SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH: TASLIMAH 109101000038
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
UJI EFIKASI EKSTRAK BIJI SRIKAYA (Annona squamosa L) SEBAGAI BIOINSEKTISIDA DALAM UPAYA INTEGRATED VECTOR
MANAGEMENT TERHADAP Aedes aegypti
(xx + 93 halaman + 11 tabel + 6 bagan + 1 grafik + 4 lampiran)
ABSTRAK
Aedes aegypti adalah salah satu nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue. Salah satu upaya untuk mencegah meluasnya penyakit ini ialah dengan pengendalian vektor terpadu (IVM) melalui pemanfaatan bioinsektisida. Srikaya (Annona squamosa L) adalah salah satu spesies Annonaceae yang memiliki potensi bioinsektisida dengan kandungan kimia yang bersifat racun bagi nyamuk.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain studi post test only control group. Sampel penelitian ini ialah 200 ekor Aedes aegypti dewasa berusia 2-5 hari yang dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yaitu 0% (kontrol), 10%, 15%, 20%, dan 25% v/v. Masing-masing kelompok uji berisi 10 ekor Aedes aegypti dengan 4 kali replikasi. Data diperoleh dengan menganalisa waktu jatuh 90 (KT90) dan analisa probit untuk memperoleh
nilai LC50. Serta analisa regresi dan korelasi antara probit dan LC50.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi 0% (kontrol) tidak berpengaruh terhadap mortalitas Aedes aegypti. Nilai LC50 dari ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L) yang
dipaparkan pada Aedes aegypti ialah sebesar 14,710%. Hasil analisis korelasi dan regresi LC50 terhadap probit menunjukkan hubungan antara konsentrasi dan probit dengan nilai p =
0.003 (p<0.05). Diketahui waktu jatuh 90 (KT90) yaitu pada konsentrasi 25% yang terjadi
hingga menit ke-30.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L) terbukti berpotensi sebagai bioinsektisida terhadap Aedes aegypti pada uji efikasi dalam upaya
integrated vector management.
iii
kesehatan terkait penggunaan ekstrak biji srikaya oleh masyarakat sebagai alternatif pengganti insektisida sintetis.
Kata kunci : Aedes aegypti, Annona squamosa, LC50, KT90, integrated vector management
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduated thesis, Februari 2014
Taslimah, NIM : 109101000038
EFFICACY OF Annona squamosa L SEEDS EXTRACT AS
BIOINSECTICIDE FOR ALTERNATIVE INTEGRATED VECTOR MANAGEMENT AGAINST Aedes aegypti
(xx + 93 pages + 11 tables + 6 charts + 1 graphic + 4 attachments)
ABSTRACT
Aedes aegypti is a mosquito that played as a vector of dengue fever. One of the method to prevent the spread of dengue fever is by using bioinsecticide as integrated vector management (IVM). Custard apple (Annona squamosa L) is one of the species of Annonaceae with bioinsecticide potential that have chemical compounds with toxic effect against mosquitoes.
This study was experimental study with post test only control group design. Two hundred samples of 2-5 days old adults Aedes aegypti were used in this experiment that be divided into 5 groups of experiment, which are 0% (control); 10%, 15% , 20%, and 25% v/v. Each group contains 10 Aedes aegypti with four replication. The results of this experiment were obtained by analyzing knockdown time 90 (KT90) every ten minutes in one hour and probit
analysis were used to get LC50 values. Analysis of correlation and regresion were also done in
order to get the relation between concentration and probit.
The results showed that there was no mortality of Aedes aegypti in the concentration of 0% (control). LC50 values of Annona squamosa L seeds extract that applied to Aedes aegypti was
14,710 %. The result of correlation and regresion analysis between concentration and probit showed the relations between concentration and probit with Pvalue = 0.003 (P<0.05). The concentration of knockdown time 90 (KT90) was known at 25% on thirty minutes.
Thus, the conclusion of this research is that Annona squamosa seeds extract proven its potential as bioinsecticide againts Aedes aegypti on efficay study for alternative integrated vector management.
The next study is needed to know the potential of the active compounds of Annona squamosa
v
spectrum area. Also the support and sosialization are needed from department of health about the using of Annona squamosa seeds extract by people as subtitute of sintetic insectiside.
Keywords : Aedes aegypti, Annona squamosa, LC50, KT90, integrated vector management
viii
Nama : Taslimah
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 5 Agustus 1990
Alamat : Jl. Pangeran Antasari Gg. Cempaka I RT 005
RW 006 No. 4 Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12150
Agama : Islam
No. Telp : 08561826803
Email : imapotter@rocketmail.com
RIWAYAT PENDIDIKAN
1996 – 2002 : SDN 13 Pagi Jakarta 2002 – 2005 : SMPN 250 Jakarta
2005 – 2008 : SMAN 70 Jakarta
ix
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam kita panjatkan untuk Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan hingga zaman yang terang benderang.
Skripsi yang berjudul “Uji Efikasi Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L) Sebagai Bioinsektisida Dalam Upaya Integrated Vector Management Terhadap Aedes aegypti” ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat (S.KM). Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kesulitan dan tidak akan terwujud tanpa bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Siti dan (Alm) Mochamad Ali selaku orang tua penulis. Terima kasih atas segala kasih sayang dan doa selama ini. You are the best parents ever...
2. Kakak-kakak penulis (Nurodin, Sopiah, Hasanah, Urpiah, Rodiah, Zahroh, dan Rosidi) terima kasih atas doa, dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And. selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
x
6. Bapak dr. Yuli Prapancha Satar, MARS, selaku dosen pembimbing skripsi. 7. Ibu Catur Rosidati, S.KM, M.Kes, Ibu Dewi Utami Iriani, S.KM, M.Kes,
Ph.D dan Ibu Meilani Anwar, M.Epid selaku penguji skripsi.
8. Ibu Fahma selaku kepala Pusat Laboratorium Terpadu dan Ka Pipit selaku laboran Laboratorium Pangan.
9. Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen peminatan Kesehatan Lingkungan. Terima kasih atas semua kesempatan untuk mengenal dunia industri yang sebenarnya.
10.Bapak Supriyanto atas bantuan dan dukungannya dalam menyediakan referensi bagi penulis.
11.Sahabat-sahabat Kesmas 2009 khususnya KL’09 (Nita, Ratna, Dilla, Fauziah, Ersa, Rudi, Agung, Morrys, Rahmi, Risma, Fauziah, Maya, Cita, Reni, Aan, Nisa, Tary, Yudi, dan Udin), Kimia’09 serta ENVIHSA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12.Sahabat – sahabatku (Vita, Malika, Desi, Nita, dan Ratna) atas doa, nasihat, motivasi dan bantuannya selama ini. I love you all..
Semoga semua bantuan yang telah kalian berikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Segala saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi semua pihak. Terima Kasih...
Wassalamualaikum....
Jakarta, Februari 2014
xi
HALAMAN
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK... ii
ABSTRACT... iv
LEMBAR PERSETUJUAN... vi
LEMBAR PENGESAHAN... vii
RIWAYAT HIDUP... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR BAGAN….... xvii
DAFTAR GRAFIK... xviii
DAFTAR ISTILAH... xix
DAFTAR LAMPIRAN... xx
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 7
C. Batasan Masalah... 8
xii
F. Manfaat Penelitian... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11
A. Aedes aegypti... 11
1. Taksonomi... 11
2. Morfologi... 12
3. Siklus Hidup... 12
4. Tempat Berkembang Biak (Breeding Place)... 15
5. Perilaku Mencari Makan ……….... 15
B. Bioinsektisida... 16
1. Bioinsektisida Nabati ………... 17
2. Cara Kerja Bioinsektisida... 18
C. Famili Annonaceae ………...………... 20
1. Annona squamosa L ………... 21
2. Nama Tumbuhan ………... 21
3. Taksonomi ………... 22
4. Ciri-ciri Tanaman ………... 23
xiii
D. Uji Toksisitas... 29
1. Lethal Concentration 50 (LC50)... 29
2. Knockdown Time 90 (KT90)... 30
E. Uji Efikasi Insektisida... 30
F. Ekstraksi... 32
G. Integrated Vector Management... 33
H. Pola Air Tanah... 34
I. Kerangka Teori... 37
BAB III. ALUR PENELITIAN, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS... 38
A. Alur Penelitian... 38
B. Definisi Operasional... 39
C. Hipotesis... 41
BAB. IV METODE PENELITIAN... 42
A. Desain Penelitian... 42
B. Lokasi dan Waktu Penelitian... 42
C. Populasi dan Sampel... 43
xiv
………..
