• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Jablin dan Sias (dalam Payne, 2005) mendefinisikan kompetensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Jablin dan Sias (dalam Payne, 2005) mendefinisikan kompetensi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMPETENSI KOMUNIKASI 1. Definisi Kompetensi Komunikasi

Jablin dan Sias (dalam Payne, 2005) mendefinisikan kompetensi komunikasi sebagai sejumlah kemampuan yang dimiliki seorang komunikator untuk digunakan dalam proses komunikasi, yang menekankan pada pengetahuan dan kemampuan.

Duran (dalam Salleh, 2006) menyatakan bahwa kompetensi komunikasi merupakan suatu fungsi dari kemampuan seseorang untuk beradaptasi sesuai dengan situasi sosialnya. Sedangkan Larson, Backlund, Redmond & Barbour (dalam Salleh, 2006) menyatakan bahwa kompetensi komunikasi meliputi kemampuan seorang individu untuk mendemonstrasikan pengetahuannya tentang perilaku komunikasi yang tepat pada situasi yang ada.

Cooley dan Roach (dalam Salleh, 2006), menyatakan bahwa kompetensi komunikasi merupakan demonstrasi dari pengetahuan tentang komunikasi yang diwujudkan dengan tepat melalui keterampilan berkomunikasi. Sedangkan Salleh (2006) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kompetensi komunikasi merupakan kemampuan beradaptasi seseorang dalam setiap situasi komunikasi dengan menampilkan kemampuan komunikasi berdasarkan pengetahuan yang tepat untuk setiap konteks dan situasi komunikasi.

(2)

Spitzberg dan Cupach (dalam Rickheit dan Strohner, 2008) menyatakan bahwa kompetensi komunikasi merupakan kemampuan seorang individu untuk beradaptasi dan berkomunikasi secara efektif dalam segala situasi sosial sepanjang waktu, dimana kemampuan ini mengarah pada kemampuan untuk bertindak yang dipengaruhi motivasi dan pengetahuan yang dimiliki individu.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi adalah kemampuan seorang individu untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif sesuai dengan situasi sosialnya, yang meliputi kemampuan individu dalam bertindak, serta pengetahuan dan motivasi yang dimiliki individu.

2. Komponen Kompetensi Komunikasi

Brian Spitzberg dan William Cupach (dalam Greene & Burleson, 2003; Payne,2005) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen kompetensi komunikasi, yaitu: knowledge, skills, dan motivation.

a) Knowledge

Untuk mencapai tujuan dari komunikasi, individu harus memiliki pengetahuan yang dibutuhkan dalam berkomunikasi secara efektif dan tepat. Spitzberg dan Cupach mengemukakan bahwa pengetahuan dalam hal ini lebih ditekankan pada “ bagaimana” sebenarnya komunikasi daripada “apa” itu komunikasi. Pengetahuan-pengetahuan tersebut diantaranya seperti mengetahui apa yang harus diucapkan, tingkah laku seperti apa yang harus diambil dalam situasi yang berbeda, bagaimana orang lain akan menanggapi dan berperilaku, siapa yang diajak berkomunikasi, serta memahami isi pesan yang disampaikan.

(3)

Pengetahuan ini dibutuhkan agar komunikasi dapat berjalan secara efektif dan tepat. Pengetahuan ini akan bertambah seiring tingginya pendidikan dan pengalaman. Oleh karena itu, semakin seseorang mengetahui bagaimana harus berkomunikasi dalam situasi yang berbeda maka kompetensi atau kemampuan berkomunikasinya akan semakin baik.

b) Motivation

Motivasi dalam hal ini merupakan hasrat atau keinginan seseorang untuk melakukan komunikasi atau menghindari komunikasi dengan orang lain. Motivasi biasanya berhubungan dengan tujuan-tujuan tertentu seperti untuk menjalin hubungan baru, mendapatkan informasi yang diinginkan, terlibat dalam pengambilan keputusan bersama, dan lain sebagainya. Semakin individu memiliki keinginan untuk berkomunikasi secara efektif dan meninggalkan kesan yang baik terhadap orang lain, maka akan semakin tinggi motivasi individu untuk berkomunikasi. Dalam hal ini, tanggapan yang diberikan orang lain akan mempengaruhi keinginan individu dalam berkomunikasi. Jika individu terlalu takut untuk mendapat tanggapan yang tidak dinginkan, maka keinginannya untuk berkomunikasi akan rendah.

c) Skills

Skill meliputi tindakan nyata dari perilaku, yang merupakan kemampuan

seseorang dalam mengolah perilaku yang diperlukan dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif. Kemampuan ini meliputi beberapa hal seperti other-orientation, social anxiety, expressiveness, dan interaction management.

