KECENDERUNGAN TEOLOGI DI NUSANTARA
B. Materi Teologi dalam Naskah Nusantara
Objek pembicaraan teologis yang dikemukakan tokoh-tokoh Nusantara tidak terlepas dari tema-tema yang dikaji oleh teolog Sunni Timur Tengah klasik. Secara umum terlihat bahwa pengaruh sistematika teologi al-Sanūsī dan al-Nasafī justru lebih menonjol daripada konsep Abū al-ḥasan al-Ash‘arī> atau pun Abū Manṣūr al-Māturīdī. Ini akan disadari ketika materi dalam karya-karya ulama Nusantara lebih Nazirah Tanabbuhan li Durr al-Fakhirah. kitab ini selesai disalin pada waktu Dhuha
hari Sabtu. Tetapi sayang sekali, penyalin atau pangarang tidak menyebutkan tahun penulisan. Besar kemungkinan kitab ini berasal dari abad ke-18. Sirāj al-Dīn, Durr al- Nāẓirah, 1v.
244
Ma‘rifat al-Imān wa-al-Islām, Perpusnas ML 383, 84r. Pengarang
mengatakan, "Kemudian dari itu, maka inilah suatu risalah ku namai akan dia Pengenal Agama dan Iman...(teks berbahasa Arab), bermula dikarena bahwasannya datang Jibrail
kepada Rasulullah Saw pada hal yaitu menanyai ia akan Rasulullah Saw daripada Islam..."
cenderung kepada pembagian sifat nafsīyah, salbīyah, ma‘ānī, dan
sistematika lain yang berkaitan dengannya. Tetapi juga tidak sedikit mereka yang mengorelasikannya dengan konsep kesufian.
Dalam hal ini, terlihat dari al-Ranīrī menulisi beberapa kitab tersebut dengan Durr al-Farāid} bi Sharḥ} al-‘Aqā‘id. Sesuai dengan
judulnya, kitab ini merupakan komentar (Sharḥ}) terhadap kitab Sharḥ} al-Aqā’id karya Sa‘d al-Dīn. Al-Ranīrī menulis kitab ini dengan bahasa
Melayu agar mudah dipahami oleh khalayak umum. Disebutkan bahwa naskah ini disalin pada tahun 1045 H./1635 M. oleh Lebai Rahim.245 Ini mengindikasikan bahwa naskah disalin pada masa al-Ranīrī masih di Aceh, karena ia wafat pada tahun 1658 M - yaitu 23 tahun sebelum ia wafat atau 9 tahun sebelum ia meninggalkan Aceh tahun 1054 H.246 Hal yang sama juga dilakukan oleh ‘Abd al-Ra’ūf al-Jāwī yang mengritisi Hamzah dan Shams al-Dīn berdasarkan teologi Sunni. Tentu saja ini menjadi problematis, karena mereka sepakat dalam menyatakan sebagai pengikut teologi Sunni, tetapi sebagian mereka menentang keras sebagian yang lain.
Adapun ‘Abd al-Ra’ūf menjadikan teologi bagi pemula tersebut sebagai pijakan untuk menjalani ajaran kesufian. Ini terlihat dari kitab
‘Umdat al-Muḥtājīn dan Sullam al-Mustafīdīn yang sangat setia
menerapkan teologi Sunni. Ia mulai dengan membicarakan sifat dua puluh yang wājib dan mustaḥīl, jā’iz sebagaimana dikembangkan oleh al-
Sanūsī. Ini tampak dari penukilannya terhadap perkataan al-Sanusi dalam kitab tersebut. Sebagaimana al-Sanūsī, ia menyebutkan bahwa pengetahuan sifat-sifat Allah tercakup dalam kalimat lā ilāh illá Allāh.247
Namun, ‘Abd al-Ra’ūf tampaknya tidak mau kajian akidah tersebut
245 Kitab ini pernah dikatalogisasi pertama kali pada tahun 1992 dengan nomor
46/NKT/YPAH/1992. Pada tahun 2005, kitab ini dikatalogisasi lagi oleh Oman Fathurahman dan Munawar Holil dengan nomor 55D/TH/19/YPAH/2005. Selain itu, terdapat naskah lain yang sama dengan nomor 144/TH/20/YPAH/2005. Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmi Aceh, (Jakarta: Manassa,
PPIM, C-DATS, TUFS, 2007), 53-54.
