• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum Sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum Sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau Di Kota Medan"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM

SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU

DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

RATRI UTAMI

087003057/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K O L A H

P A

S C

(2)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM

SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU

DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RATRI UTAMI

087003057/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Ratri Utami

Nomor Pokok : 087003057

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza) Ketua

(Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP) (Ir. Jeluddin Daud, M.Eng)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza

Anggota : 1. Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP

2. Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

(5)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MEDAN

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP dan Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRAK

Taman Pemakaman Umum adalah fasilitas yang berfungsi ganda yaitu sebagai fasilitas sosial (pemakaman) dan fasilitas umum (Ruang Terbuka Hijau). Tetapi keberadaannya sangat minim. TPU yang dikelola Pemerintah yang belum penuh hanya TPU Kristen di Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan. Sedangkan TPBU khususnya TPU Muslim sudah banyak yang penuh dan menggunakan sistem tumpang dan tidak bertambah dalam 20 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut dalam tesis ini mencoba menganalisis berapa jumlah TPU yang dibutuhkan berikut luasannya untuk 20 tahun ke depan di Kota Medan dan persentasenya dalam mendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan.

Analisis Kebutuhan TPU sebagai pendukung RTH ini dicari dengan menggunakan 3 metode analisis. Metode pertama dengan menggunakan pedoman pemerintah yang ada, metode kedua dengan mempertimbangkan Angka Kematian Kasar, dan metode ketiga dengan mempertimbangkan Angka Harapan Hidup. Kemudian didapat luasan masing, dicari kelemahan dan kelebihan masing-masing metode dan dipilih metode yang paling sesuai dalam menentukan luas Taman Pemakaman Umum untuk menjadi acuan bagi pemerintah daerah.

Hasil tesis ini menunjukkan bahwa pengadaan TPU oleh pemerintah sudah sangat mendesak. Jumlah luasan yang dihasilkan berbeda secara signifikan berdasarkan ketiga metode tersebut. Metode yang direkomendasikan adalah metode perhitungan Taman Pemakaman Umum dengan melalui Angka Kematian Kasar karena dianggap paling mewakili angka kematian yang sesungguhnya.

(6)

ANALYSIS OF REQUIREMENT LAND PUBLIC CEMETERY AS SUPPORTING GRENNLY OPEN AREA IN MEDAN CITY

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP and Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRACT

Cemetery Area is viewed as public facility with multiple function namely for social facility (for burial) and public facility (Greenly Open Area). It is recognized the existence is very minim. The public cemetery (TPU) as provided by Local Administration that has been not fully filled namely cemetery of TPU Kristen at Simalingkar B area Kec. Medan Tuntungan. Whereas TPU for Moslem mostly has been fulled filled and apply it with re-use and it should be never added within last 20 years. This paper deals with analyzing the existences of TPU cemetery and what number is required with the width particularly for leading 20 years in Medan City and in what percentage it could support to the local government program in Open Area in Greenly for this city.

The Analysis for requirement of TPU as supporting to Greenly Program in this case adopted as 3 analysis methods, firstly by using a governmental programs available, and the second method by considering in Crude Death Ratio, and other method is considering a Hopefully Living rate. Then, it was taken each width, and also to find there is any weakness and advantages for each method and at last to find the most appropriate method in determining the width of Public Cemetery as the guidance for Local Administration.

The result of this study showed that providing TPU as public cemetery by local government is urged to do. Total width to generate is seemly significantly different based on the three methods. It is precisely the method as recommended to know the requirement for Public Cemetery width Crude Death Ratoi, since it has been the most representative for the mortality rate to exist.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadiarat Alloh SWT karena atas segala kebaikanNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan”.

Pengambilan judul ini terinspirasi dari Almarhumah Ibunda tercinta yang telah berpulang 2 tahun yang lalu dimana karena keterbatasan lahan dimakamkan secara tumpang dengan kerabat dekat yang telah berpulang terlebih dahulu. Semoga hasil tesis ini dapat dibaca oleh Pemerintah Kota Medan khususnya Para Pengambil Keputusan sehingga Keberadaan Taman Pemakaman Umum dapat dianggap penting dan dapat disediakan.

Tesis ini tidak selesai begitu saja tetapi atas bantuan banyak pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghormatan yang sangat besar kepada:

1. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, selaku ketua Komisi Pembimbing yang banyak memberikan inspirasi dan masukan demi kesempurnaan tesis ini kepada penulis.

3. Bapak Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP, yang telah banyak memberikan bimbingan, pola pikir yang sistematis dan pemikiran-pemikiran yang cerdas terhadap pengembangan wilayah.

(8)

5. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, selaku salah satu Dosen Pembanding sekaligus penguji tesis yang telah memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan tesis ini.

6. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku salah satu Dosen Pembanding sekaligus penguji tesis yang telah memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan tesis ini.

7. Suami dan Anak-anak tercinta yang telah mendukung dan ikhlas sebagian waktu penulis tersita untuk penyelesaian tesis dan kegiatan rutin di kantor. Semoga semua ini tidak sia-sia dan dapat menjadikan keluarga kita keluarga yang kuat, sukses dan bahagia dunia dan akhirat.

8. Almarhumah Ibunda tercinta, penulis yakin dalam rindu-Mu di alam sana Engkau terus mendoakan kebahagiaan anak-anakmu di dunia...semoga kelak kita dapat berkumpul kembali dan menghilangkan seluruh rindu ini...dengan bahagia.

9. Bapak, terimakasih atas semua dukungan semoga Allah memberikan kesehatan serta keimanan yang terus bertambah menuju kebahagiaan yang hakiki dunia dan akhirat. Saudara-saudaraku tercinta Kak Wiwik, Suri, Ari, Arif dan Indah semoga kesuksesan demi kesuksesan terus mengalir dengan Ridho Alloh SWT. 10. Pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian kuliah,

penyelesaian tesis dan pekerjaan kantor sehingga satu demi satu penulis dapat menyelesaikan tanggung jawab dengan tepat waktu.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat tidak saja bagi pengembangan ilmu tetapi bagi Pemerintah Daerah khusunya Kota Medan agar serius dalam pengadaan Taman Pemakaman Umum bagi warganya, Wassalam...

Medan, Februari 2011

(9)

Ratri Utami RIWAYAT HIDUP

Ratri Utami lahir di Medan pada tanggal 6 Januari 1975, anak ke-2 dari 6 bersaudara dari Bapak H. Haditomo, BBA dan Alm. Hj. Suwarti.

Pendidikan penulis dimulai dari SDN 101786 Helvetia lulus tahun 1987, SMPN 1 Labuhan Deli Helvetia lulus tahun 1990 dan SMUN 3 Medan lulus tahun 1993 serta kuliah di Institut Teknologi Nasional Malang jurusan Planologi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan lulus tahun 1998.

