• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teologi Ibn Taym ī yah di Nusantara

KECENDERUNGAN TEOLOGI DI NUSANTARA

A. Teologi Ibn Taym ī yah di Nusantara

Sudah menjadi kebiasaan ketika mendengar nama Ibn Taymīyah, maka terlahir persepsi bahwa ia adalah penentang yang kritis terhadap tasawuf Ibn ‘Arabī. Di sisi lain, Ulama Nusantara lebih cenderung kepada tasawuf Ibn ‘Arabī. Bahkan hampir semua tokoh sufi Nusantara adalah

180 Di akhir kitab

Umm al-Barāhīn dijumpai pemaparan tasawuf dan praktiknya.

Begitu juga beberapa teks tasawuf di Nusantara seperti ‘Umdat al-Muḥtājīn karya ‘Abd

al-Ra’ūf al-Jāwī lebih dahulu memaparkan konsep teologi Sunni sebelum praktik ajaran tarekat. Dalam hal ini, Oman Fathurahman dan Munawar Holil mengategorikan teks

Bidāyat al-Hidāyah karya Muḥammad Zayn Ibn al-Faqīh Jalāl al-Dīn sebagai teks

tauhid, meskipun ia mengakui di dalamnya juga dibicarakan tentang tasawuf. Ia juga mengategorikan teks Fatḥ al-Raḥmān fi Sharḥ} Risālat al-Walī Ruslān sebagai teks

tauhid, walaupun kandungan teksnya lebih banyak membicarakan tasawuf. Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, 39 dan 49.

pengikut Ibn ‘Arabi. Berdasarkan hal ini, secara umum terlihat bahwa ulama Nusantara telah bertentangan dengan Ibn Taymīyah, walaupun secara tidak langsung.

Dalam hal ini, sejauh penulusuran literatur yang dilakukan, terlihat bahwa teologi Ibn Taimīyah tidak mewarnai corak teologi ulama Nusantara. Hal ini terlihat dari kajian keislaman yang berkembang sejak kedatangan al-Rānīrī sampai awal abad kesembilan belas. Pada awal abad kesembilan belas baru muncul kecenderungan kepada teologi Ibn Taymīyah dalam formulasi Wahhābīyah. Ini tampak dari kebangkitan gerakan Padri di Sumatra Barat. Hal ini terjadi setelah tiga orang Minangkabau yang menunaikan haji ke Makkah tahun 1803 M. Setelah kepulangan mereka, muncul gejolak politik dan keagamaan di Sumatera Barat. Christine Dobbin menyebutkan bahwa gejolak tersebut merupakan kebangkitan gerakan Padri untuk periode pertama, yaitu sejak tahun 1803 M. sampai 1819 M. Adapun pada periode kedua, dimulai dari 1807 M. sampai 1832.181

Tapi sayang sekali, belum ditemukan satupun peninggalan literatur dari kaum Padri yang secara terang-terangan menunjukkan pengaruh Ibn Taymīyah dan Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Adapun yang ditemukan adalah beberapa naskah peninggalan Tuanku Imam Bonjol yang menjadi pemimpin gerakan Padri periode kedua, tetapi karyanya tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Sejauh ini, baru diketahui kaum tuo mengritisi kaum mudo, karena alasan mereka

mengikuti ajaran Wahhābīyah. Dari kritikan inilah muncul beberapa keterangan dari musuh teologi Wahhābīyah lokal –yang dalam konteks ini adalah kaum tuo- yang menyebutkan ajaran apa saja yang

dipermasalahkan. Seperti ‘Abdul Manaf Khathib (2006 M.) yang sempat menjelaskan penyimpangan Wahhābīyah lokal dari teologi Sunni. Tetapi terlihat bahwa penjelasan tersebut sama atau mungkin saja menukil dari karya Siradjuddin Abbas (1980 M./1400 H.) yang terkenal sebagai kaum

tuo yang produktif untuk “menyerang” ajaran Wahhābīyah. Penjelasan

tersebut terlihat dari ungkapan Siradjuddin bahwa kaum Wahhābīyah meyakini Allah duduk di atas ‘Arasy atau langit, padahal mereka menyatakan Tuhan tidak serupa dengan makhluk. Selain itu, yang relevan dengan konteks kajian ini, sebagaimana disebutkan Siradjuddin,

181 Cristine Dobbin,

Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri

(Depok: Komunitas Bambu, 2008), 202 dan 257; Mahmud Yunus secara umum lebih cenderung mengatakan kebangkitan Wahabi yang utama adalah 1821-1832, atau periode kedua dari kategorisasi Dobbin.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

kelompok Wahhābīyah lokal melarang untuk mempelajari sifat dua puluh seperti yang biasa dilakukan oleh ulama Sunni.182 Namun baik Siradjudin maupun Khathib tidak menyebutkan sumber dari naskah.

