• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kompetensi Komunikasi Antara Remaja Awal Bilingual Dengan Monolingual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Kompetensi Komunikasi Antara Remaja Awal Bilingual Dengan Monolingual"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARA

REMAJA AWAL BILINGUAL DENGAN MONOLINGUAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

KHAIRIAH MULIA RAHMA

071301028

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Perbedaan kompetensi komunikasi antara

remaja awal bilingual dengan monolingual

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperolah gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2011

(3)

Perbedaan Kompetensi Komunikasi Antara Remaja Awal Bilingual Dengan Monolingual

Khairiah Mulia Rahma dan Liza Marini

ABSTRAK

Komunikasi merupakan hal fundamental yang sangat penting bagi kehidupan. Tidak ada aktivitas yang dapat dilakukan tanpa komunikasi. Individu yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik akan mampu berinteraksi dan memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya. Kompetensi komunikasi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif sesuai dengan situasi sosialnya. Kompetensi komunikasi sangat diperlukan bagi para remaja, khususnya remaja awal. Kompetensi komunikasi dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sehari-hari. Penggunaan dua bahasa atau bilingual maupun satu bahasa atau monolingual akan mempengaruhi kompetensi komunikasi seseorang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 160 orang yang berusia 12-15 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi komunikasi yang disusun berdasarkan komponen kompetensi komunikasi yang dikemukakan Brian Spitzberg dan William Cupach (dalam Greene & Burleson, 2003; Payne, 2005), yaitu knowledge, motivation, dan skill.

Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment dan reliabilitas data uji coba dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach, maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan aitem sebesar 0.916. Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan perhitungan statistik independent sample t-test, diperoleh nilai t=3.510 dan p=0.001 yang lebih kecil dari 0.05, sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternative (Ha) diterima yang berarti ada perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual. Hasil tambahan yang diperoleh menyatakan bahwa tidak ada perberbedaan kompetensi komunikasi remaja awal berdasarkan usia dan jenis kelamin, dan ada perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dan monolingual pada komponen dan indicator perilakunya.

(4)

The Difference of Communication Competence between Bilingual and Monolingual Early Adolescent

Khairiah Mulia Rahma dan Liza Marini

ABSTRACT

Communication is fundamental things that very important for our life. There is no activity can be done without communication. A person with good communication competence will have good performance in interaction and relationship with surroundings. Communication competence is a function of one’s ability to adapt to differing social constrain in appropriateness and effectiveness way. Communication competence is very important for adolescent, specifically for early adolescent. The use of language in life time can have affect on communication competence. Being bilingual or monolingual will effect one’s communication competence.

This research aims to know the difference of communication competence between bilingual and monolingual early adolescent. The subject is chosen using

simple random sampling, there are 160 subject in aged 12-15 years old. Measurement tool used in this research is communication competence scale according to theory proposed by Brian Spitzberg and William Cupach (in Greene & Burleson, 2003; Payne, 2005), and the component is knowledge, motivation, and skill.

Based on estimate of the items by using Pearson Product Moment and reliability of the power test by using the technique of Alpha Cronbach coefficient, and overall alpha coefficient is 0.916. The analysis result by using statistic independent sample t-test shows score t=3.50 and p=0.001 that less than p=0.05, that means hypothesis nol (Ho) is rejected and hypothesis alternative (Ha) is accepted, that means there are difference of communication competence between bilingual and monolingual early adolescent. As addition result, there is no difference of communication competence based on age and gender, and there is difference of communication competence between bilingual and monolingual early adolescent based on component and behavior indicator.

Keyword: communication competence, bilingual, monolingual, early adolescent

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya serta petunjuk-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperolah gelar sarjana jenjang Strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul “Perbedaan Kompetensi Komunikasi antara Remaja Awal Bilingual dengan Monolingual” dengan baik.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua yang tidak lelah mendoakan dan memberi semangat kepada peneliti hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Peneliti ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, berserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Liza Marini, M.Psi, selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing peneliti dalam menyusun skripsi ini dan atas bimbingan, saran, dan waktu yang diluangkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(6)

4. Kepada kepala sekolah SMP Negeri 1 Binjai, SMP Krakatau Medan, serta SMP Shafiyyatul Amaliyyah, yang telah bersedia mengijinkan peneliti dalam pengambilan data. Peneliti juga secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Hayati, sebagai PKS 1 SMP Krakatau Medan, dan Miss Meri, selaku PKS 1 SMP Shafiyyatul Amaliyyah, yang senantiasa membantu kelancaran peneliti dalam pengambilan data.

5. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada peneliti, dan seluruh pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu peneliti menyediakan segala keperluan selama perkuliahan.

6. Adik-adik peneliti yang tersayang, Husnul Khotimah dan Miftahul Jannah, atas setiap dukungan dan bantuannya yang memberi semangat peneliti untuk terus berusaha dan tidak putus asa.

7. Teman-teman dekat yang terus mendukung, memberi semangat dan ikut membantu sehingga skripsi ini dapat selesai. Untuk Kiki Fatmala Sari, Nana Zahara, Zulfadillah, Nur Sadrina, Ridya Tyastiti, Vety Dazeva, Nuzulia Rahmati atas semangat dan dukungannya, khususnya untuk Massita Ozar yang telah ikut membantu peneliti dalam pengambilan data, peneliti mengucapkan banyak terima kasih.

(7)

dukungan, dan kasih sayang sehingga peneliti dapat terus maju dan meyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu atas kebersamaannya selama 4 tahun yang menyenangkan dan terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

10.Semua orang yang telah membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun untuk mencapai yang lebih baik lagi. Peneliti berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Desember 2011

Peneliti

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... 2

ABSTRAK ... 3

KATA PENGANTAR ... 5

DAFTAR ISI ... 8

DAFTAR TABEL ... 12

DAFTAR DIAGRAM... 14

DAFTAR GRAFIK... 15

DAFTAR LAMPIRAN ... 16

BAB I PENDAHULUAN ... 17

A. Latar Belakang ... 17

B. Perumusan Masalah ... 24

C. Tujuan Penelitian... 24

D. Manfaat Penelitian ... 24

E. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II LANDASAN TEORI ... 27

A. Kompetensi Komunikasi ... 27

1. Definisi Kompetensi Komunikasi ... 27

2. Komponen Kompetensi Komunikasi... 28

(9)

4. Fungsi dan Pentingnya Komunikasi ... 32

B. Bilingual dan Monolingual ... 35

1. Definisi Bilingual dan Monolingual ... 35

2. Kategori Bilingual ... 38

3. Dampak Positif Bilingual ... 39

4. Dampak Negatif Bilingual ... 42

C. Remaja ... 44

1. Definisi Remaja ... 44

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 46

3. Perkembangan Bahasa dan Komunikasi Remaja ... 47

D. Perbedaan Kompetensi Komunikasi antara Remaja Awal Bilingual dengan Monolingual ... 49

E. Hipotesa ... 52

BAB III METODE PENELITIAN ... 53

A. Identifikasi Variabel ... 53

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 53

1. Kompetensi Komunikasi ... 53

2. Bilingual dan Monolingual ... 55

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 55

1. Populasi ... 55

2. Metode Pengambilan Sampel ... 57

D. Alat Ukur yang Digunakan ... 57

(10)

