• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Personal dan Faktor Situasional terhadap Komunikasi Terapeutik antara Perawat Pelaksana dengan Pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Faktor Personal dan Faktor Situasional terhadap Komunikasi Terapeutik antara Perawat Pelaksana dengan Pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR PERSONAL DAN FAKTOR SITUASIONAL TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK ANTARA PERAWAT

PELAKSANA DENGAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM BUNDA THAMRIN MEDAN

T E S I S

Oleh

F A N N Y 097032049/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH FAKTOR PERSONAL DAN FAKTOR SITUASIONAL TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK ANTARA PERAWAT

PELAKSANA DENGAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM BUNDA THAMRIN MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

F A N N Y 097032049/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR PERSONAL DAN FAKTOR SITUASIONAL TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK ANTARA PERAWAT PELAKSANA DENGAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM BUNDA THAMRIN MEDAN

Nama Mahasiswa : Fanny Nomor Induk Mahasiswa : 097032049

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) (

Ketua Anggota

Siti Zahara Nasution, S.Kp, M.N.S)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 13 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Siti Zahara Nasution, S.Kp, M.N.S

2. Drs. Amir Purba, M.S, Ph.D

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR PERSONAL DAN FAKTOR SITUASIONAL TERHADAP KOMUNIKASI TERAPEUTIK ANTARA PERAWAT

PELAKSANA DENGAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM BUNDA THAMRIN MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2011

(6)

ABSTRAK

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien dalam memberikan asuhan keperawatan di rumah sakit yang

mendorong proses penyembuhan pasien. Berdasarkan survei pendahuluan di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan, ditemukan sebesar 39% perawat kurang

komunikatif dengan pasien dan sebesar 31% perawat kurang perhatian dengan pasien. Pencapaian BOR (Bed Occupancy Rate) tahun 2010 sebesar 55,67% belum mencapai target sebesar 85%. Pencapaian BOR yang belum maksimal diduga terkait dengan faktor personal dan faktor situasional perawat pelaksana yang belum baik dalam melaksanakan komunikasi terapeutik kepada pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor personal dan faktor

situasional terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan. Jenis penelitian survei explanatory. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana berjumlah 109 orang dan sebanyak 85 orang dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor personal dan faktor situasional berpengaruh terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan. Faktor personal berpengaruh lebih besar terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien.

Disarankan kepada Manajemen RSU Bunda Thamrin Medan untuk: (1) mengupayakan perawat pelaksana secara personal harus dapat mengembangkan kepribadian dalam menerapkan komunikasi terapeutik secara terus menerus dengan pasien, (2) meningkatkan faktor situasional (kemampuan dan keterampilan) perawat pelaksana dengan mengikuti pelatihan dan seminar serta memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan tentang teknik komunikasi terapeutik atau secara intern melaksanakan kegiatan in house training tentang komunikasi terapeutik, (3) mengupayakan pembuatan SOP (Standard Operating Prosedur) tentang

pelaksanaan komunikasi interpersonal terapeutik antara perawat dengan pasien di ruang rawat inap.

(7)

ABSTRACT

Therapeutic communication is an interpersonal communication between nurses with patients in providing nursing care that encourages the healing process of patients in hospital. Based on preliminary surveys in Bunda Thamrin General

Hospital Medan, was found less communicative nurses to the patients by 39% and less attention to the patients by 31%. Achievement of the BOR (Bed Occupancy Rate) in 2010 amounted to 55.67% have not reached the target by 85%. Achievement of the BOR is not maximized allegedly associated with nurse personal factors and

situational factors that have not been well in implementing the therapeutic communication to patient

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of personal factors and situational factors on the therapeutic communication between the nurses with patient in Bunda Thamrin General Hospital Medan. The population of this study were all of nurses as many as 109 people and 85 of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through interviews and

observation based on the questionnaire. The data obtained were analyzed through

multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically the personal factors and situational factors had significantly influence on the therapeutic communication between the nurses with patient in Bunda Thamrin General Hospital Medan. Variable of personal factors was the greatest influence on the therapeutic communication between the nurses with patient.

It is recommended to the management of Bunda Thamrin General Hospital Medan to: (1) efforts the personal nurses must be able to develop a personality for implementing the therapeutic communication with the patient continuously, (2) improve situational factors (ability and skill) nurse implementers by training and seminars as well as providing the opportunity for education about the therapeutic communication techniques or internally implement the activities in-house training on the therapeutic communication, (3) create SOP (Standard Operating Procedures) about the implementation of the therapeutic interpersonal communication between nurses with patients in inpatient room.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Faktor Personal dan Faktor Situasional terhadap Komunikasi Terapeutik antara Perawat Pelaksana dengan Pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku ketua komisi pembimbing dan Siti Zahara Nasution, S.Kp, M.N.S, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Drs. Amir Purba, M.S, Ph.D, dan Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Direktur Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan beserta jajarannya yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

7. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(10)

9. Suami tercinta Alwi JohanST, serta anak-anak: Audrey Jovianne, dan Filbert Jovianne. Adik-adik tersayang yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta rasa cinta yang dalam setia menunggu, memotivasi dan

memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu. Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Desember 2011 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Fanny, lahir pada tanggal 21 Juli 1975 di Medan, anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Atu Wijaya, dan Ibunda Irmayolanda.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Jendral Sudirman Medan, selesai Tahun 1989, Sekolah Menengah Pertama di SMP Sutomo I Medan, selesai Tahun 1992, Sekolah Menengah Atas di SMA Sutomo I Medan, selesai tahun 1995. Fakultas Ekonomi di STIE Harapan Medan, selesai Tahun 1999.

Mulai bekerja sebagai staf administrasi di Hotel Dirga Surya, Medan dari tahun 1995 sampai dengan 1997. Sebagai Supervisor Audit di PT. Alfa Scorpii dari tahun 1997 sampai dengan 2009. Sebagai Kepala Keuangan di RSU Bunda Thamrin dari tahun 2009 sampai dengan sekarang.