Terlepas dari hal itu, permasalahan lain yang muncul adalah apa yang menjadi bukti bahwa teologi Ibn Taymīyah yang menjiwai gerakan Wahhābīyah tidak berkembang di Nusantara. Pembuktian tersebut hanya dapat dipastikan dengan menelusuri menelusuri literatur yang berasal dari abad ketujuh belas sampai kesembilan belas. Penelusuran tersebut tentu tidak bersifat kajian filologis dan kodikologis semata, tetapi lebih memperhatikan kepada muatan yang terkandung dalam teks.

Tetapi sebelum melangkah jauh, perlu dikemukakan teologi Ibn Taymīyah yang belakangan menginspirasi kebangkitan gerakan Wahhābīyah di Nejd, agar dapat dibandingkan dengan teks teologi di Nusantara. Hal ini akan bermanfaat untuk memastikan bahwa teks-teks teologi dan tasawuf pada abad ke-17 sampai 19 pernah dipengaruhi oleh Ibn Taymīyah atau tidak dipengaruhi sama sekali.

Apabila diperhatikan, maka tampak jelas bahwa Ibn Taymīyah bercita-cita untuk mencapai konsep tauhid yang terlepas dari bid‘ah dan syirik. Hal inilah yang ia sebut dengan substansi ajaran Salaf. Ibn Taymīyah menyeru untuk kembali kepada akidah Salaf terutama yang dikembangkan oleh Aḥmad bin ḥanbal (242 H.) Tetapi Ibn Taymīyah sendiri mencoba memberikan inovasi -yang sebenarnya tergolong hal tabu di kalangan Salaf- dalam konsep akidah. Ia menegaskan bahwa tauhid terbagi kepada tiga bagian. Pertama, tauhid rubūbīyah yang berarti

penyaksian terhadap ketuhan Allah terhadap sebagala sesuatu. Kedua tauhid ulūhīyah yang berarti penyembahan mutlak kepada Allah Yang

Maha Esa. Ia memastikan bahwa para rasul diutus untuk menyebarkan tauhid yang kedua ini.183 Ketiga tauhid asmā’ dan ṣifāt yang berarti

penetapan terhadap nama-nama dan sifat Allah. Ia berpandangan bahwa

182 Siradjuddin Abbas,

Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‘i cet ke-19

(Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009). ‘Abdul Manaf Khathib, Risālah Mīzān al-Qalb

(Manuskrip), 54-55. Karya ini ditulis di Batang Kapuak kecamatan Koto Tangah Tabing Padang Sumbar.

183 Ibn Taymīyah,

Istiqāmah (Madinah: al-Jāmi‘ah Ibn Su‘ūd, 1403 H.), ii/31.

Ia mengatakan: ﺩﻳﺣﻭﺗﻟﺎﻓ ﻱﺫﻟﺍ ﺙﻌﺑ ﷲ ﻪﺑ ﻪﻠﺳﺭ ﻝﺯﻧﺃﻭ ﻪﺑ ﻪﺑﺗﻛ ﻭﻫ ﻥﺃ ﺩﺑﻌﻳ ﷲ ﻩﺩﺣﻭ ﻻ ﻙﻳﺭﺷ ﻪﻟ ﻭﻬﻓ ﺩﻳﺣﻭﺗ ﺔﻳﻫﻭﻟﻻﺍ ﻭﻫﻭ ﻡﺯﻠﺗﺳﻣ ﺩﻳﺣﻭﺗﻟ ﺔﻳﺑﻭﺑﺭﻟﺍ ﻭﻫﻭ ﻥﺍ ﺩﺑﻌﻳ ﻕﺣﻟﺍ ﺏﺭ ﻝﻛ ءﻲﺷ ﺎﻣﺄﻓ ﺩﺭﺟﻣ ﺩﻳﺣﻭﺗ ﺔﻳﺑﻭﺑﺭﻟﺍ ﻭﻫﻭ ﺩﻭﻬﺷ ﺔﻳﺑﻭﺑﺭ ﻕﺣﻟﺍ ﻝﻛﻟ ءﻲﺷ ﺍﺫﻬﻓ ﺩﻳﺣﻭﺗﻟﺍ ﻥﺎﻛ ﻲﻓ ﻥﻳﻛﺭﺷﻣﻟﺍ .