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 60

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 63

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 64

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 65

3. Tahap Pengolahan Data ... 66

F. Metode Analisa Data ... 66

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 68

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 68

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 68

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

B. Hasil Penelitian ... 71

1. Uji Asumsi ... 71

a. Uji Normalitas ... 71

b. Uji Homogenitas ... 73

2. Hasil Utama Penelitian ... 74

a. Uji Hipotesa Penelitian ... 74

b. Kategorisasi Data Penelitian ... 76

3. Hasil Tambahan ... 78

a. Perbedaan Kompetensi Komunikasi Berdasarkan Usia ... 79

b. Perbedaan Kompetensi Komunikasi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 80

(11)

d. Perbedaan Kompetensi Komunikasi Berdasarkan Indikator

Perilakunya ... 82

C. Pembahasan... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 94

1. Saran Metodologis ... 94

2. Saran Praktis ... 95

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Sebelum Uji

Coba ... 60

Tabel 2 Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Setelah Uji Coba ... 61

Tabel 3 Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Saat Penelitian .. 62

Tabel 4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 68

Tabel 5 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 70

Tabel 6 Hasil Uji Normalitas ... 71

Tabel 7 Hasil Uji Homogenitas ... 74

Tabel 8 Gambaran Skor Kompetensi Komunikasi ... 75

Tabel 9 Hasil Perhitungan Uji t ... 75

Tabel 10 Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik Skala Kompetensi Komunikasi ... 76

Tabel 11 Kategorisasi Skor Kompetensi Komunikasi Remaja Awal Monolingual ... 77

Tabel 12 Kategorisasi Skor Kompetensi Komunikasi Remaja Awal Bilingual ... 78

(13)

Tabel 14 Hasil Perhitungan ANOVA Kompetensi Komunikasi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 80

Tabel 15 Hasil Analisa Kompetensi Komunikasi Tiap Komponen ... 81

(14)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 69

(15)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 1 Normalitas Kompetensi Komunikasi Remaja Awal

Monolingual ... 72

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Data Mentah Hasil Uji Coba Skala Kompetensi Komunikasi . 102

Lampiran 2 Hasil Analisa Aitem Uji Coba Skala Kompetensi

Komunikasi ... 113

Lampiran 3 Data Mentah Subjek Penelitian Skala Kompetensi Komunikasi ... 125

Lampiran 4 Hasil Uji Skala Kompetensi Komunikasi ... 138

Lampiran 5 Skala Kompetensi Komunikasi Sebelum Uji Coba ... 141

Lampiran 6 Skala Kompetensi Komunikasi ... 150

(17)

Perbedaan Kompetensi Komunikasi Antara Remaja Awal Bilingual Dengan Monolingual

Khairiah Mulia Rahma dan Liza Marini

ABSTRAK

Komunikasi merupakan hal fundamental yang sangat penting bagi kehidupan. Tidak ada aktivitas yang dapat dilakukan tanpa komunikasi. Individu yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik akan mampu berinteraksi dan memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya. Kompetensi komunikasi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif sesuai dengan situasi sosialnya. Kompetensi komunikasi sangat diperlukan bagi para remaja, khususnya remaja awal. Kompetensi komunikasi dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sehari-hari. Penggunaan dua bahasa atau bilingual maupun satu bahasa atau monolingual akan mempengaruhi kompetensi komunikasi seseorang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 160 orang yang berusia 12-15 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi komunikasi yang disusun berdasarkan komponen kompetensi komunikasi yang dikemukakan Brian Spitzberg dan William Cupach (dalam Greene & Burleson, 2003; Payne, 2005), yaitu knowledge, motivation, dan skill.

Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment dan reliabilitas data uji coba dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach, maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan aitem sebesar 0.916. Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan perhitungan statistik independent sample t-test, diperoleh nilai t=3.510 dan p=0.001 yang lebih kecil dari 0.05, sehingga hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis alternative (Ha) diterima yang berarti ada perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual. Hasil tambahan yang diperoleh menyatakan bahwa tidak ada perberbedaan kompetensi komunikasi remaja awal berdasarkan usia dan jenis kelamin, dan ada perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dan monolingual pada komponen dan indicator perilakunya.

(18)

The Difference of Communication Competence between Bilingual and Monolingual Early Adolescent

Khairiah Mulia Rahma dan Liza Marini

ABSTRACT

Communication is fundamental things that very important for our life. There is no activity can be done without communication. A person with good communication competence will have good performance in interaction and relationship with surroundings. Communication competence is a function of one’s ability to adapt to differing social constrain in appropriateness and effectiveness way. Communication competence is very important for adolescent, specifically for early adolescent. The use of language in life time can have affect on communication competence. Being bilingual or monolingual will effect one’s communication competence.

This research aims to know the difference of communication competence between bilingual and monolingual early adolescent. The subject is chosen using

simple random sampling, there are 160 subject in aged 12-15 years old. Measurement tool used in this research is communication competence scale according to theory proposed by Brian Spitzberg and William Cupach (in Greene & Burleson, 2003; Payne, 2005), and the component is knowledge, motivation, and skill.

Based on estimate of the items by using Pearson Product Moment and reliability of the power test by using the technique of Alpha Cronbach coefficient, and overall alpha coefficient is 0.916. The analysis result by using statistic independent sample t-test shows score t=3.50 and p=0.001 that less than p=0.05, that means hypothesis nol (Ho) is rejected and hypothesis alternative (Ha) is accepted, that means there are difference of communication competence between bilingual and monolingual early adolescent. As addition result, there is no difference of communication competence based on age and gender, and there is difference of communication competence between bilingual and monolingual early adolescent based on component and behavior indicator.

Keyword: communication competence, bilingual, monolingual, early adolescent

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

(20)

Bilingualism sendiri memiliki pengertian sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat, sedangkan bilingual adalah orang atau masyarakat yang mampu atau bisa memakai dua bahasa. Tingkat kemampuan bilingual seseorang tidak harus sempurna, akan tetapi cukup pada tingkat minimal atau paling tidak mampu memproduksi kalimat dalam dua bahasa (Kridalaksana, 1993). Penggunaan hanya satu bahasa atau hanya memahami satu bahasa saja disebut dengan monolingualism. Sedangkan monolingual adalah seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan satu bahasa.

Program bilingual memang sudah terbukti memiliki manfaat yang positif bagi perkembangan seorang individu. Banyak penelitian yang telah membuktikan manfaat dari program bilingual ini. Raguenaud (2009) menyatakan bahwa bilingual memiliki beberapa manfaat seperti yang telah ditunjukkan oleh para ahli dalam beberapa tahun terakhir bahwa menggunakan dua bahasa dapat meningkatkan kesuksesan para pelajar dalam hal akademik. Raguenaud juga menyebutkan bahwa individu bilingual memiliki peluang yang sangat besar untuk memiliki pengetahuan yang lebih luas karena mereka memiliki latar belakang dari dua literatur bahasa. Individu bilingual juga dikatakan memiliki self-esteem yang lebih baik dibandingkan individu monolingual serta dapat memiliki peluang yang lebih baik dalam persaingan di dunia kerja.

(21)

tinggi di sekolah dibandingkan dengan anak monolingual yang berada pada usia dan tingkatan kelas yang sama.

