• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teologi ulama tasawuf di nusantara abad ke-17 sampai ke-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teologi ulama tasawuf di nusantara abad ke-17 sampai ke-19"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kecenderungan untuk meneliti tentang tasawuf dan tokohnya dari aspek teologi belum banyak dilakukan. Padahal konsep tasawuf tidak bisa terpisahkan dari ajaran teologi. Apabila diperhatikan, kajian-kajian mengenai kesufian lebih cenderung kepada konsep sufi sebagai suatu ilmu tersendiri. Hal ini diterapkan baik pada tema-tema yang dikaji, maupun pada tokoh yang dikemukakan. Hal tersebut terlihat dari kajian

waḥdat al-wujūd, tazkiyat al-nafs, rūḥ, waḥdat al-adyān, konsep tarekat, insān kāmil, interpretasi, dan tema lainnya yang menjadi icon

pembahasan. Tema-tema tersebut dapat dilihat dari Alone to Alone karya

Henry Corbin yang banyak diminati peneliti Ibn ‘Arabī (638 H.), Falsafat al-Ta'wīl karya Naṣr Ḥāmid, dan A Mystical Philosophy of Muḥyiddīn Ibn ‘Arabī karya Abū al-‘Alá Afīfī.

Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa penelitian yang menyentuh seluruh aspek dalam ranah kesufian masih belum komprehensif. Di sisi lain, ketika tema-tema yang disebutkan di atas banyak digeluti, kajian terhadap aspek akidah atau teologi yang dianut seorang sufi terkesan diabaikan. Padahal aspek teologi bagi para tokoh sufi menjadi konsep sentral dan vital, walaupun terdapat pandangan Frithjof Schuon penulis

The Transcendent Unity of Religions yang lebih menonjolkan kesatuan

agama-agama. Ini dikarenakan Ia mencoba melakukan pendekatan ontologis terhadap konsep “Kebenaran” (Truth),1 sehingga terkesan

berusaha keras mengangkat “sekat-sekat” teologis yang ekslusif. Begitu juga, Ignaz Goldziher tampak lebih cenderung memahami konsep kesufian dari aspek pluralisme keagamaan. Ignaz menilai bahwa

1 Frithjof Schuon,

The Transcendent Unity of Religions, (London: Faber and

Faber Limited, t.th), 15. Aḥmad Amīn menilai bahwa dalam sejarah terdapat Ikhwān

al-ṣafā yang juga menggunakan pendekatan ontologis dalam kajian spiritual. Hal ini terlihat dari keyakinan pluralitas yang mereka anut dengan memadukan ajaran aliran pemikiran dan ajaran agama apa pun. Selain nabi-nabi yang dikenal di kalangan agama Semit, tokoh seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Zoroaster juga diyakini sebagai nabi. Lihat, Aḥmad Amīn, Ẓuhr al-Islām, (Beirut: Dār al-Kutub, 2007), 2/112 dan 114. Oleh

karena itu, ditemukan ungkapan mereka bahwa:

ﻞﻛﻭ ﻥﺎﻳﺩﻷﺍ ﺖﺴﻴﻟ ﻻﺇ ﺎﻗﺮﻁ ﻞﺻﻮﺗ ﻰﻟﺇ ﺔﻳﺎﻏ ،ﺓﺪﺣﺍﻭ ﻑﻼﺨﻟﺍﻭ ﻰﻓ

ﻲﻣﺎﺳﻷﺍ

(2)

tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabī2 dan Jalāl al-Dīn al-Rūmī telah melangkah dan menembus batas-batas teologis. Hal ini, ungkap Ignaz, terlihat dari konsep “agama cinta” yang ia korelasikan antara Ibn ‘Arabī dan Rūmī.3 Bahkan, Ignaz mengemukakan perbedaan utama yang menunjukkan keterpisahan aspek kesufian dan teologi di kalangan Muslim. Ia berpandangan bahwa para teolog Muslim hanya mendapatkan ilmu pengetahuan dengan bangunan teori spekulatif, sedangkan para sufi memperolehnya dengan cara lain, yaitu intuisi. Literatur ilmu kalam malah dianggap asing di kalangan sufi (alien to them).4 Perspektif yang

dibangun Ignaz, tampak memisahkan aspek teologis dari konsep kesufian. Di samping itu, hal lain yang dapat ditemukan adalah penegasan status teologi yang dianut sangat berpengaruh terhadap perolehan kualitas rohani seorang sufi, walaupun banyak teori yang menyebutkan bahwa kesufian bebas dari nilai dan status teologi. Hal ini terlihat dari bagian pertama dari al-Futūḥāt al-Makkīyah karya Ibn ‘Arabī> yang

menjelaskan aspek teologi sebelum jauh membicarakan tentang tasawuf. Begitu juga al-Sha‘rānī (973 H.) yang mengemukakan aspek akidah

2 Karya Ibn ‘Arabī yang biasa dijadikan untuk tema pluralisme adalah Tarjumān al-Ashwāq, (Beirut: al-Maṭba‘ah al-Unsīyah, 1312 H.), 39-40. Penilaian

berdasarkan ontologis ini didukung oleh Martin Lings. Martin mengatakan bahwa semua ajaran mistik adalah bertujuan sama, yaitu mencapai satu kebenaran yang ia sebut dengan the One Truth. Martin Lings, What Is Sufism, (London: Unwin Paperbacks,

1981), 22.

3 Ignaz Goldziher,

Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton: Princeton University Press), 152. Anggapan tersebut diamini oleh ‘Irfān ‘Abd al-Majīd Fattāḥ seorang peneliti tasawuf di Universitas Kuwait. Ia menilai bahwa agama Ibn ‘Arabī adalah “agama cinta” sebagaimana diungkapkannya dalam Tarjumān al-Ashwāq.

‘Irfān ‘Abd al-Majīd, Nash’at al-Falsafah, 83. Ibn ‘Arabī mengatakan:

ﻦﻳﺩﺃ ﻦﻳﺪﺑ ﺐﺤﻟﺍ ﻰﻧﺃ ﺖﻬﺟﻮﺗ ﻪﺒﺋﺎﻛﺭ ﺐﺤﻟﺎﻓ ﻲﻨﻳﺩ ﻲﻧﺎﻤﻳﺇﻭ

“Aku beragama dengan agama cinta, kemana pun kendaraannya menghadap maka cinta adalah agamaku dan imanku”. Lihat Ibn ‘Arabi>, Tarjumān al-Ashwāq,

(Beirut: al-Maṭba‘ah al-Unsīyah, 1312 H.), 40.

Tetapi tampaknya penilaian tersebut terlihat tergesa-gesa dan belum menampilkan ungkapan Ibn ‘Arabi> yang lain secara lengkap. Ini dikarenakan ia juga mengatakan bahwa.

ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻟﺎﺑ ﻲﻨﻳﺩ ﺫﺇ ﻦﻳﺩﺃ ﻪﺑ

...

ﻞﻬﺠﻟﺍﻭ ﻦﻴﻌﻟﺎﺑ ﻲﻧﺎﻤﻳﺇ ﻱﺪﻴﺣﻮﺗﻭ

“Aku beragama dengan mengenal Allah, sedangkan kebodohan terhadap zat-Nya adalah iman dan tauhidku”. Lihat, Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkīyah, bab ke 72

al-ḥajj wa Asrāruhu al-Hadīth al-Thānī wa-Thalāthūn. Sayang sekali, ungkapan ini tidak begitu dipertimbangkan untuk tidak hanya mengatakan “agama cinta”, tetapi ia juga menggagas “agama ilmu”. Agama dalam pengertian ini bukan berarti Ibn ‘Arabī

membuat memeluk agama-agama baru.

4 Ignaz Goldziher,

(3)

dengan sebutan ‘Aqīdat al-Qawm (akidah kaum sufi) pada kitab al-Anwār al-Qudsīyah.5 Bahkan al-Sha‘rānī merumuskan teologi yang tidak

terpisahkan dari aspek kesufian dalam kitabnya, al-Yawāqīt al-Jawa>hir fī ‘Aqā’id al-Kabā’ir.

Adapun pandangan Abū al-‘Alá ‘Afīfī mengenai hal ini terdapat dalam karyanya, A Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn ‘Arabī> tidak

sepenuhnya benar. Afīfī menuturkan bahwa ia menulis buku tersebut karena terpacu dari karya-karya sarjana Muslim klasik yang lebih cenderung menulis tentang aspek ortodoks atau heterodoks Ibn ‘Arabī. Ia berpandangan bahwa masih banyak aspek esoteris yang luput dari objek kajian. Kenyataan tersebut tampaknya sudah mulai berbeda, bahkan terbalik dari kesimpulan Afīfī. Hal ini terlihat dari penelitian-penelitian tentang kajian sufi, terutama Ibn ‘Arabī lebih cenderung kepada aspek kesufian dan mengabaikan aspek teologi.

Sementara itu, penulis-penulis dari kalangan sufi pun, seperti ‘Abd al-Majīd al-Khālidī (1319 H.), malah berpandangan bahwa seseorang tidak akan sampai (wuṣūl) kepada Allah kecuali berakidah yang

benar. Akidah yang benar menjadi syarat pertama seseorang wuṣūl

kepada Allah. Adapun akidah yang benar bagi ‘Abd al-Majīd adalah akidah ahl al-sunnah berdasarkan manhaj Ash‘arīyah dan Mātūrīdīyah.P5F

6

P

Hal ini dikuatkan oleh Muḥammad Gumushkhānawī yang berpandangan bahwa wuṣūl (prinsip) utama kesufian adalah berpegang kepada akidah ahl al-sunnah. Hal tersebut berbeda dengan Mullā ṣadra yang cenderung

mengutamakan teologi Shī‘ah yang ia anut. ṣadra menegaskan bahwa siapa yang tidak cinta kepada ahl al-bayt maka tidak akan sampai ke

hadirat Allah. Begitu juga, Muḥammedī seorang cendikiawan Muslim Shī‘ah menegaskan bahwa kemurnian teologis merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai ma‘rifah.P6F

7

PMuḥammedī menekankan bahwa

pertanyaan pertama yang akan dikemukakan kepada seseorang adalah

5 Al-Sha‘rānī,

al-Anwār al-Qudsīyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmīyah, 1992), 13. Bandingkan dengan ungkapan al-Qushayrī jauh sebelum al-Sha‘rānī, menyebut akidah sufi dengan term aqā’id al-ṭā’ifah (akidah golongan sufi). al-Qushayrī>, al-Risālah al-Qushayrīyah. (Kairo: al-Maktabat al-Risālah, t.th.), 22.