246 Takeshi Ito menduga berdasarkan informasi dari laporan penulis-penulis
Belanda bahwa-al-Ranīrī meninggalkan Aceh pada tahun 1054 dikarenakan kalah berdebat dengan Sayf al-Rijāl. Sayf al-Rijāl masih menjadi tokoh misterius yang belum banyak diungkapkan dan dikaji. Dalam dugaan sementara, ia adalah ilmuwan yang berasal dari Minangkabau. Artikel Takeshi Ito, Why Did Nuruddin ar-Raniri Leave Aceh in 1054 A.H.?, artikel ini diakses dari http://www.kitlv-jounals.nl.
247 ‘Abd al-Ra’ūf,
kering dari nuansa spiritual. Oleh karena itu, ia mencoba mengemukakan rahasia dan faedah dari kalimah tauhid tersebut.248
Hal yang sama juga dikemukakan Sirāj al-Dīn dalam Durr al- Nāẓirah. Sirāj al-Dīn lebih memfokuskan kajian terhadap hal-hal yang
wajib, mustahil, dan jā'iz pada Allah teologis, tanpa menyinggung aspek tasawuf sebagaimana ‘Abd al-Ra’ūf. Penulisan kitab ini tidak disebabkan permintaan murid atau penguasa sebagaimana biasa menjadi inspirasi bagi banyak penulis. Nūr al-Dīn al-Ranīrī, misalnya, setelah menjabat
Shaykh al-Islām di Aceh lebih sering menulis kitab karena permintaan
penguasa atau karena permintaan murid-muridnya yang berhadapan dengan penganut Wujūdīyah. Inilah kelebihan dari kitab Durr al-Nāẓirah,
Sirāj al-Dīn memang ingin mengemukakan apa yang ia pahami dari kitab
Durrah al-Fākhirah agar bisa dipahami oleh orang Melayu dengan
harapan Allah akan melimpahkan keridaan kepadanya.249 Memang tradisi meringkas dan mengomentari kitab-kitab matan menjadi tradisi para ulama pada masa ini. Berdasarkan hal tersebut, Sirāj al-Dīn memutuskan untuk menulis kitab ini dengan bahasa Melayu, kecuali dalam menyebutkan hal-hal yang inti. Hal ini terlihat ketika ia menukil kaidah dalam teologi “al-wājib mā lā yutashawwar ‘adamuhu" (wajib dalam teologi adalah sesuatu yang tidak tergambarkan dalam pikiran ketiadaannya).250 Pembacaan terhadap kitab ini membutuhkan pemahaman bahasa Arab yang baik, karena pengarang sering menggunakan kata serapan dari bahasa Arab. Ini terlihat dari ungkapannya bahwa dalam kajian teologi harus diketahui tafrīq
(perbedaan) antara wajib, mustahil, dan jā'iz.251
Sebagaimana kecenderungan ulama Nusantara lainnya, Sirāj al- Dīn tampak tidak lepas dari pengaruh kajian teologi Sunni yang menerapkan keyakinan berdasarkan pengenalan sifat dua puluh. Namun ada perbedaan Sirāj al-Dīn dengan al-Sanūsī yang telah berhasil mempopulerkan kajian sifat dua puluh. Apabila diperhatikan metode al- Sanūsī dalam memaparkan kaidah teologi, maka ia terlihat sangat terpaku pada natījah (kesimpulan) Aristotelian. Berbeda dengan Sirāj al-Dīn yang
248 ‘Abd al-Ra’ūf,
‘Umdat al-Muḥtājīn, 5-7. ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al- Mustafīdīn manuskrip koleksi YPAH 11B, 64-65. Kitab ini merupakan komentar dan
terjemahan salah satu dari karya teologis al-Qushāshī.