(10)
(11)
(12)

 4.3.3   Analisis Luasan Taman Pemakaman Umum menurut 

      Angka diluar Angka Harapan Hidup ... 102 

   4.3.4   Perbandingan Kebutuhan Berdasarkan 3 Metode         yang digunakan ...   105 

   4.3.5   Kontribusi/Persentase Luasan terhadap RTH yang         Diwajibkan...   111 

4.4 Analisis Pembagian Perwilayahan untuk Kebutuhan        Luasan TPU ...   112 

4.5   Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum Kawasan       Medan Utara ... 123 

   4.5.1   Orientasi Wilayah ...   123 

       4.5.2   Penggunaan Lahan ... 123 

   4.5.3   Analisis Kebutuhan Luasan Pembebasan Lahan         Untuk Kawasan Medan Utara ...   125 

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

5.1    Kesimpulan ...   135 

5.2 Saran ... 137

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Jenis Permukaan dan Besaran Koefisien Pengaliran ... 16

2.2 Pemanfaatan Pohon dan RTH pada Perbaikan Kualitas Lingkungan... 20

2.3 Kepemilikan RTH ... 22

2.4 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 24

2.5 Kreteria Pemeliharaan Tanaman pada Persimpangan Jalan... 36

2.6 Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api... 39

2.7 Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET ... 41

4.1 Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan ... 61

4.2 Sebaran Jumlah Taman di Kota Medan ... 65

4.3 Taman Pemakaman Umum yang dikelola Pemko Medan ... 69

4.4 Rencana Luas dan Sebaran Penggunaan Lahan Kota Medan Tahun 2030 74

4.5 Proyeksi Kebutuhan RTH Publik di Kota Medan Tahun 2030... 79

4.6 Luas dan Kepadatan Penduduk Kota Medan menurut Kecamatan Tahun 2009 ... 82

4.7 Struktur Penduduk menurut Agama per Kecamatan di Kota Medan Tahun 2009 ... 83

4.8 Penduduk di atas Usia 51 Tahun diluar Angka Harapan Hidup ... 87

4.9 Rencana Struktur Pelayanan Kota Medan Tahun 2030 ... 89

4.10 Jumlah Penduduk 5 Tahun Terakhir Kota Medan Tahun 2005-2009... 90

4.11 Angka Pertumbuhan Penduduk 5 Tahun Terakhir Kota Medan Tahun 2005 – 2009 ... 92

4.12 Proyeksi Penduduk Kota Medan Tahun 2011-2031 ... 93

(14)

4.14 Kebutuhan TPU Berdasarkan Pedoman Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau ... 97 4.15 Luasan TPU Berdasarkan Angka Kematian Kasar Rata-Rata (Mortality

Rate) Kota Medan Tahun 2031 ... 103 4.16 Luasan TPU Berdasarkan Angka Diluar Angka Harapan Hidup Kota

Medan Tahun 2031 ... 105 4.17 Perbandingan Taman Pemakaman Umum Berdasarkan

Perbandingan 3 Metode Analisis ... 108 4.18 Luas Taman Pemakaman Umum Berdasarkan Jenis AKK Rata-Rata,

Agama dan Perwilayahan Tahun 2031 ... 117 4.19 Luas Taman Pemakaman Umum Berdasarkan Usia di Luar Angka

Harapan Hidup, Agama dan Perwilayahan Tahun 2031... 119 4.20 Luas Per Kecamatan di Kawasan Medan Utara Tahun 2009... 124 4.21 Kondisi Pemakaman Umum dan Sisa Lahan

Pemakaman di Kawasan Medan Utara Kota Medan... 127 4.22 Luas yang Dibebaskan menurut AKK Rata-Rata dan

Jenis Agama di Kecamatan Medan Utara Tahun 2030... 130 4.23 Luas yang Dibebaskan menurut Angka Diluar Angka Harapan Hidup

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Contoh RTH Publik... 21

2.2 Contoh RTH Privat... 22

2.3 Contoh Taman Pemakaman Umum ... 46

2.4 Bagan Alir Kontribusi Persentase Pemakaman Bagi Penyediaan RTH... 52

2.5 Bagan Alir Kebutuhan TPU sebagai Pendukung RTH ... 53

4.1 Peta Wilayah Administrasi Kota Medan ... 62

4.2 Peta Penggunaan Lahan Eksisting ... 64

4.3 Peta Rencana Pola Ruang Kota Medan Tahun 2010-2030 ... 71

4.4 Angka Harapan Hidup Kota Medan Tahun 2006-2009 ... 84

4.5 Peta Pembagian Kota Medan atas 4 Wilayah serta Luas TPU berdasarkan AKK ... 121

4.6 Peta Pembagian Kota Medan atas 4 Wilayah serta Luas TPU berdasarkan AHH ... 122

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

(17)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MEDAN

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP dan Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRAK

Taman Pemakaman Umum adalah fasilitas yang berfungsi ganda yaitu sebagai fasilitas sosial (pemakaman) dan fasilitas umum (Ruang Terbuka Hijau). Tetapi keberadaannya sangat minim. TPU yang dikelola Pemerintah yang belum penuh hanya TPU Kristen di Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan. Sedangkan TPBU khususnya TPU Muslim sudah banyak yang penuh dan menggunakan sistem tumpang dan tidak bertambah dalam 20 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut dalam tesis ini mencoba menganalisis berapa jumlah TPU yang dibutuhkan berikut luasannya untuk 20 tahun ke depan di Kota Medan dan persentasenya dalam mendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan.

Analisis Kebutuhan TPU sebagai pendukung RTH ini dicari dengan menggunakan 3 metode analisis. Metode pertama dengan menggunakan pedoman pemerintah yang ada, metode kedua dengan mempertimbangkan Angka Kematian Kasar, dan metode ketiga dengan mempertimbangkan Angka Harapan Hidup. Kemudian didapat luasan masing, dicari kelemahan dan kelebihan masing-masing metode dan dipilih metode yang paling sesuai dalam menentukan luas Taman Pemakaman Umum untuk menjadi acuan bagi pemerintah daerah.

Hasil tesis ini menunjukkan bahwa pengadaan TPU oleh pemerintah sudah sangat mendesak. Jumlah luasan yang dihasilkan berbeda secara signifikan berdasarkan ketiga metode tersebut. Metode yang direkomendasikan adalah metode perhitungan Taman Pemakaman Umum dengan melalui Angka Kematian Kasar karena dianggap paling mewakili angka kematian yang sesungguhnya.

(18)

ANALYSIS OF REQUIREMENT LAND PUBLIC CEMETERY AS SUPPORTING GRENNLY OPEN AREA IN MEDAN CITY

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP and Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRACT

Cemetery Area is viewed as public facility with multiple function namely for social facility (for burial) and public facility (Greenly Open Area). It is recognized the existence is very minim. The public cemetery (TPU) as provided by Local Administration that has been not fully filled namely cemetery of TPU Kristen at Simalingkar B area Kec. Medan Tuntungan. Whereas TPU for Moslem mostly has been fulled filled and apply it with re-use and it should be never added within last 20 years. This paper deals with analyzing the existences of TPU cemetery and what number is required with the width particularly for leading 20 years in Medan City and in what percentage it could support to the local government program in Open Area in Greenly for this city.

The Analysis for requirement of TPU as supporting to Greenly Program in this case adopted as 3 analysis methods, firstly by using a governmental programs available, and the second method by considering in Crude Death Ratio, and other method is considering a Hopefully Living rate. Then, it was taken each width, and also to find there is any weakness and advantages for each method and at last to find the most appropriate method in determining the width of Public Cemetery as the guidance for Local Administration.

The result of this study showed that providing TPU as public cemetery by local government is urged to do. Total width to generate is seemly significantly different based on the three methods. It is precisely the method as recommended to know the requirement for Public Cemetery width Crude Death Ratoi, since it has been the most representative for the mortality rate to exist.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan hasil KTT bumi di Rio de Janeiro (1992) dan Johannesburg (2002) telah disepakati luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota yang sehat, minimal 30% dari total luas kota secara keseluruhan. Hal ini telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 29 ayat 1 – 3 tentang Penataan Ruang dimana ditetapkan bahwa luas RTH perkotaan minimal sebesar 30% dari luas kota keseluruhan (Ruang Terbuka Hijau Harus Diprioritaskan/Bataviase.co.id. 19 Januari 2011). Besaran 30% tersebut terdiri dari 20% untuk RTH Publik dan 10% untuk RTH Privat. Pembagiannya terdiri dari jalur hijau jalan 6%, RTH Taman 12,5% dan RTH fungsi tertentu 1,5%. Taman Pemakaman Umum adalah bagian dari RTH tertentu.

