UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
` SKRIPSI
Analisis Pengaruh Tingkat Inflasi, PMDN dan PMA Terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja Di Sumatera Utara
Diajukan oleh :
FEBRIA SUSANTO
040501040
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana besar pengaruh tingkat inflasi, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara.
Untuk memperoleh hasilnya, maka diteliti beberapa variabel yaitu tingkat inflasi, PMDN, dan PMA. Sedangkan data variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan kurun waktu tahun 1989 sampai tahun 2008.
Setelah pengolahan data melalui program komputer Eviews 5.1, maka diperoleh hasil yaitu bahwa variabel tingkat inflasi, PMDN tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara, sedangkan variable PMA memberikan pengaruh yang signifikan. Akan tetapi, secara bersama-sama variabel-variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara.
Dengan demikian pihak pemerintah perlu meningkatkan akses untuk PMA agar dapat menunjang peningkatan jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara. Dan pemerintah juga perlu menekan tingkat inflasi dan berusaha meningkatkan PMDN untuk mendukung pembangunan daerah secara berkelanjutan.
ABSTRACT
This research as a mean to see how far the influence the rate of inflation, the Domestic Investment (DI), Foreign Direct Investment (FDI), to total employment in North Sumatera.
To get results, then examined several variables it’s inflation, Domestic Investment (DI), and Foreign Direct Investment (FDI). The data variables used in this study are secondary data, the time period 1989 to 2008.
After processing the data through a computer program Eviews 5.1, then the result is that variebel inflation rates, Domestic Investment (DI) does not have a significant influence on the number of employment in North Sumatra, while the variables that significantly contributed to Foreign Direct Investment (FDI) . However, together these variables have a significant influence on the number of employment in North Sumatera.
By that, the government needs to improve access to Foreign Direct Investment (FDI) in order to support the increasing number of employment in North Sumatera. And the government also needs to curb the inflation rate and try to improve the domestic investment to support sustainable regional development.
Keywords : employments, inflation, Domestic Investment (DI), Foreign Direct Investment (FDI)
.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan penyertaannya
yang diberikan kepada penulis dalam menjalani masa perkuliahan hingga dapat
menyelesaiakan sikripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Tingkat Inflasi, PMDN dan PMA
Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Utara”. Semoga dengan hasil penelitian ini,
banyak manfaat yang diperoleh baik dalam menambah pengetahuan penulis, bahan referensi,
maupun manfaat bagi masyarakat pada suatu saat nanti.
Banyak kegagalan dan kesalahan yang dialami penulis dalam perkuliahan maupun
dalam penulisan skripsi ini. Akan tetapi sebagai manusia yang tidak pernah luput dari
kesalahan, penulis akan berusaha memperbaikinya dengan adanya saran, masukan serta kritik
yang membangun dari semua pembaca yang sudi mendukung penulisan ini. Pada kesempatan
yang sangat luar biasa ini, izikanlah saya sebagai penulis dengan segala kerendahan hati ingin
menyampaikan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung baik dalam
bentuk moril maupun materiil, dan terutama kepada:
• Kedua orang tua saya yaitu ayahanda Zulfahri Nasution dan Ibunda Ratna Gusti
Lubis yang telah memberikan dukungan moral serta materiil yang tak ternilai lagi
banyaknya, serta abang(Jendra Erismal), kakak (Emrita dan Rema Junida) dan
adik(Ihsanul Arif dan Desria Hervina) yang telah memberikan perhatian yang tulus
serta doa yang tak ternilai harganya.
• Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
• Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku ketua jurusan Ekonomi Pembangunan
Universitas Sumatera Utara dan Bapak Irsyad Lubis,SE,MSoc,Phd selaku sekretaris
Departemen Ekonomi Pembangunan yang selama ini memberikan dukungan dan
• Bapak Syarif Fauji, Mec,Ac selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu,
tenaga dan pikiran dalam membimbing penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.
• Ibu Dr. Murni Daulay,MEc selaku dosen penguji I dan Bapak Drs.HB. Tarmizi,SU
selaku dosen penguji II yang turut menyumbangkan saran, pikiran kepada penulis.
• Bapak Drs.Jhonathan Sinuhaji(Alm), selaku dosen wali penulis yang telah
memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama masa baktinya di Fakultas
Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
• Seluruh staf pengajar dan karyawan di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan dukungan.
• Semua kawan-kawan seperjuangan waktu kuliah(Tak dapat disebutkan namanya
satu-satu) yang selalu memberikan motivasi, tenaga, pikiran serta perhatian yang luar biasa
besarnya baik pada saat perkuliahan maupun pada saat penulisan skripsi ini.
• Bung dan Sarinah kawan-kawan seperjuangan dalam Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia(GmnI) komisariat fakultas ekonomi USU yang tak henti-hentinya
memberikan dorongan semangat selama menjalani masa studi dan pengerjaan skripsi
ini.
• Abangda dan Kakanda Alumni GmnI Fe-USU yang selalu mengingatkan dan
memberikan masukan penulisan skripsi ini.
Medan, Agustus 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 34
BAB IV :ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 42
A. Gambaran Umum ... 42
A.1 Kondisi Geografis ... 42
A.2 Iklim ... 42
A.3 Kondisi Demografi ... 43
A.4 Potensi Wilayah ... 44
B. Perkembangan Ekonomi Sumatera Utara ... 45
B.1 Perkembangan Inflasi ... 45
B.2 Perkembangan Investasi di Sumatera Utara ... 47
B.3 Ketenagakerjaan……… 50
C. Hasil Penelitian ... 52
1. Regressi linear variabel ... 52
2. Uji Statistik ... 54
3. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 57
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 60
A. Kesimpulan……… ... 60
B. Saran………... ... 61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Demand Push-Inflation ... 11
2.2 Cost-Push Inflation ... 12
2.3 Hubungan Tingkat Bunga dan Investasi ... 17
2.4 Keseimbangan Tenaga Kerja ... 21
2.5 Kurva Philip ... 28
2.6 Hubungan perubahan upah dengan pengangguran ... 29
3.1 Kurva Durbin-Watson ... 40
4.1 Uji t-statistik variabel X1 ... 54
4.2 Uji t-statistik variabel X2………. 55
4.3 Uji t-statistik variabel X3……… 56
4.4 Uji F-statistik……….. 57
DAFTAR TABEL
No.Tabel Judul Halaman
4.1 Perkembangan Inflasi di Sumatera Utara ... 47
4.2 Perkembangan PMDN di Sumatera Utara ... 48
4.3 Perkembangan PMA di Sumatera Utara ... 49
4.4 Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Utara ... 51
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana besar pengaruh tingkat inflasi, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara.
Untuk memperoleh hasilnya, maka diteliti beberapa variabel yaitu tingkat inflasi, PMDN, dan PMA. Sedangkan data variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan kurun waktu tahun 1989 sampai tahun 2008.
Setelah pengolahan data melalui program komputer Eviews 5.1, maka diperoleh hasil yaitu bahwa variabel tingkat inflasi, PMDN tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara, sedangkan variable PMA memberikan pengaruh yang signifikan. Akan tetapi, secara bersama-sama variabel-variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara.
Dengan demikian pihak pemerintah perlu meningkatkan akses untuk PMA agar dapat menunjang peningkatan jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara. Dan pemerintah juga perlu menekan tingkat inflasi dan berusaha meningkatkan PMDN untuk mendukung pembangunan daerah secara berkelanjutan.
ABSTRACT
This research as a mean to see how far the influence the rate of inflation, the Domestic Investment (DI), Foreign Direct Investment (FDI), to total employment in North Sumatera.
To get results, then examined several variables it’s inflation, Domestic Investment (DI), and Foreign Direct Investment (FDI). The data variables used in this study are secondary data, the time period 1989 to 2008.
After processing the data through a computer program Eviews 5.1, then the result is that variebel inflation rates, Domestic Investment (DI) does not have a significant influence on the number of employment in North Sumatra, while the variables that significantly contributed to Foreign Direct Investment (FDI) . However, together these variables have a significant influence on the number of employment in North Sumatera.
By that, the government needs to improve access to Foreign Direct Investment (FDI) in order to support the increasing number of employment in North Sumatera. And the government also needs to curb the inflation rate and try to improve the domestic investment to support sustainable regional development.