249 Sirāj al-Dīn,
Durr al-Nāẓirah, 1r-1v. 250 Sirāj al-Dīn,
Durr al-Nāẓirah, 1v. Ia menyebutkan, "Maka tergerak di dalam
hatiku untuk menta'lifkan dan menterjemahkan suatu risalat[h] mukhtaṣar dengan bahasa Jawi Āsyī (Aceh), sekira-kira pendapat akalnya dan pahamnya."
251 Sirāj al-Dīn,
Durr al-Nāẓirah, ia menyebutkan "Hendaklah diketahui akan tafrīq tiap-tiap...”
selalu berusaha mengaitkannya dengan dalil-dalil al-Qur'an. Ia berangkat dari ayat: "Katakanlah hai Muḥammad, lihatlah apa-apa yang di langit dan di bumi" dalam menjelaskan bahwa memang Allah mempunyai duapuluh sifat wajib. Tetapi ayat ini diterjemahkan oleh Sirāj al-Dīn dengan lebih luas, bahwa dengan memperhatikan langit dan bumi maka akan mengantarkan kepada pengenalan zat Allah yang wājib al-wujūd.252
Kitab ini dengan jelas menunjukkan kecenderungannya kepada akidah Sunni Ash‘arīyah dengan menukil dan menyebutkan pemikiran Abū al- Hasan al-Asy‘arī.253
Terlepas dari hal tesebut, harus diakui bahwa sebagian naskah di Nusantara sangat berkaitan dengan tauhid. Hal ini menyebabkan kebanyakan pembahasan dalam teks-teks tasawuf dimulai dengan menjelaskan ajaran teologi Sunni. Tampaknya ulama yang menjadi pengarang atau penyalin pada masa lalu merasa keberatan untuk memisahkan dua konteks tersebut kecuali ketika menulis kitab tauhid untuk kalangan awam. Ini sebagaimana dilakukan oleh Arshad al-Banjārī ketika menulis kitab Sabīl al-Muhtadīn. Kitab tersebut bertujuan untuk
menjelaskan tauhid bagi kalangan awam yang dianggap pemula
(mubtadi’) saja.254
Ketika tokoh-tokoh lain menyebutkan kewajiban seorang muslim adalah mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jā’iz secara langsung, maka Arshad mengungkapkan dengan pendahuluan yang lebih mendasar. Ia mengatakan bahwa kewajiban seorang seorang muslim yang telah berakal dan baligh baik laki dan perempuan adalah memahami makna dua kalimat syahadat. Ia mengatakan bahwa pemahaman tersebut akan menghasilkan “i‘tiqad yang putus tiada shakk ẓann wahm”, yang
ditambahi oleh ṭayyib bahwa keyakinan tersebut harus ‘muwāfaqah
dengan [yang] sebenarnya’.255 Ini berbeda dengan Ismā‘īl al- Minangkabawī yang langsung mengungkapkan empat hal yang membuat syahadat dianggap benar. Ismā‘īl menyebutkan bahwa keimanan menjadi sah dengan pengetahuan, dilafazkan di lidah (iqrār), dibenarkan di hati
(taṣdīq), dan diamalkan oleh anggota tubuh. Tetapi ia tidak berhenti di sana, Ismā‘īl meneruskan bahwa rukun syahadat ada empat hal, yaitu
252 Sirāj al-Dīn,
Durr al-Nāẓirah, 2r. 253 Sirāj al-Dīn,
Durr al-Nāẓirah, 4v.