Baker (2001) juga menambahkan bahwa bilingual dapat mengembangkan kemampuan komunikasi seorang individu sehingga ia dapat berkomunikasi dengan menggunakan dua bahasa yang dipelajari. Individu yang memiliki kemampuan bilingual mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda bangsa dan etnis dalam ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi dibanding anak yang monolingual. Penerapan bilingualism juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir individu. Dengan belajar bilingual, individu dapat berpikir lebih tajam, fleksibel, kreatif dan memiliki dua atau lebih kata-kata untuk setiap obyek dan ide, juga membuatnya lebih hati-hati dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda bahasa.

(22)

diungkapkan oleh Sulivan, Ausubel, dan Ives (dalam Takuwa, 2000) bahwa menjadi bilingual dapat memberi pengaruh negatif yang berbahaya bagi perkembangan kognitif anak yang juga berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan komunikasi anak tersebut.

Bernd Meyer (2005) dalam penelitiannya tentang resiko bilingual terhadap komunikasi, mengatakan bahwa resiko yang paling besar dalam penggunaan bilingual dalam komunikasi adalah kesalahan dalam interpretasi. Meyer yang memusatkan penelitiannya di bidang kesehatan menyatakan, bahwa bilingual dapat memiliki resiko yang besar jika terjadi kesalahan interpretasi akibat perbedaan bahasa tersebut. Kesalahan interpretasi tersebut dapat menyebabkan komunikasi yang tidak tepat sehingga dapat merugikan bagi individu yang melakukan komunikasi.

(23)

Berbicara mengenai bilingual tidak bisa terlepas dari aspek komunikasi. Dalam berkomunikasi sendiri dibutuhkan suatu kemampuan atau kompetensi, dimana kompetensi dimaknai sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir, dan bertindak. Kompetensi dapat pula dimaksudkan sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan (Herry, 1998). Sedangkan kompetensi komunikasi didefinisikan sebagai sejumlah kemampuan yang dimiliki seorang komunikator untuk digunakan dalam proses komunikasi (Jablin dan Sias dalam Payne, 2005).

Spitzberg (dalam Lane, 2000) mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan baik dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial. Pengertian yang lebih lengkap diungkapkan oleh Friedrich (dalam Lane, 2000) yang mengatakan bahwa kompetensi komunikasi merupakan suatu kemampuan situasional untuk menetapkan tujuan yang realistis dan tepat untuk memaksimalkan kemampuan seseorang dengan menggunakan pengetahuan akan dirinya, orang lain, isi pesan, dan teori komunikasi dalam mengembangkan kemampuan komunikasinya.

(24)

dengan orang lain memang sangat diperlukan oleh remaja, terutama remaja yang berada pada masa remaja awal dimana mereka harus mulai membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan lebih baik dibandingkan pada saat kanak-kanak akhir. Pada masa kanak-kanak, seorang individu hanya menggunakan komunikasi untuk menyampaikan keinginannya serta untuk memulai menjalin hubungan dengan orang lain, sedangkan pada masa remaja awal kemampuan komunikasi diperlukan untuk memperluas dan mempererat hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, seorang remaja dituntut memiliki kemampuan atau kompetensi komunikasi yang baik agar dapat berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain secara efektif.

(25)

Remaja bilingual, khususnya yang berada di kota-kota besar di Indonesia, sering menganggap penggunaan bahasa Indonesia resmi merupakan hal yang kurang bergengsi (kurang prestise), kurang nyaman (comfort), kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi atau kurang bergaya (prestige motive). Remaja bilingual juga suka mencampur-campur unsur bahasa Inggris saat menggunakan bahasa Indonesia dan juga suka beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi komunikasi tidak menuntutnya. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi kompetensi komunikasi yang dimiliki remaja tersebut dan juga dapat menyebabkan tumpang-tindih dalam penggunan bahasa. Berbeda halnya dengan remaja bilingual, remaja monolingual tidak akan mengalami gangguan dalam kompetensi komunikasinya karena mereka hanya menggunakan satu bahasa saja dalam kesehariannya yaitu bahasa Indonesia, sehingga perkembangan kompetensi komunikasinya tidak akan terganggu (Lumintaintang, 2009).

(26)

kemampuan komunikasi individu. Tetapi di samping manfaat-manfaat yang dimilikinya, bilingual ternyata dapat menimbulkan efek negatif bagi remaja, seperti dapat menyebabkan gangguan perkembangan bahasa dan komunikasi remaja. Selain itu para remaja bilingual juga dapat mengalami gangguan-gangguan dalam menerapkan penggunaan dua bahasanya sehari-hari, dimana hal ini tidak akan dialami remaja monolingual.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan remaja monolingual.

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual.

D. MANFAAT PENELITIAN

(27)

1. Manfaat Teoritis

a) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep dan teori perkembangan ilmu psikologi, khususnya ilmu Psikologi Perkembangan yang terkait dengan perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual.

b) Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a) Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dan monolingual, sehingga dapat menambah bahan referensi bagi orang tua yang menerapkan bilingual maupun monolingual pada anak-anaknya.

c) Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada remaja bilingual maupun monolingual sehingga dapat memahani dengan baik tentang kompetensi komunikasi dan lebih mengembangkan kompetensi komunikasi yang dimilikinya.

(28)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai kompetensi komunikasi, bilingual, serta perkembangan remaja.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini terdiri dari identifikasi variabel, defenisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data. BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi uraian singkat hasil penelitian,interpretasi data serta pembahasannya.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMPETENSI KOMUNIKASI

1. Definisi Kompetensi Komunikasi

Jablin dan Sias (dalam Payne, 2005) mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai sejumlah kemampuan yang dimiliki seorang komunikator untuk digunakan dalam proses komunikasi, yang menekankan pada pengetahuan dan kemampuan.

Duran (dalam Salleh, 2006) menyatakan bahwa kompetensi komunikasi merupakan suatu fungsi dari kemampuan seseorang untuk beradaptasi sesuai dengan situasi sosialnya. Sedangkan Larson, Backlund, Redmond & Barbour (dalam Salleh, 2006) menyatakan bahwa kompetensi komunikasi meliputi kemampuan seorang individu untuk mendemonstrasikan pengetahuannya tentang perilaku komunikasi yang tepat pada situasi yang ada.

(30)

Spitzberg dan Cupach (dalam Rickheit dan Strohner, 2008) menyatakan bahwa kompetensi komunikasi merupakan kemampuan seorang individu untuk beradaptasi dan berkomunikasi secara efektif dalam segala situasi sosial sepanjang waktu, dimana kemampuan ini mengarah pada kemampuan untuk bertindak yang dipengaruhi motivasi dan pengetahuan yang dimiliki individu.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi adalah kemampuan seorang individu untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif sesuai dengan situasi sosialnya, yang meliputi kemampuan individu dalam bertindak, serta pengetahuan dan motivasi yang dimiliki individu.