6 ‘Abd al-Majīd,

al-Sa‘ādah al-Abadīyah, (Istanbul: Hakekat Kitabevi, 1997),

8. Tokoh Naqshabandi lain seperti Muḥammad bin Sulaymān al-Baghdādī murid Mawlānā Khālid pembaharu tarekat Naqshabandi juga mengatakan hal yang sama bahwa hanya Ahl al-Sunnah yang akan sukses dalam mencapai ma‘rifat dan hikmah yang luhur. Muḥammad bin Sulaymān al-Baghdādī, al-Hadīqah al-Nadīyah, (Istanbul: Hakekat

Kitabevi, 1997), 2.

7 Muammed Muamedi Re Shahrī,

Mabānī al-Ma‘rifah, alih bahasa dari

(4)

apakah status akidahnya?, bukan bagaimana amalannya. Selain itu, ia mengemukakanbahwa ada korelasi antara kejahilan dalam akidah dengan kekufuran. Berdasarkan hal ini, ia menegaskan bahwa inti utama dari penyimpangan teologis adalah kejahilan, sebagaimana inti utama dari keteguhan iman adalah pengetahuan.8

Di dalam teologi Shī‘ah, para penapak jalan spiritual yang akan berbahagia kelak di akhirat hanyalah para pengikut ‘Alī atau Shī‘ah itu sendiri.P8F

9

P

Bahkan, al-Zarandī (757 H.) menyimpulkan dari penukilannya terhadap pandangan Abū Manṣūr bin Ziyād (418 H.) bahwa tradisi spiritual Islam dalam formulasi tasawuf pertama kali dimunculkan oleh kalangan ahl bayt, lebih tepatnya adalah Zayn al-‘Ābidīn.P9F

10

P

Namun ironis, terdapat kritikan tajam dari pemuka Shī‘ah terhadap para tokoh dari kalangan Shī‘ah dan Sunni yang cenderung kepada tradisi kesufian. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Muḥammad al-ḥirr al-‘Āmilī (1102 H.) dengan karyanya Risālat al-Itsná ‘Asharīyah fī al-Radd ‘alā al-ṣūfīyah. Judul yang dipilih al-ḥirri tampak sangat puritan

terhadap kalangan sufi. Al-ḥirri menilai bahwa konsep teologi ḥulūl, ittiḥād dan waḥdat al-wujūd merupakan konsep yang fallac (keliru). Ia

menegaskan bahwa berpijak dengan tiga konsep tersebut merupakan kebatilan. Bahkan, al-ḥirri memastikan bahwa konsep maḥabbah dalam

tasawuf merupakan sia-sia.P10F

11

P

Ia juga menganggap bahwa konsep kashf

(penyingkapan rohani terhadap alam ghaib) merupakan ilusi yang bertentangan dengan teologi yang murni.P11F

12

P

Berdasarkan hal tersebut, maka wajar jika ditemukan ungkapan teolog Shī‘ah bahwa kelompok teolog yang selamat dan sampai kepada Allah adalah Shī‘ah itu sendiri.P12F

13

P

Penekanan terhadap kemurnian teologi juga diperoleh dari al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabī yang pernah menegaskan bahwa seseorang

yang berakidah menyimpang, seperti ḥulūl (Allah menempati sesuatu),

8 Muammed,

Mabānī al-Ma‘rifah, 58. 9 Mujtabá al-Musāwī al-Larrī,

Dirāsat fī Usus al-Islām, (t.p.: Markaz

al-Thaqāfah Nashr al-Islām fī al-‘Ālam, 1998), 338.

10 Jamāl al-Dīn al-Zarandī,

Ma‘ārij al-Wuṣūl, tahqiq: Muḥammed Kāẓim

al-Maḥmoudī, (t.p.: Majma‘ al-Thaqāfat al-Islāmīyah, 1425 H.), 115.

11Muammad al-irrī al-‘Āmilī,

Risālat al-Ithná ‘Asharīyah fī al-Radd ‘alá al-ṣūfīyah, (Qum: al-Mathba‘ah al-‘Ilmīyah, t.th.), 57.

12 Muammad al-irrī al-‘Amilī,

Risālat, 81-87. 13 Ma‘an al-Amīn al-Anṭākī,

(5)

berarti agamanya ma‘lūl (sakit).14 Ibn ‘Arabī sangat menekankan aspek

kemurnian teologi ketika menjelaskan konsep kesufiannya, sehingga ia menegaskan bahwa tidak ada ‘penawar’ untuk mengobati seseorang yang berakidah ḥulūl. Begitu juga konsep ittiḥād, Ibn ‘Arabī menilai bahwa

seseorang yang berakidah seperti itu adalah mulḥid (ateis).15

Di Nusantara, juga banyak ditemukan penegasan dari tokoh-tokoh klasik seperti ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī yang menegaskan prinsip akidah adalah sebagai pijakan utama agar seorang sālik tidak tersesat.P15F

16

P

‘Abd al-ṣamad menilai akidah Sunni yang ia anut sebagai akidah yang dianut oleh kelompok Ash‘arīyah dan Sufi.P16F

17

Namun demikian, tokoh-tokoh sufi Nusantara tampak mencoba bijak dalam mengajarkan ajaran kesufian sesuai dengan tingkatan spiritual seorang murid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi penyimpangan teologis ketika seorang sālik menapaki jalan spiritual. Hal ini

sebagaimana dikemukakan oleh Shihāb al-Dīn al-Palimbānī yang menulis risalah khusus mengenai tauhid Sunni ketika berbicara kesufian. Ia menyebutkan keberatannya terhadap para pemula (mubtadi’) spiritual

terhadap kajian tasawuf yang dipengaruhi ajaran Ibn ‘Arabī>. Ia memberikan contoh kajian tersebut seperti martabat tujuh yang telah populer di Nusantara (Jawi) pada masa itu. Ia mengingatkan bahwa kajian tersebut tidak akan meningkatkan kualitas spiritual para pemula, tetapi yang terjadi adalah kekeliruan teologis.P17F

18

Di sisi lain, penulis menemukan teori-teori yang berusaha untuk memberikan kategorisasi corak dari ajaran tokoh-tokoh sufi. Hal ini terlihat dari pandangan Ibrāhīm Hilāl yang cenderung kepada pengelompokan tasawuf kepada corak Sunni dan Falsafi. Ia merumuskan bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang dipengaruhi konsep

14 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūḥāt al-Makkīyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah,

2006), 7/129 bab ke-559. Pada masa sebelumnya, al-Qushayri>> juga menegaskan bahwa para tokoh sufi membangun latihan spiritual mereka berdasarkan akidah yang benar dan tauhid yang lurus, terhindar dari bid‘ah, dan sesuai dengan akidah salaf dan

ahl al-sunnah. Al-Qushayrī, al-Risālah, 22. 15 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūhāt, 7/129. 16 ‘Abd al-amad al-Palimbānī,

Hidāyat al-Sālikīn (Jakarta: S. A. Al-‘Aidrusi,

t.th.), 19-27. Kitab ini masih tulisan tangan yang kemudian dicetak oleh Sayyid al-‘Aydrūsī di Jakarta. Dan bandingkan dengan karya ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.th.) 1/34

17 ‘Abd al-amad al-Palimbānī,

Sayr al-Sālikīn, 1/21.

18 Shihāb al-Dīn al-Palimbānī,

al-Risālah, 5. Sebuah manuskrip Arab Melayu

(6)

ishrāqī (iluminasi) al-Fārabī. Hilāl menegaskan bahwa konsep ishrāqī

tersebut mempunyai peran besar dalam melahirkan konsep ma‘rifah

(pengenalan kepada Allah) pada ranah kesufian. Ia cenderung berpendapat demikian karena menilai bahwa hasil dari konsep ma‘rifah di

kalangan sufi falsafi tidak jauh berbeda dengan para filosof itu sendiri. Hal ini sangat kental, ungkap Hilāl, jika dilakukan komparatif antara beberapa konsep tertentu dari dua ranah tersebut, maka akan ditemukan banyak persamaan. Ia menyontohkan kesamaan tersebut ketika dilakukan kajian komparatif terhadap interpretasi konsep walāyah (kewalian), nubuwwah (kenabian), wahyu, mukjizat, dan keramat para wali.19

Bahkan, pandangan yang lebih cenderung menekankan dikotomis antara teologi dan kesufian sangat kental pada kajian Nicholson, salah seorang guru besar yang berpengaruh pada ‘Afīfī. Nicholson pernah memberikan penilaian bahwa konsep panteis yang dikembangkan oleh Ibn ‘al-Fārid} bukan sebuah sistem berpikir. Namun ia lebih cenderung menilai tokoh ini sebagai pengembang ajaran dhawq yang ia sebut dengan state of feeling.P19F

20

P

Suatu sistem berpikir (state of thought) mengarah

kepada kecenderungan teologis yang dianut seseorang. Hal ini menyebabkan Nicholson sering menyebut Ibn al-Fārid} atau tokoh lain yang hampir sama dengannya, seperti al-ḥallāj sebagai bagian

Mohammedan theosophists (golongan teosofi Islam). Kecenderungan ini,

menyebabkan Nicholson tidak jauh berbeda dengan Masignon yang memisahkan tokoh ortodoks dan tasawuf. Tokoh ortodoks yang sering menjadi kutipannya adalah seperti al-Ghazālī. Al-Ghazālī dianggap bukan sebagai seorang sufi, tetapi hanya kelompok ortodoks.P20F

21

P

‘Abd al-Qādir Mahmūd menilai bahwa teori Nicholson mengenai kesufian lebih

19 Ibrāhīm Hilāl,

Taṣawwuf bayn al-Dīn wa-al-Falsafah (Kairo: Dār

al-Nahd}ah, 1979), 33. Tampaknya teori ini diikuti oleh banyak penulis lainnya. Ini terlihat M. Jalal Sharf peneliti filsafat dan tasawuf di Alexandaria yang menggunakan padangan tersebut untuk menilai al-ḥārith al-Muḥāsibī sebagai pengasas tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni diartikannya sebagai tasawuf yang dibangun berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Lihat M. Jalāl Sharf, al-Taṣawwuf al-Islāmī fī Madrasat al-Baghdād (Alexandaria: Dār al-Maṭba‘at al-Jāmi‘ah, 1972), 167.