Keywords : employments, inflation, Domestic Investment (DI), Foreign Direct Investment (FDI)
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan ekonomi suatu Negara secara umum beroreintasi pada pertumbuhan
(growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat
kegiatan ekonomi masa sekarang lebih tinggi dari pada yang dicapai pada masa sebelumnya
dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam konsepsi dan pelaksanaan pembangunan sering dirasakan adanya masalah
yang merupakan dua kutub yang bertentangan, yaitu antara pertumbuhan ekonomi dan
sumberdaya manusia yang besar. Untuk menciptakan pertubuhan ekonomi yang tinggi
dibutuhkan modal pembangunan yang besar.
Berbagai kebijakan telah ditempuh pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan
ekonomi seperti promosi untuk menarik investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri
dengan keluarnya undang-undang penanaman modal pada tahun 1966, juga dengan
pemberian kredit serta suku bunga yang lunak. Dengan semakin banyaknya investasi yang
masuk, memberikan kesempatan yang lebih luas bagi penduduk serta mengurangi tingkat
penganguran terbuka.
Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menggunakan data dari Survei Angkatan Kerja
Nasinal (Sakernas) tahun 2005 mengganbarkan bahwa jumlah angkatan kerja Indonesia
mencapai 105.8 juta orang atau meningkat 1.76% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari keseluruhan angkatan kerja tahun 2005, sekitar 62,2 juta orang (58,8%) berada
diwilayah pedesaan, 43,6 juta orang (41,2%) berada diwilayah perkotaan. Dari angka
tersebut, angkatan kerja yang termasuk kedalam kategori pengagguran terbuka berjumlah
10,8 juta orang (10,3%), atau meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 10,4 juta
diwilayah pedesaan dan 5,9 juta orang (54,3%) berada diwilayah perkotaan. Selanjutnya,
sebanyak 3,9 juta orang dari total angka pengangguran terbuka merupakan penganggur usia
muda (15-24 tahun) atau meningkat dibandingkan tahun 2004 yang berjumlah 3,4 juta orang
(BPS, 2006).
Secara ekonomis, upaya menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui
peningkatan pertumbuhan ekonomi masih belum mampu mengurangi jumlah pengangguran
yang ada. Disamping kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang masih
terbatas, kemampuan menciptakan lapangan kerja relatif kecil dan terdapat kecenderungan
mengalami penurunan.
Secara teoritis, meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penyerapan
tenaga kerja dengan asumsi terjadi peningkatan investasi. Selama terjadi krisis ekonomi,
penyerapan tenaga kerja secara nasional mengalami penurunan sehingga banyak terjadi
pengangguran. Pengangguran merupakan masalah dibidang ketenagakerjaan. Di satu sisi
yang menjadi sasaran adalah pemerataan distribusi pendapatan dalam menjaga serta
meningkatkan stabilitas nasional.
Salah satu masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja adalah
ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja (demand of labor) dan penawaran tenaga
kerja (suppy of labor), pada satu tingkat upah. Penyediaan kesempatan kerja yang luas sangat
diperlukan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk usia muda yang masuk ke pasar
tenaga kerja. Sempitnya lapangan kerja yang tersedia akan menyebabkan terjadinya
pengangguran yang akan membawa masalah yang lebih besar lagi.
Rata-rata persentase kemiskinan propinsi Sumatera Utara untuk tahun 2006 adalah
sekitar 16,5% , berarti mendekati rata-rata nasional. Artinya kemiskinan Sumatera Utara tidak
adalah adanya ketimpangan tingkat kemiskinan antar kabupaten/ kota yang sangat lebar
jaraknya.
Dari sisi penduduk, Sumatera Utara urutan keempat terbesar setelah Jatim, Jabar dan
jateng. Jumlah penduduk tahun 1990 adalah 10,26 juta jiwa dan sampai dengan tahun 2005
meningkat menjadi 12.326.399 jiwa atau bertambah lebih dua juta jiwa dengan kepadatan
bertambah pada periode yang sama dari 143 jiwa/km2 menjadi 172 jiwa/km2, dengan laju
pertumbuhan penduduk (2000-2005) sebesar 1,37% pertahun dan meningkat untuk tahun
selanjutnya.
Dari sisi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Sumatera Utara, pada tahun
2005 dari target 389 hanya dapat direalisasikan 186 penanaman modal. Sedangkan
Penanaman Modal Asing (PMA), dari rencana 23 investor (2005) tercapai 5 investor dengan
nilai investasi US$ 27.515.000.
Perkembangan investasi dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Sejak tahun
1968 sampai September 2008, rencana investasi PMDN sejumlah 457 proyek senilai Rp. 43,4
triliun terealisasi sejumlah 359 proyek senilai Rp.9,8 triliun. Sedangkan rencana investasi
PMA sejumlah 477 proyek senilai US$ 9.847 milyar terealisasi sejumlah 260 proyek senilai
US$ 4,6 milyar.
Dalam tahun 2008, tercatat rencana investasi PMDN sejumlah 14 proyek senilai Rp.
615,4 milyar terealisasi sejumlah 9 proyek senilai Rp. 346,5 milyar dan rencana investasi
PMA sejumlah 36 proyek senilai US$ 347,144 juta dan terealisasi sejumlah 11 proyek senilai
US$ 118,45 Juta.
Kebijakan-kebijakan yang tepat dibutuhkan dalam menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, kestabilan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tidak disertai dengan perbaikan struktur
tingkat inflasi yang tinggi, neraca pembayaran yang kurang seimbang akibat banyaknya
keuntungan dari perusahaan penanam modal asing yang ditarik kembali ke negerinya, serta
kesenjangan antar penduduk dan regional yang semakin mencolok. Dari sisi penawaran uang
semakin tidak terkendali karena ekspansifnya dunia perbankan memberikan kredit, akibat
penurunan suku bunga.
Secara teori kita mengetahui bahwa pertumbuhan uang mempengaruhi tingkat bunga.
Mankiw(2000:162), menjelaskan keterkaitan antara uang, harga, dan tingkat bunga sebagai
berikut : “penawaran uang dan permintaan uang menentukan tingkat harga. Perubahan
dalam tingkat harga menentukan tingkat inflasi. Tingkat inflasi mempengaruhi tingkat bunga
nominal. Karena merupakan biaya dari memegang uang, tingkat bunga nominal bisa
mempengaruhi permintaan uang.
Menurut Nanga (2000:253), inflasi juga cenderung mempengaruhi tingkat bunga riil
sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan di pasar modal. Hal ini akan
menyebabkan penawaran dana untuk investasi akan menurun, dan sebagai akibatnya investasi
sektor swasta tertekan sampai kebawah tingkat keseimbangan(yang disebabkan oleh
terbatasnya penawaran dana yang dapat dipinjamkan). Karenanya, sejauh inflasi menuntun
kearah tingkat bunga yang rendah dan ketidakseimbangan pasar modal, inflasi dapat
memperkecil investasi dan pertumbuhan.
Kondisi perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat menyebabkan
perubahan-perubahan dalam output dan kesempatan kerja. Tingkat inflasi yang tinggi
berdampak pada pengangguran. Bila tingkat inflasi tinggi, dapat menyebabkan angka
pengangguran tinggi, ini berarti perkembangan kesempatan kerja menjadi semakin mengecil
atau dengan kata lain jumlah tenaga kerja yang diserap juga akan kecil. Dari sini terlihat
inflasi agar tidak tinggi maka jumlah uang yang beredar di masyarakat juga harus
dikendalikan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin menganalisa atau melihat perkembangan
keadaan jumlah tenaga kerja bila dihadapkan dengan keadaan tingkat inflasi dan tingkat
investasi. Apakah pembangunan ekonomi Negara Indonesia, khususnya propinsi Sumatera
Utara mampu untuk menyerap jumlah angkatan kerja yang cukup banyak setiap tahunnya.
Untuk maksud tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:
“Analisis Pengaruh Tingkat Inflasi, PMDN dan PMA terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Utara”.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh inflasi terhadap jumlah penyerapan tenaga kerja di
Sumatera Utara.
2. Apakah ada pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman
Modal Asing (PMA) terhadap penyerapan tenaga kerja di Sumatera utara.