2. Komponen Kompetensi Komunikasi

Brian Spitzberg dan William Cupach (dalam Greene & Burleson, 2003; Payne,2005) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen kompetensi komunikasi, yaitu: knowledge, skills, dan motivation.

a) Knowledge

(31)

Pengetahuan ini dibutuhkan agar komunikasi dapat berjalan secara efektif dan tepat. Pengetahuan ini akan bertambah seiring tingginya pendidikan dan pengalaman. Oleh karena itu, semakin seseorang mengetahui bagaimana harus berkomunikasi dalam situasi yang berbeda maka kompetensi atau kemampuan berkomunikasinya akan semakin baik.

b) Motivation

Motivasi dalam hal ini merupakan hasrat atau keinginan seseorang untuk melakukan komunikasi atau menghindari komunikasi dengan orang lain. Motivasi biasanya berhubungan dengan tujuan-tujuan tertentu seperti untuk menjalin hubungan baru, mendapatkan informasi yang diinginkan, terlibat dalam pengambilan keputusan bersama, dan lain sebagainya. Semakin individu memiliki keinginan untuk berkomunikasi secara efektif dan meninggalkan kesan yang baik terhadap orang lain, maka akan semakin tinggi motivasi individu untuk berkomunikasi. Dalam hal ini, tanggapan yang diberikan orang lain akan mempengaruhi keinginan individu dalam berkomunikasi. Jika individu terlalu takut untuk mendapat tanggapan yang tidak dinginkan, maka keinginannya untuk berkomunikasi akan rendah.

c) Skills

Skill meliputi tindakan nyata dari perilaku, yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah perilaku yang diperlukan dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif. Kemampuan ini meliputi beberapa hal seperti other-orientation, social anxiety, expressiveness, dan interaction management.

(32)

tertarik dan memperhatikan orang lain. Dalam hal ini, individu mampu mendengar, melihat dan merasakan apa yang disampaikan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal. Other-orientation akan berlawanan dengan

self-centeredness dimana individu hanya memperhatikan dirinya sendiri dan kurang tertarik dengan orang lain dalam berkomunikasi. Social anxiety

meliputi bagaimana kemampuan individu mengatasi kecemasan dalam berbicara dengan orang lain dan menunjukkan ketenangan dan percaya diri dalam berkomunikasi. Expressiveness mengarah pada kemampuan dalam berkomunikasi yang menunjukkan kegembiraan, semangat, serta intensitas dan variabilitas dalam perilaku komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan vocal yang beragam, wajah yang ekspresif, penggunaan vocabulary yang luas, serta gerak tubuh. Sedangkan interaction management

merupakan kemampuan untuk mengelola interaksi dalam berkomunikasi, seperti pergantian dalam berbicara serta pemberian feedback atau respon.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Komunikasi Individu

Soler dan Jorda (2007), berdasarkan hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan atau kompetensi seorang individu, terutama individu bilingual, di antaranya yaitu:

a) Acquisition Context

Kemampuan komunikasi seorang individu dipengaruhi oleh konteks

(33)

bahasa di dalam kelas dan hanya berkomunikasi secara natural di luar sekolah;

instructed context, dimana individu belajar bahasa secara formal di kelas; dan

mixed context, dimana individu belajar bahasa di dalam kelas dan juga di luar kelas secara natural. Soler dan Jorda (2007) mengungkapkan bahwa individu yang belajar bahasa pada konteks instructed memiliki kemampuan bahasa dan komunikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang belajar bahasa dalam konteks naturalistic dan mixed.

b) Usia saat pertama kali mempelajari bahasa

Usia saat seorang individu pertama kali memepelajari suatu bahasa akan mempengaruhi kemampuan bahasa dan komunikasi individu tersebut. Seorang individu yang mempelajari bahasa, terutama bahasa kedua, pada usia yang lebih muda dapat memiliki kemampuan bahasa dan komunikasi yang lebih baik daripada individu yang mulai mempelajari bahasa lebih lambat.

c) Frekuensi penggunaan bahasa kedua

Frekuensi atau seberapa sering suatu bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari akan mempengaruhi kemampuan bahasa dan komunikasi seorang individu. Semakin sering suatu bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari maka akan semakin baik kemampuan individu dalam bahasa tersebut.

d) Jenis kelamin

(34)

e) Usia

Usia juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi atau kemampuan komunikasi dan bahasa seseorang. Individu yang lebih tua dikatakan dapat memiliki kemampuan yang lebih baik dari individu yang lebih muda dalam berkomunikasi.

f) Level pendidikan

Tingkat atau level pendidikan seorang individu juga dapat mempengaruhi kemampuannya dalam berkomunikasi. Sebagian besar individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan berbahasa dan komunikasi yang lebih baik dari individu yang memiliki pendidikan lebih rendah.

Cooley dan Roach (dalam Salleh, 2006), menambahkan bahwa dalam kompetensi komunikasi terdapat beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan yaitu kondisi fisiologis, seperti umur, jenis kelamin dan minat; kondisi psikologis, seperti kognitif, emosi, kepribadian, dan motivasi; serta lingkungan sosial individu yang membentuk kategori fisiologis dan psikologis yang menjadi syarat minimal agar individu dapat dikatakan kompeten.

4. Fungsi dan Pentingnya Komunikasi

(35)

untuk menciptakan dan membangun hubungan. Oleh karena itu komunikasi sangat penting untuk dipelajari. Ruben & Stewart (2006) mengungkapkan alasan pentingnya mempelajari komunikasi, yaitu:

a) Komunikasi merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan kita.

Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Tidak ada aktifitas yang bisa dilakukan tanpa berkomunikasi, bahkan komunikasi merupakan sesuatu yang selalu kita lakukan selayaknya kita bernafas. Dalam melakukan komunikasi dan bagaimana cara kita melakukannya akan mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir tentang komunikasi tersebut serta tentang bagaimana reaksi yang akan kita dapatkan dari orang lain. Hal tersebut akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bagaimana hubungan yang akan terbentuk dengan orang lain, baik dalam keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, serta masyarakat dimana kita tinggal.

b) Komunikasi merupakan suatu aktifitas yang kompleks

Komunikasi bukanlah suatu aktifitas yang gampang untuk dimengerti atau dikontrol, sebaliknya komunikasi merupakan aktifitas yang sangat kompleks dan memiliki banyak sisi. Dalam hal ini, kompetensi komunikasi sangat diperlukan untuk dapat mencapai komunikasi yang efektif dan sesuai dengan situasinya.

c) Komunikasi sangat penting dalam efektifitas pekerjaan

(36)

mengembangkan strategi komunikasi efektif, bekerja sama dengan orang lain secara efektif, serta dapat menerima dan memberikan ide-ide yang efektif melalui berbagai jenis komunikasi. Untuk mencapai kesuksesan tersebut diperlukan kemampuan dalam berkomunikasi, baik kemampuan secara personal dan sikap, kemampuan interpersonal, maupun kemampuan dalam melakukan komunikasi lisan serta tulisan dan lain sebagainya.

(37)

orang lain dari latar belakang pendidikan yang berbeda dan lebih rendah dari mereka.

e) Komunikasi merupakan lahan pembelajaran yang luas

Komunikasi merupakan duatu bidang pembelajaran yang dapat dikatakan luas dan populer. Banyak bidang-bidang komunikasi modern sekarang ini yang memfokuskan penelitian dan pembelajaran tentang pesan serta hubungan antara komunikasi dengan bidang profesiponal lainnya termasuk hukum, bisnis, informasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Sehingga sekarang komunikasi dianggap sebagai ilmu sosial yang diaplikasikan dan bersifat multidisiplin, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antroplogi, politik, dan lain sebagainya.