(4)

tertarik dan memperhatikan orang lain. Dalam hal ini, individu mampu mendengar, melihat dan merasakan apa yang disampaikan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal. Other-orientation akan berlawanan dengan

self-centeredness dimana individu hanya memperhatikan dirinya sendiri dan kurang tertarik dengan orang lain dalam berkomunikasi. Social anxiety

meliputi bagaimana kemampuan individu mengatasi kecemasan dalam berbicara dengan orang lain dan menunjukkan ketenangan dan percaya diri dalam berkomunikasi. Expressiveness mengarah pada kemampuan dalam berkomunikasi yang menunjukkan kegembiraan, semangat, serta intensitas dan variabilitas dalam perilaku komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan vocal yang beragam, wajah yang ekspresif, penggunaan vocabulary yang luas, serta gerak tubuh. Sedangkan interaction management

merupakan kemampuan untuk mengelola interaksi dalam berkomunikasi, seperti pergantian dalam berbicara serta pemberian feedback atau respon.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Komunikasi Individu

Soler dan Jorda (2007), berdasarkan hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan atau kompetensi seorang individu, terutama individu bilingual, di antaranya yaitu:

a) Acquisition Context

Kemampuan komunikasi seorang individu dipengaruhi oleh konteks

acquisition atau perolehan bahasa individu tersebut. Terdapat tiga konteks perolehan bahasa, yaitu naturalistic context, dimana individu tidak belajar

(5)

bahasa di dalam kelas dan hanya berkomunikasi secara natural di luar sekolah;

instructed context, dimana individu belajar bahasa secara formal di kelas; dan

mixed context, dimana individu belajar bahasa di dalam kelas dan juga di luar kelas secara natural. Soler dan Jorda (2007) mengungkapkan bahwa individu yang belajar bahasa pada konteks instructed memiliki kemampuan bahasa dan komunikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang belajar bahasa dalam konteks naturalistic dan mixed.

b) Usia saat pertama kali mempelajari bahasa

Usia saat seorang individu pertama kali memepelajari suatu bahasa akan mempengaruhi kemampuan bahasa dan komunikasi individu tersebut. Seorang individu yang mempelajari bahasa, terutama bahasa kedua, pada usia yang lebih muda dapat memiliki kemampuan bahasa dan komunikasi yang lebih baik daripada individu yang mulai mempelajari bahasa lebih lambat.

c) Frekuensi penggunaan bahasa kedua

Frekuensi atau seberapa sering suatu bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari akan mempengaruhi kemampuan bahasa dan komunikasi seorang individu. Semakin sering suatu bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari maka akan semakin baik kemampuan individu dalam bahasa tersebut.

d) Jenis kelamin

Jenis kelamin seorang individu juga dapat mempengaruhi kemampuann bahasa dan komunikasinya, namun pengaruh ini tidak terlalu besar dampaknya. Soler dan Jorda (2007) mengungkapkan bahwa wanita memiliki kemampuan bahasa dan komunikasi yang sedikit lebih baik daripada laki-laki.

(6)

e) Usia

Usia juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi atau kemampuan komunikasi dan bahasa seseorang. Individu yang lebih tua dikatakan dapat memiliki kemampuan yang lebih baik dari individu yang lebih muda dalam berkomunikasi.

f) Level pendidikan

Tingkat atau level pendidikan seorang individu juga dapat mempengaruhi kemampuannya dalam berkomunikasi. Sebagian besar individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan berbahasa dan komunikasi yang lebih baik dari individu yang memiliki pendidikan lebih rendah.

Cooley dan Roach (dalam Salleh, 2006), menambahkan bahwa dalam kompetensi komunikasi terdapat beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan yaitu kondisi fisiologis, seperti umur, jenis kelamin dan minat; kondisi psikologis, seperti kognitif, emosi, kepribadian, dan motivasi; serta lingkungan sosial individu yang membentuk kategori fisiologis dan psikologis yang menjadi syarat minimal agar individu dapat dikatakan kompeten.

4. Fungsi dan Pentingnya Komunikasi

Komunikasi memiliki fungsi yang sangat besar dan penting dalam kehidupan manusia. Wiiliam I. Gorden (dalam Mulyana, 2007) menyatakan beberapa fungsi komunikasi, yaitu sebagai alat komunikasi sosial, sebagai media penyampaian dan penyalur perasaan atau emosi, serta sebagai alat yang berguna

(7)

untuk menciptakan dan membangun hubungan. Oleh karena itu komunikasi sangat penting untuk dipelajari. Ruben & Stewart (2006) mengungkapkan alasan pentingnya mempelajari komunikasi, yaitu:

a) Komunikasi merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan kita.

Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Tidak ada aktifitas yang bisa dilakukan tanpa berkomunikasi, bahkan komunikasi merupakan sesuatu yang selalu kita lakukan selayaknya kita bernafas. Dalam melakukan komunikasi dan bagaimana cara kita melakukannya akan mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir tentang komunikasi tersebut serta tentang bagaimana reaksi yang akan kita dapatkan dari orang lain. Hal tersebut akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bagaimana hubungan yang akan terbentuk dengan orang lain, baik dalam keluarga, kelompok, komunitas, organisasi, serta masyarakat dimana kita tinggal.

b) Komunikasi merupakan suatu aktifitas yang kompleks

Komunikasi bukanlah suatu aktifitas yang gampang untuk dimengerti atau dikontrol, sebaliknya komunikasi merupakan aktifitas yang sangat kompleks dan memiliki banyak sisi. Dalam hal ini, kompetensi komunikasi sangat diperlukan untuk dapat mencapai komunikasi yang efektif dan sesuai dengan situasinya.

c) Komunikasi sangat penting dalam efektifitas pekerjaan

Pekerjaan dalam bidang apapun, baik dalam bisnis, pemerintahan, maupun pendidikan, memerlukan kemampuan dalam memahami situasi komunikasi,

(8)

mengembangkan strategi komunikasi efektif, bekerja sama dengan orang lain secara efektif, serta dapat menerima dan memberikan ide-ide yang efektif melalui berbagai jenis komunikasi. Untuk mencapai kesuksesan tersebut diperlukan kemampuan dalam berkomunikasi, baik kemampuan secara personal dan sikap, kemampuan interpersonal, maupun kemampuan dalam melakukan komunikasi lisan serta tulisan dan lain sebagainya.

d) Pendidikan yang tinggi tidak menjamin kompetensi komunikasi yang baik Seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi belum tentu memiliki kompetensi komunikasi yang baik. Banyak orang menganggap bahwa komunikasi merupakan hal yang biasa dan dapat dengan mudah dipahami semua orang. Namun, sesungguhnya hal tersebut tidak benar. Terdapat beberapa aspek dalam komunikasi yang sebenarnya sangat penting tetapi hanya mendapat sedikit perhatian dalam kehidupan kita, seperti komunikasi nonverbal. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa pesan terpenting dalam kehidupan manusia dihasilkan dan disampaikan lewat komunikasi nonverbal, namun hanya sedikit orang yang memperhatikannya. Dan ironisnya, dalam beberapa kasus, pendidikan yang tinggi dapat menjadi penghambat seseorang untuk memiliki kompetensi komunikasi yang baik. Kadang-kadang seseorang yang memiliki pendidikan tinggi, seperti dokter dan para ahli ilmu pengetahuan, memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan orang yang berlatar belakang pendidikan yang sama dengan mereka, namun tidak mampu sukses ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan

(9)

orang lain dari latar belakang pendidikan yang berbeda dan lebih rendah dari mereka.

e) Komunikasi merupakan lahan pembelajaran yang luas

Komunikasi merupakan duatu bidang pembelajaran yang dapat dikatakan luas dan populer. Banyak bidang-bidang komunikasi modern sekarang ini yang memfokuskan penelitian dan pembelajaran tentang pesan serta hubungan antara komunikasi dengan bidang profesiponal lainnya termasuk hukum, bisnis, informasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Sehingga sekarang komunikasi dianggap sebagai ilmu sosial yang diaplikasikan dan bersifat multidisiplin, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antroplogi, politik, dan lain sebagainya.

B. BILINGUAL DAN MONOLINGUAL 1. Definisi Bilingual dan Monolingual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) dijelaskan bahwa monolingual berarti memahami atau menggunakan satu bahasa. Seseorang dikatakan monolingual bila dalam kehidupan sehari-hari ia menggunakan satu bahasa.

Pengertian Bilingual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) adalah mampu atau biasa memakai dua bahasa dengan baik dan bersangkutan dengan atau mengandung dua bahasa. Bilingualism adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat (Kridalaksana, 1993), sedangkan

(10)

bilingual adalah orang atau masyarakat yang mampu atau bisa memakai dua bahasa.