(12)

DAFTAR ISI

2.2 Komunikasi Interpersonal ... 13

2.2.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 13

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Interpersonal ... 15

2.3 Komunikasi dalam Keperawatan ... 21

2.3.1 Komunikasi Verbal ... 22

2.3.2 Komunikasi Non Verbal ... 25

2.3.3 Pengertian Komunikasi Terapeutik ... 28

2.3.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Terapeutik . 38 2.4 Rumah Sakit ... 42

2.4.1 Pengertian Rumah Sakit ... 42

2.4.2 Pelayanan Rawat Jalan ... 45

2.5 Perawat ... 45

2.5.1 Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit ... 49

2.5.2 Asuhan Keperawatan Rawat Inap ... 50

2.5.3 Komunikasi dalam Proses Keperawatan ... 51

2.6 Landasan Teori ... 51

(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 54

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 57

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 59

3.5.1 Variabel Bebas ... 59

3.5.2 Variabel Terikat ... 60

3.6 Metode Pengukuran ... 62

3.6.1 Pengukuran Variabel Bebas ... 62

3.6.2 Pengukuran Variabel Terikat ... 63

3.7 Metode Analisis Data ... 63

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 65

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 65

4.1.1 Sejarah Singkat Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 65

4.1.2 Letak Geografi Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 65

4.1.3 Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan . 65 4.1.4 Tenaga Kesehatan dan Pelayanan di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 67

4.4.1 Hubungan Faktor Personal dengan Komunikasi Terapeutik di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 92

(14)

4.5.1 Pengaruh Faktor Personal dan Faktor Situasional terhadap Komunikasi Terapeutik Antara Perawat Pelaksana dengan

Pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 93

4.5.2 Pengujian Hipotesis ... 94

BAB 5. PEMBAHASAN ... 95

5.1 Komunikasi Terapeutik Perawat Pelaksana ... 95

5.2 Pengaruh Faktor Personal terhadap Komunikasi Terapeutik antara Perawat Pelaksana dengan Pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 98

5.3 Pengaruh Faktor Situasional terhadap Komunikasi Terapeutik antara Perawat Pelaksana dengan Pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 104

5.4 Keterbatasan Penelitian ... 111

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

6.1 Kesimpulan ... 112

6.2 Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Indikator Kinerja RSU Bunda Thamrin Medan Tahun 2009-201 ... 7 4.1 Distribusi Identitas Responden di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin

Medan ... 68 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Kesamaan Karakteristik di Rumah

Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 70 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Isolasi Sosial di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 72 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Faktor Personal di Rumah

Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 73 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Daya Tarik Fisik di Rumah Sakit

Umum Bunda Thamrin Medan ... 74 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Ganjaran di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 76 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kedekatan di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 77 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 78 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Faktor Situasional di Rumah

Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 79 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Mendengarkan di Rumah Sakit

Umum Bunda Thamrin Medan ... 80 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Pertanyaan Terbuka di Rumah Sakit

Umum Bunda Thamrin Medan ... 81 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Mengulang di Rumah Sakit Umum

(16)

4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Penerimaan di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 84

4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Klarifikasi di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 86 4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Memfokuskan di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 87 4.16 Distribusi Responden Berdasarkan Membagi Persepsi di Rumah Sakit

Umum Bunda Thamrin Medan ... 88 4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Identifikasi Tema di Rumah Sakit

Umum Bunda Thamrin Medan ... 89 4.18 Distribusi Responden Berdasarkan Informing di Rumah Sakit Umum

Bunda Thamrin Medan ... 90 4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Saran di Rumah Sakit Umum Bunda

Thamrin Medan ... 91 4.20 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Komunikasi Terapeutik di

Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan... 91 4.21 Hubungan Faktor Personal dengan Komunikasi Terapeutik di Rumah

Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 92 4.22 Hubungan Faktor Sitasional dengan Komunikasi Terapeutik di Rumah

Sakit Umum Bunda Thamrin Medan ... 93 4.23 Pengaruh Faktor Personal dan Faktor Situasional terhadap Komunikasi

Terapeutik antara Perawat Pelaksana dengan Pasien di Rumah Sakit

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 119

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 127

3 Uji Univariat dan Bivariat ... 136

4 Hasil Uji Regresi ... 160

5 Surat Penelitian ... 161

Dokumentasi ... 170

7 Surat Ijin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 171

8. Surat Ijin selesai penelitian dari RSUD. Perdagangan Kabupaten Simalungun ... 172

5. Dokumentasi Penelitian ... 154

6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155

(19)

ABSTRAK

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien dalam memberikan asuhan keperawatan di rumah sakit yang

mendorong proses penyembuhan pasien. Berdasarkan survei pendahuluan di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan, ditemukan sebesar 39% perawat kurang

komunikatif dengan pasien dan sebesar 31% perawat kurang perhatian dengan pasien. Pencapaian BOR (Bed Occupancy Rate) tahun 2010 sebesar 55,67% belum mencapai target sebesar 85%. Pencapaian BOR yang belum maksimal diduga terkait dengan faktor personal dan faktor situasional perawat pelaksana yang belum baik dalam melaksanakan komunikasi terapeutik kepada pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor personal dan faktor

situasional terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan. Jenis penelitian survei explanatory. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana berjumlah 109 orang dan sebanyak 85 orang dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor personal dan faktor situasional berpengaruh terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan. Faktor personal berpengaruh lebih besar terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien.

Disarankan kepada Manajemen RSU Bunda Thamrin Medan untuk: (1) mengupayakan perawat pelaksana secara personal harus dapat mengembangkan kepribadian dalam menerapkan komunikasi terapeutik secara terus menerus dengan pasien, (2) meningkatkan faktor situasional (kemampuan dan keterampilan) perawat pelaksana dengan mengikuti pelatihan dan seminar serta memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan tentang teknik komunikasi terapeutik atau secara intern melaksanakan kegiatan in house training tentang komunikasi terapeutik, (3) mengupayakan pembuatan SOP (Standard Operating Prosedur) tentang

pelaksanaan komunikasi interpersonal terapeutik antara perawat dengan pasien di ruang rawat inap.

(20)

ABSTRACT

Therapeutic communication is an interpersonal communication between nurses with patients in providing nursing care that encourages the healing process of patients in hospital. Based on preliminary surveys in Bunda Thamrin General

Hospital Medan, was found less communicative nurses to the patients by 39% and less attention to the patients by 31%. Achievement of the BOR (Bed Occupancy Rate) in 2010 amounted to 55.67% have not reached the target by 85%. Achievement of the BOR is not maximized allegedly associated with nurse personal factors and

situational factors that have not been well in implementing the therapeutic communication to patient

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of personal factors and situational factors on the therapeutic communication between the nurses with patient in Bunda Thamrin General Hospital Medan. The population of this study were all of nurses as many as 109 people and 85 of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through interviews and

observation based on the questionnaire. The data obtained were analyzed through

multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically the personal factors and situational factors had significantly influence on the therapeutic communication between the nurses with patient in Bunda Thamrin General Hospital Medan. Variable of personal factors was the greatest influence on the therapeutic communication between the nurses with patient.