B. BILINGUAL DAN MONOLINGUAL

1. Definisi Bilingual dan Monolingual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) dijelaskan bahwa monolingual berarti memahami atau menggunakan satu bahasa. Seseorang dikatakan monolingual bila dalam kehidupan sehari-hari ia menggunakan satu bahasa.

(38)

bilingual adalah orang atau masyarakat yang mampu atau bisa memakai dua bahasa.

Menurut Hurlock (1993), bilingualism atau dwibahasa adalah kemampuan menggunakan dua bahasa. Kemampuan ini tidak hanya dalam berbicara dan menulis tetapi juga kemampuan memahami apa yang dikomunikasikan orang lain secara lisan dan tertulis. Anak yang memiliki kemampuan dwibahasa memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa ibunya. Anak mampu berbicara, membaca dan menulis dalam dua bahasa dengan kemampuan yang sama.

Kata "bilingual" memiliki arti yang berbeda untuk orang yang berbeda. Christopher Thiery menyebut bilingual yang sebenarnya adalah sebagai seseorang yang pada setiap kesempatan dapat berbicara atau menggunakan kedua bahasa dengan baik (dalam Saunders, 1988).

Berdasarkan kamus Webster (dalam Hamers & Blanc, 2004) bilingual didefinisikan sebagai memiliki atau menggunakan dua bahasa, terutama berbicara dengan karakteristik kelancaran yang sama dengan seorang pembicara asli; seseorang menggunakan dua bahasa, terutama secara terbiasa dan dengan kontrol sama seperti seorang pembicara asli dan bilingualism sebagai penggunaan lisan yang konstan dari dua bahasa.

(39)

Amerika, yang mendefinisikan bilingualism sebagai kemampuan mengontrol dua bahasa dengan baik.

Berlawanan dengan pengertian bilingual yang sempurna, Macnamara (dalam Hamers & Blanc, 2004) mengusulkan bahwa seorang bilingual adalah siapa saja yang memiliki kompetensi minimal hanya pada satu dari empat keterampilan bahasa; yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis; dalam bahasa lain selain bahasa ibu.

Sedangkan Baker (2001), menyatakan bahwa seorang bilingual adalah individu yang memiliki kemampuan dua bahasa dan menggunakan dua bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Namun Baker tidak menetapkan apakah individu harus memiliki kemampuan sempurna dalam dua bahasa atau hanya berkompetensi di salah satu keterampilan bahasa. Baker menyatakan bahwa dimensi penggunaan bahasa sangat luas dan memiliki banyak sisi, sehingga Baker memilih sisi tengah dimana seorang bilingual berarti dapat menggunakan dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari terlepas dari bagaimana kemampuannya dalam dua bahasa tersebut.

(40)

2. Kategori Bilingual

Miller (1983) mengemukakan bahwa terdapat dua kategori bilingual berdasarkan konteks atau setting belajar, yaitu:

a) Compound Bilingual

Dalam konteks ini, individu mempelajari satu bahasa melalui medium bahasa lain atau individu mempelajari dua bahasa dalam setting yang sama. Misalnya individu belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asli dan menggunakan kedua bahasa ini di rumah.

b) Coordinate/ True Bilingual

Dalam konteks ini, individu mempelajari dua bahasa dalam konteks yang berbeda. Misalnya seorang anak mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia di rumah dan kemudian belajar bahasa Inggris di sekolah. Jadi individu mempelajari dua bahasa dalam tempat atau setting yang berbeda.

Menurut Dr. David Freeman, Professor of Curriculum and Instruction, dan Dr. Yvonne Freeman, Professor of Bilingual Education dari Amerika serikat (dalam Wika, 2010), ada dua tipe bilingual, yaitu:

a) Substractive programs, yaitu program pendidikan di mana semua instruksi pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Penggunaan bahasa pertama digantikan sepenuhnya oleh bahasa Inggris. Kebanyakan sekolah-sekolah bilingual di Indonesia menerapkan program ini.

(41)

keterampilan berbahasa akademik anak, baik dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.

3. Dampak Positif Bilingual

Baker (1995) mengatakan bahwa menerapkan bilingual pada anak merupakan suatu keputusan yang penting. Bilingual memberi dampak pada kehidupan anak dan orangtuanya. Bilingual atau monolingual akan mempengaruhi identitas anak saat dewasa yaitu, sekolah, pekerjaan, pernikahan, area tempat tinggal, perjalanan dan cara berpikir. Kemampuan bilingual bukan hanya sekedar mempunyai dua bahasa, akan tetapi juga mempunyai konsekuensi pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya.

Terdapat banyak keuntungan dan sangat sedikit kerugian dengan menguasai bilingual. Dengan menguasai bilingual, anak mampu berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya dengan bahasa yang sama dimiliki anggota keluarga tersebut karena anak menguasai dua bahasa. Anak yang memiliki kemampuan bilingual mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda bangsa dan etnis dalam ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi dibanding anak yang monolingual (Baker, 1995).

(42)

berjalan dengan sistem perilaku yang berbeda, pepatah kuno, cerita, sejarah, tradisi, cara berkomunikasi, literatur yang berbeda, musik, bentuk hiburan, tradisi religius, ide dan kepercayaan, cara berpikir,dan bentuk kepedulian. Dengan dua bahasa maka akan didapat pengalaman budaya yang lebih luas dan sangat mungkin untuk menghasilkan toleransi yang lebih besar antara budaya-budaya yang berbeda serta akan menipiskan rasa rasialis. Monolingualjuga bisa mengenal perbedaan budaya, tapi untuk mengenal budaya-budaya yang berbeda dibutuhkan bahasa dari budaya tersebut. Memiliki kemampuan bilingual memberi kesempatan yang lebih besar untuk secara aktif mengenal budaya, karena menguasai bahasa dari budaya tersebut.

Baker (2001) juga mengatakan terlepas dari aspek sosial, budaya, ekonomi, hubungan pribadi dan keuntungan komunikasi, riset telah menunjukkan bahwa bilingual memberi keuntungan tertentu dalam berpikir, anak yang memiliki kemampuan bilingual akan memiliki dua atau lebih kata-kata untuk setiap obyek dan ide. Ketika terdapat perbedaan asosiasi pada setiap kata, anak yang memiliki kemampuan bilingual dapat berpikir lebih tajam, fleksibel, kreatif, dan dapat membawa seseorang menjadi lebih hati-hati dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda bahasa.

(43)

memiliki kepekaan terkait dengan struktur bahasa lisan dan tulisan, dan lebih mampu menyadari kesalahan pada tata bahasa dan makna yang akan sangat membantu ketrampilan mereka dalam membaca.

Beberapa kemampuan potensial dari bilingual (Baker, 2001): a) Kemampuan komunikasi

Penggunaan bilingual dapat mengembangkan kemampuan komunikasi, anak dapat berkomunikasi dengan menggunakan dua bahasa yang dipelajari atau bahasa yang biasa digunakan oleh anak terhadap orang anggota keluarga dan juga terhadap orang lain.

b) Kemampuan mengenal budaya

Penggunaan bilingual membantu anak mengenal budaya asing, karena setiap bahasa berjalan dengan sistem perilaku dan budaya yang berbeda. Dengan mengenal bahasa, anak dapat mengenal budaya dari bahasa tersebut, juga menumbuhkan sikap toleransi anak terhadap orang lain yang memiliki budaya berbeda.

c) Kemampuan perkembangan kognitif

(44)

d) Kemampuan mengembangkan kepribadian

Penggunaan bilingual dapat menumbuhkan dan menaikkan rasa percaya diri pada anak, karena dengan menguasai dua bahasa anak lebih berani untuk berkomunikasi dan tetap merasa aman dalam lingkungan yang menggunakan dua bahasa yang dipahami oleh anak.

