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
Ketercapaian tujuan pembangunan antara lain dapat dilihat dari
pendapatan nasional perkapita, pengurangan jumlah penduduk miskin, dan tingkat
pengangguran. Makin tinggi tingkat pendapatan perkapita menunjukkan makin
berhasil pembangunan yang dicapai. Sementara itu, makin sedikit jumlah
penduduk miskin maka makin berhasil pembangunan tersebut. Dalam praktek
perhitungan pendapatan perkapita di suatu daerah sering direpresentasikan oleh
Produk Domestik Regional Bruto perkapita. Pendapatan regional adalah seluruh
pendapatan yang diperoleh oleh penduduk suatu daerah dalam satu tahun tertentu.
Sedangkan pendapatan regional perkapita adalah pendapatan regional dibagi
jumlah penduduk.
c. Aspek Sosial
Keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan dapat dilihat dalam sektor
pendidikan dan kesehatan. Keberhasilan pembangunan dilihat dari indikator
kinerja sektor pendidikan adalah adanya kesempatan bagi masyarakat usia didik
untuk mendapat pendidikan yang layak secara kualitas dan kuantitas. Faktor
manusia merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi yang
menekankan pada efisiensi. Para ahli ilmu ekonomi modern menyebutkan
pembentukan modal insani, yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan seluruh penduduk negara yang bersangkutan.
Dalam mengetahui perkembangan suatu wilayah dari aspek sosial, kemiskinan
(poverty) merupakan indikator yang digunakan dalam menilai perkembangan
1.6 Definisi konsep
Menurut Singarimbun konsep merupakan istilah dan definisi yang
dipergunakan untuk menjabarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau
individu tertentu yang menjadi pusat perhatian. Dalam sebuah penelitian
diperlukan sebuah konsep untuk mempermudah dan memberikan batasan masing
– masing yang digunakan. Konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Kebijakan publik adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis
rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang
ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
b. Implementasi Kebijakan adalah suatu proses yang dinamis yang
melibatkan secara terus menerus usaha – usaha untuk mencari apa yang
akan dapat dilakukan.
c. Evaluasi Kebijakan adalah salah satu tahapan penting dalam siklus
kebijakan. Pada umumnya evaluasi kebijakan dilakukan setelah kebijakan
publik tersebut diimplementasikan.
d. Pemekaran wilayah Kabupaten Batu Bara, merupakan suatu proses
pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan
meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan yang diharapkan
dapat menciptakan kemandirian daerah. Serangkaian tindakan pemerintah
yang dilaksanakan dengan tujuan untuk pembentukan Kabupaten Batu
Bara sebagai daerah otonom berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 129
1.7 Definisi Operasional
Definisi operasional menurut Singarimbun adalah unsur – unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Dengan kata
lain, defenisi operasional adalah petunjuk pelaksanaan bagaimana cara mengukur
suatu variabel. Adapun indikator yang digunakan peneliti untuk melakukan
evaluasi terhadap pemekaran wilayah yang dijadikan pedoman dalam mengukur
keberhasilan daerah tersebut adalah :
a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah.
c. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi.
d. Percepatan pengelolahan potensi daerah.
Dalam penelitian ini pemekaran Kabupaten Batu Bara juga dapat diukur dengan
indikator menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 dimana
1.8 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari enam Bab, diantaranya adalah:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat dan menjelaskan latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, hipotesis, defenisi konsep, dan sistematika
penulisan.
BAB II : METODE PENELITIAN
Pada bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi
dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor, dan
teknik analisis data.
BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Pada bab ini memuat gambaran umum atau karakteristik lokasi
peneliatan.
BAB VI : HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari
lapangan berupa dokumen – dokumen dan data yang akan diteliti
kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan korelasi
hubungan antar variabel.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini memuat kesimpulan dan saran yang diperoleh dari
BAB II
METODE PENELTIAN
2.1 Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Singarimbun
penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat suatu
penjelasan, gambaran, atau lukisan sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta –
fakta, sifat – sifat serta fenomena yang diselidiki. Analisis dilakukan terhadap data
yang diperoleh berdasarkan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data dan
informasi.
