• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tasawuf “ Falsafi ”

Penamaan ini termasuk teori baru yang tidak ditemui di kalangan sejarawan Muslim klasik. Sebagai contoh, Ibn Khaldūn (808 H.) filosof historis yang terkenal dengan konsep evolusi sejarah, hanya menyebut kelompok tasawuf dalam kategori ini dengan mazhab ahl al-tajallī wa-al- maẓāhir wa-al-h>ad}ārāt (kelompok yang meyakini menifestasi Tuhan).

Ia membedakan dengan kelompok sufi yang menafikan wujud selain Allah secara mutlak. Kelompok kedua disebut sebagai mazhab yang lebih ganjil (ra’y aghrab) dari yang pertama.85 Tetapi kategorisasi Ibn Khaldūn

81 Al-Ghazālī,

Rawd}at al-T{ālibīn (Beirut: Dār al-Kutub, 2006), 8. 82 Mah{mūd,

al-Falsafah al-S{ūfīyah, 238. 83 Al-Ghazālī,

Fays{al al-Tafriqah (Beirut: Dār al-Kutub, 2006), 98-99.

84 Al-Ghazālī,

Rawd}at al-T{ālibīn, 6. 85 Ibn Khaldūn,

Tārīkh Ibn Khaldūn, (Beirut: Dār al-Turāth al-‘Arabī), I/471, ia

tersebut memang membuka celah untuk melahirkan dikotomi terhadap tasawuf.

Adapun kategorisasi tasawuf falsafi tampak baru muncul di awal abad keduapuluhan. Dalam hal ini, Ibrāhīm Hilāl yang cenderung kepada pengelompokan tasawuf kepada corak Sunni dan falsafi, merumuskan bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang dipengaruhi konsep

ishrāqī (iluminasi) al-Fārābī. Hilāl menegaskan bahwa konsep ishrāqī

tersebut mempunyai peran besar dalam melahirkan konsep ma‘rifah

(pengenalan kepada Allah) pada ranah kesufian. Ia cenderung berpendapat demikian karena menilai hasil dari konsep ma‘rifah di

kalangan sufi falsafi tidak jauh berbeda dengan para filosof itu sendiri. Hal ini sangat kental, ungkap Hilāl, jika dilakukan komparatif antara beberapa konsep tertentu dari dua ranah tersebut, maka akan ditemukan banyak persamaan. Ia menyontohkan kesamaan tersebut ketika dilakukan kajian komparatif terhadap interpretasi konsep walāyah (kewalian), nubuwwah (kenabian), wahyu, mukjizat, dan keramat para wali.86

Tokoh-tokoh pada periode awal yang dikategorikan penganut tasawuf falsafi antara lain Abū Yazīd al-Bust{amī. Ia dikenal dengan konsep fanā’ yang mengantarkannya kepada ittiḥād. Ia berpandangan

bahwa penyatuan dengan Allah merupakan sebuah totalitas. Pada tahapan tersebut yang menyintai (muḥibb) dan yang dicintai (maḥbub) telah

menjadi satu.

Adapun al-ḥallāj pada periode pertengahan dianggap sebagai penggagas konsep ḥulūl (inkarnasi). Namun tampaknya anggapan

tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan juga banyak ungkapan al-ḥallāj yang menunjukkan konsep ḥulūl. Oleh karena itu,

Maḥmūd menggandengkan mazhab ḥulūl al-Fārābī dengan al-ḥallāj.87

Konsep tersebutlah kemudian yang mengantarkannya kepada hukuman mati, yang tak terlepas dari tendensi politik atau teologi.