254 Arshad al-Banjārī>,
Sabīl al-Muhtadīn, 24. 255 Arshad al-Banjārī>,
Sabīl al-Muhtadīn, 3. ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ al- Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah, 6.
menetapkan (ithbāt) keberadaan zat Allah, menetapkan sifat sifat-Nya,
menetapkan af‘āl-Nya, dan menetapkan kebenaran Nabi Saw.256
Dalam hal ini, ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq -generasi penerus setelah Arshad dan ṭayyib al-Banjārī- tidak memulai kajian teologinya dengan menjelaskan pengertian sifat-sifat dua puluh. Tetapi ia memulai dengan mengemukakan pembagian hukum ‘aqlī. Siddīq mempunyai konsep yang lebih sistematis dari dua pendahulunya tersebut. Ini terlihat dari sistematikannya yang lebih teratur. Bahkan, ia mencoba memisahkan penjelasan argumentatif yang bersifat rasional dan tekstual.257 Adapun pemaknaan terhadap syahadat, baru ia jelaskan setelah selesai mengemukakan dalil-dalil rasional dan tekstual dari sifat-sifat Allah. Ia menyebutkan bahwa implikasi dari kalimat tauhid adalah menegasikan semua tuhan kecuali hanya kepada Allah.258 Hal menarik dari penjelasan ṣiddīq adalah kesimpulannya terhadap objek kajian teologi di akhir pembahasan. Ia mengatakan bahwa objek pembahasan teologi hanya tiga macam, ilāhīyāt (ketuhanan), nabawīyāt (kenabian), dan sam‘īyāt
(tekstual dalil naqli).259
Adapun pengarang Ma‘rifat al-Dīn wa-al-Īmān yang anonim juga
mengemukakan penjelasan mengenai makna syahadat –pembahasan yang tidak ditemui dalam karya sebelumnya- dengan penjelasan rinci. Disebutkan bahwa syahadat berarti pengenalan dan pernyataan yang tidak diselubungi oleh keraguan terhadap keesaan Allah. Pengarang juga menjelaskan tentang rukun syahadat yang terdiri empat hal. Pertama, menetapkan (ithbāt) zat Allah Yang Qadīm, kekal, dan berdiri sendiri
dengan kemutlakan-Nya. Kedua, menetapkan sifat Allah. Sebagaimana dalam kebanyakan kitab teologi Sunni, meyakini sifat Allah berarti meyakini sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jā'iz.260 Ketiga, menetapkan
256 Ismā‘īl,
Kifayat al-Ghulām, 1. 257 ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq,
Fatḥ al-‘Alīm, 10. Ia menyebutkan pasal tersendiri
dengan judul “Fī al-Dilālah al-Naqlīyah ‘alá al-‘Aqā’id al-Madhkūrah”.
258 ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq,
Fatḥ al-‘Alīm, 49.
259 Ia mengatakan,“Pertama, ilāhīyāt yaitu mas’alah yang dibahaskan padanya
daripada barangyang wajib bagi Allah subhānahu wa ta‘ālā dan barang yang mustahil atasnya dan barang yang harus [atau jā’iz] padanya. Kedua, nabawīyāt yaitu mas’alah yang dibahaskan padanya daripada barangyang wajib bagi pesuruh Allah bagi mereka itu dan barang yang mustahil atas mereka itu dan barang yang harus pada mereka itu. Ketiga, sam‘īyāt yaitu segala mas’alah yang tiada dipertemui ia melainkan daripada pendengaran dan tiada diketahui yang demikian itu melainkan daripada jalan wahyu kepada pesuruh Allah.” ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq, Fatḥ al-‘Alīm, 61.