It is recommended to the management of Bunda Thamrin General Hospital Medan to: (1) efforts the personal nurses must be able to develop a personality for implementing the therapeutic communication with the patient continuously, (2) improve situational factors (ability and skill) nurse implementers by training and seminars as well as providing the opportunity for education about the therapeutic communication techniques or internally implement the activities in-house training on the therapeutic communication, (3) create SOP (Standard Operating Procedures) about the implementation of the therapeutic interpersonal communication between nurses with patients in inpatient room.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap organisasi baik organisasi perusahaan, organisasi sosial maupun organisasi pemerintah mempunyai tujuan yang dapat dicapai melalui pelaksanaan pekerjaan tertentu, dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada didalam organisasi tersebut, termasuk sumber daya manusia sebagai alat utama. Berhasil tidaknya suatu perusahaan tergantung pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjalankan aktivitasnya. Salah satu organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan kesehatan, yaitu Rumah Sakit.

Pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas di Rumah Sakit tidak terlepas dari peran tenaga medis dan non medis, salah satu diantaranya adalah tenaga perawat. Tenaga perawat mempunyai kedudukan penting dalam menghasilkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena pelayanan yang diberikannya berdasarkan pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual dan dilaksanakan selama 24 jam secara berkesinambungan (Depkes RI, 2001).

(22)

keperawatan tertentu belum ada kejelasan, mangerial skill serta technical skill juga masih kurang (Wasisto, 1994)

Salah satu unsur yang sangat menentukan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit adalah tenaga kesehatan. Dari tenaga kesehatan yang terdapat di rumah sakit yang terutama memiliki peranan yang besar adalah perawat, hal ini disebabkan profesi perawat memiliki proporsi yang relatif besar, yaitu hampir melebihi 50% dari seluruh Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit (Nursalam, 2002).

Keperawatan adalah suatu interaksi antara perawat dan pasien, perawat dan profesional kesehatan lain, serta perawat dan komunitas. Proses interaksi manusia terjadi melalui komunikasi: verbal dan nonverbal, tertulis dan tidak tertulis, terencana dan tidak terencana. Agar perawat efektif dalam berinteraksi, mereka harus memiliki ketrampilan komunikasi yang baik. Mereka harus menyadari kata-kata dan bahasa tubuh yang mereka sampaikan pada orang lain. Ketika perawat mengemban peran kepemimpinan, mereka harus menjadi efektif, baik dalam ketrampilan komunikasi verbal maupun komunikasi tertulis (Kathleen, 2007).

Komunikasi yang efektif adalah suatu keadaan dimana komunikator dan komunikan memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan (Pratikto, 1987). Komunikasi yang efektif penting bagi pimpinan karena komunikasi ini menyediakan saluran untuk proses manajemen, yaitu merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan (Stoner et al, 1996).

(23)

struktural, setiap rumah sakit memiliki ruangan-ruangan dalam melayani kesehatan kepada pasien, diantaranya ruang rawat inap dan rawat jalan yang dikepalai oleh seorang kepala ruangan dan membawahi beberapa perawat pada masing-masing ruangan atau unit kerja.

Marquis dan Huston (1998) dalam Nursalam (2001) kepala ruangan mempunyai tugas antara lain: menerima pasien baru, memimpin rapat, mengevaluasi kinerja perawat, membuat daftar dinas, menyediakan material, dan melakukan perencanaan, pengawasan serta pengarahan. Seluruh kepala ruangan bertanggung jawab kepada kepala bidang keperawatan. Kepala bidang menurut struktur organisasi rumah sakit membawahi seluruh perawat di rumah sakit.

Menurut Gunarsa (1999) dalam praktek keperawatan, perawat mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi tentang tindakan yang akan dilakukan pada pasien secara lengkap sebagai dasar bagi pasien untuk membuat keputusan menerima atau menolak tindakan tersebut. Banyaknya waktu perawat untuk bertemu pasien dan keluarganya menjadikan pasien dan keluarganya sering menjalin komunikasi secara interpersonal dengan perawat.

(24)

Komunikasi merupakan kunci utama dalam hubungan interpersonal. Seringkali akibat komunikasi yang kurang tepat terjadi perbedaan pandangan atau salah paham. Oleh karena itu perawat harus lebih memahami konsep dan proses komunikasi untuk meningkatkan hubungan dengan pasien untuk tujuan terapeutik. Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi yang dapat digunakan sebagai alat yang efektif dalam memberikan asuhan keperawatan (Keliat, 1992).

Sikap yang positif dalam komunikasi terapeutik dapat terwujud apabila perawat memiliki pengetahuan yang baik, demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka sikap dalam komunikasi terapeutik akan menjadi kurang. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satunya adalah dengan menggunakan komunikasi terapeutik secara efektif oleh perawat melalui tindakan keperawatan seperti menggali perasaan, pikiran, perubahan perilaku, sehingga akan meningkatkan keterbukaan perawat dan pasien serta membantu memecahkan masalah psikologis pasien. Sampai sekarang ini komunikasi terapeutik pada pasien masih kurang mendapat perhatian dan hanya bersifat rutinitas, mengingat kurangnya penggunaan komunikasi terapeutik secara positif sehingga pasien mengalami kecemasan saat dan selama di rumah sakit (Keliat, 1996).

(25)

dalam hal ini termasuk hubungan antara perawat dengan pasien dalam pelayanan medis.

Devito dalam Effendy (2003), mengemukakan definisi komunikasi interpersonal sebagai "Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan berupa umpan balik seketika". Kegiatan komunikasi antara perawat dengan pasien dapat disimpulkan sebagai interaksi dalam komunikasi. Interaksi dalam komunikasi dapat dibedakan atas tiga kategori, yaitu komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok kecil dan komunikasi publik.

Masalah yang umum terjadi dalam pelayanan keperawatan adalah: (a) kurangnya perawat yang memiliki pendidikan tinggi/kemampuan memadai, (b)

perawat yang kurang ramah terhadap pasien, (c) kurang sabar dalam menghadapi pasien. Masalahnya tentu bukan hanya soal sikap ramah atau penyabar, tetapi juga mungkin beban kerja yang terlalu tinggi serta peraturan yang belum jelas baik bagi si pasien maupun keluarganya (Aditama, 2003).

(26)

yang timbul dari dalam diri individu) dan faktor situasional (faktor yang timbul dari luar diri individu).

Provinsi Sumatera Utara saat ini memiliki 75 unit rumah sakit, salah satu diantaranya adalah Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin. Rumah sakit ini mempunyai salah satu tugas, yaitu melaksanakan pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna, mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan pencegahan.

Berdasarkan survei pelanggan bulan Juni tahun 2011 yang dilakukan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan, terlihat gambaran hasil survei bahwa perawat kurang komunikatif sebesar 39% dan perawat kurang perhatian dengan pasien sebesar 31%. Gambaran tersebut di atas merupakan gambaran dari komunikasi interpersonal perawat yang kurang baik dalam memberikan pelayanan terhadap pasien (Laporan tahunan Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin, 2011).