Pembicaraan tasawuf falsafi tidak menarik jika tidak menampilkan al-Suhrawardī (587 H.) yang bernasib tidak jauh berbeda dengan al-ḥallāj.

memikirkannya, karena kerumitan yang terdapat di dalamnya; Ibn Khaldūn,

Muqaddimah (Kairo: Dār Ibn al-Haytsam, 2005), 395. 86 Ibrāhīm Hilal,

Tas{awwuf bayn al-Dīn wa Falsafat (Kairo: Dār al-Nahd}ah,

1979), 33. Tampaknya teori ini diikuti oleh banyak penulis lainnya. Ini terlihat M. Jalal Sharf peneliti filsafat dan tasawuf di Alexandaria yang menggunakan padangan tersebut untuk menilai al-Harith al-Muh{āsibī sebagai pengasas tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni diartikannya sebagai tasawuf yang dibangun berdasarkan ajaran al-Qur’an, Sunnah. Lihat M. Jalal Sharf, al-Taṣawwuf al-Islamī fī Madrasat al-Baghdād (Alexandaria: Dār

al-Mat{ba‘at al-Jāmi‘ah, 1972), 167.

87 Mah{mūd,

Inilah yang menyebabkan ia digelari dengan al-maqtūl (yang dihukum

mati). Ia dikenal dengan konsep tasawuf ishrāqī di kalangan sejarawan.

Tidak seperti tokoh-tokoh lain, ia merupakan tokoh yang terang-terangan menegaskan bahwa ajarannya tentang al-anwār (cahaya) telah pernah

digagas oleh Plato, Hermes sampai para filosof pada zaman Ampadokles.88 Hilāl menilai bahwa tasawuf yang dikemukakan al- Suhrawardī sangat mirip denga konsep filosofis yang dikembangkan al- Fārābī dan Ibn Sina. Tetapi Hilāl mengakui, bahwa al-Suhrawardī ternyata masih menilai cacat konsep kedua tokoh tersebut, karena mereka kering dari pendekatan intuisi (dhawq).89 Ketika al-Fārābī menyebutkan

terori ilmuniasi kepada sembilan tingkatan, dan Ibn Sina kepada sepuluh tingkatan, maka al-Suhrawardī mengatakan bahwa tingkatan tersebut tidak hanya terbatas pada bilangan tersebut. Namun, iluminasi al-anwār

pada hierarki Akal akan berlanjut lebih banyak dari sepuluh, dua puluh, ratusan, bahkan tak terhingga.90 Tampaknya konsep ini mendekati pemahaman Ibn Taymīyah yang keberatan dengan pembatasan al-Fārābī dan Ibn Sīnā. Ibn Taymīyah mengatakan bahwa "akal" yang sepuluh atau sembilan tersebut terdapat di langit tiada lain adalah para malaikat di dalam term agama. Namun Ibn Taymīyah menjawab dengan selingan berbagai ayat al-Qur'an bahwa jumlah mereka tidak diketahui kecuali oleh Allah. Para malaikat dalam Islam adalah para utusan Allah, mereka diperintahkan mentadbir langit, dan lain sebagainya.91

Tetapi tampaknya, al-Suhrawardī> pun tak luput dari objek kritikan Ibn Taymīyah yang menilai bahwa konsep iluminasi dan kausalitas dalam konsep heirarki akal dan jiwa merupakan ungkapan lain dari tawallud (lahir/anak) terhadap Allah. Konsep heirarki menerapkan

bahwa akal dan jiwa yang mereka anggap sebagai malaikat merupakan kausalitas dari Allah. Allah adalah sumber segala ma‘lūlāt (hasil dari

sebab akibat).92 Menurut Ibn Taymīyah, Allah tidaklah membutuhkan sebab (tawallud al-ma‘lūl) ketika menciptakan segala sesuatu, tetapi jika

Dia berkehendak hanya dengan mengatakan "kun" (terjadilah!).93 Kritikan

ini menunjukkan ketimpangan dari pemahaman Ibn Taymīyah itu sendiri.

88 Al-Suhrawardī,

ikmat al-Ishrāq (Teheran: Mishkāt ‘Ulūm Insānī, 1373 H.),

11. Hilal dalam Tas{awwuf, 103. 89 Ibrāhīm Hilal,

Tas{awwuf, 103. 90 Ibrāhīm Hilal,

Tas{awwuf, 103. 91 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwā (Riyād}: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995), v. 4 h. 119.

92 Ibn Taymīyah,

Majmū‘ Fatāwā, v. 4 h. 127. 93 Ibn Taymīyah,

Ini dikarenakan filosof-filosof Muslim tersebut tidak pernah meyakini proses tawallud pada zat Allah.