C. Hipotesa
Hipotesa merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek
penelitian, dimana tingkat kebenarannya masih perlu dibuktikan atau di uji. Berdasarkan
perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian
adalah :
1. Adanya pengaruh negatif tingkat inflasi terhadap jumlah penyerapan tenaga
2. Adanya pengaruh positif Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan
Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap penyerapan tenaga kerja di Sumatera
utara.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat inflasi terhadap jumlah
penyerapan tenaga kerja di Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap penyerapan tenaga
kerja di Sumatera Utara.
E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan studi tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa fakultas ekonomi,
khususnya mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas
Sumatera Utara.
2. Sebagai referensi dan informasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Sebagai proses pembelajaran dan menambah wawasan bagi penulis dalam hal
menganalisa dan berfikir.
4. Hasil penelitan ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi
Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, khususnya untuk menentukan kebijakan
BAB II
URAIAN TEORITIS
A. Infasi
1. Pengertian Inflasi
Salah satu fenomena moneter yang sangat penting dan dijumpai dihampir semua
Negara di dunia adalah inflasi. Inflasi adalah suatu gejala dimana tingkat harga umum
mengalami kenaikan secara terus-menerus.
Menurut Budiono (2001:155), definisi singkat inflasi adalah kecenderungan dari
harga-harga untuk menaik secara umum dan terus-menerus.
Vieneris dan Sebold mendefinisikan inflasi sebagi suatu kecenderungan
meningkatnya tingkat harga umum secara terus-menerus sepanjang waktu (Nanga,
2001:241). Definisi ini bersumber pada tiga pengertian pokok inflasi, yaitu:
1. Harus dibedakan peningkatan harga yang sebenarnya terjadi (actual price increase)
dengan tendensi peningkatan harga. Perbedaan penting ini disebabkan tingkat harga
tidak selamanya bebas berfluktuasi sebagai respon atas kondisi-kondisi pasar.
Adakalanya terdapat kebijaksanaan pemerintah untuk mempengaruhi tingkat harga,
misalnya menekan kenaikan upah, sehingga tingkat kenaikan harga untuk tidak terjadi
semena-mena kendati pun kenaikan harga tetap terjadi. Situasi ini disebut dengan
inflasi yang ditekan (repressed inflation). Dilain pihak jika tendensi kenaikan
harga-harga yang terjadi di pasaran, maka situasi ini disebut open inflation.
2. Pengertian perkataan terus-menerus (sustained). Gejolak-gejolak kenaikan harga
biasa terjadi disebabkan adanya fluktuasi-fluktuasi insidentil dalam kegiatan ekonomi.
Misalnya pada masa paceklik, pemogokan umum dan faktor-faktor lain dapat
random ini akan bersifat menurun kembali setelah situasi reda (self canceling) pada
masa, tidaklah disebut sebagai situasi inflasi.
3. Pengertian tingkat harga umum (general price level) yaitu peningkatan keseluruhan
harga barang dan jasa dalam ekonomi.
2. Teori-teori Inflasi
Ada tiga kelompok yang mengemukakan teori inflasi yaitu:
a. Teori Kuantitas
Teori ini menerangkan penyebab proses terjadinya inflasi yang melanda sebuah
perekonomian. Pendapat teori kuantitas (teori kaum klasik) ini menyatakan bahwa proses
terjadinya inflasi disebabkan oleh :
1. Volume uang yang beredar
Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar dalam
masyarakat (uang giral dan kartal). Penambahan jumlah uang yang beredar ini
merupakan sumber utama penyebab inflasi, karena volume uang yang beredar lebih
besar dari kesanggupan output untuk menyerapnya(volume uang lebih besar dari pada
pendapan nasional). Bila jumlah uang yang beredar tidak ditambah, maka inflasi akan
berhenti secara otomatis apapun penyebab kenaikan harga-harga dalam perekonomian
tersebut.
2. Adanya perkiraan masyarakat akan kenaikan harga (Expectation)
Kalau perkiraan masyarakat akan ada perubahan harga walaupun ada penambahan
uang (tidak besar) tidak akan menyebabkan inflasi, karena perubahan harga yang
terjadi masih kecil. Apabila akan ada perubahan harga yang cukup besar dan
penambahan uang yang beredar, maka penambahan uang yang beredar tersebut akan
dibelanjakan masyarakat, karena masyarakat ingin menghindari kerugian yang timbul
inflasi dengan meningkatnya harga juga diiringi dengan penambahan uang yang
beredar.
Bila masyarakat mengharapkan harga-harga naik di masa yang akan datang, maka
penambahan uang yang beredar akan sepenuhnya akan diwujudkan dalam permintaan
efektif di pasar. Sehingga dengan laju volume uang yang beredar diikuti dengan
kenaikan permintaan barang-barang akan mengakibatkan terjadinya kenaikan harga
atau inflasi.
b. Teori Keynes
Keynes menyoroti factor inflasi melalui pendekatan teori ekonomi makronya.
Menurut teori yang dikeluarkan Keynes, inflasi akan terjadi karena masyarakat ingin hidup
diluar batas kemampuan pendapatannya(aktifitas ekonominya). Terjadinya inflasi melalui
perebutan bagian rejeki diantara kelompok-kelompok social yang menginginkan bagian yang
lebih besar dari pada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini
akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang
selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia(pendapatan nasional). Hal ini akan
menimbulkan inflationary gap, yang timbul akibat golongan masyarakat yang berhasil
merebut bagian pendapatan nasional yang lebih besar, secara nyata diwujudkan dalam
permintaan di pasar barang-barang. Karena permintaan total melebihi jumlah barang-barang
yang tersedia, maka harga-harga naik sehingga timbullah inflasi.
c. Teori Strukturalis
Teori ini dikembangkan dari struktur perekonomian negara-negara berkembang,
khususnya struktur(pengalaman) perekonomian Negara-negara Amerika latin. Ada dua factor
yang menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan inflasi dalam Negara berkembang
berdasarkan teori strukturalis ini yaitu:
Yaitu ekspor berkembang secara lamban dibanding sektor lain dalam perekonomian.
Hal ini disebabkan naiknya harga barang-barang komoditi Negara-negara berkembang(hasil
alam), dalam jangka panjang perkembangannya sangat lamban dibanding harga barang
industri. Adanya perkembangan ekspor yang lamban juga merupakan penyebab adanya
kelambanan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan(terutama barang modal untuk
mengubah struktur perkonomian). Akibatnya Negara tersebut terpaksa mengambil
kebijaksanaan yang menekankan pemakaian produksi dalam negeri(untuk memajukan
industri dalam negeri) dan sebelumnya diimpor (walaupun hasil produksi dalam negeri lebih
mahal harganya karena kurang efisien). Biaya produksi yang tinggi menyebabkan harga yang
lebih tinggi. Disamping itu, bila proses subsitusi impor ini makin meluas , kenaikan biaya
produksi juga akan makin meluas, sehingga makin banyak harga barang yang naik. Dengan
demikian terjadi inflasi dalam perekonomian yang berkepanjangan.
2. ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan dalam negeri
Berakibat pertumbuhan produksi bahan makanan tidak secepat pertumbuhan
penduduk dan pendapatan, sehingga harga bahan makanan cenderung untuk meningkat
melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Kenaikan harga bahan makanan ini
mengakibatkan tuntutan kenaikan upah kaum buruh atau pekerja yang dampaknya akan
menaikkan biaya produksi. Jika demikian, otomatis harga hasil produksi (pertanian dan
industri) akan naik lagi, sehingga kenaikan harga barang menuntut kembali tingkat upah
untuk dinaikkan.Begitu seterusnya, proses ini hanya akan berhenti apabila harga bahan
makanan tidak ikut naik kembali. Akan tetapi, factor structural perekonomian tidak bisa
menghentikan kenaikan harga bahan makanan, sehingga akan terjadi dorong-mendorong
antara upah dan kenaikan harga,dan tidak akan berhenti sampai struktur perekonomian dapat
diubah.
a. Jenis inflasi berdasarkan besarnya laju inflasi(tingkat keparahanya)
Pengelompokan inflasi dari segi parah atau tidaknya, menitikberatkan pada seberapa
besar laju tingkat inflasi dalam suatu periode tertentu. Disini Inflasi dapat dibedakan menjadi
4 tingkat yaitu :
1. Inflasi ringan yaitu inflasi yang laju pertumbuhannya lebih kecil dari 10% per
tahun.