(27)

komunikasi terapeutik antara perawat dengan pasien. Beberapa indikator kinerja tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.1 Indikator Kinerja RSU Bunda Thamrin Medan Tahun 2009-2010

No Keterangan Tahun

2009 2010

1 BOR (Bed Occupancy Rate) 36,67% 55,67%

2 LOS ( Length Of Stay) 3,3 hari 3,8 hari

3 BTO (Bed Turn Over) 20 kali 54 kali

4 TOI (Turn Over Interval) 8,9 hari 3,0 hari

5 GDR 9,12% 10,96%

Sumber : Laporan Tahunan Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin, 2011

Informasi lain yang ditemukan terkait survei pendahuluan adalah keluhan pasien yang diperoleh melalui kotak saran sebanyak 47 surat. Dari 47 surat yang masuk diambil sebanyak 30 surat secara acak ditemukan sebanyak 84,1% pasien menyatakan keluhan tentang pelayanan keperawatan, seperti perawat kurang ramah, tidak empati, pelayanan lambat dan perawat kurang serius dalam memberikan asuhan keperawatan (Bagian Administrasi Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin, 2011).

Upaya yang telah dilakukan oleh Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan secara organisasi dalam rangka meningkatkan komunikasi terapeutik perawat pelaksana dengan pasien adalah memberikan kesempatan untuk mengikuti seminar dan pelatihan secara berkala dan memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan secara bergantian, namun komunikasi terapeutik perawat pelaksana dengan pasien belum optimal.

(28)

informasi, mengklasifikasi, dan menanyakan pertanyaan yang berkaitan. Ditinjau dari segi teori masih banyak teknik-teknik yang belum diterapkan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Seperti mengulangi ucapan pasien dengan menggunakan kata-kata perawat sendiri, memfokuskan masalah, menyatakan hasil observasi kepada pasien, meringkas hasil observasi, memberi penghargaan kepada pasien dan menawarkan diri untuk membantu serta memberi waktu untuk merefleksikan diri pasien.

Hasil penelitian Wahyuni (2004), menyimpulkan bahwa variabel komunikasi interpersonal dengan indikator keterbukaan, empati, dukungan dan kesamaan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi komitmen kerja dibanding variabel gaya kepemimpinan, indikator keterbukaan paling besar sumbangannya terhadap komitmen kerja perawat di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo Jawa Tengah. Demikian juga dengan hasil penelitian Simamora (2011), mengungkapkan bahwa pengetahuan, dinamika komunikasi, penghayatan dan kepekaan perawat berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan komunikasi terapeutik di RSU Swadana Tarutung. Variabel pengetahuan berpengaruh paling besar terhadap penerapan komunikasi terapeutik di RSU Swadana Tarutung.

(29)

karena itu pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Berdasarkan teori, permasalahan dan beberapa penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas, dan permasalahan yang ditemui pada Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin saat ini, maka peneliti tertarik untuk meneliti ” Pengaruh Faktor Personal dan Situasional terhadap Komunikasi Terapeutik antara Perawat Pelaksana dengan Pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan”.

1.2Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana pengaruh faktor personal dan faktor situasional terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan?.

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh faktor personal dan faktor situasional terhadap komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien di Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan.

1.4 Hipotesis

(30)

1.5 Manfaat Penelitian

1) Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi manajemen Rumah Sakit Umum Bunda Thamrin Medan dalam pengambilan kebijakan tentang komunikasi terapeutik antara perawat pelaksana dengan pasien.

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Komunikasi

Menurut Effendi (2003), komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Maksudnya

sama di sini adalah sama makna. Percakapan orang dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya selain mengerti bahasa yang digunakan juga mengerti makna dari bahan yang dibicarakan. Senada dengan pendapat Tubbs dan Moss (2000), bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna diantara dua orang atau lebih. Jadi dalam komunikasi tidak hanya mengerti arti bahasanya saja, tetapi maknanya karena dari rangkaian kata-kata yang telah disusun membentuk suatu pengertian tertentu.

Masmuh (2008), berpendapat bahwa komunikasi menyelimuti segala yang kita lakukan. Komunikasi adalah alat yang dipakai manusia untuk melangsungkan interaksi sosial, baik secara individu dengan individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan kelompok. Menurut Lunandi (1992), komunikasi merupakan usaha manusia dalam hidup pergaulan untuk menyampaikan isi hati dan pikirannya, serta memahami isi pikiran atau hati orang lain.

(32)

sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan antara komunikator dengan komunikan yang berlangsung secara bertatap-muka sehingga terjadi saling pemahaman untuk mewujudkan tujuan bersama.

Komunikasi merupakan salah satu bidang yang sangat penting dalam suatu kegiatan di perusahaan atau organisasi, mengingat bahwa perusahaan atau organisasi sebagai kumpulan orang-orang yang bersama-sama menyelenggarakan kegiatan perusahaan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi yang efektif dalam suatu organisasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.

Komunikasi adalah suatu kebutuhan dalam kehidupan manusia, seperti yang di kemukakan oleh Waltzlawick, Beavin, dan Jackson “You cannot not communicate” yang artinya ”anda tidak dapat tidak berkomunikasi” (Mulyana, 2000).

(33)

2.2 Komunikasi Interpersonal

2.2.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal merupakan suatu keadaan saling bertukar informasi antara dua orang atau lebih dalam suatu kelompok kecil. Menurut Dean Barnlund (dalam Effendy, 2003), komunikasi interpersonal adalah adanya orang-orang pada pertemuan tatap muka dalam situasi sosial informal yang melakukan interaksi terfokus melalui pertukaran verbal dan non verbal yang saling berbalasan. Komunikasi interpersonal di nilai sebagai bentuk komunikasi yang sangat efektif bila dibandingkan dengan jenis komunikasi yang lain dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku komunikan. Efektifitas komunikasi antar pribadi ini di dasarkan pada kegiatan komunikasi yang berlangsung secara tatap muka antara komunikator dengan komunikan, di mana hal ini dapat memunculkan terjadinya kontak pribadi (personal contact) pada para pelaku komunikasi.

Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar manusia, karena tanpa komunikasi, interaksi antar manusia baik secara perorangan, kelompok, maupun organisasi, tidak mungkin terjadi. Sebagian besar interaksi antar manusia berlangsung dalam situasi komunikasi antar pribadi Interpersonal Communication.