Sufi Teolog

Istilah ini memang tidak biasa digunakan. Tetapi bukan berarti hal ini baru disadari dan ditemukan. Beberapa peneliti tasawuf kontemporer seperti Alexander Knysh tampak mulai membaca indikasi ini, walaupun ia tidak mengemukakan istilah ini. Ia hanya sampai mengatakan ‘teologi sufi' dalam perspektif usaha mendamaikan keduanya atau salah satunya memanfaatkan yang lain. Ia menyebutkan bahwa al-Ghazālī memperkuat atau menyegarkan Islam Sunni dengan menggabungkannya dengan beberapa dasar tasawuf. Ini berbeda dengan pengikut Ibn ‘Arabī> yang ingin mempertahankan keyakinan mereka. Mereka berusaha menampilkan ayat atau hadis yang memperkuat asumsi bahwa tasawuf mempunyai dasar dalam Islam.94

Hal ini dikarenakan teori-teori tasawuf Ibn ‘Arabī>> (638 H.) mulai diperdebatkan dikalangan teolog. Ia memang lebih dikenal sebagai tokoh yang mengusung ajaran waḥdat al-wujūd,95 walaupun term tersebut

sebagaimana diakui Wiliam Chittick tidak ditemukan dalam karyanya.96 Claude Addas –penulis yang sangat detail menulis tentang tokoh ini, mengakui bahwa tema wujūd memang problematis dalam karya Ibn

‘Arabī. Ia mensinyalir peran ṣadr al-Dīn al-Qūnawī dalam mempopulerken istilah ini ketika mensistematikakan ajaran gurunya; Ibn ‘Arabī97. Di sisi lain, penisbahan konsep ini kepada Ibn ‘Arabī juga dikarenakan ‘jasa’ Ibn Taymīyah yang mengritisi secara tajam. Tetapi ambiguitas pemahaman Ibn Taymīyah tampak sangat mencolok ketika menyamakan menyamakan konsep waḥdat al-wujūd Ibn ‘Arabī dengan ḥulul dan ittiḥād. Berdasarkan penyamaan ini ia menilai Ibn ‘Arabī

sebagai penganut ateisme (ahl al-ilḥād). Sikap serupa juga diikuti oleh

94 Alexander Knysh,

Ibn ‘Arabi> in the Later Islamic Tradition (New York:

Sunny Press, 1999), 52-53.

95 Ibn Taymīyah menilai bahwa hanya ada satu eksistensi dalam pandangan Ibn

‘Arabi>>. Eksistensi tersebut adalah Wājib al-wujūd, yaitu Tuhan, yang merupakan

substansi (‘ayn) mumkin al-wujūd yaitu alam. Ibn Taymīyah bahkan mengeneralisir

bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arabī> eksistensi alam semesta merupakan substansi Tuhan. Ibn Taymīyah, Majmū‘, v. 2 h. 112.

96 William C. Chittick,

T{he Sufi Path of Sufi (New York: State University of

New York Press, 1989), 78.

97 Claude Addas,

Ibn al-Qayyim. Ia menegaskan bahwa kelompok penganut ittiḥād

merupakan kaum sufi yang berpaham waḥdat al-wujūd.98

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, maka ditemukan untuk sementara bahwa konsep ini pernah diungkapkan oleh Ibn Sab‘īn (613- 669 H.). Ia menjadikan ungkapan waḥdat al-wujūd sebagai terjemahan

dari wujūd al-waḥdah al-muṭlaqah.99 Tetapi ‘Alī ‘Abd al-Jalīl –seorang

peneliti Ibn ‘Arabī di Mesir- tidak pernah menyebutkan tokoh Ibn Sab‘īn sebagai orang yang mempopulerkan konsep ini. Malah ia memberikan asumsi yang jauh, bahwa walaupun Ibn ‘Arabī populer dengan konsep tersebut, tetapi pemikiran tersebut telah ada sebelum Islam. Bahkan, untuk konteks Ibn ‘Arabī, ‘Alī menyebutkannya berasal dari pengaruh Ibn Rushd. Ia mencoba ‘memaksakan’ bahwa Ibn Rushd berteman dengan Ibn ṭufayl yang mengarang kisah ḥayy bin Yaqẓān. Di dalamnya tersirat ajaran wahdat al-wujūd.100