4. Dampak Negatif Bilingual

Namun, di samping memiliki segudang manfaat, bilingual ternyata juga memiliki efek yang negatif bagi anak. Reynold (dalam Saunders, 1988) berpendapat bahwa bilingualism mengarahkan pada pencampuran dan kekacauan bahasa yang dapat menghasilkan kurangnya kemampuan untuk berpikir dan bertingkah laku yang tepat, penurunan inteligensi, peningkatan kelemahan mental dan pengurangan disiplin diri.

(45)

Raguenaud (2009) menyatakan bahwa ketika seorang anak menggunakan dua bahasa dalam kesehariannya, akan sangat besar kemungkinan anak tersebut melakukan pencampuran dalam penggunaan dua bahasanya. Jika pencampuran bahasa ini terus berlanjut maka dapat menyebabkan code-switching yang dapat menurunkan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tersebut seiring perkembangannya.

Remaja monolingual yang hanya menggunakan satu bahasa, tidak akan mengalami kesulitan komunikasi yang disebabkan karena perbedaan bahasa, berbeda dengan remaja bilingual yang menggunakan dua bahasa dalam kesehariannya. Menurut Esch dan Riley (2003) perkembangan individu yang bilingual dengan monolingual sebenarnya sangat mirip, perbedaannya hanyalah individu bilingual memiliki tugas ekstra dalam membedakan dua bahasa yang digunakannya, yaitu pengalihan kode (code-switching) dan penerjemahan yang memang tidak perlu dilakukan individu monolingual.

(46)

Raguenaud (2009) mengungkapkan beberapa alasan yang menyebabkan anak bilingual mencampurkan penggunaan bahasanya, di antaranya adalah anak-anak belum sepenuhnya mengetahui kosa kata yang cocok sehingga ia memilih menggunakan kosa kata yang lebih gampang untuk diingat. Pilihan pribadi juga menjadi salah satu alasan seorang bilingual melakukan pencampuran bahasa. Seorang anak akan lebih sering menggunakan bahasa yang disukainya dan ia juga suka mencampurkan bahasa saat berkomunikasi dengan orang lain untuk menunjukkan identitas dirinya yang bilingual. Dalam kasus para remaja, pilihan kata yang paling pendek dan paling mudah diingat akan menjadi pilihan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan karena remaja tidak menyukai sesuatu yang merepotkan dan senang melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya.

C. REMAJA

1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin yaitu “adolescere” yang berarti “tumbuh” atau “ tumbuh menjadi dewasa”. Istilah

adolescence saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999).

(47)

remaja luar dan membawah akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja. Hasan Bisri (1995) mengartikan remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab.

WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

a) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Menurut Papalia, Old dan Feldman (2008), masa remaja adalah masa transisi kembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Monks (2004) juga membagi masa remaja ke dalam tiga tahap disertai karakteristiknya sebagai berikut:

(48)

Pada rentang ini, remaja sudah mulai memperhatikan bentuk dan pertumbuhan seksual dan fisiknya. Hal ini disebabkan karena pada masa ini remaja mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dan perubahan proporsi tubuh.

b) Remaja Madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Umumnya pada usia remja madya seseorang berintegrasi dengan sebayanya. c) Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian:

1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

4) Egosentrisme (terlalu memutuskan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri snediri dengan orang lain. 5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum

2. Tugas Perkembangan Remaja

(49)

a) Memperluas hubungan antar pribadi dan komunikasi yang lebih baik dengan teman seusia dari sesama jenis kelamin maupun dengan lawan jenis kelamin. b) Mencapai peran sosial yang maskulin dan feminin.

c) Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang yang lebih dewasa.

e) Mencapai kepastian atau jaminan akan kemandirian ekonomi. f) Menyeleksi dan mempersiapkan pekerjaan.

g) Mempersiapkan diri untuk rencana pernikahan dan menghadapi kehidupan berkeluarga.

h) Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan. i) Memiliki rasa tanggung jawab secara sosial.

Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self

yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2008).

3. Perkembangan Bahasa dan Komunikasi Remaja

(50)

disebut juga sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata karma dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Sejalan dengan perkembangan hubungan sosial, perkembangan bahasa seseorang juga akan semakin meningkat. Perkembangan bahasa merupakan peningkatan kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik alat komunikasi secara lisan, tertulis, maupun menggunakan tanda-tanda dan isyarat (Sunarto dan Hartono, 1995).

Bahasa remaja adalah bahasa yang telah berkembang dan terbentuk oleh kondisi lingkungan. Lingkungan remaja mencakup lingkungan keluarga, masyarakat, dan khususnya pergaulan teman sebaya, dan lingkungan sekolah. Perkembangan bahasa remaja dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal. Bersamaan dengan kehidupannya di masyarakat luas, anak remaja mengikuti proses belajar di sekolah. Pengaruh pergaulan di dalam masyarakat, khususnya teman sebaya, terkadang cukup menonjol, sehingga bahasa remaja menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di dalam kelompok sebaya (Sunarto dan Hartono, 1995).

(51)

situasi-situasi komunikasi tertentu. Kemampuan remaja dalam berkomunikasi ditunjukkan dengan mampu berdiskusi membahas suatu masalah serta berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Pada masa ini, pola pikir remaja sudah mulai menunjukkan ke arah yang lebih positif mengingat masa ini adalah masa peralihan anak menjadi dewasa (Monks, 2004).

Keinginan atau motivasi remaja untuk berkomunikasi juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena remaja harus dapat memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan orang lain sebagai salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhinya (Hurlock, 1999).

D. PERBEDAAN KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARA REMAJA

AWAL BILINGUAL DENGAN MONOLINGUAL

(52)

Bilingual memang telah terbukti memiliki banyak manfaat bagi perkembangan seorang individu. Salah satu manfaat positif dari bilingual seperti yang telah diungkapkan Baker (1995, 2001) adalah dapat mengembangkan kemampuan komunikasi seseorang. Dengan menjadi bilingual, seorang remaja dapat memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk memiliki kompetensi komunikasi yang baik. dibandingkan remaja monolingual.

Norman Segalowitz (dalam Saunders, 1988) juga mengungkapkan keunggulan dari bilingual dibandingkan dengan monolingual, dimana individu bilingual memiliki kosa kata yang lebih kaya dan kemampuan verbal yang lebih baik dari individu monolingual. Hal ini dapat memberi keuntungan bagi remaja bilingual yang dapat menbantunya dalam mencapai kompetensi komunikasi yang baik.

(53)

Namun dalam perkembangannya, kadang remaja tidak mampu mengatasi penggunaan dua bahasa dalam kesehariannya. Pengetahuan anak-anak dan remaja tentang bahasa akan berbeda dengan orang dewasa. Orang yang sudah dewasa dapat mengatasi dan menerapkan dengan benar penggunaan dua bahasa dalam kesehariannya. Berbeda halnya dengan orang dewasa, para remaja yang kemampuannya masih terbatas dapat mengalami hambatan dan gangguan dalam penggunaan dua bahasanya sehingga hal ini dapat menurunkan kompetensi komunikasinya (Bialystok, 2003).