2. Bahan………... 45
E. Alur Penelitian………... 46
1. Pemeliharaan Aedes aegypti……... 46
2. Ekstraksi Biji Srikaya... 48
3. Pengujian………... 46
a. Pembagian Kelompok... 51
b. Uji Pendahuluan………...………. 52
c. Uji Efikasi………... 54
F. Pengumpulan Data………... 56
1. Data Primer... 56
2. Data Sekunder... 56
G. Analisa dan Pengolahan Data... 56
BAB V. HASIL PENELITIAN... 58
A. Pengaruh Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L) Terhadap Angka Kejatuhan dan Mortalitas Aedes aegypti... 58
1. Angka Kejatuhan dan Mortalitas Aedes aegypti pada Konsentrasi 0% (Kontrol)... 59
xv
5. Angka Kejatuhan dan Mortalitas Aedes aegypti pada
Konsentrasi 25%... 66
B. Nilai KT90 dan LC50Annona squamosa L... 68
BAB VI. PEMBAHASAN... 70
A. Keterbatasan Penelitian... 70
B. Pengaruh Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L) Terhadap Angka Kejatuhan Aedes aegypti... 70
C. Pengaruh Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L) Terhadap Mortalitas Aedes aegypti... 73
D. Potensi Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L) Sebagai Bioinsektisida dalam Integrated Vector Management... 78
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 82
A. Kesimpulan... 82
B. Saran... 82
xvi
Tabel 3.1 Definisi Operasional... 39 Tabel 5.1 Data Angka Kejatuhan Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak
Biji Srikaya pada Konsentrasi 0% (Kontrol)... 59 Tabel 5.2 Data Mortalitas Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak Biji
Srikaya pada Konsentrasi 0% (Kontrol)... 60 Tabel 5.3 Data Angka Kejatuhan Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak
Biji Srikaya pada Konsentrasi 10%... 61 Tabel 5.4 Data Mortalitas Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak Biji
Srikaya pada Konsentrasi 10%... 62 Tabel 5.5 Data Angka Kejatuhan Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak
Biji Srikaya pada Konsentrasi 15%... 63 Tabel 5.6 Data Mortalitas Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak Biji
Srikaya pada Konsentrasi 15%... 64 Tabel 5.7 Data Angka Kejatuhan Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak
Biji Srikaya pada Konsentrasi 20%... 65 Tabel 5.8 Data Mortalitas Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak Biji
Srikaya pada Konsentrasi 20%... 66 Tabel 5.9 Data Angka Kejatuhan Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak
Biji Srikaya pada Konsentrasi 25%... 67 Tabel 5.10 Data Mortalitas Aedes aegypti Setelah Penyemprotan Ekstrak Biji
xvii
Hal
Bagan 2.1 Kerangka Teori………... 37
Bagan 3.1 Kerangka Konsep………... 38
Bagan 4.1 Alur Pemeliharaan Aedes aegypti………... 47
Bagan 4.2 Diagram Alir Ekstraksi Biji Srikaya………... 50
Bagan 4.3 Diagram Alir Uji Pendahuluan………... 53
xviii
xix
DBD DEMAM BERDARAH DENGUE
IVM INTEGRATED VECTOR MANAGEMENT
KT90 KNOCKDOWN TIME 90
LC50 LETHAL CONCENTRATION 50
xx Lampiran 1 Surat Izin Pelaksanaan Penelitian
Lampiran 2 Surat Keterangan Aedes aegypti
Lampiran 3 Hasil Analisa Data
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Nyamuk merupakan serangga yang hidup berdampingan dengan manusia
tetapi berperan sebagai organisme penggangu maupun vektor penyakit (vector borne
disease). Salah satu nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit ialah Aedes
aegypti. Nyamuk ini merupakan vektor demam berdarah atau pembawa virus dengue
yang menyebabkan penyakit DHF (Dengue Haemorragic Fever) (Sudrajat et.al,
2011).
Penyakit DHF atau DBD (Demam Berdarah Dengue) merupakan penyakit
yang banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis terutama wilayah urban dan
periurban. DBD pertama kali ditemukan di Asia Tenggara tahun 1950-an, tetapi sejak
tahun 1975 hingga sekarang menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak di
negara-negara Asia (Kementrian Kesehatan RI, 2010). Berdasarkan data WHO, Asia
Tenggara merupakan wilayah dengan kasus DBD terbanyak. Dimana setiap tahunnya
terdapat sekitar 50-100 juta kasus DBD dan sebanyak 500.000 diantaranya
memerlukan perawatan rumah sakit (SEARO (2008) dalam Rahayu et.al (2010).
Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat Indonesia sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia, DBD merupakan
2009, terdapat 158.912 kasus yang tersebar di 382 kabupaten/kota (Kementerian
Kesehatan RI, 2010).
Untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit ini, diperlukan suatu upaya pengendalian vektor. Namun, upaya pengendalian vektor saat ini lebih terpaku pada
penggunaan bahan kimia sintetis. Bahan kimia tersebut umumnya digunakan sebagai
insektisida rumah tangga baik semprot maupun bakar untuk mengendalikan
penyebaran Aedes aegypti dewasa. Sayangnya, penggunaan zat kimia sebagai
insektisida rumah tangga menyebabkan terjadinya resistensi Aedes aegypti terhadap
insektisida tersebut (Profil Kesehatan Indonesia, 2010).
Penggunaan bahan kimia untuk mengurangi populasi nyamuk awalnya banyak
dipertimbangkan dalam banyak program kesehatan masyarakat. Tetapi hal tersebut
menyebabkan terjadinya kegagalan program pengendalian nyamuk. Karena
penggunaan insektisida kimia secara konstan sering membuat terganggunya sistem
pengendalian biologis pada alam dan ledakan populasi serangga lainnya. Selain itu,
penggunaan insektisida sintetis juga dapat menyebabkan terjadinya resistensi
nyamuk, pencemaran lingkungan, dan keracunan pada manusia, mamalia, dan
organime non target lainnya (Lee et.al (2001) dalam Assefa (2011)).
Berdasarkan PerMenKes RI No. 374 Tahun 2010 Tentang Pengendalian
Vektor, pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan fisik
atau mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat
perkembangbiakannya dan/atau perilaku perubahan masyarakat serta dapat
Menguatkan apa yang tertuang dalam PerMenKes RI No.374 Tahun 2010
diatas, US EPA (1998) dalam Assefa (2011) melalui integrated vector management
(IVM) juga menerangkan cara pengendalian vektor. Integrated vector management
atau manajemen vektor terpadu adalah bentuk pengendalian vektor yang
mengkombinasikan antara biaya dan efektivitas pengendalian yang sesuai dengan
permasalahan, kondisi lingkungan, dan keamanannya terhadap kesehatan manusia
dan lingkungan.
Integrated vector management memiliki resiko yang rendah dan lebih efektif
karena mengkombinasikan satu atau lebih metode pengendalian vector. Kebaikan
dalam IVM ialah adanya kombinasi antara penggunaaan bahan kimia dan non-kimia,
dimana penggunaan bahan kimia menjadi alat terakhir dalam pengendalian vektor
apabila penggunaan bahan non-kimia dinilai tidak berhasil (US EPA (1998) dalam
Assefa (2011)).
Prinsip dasar penerapan konsep pengendalian terpadu vektor adalah program
manajemen lingkungan sehat untuk pengendalian sarang nyamuk (PSN), surveilans
epidemiologi dan entomologis, kajian bioekologi serangga vektor, pengembangan
teknologi anternatif, sosialisasi dan program aksi kesehatan lintas instansi, dan
partisipasi aktif masyarakat (Supartha, 2008).