(20)

Taman Pemakaman Umum keberadaannya memiliki fungsi ganda. Pertama, selain memiliki fungsi sosial (fasilitas sosial) yaitu tempat memakamkan jenazah yang kedua juga berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau (fasilitas umum) untuk peresapan air, mengurangi polusi udara, suara, penyerap panas dan penyerap kebisingan serta pendukung ekosistim. Berdasarkan hal tersebut sudah seharusnya keberadaannya diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah.

Perkembangan Kota Medan Metropolitan yang sangat pesat dengan jumlah penduduk 2.121.053 jiwa pada akhir tahun 2009 (BPS Kota Medan, 2010) berbanding lurus dengan angka kematian. Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat tersebut telah diikuti dengan pertambahan fasilitas perumahan tetapi tidak diikuti dengan penambahan fasilitas pemakaman (Taman Pemakaman Umum).

(21)

tentang Pedoman pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman).

TPBU khususnya TPBU Muslim umumnya adalah hasil tanah wakaf yang sudah puluhan tahun dan banyak yang sudah penuh. Pada makam hasil tanah wakaf tersebut banyak ditemukan satu makam ditempati oleh lebih dari 1 jenazah yang biasanya adalah makam kerabatnya terdahulu yang sudah berumur lebih dari 15 tahun (sistem tumpang). Satu kavling dengan kavling berikutnya tidak memiliki jarak, tidak tertata dan pengunjung sangat sulit untuk berjiarah karena tidak adanya akses jalan menuju ke masing-masing makam. Kemudian ditemukan di beberapa lokasi bahwa karena adanya keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah masyarakat secara swadaya membeli tanah untuk pemakaman di luar wilayah administrasi Kota Medan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan adanya kewajiban pemerintah untuk menyediakan Ruang Terbuka Hijau dan Taman Pemakaman Umum bagi penduduknya.

Atas dasar latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis mencoba menganalisis kebutuhan pemakaman dengan judul “Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan.

1.2. Perumusan Masalah

(22)

1. Berapa luas TPU yang dibutuhkan saat ini maupun 20 tahun mendatang (tahun 2031) berdasarkan metode perhitungan menurut pedoman pemanfaatan RTH, menurut angka kematian dan angka harapan hidup?

2. Bagaimana kelemahan dan kelebihan dari penggunaan 3 metode yaitu dengan menggunakan metode analisis kebutuhan TPU berdasarkan pedoman pemerintah, dengan menggunakan metode angka kematian kasar dan metode angka harapan hidup? Dan metode apa yang direkomendasikan dalam menghitung kebutuhan luas TPU.

3. Bagaimana sistem pembagian struktur perwilayahan untuk kebutuhan luasan TPU di Kota Medan sampai tahun 2031?

4. Bagaimana contoh perhitungan luas TPU yang perlu ditambah sampai tahun 2031 apabila luasan pemakaman TPBU yang tersisa masih diperhitungkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan ini adalah:

1. Menganalisis berapa luas TPU yang dibutuhkan saat ini maupun 20 tahun mendatang (tahun 2031) berdasarkan metode perhitungan menurut pedoman pemanfaatan RTH, menurut angka kematian dan angka harapan hidup.

(23)

merekomendasikan metode alternative terpilih dalam menghitung kebutuhan luas TPU.

3. Menganalisis bagaimana sistem pembagian struktur perwilayahan untuk kebutuhan luasan TPU di Kota Medan sampai tahun 2031.

4. Menganalisis bagaimana contoh perhitungan luas TPU yang perlu ditambah sampai tahun 2031 apabila luasan pemakaman TPBU yang tersisa masih diperhitungkan?

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya sebagai pengembangan ilmu tetapi bermanfaat bagi Pemerintah khususnya Pemerintah Kota Medan untuk membangun Taman Pemakaman Umum yang sangat dibutuhkan masyarakat. Adapun manfaat secara spesifik adalah:

1. Menemukan metode yang tepat secara alamiah dalam menentukan standard dan pedoman penyusunan penentuan luasan Taman Pemakaman Umum bagi pemerintah khususnya Pemerintah Kota Medan dan umumnya Pemerintah Indonesia;

(24)

3. Dengan disediakan Taman Pemakaman Umum 20 tahun kedepan Pemerintah daerah selain memenuhi kebutuhan yang berfungsi sosial bagi masyarakat juga telah berupaya memenuhi RTH perkotaan yang ditetapkan minimal sebesar 30% dari total luas keseluruhan.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kematian 2.1.1 Pengertian

Menurut konsep kematian terdapat 3 keadaan vital yang masing-masing

bersifat mutually exclusive, artinya keadaan yang satu tidak mungkin terjadi

bersamaan dengan salah satu keadaan lainnya. Tiga keadaan vital tersebut (Utomo,

1997) ialah:

1. Lahir hidup (live birth)

Lahir hidup yaitu, peristiwa keluarnya hasil konsepsi dari rahim seorang ibu

secara lengkap tanpa memandang lainnya, kehamilan dan setelah perpisahan

tersebut terjadi, hasil konsepsi bernafas dan mempunyai tanda-tanda kehidupan

lainnya, seperti denyut jantung, denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan otot,

tanpa memandang tali pusat sudah dipotong atau belum.

2. Mati (death)

Mati adalah hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa

terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.

(26)

Lahir mati yaitu menghilangnya tanda–tanda kehidupan dari hasil konsepsi

sebelum hasil konsepsi tersebut dikeluarkan dari rahim ibunya.

2.1.2. Ukuran Kematian

Ukuran kematian yang dipakai dalam tesis ini adalah : Crude Death Rate

(CDR) / Angka Kematian Kasar (AKK).

Angka Kematian Kasar adalah angka yang menunjukkan berapa besarnya

kematian yang terjadi pada suatu tahun tertentu untuk setiap 1000 penduduk (Data

Statistik Indonesia – Kematian Umum, Senin 29 November 2010). Angka ini disebut

kasar sebab belum memperhitungkan umur penduduk. Penduduk tua mempunyai

resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang masih muda.

Angka Kematian Kasar adalah indikator sederhana yang tidak

memperhitungkan pengaruh umur penduduk. Akan tetapi kalau tidak ada indikatkor

kematian yang lain ini berguna untuk memberikan gambaran mengenai keadaan

kesejahteraan penduduk pada suatu tahun yang bersangkutan. Apabila dikurangkan

dari Angka Kelahiran Kasar akan menjuadi dasar perhitungan pertumbuhan penduduk

alamiah.

Defenisi:

Angka Kematian Kasar adalah angka yang menunjukkan banyaknya kematian

(27)

D Rumus: CDR = x K

P

Dimana:

CDR = Crude Death Rate (Angka Kematian Kasar)

D = Jumlah kematian (death) pada tahun tertentu

P = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun tertentu

K = Bilangan konstan 1000

Umumnya data tersedia adalah ”jumlah penduduk pada satu tahun tertentu”

maka jumlah dapat sebagai pembagi. Kalau ada jumlah penduduk dari 2 data dengan

tahun berurutan, maka rata-rata kedua data tersebut dapat dianggap sebagai penduduk

tengah tahun.