2. Inflasi sedang yaitu inflasi yang laju pertumbuhannya terletak antara 10%-30% per
tahun.
3. Inflasi berat yaitu inflasi yang laju pertumbuhannya 30%-100% per tahun.
4. Hyper inflasi yaitu inflasi yang laju pertumbuhannya lebih dari 100% per tahun.
b. Jenis inflasi berdasarkan penyebabnya
Berdasarkan dari sumber penyebabnya, inflasi dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Inflasi sebagai akibat tekanan permintaan(Demand push-Inflation)
Inflasi ini disebabkan oleh permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat.
Seperti yang diperlihatkan dalam gambarberikut ini.
Input
S
H2
H1 D2
D1
Q1 Q2 Output Gambar 2.1: Demand push-Inflation
Gambar menunjukkan suatu demand inflation. Karena permintaan akan
barang-barang agregat bertambah, misalnya karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang
atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit murah. Maka kurva agregat
bergeser dari D1 ke D2. Akibatnya tingkat harga umum naik dari H1 ke H2.
2. Cost-Push Inflation
Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan biaya produksi. Seperi yang diperlihatkan
gambar dibawah ini.
P S2
S1
P2
P1 D
Q1 Q2 Q
Gambar 2.2: Cost-push inflation
Pada gambar kita lihat bahwa bila biaya produksi naik, misalnya karena
kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri atau karena kenaikan harga
bahan bakar minyak,maka kurva penawaran masyarakat(Aggregate supply) bergeser dari S1
ke S2.
3. Inflasi Campuran
Yaitu: Inflasi yang terjadi karena pengaruh kenaikan permintaan dan penurunan
penawaran agregat.
C. Jenis Inflasi berdasarkan asal
1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri(Domestic inflation)
Inflasi dalam negeri biasanya timbul karena defisit anggaran belanja yang
dibiayai dengan pencetakan uang yang beredar, gagal panen dan lain sebagainya.
Inflasi timbul akibat kenaikan harga-harga barang luar negeri. Misalnya kenaikan
harga barang material (Input) dari luar negeri, penurunan nilai tukar rupiah yang
mengakibatkan harga barang-barang dari luar negeri menjadi semakin mahal. Kenaikan harga
dalam negeri akibat hubungan luar negri bisa juga terjadi akibat kenaikan nilai ekspor.
Dengan naiknya nilai ekspor akan mengakibatkan barang didalam negeri menjadi langka
yang pada akhirnya mengakibatkan naiknya harga barang didalam negeri.
4. Pengukuran Laju Tingkat Inflasi
Tinggi rendahnya inflasi pada suatu Negara pada waktu tertentu tergantung pada
indikator dan tahun dasar yang digunakan. Ada beberapa Indikator yang biasanya yang
digunakan untuk mengukur besarnya laju perubahan kenaikan inflasi, yaitu :
1. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Biaya Hidup (IBH)
Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan Indikator yang umum digunakan
untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan
pergerakan dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar
survey bulanan di 45 kota, dipasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang dan
jasa disetiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas.
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Indeks harga perdagangan besar menitikberatkan pada sejumlah barang pada
tingkat perdagangan besar. Ini berarti harga bahan mentah, bahan baku atau setengah jadi
termasuk dalam perhitungan indeks harga. Biasanya perubahan indeks harga ini
sejalan/searah dengan indeks biaya hidup.
3. Deflator Pendapatan Nasional (GNP Deflator atau GDP Deflator)
GNP Deflator mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalam penghitungan
Deflator diperoleh dengan membagi GNP nominal (atas dasar harga berlaku) dengan GNP riil
(atas dasar harga konstan).
5. Pengaruh Inflasi
Menurut Nanga(2001:252), inflasi yang terjadi didalam suatu perekonomian
memiliki beberapa pengaruh sebagai berikut :
a) Inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan diantara anggota
masyarakat. Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi dari anggota
masyarakat, sebab distribusi pendapatan yang terjadi akan menyebabkan pendapatan
riil satu orang meningkat, tetapi pendapatan riil orang lainnya jatuh. Namun parah
atau tidaknya pengaruh inflasi terhadap redistribusi pendapatan dan kekayaan tersebut
adalah sangat tergantung pada apakah inflasi itu bersifat dapat diantisipasi ataukah
tidak dapat diantisipasi sebelumnya. Inflasi yang tidak dapat diantisipasi sudah barang
tentu mempunyai akibat yang jauh lebih serius terhadap redistribusi pendapatan dan
kekayaan, dibandingkan inflasi yang dapat diantisipasi.
b) Inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi. Hal ini dapat terjadi
karena inflasi dapat mengalahkan sumberdaya dari investasi yang produktif ke
investasi yang tidak produktif sehingga mengurangi kapasitas ekonomi produktif. Ini
disebut sebagai “Efficiency Effect of inflation”.
c) Inflasi dapat menyebabkan perubahan-perubahan didalam output dan kesempatan
kerja, dengan cara lebih langsung dengan memotivasi perusahaan untuk memproduksi
lebih atau kurang dari yang telah dilakukan,dan juga memotivasi orang untuk bekerja
lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini. Ini disebut “output and
employment effect of Inflation”.
d) Inflasi dapat menciptakan suatu lingkungan yang tidak stabil bagi keputusan ekonomi.
akan naik, maka akan mendorong mereka untuk melakukan pembelian barang-barang
dan jasa secara besar-besaran pada saat sekarang ketimbang mereka menunggu
dimana tingkat harga sudah meningkat lagi. Begitu pula halnya dengan bank atau
lembaga peminjaman lainnya, jika sekiranya mereka menduga bahwa tingkat inflasi
akan menaik dimasa mendatang , maka mereka akan mengenakan tingkat bunga yang
tinggi atas pinjaman yang diberikan sebagai langkah proteksi dalam menghadapi
penurunan pendapatan riil dan kekayaan.
B. INVESTASI
1. Pengertian Investasi
Secara umum investasi meliputi pertambahan barang-barang dan jasa dalam
masyarakat seperti pertambahan mesin-mesin baru, pembuatan jalan baru, pembukaan tanah
baru, dan sebagainya.
Menurut Sukirno (2000:366), investasi didefinisikan sebagai :
Pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan
tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian
yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dimasa depan. Dengan kata lain,
dalam teori ekonomi investasi berarti kegiatan perbelanjaan untuk meningkatkan kapasitas
memproduksi sesuatu dalam perekonomian.
Dalam kaitannya dengan perusahaan dimana perusahaan melakukan investasi untuk
mendapatkan profit sebesar-besarnya, dimana dan investasi tersebut salah satunya bersumber
dari dan masyarakat yang ditabung pada lembaga-lembaga keuangan, maka Deliarnov
(1995:80-81) mengemukakan : “Investasi merupakan pengeluaran perusahaan secara
keseluruhan yang mencakup pengeluaran untuk membeli bahan baku atau material,
mesin-mesin dan peralatan pabrik serta semua modal lain yang diperlukan dalam proses produksi,
pembangunan kontruksi lainnya, juga perubahan nilai stok atau barang cadangan sebagai
akibat dari perubahan jumlah dan harga”.
Dari berbagai pendapat diatas tentang investasi, maka dapat disimpulkan investasi
merupakan suatu pengeluaran jumlah dana dari investor atau pengusaha guna membiayai
kegiatan produksi untuk mendapatkan keuntungan dimasa yang akan datang.
2. Jenis-jenis Investasi
Jenis investasi berdasarkan dari pelaku investasi terbagi dua :
a. Autonomous Investment (Investasi Otonom)
Investasi ini dilakukan oleh pemerintah (public Investment), karena disamping
biayanya sangat besar, investasi ini juga tidak memberikan keuntungan, maka pihak swasta
tidak dapat melakukan investasi jenis ini karena tidak memberikan keuntungan secara
langsung.
Contoh : Investasi bendungan untuk saluran irigasi akan dapat meningkatkan
produksi hasil pertanian tetapi tidak memberikan keuntungan langsung kepada pemerintah.