Dengan adanya permasalahan terkait timbulnya resistensi vektor akibat
penggunaan bahan kimia sintetis, diperlukan suatu bentuk pengendalian vektor yang
baru dan berdasarkan prinsip pengembangan teknologi alternatif dari IVM untuk
menggunakan bahan alami sebagai insektisida atau lebih dikenal dengan
bioinsektisida.
Bioinsektisida atau insektisida hayati adalah suatu jenis insektisida yang
berasal dari bahan alami misalnya binatang, tanaman, bakteri, dan mineral tertentu
(US EPA (2002) dalam Sastrosiswojo (2002)).
Bioinsektisida atau insektisida hayati pada saat ini semakin banyak
dimanfaatkan dalam pengendalian hama maupun vektor karena memiliki beberapa
kelebihan, antara lain tidak membunuh organisme non target karena memiliki
spesifikasi target, tidak berbahaya bagi manusia, mamalia dan ikan serta tidak
meninggalkan residu terhadap lingkungan. Selain itu bioinsektisida juga murah, dan
mudah aplikasinya. Dukungan dari para peneliti terhadap bioinsektisida ini juga
sangat besar, terbukti dengan banyaknya hasil uji efikasi mengenai pemanfaatan
bioinsektisida sebagai agen pengendali hayati (Herminanto et.al (2004); Asmaliyah
(2005)).
Uji efikasi merupakan suatu proses pengujian obat atau bahan kimia untuk
mengetahui manfaatnya terhadap kesehatan dengan menggunakan placebo atau
hewan uji yang diujikan dalam kondisi yang ideal seperti uji coba klinik yang
dikontrol dengan ketat (Thaul, 2012).
Uji efikasi kini banyak dilakukan oleh para peneliti khususnya mengenai
pemanfaatan bioinsektisida yang terbuat dari tanaman. Sehingga memungkinkan
yang berpotensi sebagai bioinsektisida. Salah satu jenis tanaman yang kini banyak
digunakan dalam pengembangan bioinsektisida melalui uji efikasi ialah srikaya.
Annona squamosa atau lebih dikenal dengan nama srikaya adalah salah satu
tanaman dari spesies Annonaceae yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida
dan telah diverifikasi potensial. Tanaman ini banyak ditemukan di dataran rendah
hingga ketinggian kurang lebih 800 m dpl dan banyak dibudidayakan di ladang serta
di halaman rumah (Setiawati et. al, 2008).
Kandungan zat kimia alami yang terkandung dalam srikaya antara lain
acetogenin, squamocin, bullatacin, annonacin dan neoannonacin. Senyawa kimia
tersebut dapat bersifat sebagai insektisida, racun kontak, penolak (repellent), dan
penghambat makan (antifeedant) bagi hama maupun organisme pengganggu lainnya.
Adapun kandungan zat kimia aktif yang terdapat biji srikaya yaitu 42-45% lemak,
annonain, dan resin yang bekerja sebagai racun perut dan racun kontak terhadap
serangga (Kardinan, 2001).
Penelitian yang dilakukan terhadap larva Aedes aegypti menunjukkan bahwa
ekstrak biji A. squamosa dapat digunakan sebagai insektisida. Berdasarkan penelitian
tersebut, tingkat kematian larva Aedes aegypti tertinggi tercapai pada dosis 1 % yaitu
dengan persentase angka kematian 100% dan dosis 0,1 % dengan persentase angka
kematian 96% (Sundari dan Wulandari, 2005).
Selain itu, uji laboratorium yang dilakukan oleh Kempraj dan Bhat (2011)
menunjukkan bahwa ekstrak biji srikaya memiliki efek toksisitas akut terhadap Aedes
µg/mL dengan konsentrasi 15,21 dan 60,38µg/mL. Dimana hal tersebut menunjukkan
level toksisitas tertinggi terhadap Aedes albopictus dewasa yang diuji. Sementara
penelitian lain yang dilakukan oleh Intaranongpai et.al. (2006) menunjukkan bahwa
ekstrak heksana biji srikaya efektif dalam membunuh kutu rambut secara in vitro.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Assefa (2011) menunjukkan bahwa
ekstrak aseton dan heksana dari biji A. squamosa memiliki aktivitas larvasida yang
tinggi terhadap Anopheles arabiensi. Yaitu dengan tingkat kematian masing-masing
96% dan 98% pada pengujian laboratorium dan 90% dan 87,5% pada pengujian semi
lapang dengan konsentrasi hingga 100 ppm yang dipaparkan selama 24 jam.
Sedangkan penelitian oleh Sharma et.al (2011) menunjukkan bahwa ekstrak
etanol Annona squamosa memiliki efek larvasida dan adultisida terhadap Aedes
aegypti dengan persentase kematian 70% dan 63%.
Dari uraian beberapa hasil penelitian diatas telah diketahui bahwa ekstrak biji
srikaya memiliki efek toksisitas terhadap beberapa jenis seranggga hama, nyamuk,
maupun organisme pengganggu lainnya. Namun, sejauh ini penelitian efek toksisitas
ekstrak biji srikaya melalui uji efikasi terhadap Aedes aegypti lebih banyak pada
tahap larva saja. Oleh karena itu, hal tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai manfaat biji srikaya (Annona squamosa) sebagai bioinsektisida
dalam mengendalikan vektor demam berdarah dengue yaitu Aedes aegypti dewasa
B. Rumusan masalah
Aedes aegypti merupakan salah satu vektor penyebaran penyakit DBD. Oleh
karena itu perlu dilakukan pemberantasan Aedes aegypti untuk memutus mata rantai
penyebaran penyakit tersebut. Namun, pengendalian vektor DBD yang dilakukan
dengan pemakaian insektisida rumah tangga baik insektisida semprot (spray) ataupun
bakar dapat mempercepat terjadinya resistensi vektor dan menimbulkan
permasalahan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu bentuk pengendalian
vektor yang baru dan berdasarkan prinsip pengembangan teknologi alternatif dari
IVM untuk mencegah terjadinya resistensi vektor dan salah satunya ialah dengan
pemanfaatan insektisida yang terbuat dari biji srikaya (Annona squamosa).
Penelitian terkait efek toksisitas ekstrak biji srikaya terhadap serangga hama
maupun vector melalui uji efikasi telah banyak dilakukan. Namun uji efikasi efek
toksisitas biji srikaya terhadap Aedes aegypti lebih banyak pada tahap larva saja. Oleh
karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui efek toksisitas biji srikaya
(Annona squamosa) sebagai bioinsektisida dalam mengendalikan vektor DBD yaitu
Aedes aegypti dewasa.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu “Uji Efikasi Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa) Sebagai Bioinsektisida Dalam
C. Batasan masalah
Penelitian ini dibatasi pada pengukuran berbagai konsentrasi ekstrak biji
srikaya (Annona squamosa) yang dipaparkan terhadap Aedes aegypti dewasa untuk
mengetahui potensinya sebagai bioinsektisida berdasarkan nilai LC50 dan KT90 dalam
upaya integrated vector management melalui uji efikasi.
D. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah ekstrak biji sikaya (Annona squamosa) berpotensi sebagai
bioinsektisida terhadap Aedes aegypti dalam upaya integrated vector
management?
2. Berapakah lethal concentration 50 (LC50) dari ekstrak biji srikaya (Annona
squamosa) yang dipaparkan terhadap Aedes aegypti pada uji efikasi?
3. Berapakah Knockdown Time 90 (KT90) dari ekstrak biji srikaya (Annona
squamosa) yang dipaparkan terhadap Aedes aegypti pada uji efikasi?
E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Mengetahui potensi penggunaan ekstrak biji srikaya (Annona squamosa)
sebagai bioinsektisida dalam upaya integrated vector management terhadap Aedes
2. Tujuan khusus
1. Mengetahui nilai lethal concentration 50 (LC50) dari ekstrak biji srikaya
(Annona squamosa) yang dipaparkan terhadap Aedes aegypti melalui uji
efikasi.