Menurut Hurlock (1993), bilingualism atau dwibahasa adalah kemampuan menggunakan dua bahasa. Kemampuan ini tidak hanya dalam berbicara dan menulis tetapi juga kemampuan memahami apa yang dikomunikasikan orang lain secara lisan dan tertulis. Anak yang memiliki kemampuan dwibahasa memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa ibunya. Anak mampu berbicara, membaca dan menulis dalam dua bahasa dengan kemampuan yang sama.

Kata "bilingual" memiliki arti yang berbeda untuk orang yang berbeda. Christopher Thiery menyebut bilingual yang sebenarnya adalah sebagai seseorang yang pada setiap kesempatan dapat berbicara atau menggunakan kedua bahasa dengan baik (dalam Saunders, 1988).

Berdasarkan kamus Webster (dalam Hamers & Blanc, 2004) bilingual didefinisikan sebagai memiliki atau menggunakan dua bahasa, terutama berbicara dengan karakteristik kelancaran yang sama dengan seorang pembicara asli; seseorang menggunakan dua bahasa, terutama secara terbiasa dan dengan kontrol sama seperti seorang pembicara asli dan bilingualism sebagai penggunaan lisan yang konstan dari dua bahasa.

Dalam pandangan popular, menjadi bilingual setara dengan memiliki kemampuan untuk berbicara dua bahasa secara sempurna, hal ini diungkapkan oleh Bloomfield (dalam Hamers & Blanc, 2004), seorang pakar bahasa dari

(11)

Amerika, yang mendefinisikan bilingualism sebagai kemampuan mengontrol dua bahasa dengan baik.

Berlawanan dengan pengertian bilingual yang sempurna, Macnamara (dalam Hamers & Blanc, 2004) mengusulkan bahwa seorang bilingual adalah siapa saja yang memiliki kompetensi minimal hanya pada satu dari empat keterampilan bahasa; yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis; dalam bahasa lain selain bahasa ibu.

Sedangkan Baker (2001), menyatakan bahwa seorang bilingual adalah individu yang memiliki kemampuan dua bahasa dan menggunakan dua bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Namun Baker tidak menetapkan apakah individu harus memiliki kemampuan sempurna dalam dua bahasa atau hanya berkompetensi di salah satu keterampilan bahasa. Baker menyatakan bahwa dimensi penggunaan bahasa sangat luas dan memiliki banyak sisi, sehingga Baker memilih sisi tengah dimana seorang bilingual berarti dapat menggunakan dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari terlepas dari bagaimana kemampuannya dalam dua bahasa tersebut.

Jadi berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa monolingual adalah individu atau orang yang menggunakan satu bahasa dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan bilingual adalah individu atau orang yang menggunakan dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

(12)

2. Kategori Bilingual

Miller (1983) mengemukakan bahwa terdapat dua kategori bilingual berdasarkan konteks atau setting belajar, yaitu:

a) Compound Bilingual

Dalam konteks ini, individu mempelajari satu bahasa melalui medium bahasa lain atau individu mempelajari dua bahasa dalam setting yang sama. Misalnya individu belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asli dan menggunakan kedua bahasa ini di rumah.

b) Coordinate/ True Bilingual

Dalam konteks ini, individu mempelajari dua bahasa dalam konteks yang berbeda. Misalnya seorang anak mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia di rumah dan kemudian belajar bahasa Inggris di sekolah. Jadi individu mempelajari dua bahasa dalam tempat atau setting yang berbeda.

Menurut Dr. David Freeman, Professor of Curriculum and Instruction, dan Dr. Yvonne Freeman, Professor of Bilingual Education dari Amerika serikat (dalam Wika, 2010), ada dua tipe bilingual, yaitu:

a) Substractive programs, yaitu program pendidikan di mana semua instruksi

pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Penggunaan bahasa pertama digantikan sepenuhnya oleh bahasa Inggris. Kebanyakan sekolah-sekolah bilingual di Indonesia menerapkan program ini.

b) Additive programs, yaitu proses pembelajaran dilakukan dalam bahasa

(13)

keterampilan berbahasa akademik anak, baik dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.

3. Dampak Positif Bilingual

Baker (1995) mengatakan bahwa menerapkan bilingual pada anak merupakan suatu keputusan yang penting. Bilingual memberi dampak pada kehidupan anak dan orangtuanya. Bilingual atau monolingual akan mempengaruhi identitas anak saat dewasa yaitu, sekolah, pekerjaan, pernikahan, area tempat tinggal, perjalanan dan cara berpikir. Kemampuan bilingual bukan hanya sekedar mempunyai dua bahasa, akan tetapi juga mempunyai konsekuensi pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya.