Contoh:

Data dari Susenas 2003 tercatat sebanyak 767.740 kematian, sedangkan

jumlah penduduk pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 214.370.096 jiwa.

Sehingga Angka kematian yang terhitung adalah sebesar 3,58. Artinya, pada tahun

2003 terdapat 3 atau 4 kematian untuk tiap 1000 penduduk.

2.2. Model Demografi Proyeksi Penduduk Terpilih

Untuk menghitung proyeksi jumlah kematian penduduk diawali dengan

memproyeksikan jumlah penduduk. Proyeksi jumlah penduduk diawali dengan

perhitungan jumlah penduduk 20 tahun kedepan dengan data jumlah penduduk 4-5

(28)

penduduk dalam Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai landasan

teori adalah: Metode Eksponensial (Bunga Berganda)

Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan proyeksi jumlah penduduk

adalah Metode The Exponential Growth Model (Oppenheim, 1980). Metode

Eksponensial (Bunga Berganda) menggunakan asumsí tingkat perubahan jumlah

setiap tahunnya tidak konstan, terdapat faktor-faktor yang dapat mempercepat tingkat

pertumbuhan penduduk. Metode ini memiliki rumus sebagai berikut :

Pn = Po ( 1+ r)n

Dimana:

Pn = Jumlah penduduk pada tahun ke n

Po = Jumlah penduduk para tahun awal

r = tingkat pertumbuhan penduduk (%)

n = Periode waktu (tahun ke- n)

2.3. Ruang Terbuka Hijau

Secara defenitif Ruang Terbuka Hijau atau biasa disingkat RTH adalah area

memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,

tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja

ditanam (Permen PU Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan). RTH terdiri dari RTH

Lindung (RTHL) dan RTH Binaan.

RTH Lindung adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk

(29)

terbuka/umum, didominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alamiah atau tanaman

budidaya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan,

hutan lindung, hutan wisata, hutan bakau dan sebagainya.

RTH Binaan adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk

areal memanjang/jalur atau mengelompok dimana penggunaannya bersifat

terbuka/umum, dengan permukaan tanah didominasi oleh perkerasan buatan dan

sebagian kecil tanaman. RTH Binaan terdiri dari RTH Binaan Publik dan RTH

Binaan Privat.

Kondisi keberadaan RTH seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan

aktivitas kota, pemenuhannya menjadi pilihan terakhir untuk ditangani. Hal ini karena

ruang ini dianggap tidak memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi sebuah kota.

Taman dianggap sebagai sekumpulan pohon tidak berguna, hanya karena

pohon-pohon tersebut banyak yang lebih berat unsur estetisnya. Tidak menghasilkan

buah-buahan ataupun kayu yang langsung dapat dimanfaatkan (Fireza, 2001). Oleh karena

itu penggunaan ruang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka

pemanfaatannya akan selalu berada pada posisi yang paling optimal, artinya

kebutuhan-kebutuhan ruang yang sifatnya non ekonomis/publik masih

dinomorduakan.

Menurut Sihite dan Ismaun (1996) disebutkan bahwa RTH dalam tata ruang

kota termasuk dalam kategori pelengkap, sehingga fungsi RTH dianggap kurang

(30)

berkurangnya luasan RTH, jumlah luasan tidak memenuhi persyaratan jumlah dan

kualitas. Akibat langsung yang dirasakan adalah:

1. menurunnya tingkat kenyamanan kota;

2. meningkatnya pencemaran udara, suara dan air;

3. menurunnya ketersediaan air tanah, karena berkurangnya daerah-daerah resapan

dan dampak lebih luas mudahnya terjadi bencana banjir;

4. menurunnya kapasitas dan daya dukung wilayah;

5. meningkatnya masalah kesehatan (pencemaran udara dan air);

6. menurunnya keindahan kota, karena ketiadaan taman/pohon-pohonan.

2.3.1. Pola Pengembangan RTH di Beberapa Kota Besar

Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara

maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, RTH ditata

dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding-dinding dan

lahan-lahan pertanian seperti lembah sungai Efrat dan Tigris dan taman tergantung

Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak dan

taman-taman perumahan (Hakim, 2000).

Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora Forum,

Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya

dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang sedang berkuasa pada saat itu.

(31)

yang glamour dengan plazza, piazza dan square yang luas dan hiasan deteil serta

menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan

dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan Kota Paris menjadi panutan

dunia.

Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota

skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem RTH kota.

Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan

profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.

Tahun 1898 seorang panitera hukum Ebenezer Howard mempublikasikan

bukunya ‘Garden Cities of Tomorrow’ yang di dalamnya mengungkap ide mencipta

lingkungan binaan yang nyaman, aman, menyingkirkan daerah slum dengan

penerapan kota yang dipenuhi RTH penghubung simpul-simpul interaksi masyarakat.

Konsep tersebut dua kali diuji coba dengan hasil yang memuaskan di Letchworth

(1908) dan Wellwyn (1924). Keberhasilan ini memotivasi orang untuk melakukan hal

senada di beberapa bagian Eropa. Di Indonesia sendiri konsep ini dibawa para

pendahulu kita arsitek Belanda yang berkiprah di Indonesia, khususnya Bandung

sehingga perencanaan kota dengan limpahan RTH menjadi wacana yang menarik dan

diterapkan dalam pembangunan nyata perkotaan diparuh pertama abad 20.

Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan RTH yang tidak hanya

mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenyamanan dan keindahan di

suatu kota sudah tidak dapat dihindari lagi, walaupun dari hari ke hari RTH kota

(32)

kurang dari 30%, (Shirvani, 1985), atau 1200 m²tajuk tanaman diperlukan untuk satu

orang (Grove, 1983).

Bagaimana kota-kota mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan

beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan pemerintah kota

dalam pengelolaan RTH kota.

Singapore, dengan luas 625 km² dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan

kepadatan 5.200 jiwa/km², diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69%

dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 km²

sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1000

orang.

Tokyo melakukan perbaikan RTH pada jalur hijau jalan, kawasan industri,

hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas,

namun Pemerintah Kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki

standar 0,21 ha per 1000 orang.

Sementara itu itu pendekatan penyediaan RTH yang dilakukan di Bombay –

India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki RTH di

lingkungan pemukiman padat.

Menurut Correa (1988), dalam penelitiannya dikatakan bahwa apabila

diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercantum di dalam 4

(empat) unsur utama yaitu :

(33)

3. Daerah tempat pertemuan warga

4. Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh

warga masyarakat.

Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi

RTH dapat tercapai. Hal ini karena padatnya tingkat permukiman sehingga ruang

terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan

dibutuhkan.

2.3.2. Pendekatan Kebutuhan RTH berdasarkan Fungsinya

Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan

oleh RTH terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan atau dalam upaya

mempertahankan kualitas yang baik yaitu:

a. Pencegahan Banjir

Banjir terjadi antara lain disebabkan terlalu banyaknya volume air yang

mengalir dipermukaan bumi sehingga tidak terserap oleh saluran-saluran (baik alami

maupun buatan) yang ada. Tidak heran fenomena banjir banyak menimpa daerah

urban perkotaan. Daerah urban memiliki karakteristik yang khas, dimana lebih dari

30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan,

jembatan, perkerasan dan lainnya). RTH sedikit banyak dapat mengatasi masalah

limpasan air hujan. Hal ini disebabkan tanah yang tertutup tanaman memiliki

(34)

Seiring dengan hujan deras terjadi, saluran drainase dan kemudian sungai

mendapatkan beban air limpasan yang terlampau tinggi melampaui ambang

kapasitasnya. Debit air pada drainase/sungai dipengaruhi oleh 3 komponen utama

yaitu intensitas hujan, keadaan permukaan tanah, dan luas daerah pengaliran:

Q = C . I . A

Dimana:

Q = Debit Puncak

C = Koefisien Pengaliran

I = Intensitas Hujan

A = Luas Daerah Pengaliran

C dapat diatur dan dikurangi besarnya melalui pengelolaan permukaan tanah

diantaranya dengan penyediaan RTH. Air hujan dapat dibantu untuk menyerap ke

dalam tanah sebelum mencapai saluran drainase dan sungai.

