• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS

DAN KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN PERAIRAN

DI TELUK JAKARTA

SYNTHIA NUR AGNITASARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DAN KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN PERAIRAN DI TELUK JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2006

(3)

RINGKASAN

SYNTHIA NUR AGNITASARI. Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan ARIO DAMAR

Teluk Jakarta merupakan muara sungai yang membawa masukan bahan pencemar dari daratan. Akibatnya terjadi penurunan karakteristik perairan Teluk Jakarta. Penurunan kualitas kolom perairan diduga juga menurunkan kualitas lingkungan sedimen, sehingga organisme benthik pun akan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Penelitian bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan komunitas makrozoobenthos yang ditemukan di lokasi penelitian, (2) Mengidentifikasi kualitas lingkungan perairan di Teluk Jakarta, (3) Mengkaji keterkaitan antara zonasi status trofik yang ditemukan oleh Damar (2003) terhadap makrozoobenthos dan (4) Mengkaji hubungan antara makrozoobent hos dengan lingkungan perairan.

Penelitian dilaksanakan bulan Februari 2005 dengan 13 stasiun pengambilan contoh. Pengambilan sampel makrozoobenthos sebanyak 10 kali ulangan tiap stasiun. Parameter yang diukur meliputi: parameter biologi (jenis dan jumlah makrozoobenthos), parameter fisika (kedalaman, suhu, kecerahan, kekeruhan, TSS, tipe sedimen), parameter kimia (salinitas, pH, DO, BOD5, H2S, C-organik

sedimen). Analisis data yang digunakan untuk mendeskripsikan komunitas makrozoobenthos meliputi: kepadatan dan komposisi, indeks keanekaragaman dan keseragaman. Pengelompokan habitat dan komunitas makrozoobenthos berdasarkan kesamaan karakteristik perairan dan komunitas makrozoobenthos dengan menggunakan Nonmetrik MDS. Korelasi antara makrozoobenthos dengan fisika-kimia sedimen menggunakan uji Spearman rank.

Jenis makrozoobentos tertinggi secara keseluruhan di Teluk Jakarta yaitu Polychaeta (51,3 %). Kelas Polychaeta, yaitu Cirratulus sp dan Dodecaceria sp terdapat hampir di seluruh stasiun pengamatan. Kisaran nilai suhu 29-31oC, salinitas 11-32 psu, pH 7,3– 8,56 dan BOD5 3,31– 11,12 mg/l sesuai dengan baku

mutu (Kep.MENLH No.51 Th.2004). Kisaran nilai kekeruhan antara 2,2– 90,7 NTU, kecerahan 9,6-50 %, TSS 7-122 mg/l, DO 0,4– 7 mg/l dan H2S 17,49–29,16

(4)

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS

DAN KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN PERAIRAN

DI TELUK JAKARTA

SYNTHIA NUR AGNITASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(5)

SKRIPSI

Judul : Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta

Nama : Synthia Nur Agnitasari

NIM : C24101038

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Ario Damar, M.Si

NIP. 131 956 708 NIP. 131 878 933

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(6)

PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohim.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya pe nulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Tentang Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc . dan Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi.

2. Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. sebagai penguji dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.Si dari wakil program studi.

3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi selaku dosen pe mbimbing akademik dan Bapak M. Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si yang telah memberikan bantuan penelitian. 4. Bapak (A. Nurbiantoro, S.Pd) dan Ibu (Erlin Widyastuti, S.H, M.M), Mbak

Maya, Adik Ey, Wiwin Puji P. yang selalu memberi motivasi, kasih sayang dan nasehat bagi penulis.

5. Lab Proling, Lab Osekim, Lab Biomikro yang telah memberi pengarahan dan bantuan tentang penelitian, teman-teman MSP angkatan 38, Jayawijaya crew serta pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas kebersamaannya selama ini di MSP, FPIK, IPB.

Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi Teluk Jakarta, khususnya mengenai aspek biologis terhadap pengembangan dan pengelolaan Teluk Jakarta. Namun demikian, penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk perbaikan pada penulisan selanjutnya.

Bogor, Mei 2006

(7)

DAFTAR ISI

2.5 Parameter fisika-kimia sedimen... 11

2.5.1 Tipe substrat ... 11

2.5.2 C-organik di substrat ... 12

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ... 13

3.2 Metode pengambilan contoh ... 15

3.2.1 Pengambilan contoh parameter kualitas air... 15

3.2.2 Pengambilan contoh sedimen dasar perairan ... 16

3.2.3 Pengambilan contoh dan identifikasi makrozoobenthos ... 17

3.3 Perhitungan makrozoobenthos ... 17

3.3.1 Kepadatan dan komposisi jenis ... 18

3.3.2 Indeks keanekaragaman ... 18

3.3.3 Indeks keseragaman ... 19

(8)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik makrozoobenthos ... 20

4.1.1 Kepadatan dan komposisi... 20

4.1.2 Indeks keanekaragaman dan keseragaman ... 22

4.2 Karakteristik lingkungan perairan ... 23

4.3 Karakteristik sedimen ... 29

4.4 Pengelompokan komunitas makrozoobenthos dan lingkungan... 31

4.5 Korelasi antara makrozoobenthos dengan lingkungan... 33

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN... 39

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Contoh hewan benthos dan ketahanan terhada p pencemaran bahan

organik (Pearson dan Rosenberg, 1978) ... 5 2. Konsentrasi muatan padatan tersuspensi dan kategori kualitas

lingkungan perairan (Canter dan Hill, 1981 in Vitner, 2001) ... 8 3. Posisi stasiun pengamatan ... 13 4. Parameter fisika, kimia dan biologi serta alat/metode yang

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Peta zonasi status trofik kolom air berdasarkan perhitungan

Trophic Index for Marine System (TRIX) di Teluk Jakarta

(Damar, 2003) ... 4 2. Peta lokasi pengambilan contoh di Teluk Jakarta (Peta diperoleh atas

kebaikan M. Azbas Taurusman) ... 14 3. Hasil pengukuran makrozoobenthos yang meliputi kepadatan (a) dan

komposisi (b) di setiap stasiun pengamatan... 21 4. Hasil pengukuran makrozoobenthos yang meliputi indeks

keanekaragaman (a) dan indeks keseragaman (b) di setiap stasiun

pengamatan... 22 5. Hasil pengukuran parameter fisika perairan yang meliputi suhu (a),

kedalaman (b), kekeruhan (c), kecerahan (d) dan TSS (e) di setiap

stasiun pengamatan ... 24 6. Hasil pengukuran parameter kimia perairan yang meliputi

salinitas (a), pH (b), oksigen terlarut (c), BOD5 (d) dan H2S (e)

di setiap stasiun pengamatan... 27 7. Hasil pengukuran parameter sedimen yang meliputi tipe sedimen (a),

kandungan debu liat dan C-organik (b) di setiap stasiun pengamatan. 30 8. Hasil analisis pengelompokan berdasarkan kepadatan jenis

makrozoobenthos (a) dan parameter lingkungan (b) di setiap stasiun

(11)

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS

DAN KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN PERAIRAN

DI TELUK JAKARTA

SYNTHIA NUR AGNITASARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(12)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DAN KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN PERAIRAN DI TELUK JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2006

(13)

RINGKASAN

SYNTHIA NUR AGNITASARI. Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan ARIO DAMAR

Teluk Jakarta merupakan muara sungai yang membawa masukan bahan pencemar dari daratan. Akibatnya terjadi penurunan karakteristik perairan Teluk Jakarta. Penurunan kualitas kolom perairan diduga juga menurunkan kualitas lingkungan sedimen, sehingga organisme benthik pun akan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Penelitian bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan komunitas makrozoobenthos yang ditemukan di lokasi penelitian, (2) Mengidentifikasi kualitas lingkungan perairan di Teluk Jakarta, (3) Mengkaji keterkaitan antara zonasi status trofik yang ditemukan oleh Damar (2003) terhadap makrozoobenthos dan (4) Mengkaji hubungan antara makrozoobent hos dengan lingkungan perairan.

Penelitian dilaksanakan bulan Februari 2005 dengan 13 stasiun pengambilan contoh. Pengambilan sampel makrozoobenthos sebanyak 10 kali ulangan tiap stasiun. Parameter yang diukur meliputi: parameter biologi (jenis dan jumlah makrozoobenthos), parameter fisika (kedalaman, suhu, kecerahan, kekeruhan, TSS, tipe sedimen), parameter kimia (salinitas, pH, DO, BOD5, H2S, C-organik

sedimen). Analisis data yang digunakan untuk mendeskripsikan komunitas makrozoobenthos meliputi: kepadatan dan komposisi, indeks keanekaragaman dan keseragaman. Pengelompokan habitat dan komunitas makrozoobenthos berdasarkan kesamaan karakteristik perairan dan komunitas makrozoobenthos dengan menggunakan Nonmetrik MDS. Korelasi antara makrozoobenthos dengan fisika-kimia sedimen menggunakan uji Spearman rank.