yang pertama adalah tauhid orang yang syirik.184 Inilah keanehan dari term yang digunakan Ibn Taymīyah dalam menyebutkan tauhid bagi orang musyrik. Lebih dari itu, Ibn Taymīyah menyangka bahwa tauhid

rubūbīyah adalah puncak tauhid orang yang menjalani ajaran tasawuf. Ia

mengasumsikan bahwa tauhid rubūbīyah merupakan substansi dari

pengalaman rohani yang dicapai sufi ketika fanā’ dan baqā’. Tauhid yang terhenti sampai tahapan ini akan menyebabkan seorang sufi tidak lagi memandang baik dan buruk.185 Sebagaimana Ibn Taymīyah, Ibn al- Qayyim juga menguatkan bahwa tauhid rubūbīyah merupakan objek

utama dalam kajian ilmu kalam dan pencapaian spiritual tertinggi di kalangan sufi, padahal keimanan tidak cukup sampai taraf tersebut.186 Dengan penuh kesadaran, Ibn Taymīyah dan Ibn al-Qayyim telah menyamakan tauhid yang dicapai oleh penganut tasawuf dan ahli ilmu kalam dengan keyakinan orang musyrik.

Terlepas dari kebenaran atau kekeliruan Ibn Taymīyah, tiga pembagian tauhid menjadi ciri khas dari teologi yang ia ajarkan. Berdasarkan hal ini, maka hampir setiap karya teologis yang dipengaruhi oleh ajaran Ibn Taymīyah memulai penulisan dengan tiga konsep tauhid tersebut. Hal ini terlihat dari karya-karya murid-murid Ibn Taymīyah seperti Ibn al-Qayyim al-Jawzīyah dan Ibn Abī al-‘Īzz (792 H.).187 Begitu juga, terlihat dari karya-karya Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (1111- 1202 H.) dan pengikut-pengikutnya.188 Adapun sebaliknya, apabila ada karya teologis Sunni yang tidak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh ini,

184 Ibn Taymīyah,

Istiqāmah, ii/31; Ibn Taymīyah, Iqāmat al-Dalīl ‘alá Ibthāl al-Taḥlīl, II/97. Ibn al-Qayyim, Ighāthat al-Lahfān fī Maṣā’id al-Shayṭān (Beirut: Dār

al-Ma‘rifah, 1975), ii/135. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ} al-ṭaḥāwīyah (Kairo: Dār al-ḥadith,

2008), 1.

Ibn Taymīyah menyebutkan dalam Iqāmat al-Dalīl: ِﺔﱠﻳِﺑﻭُﺑﱡﺭﻟﺍ ِﺩﻳِﺣ ْﻭَﺗِﺑ َﻥﻭﱡﺭِﻘُﻳ ُﺭﺎﱠﻔُﻛْﻟﺍ َﻥﺎَﻛَﻓ

َﻭُﻫ َﻭ ُﺔَﻳﺎَﻬِﻧ ﺎَﻣ ُﻪُﺗِﺑْﺛُﻳ ِء َﻻ ُﺅَﻫ َﻥﻭُﻣﱢﻠَﻛَﺗُﻣْﻟﺍ ﺍَﺫﺇ ﺍﻭُﻣِﻠَﺳ ْﻥِﻣ ِﻉَﺩِﺑْﻟﺍ ِﻪﻳِﻓ ﺍﻭُﻧﺎَﻛ َﻭ َﻊَﻣ ﺍَﺫَﻫ

َﻥﻳِﻛ ِﺭْﺷُﻣ . Teks ini diungkapkan

oleh Ibn al-Qayyim dan Ibn Abī al-‘Izz dengan ungkapan yang hampir sama.