Tabel 2.1. Jenis Permukaan dan Besaran Koefisien Pengaliran

No. Jenis Permukaan Nilai Koefisien “C”

1. Ekosistem Hutan 0,3

2. Padang Rumput 0,3

3. Taman dan Daerah Berumput 0,4

4. Padang Rumput Berbukit 0,42

5. Lahan datar Bertanaman 0,5

6. Kerikil 0,7

7. Atap Banguna 0,95

8. Beton dan Aspal 0,95

(35)

Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan

bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya). Terutama yang

berbahaya sekali dari golongan NOx, CO, SO2. Diharapkan RTH mampu

mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut, meskipun RTH sendiri dapat

menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu pendekatan yang

dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan RTH dengan komponen

vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya.

Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan

keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam

kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya

tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini

tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.

Sifat dan vegetasi di dalam RTH yang diunggulkan adalah kemampuannya

melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme di dalam vegetasi dengan

menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis gas buangan

kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang

diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian RTH selain mampu

mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai

oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan RTH dalam mengendalikan

gas karbondioksida ini ditentukan berdasarkan target minmal yang dapat

dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target

(36)

kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu (Hakim,

2000).

Disisi lain RTH juga dapat menurunkan kadar kandungan debu diudara.

Berdasarkan studi intensif yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa RTH seluas

10 Ha dapat menurunkan kadar kandungan debu diudara dari 7000 partikel/l menjadi

hanya 4000 partikel/l (Martana S.P, 2003).

c. Pengamanan lingkungan hidrologis

Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan

ketersediaan tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya intrusi air

laut ke dalam sistem hidrologis yang ada. Intrusi dapat menyebabkan kerugian berupa

penurunan kualitas air minum, dan terjadinya korosi/penggaraman pada benda-benda

tertentu (Hakim, 2000).

d. Pengendalian Suhu Udara Perkotaan

Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka

vegetasi dalam RTH dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala

yang lebih luas lagi, RTH menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi

permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’ yaitu gejala meningkatnya suhu udara

di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya (Hakim, 2000).

Menurut pakar tata lingkungan Prof. Eko Budiharjo (1997) keberadaan RTH

seluas 30 Ha yang dipenuhi oleh pepohonan dapat mengurangi suhu lingkungan

(37)

dengan tanam-tanaman seluas 1 Ha dapat memberikan efek penurunan suhu hingga

4ºC.

Diketahui bersama bahwa bahwa manusia hidup nyaman dengan suhu

berkisar 10 ºC-27 ºC dengan kelembaban 40%-75% (Laurie, 1994). Untuk suhu kerja

lebih terbatas lagi yaitu 18 ºC-25 ºC. Dengan dampak adanya pemanasan global

akhir-akhir ini yang mengakibatkan suhu di kota-kota besar di Indonesia naik

mencapai 37 ºC dengan kelembapan 98% dapat disimpulkan bahwa akumulasi RTH

yang tinggi dapat berperan secara signifikan dalam pengontrolan suhu

lingkunganyang nyaman bagi penghuni.

e. Pengendali Thermoscape di Kawasan Perkotaan

Keadaan panas suatu lansekap (thermoscape) dapat dijadikan sebagai suatu

model untuk perhitungan kebutuhan RTH. Kondisi Thermoscape ini tergantung pada

komposisi dan komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan

komponen yang menunjukkan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan

permukiman, paving dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan

struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan struktur

panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang yang

dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia maka

komponen-komponen dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dan RTH)

merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan

struktur panas komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan

(38)

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa suhu di atas permukaan

rumput bisa mencapai 5ºC lebih rendah dibandingkan suhu udara yang

diperkerasbeton, sementara Todd (1995) menyebutkan perbedaan suhu 8ºC antara

permukaan tanah terbuka dengan permukaan tanah berumput.

f. Pengendali Bahaya-Bahaya Lingkungan

Fungsi RTH dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan

pada dua aspek penting: pencegahan bahaya kebakaran dikarenakan vegetasi

mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Perlindungan dari

keadaan darurat berupa gempa bumi, RTH merupakan tempat yang aman dari bahaya

runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian RTH perlu diadakan dan

dibangun ditempat-tempat strategis ditengah-tengah lingkungan permukiman.

Tabel 2.2. Pemanfaatan Pohon dan RTH pada Perbaikan Kualitas Lingkungan

No. Uraian Pohon Berumur 100

Tahun

RTH, 1 Ha

1. Produksi Oksigen 1,7 kg/jam 600 kg/hari

2. Penerimaan Karbondioksida 2,35 kg/jam 900 kg/hari

3. Zat Arang yang Terikat 6 ton -

4. Penyaringan Debu - Hingga 85%

5. Penguapan Air 500 l/hari -

6. Penurunan Suhu - 4ºC

Sumber: Frick & Setiawan, 2002

g. Fungsi Ekstrinsik lainnya

(39)

sebagai tempat bersosialisasi, berkumpul diluar rumah untuk bermain atau berolah

raga, fungsi relaksasi sekaligus dapat berfungsi rekreasi. Kemudian RTH Fungsi

Arsitektural yaitu menambah keindahan kota dan lingkungan. Sedangkan fungsi yang

tak kalah penting adalah RTH budidaya dimana secara ekonomi dapat menghasilkan

buah atau kayu yang dapat dikembangkan secara ekonomi.

2.4 Konsep Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan 2.4.1 Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan (Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan) adalah sebagai berikut:

1. RTH di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat

(40)

Gambar 2.2. Contoh RTH Privat

b. Halaman Perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha

c. Taman atap bangunan

a. Pulau jalan dan median jalan

b. Jalur pejalan kaki

a. RTH sempadan rel kereta api

b. Jalur hijau jaringan listrik

c. RTH sempadan sungai

d. RTH sempadan pantai

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air

f. Pemakaman

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

(41)

3. Apabiila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah

memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku,

maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan

sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistim ekologis lain yang

dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta

sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas

wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan

secara tipikal.

2.4.2. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan

dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH

per kapita sesuai peraturan yang berlaku.

2.4.3. Penyediaan RTH Berdasarkan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan,

sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman

pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya

(42)

Tabel 2.4. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau

jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH

sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air

(43)

2.5. Arahan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau 2.5.1. Pada Bangunan/Perumahan

RTH disini meliputi RTH pekarangan, RTH halaman perkantoran, pertokoan,

dan tempat usaha, RTH dalam bentuk tanaman atau bangunan (roof garden).

A. RTH Pekarangan

Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai

aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar banguann

(KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di

masing–masing kota. Untuk memudahkan dalam pengklasifikasian pekarangan maka

ditentukan kategori pekarangan sebagai:

1. Pekarangan Rumah Besar

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai

berikut:

1) Kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500

m2;

2) Ruang terbuka hijau minumum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi

luas dasar banguanan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3(tiga) pohon pelindung

(44)

2. Pekarangan Rumah Sedang

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai

berikut:

1) Kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200

m2 sampai dengan 500m2;

2) Ruang Terbuka Hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi

luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung

ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau

rumput.