Jenis makrozoobentos tertinggi secara keseluruhan di Teluk Jakarta yaitu Polychaeta (51,3 %). Kelas Polychaeta, yaitu Cirratulus sp dan Dodecaceria sp terdapat hampir di seluruh stasiun pengamatan. Kisaran nilai suhu 29-31oC, salinitas 11-32 psu, pH 7,3– 8,56 dan BOD5 3,31– 11,12 mg/l sesuai dengan baku

mutu (Kep.MENLH No.51 Th.2004). Kisaran nilai kekeruhan antara 2,2– 90,7 NTU, kecerahan 9,6-50 %, TSS 7-122 mg/l, DO 0,4– 7 mg/l dan H2S 17,49–29,16

(14)

KARAKTERISTIK KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS

DAN KAITANNYA DENGAN LINGKUNGAN PERAIRAN

DI TELUK JAKARTA

SYNTHIA NUR AGNITASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(15)

SKRIPSI

Judul : Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta

Nama : Synthia Nur Agnitasari

NIM : C24101038

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Ario Damar, M.Si

NIP. 131 956 708 NIP. 131 878 933

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(16)

PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohim.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya pe nulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Tentang Komunitas Makrozoobenthos dan Kaitannya dengan Kondisi Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc . dan Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi.

2. Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. sebagai penguji dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.Si dari wakil program studi.

3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi selaku dosen pe mbimbing akademik dan Bapak M. Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si yang telah memberikan bantuan penelitian. 4. Bapak (A. Nurbiantoro, S.Pd) dan Ibu (Erlin Widyastuti, S.H, M.M), Mbak

Maya, Adik Ey, Wiwin Puji P. yang selalu memberi motivasi, kasih sayang dan nasehat bagi penulis.

5. Lab Proling, Lab Osekim, Lab Biomikro yang telah memberi pengarahan dan bantuan tentang penelitian, teman-teman MSP angkatan 38, Jayawijaya crew serta pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas kebersamaannya selama ini di MSP, FPIK, IPB.

Harapan penulis semoga penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi Teluk Jakarta, khususnya mengenai aspek biologis terhadap pengembangan dan pengelolaan Teluk Jakarta. Namun demikian, penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk perbaikan pada penulisan selanjutnya.

Bogor, Mei 2006

(17)

DAFTAR ISI

2.5 Parameter fisika-kimia sedimen... 11

2.5.1 Tipe substrat ... 11

2.5.2 C-organik di substrat ... 12

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ... 13

3.2 Metode pengambilan contoh ... 15

3.2.1 Pengambilan contoh parameter kualitas air... 15

3.2.2 Pengambilan contoh sedimen dasar perairan ... 16

3.2.3 Pengambilan contoh dan identifikasi makrozoobenthos ... 17

3.3 Perhitungan makrozoobenthos ... 17

3.3.1 Kepadatan dan komposisi jenis ... 18

3.3.2 Indeks keanekaragaman ... 18

3.3.3 Indeks keseragaman ... 19

(18)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik makrozoobenthos ... 20

4.1.1 Kepadatan dan komposisi... 20

4.1.2 Indeks keanekaragaman dan keseragaman ... 22

4.2 Karakteristik lingkungan perairan ... 23

4.3 Karakteristik sedimen ... 29

4.4 Pengelompokan komunitas makrozoobenthos dan lingkungan... 31

4.5 Korelasi antara makrozoobenthos dengan lingkungan... 33

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN... 39

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Contoh hewan benthos dan ketahanan terhada p pencemaran bahan

organik (Pearson dan Rosenberg, 1978) ... 5 2. Konsentrasi muatan padatan tersuspensi dan kategori kualitas

lingkungan perairan (Canter dan Hill, 1981 in Vitner, 2001) ... 8 3. Posisi stasiun pengamatan ... 13 4. Parameter fisika, kimia dan biologi serta alat/metode yang

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Peta zonasi status trofik kolom air berdasarkan perhitungan

Trophic Index for Marine System (TRIX) di Teluk Jakarta

(Damar, 2003) ... 4 2. Peta lokasi pengambilan contoh di Teluk Jakarta (Peta diperoleh atas

kebaikan M. Azbas Taurusman) ... 14 3. Hasil pengukuran makrozoobenthos yang meliputi kepadatan (a) dan

komposisi (b) di setiap stasiun pengamatan... 21 4. Hasil pengukuran makrozoobenthos yang meliputi indeks

keanekaragaman (a) dan indeks keseragaman (b) di setiap stasiun

pengamatan... 22 5. Hasil pengukuran parameter fisika perairan yang meliputi suhu (a),

kedalaman (b), kekeruhan (c), kecerahan (d) dan TSS (e) di setiap

stasiun pengamatan ... 24 6. Hasil pengukuran parameter kimia perairan yang meliputi

salinitas (a), pH (b), oksigen terlarut (c), BOD5 (d) dan H2S (e)

di setiap stasiun pengamatan... 27 7. Hasil pengukuran parameter sedimen yang meliputi tipe sedimen (a),

kandungan debu liat dan C-organik (b) di setiap stasiun pengamatan. 30 8. Hasil analisis pengelompokan berdasarkan kepadatan jenis

makrozoobenthos (a) dan parameter lingkungan (b) di setiap stasiun

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Parameter fisika kimia perairan di Teluk Jakarta ... 39

2. Tipe sedimen dan kandungan C-organik sedimen di Teluk Jakarta ... 40

3. Jumlah jenis makrozoobenthos di Teluk Jakarta ... 41

4. Indeks keanekaragaman dan keseragaman makrozoobenthos ... 43

5. Foto keadaan umum Teluk Jakarta ... 44

(22)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Teluk Jakarta merupakan salah satu kawasan pesisir yang akhir-akhir ini mendapat perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun perencanaan pengelolaan. Berbagai penelitian telah dilakukan guna mengatasi isu serta masalah yang timbul. Menurut KPPL DKI dan PPLH-IPB (1997) Teluk Jakarta memiliki potensi yang sangat besar baik sumberdaya perairannya maupun sebagai pusat aktifitas dan jasa-jasa lingkungan. Aktifitas tersebut meliputi sektor industri, perhubungan, perdagangan, perikanan, pariwisata dan kependudukan. Namun kondisi perairan Teluk Jakarta semakin lama semakin kritis, ha l ini disebabkan karena Teluk Jakarta merupakan muara dari berbagai sungai yang melintas di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya termasuk Bogor, Tangerang dan Bekasi. Sungai-sungai tersebut membawa bahan pencemar baik secara alami maupun akibat aktifitas ma nusia yang meliputi kegiatan domestik, industri maupun pertanian.

Selain dari sungai beberapa kegiatan di sekitar kawasan Teluk Jakarta juga turut andil dalam pencemaran perairan. Beban pencemaran, terutama bahan organik, mengalami peningkatan dan salah satu akibat yang ditimbulkan dari pencemaran adalah terjadinya eutrofikasi atau pengkayaan perairan oleh nutrien di kawasan Teluk Jakarta. Eutrofikasi merupakan peningkatan laju input nutrien ke dalam sebuah badan air. Melemahnya pengaruh langsung dari daratan serta berbagai pengaruh fisik perairan, seperti pengenceran massa air dari Laut Jawa serta konsumsi unsur hara oleh fitoplankton, menjadikan perairan bagian luar Teluk Jakarta berkurang tingkat kesuburannya. Hal ini menyebabkan terjadinya zonasi atau pengelompokan tingkat kesuburan pada Teluk Jakarta. Zonasi tersebut dikenal sebagai zonasi status trofik. Pada Teluk Jakarta terbagi atas 3 zonasi status trofik yaitu hyper-eutrofik, eutrofik dan mesotrofik (Damar, 2003). Dampak dari kondisi tersebut ada lah terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan, karena adanya masukan limbah yang terus bertambah.

(23)

kualitas kolom perairan diduga juga menurunkan kualitas lingkungan benthik (sedimen). Pada gilirannya organisme benthik pun akan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya.

1.2. Perumusan Masalah

Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai yang membawa masukan limbah sehingga mempengaruhi kualitas air dan sedimen. Bahan pencemar umumnya berasal dari sampah pemukiman, buangan limbah industri dan pertanian serta aktifitas-aktifitas lain di sekitar teluk. Masukan bahan pencemar dari daratan ke teluk akan berpengaruh terhadap kolom perairan yang nantinya akan mempengaruhi karakteristik dasar dan menentukan keberadaan hewan benthik suatu perairan. Hal ini dikarenakan keberadaannya yang relatif menetap dan mempunyai distribusi vertikal yang sempit.

1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan komunitas makrozoobenthos yang ditemukan di lokasi penelitian.