Terdapat banyak keuntungan dan sangat sedikit kerugian dengan menguasai bilingual. Dengan menguasai bilingual, anak mampu berkomunikasi dengan anggota keluarga lainnya dengan bahasa yang sama dimiliki anggota keluarga tersebut karena anak menguasai dua bahasa. Anak yang memiliki kemampuan bilingual mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda bangsa dan etnis dalam ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi dibanding anak yang monolingual (Baker, 1995).

Selanjutnya Baker (2001) mengatakan keuntungan lain dalam berkomunikasi secara bilingual adalah ketika anak belajar dalam dua bahasa, saat dewasa dapat mengakses dua literatur, memahami tradisi yang berbeda, juga cara berpikir dan bertindak. Anak atau orang dewasa yang memiliki kemampuan bilingual akan memiliki dua atau lebih pengalaman di dunia, karena setiap bahasa

(14)

berjalan dengan sistem perilaku yang berbeda, pepatah kuno, cerita, sejarah, tradisi, cara berkomunikasi, literatur yang berbeda, musik, bentuk hiburan, tradisi religius, ide dan kepercayaan, cara berpikir,dan bentuk kepedulian. Dengan dua bahasa maka akan didapat pengalaman budaya yang lebih luas dan sangat mungkin untuk menghasilkan toleransi yang lebih besar antara budaya-budaya yang berbeda serta akan menipiskan rasa rasialis. Monolingualjuga bisa mengenal perbedaan budaya, tapi untuk mengenal budaya-budaya yang berbeda dibutuhkan bahasa dari budaya tersebut. Memiliki kemampuan bilingual memberi kesempatan yang lebih besar untuk secara aktif mengenal budaya, karena menguasai bahasa dari budaya tersebut.

Baker (2001) juga mengatakan terlepas dari aspek sosial, budaya, ekonomi, hubungan pribadi dan keuntungan komunikasi, riset telah menunjukkan bahwa bilingual memberi keuntungan tertentu dalam berpikir, anak yang memiliki kemampuan bilingual akan memiliki dua atau lebih kata-kata untuk setiap obyek dan ide. Ketika terdapat perbedaan asosiasi pada setiap kata, anak yang memiliki kemampuan bilingual dapat berpikir lebih tajam, fleksibel, kreatif, dan dapat membawa seseorang menjadi lebih hati-hati dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda bahasa.

Hal senada juga diungkapkan Bialystok (dalam Santrock, 2007) bahwa anak-anak yang fasih berbicara dalam dua bahasa akan menunjukkan kinerja kontrol perhatian, formasi konsep, pemikiran analitis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif yang lebih baik dibandingkan anak-anak sebayanya yang hanya menguasai satu bahasa atau monolingual. Anak-anak bilingual juga

(15)

memiliki kepekaan terkait dengan struktur bahasa lisan dan tulisan, dan lebih mampu menyadari kesalahan pada tata bahasa dan makna yang akan sangat membantu ketrampilan mereka dalam membaca.

Beberapa kemampuan potensial dari bilingual (Baker, 2001): a) Kemampuan komunikasi

Penggunaan bilingual dapat mengembangkan kemampuan komunikasi, anak dapat berkomunikasi dengan menggunakan dua bahasa yang dipelajari atau bahasa yang biasa digunakan oleh anak terhadap orang anggota keluarga dan juga terhadap orang lain.

b) Kemampuan mengenal budaya

Penggunaan bilingual membantu anak mengenal budaya asing, karena setiap bahasa berjalan dengan sistem perilaku dan budaya yang berbeda. Dengan mengenal bahasa, anak dapat mengenal budaya dari bahasa tersebut, juga menumbuhkan sikap toleransi anak terhadap orang lain yang memiliki budaya berbeda.

c) Kemampuan perkembangan kognitif

Penggunaan bilingual mengembangkan kemampuan berpikir anak, anak menjadi kreatif dan memiliki dua atau lebih kata-kata untuk setiap obyek dan ide, juga membuat anak lebih hati-hati dalam berkomunikasi dengan orangorang yang berbeda bahasa. Hal serupa juga diungkapkan Itta (2007) dalam penelitiannya mengenai kemampuan berbahasa anak dengan pembelajaran bilingual, yang menyatakan bahwa pembelajaran bilingual mampu mengembangkan kognitif anak dengan baik.

(16)

d) Kemampuan mengembangkan kepribadian

Penggunaan bilingual dapat menumbuhkan dan menaikkan rasa percaya diri pada anak, karena dengan menguasai dua bahasa anak lebih berani untuk berkomunikasi dan tetap merasa aman dalam lingkungan yang menggunakan dua bahasa yang dipahami oleh anak.