2.2 Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi dalam melakukan penelitian, maka dilakukan pada beberapa instansi terkait dengan indikator dari evaluasi pemekaran
wilayah:
No. INDIKATOR EVALUASI LOKASI PENELITIAN
1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T) Kabupaten Batu Bara.
4. Percepatan pengelolahan potensi daerah
2.3 Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif diperlakukan informan penelitian agar setiap
informasi didapat secara detail oleh peneliti. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan informan kunci (key informan) dan informan utama. Informan
kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok
yang diperlukan dalam penelitian, sedangkan informan utama adalah mereka yang
terlibat langsung dalam interaksi sosial yang sedang diteliti.
Informan kunci dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Pendapatan
Daerah Kabupaten Batu Bara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Kabupaten Batu Bara, Kepala Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T)
Kabupaten Batu Bara.
Informan utama adalah seluruh staf pada badan atau dinas diatas yang
bertanggungjawab terkait masalah yang diteliti.
2.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan – keterangan dan data
– data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Teknik pengumpulan data primer, yaitu teknik pengumpulan data yang
dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian sesuai dengan masalah
yang diteliti. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara:
b. Wawancara (Interview), yaitu memberikan pertanyaan langsung
kepada sejumlah pihak yang terkait dengan masalah tersebut.
2. Teknik pengumpulan data sekunder, yaitu pengumpulan data yang
diperoleh melalui catatan – catatan tertulis lainnya yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan
dengan cara:
a. Studi Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh
dari buku – buku, karya ilmiah, serta pendapat para ahli yang
berkompetensi dan memiliki relevansi dengan masalah yang
diteliti.
b. Studi Dokumentasi, yaitu teknik yang digunakan dengan menelaah
catatan – catatan tertulis, atau dalam bentuk dokumen, arsip yang
menyangkut masalah yang diteliti yang berhubungan dengan
instansi terkait.
c. Browsing, yaitu pencarian bahan – bahan yang relevan dengan masalah yang diteliti melalui media internet.
2.5 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan mengelompokkan, membuat suatu
urutan, memanipulasi serta menyingkat data sehingga mudah untuk membuat
suatu deskripsi.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
data kualitatif. Teknik analisa data kualitatif dilakukan dengan menyajikan data
keabsahan serta menafsirkannya dengan analisis kemampuan daya nalar peneliti
untuk membua kesimpulan.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
3.1 Gambaran Umum Kabupaten Batu Bara 3.1.1 Sejarah Kabupaten Batu Bara
Negeri Batu Bara bermula dari kedatangan orang – orang dalam satu
rombongan berasal dari negeri pagaruyung dan negeri simalungun, dibawah
pimpinan seorang datuk berasal dari pagaruyung, sumatera barat, bernama datuk
belambangan dengan istrinya putri penguasa simalungun dari marga damanik
pada tahun 1676 – 1680. Datuk belambangan adalah anak dari raja bujang yang
ayahnya bernama raja gamuyang. Penguasa negeri alam melayu minangkabau
yang pusat kuasanya pada masa itu ada di pagaruyung dalam luak tanah datar.
Raja Belambangan adalah bagian dari raja nan balimo penguasa negeri di
luak (kaum) lima puluh koto, paya kumbuh. Datuk belambangan meninggalkan
negerinya menuju daerah pesisir laut selat malaka, mengambil jalan darat, melalui
ujung luak kepala rantau agam pasaman rao simalungun. Hubungan yang
digunakan pada zaman itu dari minangkabau ke negeri – negeri yang terletak
dipesisir selat malaka dilakukan melalui pagaruyung ke sijangek, sungai tarap,
barulak, piladang, seterusnya ke payakumbuh, tanjung patih, lubuk bangku, ulu
air, lubuk jantan, dan sampai dipinggir sungai kapuk dipangkalan. Perjalanan