2. Mengidentifikasi kondisi lingkungan perairan di Teluk Jakarta.

3. Mengkaji keterkaitan antara zonasi status trofik kolom air Teluk Jakarta yang dikemukakan oleh Damar (2003) terhadap makrozoobenthos.

4. Mengkaji hubungan antara makrozoobenthos dengan lingkungan perairan.

1.3.2. Manfaat

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi umum Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak pada 5o54’40” - 6o00’40” Lintang Selatan (LS) serta 106o40’45” – 107o01’19” Bujur Timur (BT). Iklim Teluk Jakarta tergolong klasifikasi iklim tipe D, dengan rata-rata jumlah bulan kering dan rata -rata jumlah bulan basah sebesar 60-100%. Teluk ini dibatasi oleh Tanjung Pasir di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur, serta mempunyai rentang pantai sepanjang kurang lebih 40 km dan luas kira-kira 490 km2. Teluk Jakarta merupakan muara 13 sungai, beberapa diantaranya adalah sungai besar, seperti Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung, Sungai Citarum da n Sungai Bekasi. Pada Perairan Teluk Jakarta terdapat pulau-pulau kecil antara lain Pulau Bidadari, Pulau Damar, Pulau Anyer, Pulau Lancang dan lain-lain (KPPL-DKI dan PPLH IPB, 1997).

Topografi Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir dan kerikil. Lumpur banyak terdapat di bagian pinggir dan tengah teluk, sedangkan pasir semakin menonjol di bagian laut lepas. Kedalaman Teluk Jakarta termasuk dangkal, umumnya kurang dari 30 m (Nontji, 1984). Menurut Damar (2003) jenis pencemaran yang dominan di Teluk Jakarta adalah pencemaran bahan organik. Secara umum limbah yang masuk ke Teluk Jakarta berasal dari kegiatan industri pengolahan, industri pertanian (agroindustri), dan sumber domestik.

(25)

dan mesotrofik, menunjukkan kondisi perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, 3) Mesotrofik berada pada bagian terluar dari teluk dan merupakan perairan dengan tingkat kesuburan sedang. Perairan Teluk Jakarta didominasi oleh tingkat kesuburan eutrofik (perairan dengan kesuburan tinggi) dan tidak ditemukan perairan dengan kelas oligotrofik (perairan dengan kesuburan rendah). Berikut ini adalah peta zonasi Teluk Jakarta berdasarkan perhitungan TRIX (Damar, 2003).

Gambar 1. Peta zonasi status trofik kolom air berdasarkan perhitungan Trophic Index for Marine System (TRIX) di Teluk Jakarta (Damar, 2003)

2.2. Makrozoobenthos

(26)

mudah dapat terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang stabil dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar, dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau juga tinggi. Hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada sistem tersebut (Odum, 1992).

Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan (Odum, 1992). Menurut Nybakken (1992) benthos berdasarkan ukuran dibagi menjadi makrofauna yang berukuran lebih besar dari 1 mm, meiofauna yang berukuran antara 0,1 – 1 mm dan kurang dari 0,1 mm adalah mikrofauna. Contoh hewan benthos dan ketahanan terhadap pencemaran bahan organik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Contoh hewan benthos dan ketahanan terhadap pencemaran bahan organik (Pearson dan Rosenberg, 1978)

No Golongan Hewan Benthos Jenis

1. Tahan terhadap kondisi tercemar Oligochaeta, Tubificoides bennedeni, Siput Pulmonata, Capitella capitata

2.

Tahan terhadap kondisi tercemar

ringan Corbula, Pectinaria, Chaetozone

3. Tidak tahan pada kondisi tercemar Terebellides, Amphiura

Hasil pengamatan benthos pada perairan Teluk Jakarta dan muara pada tahun 1999 didapa tkan 40 genus yang meliputi filum Mollusca, Annelida, Arthropoda dan Echinodermata yang didominasi oleh jenis kerang Donax. Dari perhitungan indeks diversitas di perairan Teluk Jakarta diperoleh nilai yang berkisar antara 0,20-3,60 dan di muara berkisar 0,20-2,70. Kondisi komunitas benthos terganggu pada perairan pantai (banyak aktivitas manusia) sedangkan pada perairan yang relatif jauh dari pantai kondisi benthosnya relatif stabil (BPLHD,2001).

(27)

maupun jumlah individu makrozoobenthos. Pada tahun 2003 musim timur ditemukan 110 jenis dan 76093 individu makrozoobenthos dan musim barat 124 jenis dan 26610 individu, sedangka n tahun 2004 musim timur 16 jenis dan 196 individu dan musim barat 39 jenis dan 991 individu. Penurunan ini seiring dengan menurunnya semua jenis dan jumlah individu pada semua kelompok taxa, namun jenis seperti Jassa sp. dari kelompok Crustacea dan Alveinus sp dari kelompok Mollusca. tetap hadir dengan kelimpahan yang selalu lebih tinggi dari jenis lainnya. Ini menunjukkan bahwa kedua jenis ini mempunyai sebaran yang cukup luas di perairan Teluk Jakarta.

2.3. Parameter fisika perairan 2.3.1. Suhu

Suhu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran dan kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan (Effendi, 2003). Menurut Klein (1972) in Ardi (2002) suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO2, NH3 terhadap hewan akuatik, serta

dapat mempercepat kegia tan metabolisme hewan akuatik.

Menurut Razak (2004) suhu air laut di sekitar perairan Teluk Jakarta pada musim barat bervariasi. Suhu di dekat dasar perairan antara 29,03-30,95oC dengan rata-rata 29,90oC. Suhu permukaan Teluk Jakarta berkisar antara 30,49-31,87oC dengan rata-rata 31,13oC. Suhu air relatif tinggi pada siang hari dan semakin ke lapisan dalam, suhu air memperlihatkan nilai yang cenderung makin dingin. Maksimum suhu air pada lapisan permukaan di Teluk Jakarta adalah lokasi sekitar muara Cilincing. Untuk nilai rerata suhu air menunjukkan bahwa suhu di sekitar Muara Baru relatif lebih hangat dari pada lokasi lainnya.

2.3.2. Kedalaman

(28)

makrozoobenthos yang berbeda pula, sehingga terjadi stratifikasi komunitas menurut kedalaman (Wright, 1984).

Menurut Razak (2004) Perairan Teluk Jakarta bagian barat (sekitar Sungai Cengkareng dan Sungai Kamal) kedalamannya dari dekat darat ke arah laut berkisar antara 1 hingga 7 meter. Hal ini karena adanya sedimentasi yang cukup tinggi serta adanya pembuangan limbah dari darat. Bagian tengah teluk mempunyai kedalaman air berkisar antara 4 sampai 9,5 meter dan pada bagian timur teluk (Sekitar Sungai Cilincing dan Sungai Marunda) berkisar antar 1,5 hingga 12 meter.

2.3.3. Kekeruhan

Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan juga dapat disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003).

Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi nilai kekeruhan. Akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki padatan terlarut tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhan tinggi pula. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya dalam air (Effendi, 2003).

Menurut Razak (2004) kekeruhan air laut merupakan kebalikan dari kecerahan. Pada musim timur nilai kekeruhan di sepanjang perairan Teluk Jakarta bervariasi antara 0,5-66,4 NTU. Nilai rerata kekeruhan air laut di Muara Baru relatif lebih keruh dari pada di sekitar Marunda maupun Cilincing. Maksimum nilai kekeruhan dijumpai di sekitar perairan Cilincing.

2.3.4. Kecerahan

(29)

menggambarkan banyaknya kandungan partikel tersuspensi di perairan baik plankton, lumpur maupun baha n organik.

Menurut Razak (2004) kecerahan perairan Teluk Jakarta kurang dari 5% diperoleh di sebelah barat dekat muara Sungai Cengkareng dan Sungai Kamal. Hal yang sama dijumpai di sebelah timur di dekat muara Sungai Cilincing dan Sungai Marunda serta muara Sungai Bekasi. Secara umum menunjukkan bahwa lokasi di sepanjang Teluk Jakarta yang diteliti ternyata hanya mempunyai tingkat kecerahan sampai 50% saja. Ini berarti sebagian teluk sudah menunjukkan kondisi keruh.

2.3.5. Total Padatan Tersuspensi

Total padatan tersuspensi (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi yang tidak larut dalam air. Bahan-bahan ini baik organik maupun anorganik yang keberadaannya antara lain berbentuk partikel dan tidak larut dalam air (Effendi, 2003).

Menurut Canter dan Hill (1981) in Vitner (2001), terdapat hubungan antara indeks kualitas air dengan kandungan padatan tersuspensi. Kandungan muatan padatan tersuspensi dan kategori air terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Konsentrasi padatan tersuspensi dan kategori kualitas lingkungan perairan (Canter dan Hill, 1981 in Vitner, 2001).