(34)

berdasarkan komponen (Componential Definition), definisi berdasarkan hubungan (Relational "Diadic" Definition), dan definisi berdasarkan hubungan (Developmental Definition) .

a. Definisi berdasarkan komponen (Componential Definition)

Definisi bedasarkan komponen menjelaskan komunikasi antar pribadi dengan mengamati komponen-komponen utamanya, yaitu penyampaian pesan oleh salah satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera.

b. Definisi berdasarkan hubungan (Relational " Diadic" Definition)

Dalam definisi ini komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi yang berlangsung antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Dengan definisi ini hampir tidak mungkin ada komunikasi diadik (dua orang) yang bukan komunikasi antar pribadi. Hampir tidak terhindarkan, selalu ada hubungan tertentu antara dua orang yang saling berkomunikasi. Adakalanya definisi hubungan diperluas sehingga mencakup juga sekelompok kecil orang, seperti anggota keluarga atau kelompok-kelompok yang terdiri atas tiga atau empat orang. c. Definisi berdasarkan pengembangan (Developmental Definition)

(35)

Menurut Effendy (2003), komunikasi interpersonal yang kadang-kadang disebut juga dengan komunikasi antar pesona atau antar pribadi sebagai terjemahan interpersonal commnunication adalah komunikasi antara seseorang dengan orang lain

yang juga seorang diri secara pribadi. Demikian juga dengan (Mulyana, 2004), berpendapat bahwa komunikasi interpersonal atau intra personal communication adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal .

Komunikasi interpersonal pada esensinya berpusat pada kualitas komunikasi antar partisipan. Partisipan yang saling berhubungan satu sama lain menganggap lebih sebagai person yang unik, memiliki kemampuan untuk memilih, mempunyai peranan, bermanfaat, dan merefleksikan diri sendiri dari pada obyek atau benda. Devito (dalam Effendy, 2003), mengemukakan definisi komunikasi interpersonal sebagai "Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan berupa umpan balik seketika".

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Interpersonal

(36)

a. Persepsi Interpersonal

Persepsi interpersonal adalah suatu persepsi yang menggunakan dan mengutamakan manusia sebagai obyek persepsi. Interpersepsi manusia terhadap suatu rangsangan sangat di pengaruhi oleh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya.

Persepsi seseorang terhadap orang lain, tidak senantiasa cermat dan benar. Seringkali terjadi bahwa apa yang di terima dan di pahami oleh komunikan tidak sesuai dengan apa yang disampaikan dan di inginkan oleh komunikator. Dalam hal ini akan terjadi kegagalan dalam berkomunikasi apabila antara komunikator dan komunikan tidak dapat menanggapi dengan cermat. Komunikasi interpersonal akan lebih baik bila kita mengetahui bahwa persepsi kita bersifat subyektif dan cenderung keliru. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi munculnya persepsi interpersonal meliputi beberapa hal yaitu:

1) Kebutuhan

Kebutuhan memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk dan menentukan perilaku manusia. Dengan kebutuhan seseorang akan mendapatkan suatu motivasi yang tidak di sadari untuk melakukan suatu kegiatan. Orang cenderung memberikan penilaian terhadap stimulus yang datang sesuai dengan hasrat dan kebutuhannya terhadap stimulus tersebut.

2) Kesiapan mental

(37)

dapat menjadi penentu apakah suatu respon dapat di terima dengan baik atau sebaliknya.

3) Suasana emosional

Kondisi dan suasana secara emosional memberi andil dalam terbentuknya suatu komunikasi yang harmonis. Suasana emosional yang tidak menentu dapat berakibat pada terhambatnya situasi komunikasi dan menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam berhubungan.

4) Latar belakang budaya

Kebiasaan dan kebudayaan yang di miliki suatu daerah akan berbeda dengan daerah lain. Pengaruh budaya daerah seseorang dapat menjadi pemicu bagaimana dia akan berprilaku dan berinteraksi terhadap suatu stimulus.

b. Konsep Diri

Konsep diri merupakan keadaan di mana seorang individu berusaha untuk mengamati, mencari gambaran, dan memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri. William D. Brooks (dalam Rakhmat, 2003) memberikan pengertian tentang konsep diri sebagai pandangan dari perasaan seseorang tentang dirinya sendiri, keadaan seperti ini dapat bersifat psikologis, sosial maupun fisik. Secara lengkap Brooks mengatakan "Those physical, social and psychologicall perceptions of ourself that we have derived from experience and our interaction with others."

(38)

Untuk dapat memperoleh suatu bentuk konsep tentang diri sendiri, terdapat dua hal yang sangat terkait, yaitu :

1) Orang lain

Memahami diri sendiri sangat berkaitan erat dengan kemampuan memahami orang lain. Mengenal diri sendiri dengan mengenal orang lain terlebih dahulu, Gabriel Marcel (dalam Rakhmat, 2003), menuliskan secara lengkap tentang peranan orang lain dalam memahami diri sendiri "The fact is the we can understand ourselves by starting from the others, and only by strating from them." bagaimana orang lain

menilai dirinya, akan membentuk konsep terhadap dirinya. 2) Kelompok rujukan (Reference group)

Sebagai mahluk sosial, manusia cenderung untuk hidup berkelompok dan berkumpul dengan orang lain. Di dalam suatu kelompok, seseorang memiliki kecenderungan untuk mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

c. Atraksi Interpersonal

Atraksi yang berasal dari bahasa latin Attrahere-ad berarti menuju, trahere yang mengandung arti menarik dan dimaksudkan secara interpersonal merupakan kecenderungan "suka" kepada orang lain, adanya sikap positif dan daya tarik seseorang. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin ada ketertarikan kepada seseorang maka kecenderungan untuk berkomunikasi dengannya juga semakin besar.

(39)

atraksi interpersonal juga berdampak pada efektifitas komunikasi karena suasana dan pertemuan dalam komunikasi dianggap sebagai hal yang menyenangkan oleh komunikan. Hubungan antar individu dalam atraksi interpersonal dipengaruhi oleh faktor personal (faktor yang timbul dari dalam diri individu) dan faktor situasional (faktor yang timbul dari luar diri individu).

1) Faktor personal yang meliputi beberapa hal, yaitu : a) Kesamaan karakteristik personal

Kesamaan karakteristik personal merupakan hal yang sangat menentukan dalam atraksi interpersonal. Orang yang memiliki kesamaan dalam sikap, nilai, keyakinan, tingkat ekonomi, agama dan ideologi cenderung saling menyukai satu sama lain. Atraksi interpersonal merupakan gabungan dari efek keseluruhan interaksi diantara individu. Karenanya, bagi komunikator akan lebih tepat untuk memulai komunikasi dengan memberi kesamaan pada komunikan.

b) Tekanan emosional

Orang yang berada dalam keadaan yang mencemaskan atau mengancam, ataupun memikul beban, akan lebih membutuhkan kehadiran orang lain dari pada orang yang tidak mengalami masalah atau beban apapun. Hal ini mencakup harga diri yang rendah dan pengaruh adanya isolasi sosial yang semuanya mengarahkan individu pada munculnya tekanan secara emosional.

c.) Harga diri yang rendah

(40)

lain. Dengan perkataan lain, orang yang rendah diri cenderung mudah mencintai orang lain.

d). Isolasi sosial

Beberapa orang peneliti menyebutkan bahwa tingkat isolasi sosial yang amat besar berpengaruh terhadap ketertarikan pada orang lain. Menurut Aronson, orang yang ketertarikan pada orang lain bertambah akan lebih di senangi daripada orang yang kesukaannya kepada pada orang tidak berubah.