3. Pekarangan Rumah Kecil

Ketentuan Penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai

berikut:

1) Kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah

200 m2;

2) RTH minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar

bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) Jumlah pohon pellindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon

pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan

(45)

Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak

menutupi kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan

menggunakan pot atau media tanam lainnya.

B. RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan dan Tempat Usaha

RTH halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha umumnya berupa

jalur trotoar dan area parkir terbuka. Penyediaan RTH pada kawasan ini adalah

sebagai berikut:

1) Tingkat KDB 70% - 90% perlu menambahkan tanaman dalam pot;

2) Perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB di atas 70%, memiliki

minimal 2 (dua) pohon kecil atau sedang yang ditanam pada lahan atau pada pot

berdiameter di atas 60 cm;

3) Persyaratan penanaman pohon pada perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha

dengan KDB dibawah 70%, berlaku seperti pada persyaratan pada RTH

pekarangan rumah, dan ditanam pada area di luar KDB yang telah ditentukan.

C. RTH Dalam Bentuk Tanaman atau Bangunan (Roof Garden)

Pada kondisi luas lahan terbuka terbatas, maka RTH dapat memanfaatkan ruang terbuka non hijau, seperti atap gedung, teras rumah, teras–teras bangunan

bertingkat disamping bangunan, dan lain–lain dengan memakai media tambahan,

seperti pot dengan berbagai ukuran sesuai lahan yang tersedia.

Lahan dengan KDB di atas 90% seperti pada kawasan pertokoan di pusat

kota, atau pada kawasan–kawasan dengan kepadatan tinggi dengan lahan yang sangat

(46)

memiliki struktur atap yang secara teknis memungkinkan. Aspek yang harus

diperhatikan dalam pembuatan tanaman atap bangunan adalah:

1) Struktur Bangunan;

2) Lapisan kedap air (water proofing);

3) Sistem utilitas bangunan;

4) Media tanaman;

5) Pemilihan material;

6) Aspek keselamatan dan keamanan;

7) Aspek pemeliharaan

Tanaman untuk RTH dalam bentuk taman atap bangunan adalah tanaman

yang tidak terlalu besar, dengan perakaran yang mampu tumbuh dengan baik pada

media tanam yang terbatas, tahan terhadap hembusan angin serta relatif tidak

memerlukan banyak air.

2.5.2. Lingkungan/Pemukiman A. RTH Taman Rukun Tetangga

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani

penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial

dilingkungan RT tersebut. Luas tanaman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT

dengan luas minimal 250 m2. Lokasi tanaman berada pada radius kurang dari 300 m

(47)

Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80%

dari luas tanaman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga

terdapat minimal 3 (tiga) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

B. RTH Taman Rukun Warga

RTH taman rukun warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk tanaman yang

ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja, kegiatan

olah raga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan RW tersebut.

Luas tanaman ini minimal 0,5 m2 per penduduk RW, dengan luas minimal 1250 m2.

Lokasi tanaman berada pada radius kurang dari 1000 m dari rumah–rumah penduduk

yang dilayaninya.

Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 79% - 80%

dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat

melakukan berbagai aktifitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai

tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari

jenis pohon kecil atau sedang.

C. RTH Kelurahan

RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk

melayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m2 per penduduk

kelurahan, dengan luas minimal taman 9000 m². Lokasi taman berada pada wilayah

kelurahan yang bersangkutan.

Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90%

(48)

melakukan berbagai aktifitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai

tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (dua puluh lima) pohon

pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

D. RTH Kecamatan

RTH kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk

melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m2 per penduduk

kecamatan, dengan luas taman minimal 24.000 m2. Lokasi taman berada pada

wilayah kecamatan yang bersangkutan.

Luas area yang ditanamai tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90%

dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat

melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai

tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung

dari jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon

tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

2.5.3. Kota/Perkotaan A. Taman Kota

RTH taman kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu

kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal 480.000 penduduk

dengan standar minimal 0,3 m². Taman ini dapat berbentuk sebagi RTH (lapangan

(49)

Jenis vegetasi yang dipilih berupa pohon tahunan, perdu, dan semak ditanam

secara berkelompok atau menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro

atau sebagai pembatas antar kegiatan.

B. Hutan Kota

Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah sebagai peyangga lingkungan kota

yang berfungsi untuk:

a. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;

b. Meresapkan air;

c. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota;

d. Mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.

Hutan kota dapat berbentuk:

a. Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi

terkonsentrasi pada suatu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon

dengan jarak tanam rapat tidak beraturan;

b. Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola berbentuk tertentu, dengan

luas minimal 2500 m². Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar

dalam bentuk rumpun atau gerombol-grombol kecil;

c. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90%-100% dari luas hutan

kota;

d. Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti bentukan

sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya. Lebar minimal hutan kota

(50)

Struktur Hutan Kota dapat terdiri dari:

a. Hutan kota bersastra dua, yaitu hanya memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan

pepohonan dan rumput;

b. Hutan kota bersastra banyak, yaitu memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan selain

terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak dan penutup tanah

dengan jarak tanam tidak beraturan.

Luas ruang hijau yang diisi dengan berbagai jenis vegetasi tahunan minimal

seluas 90% dari luas total hutan kota.

Dalam kaitan kebutuhan air penduduk kota maka luas hutan kota sebagai

produsen air dapat dihitung dengan rumus (Permen PU Nomor 05/PRT/M/2008

tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan: 15):

La = Pø.k ( 1 + R – C ) t – PAM - Pa

z

Dengan:

La : adalah luas hutan kota yang harus dibangun

Pø : adalah jumlah penduduk

K : adalah konsumsi air/kapita (It/hari)

R : adalah laju peningkatan pemakaian air

C : adalah faktor pengendali

PAM : adalah kapasitas suplai air perusahaan

t : adalah tahun

(51)

Hutan kota dalam bagian sebagai produsen oksigen dapat dihitung dengan

Kt : adalalah jumlah kebutuhan oksigen bagi kenderaan bermotor pada

tahun ke

Tt : adalalah jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke t

54 : adalalah tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m² luas lahan

menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari.

0,9375 : adalah tetapan yang menunjukkan bahwa 1 gram berat kering

tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0,9375 gram

2 : adalah jumlah musim di Indonesia

C. Sabuk Hijau

Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan

untuk membatasi Perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah

kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas yang lainnya

agar tidak saling menggangu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya.

Sabuk hijau dapat berbentuk:

1. RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan

tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau pemisah; Pt + Kt + Tt

(52)

2. Hutan kota;

3. Kebun campuran, perkebunan, persawahan, yang telah ada sebelumnya (existing)

dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya.

Fungsi lingkungan sabuk hijau:

1. Peredam kebisingan

2. Mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energi matahari;

3. Penepis cahaya silau;

4. Mengatasi penggenangan; daerah rendah dengan drainase yang kurang baik sering

tergenang air hujan yang dapat mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang

nyamuk.

5. Penahanan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi penahanan angin

perlu diperhitungkan beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.

6. Mengatasi intrusi air laut; RTH hijau di dalam kota akan meningkatkan resapan

air, sehingga akan meningkatkan jumlah air tanah yang akan menahan

perembesan air laut ke daratan.