Konsentrasi Padatan tersuspensi

2.4. Parameter kimia perairan 2.4.1. Salinitas

(30)

semakin ke lapisan dalam, nilai salinitas cenderung makin besar atau makin asin. Salinitas pada lapisan permukaan lebih bervariasi dari lapisan di bawahnya. Perbedaan kisaran nilai salinitas di setiap lokasi sepanjang perairan Teluk Jakarta mulai dari Muara Baru, Marunda hingga Cilincing berturut -turut adalah 0,72, 1,203 dan 1,823 psu. Perbedaan nilai salinitas relatif tinggi dijumpai pada lapisan permukaan di lokasi sekitar perairan Cilincing. Maksimum nilai salinitas teramati pada lapisan kedalaman dekat dengan dasar, sedangkan nilai rerata salinitas di perairan sekitar Cilincing relatif lebih tinggi daripada lokasi perairan Marunda dan Muara Baru.

2.4.2. pH

Nilai pH merupakan parameter yang sa ngat penting dalam pemantauan kualitas perairan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen terlarut dan adanya ion-ion. Menurut Odum (1992) dan Nybakken (1992) perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil karena adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan.

Menurut Razak (2004) secara keseluruhan nilai rata-rata pH tertinggi (8,07) diperoleh pada musim barat di lokasi perairan Teluk Jakarta bagian timur dan terendah (7,89) diperoleh pada musim timur di perairan Teluk Jakarta bagian timur. Rendahnya pH mungkin disebabkan bercampurnya pH di lapisan permukaan dan dekat dasar akibat terjadinya pengadukan massa air laut pada musim timur. Distribusi derajat keasaman air laut menunjukkan distribusi yang beraturan dengan nilai yang semakin tinggi ke arah laut baik pada lapisan permukaan maupun dasar.

2.4.3. Oksigen terlarut (DO)

(31)

perairan, karena semakin ke dasar semakin banyak pemakaian oksigen terlarut untuk proses pembentukan komponen anorganik. Secara keseluruhan kadar rata-rata oksigen terlarut pada musim barat lebih tinggi dari pada musim timur. Kadar oksigen tertinggi (4,28 m/l) diperoleh pada musim barat di Teluk Jakarta bagian barat (sekitar Sungai Cengkareng dan Sungai Kamal) dan terendah (3,95 m/l) diperoleh pada musim timur di perairan Teluk Jakarta bagian timur (sekitar Sungai Cilincin g dan Sungai Marunda). Distribusi oksigen terlarut menunjukkan nilai yang semakin tinggi kearah laut baik pada lapisan permukaan maupun dasar.

Menurut Razak (2004) banyaknya bahan organik yang pada akhirnya mengendap menuju dasar perairan dapat menjadikan alasan terjadinya penurunan kadar oksigen tersebut di atas, namun demikian variasi kadar oksigen terlarut di perairan Teluk Jakarta ini masih dalam kisaran yang wajar untuk suatu perairan. Pescod (1977) in Razak (2004) menyatakan bahwa standar kadar oksigen terlarut dalam suatu perairan yang baik untuk budidaya perikanan di daerah tropis minimal 2,86 m/l. Ketersediaan oksigen menurut Wardoyo (1975) in Vitner (2001) harus lebih dari 2 ppm. Karena kondisi tersebut merupakan batas minimum oksigen yang dapat mendukung berlangsungnya aktifitas organisme perairan. Karena itu sering tingkat kelarutan oksigen dijadikan sebagai indikator gangguan perairan.

2.4.4. Kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD5)

Menurut APHA (1989) BOD5 merupakan ukuran banyaknya oksigen yang

digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air dalam waktu 5 hari. Nilai BOD yang besar menunjukkan aktivitas organisme yang semakin tinggi dalam menguraikan bahan organik. Nilai BOD5 yang tinggi menunjukkan penurunan kualitas perairan.

BOD5 di perairan bagian tengah Teluk Jakarta (± 15 km) dari pantai berkisar

antara 10,08– 13,42 mg/l, dan dekat pantai berkisar antara 19,95-23,68 mg/l. Baku mutu BOD5 yang diinginkan untuk biota laut dan perikanan kurang dari 25 mg/l

(KPPL, 1997). Kep MENLH No.51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut menetapkan ambang batas maksimum kandungan BOD5 bagi kehidupan biota laut

(32)

2.4.5. Hidrogen sulfida (H2S)

Proses dekomposisi bahan organik di dalam air sangat membutuhkan adanya oksigen terlarut di dalam air, dengan kondisi stagnan difusi oksigen dari udara ke dalam air menjadi terbatas. Akibatnya adalah proses dekomposisi bahan organik berlangsung dalam kondisi kurang/tanpa oksigen yang menghasilkan berbagai senyawa toksik bagi lingkungan seperti gas H2S dan methan yang berbau busuk

dan toksik (Damar, 2004)

Menurut Effendi (2003) reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh bakteri heterotrof seperti Desulfovibrio selama proses dekomposisi bahan organik akan meningkatkan korosivitas logam akibat keberadaan bakteri yang melimpah yang mampu mengoksidasi H2S menjadi H2SO4. Proses reduksi

yang dilakukan oleh bakteri ini banyak terjadi pada bagian dasar laut.

2.5. Parameter fisika-kimia sedimen 2.5.1. Tipe sedimen

Menurut Hynes (1974) faktor utama yang menentukan penyebaran makrozoobenthos adalah sedimen perairan yaitu lumpur, pasir tanah liat berpasir, kerikil dan batu. Masing-masing tipe menentukan jenis makrozoobenthos. Davis (1990) in Zudiana (1997) menjelaskan asal usul adanya 4 unsur utama sedimen yang ditemukan di dasar laut, yaitu 1) berasal dari batuan, terutama dari daratan sebagai produk erosi dan run off, 2) kerangka-kerangka organisme laut, 3) pengendapan dari air laut di lingkungan perairan dan, 4) dari atmosfer.

Menurut Razak (2004) pada perairan Teluk Jakarta pada bagian barat (sekitar Sungai Cengkareng dan Sungai Kamal) karakter sedimen halus dengan warna hitam abu-abu dan berbau busuk yang menunjukkan adanya senyawa H2S

(33)

Sungai Marunda) sedimennya adalah pasir dan lumpur yang berwa rna coklat abu-abu dan berwarna hitam pada bagian permukaannya.

2.5.2. C-organik di sedimen

Sedimen mengandung bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik berasal dari hewan/tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar perairan dan tercampur de ngan lumpur. Bahan anorganik berasal dari hasil pelapukan batuan terbagi atas: kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai dekat dengan daratan, sedangkan butiran halus banyak ditemui di perairan dalam atau perairan yang relatif lebih tenang (Sverdrup e t al. 1946).

Kandungan C (karbon) organik pada substrat menunjukkan banyaknya kandungan bahan organik hasil dekomposisi maupun bahan organik yang terbawa oleh arus air dan mengendap ke dasar perairan. Umumnya dasar perairan yang berlumpur mengandung C-organik yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe sedimen yang tidak berlumpur (Emiyarti, 2004).

(34)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan lokasi penelitian

Pengambilan contoh dilaksanakan pada tanggal 26 dan 27 Februari 2005 di Teluk Jakarta. Sampling dilakukan pada 13 stasiun dengan posisi stasiun yang ditentukan menurut GPS adalah seperti pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Posisi sta siun pengamatan

55’ 44.7” Bagian Timur Teluk

8 06o05’ 26.3” 106o48’ 28.4” Bagian Tengah Teluk

Analisis air dilakukan in situ dan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Manajemen Sumberdaya perairan FPIK-IPB. Analisis substrat dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Jumlah sampel air dan substrat diambil 1 kali ulangan untuk setiap stasiun. Analisis air dan substrat dilakukan di lab selama 3 minggu.

(35)
(36)

3.2 Metode pengambilan contoh

3.2.1 Pengambilan contoh parameter kualitas air

Peralatan yang digunakan pada saat pengambilan contoh air adalah sebagai berikut: GPS (Global Positioning System) untuk penentuan posisi stasiun, Van Dorn bottle sampler untuk pengambilan air, pH meter untuk pH, bahan titrasi Winkler untuk DO dan refraktometer untuk salinitas. Pengambilan semua parameter fisika, kimia dan biologi disetiap stasiun dilakukan di atas kapal. Setelah stasiun ditentukan sesuai posisi GPS, pengukuran dilakukan. Pengambilan parameter fisika -kimia air dan substrat dilakukan 1 kali ulangan di setiap stasiun dan parameter makrozoobenthos dilakukan 10 kali ulangan di setiap stasiun.

Pada saat kapal berhenti sesuai posisi stasiun di GPS, pengukuran kedalaman dilakukan pertama kali dengan menggunakan tali berskala yang diberi pemberat untuk menentukan pengambilan sampel air. Setelah itu sampel air diambil terlebih dahulu dengan kedalaman kira-kira 30 cm dari dasar perairan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengadukan air yang dikhawatirkan dapat mengubah hasil pengukuran. Setelah pengambilan sampel air kemudian disimpan dalam botol contoh dan sebagian ada yang mendapat perlakuan atau pengawetan sesuai parameter yang dianalisa.