4. Dampak Negatif Bilingual

Namun, di samping memiliki segudang manfaat, bilingual ternyata juga memiliki efek yang negatif bagi anak. Reynold (dalam Saunders, 1988) berpendapat bahwa bilingualism mengarahkan pada pencampuran dan kekacauan bahasa yang dapat menghasilkan kurangnya kemampuan untuk berpikir dan bertingkah laku yang tepat, penurunan inteligensi, peningkatan kelemahan mental dan pengurangan disiplin diri.

Saunders (1988) juga mengungkapkan bahwa dengan menjadi bilingual dapat mempengaruhi sikap anak terhadap bahasa yang digunakannya. Ia menyatakan bahwa anak dapat menolak menggunakan satu bahasa karena ia tidak menyukainya sehingga menimbulkan sikap negatif anak terhadap bahasa tersebut. Hurlock (1993), mengungkapkan bahwa bilingual dapat mempengaruhi penyesuaian sosial dan kemampuan beradaptasi seorang anak. Anak yang merasa bahasa yang digunakannya berbeda dengan orang lain akan sangat berhati-hati dalam berbicara sehingga dapat menyebabkan anak enggan berbicara. Anak juga menemukan kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang yang bahasa dominannya berbeda dengan mereka.

(17)

Raguenaud (2009) menyatakan bahwa ketika seorang anak menggunakan dua bahasa dalam kesehariannya, akan sangat besar kemungkinan anak tersebut melakukan pencampuran dalam penggunaan dua bahasanya. Jika pencampuran bahasa ini terus berlanjut maka dapat menyebabkan code-switching yang dapat menurunkan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tersebut seiring perkembangannya.

Remaja monolingual yang hanya menggunakan satu bahasa, tidak akan mengalami kesulitan komunikasi yang disebabkan karena perbedaan bahasa, berbeda dengan remaja bilingual yang menggunakan dua bahasa dalam kesehariannya. Menurut Esch dan Riley (2003) perkembangan individu yang bilingual dengan monolingual sebenarnya sangat mirip, perbedaannya hanyalah individu bilingual memiliki tugas ekstra dalam membedakan dua bahasa yang digunakannya, yaitu pengalihan kode (code-switching) dan penerjemahan yang memang tidak perlu dilakukan individu monolingual.

Raquel Arias and Usha Lakshmanan (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bilingual dapat beresiko terhadap pencampuran bahasa dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana dua bahasa direpresentasikan dalam diri seorang anak bilingual, dalam hal ini bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris dan Spanyol. Penelitian longitudinal ini melaporkan bahwa terdapat pencampuran ucapan dalam perkembangan bahasa Inggris dan Spanyol anak tersebut. Pencampuran dalam pengucapan ini juga dianalisa lebih lanjut untuk mengetahui apakah akan meluas pada masa dewasa.

(18)

Raguenaud (2009) mengungkapkan beberapa alasan yang menyebabkan anak bilingual mencampurkan penggunaan bahasanya, di antaranya adalah anak-anak belum sepenuhnya mengetahui kosa kata yang cocok sehingga ia memilih menggunakan kosa kata yang lebih gampang untuk diingat. Pilihan pribadi juga menjadi salah satu alasan seorang bilingual melakukan pencampuran bahasa. Seorang anak akan lebih sering menggunakan bahasa yang disukainya dan ia juga suka mencampurkan bahasa saat berkomunikasi dengan orang lain untuk menunjukkan identitas dirinya yang bilingual. Dalam kasus para remaja, pilihan kata yang paling pendek dan paling mudah diingat akan menjadi pilihan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan karena remaja tidak menyukai sesuatu yang merepotkan dan senang melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya.

C. REMAJA 1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin yaitu

adolescere” yang berarti “tumbuh” atau “ tumbuh menjadi dewasa”. Istilah

adolescence saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan

mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999).

DeBrun (dalam Rice, 2008) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Zakiah Darajad (1995) mendefinisikan remaja sebagai tahap umur yang datang setelah masa anak-anak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat yang terjadi pada tubuh

(19)

remaja luar dan membawah akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja. Hasan Bisri (1995) mengartikan remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab.

WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

a) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Menurut Papalia, Old dan Feldman (2008), masa remaja adalah masa transisi kembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Monks (2004) juga membagi masa remaja ke dalam tiga tahap disertai karakteristiknya sebagai berikut:

(20)

Pada rentang ini, remaja sudah mulai memperhatikan bentuk dan pertumbuhan seksual dan fisiknya. Hal ini disebabkan karena pada masa ini remaja mulai mengalami perubahan bentuk tubuh dan perubahan proporsi tubuh.

b) Remaja Madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Umumnya pada usia remja madya seseorang berintegrasi dengan sebayanya. c) Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian:

1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

4) Egosentrisme (terlalu memutuskan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri snediri dengan orang lain. 5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum

2. Tugas Perkembangan Remaja

Havinghurst (dalam Hurlock, 1999, Bigner, 1994) secara umum menyebutkan tugas-tugas perkembangan masa remaja yaitu:

(21)

a) Memperluas hubungan antar pribadi dan komunikasi yang lebih baik dengan teman seusia dari sesama jenis kelamin maupun dengan lawan jenis kelamin. b) Mencapai peran sosial yang maskulin dan feminin.

c) Menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang yang lebih dewasa.

e) Mencapai kepastian atau jaminan akan kemandirian ekonomi. f) Menyeleksi dan mempersiapkan pekerjaan.

g) Mempersiapkan diri untuk rencana pernikahan dan menghadapi kehidupan berkeluarga.

h) Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan. i) Memiliki rasa tanggung jawab secara sosial.

Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self

yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2008).

3. Perkembangan Bahasa dan Komunikasi Remaja

Sesuai fungsinya, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan seseorang dalam pergaulannya atau hubungannya dengan orang lain. Bahasa

(22)

disebut juga sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata karma dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Sejalan dengan perkembangan hubungan sosial, perkembangan bahasa seseorang juga akan semakin meningkat. Perkembangan bahasa merupakan peningkatan kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik alat komunikasi secara lisan, tertulis, maupun menggunakan tanda-tanda dan isyarat (Sunarto dan Hartono, 1995).

Bahasa remaja adalah bahasa yang telah berkembang dan terbentuk oleh kondisi lingkungan. Lingkungan remaja mencakup lingkungan keluarga, masyarakat, dan khususnya pergaulan teman sebaya, dan lingkungan sekolah. Perkembangan bahasa remaja dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal. Bersamaan dengan kehidupannya di masyarakat luas, anak remaja mengikuti proses belajar di sekolah. Pengaruh pergaulan di dalam masyarakat, khususnya teman sebaya, terkadang cukup menonjol, sehingga bahasa remaja menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di dalam kelompok sebaya (Sunarto dan Hartono, 1995).

Perkembangan komunikasi pada usia remaja ditunjukkan dengan kemampuan dan pengetahuan remaja yang semakin bertambah tentang bahasa dan komunikasi. Remaja sudah mulai berpikir secara konseptual dan sudah mulai menunjukkan perasaan malu. Remaja biasanya menghindari pertanyaan yang dapat menimbulkan rasa malu dan kerahasiaan dalam berkomunikasi. Remaja juga semakin mengetahui apa yang diperlukannya untuk dapat berkomunikasi dengan lebih baik. Ia sudah mulai memahami apa yang harus dilakukannya dalam

(23)

situasi-situasi komunikasi tertentu. Kemampuan remaja dalam berkomunikasi ditunjukkan dengan mampu berdiskusi membahas suatu masalah serta berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Pada masa ini, pola pikir remaja sudah mulai menunjukkan ke arah yang lebih positif mengingat masa ini adalah masa peralihan anak menjadi dewasa (Monks, 2004).

Keinginan atau motivasi remaja untuk berkomunikasi juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena remaja harus dapat memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan orang lain sebagai salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhinya (Hurlock, 1999).

D. PERBEDAAN KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARA REMAJA AWAL BILINGUAL DENGAN MONOLINGUAL

Penggunaan dua bahasa atau bilingual saat ini sudah menjadi hal yang penting dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat mulai menyadari bahwa mempelajari bahasa kedua selain bahasa Indonesia merupakan modal yang baik untuk dapat memperoleh masa depan yang lebih cerah dan sebagai bekal untuk mampu mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Raguenaud (2009) bahwa mempelajari bahasa kedua dapat memberikan kontribusi yang besar dalam kesuksesan seseorang. Individu bilingual dapat memperoleh peluang yang lebih besar untuk sukses dalam segala bidang dibandingkan dengan individu monolingual.

(24)

Bilingual memang telah terbukti memiliki banyak manfaat bagi perkembangan seorang individu. Salah satu manfaat positif dari bilingual seperti yang telah diungkapkan Baker (1995, 2001) adalah dapat mengembangkan kemampuan komunikasi seseorang. Dengan menjadi bilingual, seorang remaja dapat memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk memiliki kompetensi komunikasi yang baik. dibandingkan remaja monolingual.