Einar Haugen (dalam Saunders, 1988) melakukan beberapa penelitian terhadap penggunaan dua bahasa atau bilingual dalam kehidupan sehari-hari dan diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan dua bahasa tidak memberikan pengaruh terhadap kemampuan komunikasi individu, baik kemampuan verbal maupun non-verbal. Individu bilingual memang memiliki resiko keterlambatan dalam perkembangan kemampuan komunikasi verbal, namun hal ini akan menghilang seiring perkembangan individu tersebut. Kemampuan atau kompetensi komunikasi yang dimiliki individu bilingual tidak akan berbeda dengan individu monolingual. Walaupun pada awalnya individu bilingual akan memiliki sedikit gangguan dalam komunikasi verbal, hal ini tidak akan terlalu mempengaruhi kompetensi komunikasinya.

(54)

tugas-tugas ekstra yang harus dilakukan remaja bilingual yang dapat menurunkan kompetensi komunikasinya (Esch dan Riley, 2003).

Dampak positif dan negatif dari bilingual telah terbukti dapat mempengaruhi kemampuan atau kompetensi komunikasinya. Dampak positif dari bilingual akan dapat meningkatkan kompetensi komunikasinya yang akan lebih baik dari monolingual. Sebaliknya, dampak negatif dari bilingual dapat menurunkan kompetensi komunikasinya yang akan membuatnya lebih rendah dari monolingual. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi yang dimiliki seorang bilingual akan berbeda dengan seorang monolingual.

E. HIPOTESA

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional, subyek penelitian, prosedur penelitian dan metode analisa data (Hadi, 2000).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

Variabel tergantung (Dependent Variable) : Kompetensi komunikasi

Variabel bebas (Independent Variable) : Penggunaan bahasa, dibedakan menjadi: Bilingual dan monolingual

B. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kompetensi Komunikasi

(56)

a) Knowledge

Merupakan pengetahuan yang dimiliki seorang individu tentang apa yang dibutuhkan agar komunikasi dapat berjalan secara efektif dan tepat, seperti mengetahui apa yang harus diucapkan, bagaimana orang lain akan menanggapi dan berperilaku, tingkah laku seperti apa yang harus diambil dalam situasi yang berbeda.

b) Motivation

Merupakan hasrat atau keinginan seseorang untuk melakukan komunikasi atau menghindari komunikasi dengan orang lain. Keinginan ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, seperti untuk menjalin hubungan baru, mendapatkan informasi yang diinginkan, mempengaruhi perilaku seseorang, terlibat dalam pengambilan keputusan bersama, atau untuk memecahkan suatu masalah.

c) Skills

(57)

2. Bilingual dan Monolingual

Bilingual adalah individu atau orang yang menggunakan dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan monolingual adalah individu atau orang yang menggunakan satu bahasa dalam kehidupan sehari-hari (Baker, 2001). Dalam penelitian ini, bilingual yang dimaksud adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama dan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, dan monolingual yang dimaksud adalah penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti (Hadi, 2000). Dalam hal ini. populasi merupakan universum, dimana universum dapat berupa orang, benda atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti (Danim, 2007). Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah remaja awal di kota medan.

Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Remaja awal putra dan putri yang berusia 12-15 tahun.

(58)

b) Mengikuti pendidikan formal, yaitu Sekolah Menengah Pertama/sederajat, yang menerapkan program bilingual (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). c) Mengikuti pendidikan formal, yaitu Sekolah Menengah Pertama/sederajat,

yang menerapkan program monolingual (Bahasa Indonesia).

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian yang disebut sampel penelitian. Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMP Krakatau sebagai remaja awal monolingual dan siswa SMP Shafiyyatul Amaliyyah sebagai remaja awal bilingual. Sedangkan untuk uji coba (try out) dilakukan pada siswa di SMP Negeri 1 Binjai.

(59)

2. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel atau sampling adalah cara atau teknik yang digunakan untuk mengambil sampel dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling), dimana sampel diambil secara acak sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Alasan peneliti menggunakan metode ini adalah sesuai dengan yang diungkapkan Hadi (2000) bahwa dengan menggunakan metode ini, setiap anggota populasi memiliki peluang yang sama besar untuk diambil sebagai sampel.

D. ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN

Sesuai dengan metode self-reports, maka pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala. Skala adalah suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi, 2000). Menurut Azwar (2009), skala sebagai alat ukur psikologi merupakan stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.

(60)

Burleson, 2003; Payne, 2005), yaitu: pengetahuan (Knowledge), keterampilan (Skills), dan motivasi (Motivation).

Skala ini terdiri dari lima pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Nilai pilihan bergerak dari 5-1 untuk pernyataan favorable dan 1-5 untuk pertanyaan unfavorable.

1. Validitas, Daya Beda Aitem dan Reliabilitas

a) Validitas alat ukur

(61)

b) Daya Beda Aitem

Daya beda aitem yaitu kemampuan aitem dalam membedakan antara subjek yang memiliki atribut yang diukur dan yang tidak. Selain itu, indeks daya beda aitem merupakan indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi aitem total. Pengujian daya diskriminasi aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi antara distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rix > 0,3 (Azwar, 2009).

Pengujian daya diskriminasi aitem pada skala kompetensi komunikasi dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor tiap aitem dengan skor total, dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows.

c) Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, maksudnya apabila dalam beberapa pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini, uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan tekhnik Formula Alpha Cronbach

(62)

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba skala kompetensi komunikasi dilakukan pada 110 orang siswa dari SMP Negeri 1 Binjai, yang terdiri dari 49 siswa dari kelas SBI dan 61 dari kelas biasa atau regular.

Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur untuk mengetahui sejauhmana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang hendak di ukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran (Azwar, 2009).

Tabel 1. Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Sebelum Uji Coba

No. Komponen Indikator perilaku Jumlah aitem F % Fav Unfav

1. Knowledge 1. Memahami siapa yang diajak berkomunikasi 2. Mengetahui apa yang harus diucapkan dan dilakukan dalam situasi tertentu 3. Sadar akan respon

yang diberikan orang lain

4. Memahami isi pesan yang disampaikan

2. Motivation 1. Memiliki keinginan untuk memulai komunikasi

2. Memiliki keinginan untuk terlibat dalam situasi komunikasi 3. Tidak takut akan

tanggapan yang tidak diinginkan dari orang lain

(63)

orientation)

Hasil analisa pertama uji coba skala kompetensi komunikasi menunjukkan koefisien reliabilitas (alpha cronbach ) adalah 0.887 dengan rix aitem yang bergerak dari -0.112 sampai dengan 0.571. Jumlah aitem yang diujicobakan adalah 60 aitem, pada analisa kedua dari 60 aitem terdapat 42 aitem yang memiliki daya diskriminasi aitem yang tinggi (rix ≥ 0.3), dengan 18 aitem yang gugur dan memiliki memiliki nilai rix < 0.3, yaitu 7, 10, 12, 13, 14, 15, 18, 21, 34, 36, 38, 43, 45, 47, 50, 56, 59, dan 60.