Di samping itu, Ibrāhīm Hilal dan ‘Abd al-Rahmān ḥasan Maḥmūd dari Kairo terlihat sangat keberatan dengan tuduhan tersebut.101 Hilāl, misalnya, mengemukakan bahwa sebenarnya Ibn ‘Arabī>> menolak penyamaan substansi antara Tuhan dan alam. Hilal menemukan bahwa Ibn ‘Arabī malah sangat kuat menekankan aspek kehambaan, terutama bagi seorang sālik yang telah mencapai martabat insān kamil.102

Dalam pengamatan penulis, Ibn ‘Arabī menegaskan kalimat, “Tuhan adalah Tuhan, sedangkan hamba tetaplah hamba” minimal sebanyak

lima kali di dalam al-Futūḥāt al-Makkīyah.103

Ortodoksi Ibn ‘Arabī>> dalam masalah ilmu kalam sangat jelas terlihat dalam permulaan al-Futūḥāt. Ia menyebutkan hierarki teologis

berdasarkan tingkatan wawasan dan spiritual seseorang. Dalam hal ini, ia

98 Ibn al-Qayyim,

al-S{awā‘iq al-Muh{arriqah (Riyād}: Dār al-‘Ās{imah,

1998), v. 2 h. 791.

99 Ibn Sab‘īn,

Risālat al-Iḥāṭah dari Rasā’il Ibn Sab‘īn tahqiq: A}hmad Farīd al- Mazīdī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah), 211; Ibn Sab‘īn, Risālat al-Naṣīḥah aw al- Nūrīyah, 247; Ibn Sab‘īn, Risālah, 346.

100 ‘Alī ‘Abd al-Jalīl,

al-Rawḥīyah ‘inda Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabi> (Kairo: Dār

al-Nahd}ah al-Miṣrīyah, t.t), 462-463.

101 Ibrāhīm Hilal,

al-Taṣawwuf, 141; ‘Abd al-Rahmān ḥasan Maḥmūd (ed.),

“Taqdīm” dalam Ibn ‘Arabī, Tanbīhāt ‘alá ‘Ulūm al-ḥaqīqah al-Mu}ammadīyah al- ‘Alīyah, (Kairo: Maktabat ‘A<lam al-Fikr, 1986), 14. tokoh terakhir ini merupakan

peneliti yang tergolong banyak melakukan kajian filologis terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi>.

102 Ibrāhīm Hilal,

al-Taṣawwuf, 141.

103 Ibn ‘Arabi>> mengatakan ﻁﻟﺎﺧﺗ ﻻﻭ ﻁﻟﺎﻐﺗ ﻼﻓ ﺩﺑﻋ ﺩﺑﻌﻟﺍﻭ ﺏﺭ ﺏﺭﻟﺎﻓ, Ibn

‘Arabi, al-Futuh{āt al-Makkiyah, bab 351. selain itu terdapat ungkapan yang mirip pada

menawarkan empat tingkatan teologi, pertama adalah akidah ‘awwām

(awam). Akidah awam merupakan representasi Ibn ‘Arabī sebagai seorang Sunni. Ia menjelaskan bahwa akidah bukanlah sia-sia karena mereka tidak menempuh metode penakwilan sebagaimana ahli kalam.104 Ia menegaskan persaksian bahwa akidah awam adalah akidah yang ia anut.105