Parameter fisika in situ meliputi pengukuran kecerahan dengan menggunakan Secchi disk dan pengukuran suhu dengan thermometer. Pengamatan kecerahan dilakukan dari permukaan yang terlindung dari sinar matahari. Secchi disk diturunkan sampai hilang dari pandangan dan dicatat hasilnya sebagai L1 kemudian Secchi disk dinaikan secara perlahan sampa i tepat terlihat kembali dan dicatat sebagai L2, rata-rata dari penjumlahan L1 dan L2 merupakan nilai kecerahan. Pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer. Untuk pengukuran kekeruhan dan total padatan tersuspensi (TSS) dilakukan di laboratorium. Pengukuran kekeruhan dilakukan dengan menggunakan Turbiditimeter dan pengukuran TSS menggunakan kertas saring meshsize 0,45 µm.

(37)

titrasi metode Winkler & inkubasi dan H2S dengan titrasi metode Winkler dianalisa

di laboratorium produktifitas perairan.

3.2.2 Pengambilan contoh sedimen dasar perairan

Peralatan yang digunakan pada saat pengambilan contoh sedimen adalah Ponar Grab dengan bukaan 16 X 16 cm, ember dan plastik sampel untuk sedimen. Setelah pengambilan sampel air kemudian dilakukan pengambilan sedimen sebanyak 11 kali menggunakan Ponar Grab dengan bukaan 16 X 16 cm. Pengambilan pertama dilakukan untuk sampel sedimen dan 10 kali lainnya digunakan untuk sampel makrozoobenthos. Setelah pengambilan sampel kemudian sampel sedimen dimasukkan ke dalam plastik sampel tanpa pengawetan dan disimpan dalam cool box yang berisi es. Pada saat di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor, sampel dikeringkan terlebih dahulu, digerus dan disaring sebelum dianalisis. Analisis sedimen meliputi pengukuran fraksi pasir, lumpur dan liat kemudian pengukuran C-organik.

Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran kualitas air dan sedimen dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter fisika, kimia dan biologi serta alat/metode yang digunakan

Parameter Unit Alat/Metode Ket.

Saringan bertingkat dan metode pipet *

In situ

Titrasi/metode Winkler & inkubasi Titrasi/metode Winkler

(38)

3.2.3 Pengambilan contoh dan identifikasi makrozoobenthos

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengambilan contoh makrozoobenthos adalah Ponar Grab, saringan dengan meshsize 0,5 mm2, ember, plastik sampel untuk makrozoobenthos, formalin 4% dan rose bengal. Sampel makrozoobenthos diambil dari dasar perairan setelah pengambilan sedimen menggunakan Ponar Grab dengan bukaan 16 X 16 cm sebanyak 10 kali tiap stasiun, kemudian diletakkan diember dan dilakukan penyaringan menggunakan saringan meshsize 0,5 mm2 sampai makrozoobenthos dan serasah bersih dari substrat. Makrozoobenthos dan serasah yang telah bersih disimpan dalam plastik sampel kemudian diawetkan dengan formalin 4% dan diberi pewarna dengan larutan rose bengal.

Setelah pengawetan makrozoobenthos dan serasah, kemudian sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan penyortiran untuk memisahkan antara serasah dan organisme. Pensortiran dilakukan dengan cara memindahkan sampel makrozoobenthos dan serasah dari plastik ke nampan berukuran panjang 30 cm dan lebar 24 cm. Setelah itu sampel di lakukan pensor tiran dengan menggunakan pinset, serasah dibuang dan biota disimpan di botol film dengan larutan alkohol 70%. Pada saat pensortiran dilakukan pemisahan botol film antara biota yang mempunyai cangkang dengan biota yang tidak mempunyai cangkang. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kerusakan tubuh biota oleh cangkang biota lain. Selanjutnya dilakukan identifikasi dengan menggunakan mikroskop stereo untuk Mollusca dan mikroskop listrik untuk biota lainnya agar memudahkan dalam identifikasi. Kemudian dilakukan perhitungan jumlah individu dari setiap unit sistematik yang ditemukan. Buku identifikasi yang digunakan adalah : Abbot (1974), Dance (1977), Gosner (1971), Higgins dan Hjalmar (1988) di Laboratorium Biologi basah LIPI Ancol dan di Laboratorium Biomikro I FPIK-IPB Bogor .

3.3 Analisis data

(39)

dengan menggunakan Nonmetrik MDS, (4) korelasi antara makrozoobenthos dengan lingkungan dengan menggunakan uji Spearman Rank. Analisis data dijelaskan sebagai berikut :

3.3.1 Kepadatan dan komposisi jenis

Kepadatan makrozoobenthos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobenthos per satuan luas (m2) (Brower dan Zar, 1990). Formulasi kepadatan makrozoobenthos adalah sebagai berikut :

A Ni K =10.000×

Keterangan : K = Kepadatan (ind/m2) Ni = Jumlah Individu (individu)

A = Luas petak pengambilan contoh (cm2) (nilai 10.000 adalah konversi dari cm2 ke m2)

Komposisi jenis memperlihatkan perbandingan persentase antar filum dari organisme makrozoobenthos. Komposisi jenis juga memperhatikan taksa-taksa yang sering muncul setiap stasiunnya (Brower dan Zar, 1990).

3.3.2 Indeks keanekaragaman

Indeks keanekaragaman pada masing-masing stasiun pengamatan merupakan hasil rata-rata dari 10 ulangan. Indeks keanekaragaman ditentukan dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Wiener (Krebs, 1989) sebagai berikut :

pi

Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman Ni = Jumlah individu jenis ke-i

(40)

3.3.3 Indeks keseragaman

Indeks keseragaman makrozoobenthos pada masing-masing stasiun pengamatan merupakan hasil rata -rata dari 10 ulangan. Menurut Magurran (1983) nilai E sama dengan 1 artinya jumlah individu tiap jenis adalah sama. Indeks tersebut dianalisis menggunakan indeks keseragaman (Krebs,1989) sebagai berikut : H’ = Nilai keanekaragaman

3.3.4 Pengelompokan habitat dan komunitas makrozoobenthos

Untuk melihat pengelompoka n antar stasiun berdasarkan parameter fis ika-kimia dan makrozoobenthos digunakan analisis Nonmetrik Multi Dimentional Scaling (NMDS). Program yang digunakan adalah program Primer versi 5. Nilai stress berkisar antara 0-1. Data dikatakan representatif apabila nilai stress mendekati nilai 0 dan begitu sebaliknya.

3.3.6 Hubungan makrozoobenthos dengan fisika-kimia sedimen

Untuk melihat adanya hubungan antara makrozoobenthos dengan keadaan fisika-kimia sedimen, maka dilakukan uji korelasi Spearman Rank. Uji tersebut dianalisis menggunakan program SPSS (Statistical Program for Social Sciences) versi 12 dengan selang kepercayaan 95%.

Hipotesis :

Ho = Jenis makrozoobenthos ke-i dengan parameter ke-j tidak berhubungan

H1 = Jenis makrozoobenthos ke-i dengan parameter ke-j berhubungan

Apabila di tabel korelasi dengan kaidah keputusan sebagai berikut : Probabilitas > 0,05 , maka gagal tolak Ho

Probabilitas <0,05 , maka tolak Ho

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik makrozoobenthos

Hasil analisis struktur komunitas makrozoobenthos antara lain kepadatan dan komposisi, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman. Hasil analisis tersebut dijelaskan sebagai berikut :

4.1.1 Kepadatan dan komposisi

(42)

0

Gambar 3. Hasil pengukuran makrozoobenthos yang meliputi kepadatan (a) dan komposisi (b) di setiap stasiun pengamatan

(43)

0

sedimen dangan insangnya, selain itu juga dapat mengatur respirasi aerobik dengan mukus yang diproduksi oleh permukaan tubuh di dalam tabungnya.

Kepadatan terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu sebesar 16 Ind/m2 dan hanya ada 2 jenis yaitu Mactra sp. dari filum Mollusca dengan kepadatan 12 ind/m2 dan Cirratulus sp. dari filum Polychaeta de ngan nilai kepadatan 4 ind/m2. Hal ini diduga karena stasiun tersebut mempunyai kandungan oksigen yang rendah sehingga hanya biota yang mempunyai toleransi tinggi yang dapat bertahan hidup.

4.1.2 Indeks keanekaragaman dan keseragaman

Hasil analisis struktur indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman dijelaskan pada Gambar 4 berikut.