2) Faktor situasional a) Daya tarik fisik

Daya tarik fisik dapat diartikan sebagai kecantikan atau ketampanan seseorang dalam penampilan. Orang yang memiliki daya tarik fisik tinggi cenderung lebih disukai orang lain dan lebih muda mendapatkan simpati serta penghargaan.

b) Ganjaran

Orang yang memberikan penghargaan kepada orang lain akan lebih didekati dari pada orang yang tidak pernah memberikan penghargaan. Penghargaan disini dapat berupa pujian, bantuan, dorongan moril, atau hal-hal lain yang meningkatkan harga diri. Dalam teori pertukaran sosial, seseorang akan melanjutkan hubungan dengan orang lain, bila keuntungan yang diperoleh lebih banyak.

c) Kedekatan (Proximity)

(41)

dimana seseorang dapat menerima orang lain dengan baik apabila telah mengenal orang tersebut secara dekat.

d) Kemampuan (Competence)

Orang-orang yang memiliki kemampuan pada suatu bidang (professional atau non profesional) lebih mudah mendapatkan simpati dari orang lain.

2.3 Komunikasi dalam Keperawatan

Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan metoda utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan. Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang besar. Untuk itu perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang mencakup ketrampilan intelektual, tehnical dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku “caring” atau kasih sayang/cinta dalam berkomunikasi dengan orang lain (Johnson, 1989).

(42)

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik. Makalah ini difokuskan pada komunikasi interpersonal yang terapeutik.

Komunikasi interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara sedikitnya dua orang atau dalam kelompok kecil, terutama dalam keperawatan. Komunikasi interpersonal yang sehat memungkinkan penyelesaian masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan personal. Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal.

2.3.1 Komunikasi Verbal

Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan.

(43)

1. Jelas dan ringkas

Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.

Contoh: “Katakan pada saya dimana rasa nyeri anda” lebih baik daripada “saya ingin anda menguraikan kepada saya bagian yang anda rasakan tidak enak.”

2. Perbendaharaan Kata

Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru-paru anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya mendengarkan paru-paru anda”.

3. Arti denotatif dan konotatif

(44)

suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan klien, perawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien.

4. Selaan dan kesempatan berbicara

Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah si perawat berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk diulang. 5. Waktu dan relevansi

(45)

akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.

6. Humor

Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.

2.3.2 Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non-verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.

Komunikasi non-verbal dapat diamati pada: 1. Meta komunikasi

(46)

terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang berbicara, yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan perasaan pengirim terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang marah.

2. Penampilan Personal

Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20 detik sampai 4 menit pertama. Delapan puluh empat persen dari kesan terhadap seserang berdasarkan penampilannya (Ascosi dalam Potter dan Perry, 1993). Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan kepribadian, status sosial, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. Perawat yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri dan profesional yang positif.

Penampilan fisik perawat mempengaruhi persepsi klien terhadap pelayanan/asuhan keperawatan yang diterima, karena tiap klien mempunyai citra bagaimana seharusnya penampilan seorang perawat. Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan perawat, tetapi mungkin akan lebih sulit bagi perawat untuk membina rasa percaya terhadap klien jika perawat tidak memenuhi citra klien.

3. Intonasi (Nada Suara)

(47)

klien, karena maksud untuk menyamakan rasa tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat.

4. Ekspresi wajah

Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama yang tampak melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan sedih. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan pendapat interpersonal. Kontak mata sangat penting dalam komunikasi interpersonal. Orang yang mempertahankan kontak mata selama pembicaraan diekspresikan sebagai orang yang dapat dipercaya, dan memungkinkan untuk menjadi pengamat yang baik. Perawat sebaiknya tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan klien, oleh karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga perawat tidak tampak dominan jika kontak mata dengan klien dilakukan dalam keadaan sejajar.

5. Sikap tubuh dan langkah

Sikap tubuh dan langkah menggambarkan sikap; emosi, konsep diri dan keadaan fisik. Perawat dapat mengumpulkan informasi yang bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. Langkah dapat dipengaruhi oleh faktor fisik seperti rasa sakit, obat, atau fraktur.

6. Sentuhan

(48)

perawat menyentuh klien, seperti ketika memandikan, melakukan pemeriksaan fisik, atau membantu memakaikan pakaian. Perlu disadari bahwa keadaan sakit membuat klien tergantung kepada perawat untuk melakukan kontak interpersonal sehingga sulit untuk menghindarkan sentuhan. Lindberg et al (1982) dan Wilson & Kneisl (1992) menyatakan bahwa walaupun sentuhan banyak bermanfaat ketika membantu klien, tetapi perlu diperhatikan apakah penggunaan sentuhan dapat dimengerti dan diterima oleh klien, sehingga harus dilakukan dengan kepekaan dan hati-hati.

2.3.3 Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi antara perawat dengan pasien merupakan bentuk komunikasi antar pribadi (interpersonal communication). Menurut Verdeber dalam Nasir et al., (2009), komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan-gagasan dan perasaan.

(49)

realisasi diri (Kozier dan Glenora, 2000). Komunikasi terapeutik berbeda dengan komunikasi sosial yaitu pada komunikasi terapeutik selalu terdapat tujuan atau arah yang spesifik untuk komunikasi. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien dan membina hubungan yang terapeutik antara perawat dan klien.

a. Fungsi Komunikasi Terapeutik

Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerjasama antara perawat-klien melalui hubungan perawat-klien. Perawat berusaha mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam perawatan (Vancarolis dalam Purwanto, 1994).

Dwidiyanti (2008) mengungkapkan bahwa seorang perawat profesional selalu mengupayakan untuk berperilaku terapeutik, yang berarti bahwa tiap interaksi yang dilakukan menimbulkan dampak terapeutik yang memungkinkan klien untuk tumbuh dan berkembang. Stuart dan Sundeen (1995) menyatakan bahwa tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien, meliputi:

(a). Meningkatkan tingkat kemandirian klien melalui proses realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri.

(b). Identitas diri yang jelas dan rasa integritas yang tinggi.

(50)

(d). Meningkatkan kesejahteraan klien dengan peningkatan fungsi dan kemampuan memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal yang realistik.

b. Ciri-Ciri Komunikasi Terapeutik

Terdapat tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik antara lain (Arwani, 2002):

(a). Keikhlasan (Genuiness)

Perawat harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai terhadap klien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikan secara tepat.