Pembukaan dan pembuatan prasarana jalan merupakan investasi otonom. Dengan dibukanya
prasarana jalan akan dapat meningkatkan aktifitas perekonomian daerah yang tadinya
terisolir.
b. Induced Investment (Investasi dorongan)
Induced Investment adalah Investasi yang besar kecilnya sangat dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan baik itu pendapatan daerah ataupun pendapatan pusat/nasional. Investasi
ini diadakan akibat adanya pertambahan permintaan, yang mana pertambahan permintaan
adalah akibat pertambahan pendapatan. Jelasnya apabila pendapatan bertambah maka
pertambahan permintaan akan digunakan untuk tambahan konsumsi, sedangkan pertambahan
permintaan maka akan mendorong berdirinya pabrik baru atau memperluas pabrik lama
untuk dapat memenuhi tambahan permintaan tersebut.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Investasi
a. Tingat Bunga
Tingat bunga sangat berperan dalam menentukan tingkat investasi yang terjadi
dalam suatu Negara. Kalau tingkat bunga rendah, maka tingkat yang terjadi akan tinggi
karena kredit dari bank masih menguntungkan untuk mengadakan investasi. sebaliknya jika
suku bunga tinggi, maka investasi dari kredit bank tidak menguntungkan.
Keynes mengatakan masalah investasi baik ditinjau dari penentuan jumlahnya
maupun kesempatan untuk mengadakan investasi itu sendiri, didasarkan pada konsep
Marginal Effisiency of capital (MEC). MEC merupakan tingkat keuntungan yang diharapkan
dari investasi yang dilakukan (Return of Investment). Hubungan antara MEC, Investasi dan
Tingkat suku bunga dapat dilihat dari MEC sebagai garis yang menurun. Dimana garis ini
menunjukkan jumlah investasi yang terlaksana pada setiap tingkat yang berlaku.
Interest
i1 MEC1
i2 MEC2
I1 I2 Investasi
Gambar 2.3 Hubungan tingkat bunga dan Investasi
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat pada tingkat suku bunga adalah i1, tingkat
investasi yang terjadi adalah I1, begitu juga posisi MEC1. Pada tingkat bunga i2, posisi
investasi adalah I2, sedangkan MEC akan menurun pada posisi MEC2.
Harapan adanya peningkatan aktifitas perekonomian dimasa yang akan datang,
merupakan salah satu faktor penentu untuk mengadakan investasi atau tidak. Kalau ada
perkiraan terjadi peningkatan aktifitas dimasa yang akan datang, walaupu tingkat suku bunga
lebih besar dari tingkat MEC, investasi mungkin akan tetap dilakukan oleh investor yang
instingnya tajam melihat peluang meraih keuntungan yang lebih besar dimasa yang akan
datang.
c. Kestabilan Politik Suatu Negara
Kestabilan politik suatu Negara merupakan satu pertimbangan yang sangat penting
untuk mengadakan investasi. Karena dengan stabilnya politik Negara yang bersangkutan
terutama Penanaman Modal Asing (PMA), tidak akan ada resiko perusahaannya
dinasionalisasikan oleh Negara tersebut (ini dapat terjadi bila ada pergantian rezim yang
memerintah Negara tersebut).
d. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi akan meningkatkan efisiensi produksi. Dengan demikian
kemajuan teknologi yang berlaku diberbagai kegiatan ekonomi akan mendorong lebih banyak
investasi. Semakin besar biaya yang diperlukan untuk melakukan perombakan dalam
teknologi yang digunakan, semakin banyak investasi yang dilakukan.
4. Hubungan Investasi dengan Pertumbuhan Ekonomi
Investasi merupakan suatu faktor yang penting bagi pertumbuhan ekonomi jangka
panjang(bagi kelangsungan pembangunan ekonomi). Pembangunan ekonomi melibatkan
kegiatan-kegiatan produksi disemua sektor ekonomi. Untuk kegiatan-kegiatan tersebut perlu
dibangun pabrik-pabrik, gedung-gedung perkantoran, infrastruktur seperti jalan raya,
bandara, jembatan, alat-alat transportasi serta komunikasi dan sebagainya. Untuk pengadaan
Dengan adanya kegiatan produksi, maka terciptalah kesempatan kerja dan
pendapatan masyarakat meningkat, yang selanjutnya akan menciptakan atau meningkatkan
permintaan di pasar. Pasar berkembang dan berarti juga volume kegiatan produksi,
kesempatan kerja dan pendapatan didalam negeri meningkat. Maka, terciptalah pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi suatu Negara erat kaitannya dengan tingkat produktifitas
penggunaan modal. Untuk melihat besarnya pembentukan modal tetap domestic bruto
dengan pertambahan PDB (Produck Domestik Bruto) adalah dengan melihat Incremental
Capital Output Ratio(ICOR). ICOR dapat digunakan untuk menunjukkan efisiensi suatu
perekonomian dalam menggunakan barang modal dan menunjukkan kecenderungan
penggunaan metode produksi(padat karya atau padat modal) dalam suatu perekonomian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ICOR :
Komposisi atau alokasi Investasi menurut sektor produksi
Hal ini terjadi karena tingkat penggunaan modal berbeda-beda menurut sektor
tertentu. Dimana sektor industri, sektor pertambangan, sektor listrik cenderung lebih
tinggi ICOR-nya dibandingkan dengan sektor pertanian. Faktor lain adalah masa
tenggang produksi dari berbagai sektor yang berbeda pula.
Laju pertumbuhan ekonomi
Besar kecilnya ICOR berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan ekonomi. Hal
tersebut dapat terjadi karena :
a) Semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi suatu Negara maka makin kecil pula
peranan penyusutan dalam total investasi.
b) Tingkat pemamfaatan kapasitas produksi makin tinggi dengan makin cepatnya
c) Kontribusi faktor ekonomi bukan modal cenderung makin besar jika laju
pertumbuhan ekonomi makin meningkat.
Tingkat pendapatan perkapita suatu Negara
ICOR suatu Negara cenderung meningkat dengan meningkatnya pendapatan
perkapita. Hal ini berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi yang makin
mengarah pada sektor-sektor yang memiliki ICOR relative tinggi.
C. Ketenagakerjaan
1. Konsep dan Definisi
Kesempatan kerja didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan sampai berapa
dari total angkatan kerja yang dapat diserap atau dapat ikut secara aktif dalam suatu kegiatan
perekonomian suatu Negara. Atau dengan kata lain, kesempatan kerja merupakan orang yang
bekerja dan telah mendapat pekerjaan (Ahmad,2001:11).
Para ahli ekonomi klasik mendefinisikan kesempatan kerja sebagai suatu keadaan
dimana semua pekerja yang ingin bekerja pada suatu tingkat upah tertentu akan dengan
mudah mendapatkan pekerjaan.
Menerut para ahli ekonomi klasik, untuk menentukan jumlah pekerja yang akan
digunakan dalam kegiatan ekonomi, analisis mengenai pasar tenaga kerja perlu dilakukan.
Dalam konteks pasar tenaga kerja, mekanisme pasar yang terjadi bersifat pasar persaingan
sempurna. Ini berarti bahwa tingkat upah ditentukan oleh keseimbangan diantara permintaan
dan penawaran tenga kerja. Apabila keadaan ini tercapai, dalam analisis klasik tingkat
kesempatan kerja penuh telah tercapai.
Dalam analisis pasar tenaga kerja secara makro, yang ingin dianalisis adalah
permintaan dan penawaran tenaga kerja dalam perekonomian. Permintaan dan penawaran
perusahaan-perusahaan dan gabungan penawaran oleh para pekerja. Dengan demikian, kurva
permintaan tenaga kerja dalam perekonomian dapat diwujudkan dengan menjumlahkan
permintaan tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan. Begitu juga dengan kurva penawaran
tenaga kerja dapat ditentukan dengan menjumlahkan kurva penawaran oleh para pekerja.
Berdasarkan pada pemikiran ini, dapat diketahui sifat permintaan dan penawaran
tenaga kerja dalam perekonomian yaitu :
Semakin tinggi tingkat upah, semakin rendah permintaan atas tenaga kerja.