7. Penyerap dan penepis bau;

8. Mengamankan pantai dan membentuk daratan;

9. Mengatasi penggurunan.

D. RTH Jalur Hijau

Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman

(53)

tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan tanaman khas daerah setempat,

yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.

Pulau Jalan Median Jalan

Taman pulau jalan adalah RTH yang terbentuk oleh geometris jalan seperti

pada persimpangan tiga atau bundaran jalan. Sedangkan median berupa jalur pemisah

yang membagi jalan menjadi dua jalur atau lebih. Median atau pulau jalan dapat

berupa tanaman atau non tanaman. Dalam pedoman ini dibahas pulau jalan dan

median yang terbentuk taman/RTH.

1. Pada jalur tanaman tepi jalan berfungsi:

a.Peneduh

b.Penyerap polusi udara

c.Peredam kebisingan

d.Pemecah Angin

e.Pembatas pandangan

2. Pada median berfungsi: Penahan silau lampu kendaraan 3. Pada persimpangan jalan

Beberapa hal penting yang perlu dipetimbangkan dalam penyelesaian

lansekap jalan pada persimpangan, antara lain:

1) Daerah bebas pandang di mulut persimpangan

Pada mulut persimpangan diperlukan daerah terbuka agar tidak menghalangi

(54)

mengenai letak tanaman yang disesuaikan dengan kecepatan kendaraan dan

bentuk persimpangannya.

Tabel 2.5. Kriteria Pemeliharaan Tanaman pada Persimpangan Jalan

Jarak dan Jenis Tanaman

Sumber:Spesifikasi Perencanaan Lansekap Jalan pada PersimpanganNo.02/T/BNKT/1992

Catatan: 1. Tanaman rendah, berbentuk tanaman perdu dengan ketinggian < 0,8 m 2. Tanaman tinggi, berbentuk pohon dengan percabangan di atas 2 m.

2) Pemilihan jenis tanaman pada persimpangan

Penataan lansekap pada persimpangan akan merupakan ciri dari persimpangan

itu atau lokasi setempat. Penempatan dan pemilihan tanaman dan ornamen hiasan

harus disesuaikan dengan ketentuan geometrik persimpangan jalan dan harus

memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) daerah bebas pandang tidak diperkenankan ditanami tanaman yang menghalangi

pandangan pengemudi. Sebaiknya digunakan tanaman rendah berbentuk

tanaman perdu dengan ketinggian <0,80 m, dan jenisnya merupakan berbunga

(55)

b) bila pada persimpangan terdapat pulau lalu lintas atau kanal yang dimungkinkan

untuk ditanami, sebaiknya digunakan tanaman perdu rendah dengan

pertimbangan agar tidak mengganggu penyeberangan jalan dan tidak

menghalangi pandangan pengemudi kendaraan.

c) Penggunaan tanaman tinggi berbentuk tanaman pohon sebagai tanaman

pengarah, misalnya:

1) Tanaman berbatang tunggal seperti jenis palem

2) Tanaman pohon bercabaang >2 m

E. RTH Ruang Pejalan Kaki

Ruang pejalan kaki adalah ruang yang disediakan bagi pejalan kaki pada

kiri-kanan jalan atau di dalam taman. Ruang pejalan kaki yang dilengkapi dengan RTH

harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:

1. Kenyamanan, adalah cara mengukur kualitas fungsional yang ditawarkan oleh

sistem pedestrian yaitu: Orientasi, berupa tanda visual (landmark, marka jalan)

pada lansekap untuk membantu dalam menemukan jalan pada lingkungan yang

lebih besar;

2. Kemudahan berpindah dari satu arah ke arah lainnya yang dipengaruhi oleh

kepadatan pedestrian, kehadiran penghambat fisik, kondisi permukaan jalan dan

kondisi iklim. Jalur perjalanan kaki harus aksesibel untuk semua orang termasuk

(56)

1) Karakter fisik, meliputi:

1. Kriteria dimensional, disesuaikan dengan kondisi dan budaya setempat,

warisan dan nilai yang dianut terhadap lingkungan;

2. Kriteria pergerakan, jarak rata-rata orang berjalan di setiap tempat

umumnya berbeda dipengaruhi oleh tujuan perjalanan, kondisi cuaca,

kebiasaan dan budaya. Pada umumnya orang tidak mau berjalan lebih

dari 400 m.

2) Pedoman teknis lebih rinci untuk jalur pejalan kaki dapat mengacu pada

kepmen PU No.468/KPTS/1998 tanggal 1 Desember 1998, tentang

persyaratan Teknis Aksesiblitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan dan

Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki.

F. Ruang Terbuka Hijau di Bawah Jalan Layang

Penyediaan RTH di bawah jalan layang dalam rangka area resapan air supaya:

a) Area di bawah tertata rapi, asri, dan indah;

b) Menghindari kekumuhan dan lokasi tuna wisma;

c) Menghindari permukiman liar;

d) Menutupi bagia-bagian struktur jalan yang tidak menarik;

e) Memperlembut bagian/struktur bangunan yang berkesan kaku;

Pemilihan tanaman seyogianya dari jenis yang tahan ternaungi sepanjang

waktu dan relatif tahan kekurangan air, serta berukuran tidak terlalu besar,

(57)

G. RTH Fungsi Ruang Tertentu

RTH fungsi tertentu adalah jalur hijau antara lain RTH sempadan rel kereta

api, RTH jaringan listrik tegangan tinggi, RTH sempadan sungai, RTH sempadan

pantai, RTH danau, RTH pengamanan sumber air baku/mata air dan RTH

pemakaman.

G.1 Jalur Hijau (RTH) Sempadan Rel kereta Api

Penyediaan RTH pada garis sempadan jalan rel kereta api merupakan RTH

yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat

dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dengan tegas

menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan perkotaan.

Tabel 2.6. Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api

Jalan Rel Kereta Api terletak di: Obyek Tanaman Obyek Bangunan

a. Jalan rel kereta api lurus >11 m >20 Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Kriteria garis sempadan jalan kereta api yang dapat digunakan untuk RTH

adalah sebagai berikut:

a) Garis sempadan jalan rel kereta api adalah ditetapkan dari as jalan rel terdekat

apabila jalan rel kereta api itu lurus;

b) Garis sempadan jalan rel kereta api yang terletak di tanah timbunan diukur dari

(58)

c) Garis sempadan jalan rel kereta api yang terletak di dalam galian diukur dari atas

puncak galian tanah atau atas serongan;

d) Garis sempadan jalan rel kereta api yang terletak pada tanah datar diukur dari as

jalan rel kereta api;

e) Garis sempadan jalan rel kereta api pada belokan adalah lebih dari 23 m diukur

dari lengkungan dalam sampai as jalan. Dalam peralihan jalan lurus ke jalan

lengkung diluar as jalan lurus ada jalur tanah yang bebas, yang secara

berangsur-angsur melebar tersebut dimulai dalam jarak 20 m di muka lengkungan untuk

selanjutnya menyempit lagi sampai jarak lebih dari 11 m;

f) Garis sempadan jalan rel kereta api sebagaimana dimaksud pada butir 1) tidak

berlaku apabila jalan rel kereta api terletak di tanah galian yang dalamnya 3,5 m;

g) Garis sempadan jalan perlintasan sebidang antara jalan rel kereta api dengan

jalan raya adalah 30 m dari as rel kereta api pada titik perpotangan as jalan rel

kereta api dengan as jalan raya dan secara berangsur-angsur menuju pada jarak

lebih dari 11 m dari as jalan rel kereta api pada titik 600 m dari titik perpotongan

as jalan kereta api dengab as jalan raya.