(b). Empati (Empathy)

Empati merupakan perasaan ”pemahaman” dan ”penerimaan” perawat terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan dunia pribadi klien. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak dibuat-buat (objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati cenderung bergantung pada kesamaan pengalaman diantara orang yang terlibat komunikasi.

(c). Kehangatan (Warmth)

(51)

c. Prinsip Komunikasi Terapeutik

Keliat (1996) menyatakan tujuan komunikasi terapeutik akan tercapai apabila perawat memiliki prinsip-prinsip/karakteristik ”helping relationship” dalam menerapkan komunikasi terapeutik meliputi:

(a). Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.

(b).Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.

(c). Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.

(d) Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental. (e). Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki

motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap maupun tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. (f). Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk

mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah,keberhasilan maupun frustasi.

(g). Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.

(h). Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.

(52)

(j). Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik, mental, spiritual dan gaya hidup.

(k). Disarankan untuk mengekspresikan perasaan yang dianggap mengganggu.

(l). Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.

(m).Altruisme, mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi.

(n). Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.

(o). Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap dirinya atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.

Dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, diharapkan perawat akan mampu menggunakan dirinya sendiri secara terapeutik (therapeutic use of self).

d. Teknik Komunikasi Terapeutik

Teknik komunikasi terapeutik terdiri dari (Stuart dan Sundeen, 1995): (a). Mendengarkan (Listening)

(53)

adalah penting dan dia adalah orang yang penting. Mendengarkan juga menunjukkan pesan ”anda bernilai untuk saya” dan ”saya tertarik padamu”.

(b). Pertanyaan terbuka (Broad Opening)

Memberikan inisiatif kepada klien, mendorong klien untuk menyeleksi topik yang akan dibicarakan. Kegiatan ini bernilai terapeutik apabila klien menunjukkan penerimaan dan nilai dari inisiatif klien dan menjadi non terapeutik apabila perawat mendominasi interaksi dan menolak respon klien (Stuart dan Sundeen, 1995).

(c). Mengulang (Restating)

Merupakan teknik yang dilaksanakan dengan cara mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien, yang berguna untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat untuk mengikuti pembicaraan. Teknik ini bernilai terapeutik ditandai dengan perawat mendengar dan melakukan validasi, mendukung klien dan memberikan respon terhadap apa yang baru saja dikatakan oleh klien. (d). Penerimaan (Acceptance)

(54)

(e).Klarifikasi

Klarifikasi merupakan teknik yang digunakan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau klien malu mengemukakan informasi dan perawat mencoba memahami situasi yang digambarkan klien.

(f). Memfokuskan

Cara ini dengan memilih topik yang penting atau yang telah dipilih dengan menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yang lebih spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas.

(g). Membagi persepsi

Merupakan teknik komunikasi dengan cara meminta pendapat klien tentang hal-hal yang dirasakan dan dipikirkan.

(h). Identifikasi ”tema”

Merupakan teknik dengan mencari latar belakang masalah klien yang muncul dan berguna untuk meningkatkan pengertian dan eksplorasi masalah yang penting. (i). Diam

(55)

(j). Informing

Menyediakan tambahan informasi dengan tujuan untuk mendapatkan respon lebih lanjut. Beberapa keuntungan dari menawarkan informasi adalah akan memfasilitasi komunikasi, mendorong pendidikan kesehatan dan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan (Stuart dan Sundeen, 1995). Kurangnya pemberian informasi yang dilakukan saat klien membutuhkan akan mengakibatkan klien tidak percaya. Hal yang tidak boleh dilakukan adalah menasehati klien pada saat memberikan informasi.

(k). Humor

Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.

(56)

(l). Saran

Teknik yang bertujuan memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Teknik ini tidak tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.

e. Penerapan Komunikasi Terapeutik

Dalam penerapan komunikasi terapeutik ada empat tahap, dimana pada setiap tahap mempunyai tugas yang harus diselesaikan oleh perawat (Stuart dan Sundeen, 1995).

(a). Fase Prainteraksi

Prainteraksi dimulai sebelum kontak pertama dengan klien. Perawat mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan klien.

(b). Fase Orientasi

Fase ini dimulai ketika perawat berrtemu dengan klien untuk pertama kalinya. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan memengaruhi terbinanya hubungan perawat dengan pasien.

(57)

kegiatan, menjelaskan kerahasiaan. Tujuan akhir pada fase ini ialah terbina hubungan saling percaya.

(c). Fase Kerja

Pada tahap kerja dalam komunikasi terapeutik, kegiatan yang dilakukan adalah memberi kesempatan pada klien untuk bertanya, menanyakan keluhan utama, memulai kegiatan dengan cara yang baik, melakukan kegiatan sesuai rencana. Perawat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan pola-pola adaptif klien. Interaksi yang memuaskan akan menciptakan situasi/suasana yang meningkatkan integritas klien dengan meminimalisasi ketakutan, ketidakpercayaan, kecemasan dan tekanan pada klien.

(d). Fase Terminasi

Pada tahap terminasi dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang dilakukan oleh perawat adalah menyimpulkan hasil wawancara, tindak lanjut dengan klien, melakukan kontrak (waktu, tempat dan topik), mengakhiri wawancara dengan cara yang baik (Stuart dan Sundeen, 1995).

Menurut Egan dalam Keliat (1996) cara perawat menghadirkan diri secara fisik sehingga dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, maka seorang perawat perlu memperhatikan sikap tertentu untuk melakukan komunikasi terapeutik antara lain:

(a). Berhadapan

(58)

(b). Mempertahankan kontak

Kontak mata merupakan kegiatan menghargai klien dan mengatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

(c). Membungkuk ke arah klien

Sikap ini merupakan posisi yang menunjukkan keinginan untuk mendengar sesuatu.

(d). Mempertahankan sikap terbuka

Sikap ini ditunjukkan dengan posisi kaki tidak melipat tangan, menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.

(e). Tetap rileks

Merupakan sikap yang menunjukkan adanya keseimbangan antara ketegangan dengan relaksasi dalam memberi respon pada klien. Tamsuri (2005) sikap rileks menciptakan iklim yang kondusif bagi klien untuk tetap melakukan komunikasi dan pengembangan komunikasi.