2. Mengetahui Knockdown Time 90 (KT90) dari ekstrak biji srikaya (Annona
squamosa) yang dipaparkan terhadap Aedes aegypti melalui uji efikasi.
F. Manfaat Penelitian 1. Mahasiswa
Sebagai pembelajaran dan pengamalan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan
lingkungan melalui pemanfaatan bahan-bahan alami seperti tumbuhan dalam
pemberantasan dan pengendalian vektor penyakit khususnya DBD.
2. Masyarakat
Sebagai pengetahuan dan informasi mengenai bahan alami dari tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan sebagai bioinsektisida sebagai pengganti pestisida sintetis dalam
memberantas vektor penyakit DBD.
3. Peneliti Lain
Sebagai pengetahuan, pengalaman, maupun referensi dalam pengembangan penelitian
serupa maupun lanjutan terkait pengendalian vektor dengan menggunakan berbagai
4. Dinas Kesehatan
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam pemecahan masalah dan
pengambilan kebijakan dalam program pengendalian vektor DBD dan melakukan
pengembangan penelitian lanjutan terkait sosialisasi hasil penelitian kepada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aedes aegypti
Aedes aegypti adalah nyamuk yang termasuk dalam subfamili Culicinae,
famili Culicidae. Jenis nyamuk ini dapat membawa virus Dengue penyebab penyakit
demam berdarah dengue (DBD). DBD adalah suatu penyakit yang dapat menyerang
anak-anak termasuk bayi serta orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan demam
mendadak, perdarahan di kulit dan bagian tubuh lainnya, dan dapat menyebabkan
kematian (Ishartadiati, 2012)
1. Taksonomi
Klasifikasi dan identifikasi Aedes aegypti menurut Boror et.al, (1989) dalam
Ishartadiati (2012) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Sub family : Culicinae
Spesies : Aedes aegypti
2. Morfologi
Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan
ukuran nyamuk Culex quinquefasciatus. Memiliki warna dasar hitam dengan
garis-garis putih di bagian badan yaitu pada bagian punggung (mesonotum) dan juga
kakinya. Nyamuk jantan memiliki ukuran yang lebih kecil daripada nyamuk betina
serta terdapat rambut-rambut tebal pada antenanya (Djakaria (2000) dalam
Ishartadiati (2012)).
3. Siklus Hidup a. Telur
Seekor Aedes aegypti betina mampu meletakkan 80-100 butir telur setiap
kali bertelur. Telurnya berbentuk lonjong dengan panjang sekitar 0,6 mm dan
berat 0,0113 mg. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telurnya satu persatu
dengan menempelkannya pada wadah perindukan yaitu wadah yang tergenang
air bersih seperti tempat penampungan air, ruas bambu, lubang pohon, ban bekas,
dan vas bunga (Hoedoyo (1993) dalam Setyowati (2013)).
Telur akan berkembang dan menetas menjadi larva setelah 48 jam dalam
lingkungan yang hangat dan lembab. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam
waktu yang lama dalam kondisi kering yaitu hingga 6 bulan. Setelah itu telur
Meskipun demikian, tidak semua telur dapat menetas dalam waktu yang sama
(WHO/SEARO (1998); Depkes RI (2004)).
b. Larva
Larva Aedes aegypti melalui empat tahap dalam perkembangannya.
Lamanya perkembangan larva tergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan
kepadatan larva dalam wadah. Pada suhu yang rendah, perkembangan larva akan
memerlukan waktu hingga beberapa minggu hingga menjadi dewasa
(WHO/SEARO, 1998).
Dalam keadaan yang optimal, perkembangan larva memelukan waktu 4-8
hari untuk perkembangannya. Larva akan tumbuh menjadi larva instar I, II, III,
dan IV secara berturut-turut. Larva instar I memiliki tubuh yang sangat kecil
dengan panjang 1-2 mm, transparan, duri-duri pada dada belum begitu jelas dan
siphon belum menghitam. Pada larva instar II, tubuhnya lebih besar dengan
panjang 2,5-3,9 mm, duri pada dada belum begitu jelas, dan siphon telah
menghitam. Larva instar IV, tubuh larva telah lengkap. Tubuh larva terdiri atas
kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat antena dan mata sedangkan
pada bagian perut terdapat rambut-rambut lateral, pada segmen kedelapan pada
bagian perut terdapat siphon dan insang (Soegijanto (2006); Sekar Sari (2010);
Setyowati (2013)).
Larva Aedes aegypti bergerak lincah dan sangat sensitif terhadap rangsangan
getar dan cahaya. Saat terjadi rangsangan, larva akan segera menyelam ke dasar
beberapa detik. Larva akan mengambil makanannya di dasar tempat penampungan
air. Makanan larva berupa algae, protozoa, bakteri, dan spora jamur (Ashadi
(1990) dalam Setyowati (2013)).
c. Pupa
Pupa merupakan tahapan yang tidak memerlukan makanan. Pupa nyamuk
bergerak sangat aktif dan dapat berenang dengan mudah saat terganggu. Pupa
bernapas dengan menggunakan tabung-tabung pernapasan yang terdapat pada
bagian ujung kepala. Pupa Aedes akan menjadi dewasa dalam waktu 2-3 hari
tergantung suhu. Saat berubah menjadi stadium dewasa, pupa akan naik ke
permukaan air. Kemudian akan muncul retakan pada bagian belakang permukaan
pupadan nyamuk dewasa akan keluar dari cangkang pupa (Achmadi, 2011).
d. Dewasa
Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa akan beristirahat dalam waktu
singkat untuk mengeringkan sayap dan badan sebelum terbang. Nyamuk jantan
akan muncul sekitar satu hari sebelum kemunculan nyamuk betina. Nyamuk jantan
akan menetap di dekat tempat perindukan, makan dari sari buah tumbuhan dan
kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan,
nyamuk betina akan makan sari buah tumbuhan dan kawin. Setelah kawin nyamuk
4. Tempat Berkembang Biak (Breeding Place)
Aedes aegypti hidup di daerah pemukiman dan berkembang biak pada
genangan air bersih buatan manusia (man made breeding place). Adapun tempat
perindukannya dibedakan menjadi tempat perindukan sementara, tempat perindukan
permanen, dan alamiah. Tempat perindukan sementara antara lain yaitu kaleng bekas,
ban bekas, talang air, vas bunga, dan barang-barang yang dapat menampung air
bersih. Tempat perindukan permanen ialah tempat yang merupakan penampungan air
untuk keperluan rumah tangga seperti bak mandi, gentong air, bak penampung air
hujan, dan reservoir air. Sedangkan tempat perindukan alamiah berupa genangan air
yang terdapat pada lubang-lubang pohon (Chahaya (2003) dalam Ishartadiati (2012)).
5. Perilaku Mencari Makan
Aedes aegypti bersifat diurnal yaitu aktif pada pagi dan siang hari..Nyamuk
yang menghisap darah hanyalah nyamuk betina. Hal tersebut dikarenakan nyamuk
betina membutuhkan protein untuk pembentukan telur setelah kawin. Nyamuk Aedes
aegypti betina memiliki kebiasaan menghisap darah pada pagi dan sore hari yaitu
antara pukul 08.00 hingga 12.00 dan 15.00 hingga 17.00. Jenis darah yang disukai
oleh nyamuk ini ialah darah manusia (Soegijanto (2006) dalam Sekar Sari (2010)).
Setelah menghisap darah, nyamuk betina akan mencari tempat beristirahat
yang aman untuk mengubah darah menjadi telur. Nyamuk betina biasanya beristirahat
di tempat-tempat dengan vegetasi yang padat, lubang-lubang pohon, kandang hewan,
itu nyamuk betina akan terbang dari tempat peristirahatannya pada sore atau malam
hari untuk mencari tempat untuk meletakkan telur. Kemudian nyamuk betina akan
menghisap darah lagi untuk mengulang siklus (Achmadi, 2011).