260
Ma‘rifat al-Islam, 96r. Pengarang tampak dipengaruhi kuat oleh dialeg lokal
af‘āl Allah. Pengaran kitab ini menjelaskan bahwa penetapan terhadap af‘āl Allah adalah dengan meyakini dalam hati bahwa Dia berbuat segalanya dengan kekuasaan-Nya sendiri. Adapun keempat berkaitan dengan penetapan kepercayaan kepada rasul.261 Adapun mengenai hukum untuk bersyahadat, dari aspek akidah syahadat dinilai sebagai sebuah kewajiban (fard}). Pengarang menegaskan bahwa syahadat diwajibkan
baik bagi laki-laki maupun perempuan, dengan kriteria mereka telah berakal, baligh. Kecenderungan kepada Asya‘arīyah bukan kepada Maturidīyah terlihat dari penjelasan pengarang yang menyebutkan cara melaksanakan syahadat. Ia mengatakan bahwa syahadat dilafazkan dengan lidah, dibenarkan oleh hati (menyinggahkan dengan hati), dan
diamalkan oleh anggota badan.262
Kembali ke Arshad, ia berpandangan bahwa pengetahuan tentang hukum aqlī, syar‘ī, ‘ādī dan sifat-sifat Allah yang wajib, mustahil, jā’iz merupakan usaha konkrit untuk mengenal makna dua kalimat syahadat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muḥammad ṭayyib al-Banjārī ketika menulis Miftaḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah.263 Perbedaannya terletak
pada penjelasan ṭayyib yang secara jujur mengemukakan bahwa karyanya merupakan saduran dari Umm al-Barāhīn karya al-Sanūsī dan beberapa
kitab lain yang memberikan Sharḥ} terhadapnya.264 Namun, baik Arshad
maupun ṭayyib, mereka terlihat memang terinsiprasi oleh al-Sanūsī, sehingga tidak heran jika objek yang dikaji tidak berbeda sama sekali. Inilah yang membedakan mereka dengan Ismā‘il yang tidak hanya terpaku pada al-Sanūsī.265
Di samping itu, terdapat ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī menegaskan teologi yang ia anut adalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah. Bahkan secara eksplisit ia mengatakan keharusan mempelajari teologi Sunni berdasarkan ajaran Ash‘arīyah dan ṣūfīyah.266 Ia juga mengemukakan kewajiban seorang Muslim –sebagaimana tokoh lain- untuk mengenal sifat wājib, mustaḥīl, dan jā’iz. Ia memberikan kategorisasi yang sistematis dalam mempelajari teologi Sunni sesuai dengan apa yang dikemukakan al-
menjadi isbat. Penjelasan mengenai sifat wajib, mustahil, dan jā'iz dikemukakan pada
kajian lanjutan, Mafrifat al-Islam, 100v. 261
Ma‘rifat al-Islam, 98r. 262
Ma‘rifat al-Islam, 100r. 263 Arshad al-Banjārī>,
Sabīl al-Muhtadīn, 3. ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ al- Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah, 4-6.
264ṭayyib al-Banjārī,
Miftaḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah, 3
265 Ismā‘īil,
Kifayat al-Ghulām, 2. 266 ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī,
Sayr al-Sālikīn, (Beirut: Dār al-Kutub al-
Ghazālī di dalam Iḥyā’.P266 F
267
P
Di akhir kitab Sayr al-Sālikīn, ‘Abd al-ṣamad
menyebutkan identitasnya sebagai seorang sufi yang mengikuti fiqih al- Syāfi‘ī dan menganut teologi ‘Ash‘arīyah.P267F
268
P
Ini menunjukkan bahwa dalam kerangka pemikiran ‘Abd al-ṣamad tidak ada masalah kontradiktif antara teologi Sunni yang ia anut dengan aspek kesufian yang ia dalami. Bahkan kerangka pemikiran ini akan terlihat lebih jelas lagi ketika ia menulis Zād al-Muttaqīn –sebagaimana akan dikemukakan pada bab
selanjutnya-.
Hal ini juga tidak berbeda dengan Shihāb al-Dīn al-PalimbānīP268F
269
P
yang juga berasal dari Palembang. Ia menerjemahkan dan mengomentari kitab al-Risālah karya Shaykh Ruslān al-Dimashqī.P269F
270
P
Shihāb al-Dīn keberatan jika seorang pemula dalam teologi dan tasawuf membaca kitab- kitab yang bernuansa filosofis. Besar kemungkinan, ia bermaksud kitab tersebut adalah Tuḥfat al-Mursalah karya Muḥammad bin Fad}lullāh al-
Burhānpūri>. Ini dikarenakan membaca karangan mereka akan menyebabkan kesalahan pemahaman karena perbedaan term-term yang digunakan.P270F
271
Shihāb al-Dīn menegaskan bahwa kewajiban seorang awam yang
mukallaf terlebih dahulu adalah mengetahui ilmu uṣūl al-dīn. Ia menyebut
ilmu tersebut dengan ilmu tauhid kepada Allah. Kedua, mengetahui ilmu fiqh agar ibadah menjadi sah. Ketiga ilmu tasawuf berdasarkan ilmu tauhid. Ia merujuk kepada kitab Jawharat al-Tawḥīd karangan al-
Sanusi.P271F
272
Shihāb al-Dīn memberikan tiga kategori pembagian tauhid, yaitu
dhātī, ṣifātī, dan af‘ālī. Adapun dhātī merupakan tahap tauhid ketika
267 ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī,
Sayr al-Sālikīn, v. 1 h. 21-24. 268 ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī,
Sayr al-Sālikīn, v. 1 h. 276.