20 Nicholson,

Studies in Islamic Mysticism (Cambridge: Curzen Press, 1994),

7.

21 Nicholson,

Studies, 80. juga lihat Nicholson, History of Islamic Mystism, 83.

Pandangan ini juga terdapat pada peneliti Salafi; Muṣthafa Halabi, yang menulis Ibn Taymīyah wa-Tasawwuf . Ia berkesimpulan bahwa-al-Ghazali kurang disukai oleh para

penganut tasawuf falsafi karena sangat setia pada prinsip shariat. Lihat Muṣṭafá ḥalabī,

(7)

cenderung membandingkannya dengan konsep spiritual Kristen.22 Adapun Masignon, dalam persepsi ‘Abd al-Qādir, lebih cenderung berkesimpulan bahwa substansi tasawuf Islam adalah tasawuf Kristen itu sendiri. Berbeda dengan Ignaz Goldhiher yang berpandangan bahwa tasawuf Islam merupakan hasil dari persentuhan pemikiran Islam dengan tradisi mistik Hindu dan persia, kemudian sesuai dengan perjalanan sejarah dipengaruhi oleh Kristen.23 Berdasarkan pijakan teologis konsep kesufian, ‘Abd al-Qādir merumuskan bahwa tasawuf terbagi tiga, yaitu tasawuf Salafi, Sunni, dan Falsafi yang ia sebut dengan fī mā warā’ al-salafī wa-al-sunnī (di balik salafi dan sunni).

Sebenarnya, pengelompokkan ini lebih banyak menlahirkan dampak negatif daripada dampak positif, terutama dalam manipulasikan teks-teks tasawuf untuk dipaksa mengikuti bangunan teori tersebut. Ini dikarenakan teori tersebut mengesankan bahwa para sufi mempunyai banyak perbedaan antara satu dengan yang lain, walaupun untuk sebagian konteks memang benar. Tetapi, di antara para sufi yang dianggap berbeda sendiri tidak merasakan bahwa mereka berbeda secara prinsipil. Bahkan generasi sufi belakangan selalu menggunakan, bahkan membela konsep sufi-sufi sebelumnya. Seperti pembelaan yang dilakukan oleh Ibn ‘Arabī> terhadap konsep nubuwwah dan walāyah al-Ghazālī, bahkan ia menyebut ḥujjat al-Islām tersebut dengan gelar ṣāḥib al-kashshāf.24 Namun ironis,

kecenderungan kajian-kajian tasawuf terlihat berusaha keras mencari titik "panas", sehingga mengindikasikan bahwa konsep seorang sufi dengan yang lain kontradiktif. Bahkan masing-masing sufi telah membuat konsep sendiri yang berbeda daripada tokoh lainnya.

Beberapa peneliti lokal seperti Abdur Rahim Yunus yang menulis peran tasawuf dalam kekuasan Buton pada abad kesembilan belas, juga lebih cenderung kepada pengelompokan tasawuf kepada dua garis besar. Kelompok pertama adalah tasawuf teosofi, yaitu aliran tasawuf yang mengembangkan ajaran Wujūdīyah Muḥammad bin Abdullah, Shams al-Dīn al-Sumatranī, dan ‘Abd al-Ra’ūf Singkle.P24F

25

P

Adapun kedua adalah

22 ‘Abd al-Qādir Mamūd,

al-Falsafah al-ṣūfīyah fī al-Islām (Kairo: Dār

al-Fikr al-’Arabī, t.th.), 3.

23 ‘Abd al-Qādir Mamūd,

al-Falsafah, 3. Bandingkan Ignaz Goldziher, Introduction, 140-148.

24Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūḥāt, juz 3 h. 6 25 Abdur Rahim Yunus,

(8)

tasawuf tarekat yang mengembangkan ajaran kesufian dengan media tarekat-tarekat sufi.26

Bahkan hal yang fatal dari kajian yang dilakukan peneliti Barat seperti Nicholson ketika mencoba menerjemahkan suatu term dalam ranah tasawuf kepada ungkapan yang mengindikasikan makna yang tidak dimaksudkan oleh sufi itu sendiri. Hal ini seperti penerjemahan kata ḥulūl

kepada incarnation (inkarnasi). Nicholson menganggap bahwa ajaran ini

sangat dekat dengan konsep Kristen yang berkeyakinan adanya kesatuan dua hal yang berbeda.P26F

27

P

Suatu ungkapan pengalaman spiritual (dhawq)

ketika diinterpretasikan dengan pendekatan teologi akan berindikasi kepada status keimanan dan kekafiran.

Penerjemahan yang tidak sepadan tersebut mengingatkan penulis kepada tokoh kontroversial, yaitu al-ḥallāj (309 H.). Ketika ungkapan-ungkapan esoteris mereka dipahami secara teologis maka pada saat itu Ibn Abū Dāwud seorang ahli hukum pada masa itu menuduhnya telah menyimpang, atau tokoh lain seperti al-Suhrawardī> al-Maqtūl. Hal ini berbeda dengan sikap al-Ghazālī yang mencoba memahami ungkapan mereka dengan meminimalisasikan perspektif teologis untuk sesuatu yang esoteris. Kebijaksanaan al-Ghazālī terlihat jelas ketika ia menegaskan bahwa ungkapan mereka bukanlah ungkapan teologis, sehingga tidak patut dikafirkan apalagi dihukum mati. al-Ghazālī malah mencoba memberikan pendekatan filosofis terhadap ungkapan esoteris al-ḥallāj yang mengindiksikan terbebas dari “taring” teologis yang akan menjeratnya.P27F

28

P

Berdasarkan kenyataan tersebut, teori komparatif Nicholson yang terkesan menginklusifkan konsep kesufian sehingga menyetarakannya dengan spiritual Kristen akan terbentur dengan rumusan tokoh sufi itu sendiri. Benturan ini akan terjadi terutama ketika banyak tokoh sufi yang menekankan penerapan teologi Sunni untuk wuṣūl kepada Allah. Hal ini

sebagaimana diungkapkan oleh ‘Abd al-Majīd al-Khālidī yang menempatkan vitalitas teologi seseorang ketika ingin belajar kesufian.P28F

29

P

Karya-karya ‘Abd al-Majīd banyak mempengaruhi dinamika tasawuf dari

26 Abd Rahim Yunus,

Posisi Tasawuf, 71. 27 Nicholson,

Studies, 79. 28 al-Ghazālī,

Mishkāt al-Anwār juz 4 dari Mujmū‘āt al-Rasā'il (Beirut: Dār

al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1994) h. 11-12. Yūsuf seorang peneliti Tarekat Qadīrīyah di Mesir menemukan bahwa para sufi mewajibkan seseorang murid untuk meluruskan akidahnya ketika memasuki jalan spiritual. Yūsuf M. ṭahā Zaydān, al-ṭarīq al-ṣūfī (Beirut : Dār

al-Jīl, 1991), 21.

29 ‘Abd al-Majīd,

(9)

tarekat Naqshabandīyah di wilayah Nusantara, terutama Minangkabau. Pengaruh tersebut terlihat dari penerjemahan kitab al-Sa‘ādah al-Abadīyah karya ‘Abd al-Majīd yang disesuaikan dengan bahasa Melayu

Minangkabau oleh Shaykh ‘Abd al-Qadīm Belubus30 dan Shaikh Ayas ṣulthani (1973 M.) di Payakumbuh.31

Di dalam khazanah intelektual nusantara, karya tulis yang kebanyakan menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantar, merupakan sebuah fakta sejarah yang menarik dikaji. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh transmisi tokoh-tokoh Muslim klasik terhadap corak keberagaman umat Islam Nusantara, terutama corak teologi. Islam sebagai sebuah agama yang menggunakan bahasa Arab sebagai sarana secara tidak langsung mempengaruhi tradisi intelektual penganutnya yang non-Arab.

Hal tersebut juga terlihat dari corak intelektual para sarjana Muslim Nusantara klasik. Ini terbukti dari hasil karya yang mereka wariskan. Sesuai dengan masa tersebut, karya tulis berupa tulisan tangan atau manuskrip merupakan salah satu cara mereka mengilmiahkan apa yang mereka ketahui. Di antara mereka ada yang menulis dengan bahasa Arab, seperti Nūr al-Dīn al-Ranirī, Abd al-Ra’ūf al-Jāwī, Yūsuf al-Makassari>, dan Muḥammad ‘Aydrūs Buton. Namun, sangat banyak di

antara mereka yang menulis dengan bahasa Melayu aksara Arab, termasuk empat ulama yang disebutkan di atas.

Selain itu, ḥamzah Fansūrī di Aceh sangat mencolok dengan karya tulis yang condong kepada ajaran tasawuf Wujūdīyah dalam pelbagai sya'irnya, seperti Sya'ir Perahu. Ia pernah mengungkapkan bahwa

teologinya tidak seperti para teolog semasa dengannya, baik dalam masalah sifat Allah, perbuatan dan zat-Nya. Tetapi tidak ditemukan pengakuan langsung darinya mengenai kecenderungan tarekat sufi apa yang ia pelajari dalam karyanya. Namun, memang ada yang berasumsi bahwa ia pernah mempelajari tarekat Qādirīyah, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hadi. Hal ini dikarenakan Abdul Hadi menemukan penyebutan nama Abd al-Qādir Jaylanī di karyanya. Asumsi tersebut belum tentu benar seutuhnya, karena penukilan nama tersebut sangat mungkin ditemukan pada seorang penulis yang bukan bertarekat Qādirīyah.

30‘Abd al-Qadīm Belubus, a

l-Sa‘ādah al-Abadīyah; Pada Menyatakan Wirid-wirid Amalan Tariqah Naqshabandīyah (Bukittinggi: Sa‘dīyah, 1392 H.)