Semakin tinggi tingkat upah, semakin banyak tenaga kerja yang ditawarkan.
Maka keseimbangan tenaga kerja dapat dicapai.
Tingkat upah d s
kelebihan penawaran tenaga kerja
w1
w0 E0
w2 kelebihan permintaan tenaga kerja
n0 Jumlah tenaga kerja
Gambar 2:4 Keseimbangan Tenaga Kerja
Keterangan :
Kurva n menggambarkan permintaan tenaga kerja dalam perekonomian. Kurva ini
merupakan jumlah dari semua kurva permintaan buruh oleh perusahaan-perusahaan
yang ada dalam perekonomian. Kurva s menggambarkan penawaran tenaga kerja
dalam perekonomian dan dibentuk dengan menjumlahkan kurva penawaran tenaga
kerja dari semua pekerja dalam perekonomian.
Keseimbangan di pasar tenaga kerja akan tercapai apabila permintaan tenaga kerja
sama dengan penawaran tenaga kerja. Keadaan ini tercapai pada E0, yaitu pada tingkat
dibuktikan dengan melihat keadaan yang akan berlaku pada tingkat upah yang lain,
misalnya pada w1 dan w2.
Apabila tingkat upah adalah w1, akan berlaku kelebihan penawaran tenaga
kerja(berarti sebagian tenaga kerja menganggur). Penyesuaian yang sebaliknya akan
berlaku apabila upah terlalu rendah. Misalnya, pada tingkat upah adalah w2, akan
berlaku kelebihan permintaan tenaga kerja. Keadaan ini akan menyebabkan kenaikan
upah, seterusnya akan menyebabkan penawaran tenaga kerja bertambah dan
permintaan tenaga kerja berkurang. Pada akhirnya permintaan dan penawaran tenaga
kerja akan mencapai titik keseimbangan di titik E0.
Secara garis besar penduduk suatu Negara dibagi atas dua golongan yaitu tenga kerja
dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagai tenaga kerja adalah penduduk yang berumur
dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja yang dianut oleh Negara Indonesia adalah
minimum 10 tahun tanpa batasan usia maksimum.
Tenaga kerja (Man power) dibagi kedalam dua kelompok yaitu : Angkatan Kerja
(Labor Force) dan bukan Angkatan Kerja. yang termasuk angkatan kerja adalah tenaga kerja
atau penduduk dalam usia kerja yang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk
sementara sedang tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan.
Sedangkan yang bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia
kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan
yakin: orang-orang yang kegiatannya bersekolah(pelajar,mahasiswa), mengurus rumah
tangga, serta menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa
kerjanya(pensiunan, penderita cacat yang independen).
Angkatan kerja dibedakan menjadi dua sub kelompok yaitu Pekerja dan penganggur.
Pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang yang mempunyai
mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja.
Penganggur adalah orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang
tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari kerja. Penganggur semacam ini oleh BPS
dinyatakan sebagai penganggur terbuka.
Ada beberapa indikator-indikator yang dipergunakan dalam melihat perkembangan
tenaga kerja di Indonesia, antara lain yaitu :
a. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
Tujuan menghitung Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) : Untuk
memperoleh gambaran tentang persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.
Dilihat dari sisi kerja, TPAK yang rendah ditemui pada kelompok penduduk usia kerja
wanita dan pada penduduk usia muda.
Sedangkan dari sisi tingkat kemudahan atau kesulitan untuk mendapatkan kerja,
nilai TPAK yang rendah menunjukkan kecilnya kesempatan kerja yang tersedia bagi
penduduk usia kerja dan sebaliknya TPAK yang tinggi menunjukkan besarnya kesempatan
kerja yang tersedia.
Indikator yang digunakan untuk menghitung tingkat partisipasi angkatan kerja
adalah Rasio antara jumlah angkatan kerja dengan pendudduk usia kerja, dengan rumus
sebagai berikut:
Jumlah angkatan kerja jumlah penduduk usia kerja
Angka TPAK tidak hanya dapat disajikan untuk menghitung TPAK dari seluruh
penduduk usia kerja, namun dapat juga digunakan untuk menghitung TPAK penduduk usia
kerja dengan spesifikasi yang lebih khusus seperti umur, jenis kelamin, atau tempat tinggal
(desa,kota).
b. Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha, Status Pekerjaan, Pendidikan Tertinggi
yang Ditamatkan serta Jam Kerja
Dalam pembahasan ketenagakerjaan, umumnya tenaga kerja dapat dikelompokkan
menurut lapangan kerja, pendidikan tertinggi yang ditamatkan, status pekerjaan dan jam
kerja.
Berdasarkan lapangan pekerjaan, tenaga kerja dikelompokkan atas tenaga kerja yang
bekerja disektor :
a) Pertanian, kehutanan, perikanan
b) Pertambangan dan penggalian
c) Industri Manufaktur
d) Listrik, gas dan air minum
e) Bangunan
f) Perdagangan besar, eceran dan rumah makan
g) Angkutan, pergudangan dan komunikasi
h) Keuangan,asuransi, usaha persewaan,tanah dan jasa perusahaan
i) Jasa kemasyarakatan
j) dan lainnya.
Apabila dilihat dari lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan per-kapita biasanya
akan diikuti dengan penurunan kontribusi sektor pertanian dalam menyediakan lapangan
pekerjaan. Penurunan ini erat kaitannya dengan perubahan struktur permintaan dan produksi
akibat dari peningkatan pendapatan per-kapita yang beralih dari barang-barang hasil industri.
Berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, tenaga kerja dibagi atas :
a) Tidak/belum pernah sekolah
b) Belum tamat Sekolah Dasar (SD)
d) Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP)
e) Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA)
f) Diploma 1/II
g) Diploma III
h) Diploma IV/Sarjana
Bila dilihat dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan, pendidikan berbanding lurus
atau berhubungan positif dengan upah dan gaji. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka
makin tinggi pula upah atau gaji yang akan diterima. Hubungan ini menjadi hal yang sangat
penting dalam mengambil keputusan tentang efisiensi alokasi sumberdaya manusia.
Dilihat dari segi jam kerja, pembagian menurut jam kerja dibagi menjadi
pemamfaatan jam sedikit atau sering diistilahkan sebagai “Setengah Menganggur” yakni bila
seseorang bekerja antara 1-34 jam selama seminggu. Dasar 34 jam sebagai batas adalah
berdasarkan arbitrary secara asalan tanpa dasar, yang menyatakan bahwa bilamana seseorang
bekerja antara 1-5 jam perhari masih dikatagorikan rendah. Pekerjaan normal (normal
utilization) bila seseorang bekerja antara 35-60 jam selama seminggu atau sekitar 6-8 jam
per-hari. Sedangkan pekerja lebih (over utilization) bila mana melebihi bekerja 60 jam
selama seminggu.
Berdasarkan Status Pekerjaan, tenaga kerja dibagi atas :
a) Bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain
b) Bekerja dengan dibantu anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap
c) Bekerja dengan buruh tetap
d) Buruh atau karyawan
e) Pekerja keluarga
Bila dilihat dari status pekerjaan, pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan rasio
yang bekerja sendiri, bekerja dengan dibantu keluarga atau karyawan tidak tetap dan pekerja
dan pekerja keluarga menurun.
Jumlah tenaga kerja yang berstatus bekerja sendiri, bekerja dibantu oleh karyawan
tidak tetap atau oleh keluarga dan pekerja keluarga, seringkali digunakan sebagai indikator
jumlah tenaga kerja yang bekerja disektor informal. Jumlah tenaga kerja yang bekerja sebagai
karyawan dengan upah atau gaji serta yang berusaha dengan dibantu oleh karyawan tetap
adalah indikator dari jumlah tenaga kerja yang bekerja disektor formal.
Keberhasilan suatu proses pembangunan seharusnya dapat tercermin dari
berkurangnya jumlah tenaga kerja yang bekerja disektor informal dan meningkatnya jumlah
tenaga kerja yang bekerja disektor formal.
c. Pengangguran
Definisi pengangguran sebelumnya diatas telah dijelaskan secara singkat yaitu :
seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari
pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang
diinginkan.