B. Bioinsektisida
Bioinsektisida merupakan jenis insektisida baru yang memanfaatkan
organisme atau turunannya seperti tumbuhan transgenik, rekombinan Baculovirus,
gabungan racun dari protein dan lemak yang ramah lingkungan dan merupakan suatu
alternatif baru untuk menggantikan bahan kimia konvensional (Windley et.al, 2012).
Sedangkan menurut Georgis (1996), bioinsektisida adalah suatu produk yang
dihasilkan secara alami oleh organisme seperti jamur dan baculovirus; produk yang
dihasilkan oleh serangga seperti feromon; dan produk yang dihasilkan oleh tumbuhan
seperti azadirachtin atau neem.
Tujuan dari pengembangan bioinsektisida adalah untuk membantu
menanggulangi permasalahan lingkungan terkait dengan persistensi, penggunaan
insektisida kimia yang semakin marak, dan menyediakan cara pengendalian baru
terhadap serangga hama yang resisten terhadap insektisida. Selain itu, bioinsektisida
memiliki potensi untuk meningkatkan kemampuan program pengendalian hama saat
ini, dengan menunjukkan hubungan yang sinergis dengan teknik pengendalian hama
1. Bioinsektisida Nabati
Bioinsektisida nabati merupakan bioinsektisida yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat insektisida sehingga mampu membunuh atau menolak
serangga hama. Penggunaan bioinsektisida hayati tumbuhan merupakan salah satu
alternatif pilihan. Secara alamiah nenek moyang telah mengembangkan bioinsektisida
nabati dengan menggunakan tumbuhan yang ada di lingkungan pemukiman. Nenek
moyang memakai bioinsektisida nabati atas dasar kebutuhan praktis dan disiapkan
secara tradisional. Tradisi ini akhirnya hilang karena desakan teknologi yang tidak
ramah lingkungan (Asmaliyah, 2005).
Kearifan nenek moyang bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu
(empon-empon), tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau), tumbuhan
berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak disukai
hewan/serangga atau tumbuhan lain berkemampuan khusus terhadap hama (biji
srikaya, biji sirsak, biji mindi, biji dan daun mimba, dan lain-lain). Bahan tumbuhan
dijamin aman bagi lingkungan karena cepat terurai di tanah dan tidak membahayakan
hewan, manusia dan serangga non-target (Margino et.al, (2002); Asmaliyah (2005)).
Beberapa bioinsektisida nabati yang sudah diaplikasikan pada aras petani,
penelitian laboratorium, dan lapangan, diantaranya mimba (Azadirachtaindica),
mindi (Melia azedarach), sirsak (Annona muricata), tembakau (Nicotianatabacum),
jarak (Ricinus communis), bawang putih (Alliun sativum), Lombok (Capsicum
fructescens), piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium), dan melakuka (Melaleuca
tanaman pertanian, sedangkan pada tanaman kehutanan masih terbatas (Kardinan,
2001).
2. Cara Kerja Bioinsektisida
Menurut Kardinan (2001), senyawa aktif yang terdapat dalam tumbuhan
dapat digunakan sebagai bioinsektisida. Adapun senyawa aktif dalam bioinsektisida
nabati tersebut dapat bersifat sebagai racun kontak, penghambat makan (anti feedant),
penolak (repellent), penghambat pertumbuhan serangga (insect growth inhibitor).
1. Penghambat Pertumbuhan (Insect Growth Regulators)
Efek dari senyawa penghambat pertumbuhan terjadi dalam beberapa tahap.
Pertama, molekul-molekul penghambat pertumbuhan menghambat metamorfosis,
dengan kata lain, molekul tersebut mencegah metamorfosis pada saat yang tepat.
Molekul lain memaksa serangga untuk bermetamorfosis lebih awal sehingga
pemilihan tempat untuk bermetamorfosis tidak sesuai untuk serangga tersebut.
Selanjutnya, beberapa molekul lainnya mempengaruhi hormon yang digunakan
untuk bermetamorfosis sehingga serangga serangga akan mengalami malformasi
yaitu steril, atau mati (Kardinan, 2001).
2. Penghambat makan (Feeding deterrents)
Penghambat makan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan turunan dari
tumbuhan yang digunakan untuk manajemen serangga hama. Penghambat makan
mati.Senyawa yang memiliki sifat seperti ini adalah terpenes dan senyawa yang
umumnya diisolasi dari tumbuhan obat dari Afrika dan India (Kardinan, 2001).
3. Penolak (Repellent)
Penggunaan tanaman sebagai penolak serangga sudah lama diketahui
namun tidak pernah mendapat perhatian khusus untuk dilakukan pengembangan
lebih lanjut. Penggunaan tanaman sebagai repellent umumnya menggunakan
tanaman dengan bau yang tidak enak atau memiliki efek iritan seperti bawang
putih dan cabai. Contoh pemanfaatan kedua tanaman tersebut ialah penggunaan
kedua tanaman tersebut oleh masyarakat Guatemala dan Costa Rika untuk
melapisi kontainer dengan bubuk bawang putih dari serangan kumbang penggerek
dan juga untuk menghalau tikus. Selain itu juga pemanfaatan adas (Foniculum
vulgare), rue (Ruta graveolens) dan eucalyptus (Eucaliptus globolus) untuk
menolak ngengat pakaian (Kardinan, 2001).
4. Pengecoh (Confusants)
Senyawa kimia dalam tumbuhan adalah tanda bagi serangga untuk
menemukan sumber makanan mereka. Seperti pada kupu-kupu raja, dimana
makanan yang dihasilkan oleh tumbuhan mengandung racun yang tinggi bagi
organisme lain namun justru menarik kupu-kupu tersebut karena racunnya.
Karakteristik inilah yang digunakan dalam integrated pest management (IPM)
untuk membuat perangkap dan menyemprotkannya dengan menambahkan
tumbuhan tertentu yang lebih menarik bagi serangga atau tumbuhan yang sama
sumber rangsangan sehingga tidak dapat merusak tumbuhan. Pilihan lainnya yaitu
membuat perangkap yang mengandung ekstrak tumbuhan sehingga serangga akan
hinggap pada perangkap tersebut (Kardinan, 2001).
C. Famili Annonaceae
Annonaceae atau famili apel susu adalah salah satu famili besar dari sebagian
besar tumbuhan tropis dan semak yang terdiri dari lebih dari 2300 jenis. Beberapa
spesies tertentu digunakan secara tradisional sebagai obat cacing dan untuk anti kutu
yang merupakan insektisida yang diperoleh dari ekstrak ranting Asimina triloba
Dunal dan ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L.) dan sirsak (A. muricata L.)
(Rupprecht et.al (1990); McLaughlin et.al (1997) dalam Isman (2005).
McLaughlin dan rekannya secara khusus telah mengisolasi lebih dari 100
asetogenin dengan panjang gugus – C-32 atau C-34 dan mengandung asam lemak
2-propanol. Zat kimia ini secara khusus ditemukan pada Annonaceae tidak hanya
sebagai insektisida, tetapi juga berpotensi sebagai anti-tumor. Asetogenin adalah
racun mitokondria, mencegah produksi energi seluler dengan cara serupa dengan
rotenone yang dikenal sebagai insektisida botani dan racun ikan (McLaughlin et.al
(1997) dalam Isman (2005)).
Pendekatan lain terhadap pemanfaatan zat kimia alami ini adalah penggunaan
ekstrak biji srikaya dan sirsak oleh negara-negara berkembang sebagai pelindung
Indonesia sebagai buah yang dapat dimakan; sedangkan bijinya dimanfaatkan sebagai
insektisida dengan biaya yang minimal (Isman, 2005).
1. Annona squamosa L.
Srikaya merupakan tanaman pendatang yang berasal dari Amerika Latin yaitu
Peru. Buah ini ditemukan oleh para pelaut pengelana dari Eropa. Oleh pelaut Inggris
tanaman ini dinamai sugar apple atau custard apple, yang berarti berasa seperti
puding yang berbentuk seperti apel (Pinto et.al, 2005).