(a)

(b)

(44)

Indeks keanekaragaman (H’) di Teluk Jakarta bervariasi dengan kisaran nilai H’ antara 0,811-4,208 seperti yang telihat pada Gambar 4a dan Lampiran 4. Nilai terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 0,811, sedangkan tertinggi terdapat pada stasiu n 12 sebesar 4,208. Pada daerah dekat daratan rata-rata nilai H’ lebih rendah dari pada daerah tengah dan luar teluk. Hal ini diduga karena letak stasiun yang dekat dengan daratan menyebabkan rentan terhadap buangan berupa limbah domestik, pertanian maupun industri. Selain itu kandungan oksigen terlarut rata-rata di zona ini rendah, nilai BOD5 tinggi dan C-organik tinggi mengakibatkan

tingginya kandungan H2S, sehingga hanya makrozoobenthos yang mempunyai

toleransi tinggi yang yang dapat bertahan pada kondisi tersebut.

Kisaran indeks keseragaman secara keseluruhan teluk antara 0,371-0,837 (Gambar 4b dan Lampiran 4). Nilai terendah terdapat pada stasiun 3 dan 4 sedangkan nilai tertinggi sebagian besar terdapat pada stasiun 12. Rendahnya nilai keseragaman diduga jumlah individu tiap jenis tidak sama atau bahkan berbeda jauh karena kondisi lingkungan perairan seperti fisika -kimia kurang mendukung pertumbuhan makrozoobenthos, sehingga jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup di daerah tersebut. Tingginya nilai kesamaan diduga karena penyebaran individu relatif seragam. Magurran (1983) , nilai keseragaman mempunyai kisaran antara 0-1. Semakin mendekati 1 maka keseragaman tergolong tinggi. Dengan demikian, pada Teluk Jakarta dapat dikatakan bahwa semakin ke arah laut keseragaman semakin tinggi karena pengaruh aktivitas dari daratan semakin kecil.

4.2 Karakteristik lingkungan perairan

Karakteristik kondisi perairan yang ditelaah meliputi parameter fisika (suhu, kedalaman, kekeruhan, kecerahan dan TSS) dan parameter kimia (salinitas, pH, oksigen terlarut, BOD5 dan H2S). Hasil analisis terhadap karakteristik kualitas

perairan ditunjukkan pada Gambar 5, 6 dan Lampiran 1.

(45)

Suhu (°C)

Gambar 5. Hasil pengukuran parameter fisika perairan yang meliputi suhu (a), kedalaman (b), kekeruhan (c), kecerahan (d) dan TSS (e) di setiap stasiun pengamatan

(46)

dengan Kep MENLH No.51 tahun 2004 menetapkan ambang batas suhu bagi kehidupan biota laut adalah alami atau sekitar 28-32 oC.

Berdasarkan hasil pengukuran, nilai kedalaman perairan Teluk Jakarta di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 2–18 meter (Gambar 5b, Lampiran 1). Kedalaman terendah terdapat pada stasiun 5 dan 6, diduga karena posisi stasiun berada di muara sungai sehingga banyak mendapat masukan air tawar yang membawa partikel-partikel tanah dan lumpur akibatnya tingkat sedimentasi menjadi tinggi dan terjadinya pendangkalan. Kedalaman tertinggi terdapat pada stasiun 12 dan 13, diduga karena kelompok tersebut merupakan daerah tengah dan luar dari teluk sehingga tingkat sedimentasi lebih rendah dari daerah dekat daratan. Hal ini didukung oleh pernyataan Ongkosongo (1980) bahwa kedalaman perairan Teluk Jakarta di dekat daratan umumnya kurang dari 10 meter, namun lebih ke arah te ngah bisa mencapai 10–30 meter.

Kekeruhan berkorelasi positif dengan padatan tersuspensi. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi juga nilai kekeruhan (Effendi, 2003). Nilai kekeruhan secara keseluruhan pada Teluk Jakarta berkisar antara 2,2– 90,7 NTU (Gambar 5c, Lampiran 1). Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sedangkan terendah pada stasiun 12. Hal ini dikarenakan stasiun 3 dekat dengan daratan dan muara sungai yang terdapat banyak masukan partikel baik dari air tawar maupun dari kegiatan di sekitar teluk, sedangkan letak stasiun 12 lebih jauh dari daratan sehingga pengaruh dari daratan lebih sedikit. Berdasarkan Kep MENLH No.51 tahun 2004, ambang batas maksimum kekeruhan bagi kehidupan biota laut adalah kurang dari 5 NTU. Dengan demikian kekeruhan Teluk Jakarta khususnya daerah dekat daratan melebihi ambang batas sedangkan pada daerah di luar teluk masih dibawah ambang batas atau masih cukup baik untuk kehidupan biota laut.

(47)

karena memiliki kandungan tersuspensi yang cukup tinggi, sehingga mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke perairan.

Kandungan total padatan tersuspensi terutama disebabkan karena kikisan tanah ataupun erosi tanah yang terbawa oleh badan air (Effendi, 2003). Hasil pengukuran total padatan tersuspensi secara keseluruhan di Teluk Jakarta berkisar antara 7-122 mg/l (Gambar 5e, Lampiran 1). Nilai terendah diperoleh pada stasiun 2 dan tertinggi pada stasiun 3. Tingginya nilai TSS diduga karena posisi stasiun 3 dekat dengan daratan dan mendapat masukan padatan tersuspensi lebih banyak akibat kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Menurut Effendi (2003), kandungan TSS kurang dari 25 mg/l tidak berpengaruh buruk untuk kegiatan perikanan. Dengan demikian kandungan TSS di Teluk Jakarta secara keseluruhan lebih dari 25 mg/l tidak cukup baik untuk kegiatan perikanan.

Parameter kimia perairan yang diamati meliputi salinitas, pH, oksigen terlarut, BOD5 dan H2S. Nilai oksigen terlarut (DO) dan BOD5 bervariasi

sedangkan salinitas, pH dan H2S relatif sama antar stasiun.

Salinitas pada perairan pesisir, sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya masukan air tawar (Effendi, 2003). Nilai salinitas di Teluk Jakarta berkisar antara 11– 32 psu (Gambar 6a, Lampiran 1). Nilai salinitas terendah terdapat pada stasiun 6 diduga karena posisi stasiun tersebut merupakan Muara Sungai Marunda sehingga mendapat pengaruh air tawar lebih besar. Nilai salinitas tertinggi terdapat stasiun 12 dan 13, hal ini diduga karena stasiun tersebut merupakan daerah terluar dari teluk sehingga pengaruh air tawar pada stasiun tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan stasiun yang lain. Menurut Nybakken (1992), pada daerah estuari memiliki fluktuasi salinitas yang maksimum. Fluktuasi tersebut sangat bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut dan jumlah masukan air tawar.

(48)

0

mendukung kehidupan makrozoobenthos. Hal ini juga didukung oleh Effendi (2003) bahwa sebagian besar biota akuatik, termasuk dalam hal ini makrozoobenthos sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 – 8,5.

Berikut adalah gambar hasil analisis terhadap parameter kimia perairan di Teluk Jakarta. Parameter-parameter tersebut disajikan pada Gambar 6.

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 6. Hasil pengukuran parameter kimia perairan yang meliputi salinitas (a), pH (b), oksigen terlarut (c), BOD5 (d) dan H2S (e) di setiap stasiun

pengamatan

(49)

Muara Sungai Marunda sehingga mendapat masukan bahan organik akibat kegiatan dari industri dan rumah tangga. Kegiatan tersebut diduga membuang limbahnya ke sungai yang akhirnya bermuara di Teluk Jakarta dan menyebabkan bahan organik tinggi yang berdampak menurunkan oksigen terlarut dalam air karena proses dekomposisi yang relatif tinggi. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 11, diduga karena letak stasiun yang ke arah luar teluk mendapatkan suplai oksigen dari alam lebih besar dan kontinu.

Nilai BOD5 perairan dipengaruhi suhu, keberadaan mikroba serta kandungan

bahan organik (Effendi, 2003). Kisaran kebutuhan oksigen biokimia (BOD5)

untuk keseluruhan Teluk Jakarta adalah sebesar 3,31–11,12 mg/l (Gambar 6d, Lampiran 1). Nilai BOD5 tertinggi berada pada stasiun 6 diduga karena stasiun

tersebut merupakan muara sungai, sehingga banyak masukan bahan organik karena kegiatan di sekitar daratan tersebut baik langsung maupun dari masukan air tawar. Hal ini didukung dengan kandungan oksigen yang relatif rendah karena diperlukan dalam proses dekomposisi untuk menguraikan bahan organik menjadi anorganik. BOD5 terendah terdapat pada stasiun 8, diduga karena stasiun tersebut

lebih ke tengah teluk dan jauh dari daratan maupun gugusan pulau sehingga masukan bahan organik hanya diperoleh dari pergerakan arus yang membawa bahan organik dari daratan. Kep MENLH No.51 tahun 2004 menetapkan ambang batas maksimum kandungan BOD bagi kehidupan biota laut adalah 20 mg/l. Dari ketentuan tersebut maka Teluk Jakarta masih cukup baik untuk kehidupan biota laut tetapi karena kandungan oksigen yang rendah maka hanya biota yang mempunyai toleransi lingkungan tinggi yang bisa hidup pada Teluk Jakarta.