Pada analisa ketiga, dari 42 aitem dengan koefisien reliabilitas 0.915, terdapat 2 aitem yang gugur dan memiliki nilai rix < 0,3, yaitu aitem 16 dan 40. Pada proses ketiga, keseluruhan aitem dari 40 aitem dengan koefisien reliabilitas 0.916, memiliki rix ≥ 0,3.

Tabel 2. Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Setelah Uji Coba

No. Komponen Indikator perilaku Jumlah aitem F % Fav Unfav

(64)

situasi tertentu 3. Sadar akan respon

yang diberikan orang lain

4. Memahami isi pesan yang disampaikan 2. Motivation 1. Memiliki keinginan

untuk memulai komunikasi

2. Memiliki keinginan untuk terlibat dalam situasi komunikasi 3. Tidak takut akan

tanggapan yang tidak diinginkan dari orang lain

4. Berusaha untuk selalu meninggalkan kesan

Tabel 3. Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Saat Penelitian

No. Komponen Indikator perilaku Jumlah aitem F % Fav Unfav

1. Knowledge 1. Memahami siapa yang diajak berkomunikasi 2. Mengetahui apa yang harus diucapkan dan

29, 36 4

6

(65)

dilakukan dalam situasi tertentu 3. Sadar akan respon

yang diberikan orang lain

4. Memahami isi pesan yang disampaikan 2. Motivation 1. Memiliki keinginan

untuk memulai komunikasi

2. Memiliki keinginan untuk terlibat dalam situasi komunikasi 3. Tidak takut akan

tanggapan yang tidak diinginkan dari orang lain

4. Berusaha untuk selalu meninggalkan kesan

E. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

(66)

1. Tahap Persiapan Penelitian

a) Pembuatan alat ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur yang berbentuk skala yang disusun sendiri oleh peneliti. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kompetensi komunikasi yang disusun berdasarkan tiga komponen kompetensi komunikasi menurut Brian Spitzberg dan William Cupach (dalam Greene & Burleson, 2003; Payne, 2005), yaitu: pengetahuan (Knowledge), keterampilan (Skills), dan motivasi (Motivation). Penyusunan skala ini dilakukan dengan membuat blueprint dimana masing-masing komponen terdiri dari empat indikator perilaku, kemudian masing-masing indikator perilaku dioperasionalisasikan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan. Skala kompetensi komunikasi ini terdiri dari 60 item.

b) Perizinan

(67)

c) Uji coba alat ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan pada siswa SMP Negeri 1 Binjai yang berusia 12-15 tahun, sebanyak 110 orang siswa. Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 2011. Uji coba dilakukan dengan cara memberikan skala kompetensi komunikasi secara langsung kepada subjek.

d) Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur, maka peneliti menguji daya beda aitem dan realibilias skala dengan menggunakan program SPSS versi 16.0 for windows. Setelah diketahui aitem-aitem yang memenuhi nilai daya beda dan reliabilitas yang telah ditetapkan sebelumnya, maka aitem-aitem yang lolos disusun kembali ke dalam bentuk skala yang baru. Dari 60 aitem yang diujikan, sebanyak 40 aitem lolos dan disusun lagi menjadi skala kompetensi komunikasi yang akan dipakai saat penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

(68)

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari skala kompetensi komunikasi, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 16.0 for windows.

F. METODE ANALISA DATA

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa statistic

dengan bantuan komputerisasi Program SPSS versi 16.0 for windows. Alasan yang mendasari digunakannya analisa statistik adalah karena statistik dapat menunjukkan kesimpulan atau generalisasi penelitian. Pertimbangan lain yang mendasari adalah statistik bekerja dengan angka, statistik bersifat objektif, dan universal (Hadi, 2000).

Metode analisa data yang akan digunakan untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan statistik analisa independent sample t-test dengan bantuan SPSS version 16.0 for windows. Uji-t digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata sampel dengan nilai hipotesisnya (Trihendradi, 2005). Alasan peneliti menggunakan metode ini karena hipotesis penelitian ini bersifat komparatif maka menggunakan t-test. Oleh karena sampel yang tidak berhubungan maka menggunakan analisa yang bersifat independent.

Sebelum data dianalisa, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi terhadap variabel-variabel penelitian yang meliputi :

(69)

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing-masing variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung telah terdistribusi secara normal. Data penelitian dikatakan terdistribusi secara normal jika p > 0.05. Uji Normalitas sebaran pada penelitian ini dianalisa dengan menggunakan Kolmogorov smirnov, dengan bantuan SPSS version 16.0 for Windows.

2. Uji homogenitas

(70)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa dan interpretasi data sesuai dengan data yang telah diperoleh. Pembahasan pada bab ini akan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, serta hasil tambahan yang diperoleh.

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja awal putra dan putri yang berusia 12-15 tahun di kota Medan. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Krakatau Medan yang merupakan remaja awal monolingual dan siswa-siswi SMP Shafiyyatul Amaliyyah Medan yang merupakan remaja awal bilingual. Masing-masing jumlah sampel tiap program adalah 80 orang, sehingga jumlah subjek penelitian seluruhnya adalah 160 orang. Dari keseluruhan subjek penelitian, diperoleh gambaran subjek sebagai berikut:

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian sebagai berikut:

Tabel 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Program N Persentase

Monolingual Bilingual

12 tahun 2 14 16 10%

(71)

14 tahun 46 31 77 48.1%

15 tahun 10 2 12 7.5%

Total 80 80 160 100%

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa jumlah subjek berdasarkan usia yang terbanyak adalah pada usia 14 tahun sebanyak 77 orang (48.1%), diikuti dengan subjek yang berusia 13 tahun sebanyak (34.4%), subjek yang berusia 12 tahun sebanyak 16 orang (10%), dan jumlah subjek yang paling sedikit berada pada usia 15 tahun sebanyak 12 orang (7.5%).

Diagram 1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian sebagai berikut:

0 20 40 60 80 100 120 140 160

12 tahun 13 tahun 14 tahun 15 tahun TOTAL

Gambar

Tabel 2. Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Setelah Uji Coba
Tabel 3. Blueprint Aitem Skala Kompetensi Komunikasi Saat Penelitian
Tabel 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Table 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu proses mendengarkan yang baik merupakan salah satu yang menentukan keberhasilan dalam komunikasi interpersonal dimana melibatkan situasi yang kompleks

Hasil dari penelitian ini, yaitu kualitas komunikasi antara ibu bekerja dengan remaja, baik dilihat dari sudut pandang ibu maupun remaja tergolong tinggi

Kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kualitas komunikasi pada remaja putra dan remaja putri.. Berdasarkan hal tersebut hipotesis

STRATEGI ADAPTASI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI ANTARA ENGLISH NATIVE TEACHER DENGAN MURIDNYA DALAM UPAYA MEMBANGUN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF Studi Kasus Wall Street English Mall @ Alam

bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis,

1) Pemahaman, merupakan kemampuan memahami pesan secara cermat sebagaimana yang disampaikan oleh komunikator. Dalam hal ini komunikasi orang tua dikatakan efektif

Penelitian sebelumnya dilakukan dengan judul strategi komunikasi Backpacker Jakarta dan Backpacker Buddies Malaysia dalam memanfaatkan media sosial facebook sebagai

Komunikasi efektif adalah suatu bentuk komunikasi antar personal dimana keduanya terlibat aktif dalam bertukar informasi atau pikiran, dan dapat saling mengerti dan sepakat