Kedua adalah ahl al-rusūm yang menunjukkan akidah Ibn

‘Arabī>> berdasarkan premis-premis teologis yang tiada lain adalah bangunan pemikiran Ash‘arīyah dan Maturidīyah. Ibn ‘Arabī lebih menyukai pendekatan diskursif dalam mengritisi penyimpangan pemikiran daripada menggunakan kekerasan. Tujuan para teolog adalah untuk mematahkan argumentasi musuh Islam dan menjaga kemurnian teologi awam.106 Dalam hal ini, Claude Addas menilai bahwa Ibn ‘Arabī mencoba mengembangkan spekulasi teologis dengan meminjam beberapa aspek dari filsafat.107 Ketiga adalah akidah al-ikhtiṣāṣ yang menunjukkan

tarik-menarik antara teologi Ash‘arīyah dan sufi. Ia menyebutnya dengan ungkapan akida antara pemikiran dan intuisi. Keempat adalah akidah al- Khullāṣah yang merepresentasikan puncak pencapaian para sufi. Akidah

inilah yang ia jelaskan hampir dalam semua bab pada kitab al-Futūḥāt.108

Ini berbeda dengan Ibn Sab‘īn yang memang mencoba mengambil jarak dari mutakallimīn (ahli kalam). Ia terlihat tidak mau berkompromi

sebagaimana Ibn ‘Arabī.109

Penegasan Ibn ‘Arabī>> mengenai ini mengindikasikan bahwa kitab tersebut sebenarnya tidak lepas dari pembicaraan tentang konsep akidah, baik berupa penjelasan kaidah berpikir, kritik teologis, maupun serangan terhadap sebagian aspek filsafat dan tasawuf yang dianggapnya menyimpang.

Adapun pandangan Ibn ‘Arabī>> mengenai al-Ghazālī juga perlu diperhatikan. Tampak bahwa tidak terjadi ‘bias’ dalam pemikiran Ibn ‘Arabī terhadap pandangan al-Ghazālī. Ibn ‘Arabī termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap al-Ghazālī, sehingga menyebutnya

104 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/59. 105 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/65. 106 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/60. Ian Almond, Sufism and Deconstruction (London and New York: Routledje, 2004), 10.

107 Claude Addas,

Quest for the Red Sulphur; The Life of Ibn ‘Arabi>

(Cambrigde: The Islamic Texts Society, 1993), 105. Adapun‘Ali ‘Abd al-Jalīl menilai bahwa Ibn ‘Arabī memang lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, Ali ‘Abd al- Jalīl, al-Rawḥīyah, 444.

108 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/65. 109 Ibn Sab‘īn,

sebagai ṣāḥib al-kashf (ahli kasyaf) atau aṣḥābunā (sahabat kita dari

kalangan sufi). Ibn ‘Arabī menyebut al-Ghazālī lebih dari 18 kali dalam kitabnya al-Futūḥāt sebagai tokoh yang cenderung ia bela dan terima

konsep pemikirannya. Adapun sanggahannya terhadap ḥujjat al-Islām,

ditujukan pada isi kitab Mad}nūn ‘alá Ghayr Ahlihi. Hal ini karena al-

Ghazālī mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika.110 Besar kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghazālī sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di dalam Fuṣūṣ al-ḥikam ia merasa keberatan dengan

pandangan teologi al-Ghazālī yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta.111 Dua kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn ‘Arabī sangat tertarik pada permasalahan teologi.

Namun demikian, ketokohan al-Ghazālī terlihat berpengaruh pada pemikiran teologis Ibn ‘Arabī>>. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabī dalam hal ini adalah ketika memandang al-Ghazālī bukan sebagai seorang tokoh Ash‘arīyah semata, tetapi sebagai pembangun teologi sufi. Ide-ide al-Ghazālī sangat berpengaruh pada ‘Arabī dalam beberapa tema teologi, di antaranya mengenai konsep tajsīm dan tanzīh, kritikan terhadap

kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arabī sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazālī, seperti pembahasan mengenai maqām ḥayrah, zuhud, penciptaan A<dam

dan kontemplasi. Adapun pembacaannya terhadap karya al-Ghazālī (seperti Iḥyā') pernah dilakukannya ketika di Makkah melalui bimbingan

Muḥammad bin Khālid al-ṣadafī al-Tilimsāni>.112

Selain al-Ghazālī, karya-karya al-Juwaynī dan al-Isfaraynī yang berteologi Ash‘arīyah juga tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabī>>. Pembacaan terhadap karya-karya tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arabī>, karena teologi Ash‘arīyah merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya mereka merupakan rujukan utama dalam teologi Ash‘arīyah.113

110 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūh{āt, v. 6 h. 248. 111 Ibn ‘Arabi>>,

Fus{ūs{ al-H{}ikam (Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, 2003)

h. 67.