Norman Segalowitz (dalam Saunders, 1988) juga mengungkapkan keunggulan dari bilingual dibandingkan dengan monolingual, dimana individu bilingual memiliki kosa kata yang lebih kaya dan kemampuan verbal yang lebih baik dari individu monolingual. Hal ini dapat memberi keuntungan bagi remaja bilingual yang dapat menbantunya dalam mencapai kompetensi komunikasi yang baik.

Kompetensi komunikasi sangat diperlukan bagi para remaja, khususnya remaja awal. Dalam masa perkembangannya, remaja dituntut untuk mampu memiliki kemampuan komunikasi yang baik guna memenuhi tugas perkembangannya dalam menjalin hubungan yang lebih erat dengan orang lain (Monks, 2004). Remaja bilingual diyakini dapat memiliki kompetensi komunikasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan remaja monolingual. Hal ini disebabkan karena dengan mempelajari dua bahasa, remaja bilingual dapat memiliki keuntungan tersendiri, seperti dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas, memiliki harga diri yang lebih tinggi, serta dapat memiliki pemikiran yang lebih global (Raguenaud, 2009).

(25)

Namun dalam perkembangannya, kadang remaja tidak mampu mengatasi penggunaan dua bahasa dalam kesehariannya. Pengetahuan anak-anak dan remaja tentang bahasa akan berbeda dengan orang dewasa. Orang yang sudah dewasa dapat mengatasi dan menerapkan dengan benar penggunaan dua bahasa dalam kesehariannya. Berbeda halnya dengan orang dewasa, para remaja yang kemampuannya masih terbatas dapat mengalami hambatan dan gangguan dalam penggunaan dua bahasanya sehingga hal ini dapat menurunkan kompetensi komunikasinya (Bialystok, 2003).

Einar Haugen (dalam Saunders, 1988) melakukan beberapa penelitian terhadap penggunaan dua bahasa atau bilingual dalam kehidupan sehari-hari dan diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan dua bahasa tidak memberikan pengaruh terhadap kemampuan komunikasi individu, baik kemampuan verbal maupun non-verbal. Individu bilingual memang memiliki resiko keterlambatan dalam perkembangan kemampuan komunikasi verbal, namun hal ini akan menghilang seiring perkembangan individu tersebut. Kemampuan atau kompetensi komunikasi yang dimiliki individu bilingual tidak akan berbeda dengan individu monolingual. Walaupun pada awalnya individu bilingual akan memiliki sedikit gangguan dalam komunikasi verbal, hal ini tidak akan terlalu mempengaruhi kompetensi komunikasinya.

Remaja bilingual dapat mengalami kesulitan dan gangguan saat menerapkan penggunaan dua bahasanya, seperti kecemasan saat komunikasi dikarenakan perbedaan bahasa, pencampuran dalam penggunaan dua bahasa, serta

(26)

tugas-tugas ekstra yang harus dilakukan remaja bilingual yang dapat menurunkan kompetensi komunikasinya (Esch dan Riley, 2003).

Dampak positif dan negatif dari bilingual telah terbukti dapat mempengaruhi kemampuan atau kompetensi komunikasinya. Dampak positif dari bilingual akan dapat meningkatkan kompetensi komunikasinya yang akan lebih baik dari monolingual. Sebaliknya, dampak negatif dari bilingual dapat menurunkan kompetensi komunikasinya yang akan membuatnya lebih rendah dari monolingual. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi yang dimiliki seorang bilingual akan berbeda dengan seorang monolingual.

E. HIPOTESA

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah : ada perbedaan kompetensi komunikasi antara remaja awal bilingual dengan monolingual.

Referensi

Dokumen terkait

kelihatan atas perjanjian kekal yang diikat Allah dengan umat-Nya dan yang menjadikan kita anak-anak Allah, untuk memberikan suatu kehidupan baru yang bersih dari dosa

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang paling sulit dipahami oleh sebagian besar siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas

Dari hasil wawancara yang dijawab oleh narasumber 5, saya bisa menyimpulkan  bahwa guru yang sudah tersertifikasi wajib menjalankan tugasnya sebagai guru yang profesional dan

Tuhan layak menjadi pusat ibadah kita, bukan hanya karena Dia Tuhan yang berkuasa tetapi karena relasi Perjanjian dan karena apa yang Dia lakukan atas hidup Kita sebagai umat

AMBAI YAPEN SELATAN WONAWA Kepulauan Yapen Total Total

Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot..

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu

Pada pendekatan OOP, misalnya kita telah memiliki class Pantul yang menampilkan bentuk lingkaran, selanjutnya adalah membuat class Pantul1 yang akan menampilkan bentuk persegi,