269 Drewes menyebutnya sebagai
the Palembang theologian (teolog dari
Palembang). Tidak banyak informasi mengenai hidupnya, tetapi Drewes memperkirakan Shihāb al-Dīn hidup sekitar tahun 1750-an. Shihāb al-Dīn menulis kitab al-Risālah yang
berisi ajaran tentang tauhid yang diterapkan ke ranah tasawuf. Oleh karena itu, Shihāb al-Dīn tidak hanya teolog, tetapi juga seorang sufi ulung.
270 Kitab ini juga diberikan komentar oleh ‘Abd al-Ghanī al-Nabulīsī dengan
judul Khamrah Ilḥān dikoleksi oleh Tokyo University, yang sebelumnya diperoleh dari
Daiber Collection no. 70.
271 Ia mengatakan bahwa “Maka sebab itulah baiklah berwasiat jumhur ahli
ilmu al-tauhid dengan menegahkan [melarang] ia akan orang yang mubtadi lagi awam dengan mutala‘ah ia akan kitab ahl wahdat al-wujud, yakni kitab martabat tujuh yang masyhur di dalam negeri Jawi, dan melihat kitab ahli salik agar tidak tergelincir i‘tiqad orang yang awam. Shihāb al-Dīn, al-Risālah, 5. Disunting oleh Drewes, Directions for Travellers on the Mystism Path, 90.
272 Shihāb al-Dīn
seorang hamba merasa sadar bahwa ia diciptakan oleh Allah. Adapun tauhid si}fātī merupakan tahapan ketika seorang hamba merasa bahwa
Allah yang menjadikan hidupnya. Sebagaimana sebelumnya, ia menegaskan bahwa inilah makna ungkapan tahlil pada konteks ini. Adapun tauhid af‘ālī adalah keyakinan seorang hamba bahwa Allah telah menciptakan perbuatannya. Ia menegaskan bahwa apabila keyakinan berdasarkan tiga kategori tersebut terlupakan oleh seseorang, maka ia akan terjebak kepada syirik khafī (tersembunyi).273 Penegasan tersebut
mengindikasikan bahwa Shihāb al-Dīn sangat ketat menjaga kemurnian teologi. Hal ini ia mulai dari tingkatan dasar, yaitu kalangan awam atau pemula.