Definisi atau indikator pengangguran yang dapat menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya sukar untuk diperoleh. Namun ada dua pendekatan yang lazim digunakan
untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pengangguran tersebut. Dua pendekatan
yang digunakan adalah sebagai berikut (Widyanti, 1995:98) :
Pendekatan Angkatan Kerja (Labor force approach)
Dalam mendefinisikan pengangguran, pendekatan ini berangkat dari definisi
tentang tenaga kerja dan angkatan kerja. Berdasarkan definisi tentang tenaga kerja
dan angkatan kerja yang seperti telah dijelaskan sebelumnya, pendekatan ini
mendefinisikan pengangguran sebagai angkatan kerja yang tidak bekerja.
Dalam pendekatan ini angkatan kerja digolongkan dalam tiga kelompok yaitu :
a) Menganggur (Unemployed), keadaan dimana orang sama sekali tidak bekerja atau
sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini disebut juga pengangguran terbuka (open
unemployment).
b) Setengah menganggur (Underemployed), keadaan dimana orang bekerja tetapi belum
dimanfaatkan secara penuh. Keadaan setengah menganggur ini dapat digolongkan
lebih lanjut dalam setengah menganggur kentara (visible underemployed) yaitu orang
yang bekerja kurang dari 35 jam per-minggu, dan setengah menganggur tidak kentara
(Invisible Underemployed) yaitu orang yang produktifitas dan pendapatannya rendah.
c) Bekerja Penuh (employed) yaitu orang cukup dimanfaatkan.
2. Inflasi dan Pengangguran
Secara sistematik hubungan antara inflasi dengan pengangguran baru diperkenalkan
oleh A.W. Philips pada tahun 1958 dari hasil studi lapangan tentang hubungan antara
kenaikan tingkat upah dengan pengangguran di Inggris pada tahun 1861-1957.
Masalah keterkaitan antara inflasi dengan pengangguran ini dapat diterangkankan
dengan Kurva Philip. Kurva Philip ini adalah teori pilihan inflasi (Trade of theory of
inflation). Menurut dasar pandangan pendapat ini, suatu Negara atau bangsa dapat mencapai
angka pengangguran yang lebih rendah, apabila mau berkorban berupa laju yang lebih tinggi.
selain itu pilihan ini dapat bertahan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi
Perubahan harga (%)
8
6 A
4
2 B
2 4 6 8 Tingkat Pengangguran (%)
Gambar 2:5 Kurva Philip
Gambar diatas menunjukkan keterkaitan antara perubahan harga dengan tingkat
pengangguran yang terjadi pada perekonomian. Sumbu tegak menggambarkan perubahan
harga, sumbu datar merupakan tingkat pengangguran. Pada titik A terjadi perubahan tingkat
harga 6 %, sedangkan tingkat pengangguran adalah 2%. Pada titik B terjadi perubahan harga
2% sedangkan tingkat pengangguran adalah 6%. Jadi, inflasi dengan pengangguran
berhubungan secara terbalik. Ini berarti bila ingin mengurangi tingkat inflasi jumlah
pengangguran akan bertambah. Kurva Philip juga dapat menerangkan perubahan tingkat upah
dengan tingkat pengangguran yang terjadi.
Perubahan upah (%)
D
Gambar 2:6 Hubungan Perubahan upah dengan pengangguran
Hubungan yang dibentuk dari perubahan tingkat upah dengan tingkat pengangguran
adalah hubungan negatif. Pada waktu tingkat upah rendah, pengangguran akan tinggi dan
perubahan tingkat upah tinggi, maka tingkat pengangguran yang terjadi akan rendah (Jumlah
penyerapan tenaga kerja tinggi).
3. Jenis Pengangguran
Dilihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran dapat dibedakan kedalam beberapa
jenis sebagai berikut :
Pengangguran Friksional adalah jenis pengangguran yang timbul sebagai akibat dari
adanya perubahan didalam syarat-syarat kerja, yang terjadi seiring dengan
perkembangan atau dinamika ekonomi yang terjadi.
Pengangguran Struktural adalah jenis pengangguran yang terjadi sebagai akibat
adanya perubahan didalam struktur pasar tenaga kerja yang menyebabkan
terjadinya ketidaksesuain penawaran dan permintaan tenaga kerja.Singkatnya,
pengangguran structural adalah penganggura yang terjadi ketika perekonomian
beroperasi pada tingkat kesempatan kerja penuh (Full employment) atau tingkat
alamiah (Natural Rate).
Pengangguran Alamiah (Tingkat Pengangguran Alamiah) adalah tingkat
penggangguran yangterjadi pada kesempatan kerja penuh atau tingkat
pengangguran dimana inflasi yang dharapkan sama dengan tingkat inflasi actual.
Pengangguran Konjungtur atau Siklis (Cyelical Unemployment) adalah jenis
pengangguran yang terjadi sebagai akibat merosotnya kegiatan ekonomi atau
karena terlampau kecilnya permintaan efektif agregat didalam perekonomian
Jenis pengangguran khususnya di Negara-negara berkembang, dapat pula
dibedakan kedalam beberapa bentuk sebagai berikut :
Pengangguran terselubung, apabila dalam suatu kegiatan perekonomian jumlah tenaga
kerja sangat berlebihan, maka akan terjadi apa yang dinamakan pengangguran
terselubung (Pengangguran tak kentara). Kelebihan tenaga kerja dan pengangguran
terselubung disektor pertanian banyak berlaku dinegara-negara berkembang. Jumlah
penduduk yang terlalu besar, dan diikuti pula oleh kesulitan untuk mendapatkan
pekerjaan disektor lain, menyebabkan tenaga kerja yang bertambah dari tahun ke
tahun tetap tinggal disektor pertanian yang sudah sangat padat penduduknya. Jadi
sebagian dari tenaga kerja yang berada disektor pertanian adalah tidak produktif dan
memiliki produktifitas kerja marginal yang sangat rendah atau bahkan sama dengan
nol.
Pengangguran musiman, yaitu pengangguran yang terjadi pada waktu-waktu
tertentudidalam satu tahun. Biasanya pengangguran seperti ini berlaku pada
wakti-waktu dimana kegiatan bercocok tanam sedang menurun kesibukannya. Dengan
demikian, jenis pengangguran ini terjadi untuk sementara waktu saja.
Setengah Pengangguran, kelebihan penduduk disektor pertanian di Negara-negara
berkembang menimbulkan percepatan dalam proses urbanisasi atau perpindahan
penduduk dari desa ke kota dengan tujuan untuk mencari pekerjaan dikota. Sebagai
akibatnya, tidak semua orang yang berpindah memperoleh pekerjaan sehingga mereka
harus menganggur dalam waktu yang cukup lama. Diaamping itu, ada pula yang
mendapatkan pekerjaan, tetapi jam kerjanya jauh lebih rendah dari jumlah jam kerja
yang seharusnya dilakukan seseorang dalam kurun waktu tertentu (harian, mingguan
Edgar Edward (Todaro,2000:244-245) membedakan jenis pengangguran sebagai
berikut :
Pengangguran terbuka (Open Unemployment) adalah mereka yang benar-benar
sedang tidak bekerja, baik secara suka rela (orang-orang yang sebenarnya bisa saja
memperoleh suatu pekerjaan permanen, namun karena alasan tertentu mereka tidak
mau memanfaatkan kesempatan kerja yang tersedia), maupun karena terpaksa
(mereka yang sesungguhnya sangat ingin bekerja secara permanen namun tak kunjung
mendapatkannya).
Setengah Penganggur (Underemployment) adalah para pekerja yang jumlah jam
kerjanya lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan(sebagian besar bekerja
hanya secara harian, mingguan, musiman).
Mereka yang 40ector bekerja, tetapi sebenarnya kurang produktif (The visibly Active,
But,Underutilized) adalah mereka yang tidak digolongkan dalam pengangguran
terbuka atau terselubung, namun bekerja dibawah standar produktfitas optimal.
Mereka yang memang tidak mampu bekerja secara penuh, misalnya penyandang
cacat, sebenarnya ingin bekerja secara penuh, tetapi hasratnya terbentuk pada kondisi
fisik yang lemah dan tidak memungkinkan.