31Adapun risalah yang ditulis Ayas ultānī pernah penulis edit ulang dari

(10)

Di samping itu, di negeri yang sama terdapat ‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī yang juga tidak memisahkan aspek teologi dengan praktik kesufian. Hal ini terlihat dari karyanya, kitab ‘Umdat al-Muḥtājīn yang masih

berupa manuskrip. Kitab ini merupakan salah satu bukti sejarah yang menunjukkan bahwa corak akidah yang pernah diajarkan pada periode awal Islam berkembang di Nusantara. Kitab tersebut berbicara mengenai tentang bagaimana mengenal Allah secara ilmu tauhid pada bagian awa. ‘Abd al-Ra’ūf menuliskannya dengan bahasa Melayu. Ini dikarenakan tujuan utamanya adalah agar para murid dengan mudah memahaminya. Ia banyak membicarakan mengenai sifat dua puluh yang wājib dan mustaḥīl, jā’iz yang pernah dikembangkan oleh al-Sanūsī. Sehingga, sangat wajar jika ditemukan penukilan yang terhadap perkataan al-Sanūsī dalam kitab tersebut. Sebagaimana al-Sanūsī, ia menyebutkan bahwa pengenalan tersebut tercakup dalam kalimat tauhid.P31F

32

P

Namun, ‘Abd al-Ra‘ūf tampaknya tidak mau kajian akidah tersebut kering dari nuansa spiritual. Oleh karena itu, ia mencoba mengemukakan rahasia dan faedah dari kalimah tauhid tersebut.P32F

33

P

Setelah itu, ia menjelaskan ajaran kesufian berdasarkan tarekat Qādirīyah dan Shaṭṭārīyah sampai akhir kitab.

Selain itu, tokoh Palembang yang dianggap sebagai Shaykh Jāmi‘,

sebagai bentuk ungkapan keberhasilan ‘Abd al-ṣamad dalam menjelaskan ilmu zahir (syariat) dan batin (hakikat) secara bijak, merupakan ulama produktif mengembangkan ilmu keislaman. Hal ini menunjukkan bahwa ia mampu menjelaskan aspek kesufian dengan prinsip teologi Sunni yang ia anut. Ia menulis banyak karya, seperti Sayr al-Sālikīn sebagai

terjemahan sekaligus komentar atau Sharḥ} terhadap Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya saudara dari Abū Hāmid al-Ghazālī (505 H.) yaitu

Aḥmad al-Ghazālī. Kitab tersebut mencakup penjelasan tentang ilmu akidah, fiqh, dan tasawuf. ‘Abd al-ṣamad tampak cenderung kepada tarekat Sammānīyah dalam dunia tasawuf. Hal ini terlihat dari komentar-komentar yang ia kemukakan dalam kitab tersebut banyak bersumber dari

Shaykh al-ṭarīqah al-Sammānīyah Muḥammad ‘Abd al-Karīm

al-Sammān seorang ulama Madinah yang hidup di akhir abad ke 18 M. Namun tampaknya ia tidak lupa mengulas tentang inti ajaran dari tarekat Khalwātīyah sebagai induk tarekat Sammanīyah. Suatu hal yang unik, ketika ia menulis kitab Fiqh, Hidāyat al-Sālikīn, ‘Abd al-ṣamad tampak

tidak mau karangannya kering dari nuansa teologis dan spiritual. Hal ini terbukti dari ulasan yang lumayan mendalam di bagian awal kitab dengan

32 ‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī,

‘Umdat al-Muḥtājīn (Perpustakaan Nasional: ML

301), 2. Kitab ini masih dalam bentuk manuskrip.

33 ‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī,

(11)

kajian teologis, dan ulasan panjang ajaran inti tarekat Sammanīyah di bagian akhir kitab.

Kajian tasawuf yang kental dengan nuansa teologis juga bisa dilihat dari kitab al-Durr al-Nafīs karangan Muḥammad Nafīs al-Banjārī.

Tidak jauh berbeda dengan ‘Abd al-ṣamad, Nafīs juga cenderung mengembangkan ajaran tarekat Sammanīyah. Namun ia lebih banyak membicarakan permasalahan spiritual yang banyak disebut tasawuf filosofi dalam dunia akademis belakangan ini. Namun tampaknya Nafis berpandangan bahwa ajaran tasawuf dalam kategori ini tidak bertentangan dengan akidah Sunni.

Selain itu, pengaruh yang lebih dinamis lagi tampak dari karya Yūsuf al-Makassari>. Ia dengan jelas mengemukakan kecenderungannya pada tarekat Qādirīyah dan Naqshabandīyah. Bahkan ia diyakini pengikutnya sebagai penggagas ‘pengawinan’ dua tarekat tersebut.

Kecenderungan serupa juga ditemukan dari karya Muḥammad ‘Aydrūs (1851 M.) seorang raja dari kerajaan Buton. Keterlibatannya dalam kancah politik tampak tidak mempengaruhi ketertarikannya terhadap dunia tasawuf. Ia menulis kitab Mu’nisat al-Qulūb dengan

bahasa Arab, sebagai karya yang menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang penulis dan guru tarekat. Tetapi belum bisa dipastikan tarekat apa yang ia tulis, walaupun secara umum inti ajaran tarekat yang ia tulis sangat mirip dengan tarekat Khalwātīyah dan Sammānīyah.

Bahkan tradisi tersebut tidak berhenti pada masa-masa klasik tesebut, namun sebaliknya masih berkesinambungan sampai ke masa sekarang. Hal ini terlihat dari karya tulis ‘Abd al-Manāf Amin Khaṭīb (2006 M.) yang memimpin dua tarekat –Naqshabandīyah dan Shaṭ}ṭarīyah sekaligus- dari Padang Sumatra barat. Ia meneruskan tradisi kaum Tuo yang selalu kritis terhadap perkembangan teologi. Ia mencoba

menulis berbagai hal, di antaranya akidah, permasalahan fiqh, dan tasawuf. Hal ini sebagaimana dibuktikan dalam penelitian Oman Fathurahman.

‘Abd al-Manāf tampak lebih cenderung kepada tasawuf yang berorientasi kepada tarekat Shaṭṭārīyah, walaupun ia sangat memahami tarekat Naqshabandīyah. Hal ini terlihat dari pembelaannya terhadap nilai ortodoksi tarekat Shaṭṭārīyah. Namun ‘Abd al-Manāf tampak sangat kritis terhadap teologi puritan yang diusung kaum mudo. Ia menilai mereka

(12)

Kenyataan tersebut merupakan penegasan dari para tokoh sufi itu sendiri mengenai nilai dasar teologi yang menjadi pijakan ajaran kesufian mereka. Berdasarkan hal itu, aspek akidah yang melahirkan status keimanan seseorang merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan bagi mereka. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menjelaskan bahwa perbedaan mereka tidaklah serumit dan "sepanas" sebagaimana diasumsikan sebelumnya. Justru di antara mereka terjalin ikatan yang kuat bagaikan seorang murshid dengan murid walaupun tidak bertemu di

alam nyata. Ini dikarenakan baik tokoh sufi yang tergolong falsafi maupun sunni sangat menjaga etika terhadap para pendahulu mereka, apalagi ketika mereka membahas apa yang telah dibahas oleh para pendahulu

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang akan muncul dari kajian ini berkaitan erat dengan permasalahan teologis yang dianut ulama Nusantara klasik. Ketika banyak asumsi yang dibangun bahwa kalangan Sunni cenderung lebih ortodoks dan kaku, maka akan memunculkan pelbagai teori. Hal ini terlihat dari pandangan Nicholson yang beranggapan bahwa tidak ada sufi dari kalangan Sunni. Teori ini terkesan banyak mengenyampingkan aspek historis terhadap perkembangan Sufi di kalangan Sunni. Di antara tokoh-tokoh yang dikategorikan sebagai tasawuf “Sunni” adalah al-Junayd, Abū ṭayyib al-Makkī, al-Qushayri>, al-Ghazālī, dan lainnya.

Adapun tasawuf “Falsafi” bukan berarti bahwa tokoh sufi tersebut adalah seorang filosof. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam ketegori ini adalah seperti Abū Yazīd, al-ḥallāj, al-Suhrawadī al-Maqtūl, Ibn Sab‘īn, Ibn ‘Arabī>, dan Mullāṣadra (ṣadr al-Dīn).

Teori ini tampaknya kontradiktif dengan banyak sosok sufi yang bermunculan dari kalangan Sunni. Bahkan, banyak tokoh Sunni yang mengembangkan tasawuf teoritis yang biasa disebut dengan tasawuf falsafi. Ketertarikan mereka terhadap hal tersebut tidak menyebabkan mereka kehilangan status kesunnian dari teologinya. Ini terlihat dari sosok ‘Abd al-ṣamad al-Palembanī al-Makkī yang dengan terus terang menisbahkan dirinya kepada Abū al-ḥasan al-Ash‘arī> pendiri teologi Sunni Ash‘arīyah.

(13)

‘Arabī yang dikutip dan diikutinya, namun identitas Shī‘ah tidak diabaikannya.

Namun, sebagaimana disebutkan Azyumardi Azra, terkesan ada kontradiksi antara tasawuf Falsafi dan ajaran Sunni terutama teologi Ash‘arīyah yang dikembangkan al-Ghazālī (505 H.).34 Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk “mendamaikan” dua konsep tersebut, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-ṣamad. Permasalahan yang muncul dari teori ini adalah pertanyaan baru apakah ‘Abd al-ṣamad sendiri merasa bahwa ajaran Ibn ‘Arabī> bertentangan dengan konsep al-Ghazālī, sehingga ia menulis Sayr al-Sālikīn sebagai terjemahan atau lebih tepat

disebut sebagai saduran Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālī untuk

mendamaikan kedua konsep tersebut. Ini pertanyaan yang belum terungkap dari teori tersebut.

Di samping itu, Azyumardi Azra juga berpandangan bahwa ‘Abd al-ṣamad memahami Ibn ‘Arabī> melalui pendekatan Ghazalian. Namun ketika membaca karya-karya ‘Abd al-ṣamad, maka akan timbul asumsi lain bahwa kemungkinan besar ‘Abd al-ṣamad memahami al-Ghazālī berdasarkan konsep Ibn ‘Arabī.

Selain itu, Nafīs al-Banjārī mempunyai teori menarik ketika menghadapi masalah ini. Ia menjelaskan bahwa sebenarnya kesufian, termasuk tasawuf Ibn ‘Arabī>, dibangun berdasarkan akidah Sunni yang lurus. Oleh karena itu, ia menilai bahwa tasawuf Falsafi Ibn ‘Arabī tidak bertentangan sedikit pun dengan prinsip teologi Sunni.

Namun memang diakui, banyak kajian terhadap tokoh utama tasawuf -al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabī>- yang menilainya sebagai

seorang Shī‘ah, atau paling kurang mengidentikkannya dengan ajaran Shī‘ah. Hal ini sangat wajar karena penulis Barat seperti Henri Corbin, Trimingham, Nicholson, dan lainnya berasumsi bahwa ajaran kewalian Ibn ‘Arabī sangat indentik dengan Shī‘ah. Bahkan Trimingham menegaskan bahwa teori kewalian sufi tidak lebih daripada salinan terhadap ajaran Shī‘ah. Oleh karena itu, ketika mendapati kebanyakan teks Ibn ‘Arabī banyak berkaitan dengan tema-tema utama kewalian, maka mereka berkesimpulan bahwa Ibn ‘Arabī adalah seorang Shī‘ah.