185 Ibn Taymīyah,

Iqtid}ā’ al-Shirāṭ al-Mustaqīm, tahqīq: Muḥammad ḥāmid al-

Qafā (Kairo: Sunnah al-Muḥammadīyah, 1369 H.), 461. Ibn Taymīyah mengatakan:

ﻥﺇ ﺔﻔﺋﺎﻁ ﻥﻣﻣ ﻡﻠﻛﺗ ﻲﻓ ﻕﻳﻘﺣﺗ ﺩﻳﺣﻭﺗﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻕﻳﺭﻁ ﻝﻫﺃ ﻑﻭﺻﺗﻟﺍ ﻥﻅ ﻥﺃ ﺩﻳﺣﻭﺗ ﺔﻳﺑﻭﺑﺭﻟﺍ ﻭﻫ ﺔﻳﺎﻐﻟﺍ ءﺎﻧﻔﻟﺍﻭ ﻪﻳﻓ ﻭﻫ ﺔﻳﺎﻬﻧﻟﺍ ﻪﻧﺃﻭ ﺩﻬﺷ ﻙﻟﺫ ﻪﻧﻋ ﻥﺎﺳﺣﺗﺳﺍ ﻥﺳﺣﻟﺍ ﺡﺎﺑﻘﺗﺳﺍﻭ ﺢﻳﺑﻘﻟﺍ . 186 Ibn al-Qayyim,

Ighāthat al-Lahfān, i/75. Ibn al-Qayyim, ṭarīq al-Hijratayn wa Bāb al-Sa‘adatayn (Dimām: Dār Ibn al-Qayyim, 1994), 55 dan 98. Aḥmad bin

Ibrāhīm, Sharḥ} Qaṣīdah Ibn al-Qayyim (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1406 H.), i/132. 187 Ibn Abī al-‘Izz mendahulukan penyebutan tauhid sifat sebelum rubūbīyah

dan ulūhīyah. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ} al-ṭaḥāwīyah, 18-19.

188 Ini seperti karya Sa‘īd al-Jandūl yang memberikan komentar terhadap Kitāb al-Tawhīd karya Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Sa‘īb al-Jandūl, al-Durr al-Nad}īd

maka akan lebih cenderung memulai kajian teologi dari pembagian sifat- sifat Allah sebagaimana dilakukan oleh al-Sanūsī.

Dalam hal ini Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, misalnya, menyebutkan bahwa Nabi Saw memerangi kelompok musyrik Arab, padahal mereka telah bertauhid rubūbīyah. Tetapi keyakinan mereka belum ditambah dengan tauhid ulūhīyah. Ia sepakat dengan pendapat Ibn

Taymīyah dalam hal ini, bahkan ia memujinya sebagai ungkapan yang terbaik.189 Hal yang sama dikatakan oleh ḥāfiẓ bin Aḥmad ḥukmī - komentator ajaran Ibn Taymīyah- dengan menyebut mereka secara eksplisit, ahl al-awthān (penyembah berhala).190

Selain itu, tema penting dari implikasi konsep tauhid ulūhīyah

adalah penolakan terhadap tradisi tawassul sebagaimana diperbolehkan dalam teologi Sunni Ash‘arīyah. Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, misalnya, berani menganggap orang Islam yang bertawasul kepada malaikat, para nabi, dan orang saleh dalam kelompok mushrikīn (orang-

orang yang syirik). Dalam pemahamannya, tawassul adalah meminta kepada selain Allah.191 Tetapi di tempat lain, ketika menulis risalah kepada penduduk al-Quṣaym, Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb menolak isu yang menyebutkan bahwa ia mengafirkan orang-orang yang bertawassul.192

Selain itu, permasalahan yang menjadi pemicu pemikiran Ibn Taymīyah tidak berkembang pesat di Nusantara adalah pandangannya terhadap tasawuf. Ibn Taymīyah menyadari perdebatan mengenai kemunculan tasawuf. Ketika dihadapi perbedaan pendapat mengenai asal istilah tasawuf; berasal dari kata ṣuffah (sahabat yang tinggal di mesjid Nabawi), ṣafā-ṣafwah (kesucian), atau pakaian dari ṣūf} (wol). Ibn

Taymīyah menilai pendapat yang benar adalah yang terakhir, yaitu sūf.193 Secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Aḥmad bin Muḥammad al-Banānī bahwa Ibn Taymīyah tidak sepenuhnya menentang ajaran tasawuf. Tokoh yang digelari oleh pengikutnya Shaykh al-Islām

ini, lebih cenderung mengritisi ajaran tasawuf yang ‘bertentangan’ dengan

189 Muammad bin ‘Abd al-Wahhāb,

Mu’allafāt al-Shaykh al-Imām Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (Riyād}: al-Jāmi‘ah Muḥammad Ibn Su‘ūd, t.t.), 19

dan 145.