Mereka yang tidak produktif, yaitu mereka yang sesungguhnya memiliki kemampuan
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif, akan tetapi mereka tidak memiliki
sumberdaya komplemen yang memadai untuk menghasilkan output, yang mereka
miliki hanya tenaga, sehingga meskipun mereka sudah bekerja keras hasilnya tetap
saja tidak memadai.
4. Dampak Pengangguran
Tingkat pengangguran yang relative tinggi tidak memungkinkan masyarakat
mencapai pertumbuhan ekonomi yang mantap. Akibat-akibat buruk pengangguran terhadap
perekonomian adalah:
a. Penagangguran menyebabkan pendapatan nasional yang sebenarnya dicapai (actual
output) adalah lebih rendah dari pendapatan nasional potensial (potential output).
b. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak (Taxe Revenue) pemerintah
berkurang.
c. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran
menimbulkan dua akibat buruk pada kegiatan 41ector swasta. Pertama,
pengangguran tenaga kerja diikuti kelebihan kapasitas mesin-mesin perusahaan.
Keadaan ini jelas tidak akan mendorong perusahaan untuk melakukan investasi
dimasa yang akan datang. Kedua, pengangguran yang diakibatkan kelesuan kegiatan
perusahaan menyebabkan keuntungan berkurang. Keuntungan yang rendah
mengurangi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi.
2. Terhadap Individu dan Masyarakat
Pengangguran dapat juga membawa beberapa akibat buruk terhadap individu dan
masyarakat, sebagai berikut :
a. Pengangguran menyebabkan kehilangan mata pencaharian dan pendapatan.
b. Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan keterampilan. Pengangguran dalam
kurun waktu yang lama akan menyebabkan tingkat keterampilan pekerja menjadi
semakin merosot.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam
pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji
hipotesis penelitian.
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Tingkat Inflasi, Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan Penanaman Modal Asing ( PMA) serta pengaruhnya terhadap Penyerapan
Tenaga Kerja di Sumatera Utara selama kurun waktu 1989 – 2008.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk
time series yang bersifat kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka-angka. Sumber data
adalah diperoleh dari Bank Indonesia (BI) Kantor Cabang Medan dan Badan Pusat Statistik
(BPS) , Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan kurun waktu 1989 sampai 2008 serta
bahan-bahan kepustakaan berupa bacaan yang berhubungan dengan penelitian, juga berbagai
situs yang berhubungan dengan penelitian.
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data
sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan pencatatan
langsung dari berbagai bahan kepustakaan seperti tulisan ilmiah, jurnal, artikel, laporan dan
sebagainya.
D. Pengolahan Data
Penulis menggunakan program E-views 5.1 untuk mengolah data dalam penulisan
skripsi ini.
Dalam menganalisis besarnya pengaruh 43ector43e independen terhadap 43ector43e
dependen, penelitian ini menggunakan alat analisa ekonometrik yaitu meregresikan
43ector43e-variabel yang ada dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS)
atau Metode Kuadrat Terkecil Biasa.
Fungsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Y=f(X1,X2,X3) ··· (1)
Dengan spesifikasi model ekonometrika :
Y = ∝ + β1X1 + β2X2 + β3X3 +µ ··· (2)
Dimana:
Y = Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja (Juta jiwa)
∝ = Intercept(konstanta)
2 1,β
β ,β3 = Koefisien Regresi
X1 = Tingkat Inflasi (dalam persen)
X2 = Tingkat PMDN (dalam rupiah)
X3 = Tingkat PMA (dalam US$)
µ = Kesalahan Pengganggu (term of error)
Bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut:
,
artinya jika terjadi kenaikan pada X1 (tingkat inflasi) maka Y (Jumlah penyerapan
tenaga kerja) akan mengalami penurunan, ceteris paribus.
,
artinya jika terjadi kenaikan pada X2 (Penanaman Modal Dalam Negeri) maka Y
(Jumlah penyerapan tenaga kerja) akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.
,
artinya jika terjadi kenaikan pada X3 (Penanaman Modal Asing) maka Y (Jumlah
F. Test Of Goodness Fit (Uji Kesesuaian)
Kegunaan uji kesesuaian ini adalah untuk menentukan seberapa tepat frekuensi yang
teramati cocok dengan frekuensi yang diharapkan. Untuk melihat goodness of fit dari
hipotesis tersebut maka perlu dilakukan uji sebagai berikut yaitu :
1. Koefisien Determinasi (R-square)
Koefisien Determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variasi variabel-variabel
independen secara bersama mampu memberi penjelasan terhadap variasi variabel dependen..
Nilai R2 adalah (0≤R2≥1).
2. Uji F-statistik (Uji Serempak)
Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh seluruh variabel
independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Untuk pengujian ini digunakan
hipotesa sebagai berikut:
Ho : b1=b2=b3 ... bn = 0 (tidak ada pengaruh)
Ha : b1≠b2≠b3……….bn ≠ 0 (ada pengaruh)
Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan nilai hitung dengan tabel. Jika
F-hitung > F-tabel maka Ho ditolak, yang berarti variabel independen secara bersama-sama
mempengaruhi variabel dependen. Nilai F-hitung dapat diperoleh dengan rumus:
)
R2 = koefisien determinasi
K = jumlah variabel independen ditambah intercept dari suatu model persamaan
3. Uji t-statistik (Uji Partial)
Uji t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah
masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan
menganggap variabel independen lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai
berikut:
Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke-i nilai parameter hipotesis,
biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel xi terhadap Y. Bila nilai
t-hitung > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa
variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel
dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus:
Sbi
bi = Koefisien variabel independen ke-i
b = Nilai hipotesis nol
Sbi =Simpangan baku dari variabel independen ke-i
G. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Uji penyimpangan asumsi klasik dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya
autokorelasi, multikolinearity dan heteroskedastisitas dalam estimasi karena apabila terjadi
penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut maka uji t dan uji f yang dilakukan
sebelumnya tidak valid dan secara 45ector45e45 mengacaukan kesimpulan yang diperoleh.
1. Multikolinearity
Multikolinearity adalah alat untuk mengetahui suatu kondisi, apakah terdapat korelasi
46ector46e independen diantara satu sama lainnya. Untuk mengetahui ada tidaknya
multikolinearity dapat dilihat dari nilai R-square, F-hitung, t-hitung dan standard error.
Ciri khas multikolinearity ditandai dengan:
a) R2 nya tinggi
b) Standard errornya tidak terhingga
c) Terjadi perubahan tanda atau tidak sesuai dengan teori
d) Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada ∝ = 5%, ∝ = 10%, ∝ = 1%
2. Autokorelasi
Istilah autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menerut waktu (seperti dalam data deretan waktu) atau ruang
(seperti dalam data cross section), atau korelasi pada dirinya sendiri. Autokorelasi terjadi bila
Term of error (µ) dari periode waktu yang berbeda berkorelasi. Dikatakan bahwa term of
error berkorelasi atau mengalami korelasi serial apabila:
Variabel (ei.ej) ≠ 0 untuk I ≠ j, dalam hal ini dapat dikatakan memiliki masalah
autokorelasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan autokorelasi :
a. Spatial auto korelation
Biasanya terjadi pada data cross section. Flukruasi atau perubahan aktifitas kegiatan
ekonomi dari suatu daerah akan mempengaruhi kegiatan ekonomi daerah terdekat
karena ada keterkaitan ekonomi antara daerah tersebut.
Hal ini sering terjadi pada time series data, yaitu faktor bencana alam dan faktor lain
yang sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi sehingga akan terasa pada peride
berikutnya.
c. Inersia (Psychological conditioning)
Yaitu tindakan-tindakan atau pengaruh masa lalu yang akan masih mengganggu
kegiatan atau aktifitas selanjutnya misalnya peningkatan suku bunga, pajak dan
lain-lain.
d. Manipulasi data
yaitu adanya interpolasi data atau penambahan data.
e. Bias spesifikasi
Hal ini terjadi karena tidak disertakannya variabel independen yang berhubungan
dimana variabel independen tersebut sebenarnya turut mempengaruhi variabel
dependen.
Adapun cara yang digunakan untuk mengetahui keberadaan autokorelasi yaitu:
3. Dengan memplot grafik
4. Dengan Durbin-Watson (D-W Test)
t
Dengan jumlah sampel tertentu dan jumlah variabel independen tertentu diperoleh