112 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūh{āt, VIII/386. Claude hanya menyebutkan terjadinya

hubungan antara mereka berdua, tetapi tidak menyebutkan materi yang diperoleh Ibn ‘Arabī, Claude Addas, Quest, 214. Alexander Knysh menyebutkan bahwa justru Ibn

‘Arabi adalah salah satu tokoh yang melanjutkan formulasi komprehensif terhadap teologi sufi yang telah dibangun al-Ghazālī. Alexander Knysh, Ibn‘Arabī in the Later Tradition, 52.

113 Claude Addas,

Selain persoalan teologi, konsep tasawuf falsafi Ibn ‘Arabī>> yang disoroti adalah insān kāmil sebagaimana disinggung pada

pembahasan eksistensi hamba sebelumnya. Ibn ‘Arabī pertama kali menyebut kata "insān kāmil" di dalam kitabnya Fuṣūṣ al-ḥikam pada

mutiara hikmah ilahiyah kata Adamiyah. Ini menunjukan bahwa ia telah menyebutkan kata insān kāmil pada awal pembahasan.

Ibn ‘Arabī>> menisbahkan kata ini kepada Nabi Adam ketika diangkat menjadi khalifah. Alam semesta menjadi sempurna dengan keberadaan khalifah. Alasannya, lanjut Ibn ‘Arabī>, karena seorang khalifah menjadi pemelihara (ḥafīẓ) ciptaan Allah sebagaimana ia

memelihara khatm al-khazā’in (cincin perbendaharaan sebagai simbol

kekuasaan). Perbendaharaan atau kekuasaan tersebut senantiasa tertutup dan tidak ada seorang pun yang bisa membukanya, kecuali dengan izin dari Allah. Adapun seorang khalifah menggantikan Allah dalam memelihara alam, sehingga senantiasa terjaga selama seorang khalifah yang telah menjadi insān kāmil berada di dalamnya.114

Kemudian, Ibn ‘Arabī>> menyebutkan bahwa tidak sah kekhalifahan dalam artian ini kecuali bagi insān kāmil. Ini dikarenakan

pada insān kāmil telah terhimpun dua ṣūrah (citra), yaitu ṣūrah alam dan ṣūrah Tuhan. Ia menyebutkan bahwa dua ṣūrah tersebut ibarat yad

(kekuasaan) Tuhan. Menariknya, Ibn ‘Arabī menyebutkan, bahwa penyebab Iblis tidak tergolong insān kāmil dikarenakan ia hanyalah salah

satu bagian dari alam, sedangkan alam adalah bagian dari Adam. Sehingga, tidak terhimpun pada Iblis dua ṣurah.115

Lebih lanjut, Ibn ‘Arabī>> menjelaskan bahwa insān kāmil

muncul dalam bentuk zahir sebagai jasad manusia, dan dalam bentuk batin sebagai citra Tuhan.116 Must{afā bin Sulaymān Bālī memberikan komentar bahwa yang dimaksud dengan citra Tuhan adalah nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, tegas Must{afā bin Sulaymān, jika Ibn ‘Arabī menyebutkan huwa fī kull mawjūd, maka bukan bermakna

bahwa Allah ḥulūl (menempati) dan ḥulūl (bersatu) dengan alam.117

Komentar ini sangat penting sekali, karena kebanyakan orang menilai, ketika Ibn ‘Arabī mengatakan "tajallī” Tuhan pada alam", dalam artian ḥulūl dan ḥulūl. Padahal, Ibn ‘Arabī sendiri telah menolak konsep ḥulūl di

114 Ibn ‘Arabi>>,

Fus{ūs{ al-H{ikam diterbitkan bersamaan dengan Sharḥ}

Must{afā bin Sulaymān Bālīzādeh (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2003), 27.

115 Ibn ‘Arabi>>,

Fus{ūs{ al-H{ikam, 36.