G.2. Jalur Hijau (RTH) Pada Jaringan Listrik Tegangan Tinggi

Ketentuan lebar sempadan jaringan tenaga listrik yang dapat digunakan

sebagai RTH adalah sebagai berikut :

a) Garis sempadan jaringan tenaga listrik adalah 64 m yang ditetapkan dari titik

(59)

Tabel 2.7. Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET

Sumber : Permen PU Nomor 05/PRT/M/2008TENTANG Penyediaan dan Pemanfaaan Ruang terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Keterangan:

SUTR = Saluran Udara Tegangan Rendah SUTM = Saluran Udara Tegangan Menengah SUTT = Saluran Udara Tegangan Tinggi

SUTET = Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi SKTR = Saluran Kabel Tegangan Rendah SKTM = Saluran Kabel Tegangan Menengah

G.3 RTH Sempadan Sungai

RTH sempadan sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri dan

kanan sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai tersebut dari

berbagai gangguan yang dapat merusak kondisi sungai dan kelestariannya.

Sesuai peraturan yang ada, sungai di perkotaan terdiri dari bertanggul dan

sungai tidak bertanggul.

(60)

a) Sungai bertanggul:

1). Garis Sempadan Sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan

sekurang-kurangnya 3 m di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;

2). Garis Sempadan Sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan

sekurang-kurangnya 5 m di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;

3). Dengan pertimbangan untuk meningkatkan fungsinya, tanggul dapat

diperkuat, diperlebar dan ditinggikan yang dapat berakibat bergesernya Garis

Sempadan Sungai;

4). Kecuali lahan yang berstatus tanah negara, maka lahan yang diperlukan

untuk tapak tanggul baru sebagai akibat dilaksanakannya ketentuan

sebagaimana dimaksud pada butir 1) harus dibebaskan.

b) Sungai tidak bertanggul

1) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan

ditetapkan sebagai berikut:

a. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebin dari 3 m, garis

sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m dihitung dari tepi sungai

pada waktu ditetapkan;

b. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 m, garis sempadan

ditetapkan sekurang-kurangnya 15 m dihitung dari tepi sungi pada

(61)

c. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 m, garis sempadan

ditetapkan sekurang-kurangnya 30 m dihitung dari tepi sungai pada

waktu yang ditetapkan.

2) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaaan

ditetapkan sebagai berikut:

a. Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai

seluas 500 m2 atau lebih, penetapan garis sempadannya

sekurang-kurangnya 100 m;

b. Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai

kurang dari 500 m2, penetapan garis sempadannya sekurang-kurangnya

50 m dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

3) Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada butir 1) dan 2) diukur ruas per

ruas dari tepi sungai dengan mempertimbangkan luas daerah pengaliran

sungai pada ruas yang bersangkutan;

4) Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan

adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan, dengan ketentuan kostruksi dan

penggunaan harus menjamin kelestarian dan keamanan sungai serta

bangunan sungai;

5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1) tidak terpenuhi,

maka segala perbaikan atas kerusakan yang timbul pada sungai dan

(62)

G.4 RTH Sempadan Pantai

RTH sempadan pantai memiliki fungsi utama sebagai pembatas pertumbuhan

permukiman atau aktivitas lainnya agar tidak mengganggu kelestarian pantai. RTH

sempadan pantai merupakan area pengaman pantai dari kerusakan atau bencana yang

ditimbulkan oleh gelombang laut seperti intrusi air laut, erosi, abrasi, tiupan angin

kencang dan gelombang tsunami. Lebar RTH sempadan pantai minimal 100 m dari

batas air pasang tertinggi ke arah darat. Luas area yang ditanami tanaman (ruang

hijau) seluas 90%-100%.

Fasilitas dan kegiatan yang diijinkan harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

a) Tidak bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang pengolahan

Kawasan Lindung;

b) Tidak menyebabkan gangguan terhadap kelestarian ekosistem pantai, termasuk

gangguan terhadap kualitas visual;

c) Pola tanam vegetasi bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi, erosi,

melindungi dari ancaman gelombang pasang, wildife habitat dan merendam

angin kencang;

d) Pemilihan vegetasi mengutamakan vegetasi yang berasal dari daerah setempat.

Formasi hutan mangrove sangat baik sebagai peredam ombak dan dapat atau

membantu proses pengendapan lumpur. Beberapa jenis tumbuhan di ekosistem

(63)

Khusus untuk RTH sempadan pantai yang telah mengalami intrusi air laut

atau merupakan daerah payau dan asin, pemilihan vegetasi diutamakan dari daerah

setempat yang telah mengalami penyesuaian dengan kondisi tersebut. Asam landi

(Pichelebium dulce) dan Mahoni (Switenia mahogoni) relatif lebih tahan jika

dibandingkan Kesumba, Tanjung, Kiputri, Angsana, Trengguli, dan Kuku.

G.5 RTH Sumber Air Baku/Mata Air

RTH sumber air meliputi sungai, danau/waduk, dan mata air. Untuk danau

dan waduk, RTH terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya

50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Untuk mata air, RTH terletak pada garis sempadan yang ditetapkan

sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter di sekitar mata air.

G.6 RTH Pemakaman

Berdasarkan standar teknis RTH Pemakaman dijelaskan bahwa untuk

kegiatan pemakaman adalah setiap jumlah penduduk pendukung 120.000 jiwa.

Penyediaan ruang terbuka hijau pada areal pemakaman disamping memiliki

fungsi utama sebagai tempat penguburan jenazah juga memiliki fungsi ekologis yaitu

sebagai daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta

iklim mikro serta tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat disekitar seperti

Gambar

Gambar 2.2. Contoh  RTH Privat
Tabel 2.4.   Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Tabel 2.7.  Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET
Gambar 2.4. Bagan Alir Kontribusi Persentase Pemakaman bagi Penyediaan RTH
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang Terbuka Hijau Kota Medan, 3) Ketersediaan lahan hutan mangrove dalam. Peta Tutupan Lahan

Perolehan ini menyatakan bahwa keanekaragaman vegetasi yang terdapat di RTH pemakaman pemakaman Kecamatan Ilir Barat 1 di taman pemakaman Puncak Sekuning dan Kecamatan Seberang Ulu

Hal-hal yang dapat dilakukan pihak perusahaan/swasta untuk menambah luas taman, yaitu kewajiban pihak swasta yang akan membangun lokasi usaha (mall, plaza, dan sebagainya) dengan

Analisis kesesuaian peta lokasi makam baru terhadap data sebaran tempat pemakaman umum dilakukan untuk mengetahui titik-titik lokasi makam manakah yang sesuai

Luasan RTH Kota Medan yang optimal berdasarkan Inmendagri No.14 Tahun 1988 sebesar 40% adalah 10,604.0 ha, sedangkan berdasarkan pendekatan Geravkis kebutuhan oksigen pada tahun

Elemen dalam perhitungan ini yaitu taman RT, taman RW, taman kelurahan, taman kecamatan, pemakaman dan fungsi tertentu dengan total luas perkapitanya 15,7m 2 dan

Ketidakpuasan masyarakat terhadap fungsi taman dapat menjadi acuan pemerintah Kota Salatiga yakni Dinas terkait untuk meningkatkan fungsi Taman Kota agar kedepannya fungsi

Studi kasus: Tempat Pemakaman Umum Muslim Kayu Besar Jl. Sutomo Ujung dan Tempat Pemakaman Umum Kristen Jl.. KAJIAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN TEMPAT PEMAKAMAN