Di Indonesia, srikaya telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda dengan
nama buah nona sri.Srikaya yang tersebar di Indonesia saat ini adalah srikaya lokal
dan srikaya yang berasal dari luar negeri yang telah lama beradaptasi.
2. Nama Tumbuhan
Nama ilmiah : Annona squamosa L.
Nama Local : Arab (gishta); Bengali (ata); Creole (cachiman); Beldana
(kannelappel); Inggris (sweet sop,custard apple,sugar apple); Filipina
(atis); Perancis (cachiman canelle,pomme de cannelle,attier); Jerman
(Rahm-Annone, Rahmapfel, Zimtapfel, Süßsack); India (sitaphal,
ata, sharifa);Indonesia (srikaya, atis); Italia (pomo canella); Jawa
(sirkaja);Khmer (tiep baay,tiep srôk); Laos (Sino-Tibetan) (khièb);
Malaysia (nona srikaya,sri kaya,buah nona); Cina (fan-li-chi);
(cdanongo, chirimoya, fructodoconde, anón, anona blanca, pinha,
saramuya,anona); Swahili (mtomoko, mtopetope); Thailand (lanang
,makkhiap ,noina); Urdu (sharifa); Vietnam (na,mang câú ta) (Orwa
et.al, 2009).
Nama Daerah : Delima bintang (Aceh); Seraikaya (Lampung); Srikaya
(Minangkabau); Srikaya (Sunda); Srikaya (Jawa Tengah); Sarkaya
(Madura); Srikaya (Dayak); Garaso (Bima); Ata (Timor); Sirikaya
(Gorontalo); Atis (Manado); Sirikaya (Bugis); Sirikaya (Makasar);
Atisi (Halmahera); Atis (Ternate); dan Atis (Tidore) (Setiawati et.al,
2008).
3. Taksonomi
Klasifikasi srikaya (Annona squamosa L) menurut Setiawati et.al (2008) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Ranunculales
Suku : Annonaceae
Marga : Annona
4. Ciri-ciri Tanaman
Annona squamosa adalah tumbuhan kecil dengan tinggi 3-7 meter, kulit
pohon tipis, percabangan tidak beraturan, kulit kayu berwarna cokelat muda dengan
lentisel dan kulit kayu bagian dalam berwarna kuning cerah dan sedikit pahit, daun
tunggal, bertangkai kaku, letaknya berseling. Helai daun berbentuk lanset atau
lonjong lanset dengan panjang 6-17 x 3-6 cm, ujung dan pangkal daun runcing, dasar
lengkung, tepi rata, berwarna hijau pucat pada kedua permukaannya, sedikit berambut
atau gundul. Rasanya pahit dan sedikit dingin. Panjang tangkai 0,4-2,2 cm (Orwa
et.al, 2009).
Bunga bergerombol pendek menyamping dengan panjang sekitar 2,5 cm,
dengan jumlah 2-4 kuntum berwarna kuning kehijauan yang saling berhadapan pada
tangkai kecil panjang berambut dengan panjang ± 2 cm, tumbuh pada ujung tangkai
atau ketiak daun. Daun bunga bagian luar berwarna hijau, ungu pada bagian bawah,
membujur dengan panjang 1,6-2,5 cm, lebar 0,6-0,75 cm. Daun bunga bagian dalam
sedikit lebih kecil atau sama besar. Terdapat banyak serbuk sari, bergerombol putih,
panjang kurang dari 1,6 cm, putik berwarna hijau muda. Tiap putik membentuk
semacam benjolan, panjang putik 1,3-1,9 cm dan lebar 0,6-1,3 cm yang tumbuh
menajdi kelompok-kelompok buah (Orwa et.al, 2009).
Buah majemuk berbentuk bola atau kerucut menyerupai jantung, permukaan
berbenjol-benjol, warna hijau berbintik putih, penampang 5-10 cm, menggantung
dengan yang lain, berwarna hijau kebiruan. Daging buah berwarna putih kekuningan
dan terasa manis. Biji membujur di setiap karpel, berwarna coklat tua hingga hitam
dengan panjang 1,3-1,6 cm (Orwa et.al, 2009).
5. Daerah Distribusi dan Habitat
Tanaman srikaya (Annona squamosa) tumbuh di dataran rendah sampai
ketinggian 1000 m dari permukaan laut, terutama tanah berpasir sampai
tanah-tanah lempung berpasir dengan system drainase yang baik pada pH 5,5 - 7,4.
Tumbuhan ini menyukai iklim panas, tidak terlalu dingin atau banyak hujan.
Tanaman ini tumbuh baik pada berbagai kondisi tanah yang tergenang dan
beradaptasi baik terhadap iklim lembab dan panas. Tanaman ini tahan kekeringan dan
akan tumbuh subur bila mendapat pengairan yang cukup. Di Jawa, tanaman ini
ditanam sebagai tanaman buah (Sastrahidayat et.al (1991); George et.al (1992) dalam
Setiawati et.al (2008)).
6. Kandungan Kimia
Tanaman srikaya mengandung squamosin, asimisin, aterospermidin,
lanuginosin, alkaloid tipe asporfin (anonain) dan bisbenziltetrahidroisokinolin
(retikulin). Selain itu, pada organ-organ tumbuhan ditemukan senyawa sianogen
Pada pulpa buah yang telah dimasak ditemukan mengandung sitrulin, asam
aminobutirat, ornitin, dan arginin. Sedangkan pada biji terkandung senyawa
poliketida dan suatu senyawa turunan bistetreahidrofuran; asetogenin (skuamosin C,
D, anonain, anonasin A, anonin I, IV, VI, VIII, IX, XVI, skuamostatin A, bulatasin,
bulatasinon, skuamon, neoanonin B, neo desasetilurarisin, neo retikulasin A,
skuamosten A, asimisin, sanonasin, anonastatin, neoanonin), diterpen, dan saponin.
Isolasi dari biji didapati sekitar 30 jenis asetogenin seperti coumarinoligan,
annotemoyin-1, annotemoyin-2, cholesterol, danglukopiranosida yang bersifat
antimikobial dan sitotoksik (Anonim (2011) dalam Riata dan Anindyajati (2012)).
Zat asetogenin seperti annonin atau annonasin, bulatasin, bulatasinon,
skuamosin, asimisin, dan annonastatin merupakan kandungan kimia yang terpenting
yang terdapat pada biji. Zat-zat tersebut memiliki efek toksik ketika dimakan oleh
serangga dan dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi
serangga. Sitotoksik anonin dapat menyebabkan 70% kematian Aedes aegypti dengan
konsentrasi 10 ppm. Hal tersebut terjadi karena zat anonin bekerja dengan
menghambat pernapasan Aedes aegypti (Londershausen et al. (1991) dalam Pinto
et.al (2005)).
Sedangkan senyawa asetogenin lainnya, seperti asimisin dan squamosin
bekerja dengan cara menghambat respirasi sel pada transpor elektron di dalam
mitokondria sehingga menyebabkan habisnya cadangan energi (Zafra-Paolo et.al
Senyawa asetogenin lainnya seperti asimisin efektif terhadap serangga hama
seperti A. aegypti, A. vittatum, A. gossypii, Colliphora vicina, Epilachna varivertis,
Tetranychus urticae, dan nematoda Caenohrbiditis elegans. Senyawa tersebut
diketahui memiliki 256 isomer dimana bulatasin ialah komponen yang paling toksik.
Bulatasin dapat menyebabkan 80% kematian A.aegypti, A. gossypii dan Diabrotica
undecimpunctata dengan konsentrasi 1, 10, atau 24 ppm secara berturut-turut. Isomer
lain yang juga memiliki sifat toksik yang tinggi ialah bulatasinon. Beberapa isomer
dari asetogenin tersebut bisa digunakan sebagai repelent (Li et.al (1990); Herndanez
dan Angel (1997) dalam Kulsum (1998)).
Selain itu, pada biji juga ditemukan asetogenin seperti skuamosinin A,
skuamosin B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N; skuamostatin B, asam lemak, asam
amino, dan protein. Komposisi asam lemak penyusun minyak lemak biji srikaya
terdiri dari metal palmitat, metal stearat, metil linoleat (Riata dan Anindyajati, 2012).