Namun, hipotesa tersebut jauh hari telah ditanggapi oleh al-Sha‘rānī yang menemukan bahwa ajaran Ibn ‘Arabī> tidak bertentangan dengan teologi Sunni. Justeru al-Shaykh al-Akbar mencapai pemahaman

tertinggi dalam memahami akidah Sunni, sehingga al-Sha‘rānī menyebutnya dengan aqīdat al-kabā’ir (akidah tokoh-tokoh agung).

34 Azyumardi Azra,

(14)

Berdasarkan hal tersebut, tinjaun teologis terhadap ulama tasawuf Nusantara dengan pendekatan teologi, akan berakibat kepada polemik teologis yang tarik-menarik dengan teori-teori belakangan ini.

2. Pembatasan Masalah

Penelitian dalam tesis ini lebih menekankan aspek teologis tokoh-tokoh tasawuf Nusantara. Penelitan ini akan mencoba memahami bagaimana tokoh-tokoh tasawuf Nusantara mengeksplorasi aspek akidah ketika berbicara kesufian dari teks-teks yang mereka tulis. Tokoh Nusantara tidak hanya tercakup pada wilayah Indonesia saja, tetapi juga mencakup wilayah selain Indonesia, seperti Patani Thailand.

Adapun tokoh-tokoh yang dijadikan objek kajian utama, adalah tokoh-tokoh tasawuf Nusantara abad ketujuh belas sampai kesembilan belas seperti al-Rānīrī, ‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī, ‘Abd al-ṣamad al-Palimbāni.

Hampir semua tokoh Nusantara termasuk sosok yang “setia” terhadap konsep tasawuf Ibn ‘Arabī>. Namun kajian menarik yang diteliti dari ketokohan mereka adalah sejauh mana konsekuensi teologi Sunni yang mereka anut berpengaruh terhadap konsep kesufian Ibn ‘Arabī yang mereka tempuh.

3. Perumusan Masalah

Kajian ini lebih difokuskan pada tinjauan teologi yang dianut oleh tokoh-tokoh Nusantara. Berdasarkan itu, kajian ini akan berusaha menjawab, apakah tasawuf yang dikembangkan tokoh-tokoh Nusantara bertentangan dengan konsep teologi Sunni, sehingga diperlukan ada usaha “pendamaian”? Atau sebaliknya, malah memperkuat kesunnian mereka.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan secara umum untuk membuktikan bahwa konsep teologi bagi tokoh-tokoh tasawuf sangat berpengaruh pada kesuksesan pencapaian kualitas spiritual. Di samping itu, akan terungkap bahwa konsep tasawuf perenial menjadi absurd dalam perspektif teologis.

Secara lebih spesifik penulis akan mengungkapkan bahwa konsep teologi bagi pemikir tasawuf Nusantara menjadi nilai dasar dalam pencapaian spiritual yang luhur.

(15)

Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian atau pemikiran lebih lanjut dalam membandingkan aspek tasawuf dari perspektif teologis dan tasawuf dari aspek ontologis. Dua perspektif ini tampak memang kontradiktif secara literal pada teks-teks tasawuf. Namun penelitian ini akan memudahkan para peminat tasawuf dalam memahami secara bijak perbedaan dinamis antara aspek teologi tasawuf yang memang melahirkan ekslusivitas, dan aspek ontologi yang melahirkan tasawuf inklusif dan perenial.

Pemahaman bijak terhadap dua pendekatan tersebut akan menumbuhkan sikap saling pengertian di antara para peneliti tasawuf.

E. Penelitian Dahulu yang Relevan

Belum ada kajian khusus yang membahas teologi dan pengaruhnya di Nusantara. Penelitian yang dilakukan kebanyakan berorientasi kepada konsep tasawuf Ibn ‘Arabī> dan pengaruhnya di Nusantara.

Di antara penelitian tersebut seperti kajian historis yang dilakukan oleh Azyumardi Azra berjudul, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan 18”.35 Ia meneliti proses transmisi

keilmuan Islam melalui jaringan ulama Timur Tengah ke Nusantara. Hal ini diketahui dengan melacak karangan tokoh-tokoh Nusantara yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah pada masa itu. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa kebanyakan tokoh-tokoh yang menjadi tempat belajar para ulama Nusantara adalah para penganut ajaran Ibn ‘Arabī> yang “setia”. Ini terlihat dari tema-tema ajaran yang diajarkan oleh Muṣtafā al-Bakrī, Ah>mad al-Qushāshī, Ibrāhīm al-Kurani, dan lainnya. Mereka merupakan tokoh terdepan yang memberikan pengaruh besar dalam mengembangkan ajaran Ibn ‘Arabī bagi para ulama Nusantara yang belajar di sana.

Dalam objek yang lebih khusus, ditemukan karya Abdur Rahim Yunus yang berjudul, “Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19”.36 Ia menyebutkan dengan

pendekatan historis pengaruh ajaran Ibn ‘Arabī> dalam formulasi Martabat Tujuh di kesultanan Buton. Bahkan, kesultanan Islam tersebut menjadikan prinsip Martabat Tujuh sebagai dasar pembuatan Undang-undang kesultanan, sehing dikenal dengan Undang-Undang-undang Martabat Tujuh.

(16)

Dengan kajian lebih dekat, Zaim Rais menulis disertasinya yang berjudul The Minangkabau Traditionalist’s Respon to The Modernist Movement (1994). Disertasi ini membicarakan sikap Kaum Tuo

menghadapi gerakan pembaruan yang dilakukakan Kaum Mudo. Ia mengemukakan bagaimana usaha Kaum Tuo mendamaikan antara adat dan shariat, sedangkan Kaum Mudo malah menyerang dan mengritisi eksistensi adat. Hal menarik lain yang ditampilkan adalah respon Sheikh Sa‘ad Mungka terhadap kritikan Ahmad Khatib yang berpandangan bahwa ritual tarekat menyimpang dari prinsip teologis. Namun, Zaim melakukan penelitian hanya melalui pendekatan sosio historis saja.

Selain itu, pelacakan terhadap corak pemikiran kesufian ulama di Nusantara dilakukan oleh ṣolihin. Ia menulis Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.37 Namun sayangnya, ṣolihin lebih banyak mengemukakan

hasil penelitian orang lain daripada eksperimen terhadap karya tokoh sufi Nusantara secara langsung. Hal ini menyebabkan karya ṣolihin masih perlu diverifikasi lagi secara empiris.

Karya Ahmadi Isa tampaknya berusaha lebih mengerucut kepada satu tokoh sufi dari Kalimantan Selatan, Nafis al-Banjārī. Ia menulis

Ajaran Tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjārī38 dengan pendekatan

tasawuf. Ahmadi mencoba memberikan kontroversi seputar konsep tasawuf Nafis. Ia terlihat lebih membela Nafis sebagai seorang Sunni.

Adapun Waḥdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī> dan Panteisme39 karya

Kautsar Aẓari Noer tampak lebih menekankan aspek esoteris dari teks tasawuf Ibn ‘Arabī. Dalam hal ini, aspek teologis bukanlah sebagai alat pembaca teks, tapi hanya sebagai instrumen pembantu.

Disertasi Muhammad Wildan Yahya yang berjudul Tasawuf Shekh Abdul Muhyi (2004) yang memfokuskan pokok penelitian mengenai

ajaran tasawuf Nusantara yang dikembangkan oleh Abdul Muhyi dengan naskah-naskah yang terdapat di Pamijahan. Wildan tampaknya sangat kreatif dalam mengorelasikan tokoh tersebut dengan para tokoh sufi lain di Nusantara pada abad ketujuh belas dan delapan belas. Kajian teologis tampak sangat berperan banyak ketika Wildan membicarakan konsep sufistik Islam Jawa dan ajaran Abdul Muhyi.

Kajian untuk masa yang lebih kekinian dilakukan oleh Fauzan Saleh dalam karyanya The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia (2003). Ia membicarakan perkembangan teologis di

37Diterbitkan di Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. 38 Diterbitkan di Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. 39 Diterbitkan oleh Paramadina dengan judul

(17)

Indonesia sejak awal abad ke-20 sampai akhir abad tersebut. Dalam hal ini, ia lebih menonjolkan konstruksi pro-modernis dalam menyikapi Islam ortodoks. Kajian ini terkesan mengabaikan kelompok lain yang tidak searah dengan tokoh-tokoh modernis.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa langkah-langkah tertentu dalam menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Terlebih dahulu, penulis melakukan library research atau studi kepustakaan, dengan memperlakukan manuskrip

sebagai sumber kajian yang setara dengan referensi yang telah dipublikasikan.

Adapun objek yang menjadi sasaran penelitian adalah aspek teologi dalam teks yang ditulis ulama tasawuf Nusantara. Hal ini dilakukan dengan mengomparasikan konsep masing-masing tokoh dalam menempatkan urgensi teologi dalam mencapai kesuksesan spiritual. Namun tidak terbatas pada pendekatan komparatif semata, penulis juga melakukan analisa kritis terhadap teks-teks tersebut. Dalam hal ini, pendekatan teologis dengan menggunakan filologi sebagai alat juga tidak bisa diabaikan. Hal ini dikarenakan ada beberapa teks tersebut masih berupa manuskrip. Teks-teks yang masih berbentuk manuskrip akan diperlakukan sebagaimana rujukan yang telah dicetak, yaitu dibaca, dibandingkan, dan dikritisi jika diperlukan.

Namun demikian, semua instrumen tersebut hanya bertujuan untuk mendapatkan deskripsi yang jelas terhadap teks-teks tasawuf dengan pendekatan teologi Islam. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan yang ditemukan di dalam teks tersebut akan dipahami berdasarkan prinsip teologi Islam. Namun, bukan berarti pengolahan data dengan pendekatan ini akan mengabaikan aspek esosteris dan metafisika tasawuf yang rumit. Beberapa term di dalam sumber-sumber kajian mesti dipahami dengan pendekatan metafora kesufian, sehingga tidak terjebak pada penilaian teologis yang kaku. Berdasarkan hal tersebut, metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi, yaitu menganalisa data tentang obyek yang diteliti berdasarkan isinya.