Berdasarkan hasil pengukuran kandungan H2S, hampir keseluruhan Teluk

Jakarta tinggi. Kisaran nilai kandungan H2S di perairan dekat dasar keseluruhan

teluk adalah sekitar 17,49–29,16 mg/l (Gambar 6e, Lampiran 1). Tingginya kandungan H2S dikarenakan kelarutan oksigen dalam air rendah dan kandungan

bahan organik tinggi, sehingga dengan keterbatasan oksigen terlarut yang tidak mencukupi untuk proses dekomposisi oleh bakteri menyebabkan proses dekomposisi dilaksanakan tanpa oksigen (anaerob). Dampak yang ditimbulkan karena proses anaerob tersebut adalah menghasilkan H2S yang berbahaya bagi

(50)

maksimum kandungan H2S bagi kehidupan biota laut adalah 0,01 mg/l. Hal ini

menyatakan bahwa kandungan H2S di Teluk Jakarta telah melebihi ambang batas

bagi kehidupan organisme karena kandungan H2S teluk diatas 0,01 mg/l.

4.3 Karakteristik sedimen

Ada beberapa tipe sedimen di Teluk Jakarta dari fraksi pasir ukuran sedang sampai lumpur (Gambar 7a, Lampiran 2). Tetapi secara keseluruhan tipe sedimen dominan lumpur kecuali stasiun 1 bertipe pasir ukuran sangat halus, stasiun 2 bertipe pasir ukuran sedang dan stasiun 6 bertipe pasir halus. Tipe sedimen di Teluk Jakarta dominan lumpur diduga berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari baik oleh laut maupun air tawar. Sungai yang merupakan sumber air tawar mengikat partikel lumpur dalam bentuk suspensi. Ketika partikel tersuspensi ini bercampur dengan air laut di estuari menyebabkan partikel lumpur menggumpal, membentuk partikel yang lebih berat dan besar serta mengendap dan membentuk dasar lumpur yang khas. Adanya tipe pasir diduga karena stasiun tersebut merupakan daerah yang kurang terlindungi dari pergerakan air atau mempunyai pergerakan air yang tinggi sehingga sulit untuk mempertahankan berbagai partikel-partikel halus dalam bentuk tersuspensi. Hal ini didukung oleh pernyataan Nybakken (1992), bahwa pengendapan partikel bergantung pada arus dan ukuran partikel. Partikel yang lebih besar mengendap lebih cepat dari pada partikel yang lebih kecil dan arus yang kuat mempertahankan partikel tersuspensi lebih lama dari pada arus lemah. Oleh karena itu substrat pada tempat arus kuat akan menjadi kasar (pasir), karena partikel besar yang akan mengendap, sedangkan pada perairan arus lemah, lumpur halus yang akan mengendap.

(51)

Nilai Tengah

Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur Lumpur

Stasiun

bahwa pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik. Akibatnya substrat ini sangat kaya akan bahan organik. Tingginya kandungan C-organik dalam sedimen tidak menguntungkan bagi makrozoobenthos. Hal ini disebabkan berlimpahnya partikel organik yang halus dan mengendap di lumpur akan menyumbat permukaan alat organisme apabila terjadi resuspensi. Namun di sisi lain dapat bermanfaat sebagai sumber makanan terutama bagi deposit feeder.

Berikut adalah gambar hasil analisis terhadap parameter fisika -kimia sedimen di Teluk Jakarta. Parameter-parameter tersebut disajikan pada Gambar 7 berikut.

(a)

(b)

(52)

4.4 Pengelompokan komunitas makrozoobenthos dan lingkungan

Pengelompokan komunitas makrozoobenthos berdasarkan kepadatan jenis, sedangkan pengelompokan parameter lingkungan berdasarkan nilai parameter fisika kimia perairan maupun sedimen. Hasil pengelompokan makrozoobenthos dan parameter lingkungan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Hasil analisis pengelompokan berdasarkan kepadatan jenis makrozoobenthos (a) dan parameter lingkungan (b) di setiap stasiun pengamatan

Dari hasil analisis pengelompokan Nonmetrik Multi Dimen tional Scaling (MDS) pada Teluk Jakarta dibagi menjadi 5 kelompok (Gambar 8). Pembagian kelompok makrozoobenthos dengan parameter lingkungan mempunyai kesamanan. Adanya pengelompokan diduga karena posisi stasiun yang berbeda sehingga mempengaruhi banyak sedikitnya kegiatan disekitar stasiun tersebut yang mempengaruhi kualitas perairan. Akibatnya ada perbedaan karakteristik lingkungan perairan dan jenis yang mendominasi pada makrozoobenthos.

Kelompok 1 terdiri dari stasiun 7, 8, 9, 11, 12 dan 13 makrozoobenthos yang terbanyak yaitu dari filum Crustacea yaitu jenis Lucifer sp. dan Mollusca jenis Chione sp. dengan karakteristik nilai oksigen terlarut, kedalaman dan persen kandungan debu liat tinggi. Hal ini diduga karena jenis Lucifer sp. mempunyai tingkat toleransi yang rendah, sehingga banyak terdapat pada daerah yang mempunyai karakteristik perairan yang baik.

(53)

Kelompok 3 adalah stasiun 3 dan 10 jenis Lucifer sp. dari filum Crustacea sangat rendah dengan karakteristik kandungan total padatan tersuspensi dan kekeruhan yang tinggi. Hal ini diduga kerena Crustacea tidak sesuai dengan perairan yang mempunyai kandungan padatan tersuspensi yang tinggi, karena dapat mengganggu proses pernafasan.

Kelompok 4 terdiri dari stasiun 4 hanya ada je nis Mactra sp. dari filum Mollusca dan jenis Cirratulus sp. dari kelas Polychaeta dengan karakteristik kandungan oksigen rendah. Hal ini dikarenakan jenis tersebut merupakan jenis biota yang mempunyai toleransi yang tinggi dan dapat hidup pada perairan tercemar.

Kelompok 5 terdiri dari stasiun 6, makrozoobenthos yang ditemukan kelas Polychaeta dari jenis Cirratulus sp. dengan karakteristik nilai salinitas dan kandungan oksigen yang rendah. Hal ini dikarenakan karakteristik stasiun yang mempunyai kandungan salinitas yang rendah dan terletak di muara sungai, sehingga yang dapat bertahan hanya jenis makrozoobenthos yang mempunyai tolerans i tinggi terhadap perubahan salinitas.

Menurut Damar (2003) kolom perairan Teluk Jakarta dikelompokkan ke dalam 3 tingkat kesuburan pera ira n berdasarkan analisis TRIX yaitu 1) Hyper-eutrofik berada paling dekat dengan daratan, menunjukkan kondisi perairan dengan tingkat kesuburan sangat tinggi, 2) Eutrofik berada pada bagian tengah teluk di antara hyper-eutrofik dan mesotrofik, menunjukkan kondisi perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, 3) Mesotrofik berada pada bagian terluar dari teluk, merupakan perairan dengan tingkat kesuburan sedang. Tinggi rendahnya tingkat kesuburan perairan akan berpengaruh terhadap kolom perairan yang nantinya akan mempengaruhi karakteristik dasar perairan dan menentukan keberadaan hewan benthik suatu perairan karena keberadaannya yang relatif menetap dan mempunyai distribusi vertikal yang sempit.

(54)

Tabel 5. Posisi stasiun sampling berdasarkan zona status trofik

Stasiun zonasi status trofik* Keterangan

1 Mulut Muara Angke

2 Mulut Tanjung Priok

3 Tanjung Priok

4 Bagian Timur Teluk

5 Mulut Sungai Marunda

6

Hyper-eutrofik

Sungai Marunda

7 Bagian Timur Teluk

8 Bagian Tengah Teluk

9 Bagian Barat Teluk

10

Eutrofik

Bagian Barat Teluk (Budidaya Kerang Hijau)

11 Bagian Barat Teluk

12 Bagian Tengah Teluk

13

Mesotrofik

Bagian Timur Teluk

• Zonasi status trofik menurut Damar (2003)

Dari hasil pengelompokan dengan menggunakan Nonmetrik MDS, diperoleh hasil bahwa pada stasiun yang termasuk ke dalam zona hyper-eutrofik terbagi menjadi 4 kelompok. Pada stasiun zona eutrofik dan mesotrofik tergolong menjadi 1 kelompok kecuali stasiun 10. Adanya perbedaan pengelompokan diduga karena banyak faktor yang mempengaruhi, sehingga proses kolom perairan tidak secepat ke substrat. Hal ini terbukti bahwa makrozoobenthos tidak dapat membedakan antara zona eutrofik dengan zona mesotrofik. Selain itu terdapat perbedaan parameter yang diamati antara zona status trofik dikolom perairan oleh Damar (2003) dengan parameter sedimen.