Pada daun terdapat kandungan senyawa alkaloid tetrahidroisokuinolin,
p-hidroksibenzil-6-7-dihidroksi-1,2,3,4-tetrahidroisokinolin (dimetilkoklaurin =
higenamin). Bunga mengandung asam kaur-1,6-ene-1,9-oat sebagai komponen aktif.
Akarnya mengandung senyawa flavonoid, borneol, kamfer, terpen, alkaloid anonain,
saponin, tannin, dan polifenol, kulit kayu mengandung flavonoid, borneol, kamfer,
7. Efektitivas Insektisida
Wardhana et.al (2004) mengemukakan bahwa biji srikaya mengandung
squamosin dan annonain yang merupakan golongan asetogenin. Dimana kedua
senyawa tersebut berpengaruh terhadap saluran cerna larva serta dapat menghambat
pertumbuhan larva lalat Chrysoma bezziana.
Penggunaan ekstrak biji srikaya sangat nyata mempengaruhi aktivitas makan
ulat krop kubis. Konsentrasi tertinggi (15 cc/l) nyata mengurangi selera makan
serangga uji. Penurunan aktivitas makan serangga uji terlihat pada peningkatan
konsentrasi ekstrak dari 3-15 cc/l persentase penurunannya sebesar 91,99-97,87
persen. Dimana hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak
menyebabkan kondisi tubuh ulat semakin lemah dan berakibat turunnya nafsu makan
(Herminanto, et.al, 2004).
Biji srikaya bersifat efek racun kontak yang efektif terhadap larva B.
microplus pada konsentrasi 5% (ekstrak air); 0,50% (ekstrak metanol) dan 0,75%
(ekstrak heksana). Ekstrak metanol biji srikaya (tanpa kulit) mempunyai nilai
konsentrasi letal lebih rendah dan waktu letal yang lebih pendek daripada ekstrak
heksana (Wardhana et. al. 2005).
Formulasi campuran ekstrak Piper retrofractum dan Annona squamosa serta
campuran ekstrak Aglaia odorata dan Annona squamosa menunjukkan efikasi yang
tinggi dan lebih efektif dibandingkan deltamethrin. Diantara kedua formulasi tersebut
campuran Piper retrofractum dan Annona squamosa 0,1% lebih efektif terhadap
odorata dan Annona squamosa 0,1% menunjukkan efektivitas yang sama terhadap
terhadap larva P.xylostella dan larva C. pavonana. Pengujian dengan kedua
formulasi tersebut menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengurangi kerusakan
pada kubis dibandingkan dengan penggunaan deltametrin. Selain itu pengujian
dengan formulasi campuran Piper retrofractum dan Annona squamosa 0,1% dapat
meningkatkan produksi hasil panen kubis (Dadang et.al, 2009).
Dari suatu studi yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas potensi
insektisida ekstrak biji srikaya (Annona squamosal L.) terhadap larva dan kumbang
Tribolium castaneum dewasa dari strain Raj, CR 1, FSS II, dan CTC-12, diketahui
bahwa ekstrak biji srikaya dalam pelarut spirtus memiliki toksisitas paling tinggi
terhadap strain Raj (LD50 = 0,03µg cm-2) dibandingkan dan toksisitas terendah yaitu
pada pelarut methanol terhadap strain FSS II (LD50 = 15,697µg cm-2). Begitu pula
dengan hasil pengujian terhadap kumbang Tribolium castaneum dewasa, ekstrak biji
srikaya dengan pelarut spirtus memiliki tingkat toksisitas tertinggi terhadap strain
CTC-12 sementara toksisitas terendah yaitu pada pelarut aseton terhadap strain CR1.
(Khalequzzaman dan Sultana, 2006).
Hasil pengujian dari ekstrak etanol dari biji Annona squamosa dan Annona
muricata terhadap Spodoptera litura, diketahui bahwa ekstrak etanol biji Annona
squamosa 20 kali lebih efektif dibandingkan ekstrak etanol biji Annona muricata.
(Leatemia dan Isman, 2004).
Menurut Londerhausen et al.(1991) dalam Kulsum (1998), terdapat tiga
III, dan annonin IV. Annonin I lebih efektif dibandingkan dengan annonin lainnya.
Gejala yang dapat dilihat setelah aplikasi terhadap serangga uji adalah serangga
berkurang keaktifannya.
D. Uji Toksisitas
1. Lethal Concentration 50 (LC50)
LC50 (Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan
perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96
jam sampai waktu hidup hewan uji (Dhahiyat dan Djuangsih (1997) dalam Rossiana
(2006)) .
Uji toksisitas dibedakan dalam beberapa klasifikasi. Klasifikasi menurut
waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term bioassay), jangka menengah
(intermediate bioassay) dan uji hayati jangka panjang (long term bioassay).
Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji
hayati statik (static bioassay), pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow
trough bioassay). Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah
pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan
toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan organisme uji. Adapun untuk mengetahui
nilai LC50 digunakan uji statik. Dalam penentuan nilai LC50 terbagi dalam dua tahapan
Uji Pendahuluan. Untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian
terkecil mendekati 50%.
Uji Lanjutan. Setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan konsentrasi akut berdasarkan seri logaritma konsentrasi yang dimodifikasi (Rochini et. al.
(1982) dalam Rossiana (2006)).
2. Knockdown Time 90 (KT90)
Knockdown Time 90 (KT90) atau waktu jatuh 90 ialah waktu yang dibutuhkan
untuk dapat menyebabkan hingga 90% kejatuhan pada hewan uji (Komisi Pestisida,
2012).
Berdasarkan kriteria efikasi oleh Komisi Pestisida, suatu formulasi akan
dinyatakan efektif apabila Knockdown Time 90 (KT90) paling lama 30 menit untuk
formulasi waterbase.
E. Uji Efikasi Insektisida
Uji efikasi merupakan suatu proses pengujian obat atau bahan kimia untuk
mengetahui manfaatnya terhadap kesehatan dengan menggunakan placebo atau
hewan uji yang diujikan dalam kondisi yang ideal seperti uji coba klinik yang
Uji efikasi insektisida adalah suatu pengujian kekuatan atau daya bunuh
insektisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor secara kimiawi terhadap
nyamuk maupun larva atau jentik (Kustiamah, 2010).
Kriteria efikasi insektisida yang dilakukan di laboratorium ditentukan
berdasarkan persentase kelumpuhan dan kematian serangga uji pada periode waktu
tertentu. Koreksi angka kelumpuhan dan kematian dilakukan apabila angka
kelumpuhan dan kematian pada kelompok kontrol berkisar antara 5%-15%. Yaitu
dengan menggunakan rumus Abbott (Komisi Pestisida, 2012) :
A1 = (�−�)
100−� × 100%
Keterangan :
A1 = angka kematian/kejatuhan setelah dikoreksi
A = angka kematian/kejatuhan pada perlakuan
C = angka kematian/kejatuhan pada kontrol
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi daya atau kekuatan insektisida
antara lain (Dadang, 2006) :
a. Intrinsik
Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari dalam insektisida itu sendiri yaitu kandungan senyawa, organisme sasaran, dosis, konsentrasi, dan formulasi.
b. Aplikasi
Faktor aplikasi antara lain alat aplikasi, waktu aplikasi, cara aplikasi, cara pencampuran, dan cara penyimpanan.
c. Ekstrinsik
F. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan komponen-komponen dari
suatu bahan dimana komponen yang diinginkan akan larut ke dalam pelarut yang
dipakai sedangkan komponen yang tidak larut akan tertinggal didalam bahan. Hasil
ekstraksi (simplisia) yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang
terdapat pada bahan tersebut dan jenis pelarut yang digunakan. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kapasitas, kemudahan
pelarut tersebut untuk diuapkan. Dalam proses ekstraksi terdapat suatu prinsip
kelarutan yang harus diperhatikan yaitu “like dissolve like”. Prinsip tersebumaksud
dari prinsip tersebut ialah (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian
juga sebaliknya pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa non-polar, (2) pelarut
organik akan melarutkan senyawa organik (Khopkar (1990) dalam Yunita (2004)).