(18)

masih berbentuk manuskrip- telah menjadikan status teologi sebagai kunci kesuksesan perjalanan spiritual. Kitab Zād al-Muttaqīn,, Lubb al-ḥaqā’iq, dan Sayr al-Sālikīn karya ‘Abd al-ṣamad merupakan sumber

utama dalam perolehan data mengenai konsep teologi Sunni dan korelasinya dengan teolog Sunni yang mengembangkan ajaran Martabat Tujuh. Selain itu, kitab al-Durr al-Nafīs karya Nafīs al-Banjārī sangat

membantu dalam memperoleh sinkronisasi aspek teologis dengan manifestasi Tuhan. Begitu juga karya ‘Aydrūs Buton seperti Hadīyat al-Bashīr, Fatḥ al-Raḥīm fī al-Tauhīd Rabb al-‘A<lamīn akan menunjukkan

kemampuan tokoh sufi lokal dalam menjelaskan konsep teologi dalam bahasa aslinya, yaitu Arab.

Di samping itu, sumber sekunder dalam membantu menjawab permasalahan dalam penelitian ini sangat banyak. Di antaranya yang sangat membantu adalah kitab Budd al-‘A<rif, dan beberapa risalah karya

Ibn Sab‘īn yang memberikan kritikan teologis dan latihan spiritual yang seimbang. Begitu juga Mishkāt al-Anwār, al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn dan judul lain yang menjadi karya al-Ghazālī menjadi

acuan dalam penilian teologis. Al-Ghazālī memberikan deskripsi kesuksesan pencapaian spiritual dengan kemurnian teologi. Selain itu, al-Futūḥāt al-Makkīyah Ibn ‘Arabī> yang dengan lugas mengemukakan

identitas teologisnya sebelum memaparkan kajian tasawuf falsafi secara komprehensif. Selain itu, karya yang lebih spesifik dari ‘Abd al-Ghanī al-Nablusī seperti Id}āḥ al-Maqṣūd fī Waḥdat al-Wujūd akan sangat

membantu untuk menjelaskan substasi dari persoalan wujud di kalangan sufi.

Dalam hal ini, tidak lupa digunakan karya Nicholson, Studies in Islamic Mystism yang menilai para teolog Sunni lebih menutup diri dari

aspek esoteris. Begitu juga, Introdution to Islamic Theology and Law

karya Ignaz Golziher sangat membantu dalam memahami perbedaan aspek teologi yang ekslusif daripada aspek esoteris yang inklusif. Selain itu, Falsafat al-Taṣawwuf al-Islamī karya ‘Abd al-Qādir Maḥmūd

meminjamkan kepada penulis beberapa kerangka teori dalam memahami kajian tasawuf Barat.

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan disajikan dalam beberapa bagian sebagaimana berikut:

(19)

Selain itu, dikemukakan rumusan masalah yang disertai dengan pembatasan masalah yang akan diteliti. Di samping itu, juga dikemukakan tujuan dan manfaat penelitian, serta penelitian terdahulu yang relevan dengan topik pilihan. Penulis juga mengemukakan metodologi yang digunakan dalam penulisan serta sistematikanya.

Pada bab kedua, penulis mengemukakan pandangan yang mengelompokkan tasawuf kepada tiga kategori; tasawuf Sunni, tasawuf Falsafi, dan tasawuf Salafi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh pendahulu sufi seperti al-Ghazālī (505 H.), al-Suhrawardī>, Ibn ‘Arabī> (638 H.), dan tokoh-tokoh kontemporer yang meneliti tasawuf seperti Hilāl, ‘Abd al-Qādir Maḥmūd, dan Madkūr. Di samping itu, akan dikemukakan pendapat teolog-teolog klasik seperti al-Rāzi atau sufi seperti al-Qushayrī dan al-Ghazālī tentang posisi tasawuf sebagai teolog yang mandiri atau bagian dari salah satu aliran teolog Islam. Selain itu, juga disajikan pembahasan tentang kaidah dalam mengafirkan seseorang atau suatu paham, sehingga terlihat kapan para teolog seperti ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī (429 H.) berani mengafirkan suatu paham yang cenderung kepada tasawuf tetapi telah keluar dari substansi tasawuf Islam.

Pada bab ketiga, dikemukakan tentang teologi apa saja yang berkembang sejak abad ke tujuhbelas sampai ke sembilanbelas. Di sini akan terlihat mengapa teologi salafi “versi” Ibn Taymīyah atau formulasinya dalam bentuk teologi Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb tidak mempengaruhi teologi umat Islam Nusantara sebelum abad dua puluh.. Hal tersebut dilakukan dengan menjelaskan terlebih dahulu perbedaan mencolok dari substansi teologi yang berkembang di Nusantara dengan teologi Salafi> atau Wahhābī. Setelah itu, akan dikemukakan kecenderungan teologi ulama tasawuf Nusantara kepada teologi Sunni Ash‘arīyah berdasarkan pengamatan terhadap manuskrip-manuskrip yang dibaca. Dalam hal ini, diberikan kajian khusus untuk karya-karya Sulṭan Muḥammad ‘Aydrūs Buton yang berkaitan dengan teologi. Ini dikarenakan karya-karyanya terhadap kajian teologis lebih otoritatif daripada karya-karya lain yang hanya bersifat terjemahan atau komentar.

(20)

tasawuf mereka. Teks-teks yang menjadi bahasan di antara lain ada yang berbentuk manuskrip seperti kitab Jawa>hir al-‘Ulūm fī Kashf al-Ma‘lūm

karya al-Rānīrī,‘Umdat al-Muḥtajīn karya ‘Abd al-Ra’ūf al-Jāwī dan Mu’nisat al-Qulūb karya Muḥammad ‘Aydrūs, dan ada yang telah

berbentuk teks yang telah diterbitkan seperti Sayr al-Sālikīn dan Zād al-Muttaqīn karya ‘Abd al-ṣamad, dan manuskrip lainnya yang berkaitan.

Pada bab kelima, penulis akan memberikan kesimpulan dari kajian yang dilakukan sesuai dengan rumusan dan batasan masalah. Hal ini berupa hipotesa berdasarkan pembacaan dan analisa penulis pada bab-bab sebelumnya.

BAB II

TASAWUF; DI ANTARA TEOLOGI DAN FILSAFAT

Di dalam ranah pemikiran Islam, dikenal berbagai macam kategorisasi tasawuf. Hal ini terlihat dari teori-teori yang pernah berkembang pesat di awal abad ke-20 sampai sekarang. Di antara kategorisasi tersebut, yang paling banyak diikuti adalah pengelompokan tasawuf kepada kelompok Falsafi dan Sunni. Sebenarnya penggunaan dua term tersebut terlihat kurang cocok. Ini dikarenakan, biasanya term Sunni digandengkan dengan Shī‘ah atau Mu‘tazilah sebagai rival teologi. Namun tidak diketahui secara pasti atas alasan apa term Sunni dan Falsafi telah digunakan begitu saja oleh banyak peneliti sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan ini nantinya. Di kalangan akademisi Muslim sendiri tampaknya banyak yang cenderung kepada kategorisasi tersebut. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan Ibrāhīm Madkūr yang menyebutkan bahwa ada corak tasawuf yang ketat menjaga aspek syariah, sehingga disebut dengan tasawuf Sunni.P39F

40

P

40 Ibrāhīm Madkūr

, Fī al-Falsafah al-Islāmīyah: Manhāj wa-Tat{bīq (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1976), I/66. Pengelompokan ini juga diikuti oleh Dr. ‘Abd al-Fattāḥ

(21)

Adapun tasawuf yang kurang menjaga aspek tersebut, maka disebut dengan tasawuf Falsafi. Tetapi pengertian ini terkesan berlebihan dari kenyataan, karena Ibn ‘Arabī>> sendiri mendefinisikan tasawuf yang ia anut sebagai keteguhan dalam menjalankan etika syariat yang ẓāhir dan bātin.41 Konsep ini dikembangkan lagi lebih jauh oleh ‘Abd al-Qādir Maḥmūd dengan menambahkan satu kelompok lain, yaitu tasawuf Salafi.42

Di samping itu, ketiga term ini dalam literatur klasik memang sangat sulit ditemukan, jika tidak akan dinafikan secara mutlak. ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī -seorang teolog yang ketat dalam menilai penyimpangan teologis berbagai aliran dalam Islam- malah mengategorikan tasawuf sebagai salah satu dari delapan kelompok Sunni.43 Tetapi ungkapan al-Ghazālī tentang seorang yang mampu menyelaraskan antara kehendak Tuhan dan kemampuan hamba dengan sebutan sunnī ṣūfī juga akan membuka celah terhadap pengristalan istilah

tersebut.44 Terlepas dari hal itu, penggunaan term baru dalam konteks ini pun bukanlah suatu hal yang terlarang, selama bisa dipertanggungjawabkan.

Di samping itu, tampaknya Ibrāhīm Madkūr telah mengenal kategorisasi klasik terhadap tasawuf. Ia menyebutkan bahwa ada dua golongan tasawuf, yaitu mu‘tadilīn (moderat) dan mutaṭarrifīn (ekstrim).

Aḥmad Fu’ād, Ibn Taymīyah wa-Mawqifuhu min al-Fikr al-Falsafi> (Kairo: al-Hay’ah

al-Miṣrīyah al-‘A<mah li al-Kitāb, 1980), 225-226.

41 Ibn ‘Arabi>>,

Is{t{ilāḥāt al-S{ūfīyah, tahqiq: ‘Abd al-Rah{mān H{asan

Mah{mūd (Kairo: ‘Ālam al-Fikr, 1986), 28. Hal ini diperkuat oleh ‘Abd al-Rah{mān yang tidak mempercayai korelasi dua kata ini ; tasaawuf falsafi. Ia menegaskan bahwa filsafat adalah kekufuran murni, sedangkan tasawuf adalah keimanan murni. Ia menganalogikan keduanya bagaikan dua arah yang tidak akan bertemu selamanya. ‘Abd al-Rah{mān, “Taqdīm” dalam Ibn ‘Arabī, Tanbīhāt ‘alá ‘Ulūm al-H{aqīqat al-Muh{ammadīyah (Kairo: ‘Ālam al-Fikr, 1986), 12. ‘Abd al-Fattāḥ Aḥmad Fu’ād

mendefinisikan tasawuf Falsafi dengan pengertian yang lebih jauh menyudutkan dari pendapat Ibrāhīm Madkūr. Tasawuf Falsafi adalah aliran spiritual yang menyampurkan ajarannya dengan pemikiran Yunani, ajaran hikmah Timur klasik seperti India dan Persia, dan agama-agama lain seperti Kristen. Berdasarkan ini, ‘Abd al-Fattāḥ

menegaskan bahwa tasawuf Falsafi menampakkan Islam pada zahirnya, sedangkan batinnya non-Islami. ‘Abd al-Fattāḥ Aḥmad Fu’ād, Ibn Taymīyah wa-Mawqifuhu min al-Fikr al-Falsafī (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣrīyah al-‘A<mah li al-Kitāb, 1980), 226.