Secara bertahap Shihāb al-Dīn mengantarkan pembacanya kepada tauhid ahli sufi dengan menerapkan tiga konsep tersebut pada kehidupan nyata. Ia mengutip ungkapan sufi-sufi terdahulu bahwa tiga tauhid tersebut bisa dipahami dari perkataan, “Tidaklah aku melihat alam melainkan aku melihat Allah sebelumnya”, “Tidaklah aku melihat alam melainkan aku melihat Allah di dalamnya”, dan “Tidaklah aku melihat alam melainkan aku melihat Allah setelahnya”. Shihāb al-Dīn tidak sepakat dengan opini bahwa seorang sufi yang telah sampai ke hadirat Allah, maka kewajiban syariat menjadi gugur darinya. Malah ia menegaskan bahwa siapa saja yang berpikiran demikian, maka terjebak kepada kekufuran. Bahkan ia tidak keberatan untuk mengutuk ungkapan demikian.274
Shihāb al-Dīn terlihat sangat teguh memegang teologi Sunni, sehingga ia sungkan untuk menyerang aliran teologi lain. Ia melarang seorang sālik untuk menganut teologi yang menyimpang. Kelompok yang menyimpang, menurut Shihāb al-Dīn, adalah Mu‘tazilah, filsafat, dan Qadarīyah, bahkan semua firqah selain Sunni.275
Sejalan dengan ini, materi teologi yang kemukakan al-Nawāwī terlihat lebih cenderung kepada perdebatan murni. Ini terlihat dari ungkapannya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dianggap penting dalam ajaran Wahhābīyah, seperti dimana Allah dan lainnya, maka Nawawī Bantani mencoba menegasikannya. Ia mengatakan bahwa seseorang akan mencapai kesempurnaan iman dengan meninggalkan empat kata tanya; pertanyaan ayn (dimana Allah), kayf (bagaimana), matā (kapan), dan kam (berapa). Apabila ada yang bertanya dimana
Allah?, Nawawī menyarankan agar dijawab bahwa Allah ada tanpa
273 Shihāb al-Dīn,
al-Risalah, 10, Drewes, Directions, 92 274 Shihāb al-Dīn,
al-Risālah, 15, Drewes, Directions, 92 . 275 Shihāb al-Dīn,
membutuhkan tempat dan tidak berlaku baginya masa. Ketika ada yang bertanya bagaimana Allah, ia mengatakan bahwa “Tidak ada yang serupa dengan-Nya’. Ketika ditanyakan kapan Allah ada, maka ia mengatakan bahwa Allah ada tanpa permulaan dan kekal tanpa akhir.276 Walaupun tidak secara langsung ia mengatakan dua pertanyaan pertama berasal dari Wahhābīyah, tetapi terlihat bahwa al-Nawāwi menyindir ajaran mereka. Ini dikarenakan terdapat sebuah hadis yang menjadi pokok dasar keimanan dalam Wahhabīyah. Hadis tersebut populer dengan sebutan hadis jāriyah (budak perempuan). Ketika perempuan tersebut ditanya
“ayn Allāh?” (dimana Allah?) maka ia menjawab fī al-samā’ (di langit).
Hadis ini menjadi pertanyaan prinsipil dalam ajaran Wahhābīyah untuk menilai kesempurnaan iman seseorang.277
Terlepas dari permasalahan tersebut, Nawawī juga dikenal sebagai sufi, sehingga karya-karyanya sering dihiasi ungkapan-ungkapan tasawuf. Berkaitan dengan hal ini, ia menyebutkan hierarki iman menjadi lima tingkatan. Pertama iman taqlīd, yang berarti meyakini sesuatu yang dikatakan orang lain tanpa mengetahui argumennya. Ia menilai bahwa seseorang yang beriman dengan taqlīd tergolong berdosa karena melakukan usaha rasional, padahal orang tersebut mempunyai kemampuan dan potensi. Kedua iman ilmu, yang berarti keyakinan berdasarkan pengetahuan terhadap dalil-dalilnya. Nawawī mengatakan bahwa tingkatan kedua ini disebut juga dengan ‘ilm al-yaqīn. Ketiga iman ‘ayyān, yang berarti keimanan yang telah disertai dengan murāqabah
276 Nawawī al-Bantanī,
Kāshifat al-Sajā, 9. 277 Mālik bin Anas,
al-Muwaṭṭa’ pada Kitāb al-‘Itq wa-al-Walā’, no. 1269. Muslim bin al-ḥajjāj, ṣaḥīh Muslim pada Kitāb al-Masājid (Beirut: Dār al-Fikr, 1992),
I/242. Abū Dāwud, Sunan Abū Dāwud (Beirut: Dār al-Fikr, 1994),kitāb al-ṣalah no. 930 h. 222-223. Hadis ini memang kuat secara zahir sanad, tetapi terdapat id}ṭrāb (kontradiktif) pada sanad dan matannya. Malik meriwayatkannya dari sahabat yang bernama ‘Umar bin al-ḥakam. Muslim dan dua riwayat oleh Abū Dāwud diriwayatkan dari Mu‘āwiyah bin al-ḥakam. Abū Dāwud menambahkan riwayat lain dari sahabat al- Syarīd. Adapun kontradiksi di dalam matan, maka ditemukan sebagian riwayat yang diriwayatkan oleh tiga ahli hadis tersebut dengan redaksi atashhadīna an lā Ilāha illá Allāh? (apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah) bukan Ayn Allāh?.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis yang mud}ṭarib
adalah d}a‘ì>f. Berikut ini adalah hadis jāriyah versi Mālik.