Metode ekstraksi yang umum untuk mengekstrak bahan insektisida botani
ialah ekstraksi dengan pelarut dan distilasi uap (penyulingan) dengan metode
sokhlet. Tujuan metode ekstraksi ini adalah mengeluarkan bahan yang diinginkan dari
sel-sel yang terkandung dalam bahan dengan proses difusi. Hasil ekstraksi yang
diperoleh dari proses ini dipengaruhi oleh suhu, pH, ukuran bahan yang akan
diekstraksi dan gerakan pelarut yang terjadi di sekitarnya (Darwiati (2009).
Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstraksi biasanya membutuhkan
serangkaian ekstraksi yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Adapun
adalah umur, tempat tumbuh, genetik, jenis pelarut yang digunakan dan kecepatan
pertumbuhan (Fengel dan Wegener (1995) dalam Darwiati (2009)).
G. Integrated Vector Management
Integrated Vector Management (IVM) atau pengendalian vektor terpadu
adalah proses pengambilan keputusan yang rasional untuk optimisasi penggunaan
segala sumber daya dalam pengendalian vektor. Tujuan dari pendekatan IVM ialah
untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan global dalam pengendalian penyakit
akibat vektor dengan membuat pengendalian vektor yang lebih efisien, ekonomis,
ramah lingkungan dan berkelanjutan. Penggunaan IVM membantu program
pengendalian vektor untuk menemukan dan menggunakan lebih banyak temuan
lapangan untuk meningkatkan intervensi yang tepat dan bekerja sama dengan sektor
kesehatan dan sektor lain seperti rumah tangga dan masyarakat (WHO, 2012).
Konsep pengendalian vektor terpadu serupa dengan konsep pengendalian
hama terpadu yaitu dengan mengintegrasikan cara-cara pengendalian yang potensial
secara efektif, ekonomis dan ekologis untuk menekan populasi serangga vektor pada
aras yang dapat ditoleransi. Konsep pengendalian tersebut dapat diterapkan pada jenis
serangga vektor penyakit lain selain Ae. Aegypti dan Ae. Abopictus yang berhubungan
dengan penyakit tular vektor pada manusia (Oka (1995) dalam Supartha, 2008).
Di Amerika, cara pengendalian terpadu vektor tersebut dikonsepkan tidak
hanya untuk vektor DBD yang ditularkan oleh Ae. Aegypti tetapi juga untuk
lalat dengan pertimbangan matang melalui fisik, kimia dan hayati (Lloyd (2003)
dalam Supatha (2008)).
Prinsip dasar IVM adalah surveilans epidemiologi dan entomologis,
manajemen lingkungan sehat, kajian bioekologi serangga vektor, sosialisasi dan
program aksi kesehatan lintas instansi, partisipasi aktif masyarakat. Prinsip tersebut
juga menyangkut usaha mencari dan menyusun cara-cara alternatif yang kompatibel
dan efektif mengendalikan vektor dan penyakit (Supartha, 2008).
Pendekatan IVM menyediakan beragam alternatif biologis yang dapat
digunakan sebagai pengganti bahan kimia antara lain pengendalian biologis,
biopestisida, botanikal, semi-kimia, dan organisme transgenik. Dari beberapa jenis
pengendalian tersebut, metode pengendalian biologis dan biopestisida ataupun
botanikal adalah metode yang paling sering digunakan sebagai pengganti penggunaan
pestisida kimia (SP-IPM, 2006).
H. Pola Air Tanah
Proses alami yang berpengaruh terhadap perjalanan pestisida dalam tanah
dapat dikelompokkan antara lain luas penyerapan, pencucian, penguapan, degradasi
dan penyerapan oleh tanaman. Banyak senyawa pestisida terserap oleh tanaman atau
partikel tanah liat dan material organik pada tanah. Tetapi sebagian senyawa pestisida
yang tidak terserap akan menguap melalui permukaan daun, partikel tanah, dan
kelembaban tanah. Penurunan senyawa pestisida di dalam tanah disebabkan oleh
memecah senyawa pestisida menjadi komponen-komponen kecil seperti amonia dan
kabon dioksida (UNEP, 2003).
Proses pelemahan senyawa pestisida pada tanah seperti penyerapan,
penguapan dan degradasi sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah. Daerah yang
memiliki kontur tanah liat dan bahan organik serta populasi mikroba aktif dengan
kadar tinggi lebih cepat mengurai residu pestisida dibandingkan dengan jenis tanah
lainnya. Meskipun jumlah residu pestisida di tanah dapat berkurang akibat proses
degradasi, namun sebagian residu tersebut dapat bergerak masuk ke dalam
permukaan air tanah (UNEP, 2003).
Sistem air tanah merupakan sistem yang dinamis dimana air tanah secara terus
menerus bergerak turun secara perlahan dari daerah yang terisi penuh yaitu daerah
dengan permukaan yang lebih tinggi ke daerah dengan air tanah yang lebih sedikit
seperti dataran rendah. Pada sistem akuifer yang lebih besar, dibutuhkan waktu
puluhan hingga ratusan tahun agar air bisa melewati lapisan subterania dalam siklus
hidrologi. Sedangkan pada lapisan batuan kapur kecepatan pergerakan air dapat
mencapai hingga beberapa km/jam (UNEP, 2003).
Karakteristik hidrolik beberapa jenis akuifer, khususnya bentuk patahan,
aliran air, serta daya serap tanah dapat menaikkan kecepatan pergerakan pestisida dari
permukaan tanah untuk masuk ke dalam zona air tanah dangkal. Evaluasi potensi
pencemaran pestisida pada air tanah tergantung pada banyaknya senyawa pestisida
yang mengalami pencucian ke dalam air tanah. Konsentrasi dan waktu yang
tergantung pada jumlah residu, jenis senyawa pestisida, kondisi cuaca saat
pengaplikasian dan frekuensi aplikasi, afinitas karbon organik, bentuk molekul dan
struktur pestisida, mobilitas dan persistensi senyawa dan kondisi hidrogeologis
I. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori
(Londershausen et.al (1991) dan Prijono (1994) dalam Wardhana et. al (2004);
Kardinan, 2001)
Menghambat respirasi sel pada mitokondria Aedes
aegypti
KT90 dan LC50
Ae. aegypti Mengurangi aktivitas makan
Ades aegypti
Racun kontak Anti feedant
Lethal Aedes aegypti Inaktivasi Aedes
aegypti
Fumigant Ekstrak Biji Srikaya
BAB III
ALUR PENELITIAN, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
A. Alur Penelitian
10 ekor Aedes aegypti dewasa dimasukkan ke tiap kotak perlakuan hingga berusia 2-5 hari dengan diberi makan larutan gula Aplikasi spraying terhadap Aedes aegypti
Observasi & analisis Aedes aegypti yang jatuh setiap 10 menit selama 60 menit
Analisis efikasi KT90 dan LC50
B. Definisi Operasional
TABEL 3.1
DEFINISI OPERASIONAL
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur distilasi uap dan diencerkan dengan pelarut heksana hingga didapat konsentrasi yang
Aedes aegypti dewasa berusia 2-5 hari yang dipelihara dari telur dan diberi makan larutan gula.
3.
Waktu yang dibutuhkan untuk dapat menyebabkan hingga 90% kejatuhan dari hewan uji (Komisi setelah diberi perlakuan dari berbagai konsentrasi ekstrak biji srikaya
Observasi Lembar
C. Hipotesis
1. Ekstrak biji srikaya (Annona squamosa) berpotensi sebagai bioinsektisida
dalam upaya Integrated Vector Management terhadap Aedes aegypti.
2. Ekstrak biji srikaya (Annona squamosa) berpotensi sebagai bioinsektisida
terhadap Aedes aegypti berdasarkan nilai LC50 pada uji efikasi.
3. Ekstrak biji srikaya (Annona squamosa) berpotensi sebagai bioinsektisida