190 ḥāfi bin Amad ukmī,

Ma‘ārij al-Qabūl (Dimām: Dār Ibn al-Qayyim,

1900), ii/401.

191 Muammad bin ‘Abd al-Wahhāb,

Mu’allafāt al-Shaykh, 151 dan 154. ḥafīẓ

bin Aḥmad ḥukmī, Ma‘ārij al-Qabūl, ii/523. 192 Muammad bin ‘Abd al-Wahhāb,

Mu’allafāt al-Shaykh, 12. 193 Ibn Taymīyah,

al-Qur’an dan Sunnah.194 Tentu saja ajaran yang ‘bertentangan’ dalam pengertian yang terbatas dengan pemahamannya terhadap dua sumber ajaran Islam tersebut. Dalam hal ini, belum tentu tokoh-tokoh yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam merasa bertentangan seperti dikatakan Ibn Taymīyah.

Ketika menghadapi perdebatan teologis, Ibn Taymīyah memandang penyimpangan dalam perdebatan para teolog sama dengan kerancuan ajaran Yahudi. Ini berbeda sedikit ketika ia mengomentari penyimpangan tasawuf dipandang Ibn Taymīyah sebagai kerancuan yang mirip dengan Nasrani. Ia menambahkan bahwa hal itulah yang menyebabkan banyak teolog yang cenderung kepada apa yang ia sebut dengan al-ḥurūf, ungkapan yang menunjukkan keunggulan dalam menulis

dan berdebat tentang pengetahuan dan keyakinan. Adapun kebanyakan sufi, maka ia menilai lebih cenderung kepada aspek esoteris dalam hal

aṣwāt, ungkapan yang mengisyaratkan tentang syair sufi yang berbentuk samā‘.195 Selain itu, ia menilai konsep tasawuf tentang wujūd muṭlaq dan tajallī lebih mirip dengan perkataan majānīn (orang-orang gila).196

Ibn Taymīyah memandang para teolog yang ia sebut sebagai

mutakallimīn dan ahli tasawuf dengan penilaian yang sama. Ketika ia

mengatakan bahwa sebagaimana mutakallimīn telah menulis karya

teologis yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah, maka hal yang sama juga terjadi dengan kaum sufi. Ia menyontohkan karya al-Qushayri> “al- Risālah” yang tidak lagi mengikuti tradisi salaf, karena hanya menukil

dari generasi salaf yang terakhir. Begitu juga dengan al-Kalābadhī dan al- Sulami>. Walaupun ia mengakui bahwa tokoh terakhir pernah menulis

Sayr al-Salaf –judul yang digemari oleh Ibn Taymīyah- tetapi ia berkilah

bahwa al-Sulamī hanya mengemukakan di dalamnya aḥwāl dan maqāmāt

dari generasi salaf, terutama di Baṣrah.197 Hal ini memperkuat asumsi Ibn Taymīyah bahwa tasawuf bukan bersumber dari cara hidup Nabi Saw dan para sahabat. Tetapi tasawuf dalam pandangannya berasal dari cara hidup zuhud yang pernah berkembang di kota Baṣrah. Ia menganalogikan

194 Amad bin Muammad al-Banānī,

Mawqif al-Imām Ibn Taymīyah min al- Taṣawwuf wa-al-ṣūfīyah (Makkah: Jāmi‘at Umm al-Qurā, 1992), 15.

195 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwa, II/42. 196 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwā, II/167>.

197 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwā, II/379. al-Qushayri> memang memulai dari

tokoh-tokoh salaf yang terakhir, seperti Ibrāhīm bin Ad-ham, Dhū al-Dūn al-Miṣrī, Fud}ayl bin ‘Īyad}} dan tokoh lainnya. Al-Qushayrī, al-Risālah, 63, 65, 66.

perkembangan tersebut dengan kemunculan ahli fiqih rasionalis (ahl al- ra’y) yang bersumber dari metode ulama di Kufah.198