ﻲِﻧَﺛﱠﺩَﺣ ﻙِﻟﺎَﻣ ْﻥَﻋ ِﻝ َﻼِﻫ ِﻥْﺑ َﺔَﻣﺎَﺳُﺃ ْﻥَﻋ ِءﺎَﻁَﻋ ِﻥْﺑ ٍﺭﺎَﺳَﻳ ْﻥَﻋ َﺭَﻣُﻋ ِﻥْﺑ ِﻡَﻛَﺣْﻟﺍ ُﻪﱠﻧَﺃ َﻝﺎَﻗ ُﺕْﻳَﺗَﺃ َﻝﻭُﺳَﺭ ِﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ُﱠﷲ ِﻪْﻳَﻠَﻋ َﻡﱠﻠَﺳ َﻭ ُﺕْﻠُﻘَﻓ ﺎَﻳ َﻝﻭُﺳَﺭ ِﱠﷲ ﱠﻥِﺇ ًﺔَﻳ ِﺭﺎَﺟ ﻲِﻟ ْﺕَﻧﺎَﻛ ﻰَﻋْﺭَﺗ ﺎًﻣَﻧَﻏ ﻲِﻟ ﺎَﻬُﺗْﺋِﺟَﻓ ْﺩَﻗ َﻭ ْﺕَﺩِﻘُﻓ ٌﺓﺎَﺷ ْﻥِﻣ ِﻡَﻧَﻐْﻟﺍ ﺎَﻬُﺗْﻟَﺄَﺳَﻓ ﺎَﻬْﻧَﻋ ْﺕَﻟﺎَﻘَﻓ ﺎَﻬَﻠَﻛَﺃ ُﺏْﺋﱢﺫﻟﺍ ُﺕْﻔِﺳَﺄَﻓ ﺎَﻬْﻳَﻠَﻋ ُﺕْﻧُﻛ َﻭ ْﻥِﻣ ﻲِﻧَﺑ َﻡَﺩﺁ ُﺕْﻣَﻁَﻠَﻓ ﺎَﻬَﻬ ْﺟ َﻭ ﱠﻲَﻠَﻋ َﻭ ٌﺔَﺑَﻗَﺭ ﺎَﻬُﻘِﺗْﻋُﺄَﻓَﺃ َﻝﺎَﻘَﻓ ﺎَﻬَﻟ ُﻝﻭُﺳَﺭ ِﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ُﱠﷲ ِﻪْﻳَﻠَﻋ َﻡﱠﻠَﺳ َﻭ َﻥْﻳَﺃ ُﱠﷲ ْﺕَﻟﺎَﻘَﻓ ﻲِﻓ ِءﺎَﻣﱠﺳﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ ْﻥَﻣ ﺎَﻧَﺃ ْﺕَﻟﺎَﻘَﻓ َﺕْﻧَﺃ ُﻝﻭُﺳَﺭ ِﱠﷲ َﻝﺎَﻘَﻓ ُﻝﻭُﺳَﺭ ِﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ُﱠﷲ ِﻪْﻳَﻠَﻋ َﻡﱠﻠَﺳ َﻭ ﺎَﻬْﻘِﺗْﻋَﺃ
dalam hatinya setiap saat. Ini dinamakan dengan ‘ayn al-yaqīn. Keempat
iman ḥaqq, yang berarti keimanan yang disertai dengan penyaksian
terhadap Allah pada setiap sudut di alam semesta. Ini disebut dengan