42 ‘Abd al-Qādir Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah fī al-Islām (Kairo: Dār

al-Fikr al-‘Arabī, 1966), 78. Ibrāhīm Madkūr, Fī al-Falsafah, 66. 43 Ia menyebut mereka sebagai

al-zuhhād al-s{ūfīyah, ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.t.), 242.

44Al-Ghazālī,

Rawd}at al-T{ālibīn wa-‘Umdat al-Sālikīn dari Majmū‘āt

(22)

Madkūr menyebut kelompok pertama sebagai tasawuf yang menjaga Sunnah (Sunnīyīn), dan kelompok kedua sebagai tasawuf yang

menyimpang (Mubtadi‘īn).45 Adapun Maḥmūd menyebut term lain,

kelompok pertama sebagai tasawuf ijābī (positif), dan kelompok kedua

sebagai tasawuf salbī (negatif).46

A. Tasawuf “Sunni”

Sebagaimana disinggung sebelumnya, Tasawuf Sunni sangat identik dengan penjagaan aspek syariah. Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut tasawuf Sunni, seperti tasawuf akhlaqi. Walaupun pernah digunakan, tetapi peneliti seperti Madkūr, Maḥmūd, dan Hilāl lebih sering menggunakan term yang pertama. Tasawuf Sunni secara lebih spesifik adalah tasawuf yang berpegang teguh menjaga kemurnian teologi Ahl al-Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh Maḥmūd bahwa tasawuf Sunni sangat ketat dalam menentang penyimpangan teologi. Penyimpangan teologi yang dimaksudkan adalah tasawuf yang meyakini konsep waḥdat al-wujūd.47 Madkūr dan Maḥmūd sepakat

bahwa tokoh utama yang menjadi sentral dalam tasawuf Sunni adalah al-Ghazālī (505 H.).48 Dalam hal ini, beberapa penulis lokal juga tertarik menggunakan term ini, seperti Alwi ṣihab yang menilai bahwa tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan al-Qur’an dan Sunnah.49 Alwi tampak banyak mengikuti pendekatan yang digunakan oleh Maḥmūd. Pembatasan definisi dari tasawuf Sunni kepada pengertian tersebut tidak selamanya bisa diterapkan. Ini dikarenakan tokoh tasawuf falsafi seperti Ibn ‘Arabī>>, dalam pengakuannya juga sangat kuat menjaga ortodoksi shari‘ah sebagaimana akan dibahas nanti.

45 Ibrāhīm Madkūr

, Fi al-Falsafah al-Islāmīyah, I/66. 46 ‘Abd al-Qādir Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 78. 47 ‘Abd al-Qādir Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 157.

48 Mah{mūd telihat menitik beratkan penyimpangan pada konsep

wah{dat al-wujūd yang memaknai tauhid dengan lā mawjūd illá Allāh (Tidak ada eksistensi hakiki

melainkan Allah). Al-Ghazālī dipandang sebagai penjaga kemurnian spiritual Islam yang mencapai hakikat dengan syariat, dan menguatkan syariat dengan hakikat. ‘Abd al-Qādir Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 157. Adapun Madkūr tampak banyak menyinggung konsep h{ulūl daripada wah{dat al-wujūd. Dalam hal ini al-Ghazālī sebagai sufi yang

berteolog Sunni banyak mengemukakan kritikannya. Madkūr, Fī Falsafah al-Islamīyah, 66-67. Pendekatan ini tampaknya lebih mendekati kepada kebenaran historis,

karena al-Ghazālī baru dihadapi konsep h{ulūl bukan wah{dat al-wujūd. 49 Alwi Shihab,

Islam Sufistik (Bandung: Mizan, 2001), 32. Ini merupakan

disertasinya berbahasa Arab ketika di Universitas ‘Ayn al-Shams Kairo yang berjudul

(23)

Terlepas dari hal tersebut, Maḥmūd mempunyai pendekatan yang menarik dalam melirik sejarah tasawuf Sunni. Ia membagi periodesasi tasawuf Sunni kepada tiga generasi, bidāyāt al-t{arīq (periode awal), mutasawassit{āt al-t{arīq (periode tengah), dan nihāyāt al-t{arīq (periode

akhir).

a. Periode Awal

Adapun pada periode awal, tokoh pertama dari kalangan tasawuf Sunni yang tertarik kepada ilmu Kalam adalah al-Muḥāsibī (243 H.).50 Al-Muḥāsibī dianggap sebagai tokoh pertama karena beberapa alasan, pertama ia dibersarkan dalam komunitas ahl al-sunnah. Hal ini terlihat dari tokoh Aḥmad bin ḥanbal (242 H.) yang semasa dengannya. Adapun kedua, al-Muḥāsibī dihadapi oleh polemik dengan teologi Mu‘tazilah yang bermuatan politis di Baghdad, Baṣrah, dan Kufah. Sejarawan seperti al-Dhahabī menyebutkan bahwa al-Muḥāsibī pernah belajar ilmu Kalam kepada Ibn Kullāb51 teolog ulung pada masa tersebut yang juga kritis terhadap Mu‘tazilah. Sedangkan ketiga, ia dianggap sebagai penggagas konsep tasawuf Sunni yang pada periode berikutnya berkembang pesat di tangan al-Ghazālī.

Namun demikian, walaupun al-Muḥāsibī semasa dengan Aḥmad bin ḥanbal, tetapi hubungan mereka berdua tampak kurang harmonis. Aḥmad mengritisinya dengan keras bahkan melarang pembacān terhadap kitab-kitabnya karena al-Muḥāsibī mempunyai kecenderungan dalam membicarakan permasalahan spiritual. Tetapi kemudian, sebagaimana dikemukakan al-Dhahabī, Aḥmad malah tertarik dan kagum dengan ajaran al-Muḥasibī. Ini terlihat dari sikap Aḥmad yang sengaja

50 Al-Sulamī menyebutkan bahwa-al-ḥārith bin Asad al-Muh{āsibī Abū ‘Abd

Allāh adalah ulama sufi yang juga mendalam dalam ilmu zāhir, mu‘āmalāt dan ishārāt. Ia adalah guru dari ulama Baghdad. Karangannya yang berkaitan dengan tasawuf adalah

al-Ri‘āyah li ḥuqūq Allāh (Menjaga Hak-hak Allah). Ia mempunyai riwayat hadis

sampai kepada Nabi Saw. dan kata-kata mutiara yang mengugah. Abū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulami>, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 33.

51 Ibn Kullāb merupakan teolog yang keras menetang wacana Mu‘tazilah yang

cenderung mengatakan bahwa-al-Qur’an adalah makhluq. Ia menjadi guru Dāwud

al-ẓahirī, dan diikuti pada periode berikutnya oleh Abū al-ḥasan al-Ash‘arī>. Selain itu, ia juga sempat mendengarkan ajaran-ajaran kesufian al-Junayd yang membuatnya kagum. Al-Dhahabī tidak mengetahui dengan pasti kapan Ibn Kullab wafat, tetapi ia memperkirakannya sebelum 240 H. Al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’ (Beirut:

(24)

mengundang al-Muḥāsibī untuk mendengarkan ungkapan-ungkapan yang menyegarkan spiritual.52

Kecenderungannya kepada tasawuf ternyata tidak membuatnya meninggalkan aspek teologis. Al-Muḥāsibī justeru sangat ketat dalam masalah teologi, sehingga ia mengatakan bahwa tidak berlaku hukum waris antara dua agama yang berbeda. Agama yang dimaksud oleh al-Muḥāsibī bukanlah agama selain Islam. Konteks pembicaraannya pada saat itu adalah ketika mengritisi ayahnya yang tidak percaya kepada takdir (Qadarīyah). Al-Muḥāsibī bahkan meminta ayahnya untuk menceraikan ibunya, karena Qadarīyah dinilainya telah mengingkari prinsip keimanan.53

Adapun corak tasawuf yang dibangun oleh al-Muḥāsibī adalah orientasi kepada penyucian hati dari penyakit-penyakit rohani, menghindarkan diri dari aktivitas yang negatif, dan kehati-hatian terhadap tipuan (ghurūr) dalam beribadah.54 Kecenderungan tersebut menunjukkan

bahwa al-Muḥāsibī merupakan tokoh tasawuf akhlaqi. Salah satu sebab ia dinamakan al-Muḥāsibī adalah ungkapannya, “Permulaan taat adalah wara‘, permulaan taqwa adalah muḥāsabah (instropeksi) diri, permulaan muḥāsabah adalah al-khawf (takut) dan rajā’ (harap), sedangkan dua hal

tersebut permulaannya adalah mengenal janji baik (sorga) dan buruk (neraka)”.55 Konsep tasawuf akhlaqi yang dikembangkan al-Muḥāsibī banyak mempengaruhi Dhū al-Nūn al-Miṣrī56 (245 H.), Sirrī al-Saqtī (257 H.), al-Kharrāz (279 H.) dan al-Junayd (297 H.) yang dikategorikan Maḥmūd kepada periode kedua. Bahkan, konsep tasawufnya juga mempengaruhi tokoh poros pada masa-masa setelahnya, termasuk al-Ghazālī.57

b. Periode Kedua

52 Al-Dhahabī,

Siyar A‘lām al-Nubalā’, v. 11 h. 227.

53 Al-Dhahabī,

Siyar A‘lām al-Nubalā’, v. 12 h. 11. Abu Nu‘aim, ḥilyat al-Awliyā’, v. 10 h. 75.

54 Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 176. 55 Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 181.

56 Ia adalah Abū al-Fayd} Dhū al-Nūn bin Ibrāhīm al-Mis{ri. Ia disebut oleh

Abū Nu‘aim sebagai tokoh yang berbicara dengan penuh hikmah dan isharat. Al-Sulamī

menilai bahwa ia adalah orang pertama yang berbicara tentang sistematika maqāmāt dan aḥwāl di Mesir. Abū Nu‘aim, ḥilyat al-Awliyā’, v. 4 h. 211. al-Sulami>, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 219.