Perbandingan lain yang dikemukakan oleh Ibn Taymīyah adalah metode perolehan pengetahuan antara teolog dan filosof, ahli hadis dan Sunnah, dan tasawuf. Teolog dan filosof mengagung-agungkan metode rasionalitas. Metode ini bukannya suatu yang hebat bagi Ibn Taymīyah, tetapi malah banyak kerusakan dan kontoversial. Ia menilai mereka sebagai makhluk Allah yang paling banyak kontroversial, sehingga setiap golongan menolak pendapat yang lain karena memandang pendapatnya

qat‘ī (kuatdan pasti). Adapun di kalangan ahli hadis, terdapat golongan

kecil yang berargumen dengan hadis yang lemah dan mawd}ū‘ untuk menguatkan pendapat mereka. Hal ini berbeda dengan kaum sufi yang membangun pengetahuan mereka berdasarkan mimpi-mimpi dalam tidur (manāmāt), perasaaan (adhwāq), dan imajinasi (khayālāt) yang dinilai

sebagai penyingkapan spiritual (kashf). Padahal, ungkap Ibn Taymīyah, kashf yang mereka maksud hanyalah khayalan yang tidak realistis dan

ilusi yang tidak benar.199

Tetapi di sisi lain, Ibn Taymīyah terlihat mencoba menerima beberapa aspek teologi dari kalangan sufi. Hal ini dapat diketahui dari komentarnya ketika al-Junayd mendefinisikan tauhid sebagai ungkapan untuk mengesakan Allah Yang Maha Qadīm dari alam yang ḥādith

(baru). Ia mengatakan bahwa siapa yang mengikuti metode al-Junayd maka akan mendapat keselamatan, kesuksesan, dan kebahagiaan spiritual.200

Dalam hal ini, Ibn Taymīyah mengelompokkan kaum sufi kepada dua golongan, golongan yang lurus dan yang sesat. Golongan ini terkesan minoritas dalam pandangan Ibn Taymīyah, karena ia menyebut yang kedua sebagai jumlah terbanyak. Hal ini jelas ketika ia menyebut kathīr min al-mutaṣawwifah wa-al-fuqarā’ (kebanyakan dari ahli tasawuf dan

“faqir”) menganggap imajinasi dan ilusi sebagai kashf.201 Adapun

golongan minoritas tersebut, justru adalah tokoh yang ia nilai sebagai

198 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwā, X/367. 199 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwā, XI/339. Ibn Taymīyah mengatakan: ٌﺭﻳِﺛَﻛ َﻭ ْﻥِﻣ ِﺔَﻓ ﱢﻭَﺻَﺗُﻣْﻟﺍ ِءﺍَﺭَﻘُﻔْﻟﺍ َﻭ ﻲِﻧْﺑَﻳ ﻰَﻠَﻋ ٍﺕﺎَﻣﺎَﻧَﻣ ٍﻕﺍ َﻭْﺫَﺃ َﻭ ٍﺕ َﻻﺎَﻳَﺧ َﻭ ﺎَﻫُﺩِﻘَﺗْﻌَﻳ ﺎًﻔْﺷَﻛ َﻲِﻫ َﻭ ٌﺕ َﻻﺎَﻳَﺧ ُﺭْﻳَﻏ ٍﺔَﻘِﺑﺎَﻁُﻣ ٌﻡﺎَﻫ ْﻭَﺃ َﻭ ُﺭْﻳَﻏ ٍﺔَﻗِﺩﺎَﺻ 200 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwā, XIV/355>. Ibn Taymīyah, al-ḥasanah wa- al-Sayyi’ah, tahqiq M. Jamīl al-Ghāzī(Madinah: Maṭba‘ah al-Madanī, t.t.), 17.

َﻥﱠﻳَﺑ َﻭ ْﻡُﻬَﻟ ﺩْﻳَﻧُﺟْﻟﺍ ﺎَﻣَﻛ َﻝﺎَﻗ ﻲِﻓ ِﺩﻳِﺣ ْﻭﱠﺗﻟﺍ : َﻭُﻫ ُﺩﺍَﺭْﻓﺇ ِﺙﻭُﺩُﺣْﻟﺍ ْﻥَﻋ ِﻡَﺩِﻘْﻟﺍ . ْﻥَﻣَﻓ َﻙَﻠَﺳ َﻙَﻠْﺳَﻣ ﺩْﻳَﻧُﺟْﻟﺍ ْﻥِﻣ ِﻝْﻫَﺃ ِﻑ ﱡﻭَﺻﱠﺗﻟﺍ ِﺔَﻓ ِﺭْﻌَﻣْﻟﺍ َﻭ َﻥﺎَﻛ ْﺩَﻗ ﻯَﺩَﺗْﻫﺍ ﺎَﺟَﻧ َﻭ َﺩِﻌَﺳ َﻭ 201 Ibn Taymīyah,