4.5 Korelasi antara makrozoobenthos dengan lingkungan

(55)

Tabel 6. Korelasi antara makrozoobenthos dengan lingkungan

Jenis

Makrozoobenthos Tektur Debu liat (%) C-organik (%)

Dodecaceria **, p=0,000, n=13 *, p= 0,026, n=13 *, p= 0,019, n=13

Prionospio ns, p= 0,289, n=13 ns, p=0,563,n=13 ns, p=0,057, n=13

Cirratulus *, p= 0,024, n=13 *, p=0,010, n=13 ns, p= 0,086, n=13

Chione ns, p= 0,118, n=13 ns, p= 0,161, n=13 ns, p= 0,554, n=13

Mactra ns, p= 0,195, n=13 ns, p= 0,886, n=13 ns, p= 0,767, n=13 ** = sangat berhubungan, * = berhubungan dan ns=tidak berhubungan

(56)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Jenis makrozoobent hos secara keseluruhan di Teluk Jakarta yang ditemukan meliputi Polychaeta (51,3 %), Mollusca (36,84 %), Crustacea (9,76 %) dan Lain-lain (2,1 %). Semakin ke arah luar teluk, indeks keanekaragaman semakin tinggi. Kelas Polychaeta , yaitu Cirratulus sp. dan Dodecaceria sp. terdapat hampir di seluruh stasiun pengamatan.

2. Nilai suhu, salinitas, pH dan BOD5 sesuai dengan baku mutu (Kep.MENLH

No. 51 Th. 2004) . Nilai ke keruhan, kandungan TSS dan H2S melebihi baku

mutu. Nilai kecerahan dan oksigen terlarut tidak sesuai dengan baku mutu. Diameter sedimen dekat darat lebih besar, namun demikian kandungan C-organik pada keseluruhan teluk relatif sama.

3. Dari hasil analisis pengelompokan Nonmetrik MDS yaitu stasiun yang terdapat pada zona hyper-eutrofik terbagi menjadi 4 kelompok, sedangkan stasiun pada zona eutrofik dan mesotrofik berada dalam satu kelompok. Makrozoobenthos tidak bisa memisahkan antara zona eutrofik dengan zona mesotrofik , sehingga zonasi status trofik di kolom perairan berdasarkan Damar (2003) belum dapat digunakan untuk acuan dasar perairan khususnya bagi keberadaan makrozoobenthos.

4. Kelas Polychaeta jenis Dodecaceria sp. mempunyai korelasi sangat erat de ngan tekstur dan mempunyai hubungan dengan persen debu liat dan C-organik, sedangkan jenis Cirratulus sp. mempunyai korelasi sangat erat dengan tekstur dan berhubungan dengan persen debu liat.

5.2 Saran

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, R. T. 1974. American Sea Shells The Marine Mollusca of The Atlantic and Pasific Coasts of North America, second edition. Van Nostrad Reinhold Company. New York.

APHA. 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. American Public Health Association (APHA). American Water Works Association (AWWA) and Water Pollution Control Federation (WPCF) 17 ed. Washington. 1193 hal.

Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. Program Pasca Sarjana Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor.

BPLHD. 2001. Kualitas Biologi Perairan Teluk Jakarta. http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/2001/Docs/Buku-II/docs/5333.htm [29 Agustus 2005 pukul 13.45 WIB]

Brower, J. E. dan J. H. Zar. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third edition. Wm. C. Brown Publishers. 237 hal.

Damar, A. 2003. Effect of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Waters : A Comparison Between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. Forschungs -und Technologiezentrum Westkueste Publ. Ser No. 29. 199: 196 hal.

Damar, A. 2004. Musim Hujan dan Eutrofikasi Perairan Pesisir. http://cdc. eng.ui.ac.id/article/articleview/2660/1/2/ [29 Agustus 2005]

Dance, S. P. 1977. The Encyclopedia of Shells. Blandford Press. London.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 256 hal.

Emiyarti. 2004. Karakteristik Fisika Kimia Sedimen dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Teluk Kendari. Pasca Sarjana (S2). Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).

Gosner, K. L. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuari Invertebrates. Wiley Interscience, a Division of John Wiley dan Sons, Inc. New Jersey. Higgins, R. P dan Hjalmar, T. 1988. Introduction to The Study of Meiofauna.

Smithsonian Institution Press. Washington, D. C. London.

(58)

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/I/2004. Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut. Jakarta. 12 hal.

KPPL. 1997. Pemantauan Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Jakarta. Jakarta. 110 hal.

KPPL DKI dan PPLH IPB. 1997. Studi Potensi Kawasan Perairan Teluk Jakarta . Laporan Final.

Krebs, J. C. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher. New York. 649 hal.

Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm Limited. London. 179 hal.

Nontji, A. 1984. Laut Nusantara. Jembatan Jakarta. 154 ha l.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh H. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. 460 hal.

Odum, E. P. 1992. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University Press. 712 hal.

Ongkosongo, O. S. R, S. Susmiati, P. Hamidjojo dan A. Suwardi. 1980. Pengamatan Sedimen Dasar Teluk Jakarta dalam Teluk Jakarta. Lembaga Oseanografi Nasional-LIPI. Jakarta.

Pearson, T. H. dan R. Rosenberg. 1978. Macrobenthic Succesion in Relation to Organic Enrichment and Pollution of The Marine Environment. Oceanogr Mar Biol. Annu. Rev. 16:229-311.

Razak, H. 2004. Penelitian Kondisi Lingkungan Perairan Teluk Jakarta dan Sekitarnya. Proyek Penelitian IPTEK Kelautan - Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sverdrup. H. U, M. W. Johnson, dan R. H. Fleming. 1946. The Oceans: Their Physics, Cemistry and general Biology. Prentice Hall, Englewood Cliffs. Vitner, Y. 2001. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Pertumbuhan Kerang

Hijau (Perna Viridis, Linn, 1758) di Perairan Muara Kamal dan Bojonegara. Program Pasca Sarjana (S2). Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).

Wood, M. S. 1987. Subtidal Ecology. Edward Arnold Pty. Limited. Australia. Wright, J. B. 1984. Oseanography: Unit 10 The Benthic System. The Open

(59)
(60)
(61)
(62)

Lampiran 2. Tipe sedimen dan kandungan C-organik sedimen di Teluk Jakarta

DiAi Tipe sedimen

(63)
(64)
(65)

Lampiran 4. Indeks keanekaragaman dan keseragaman makrozoobenthos

Stasiun Keanekaragaman (H')

Keseragaman (E)

1 2,287 0,450

2 1,924 0,375

3 1,112 0,371

4 0,811 0,811

5 2,602 0,637

6 1,789 0,770

7 3,269 0,837

8 3,147 0,805

9 2,964 0,686

10 1,933 0,832

11 4,111 0,822

12 4,410 0,847

(66)

Lampiran 5. Foto keadaan umum Teluk Jakarta

Substrat di mulut Muara Angke (stasiun 1), Februari 2005

Bagan budidaya kerang hijau di Teluk Jakarta (Stasiun 10) , Februari 2005

Gambar

Gambar 1. Peta zonasi status trofik kolom air berdasarkan perhitungan Trophic  Index for Marine System (TRIX) di Teluk Jakarta (Damar, 2003)
Tabel 1. Contoh hewan benthos dan ketahanan terhadap pencemaran bahan organik (Pearson dan Rosenberg, 1978)
Tabel 2. Konsentrasi padatan tersuspensi dan kategori kualitas lingkungan perairan (Canter dan Hill, 1981 in  Vitner, 2001)
Tabel 3. Posisi sta siun pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa pada sudut bukaan plat yang sama, seiring dengan meningkatnya bilangan Reynolds , maka kecepatan putar dari turbin angin Savonius

o Sensor processing nodes shall process data from a single Imagery collection node o Imagery archive nodes may contain data from one or several Imagery collection nodes o

Didalam penelitian ini QR code dimanfaatkan untuk pengelolahan data kunjung mahram santri dalam proses kunjungan di pesantren, private question merupakan salah satu fitur kode

writer will make a description about invoice letter, then compare the difference. between invoice letter that the writer got from

Hasil Penelitian: Analisa data dalam bentuk deskripsi didapatkan bahwa ada pengaruh home program dengan peningkatan gross motor function duduk pada anak cerebral palsy

Jika dua orang murid yang masing-masing mendapat nilai 8 dan 5 tidak dimasukkan dalam perhitungan rata-rata tersebut, nilai rata-rata ujian yang baru adalah ...a. Sebuah

Prasasti Dinoyo ini menceritakan bahwa pada abad ke-8 M ada sebuah kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang Desa Kanjuron) di Jawa Timur. Rajanya bernama Dewa Singha ,

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2010.. Semarang: Fakultas