116 Ibn ‘Arabi>>,

Fus{ūs{ al-H{ikam, 36. 117 Must{afā bin Sulaymān Bālī,

Sharḥ{ Fus{ūs{ al-H{ikam (Beirut: Dār al-

dalam kitabnya Rūh al-Quds.118 Penolakan tersebut menunjukkan bahwa

Ibn ‘Arabī sepakat untuk tidak mengembangkan konsep kesufian yang terpisah dan bertentangan dengan prinsip teologi.

Kembali kepada insān kāmil, jika kita telusuri karya agung Ibn

‘Arabī>> maka kita tidak akan banyak menemukan kata insān kāmil.

Namun, Ibn ‘Arabī biasa menggunakan ungkapan qut{b (poros). Bagi Ibn

‘Arabī>, qut{b tersebut hanya ada satu semenjak Allah menciptakannya,

dan tidak akan pernah mati. Dia adalah ruh Nabi Muhammad Saw yang sebelumnya berlangsung pada sekalian Nabi dan Rasul.119 Ibn ‘Arabī berpiijak pada hadis Nabi Saw, "Aku telah menjadi Nabi, sedangkan Adam masih dalam berupa antara air dan tanah."120

Selain itu, Ibn ‘Arabī>> juga tidak lupa menyebutkan bahwa di setiap zaman ada qut{b-qut{b, terutama setelah wafat jasad Nabi

Muhammad Saw. Di antara mereka ada yang bertugas memelihara hukum kerasulan seperti ulama dari kalangan sahabat, tabi‘in, seperti al-Tsawrī, Ibn ‘Uyaynah, Ibn Sīrīn, dan lainnya. Ada di antara mereka yang memelihara ahwāl dan asrār kenabian, seperti ‘Alī, Ibn ‘Abbās, Salmān,

Abū Hurayrah, dan lainnya.121 Lebih dari itu, Ibn ‘Arabī>> memberikan dua kategori manusia, insān kāmil dan insān ḥayawān. Insān kāmil

merupakan wakil Tuhan yang mengenal Allah dengan mushāhadah dan kashf. Sedangkan, insān ḥayawān mengenal Allah dengan akalnya setelah

menggunakan sarana-sarana pikiran.122

Berdasarkan kajian di atas, terlihat bahwa kategorisasi tasawuf Falsafi tidak serta merta membatasi penelitian lainnya untuk mengungkapkan aspek ortodoksi pada seorang tokoh sufi yang dianggap peneliti sebelumnya sebagai tokoh tasawuf Falsafi. Begitu juga sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan bahwa tokoh sufi yang diklaim sebagai tasawuf Sunni mempunyai pandangan filosofis yang sama, bahkan lebih maju dari tokoh falsafi lainnya.

Hal ini terlihat dari ketokohan al-Ghazālī yang sering diklaim sebagai tokoh tasawuf Sunni atau Akhlaqi, yang terkesan hanya membicarakan masalah moral. Namun setelah dilakukan kajian terhadap karangannya, ditemukan pemikiran filosofis yang sangat kental seperti

118 Ibn ‘Arabi>>,

Rūḥ al-Quds (Damaskus: Mu'assasat al-‘Ilm, 1963), 55. 119 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūhāt al-Makkīyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah,

2006), I/231.

120 Hadis di atas diriwayatkan oleh al-ḥākim,

al-Mustadrak (Beirut: Dār al- Kutub al-‘Ilmīyah, 1990), v. 5 h. 665.

121 Ibn ‘Arabi>>,

al-Futūh{āt, v. 1 h. 231. 122 Ibn ‘Arabi>>,

terdapat dalam Mishkāt al-Anwār, Ma‘ārij al-Quds, al-Risālah al- Ladunīyah, dan lainnya. Begitu juga sebaliknya, Ibn ‘Arabī>> terlihat

sangat berkompeten ketika membicarakan persoalan teologi Sunni dan moral yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah di dalam al-Futūḥāt. Ibn

‘Arabī juga melakukan pembelaan terhadap al-Ghazālī dalam beberapa kesempatan sebagaimana disebutkan di atas.

Dokumen terkait