shuyūkh al-ṣūfīyah al-kibār seperti Fud}ayl bin ‘Īyād}, Ibrāhīm bin Ad-

ham, Abū Sulaymān al-Dārānī, ‘Amrū bin ‘Uthmān al-Shiblī, al-Junayd, Sahl al-Tastarī, dan Abū ‘Abd Allāh al-Syayrāzī>, Ma‘rūf al-Kharkhī.202 Ia pernah mengatakan bahwa pada ajaran mereka terdapat keimanan dan pengetahuan benar. Pengelompokan ini tampak didukung oleh Mulā ‘Alī al-Qārī -salah seorang pengritis tasawuf Ibn ‘Arabī>-.203

Adapun kelompok kedua adalah tokoh seperti al-ḥallāj (309 H.), Ibn ‘Arabī>>, Ibn Sab‘īn, dan Ibn al-Fārid}. Ibn Taymīyah menilai bahwa konsep tasawuf kelompok kedua justru dianggap kafir oleh kelompok yang kedua. Ia memberikan contoh hal tersebut dengan metode Ibn Sab‘īn yang membalut pemikiran filsafat dengan bahasa tasawuf.204 Tetapi tuduhan Ibn Taymīyah ini terlihat tidak relevan, karena Ibn Sab‘īn sendiri adalah pengritis yang tajam terhadap filsafat, bahkan juga terhadap teolog.205 Namun bukan berarti Ibn Sab‘īn menolak bahwa seorang sufi terlepas dari teolog. Justru ia mengatakan bahwa di antara penyebab kesempurnaan spiritual dalam tasawuf adalah berpijak pertama kali kepada teologi Sunni Ash‘arī,206 walaupun Ash‘arī tidak luput dari kritikannya.

Di samping itu, Ibn Taymīyah juga tidak konsisten menggunakan term ittiḥād, ḥulūl dan waḥdat al-wujūd dengan pemaknaan yang

berbeda. Ia menyebut Ibn ‘Arabī>> sebagai tokoh besar Ittiḥadīyah yang sering tidak sepakat dengan al-Junayd.207 Ibn Taymīyah menilai Ittiḥadīyah seperti Ibn ‘Arabī dan Ibn Sab‘īn sama dengan golongan Shī‘ah Qarāmiṭah dan Ikhwān al-Shafā yang cenderung kepada kebatinan. Tetapi yang mengherankan adalah ungkapannya bawa dua tokoh tersebut sebagai ittiḥādīyah ahl waḥdat al-wujūd (Ittiḥādīyah dari golongan waḥdat al-wujūd) –bentuk penggabungan dua term yang tidak lazim-.208

Di sisi lain, walaupun ia mengatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabī> tergolong kafir, tetapi ia mempunyai komentar lain terhadapnya. Ibn Taymīyah mengatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabī lebih mendekati

202 Ibn Taymīyah,

Majmū Fatāwā, II/107. 203 Ibn Taymīyah,

al-‘Aqīdah al-Isfahānīyah, 164. ‘Alī al-Qāri, al-Radd ‘alá al-Qā’ilīn bi Waḥdat al-Wujūd, 93.

204 Ibn Taymīyah,

al-Kaylānīyah, 21; Ungkapan yang sama juga ia kemukakan

di Ibn Taymīyah, al-Nubuwwāt (Kairo: Maṭba‘ah al-Salafi>yah, 1386 H.), 160. 205 Ibn Sab‘īn,

Risālah Budd al-‘Ārif, 301. 206 Ibn Sab‘īn,

Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 118. 207 Ibn Taymīyah,

al-Istiqāmah (Madinah: Matba‘ah al-Jam>i‘ah Muḥhammad Ibn Su‘ūd, 1403), 93.

208 Ibn Taymīyah,

‘Aqidah al-Asfahānīyah (Riyad}: Maktabah al-Rusyd, 1415

kepada Islam daripada Ibn Sab‘īn, al-Qūnawī (673 H.), dan al-Tilimsāni> dan pengikut-pengikut mereka.209

Kembali kepada usaha pembuktian bahwa teologi Ibn Taymīyah memang pernah atau sebaliknya tidak pernah mempengaruhi perkembangan teologi Nusantara, maka dapat dilakukan dengan mengetahui kandungan dari karya-karya ulama tasawuf Nusantara yang populer pada abad ketujuh belas sampai sembilan belas yang berkaitan dengan permasalahan teologi. Dapat dikatakan bahwa secara umum, nama “Ibn Taymīyah” lebih identik dengan penentangan terhadap tasawuf. Ini terlihat dari karya-karya yang dihasilkannya, seperti Furqān bayn Awliyā’ al-Rah>man wa-Awliyā al-Syayṭān (Pembeda antara Wali

Allah dan Wali Syetan) dan Bughyat al-Mustafīdīn.