2.3.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik dapat dipengaruhi beberapa hal antara lain (Potter dan Perry dalam Nurjannah, 2001) :

a. Perkembangan

(59)

dapat berkomunikasi efektif seorang perawat harus mengerti pengaruh perkembangan usia baik dari sisi bahasa, maupun proses berpikir orang tersebut.

b. Persepsi

Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi dibentuk oleh harapan atau pengalaman. Perbedaan persepsi dapat mengakibatkan terhambatnya komunikasi.

c. Gender

Laki-laki dan perempuan menunjukkan gaya komunikasi yang berbeda dan memiliki interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Tannen (1990) menyatakan bahwa kaum perempuan menggunakan teknik komunikasi untuk mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan, dan meningkatkan keintiman, sementara kaum laki-laki lebih menunjukkan indepedensi dan status dalam kelompoknya.

d. Nilai

Nilai adalah standar yang memengaruhi perilaku sehingga penting bagi perawat untuk menyadari nilai seseorang. Perawat perlu berusaha mengklarifikasi nilai sehingga dapat membuat keputusan dan interaksi yang tepat dengan klien. Dalam hubungan profesionalnya diharapkan perawat tidak terpengaruh oleh nilai pribadinya.

e. Latar belakang sosial budaya

(60)

f. Emosi

Emosi merupakan perasaan subyektif terhadap suatu kejadian. Emosi seperti marah, sedih, senang akan memengaruhi perawat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Perawat perlu mengkaji emosi klien dan keluarganya sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan dengan tepat. Selain itu perawat perlu mengevaluasi emosi yang ada pada dirinya agar dalam melakukan asuhan keperawatan tidak terpengaruh oleh emosi bawah sadarnya.

g. Pengetahuan

Tingkat pengetahuan akan memengaruhi komunikasi yang dilakukan. Seseorang dengan tingkat pengetahuan rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Hal tersebut berlaku juga dalam penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit. Hubungan terapeutik akan terjalin dengan baik jika didukung oleh pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik baik tujuan, manfaat dan proses yang akan dilakukan. Perawat juga perlu mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien secara profesional.

h. Peran dan Hubungan

(61)

i. Lingkungan

Lingkungan interaksi akan memengaruhi komunikasi efektif. Suasana yang bising, tidak ada privacy yang tepat akan menimbulkan kerancuan, ketegangan dan ketidaknyamanan. Untuk itu perawat perlu menyiapkan lingkungan yang tepat dan nyaman sebelum memulai interaksi dengan pasien. Menurut Mariner et al (2006) lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan memengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.

j. Jarak

Jarak dapat memengaruhi komunikasi. Jarak tertentu menyediakan rasa aman dan kontrol. Untuk itu perawat perlu memperhitungkan jarak yang tetap pada saat melakukan hubungan dengan klien.

k. Masa bekerja

Masa bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di tempat kerja. Makin lama seseorang bekerja semakin banyak pengalaman yang dimilikinya sehingga akan semakin baik komunikasinya (Kariyoso, 1994).

(62)

Kemampuan menerapkan teknik komunikasi memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman, karena komunikasi terjadi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut memengaruhi kepuasan klien. Keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak tercapainya kepuasan klien dalam menerima asuhan keperawatan yang berkaitan dengan komunikasi yang juga merupakan kepuasan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional.

2. 4 Rumah Sakit

2.4.1 Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit adalah organisasi unik karena merupakan paduan antara organisasi padat teknologi, padat karya dan padat modal sehingga pengelolaan rumah sakit menjadi disiplin ilmu tersendiri yang mengedepankan dua hal sekaligus, yaitu teknologi dan perilaku manusia di dalam organisasi (Subanegara, 2005).

American Hospital Association di tahun 1987, menyatakan bahwa rumah sakit

adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada pasien (diagnostik dan terapeutik) untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan, baik yang bersifat bedah maupun non bedah. Rumah sakit harus dibangun, dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pasiennya dan harus menyediakan fasilitas yang lapang, tidak berdesak-desakan dan terjamin sanitasinya bagi kesembuhan pasien (Aditama, 2003).

(63)

1.Kenyataan bahwa bahan baku dari industri jasa kesehatan adalah manusia. Dalam industri rumah sakit, seyogyanya tujuan utamanya adalah melayani kebutuhan manusia, bukan semata-mata menghasilkan produk dengan proses dan biaya yang manajemen, khususnya menyangkut pertimbangan etika dan nilai kehidupan manusia. seefisien mungkin. Unsur manusia perlu mendapat perhatian dan tanggung jawab utama pengelola rumah sakit. Perbedaan ini mempunyai dampak penting dalam manajemen, khususnya menyangkut pertimbangan etika dan nilai kehidupan manusia.

2.Kenyataan bahwa dalam industri rumah sakit yang disebut sebagai pelanggan (customer) tidak selalu mereka yang menerima pelayanan. Pasien adalah mereka yang diobati di rumah sakit. Akan tetapi, kadang-kadang bukan mereka sendiri yang menentukan di rumah sakit mana mereka harus dirawat. Bagi karyawan ditentukan oleh kebijaksanaan kantornya. Jadi jelaslah mereka yang diobati di suatu rumah sakit belum tentu kemauan pasien. Selain itu, jenis tindakan medis yang akan dilakukan dan pengobatan yang diberikan juga tidak tergantung pada pasiennya, tetapi tergantung dari dokter yang merawatnya. Ini tentu amat berbeda dengan bisnis restoran di mana si pelangganlah yang menentukan menunya yang akan dibeli.

(64)

kerja manajemen organisasi secara keseluruhan tetapi bekerja dengan standar profesi yang dianutnya. Akibatnya ada kesan bahwa fungsi manajemen dianggap kurang penting.

Dalam kerangka tatanan Sistem Kesehatan Nasional, Rumah Sakit menjadi salah satu unsur yang harus dapat memenuhi tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dan tujuan nasional.

Rumah Sakit Umum mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya promotif dan preventif serta melaksanakan upaya rujukan.

Gambar

Tabel 1.1 Indikator Kinerja RSU Bunda Thamrin Medan Tahun 2009-2010
Gambar 2.1  Landasan Teori Sumber : Devito dalam Rakhmat (2003)
Gambar  2.2  Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1 Tabel 3.1  Pengukuran Variabel Bebas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Air yang masuk ke dalam tanah ini kemudian menjadi air cadangan (sumber air). Air cadangan akan selalu ada apabila daerah peresapan air selalu tersedia. Daerah resapan air terdapat

Latar Belakang Pendidikan Kepala Daerah, Ukuran DPRD, dan Komposisi DPRD berpengaruh terhadap Ketepatan Waktu dalam menetapkan APBD, namun Size Pemerintah Daerah dan

Kata yang tepat untuk melengkapi kalimat diatas adalah

Variabel Independen : Peraturan Perundangundangan, Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD, Koordinasi Eksekutif dan Legislatif, Kepentingan Eksekutif dan Legislatif,

menengah Direktorat pembinaan sekolah menengah atas.2016 hal.43-44.. lingkup sekolah objek sikap yang dimaksud ialah keseluruhan warga sekolah mulai dari guru, siswa,

[r]

Untuk menambah pengetahuan penulis tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak pengguna jasa laundry pakaian serta pertanggungjawaban pihak pelaku usaha

[r]