57 Margaret Smith,

Studies in Early Mysticism in The Near and Middle East

(25)

Pada periode kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya, dimulai dari masa Dhū al-Nūn. Namun, tampaknya periodesasi yang digunakan Maḥmūd terlalu dekat. Ini dikarenakan masa wafat Dhū al-Nūn dengan al-Muḥāsibī (243 H.) hanya berjarak dua tahun yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka semasa. Oleh karena itu, tokoh yang tepat dijadikan sentral pada periode kedua tidak dimulai dari Dhū Nun, tetapi dari Sirrī al-Saqt{ī (257 H.), al-Kharrāz (279 H.) dan al-Junayd (297 H.). Tidak diketahui secara pasti apa alasan Maḥmūd dalam membuat periodesasi tokoh-tokoh tersebut.

Terlepas dari permasalahan tersebut, Dhū al-Nūn dikenal sebagai orang yang pertama membicarakan tentang aḥwāl dan maqāmāt di Mesir. Begitu juga, Sirrī al-Saqt{ī merupakan orang yang melakukannya di Baghdad. Sirrī sangat menekankan kemurnian ibadah yang sesuai dengan Sunnah, sehingga ia mengatakan bahwa ibadah yang sedikit tetapi sesuai dengan Sunnah, lebih baik daripada banyak tetapi bercampur dengan bid‘ah.58 Hal ini menunjukkan bahwa kesufiannya tidak menyebabkan dirinya mengabaikan aspek ortodoksi syariat.

Sirrī berpandangan bahwa puncak pencapaian spiritual pada hakikatnya adalah pentauhidan terhadap Allah semata. Oleh karena itu, ia menyebutkan bahwa ada lima hal pencapaian kepuasan spiritual yaitu takut (khawf), harap (rajā’), cinta (ḥubb), dan kejinakan hati (uns) hanya

kepada Allah semata.

Adapun al-Kharrāz59 juga termasuk sufi yang menekankan keselarasan antara syariat dan hakikat. Hal ini terlihat dari penegasannya bahwa segala sesuatu aspek hakikat yang bertentangan dengan zahir syariat adalah sia-sia.60 Ia banyak membicarakan tentang konsep ma‘rifah dan maḥabbah. Ia berpandangan bahwa cinta Allah kepada Musa adalah

setelah menjadikannya murād (yang diinginkan) setelah menjadi murīd

(yang menginginkan). Walaupun ia juga berbicara tentang fanā’ dan baqā’, tetapi Maḥmūd menilai bahwa konsepnya berbeda dengan Abū Yazīd al-Bust{āmī (261 H.). Fanā’ dalam konsep al-Kharrāz adalah meleburkan ingatan dari segala sesuatu kepada mengingat Allah di dalam hati. Hal ini berbeda dengan Abū Yazīd, yang dalam penilaian Mamud,

58 Al-Sulamī,

T{abaqāt al-S{ūfīyah, 32. Margaret Smith, Studies in Early Mystism, 236.

59 Dia adalah Ah{mad bin ‘Isā Abū Sa‘īd al-Kharrāz merupakan penduduk asli

Baghdad sebagaimana Sirrī al-Saqt{ī. Perbedaan mereka adalah sebagaimana dijelaskan oleh al-Sulami>, bahwa-al-Kharrāz merupakan orang pertama yang berbicara tentang fanā’ dan baqā’ di Baghdad. al-Sulamī, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 73.

60 Al-Sulamī,

(26)

cenderung kepada fana’ dalam konsep ittiḥād. Hal ini terlihat dari

pandangan al-Kharrāz yang mengatakan bahwa fana’ dari mengingat segala sesuatu adalah dengan mengaitkan (irṭibāt{) kepada mengingat

Allah. Ia juga menegaskan bahwa awal dari tanda pencapaian tauhid adalah ketika seseorang keluar dari batas-batas alam, dan mengembalikannya kepada Zat yang mengendalikannya.61

Adapun al-Junayd al-Baghdādī62 tampak menjadi icon tasawuf moderat di kalangan sejarawan tasawuf. Hal ini terlihat dari pandangannya yang cukup ketat menjaga aspek ortodoksi syariah. Ia berpandangan bahwa seseorang yang tidak menghafal al-Qur’an dan menulis hadis maka tidak berhak menjadi penutan dalam disiplin ilmu tasawuf. Hal ini dikarenakan al-Junayd menilai bahwa tasawuf sangat berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan al-Junayd memandang kesetiaan seseorang mengikuti Sunnah merupakan kunci kesuksesan dalam perjalanan spiritual. Ia menegaskan bahwa semua jalan spiritual tertutup kecuali bagi pengikut Sunnah.63 Tetapi, Ibrāhīm Hilāl terlihat kurang sepakat dengan pandangan ini. Ia menilai bahwa al-Junayd termasuk sufi yang menggunakan pendekatan falsafi. Hanya saja ia menilai al-Junayd masih tetap menjaga interpretasi Kitab Suci dengan hukum ẓāhir.64

Di samping itu, aspek teologis yang menjadi pijakan sufi juga ditegaskan oleh al-Junayd bahwa substansi tauhid adalah menyucikan Allah yang qadīm dari sifat makhluk yang baru (al-ḥudūts).65 Al-Junayd

memandang bahwa kebebasan hakiki adalah ketika seseorang mencapai kemurnian tauhid. Hal ini terlihat dari ungkapannya bahwa, “Seorang sufi menjadi bebas ketika ia mentauhidkan Allah dalam ritual”.66 Substansi tauhid yang menjadi pembicaraan al-Junayd adalah mengembalikan pengenalan dan penyaksian seorang kepada penyaksian di alam arwah. Ia menegaskan bahwa kemurnian tauhid yang pernah disaksikan setiap

61 Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 186. 62 Al-Qushayrī menyebutnya sebagai

sayyid ḥādzihi t{a’ifah (pemimpin sufi). Ia

berasal dari Nahāwand namun besar di Irak. Ayahnya adalah penjual kaca. Ia mendalami fiqh Abū Tsawr dan berfatwa dengan maẓab Tsawrī ketika masih umur dua puluhan. Ia sempat belajar kepada sepupunya, yaitu Sirrī al-Saqt{ī. Al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayri>yah, 86.

63 Al-Qushayrī,

al-Risālah al-Qushayri>yah, 86.

64 Ibrāhīm Hilāl,

al-Taṣawwuf al-Islamī bayn al-Dīn wa-al-Falsafah, 54. 65 Al-Qushayrī,

al-Risālah al-Qushayri>yah, 22. 66 Mah{mūd,

(27)

orang di alam arwah tidak pernah berubah sama sekali, walaupun ia telah di dunia.67

Adapun hubungan al-Junayd dengan tokoh-tokoh kontroversi semasanya seperti Abū Yazīd al-Bust{āmī dan al-ḥallāj. Maḥmūd mencatat bahwa sejarawan tasawuf tampak cenderung menilai al-Junayd kurang menyenangi al-ḥallāj. Adapun sikapnya terhadap Abū Yazīd tidak terlihat sikap polemik. Berdasarkan pengamatan Maḥmūd, ini dikarenakan kontroversi periwayatan yang berasal dari Abū Yazīd.68

c. Periode Ketiga

Tokoh sentral pada periode ketiga adalah Abū ḥāmid al-Ghazālī (505 H.). Ia digelari sebagai ḥujjat al-Islām karena kepiawaiannya

menghadapi teologi-teologi yang berseberangan dengan Sunni. Al-Ghazālī diperselisihkan kedudukannya sebagai seorang sufi, filosof, faqih, atau teolog. Ada kemungkinan semua identitas tersebut menyatu di dalam dirinya. Hal ini terlihat dari semua disiplin ilmu yang dikuasai dan ditulisnya. Tetapi tidak sedikit yang keberatan dengan penilian ini, sebagaimana dikemukakan oleh Nicholson. Ia menilai bahwa al-Ghazālī bukanlah seorang sufi karena tidak cenderung kepada konsep Wujūdīyah seperti Ibn ‘Arabī>>. Dalam hal ini, Maḥmūd tampaknya tidak sepakat dengan penilaian Nicholson yang terlihat berlebihan.

Justru sebaliknya, Maḥmūd menilai bahwa al-Ghazālī merupakan tokoh sufi yang berusaha menghidupkan kembali pengetahuan dalam keagamaan. Adapun kecenderungan tasawuf al-Ghazālī adalah tasawuf akhlāqi.69 Hal menarik yang dilakukakan al-Ghazālī adalah menggali konsep ma‘rifah dengan pendekatan psikologi. Hal ini terlihat dari karangannya al-Risālah al-Ladunīyah. Ia berbicara di dalamnya tentang

filsafat ilmu dan proses pencapaian ma‘rifah dengan pendekatan ilmu kejiwaan. Dari segi nilai suatu ilmu maka al-Ghazālī menegaskan bahwa objek ilmu yang paling mulia dan tinggi adalah Allah Swt. Yang Menciptakan alam semesta. Dengan demikian, ilmu yang mulia adalah ilmu mengenal-Nya atau Ilmu Tauhid. Bahkan ilmu ini wājib d}arūrī bagi

setiap orang yang berakal sehat.70 Adapun konsep al-Ghazālī dalam mengklasifikasikan ilmu, maka secara umum ia membagi ilmu ke dalam dua bagian, yaitu ilmu shari‘at dan ilmu ‘aqlī. Kebanyakan ilmu shari‘at

67 Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 191.

68 Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 193. 69 Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 199. 70 Al-Ghazālī,

(28)

dianggap ilmu ‘aqlī oleh pakarnya, dan sebaliknya kebanyakan ilmu ‘aqlī dianggap sebagai ilmu syari‘at oleh pakarnya.71

Lebih lanjut, al-Ghazālī membagi ilmu syari‘at ke dalam dua bagian, pertama uṣūl (bersifat pokok) yaitu Ilmu Tauhid yang bersifat

ilmiah. Ilmu ini membahas segala hal yang berhubungan dengan zat Allah seperti sifat qadīm, sifat fi‘līyah, dan sifat zat.72 Kedua, ilmu furū‘

(bersifat cabang) yaitu ilmu-ilmu yang be

Referensi

Dokumen terkait