Salah seorang tokoh yang akan sering disebutkan di sini adalah Nūr al-Dīn al-Rānīrī, untuk dijadikan contoh dari ketiadaan pengaruh Ibn Taymīyah terhadapnya. Walaupun ada yang mengidentikkan al-Rānīrī dengan Ibn Taymīyah dalam menyerang ajaran ḥulūl dan ittiḥād, tetapi

nama tokoh terakhir memang tidak pernah muncul dalam karya al-Rānīrī. Ini dikarenakan al-Rānīrī –sebagaimana akan dijelaskan pada bab keempat- adalah penganut ajaran Wujūdīyah juga. Bahkan ia telah mencapai tingkitan spiritual yang tinggi, sehingga mempunyai otoritas untuk mengajarkan beberapa tarekat. Hal ini terbukti dari pegakuan Yūsuf al-Makassari> yang pernah belajar tarekat Qādirīyah dari al-Rānīrī.210 Berdasarkan hal ini, sulit diterima bahwa Ibn Taymīyah mempengaruhi sikap keagamaan al-Rānīrī.

Ada beberapa karya al-Rānīrī yang berkaitan dengan teologi, pertama Durrat al-Farā’id} bi Sharḥ} al-‘Aqā’id. Kitab ini merupakan

saduran dalam bahasa Melayu dari karya Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī yang melakukan komentar terhadap Mukhtaṣar al-‘Aqā’id karya Najm al-Dīn

‘Umar al-Nasafī.211 Apabila diperhatikan kitab sumber yang dijadikan

209 Ibn Taymīyah,

Majmū Fatāwā, II/121. Ia mengatakan:

ﻰﻓﻭ ﻪﺑﺗﻛ ﻝﺛﻣ ﺕﺎﺣﻭﺗﻔﻟﺍ ﺔﻳﻛﻣﻟﺍ ﺎﻬﻟﺎﺛﻣﺃﻭ ﻥﻣ ﺏﻳﺫﺎﻛﻻﺍ ﻻﺎﻣ ﻰﻔﺧﻳ ﻰﻠﻋ ﺏﻳﺑﻟ ﺍﺫﻫ ﻭﻫﻭ ﺏﺭﻗﺃ ﻰﻟﺇ ﻡﻼﺳﻹﺍ ﻥﻣ ﻥﺑﺍ ﻥﻳﻌﺑﺳ ﻥﻣﻭ ﻯﻭﻧﻭﻘﻟﺍ ﻰﻧﺎﺳﻣﻠﺗﻟﺍﻭ ﻪﻟﺎﺛﻣﺃﻭ ﻥﻣ ﻪﻋﺎﺑﺗﺃ . 210 Yūsuf al-Makassari>,

Safīnat al-Najāḥ dalam Tudjimah, Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya (Jakarta: UI-Press, 1997), 200. Yūsuf mengatakan:

“Sesugguhnya aku mengambil kelompok syekh ini [tarekat Qādiriyah] dari syekh kami, sandaran kami yag alim, yang mulia, yang arif, yang sempurna, yang mempersatukan ilmu syariat dan hakikat, yang berhak atas makrifat dan tarekat, tuan kami Syekh Muḥammad al-Jilān, yang terkenal dengan panggilan Syekh Nūr al-Dīn Hasanjī b. Muḥammad Humayd al-Ursha al-Rānīrī.”

211 Tudjimah menyebutkan bahwa C.A.O. van Nieuwenhuyze menjelaskan

saduran dalam Durrat al-Farā’id}, maka terlihat bahwa kitab tersebut

merupakan literatur yang cenderung kepada teologi Sunni Māturīdīyah. Ini dikarenakan kedudukan al-Nasafī di kalangan Māturīdīyah seperti Abū ḥāmid al-Ghazālī di kalangan Ash‘arīyah. Al-Nasafī dipandang

Dokumen terkait