• Tidak ada hasil yang ditemukan

Takf ī r dalam Teologi Sunni; Vonis atas Penyimpangan Tasawuf

Berdasarkan penjelasan terdahulu, terlihat bahwa para teolog Sunni mempunyai kaidah tersendiri dalam menetapkan batas-batas kekafiran. Hal ini biasa diterapkan terhadap gejala-gejala teologis yang

128 Al-Ghazālī,

al-Munqidh min al-D}alāl (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmīyah,

2006), 56-57.

129 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī,

Us{ūl al-Dīn (Lahore: al-Maktabat al- ‘Utsmānīyah, t.t{.), 315-316. Penjelasan lebih lengkap dapat ditemui dalam ‘Abd al- Qāhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.t.), 198.

130 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī,

berkembang di tengah umat Islam. Pembahasan ini akan membantu dalam memahami pandangan teolog –terutama Sunni- dalam menilai suatu paham kesufian yang "Islami" atau telah keluar dari koridor teologi. Dengan hal tersebut telihat bahwa beberapa teolog tidak rela menyebut ajaran spiritual yang "menyimpang" sebagai tasawuf.

Dalam hal ini, tampak bahwa pengafiran bukanlah sesuatu yang mudah dituduhkan. Oleh karena itu, terdapat penegasan atau usaha beberapa tokoh Sunni dalam menetapkan batas-batas kekafiran. Ini terlihat dari penegasan Abū al-ḥasan al-Ash‘arī> (324 H.) yang menolak mengafirkan setiap orang yang mengaku berkiblat ke Ka‘bah yang ia sebut sebagai ahli kiblat, karena semuanya menyembah kepada Tuhan yang sama. Al-Ash‘arī menambahkan bahwa perbedaan yang terdapat pada aliran teologis hanyalah perbedaan ungkapan.131 Ungkapan ahli kiblat dapat diterjemahkan sebagai orang-orang yang telah bershahadat, walaupun mereka Muktazilah dan Shī‘ah. Namun, dalam beberapa informasi yang berbeda terdapat bahwa Ash‘arī mengecam Muktazilah.132 Terlepas dari itu, penegasan al-Ash‘arī menunjukkan sikap moderatnya dalam menetapkan batas kekafiran, yaitu berkiblat yang sama atau bersyahadat yang sama.

Berdasarkan hal tersebut, al-Ījī (756 H.) juga menegaskan untuk tidak mengafirkan ahli kiblat dalam batas-batas tertentu, antara lain penegasian keberadaan Allah sebagai pecipta, syirik, mengingkari kenabian, pengingkaran terhadap ajaran yang telah diketahui secara

d}arūrī (pasti), dan pengingkaran terhadap sesuatu halal dan haram.

Batasan ini merupakan kaidah baku dalam teologi Sunni. Adapun selain lima hal tersebut, maka al-Ījī hanya menyebutkan bahwa pengingkarnya disebut sebagai ahli bid‘ah. Al-Ījī menyadari bahwa penegasan ini berbeda dengan sikap Fuqāhā (ahli hukum Islam).133

Penjelasan al-Ījī terlihat sangat sederhana. Dalam hal ini, al- Ghazālī (505 H.) telah mengemukakan konsep yang jauh lebih maju dua abad sebelum al-Ījī. Al-Ghazālī menyebutkan kaidah takfīr secara lebih

131 Ibn ‘Asākir,

Tabyīn Kazhb al-Muftarī(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1404

H.);Al-Dhahabī, Tārīkh al-Islām (Beirut: Dar al-Kutub, ttp.) IV/464. al-Dhahabī, Siyar A’lām al-Nubalā(Beirut: al-Risālah, 1993), 15/88; Shams al-Dīn al-Safāraynī, Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahīyah (Damaskus: Mu'assasah al-Khāfiqayn, 1982), I/276.

Teksnya adalah: ﻝﺎﻘﻓ : ﺩﻬﺷﺃ ﻲﻠﻋ ﻲﻧﺃ ﻻ ﺭﻔﻛﺃ ًﺍﺩﺣﺃ ﻥﻣ ﻝﻫﺃ ،ﺔﻠﺑﻘﻟﺍ ﻥﻷ ﻝﻛﻟﺍ ﻥﻭﺭﻳﺷﻳ ﻰﻟﺇ ٍﺩﻭﺑﻌﻣ ،ﺩﺣﺍﻭ ﺎﻣﻧﺇﻭ ﺍﺫﻫ ﻪﻠﻛ ﻑﻼﺗﺧﺍ ﺕﺍﺭﺎﺑﻌﻟﺍ . 132 Al-Dhahabī, Tārīkh al-Islām, IV/464. 133 Al-Ījī,

ketat dan terperinci dibandingkan tokoh lain. Kaidah tersebut ia kemukakan dalam beberapa karya, pertama di dalam Fad}ā’iḥ al- Bāt{inīyah. Ia mengemukakan kaidah tersebut sebagai jawaban beberapa

pertanyaan tentang keharusan takfīr terhadap aliran Bāt{inīyah. Al-

Ghazālī menjawab dengan menetap dua klasifikasi berdasarkan ajaran mereka, pertama ajaran yang hanya disalahkan, disesatkan, dan dibid‘ahkan. Kedua adalah ajaran yang wajib dikafirkan.134

Adapun yang termasuk klasifikasi pertama ini adalah keyakinan aliran kebatinan dengan keimamahan ahl bayt, sedangkan yang lain

adalah perampas kekuasaan, dan para imam ma‘ṣūm (terpelihara dari

dosa). Ia menambahkan bahwa ajaran keimamahan tersebut tidak mempengaruhi akidah kepada Allah dan Hari Kiamat. Mereka, lanjut al- Ghazālī, mempercayai Allah dan Hari Kiamat sebagai aliran Sunni.135

Ketika al-Ghazālī dihadapi pertanyaan bukankah mereka melanggar ijmā‘ (konsensus), maka ia menjelaskan bahwa indikasi mereka melanggar tidak pasti sepenuhnya. Bahkan, pelanggar ijmā‘ juga tidak bisa serta-merta dikafirkan. Al-Ghazālī menyadari bahwa tokoh- tokoh Islam tidak semua sepakat dalam mengakui ijmā‘ sebagai dalil. Ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Naẓām. Oleh karena itu, al-Ghazālī tidak sepakat untuk mengafirkan mereka.136

Al-Ghazālī juga tidak sepakat dalam mengafirkan aliran kebatinan yang menilai Abū Bakar, ‘Umar, dan beberapa sahabat lainnya sebagai fasik. Ia menegaskan bahwa hanya kata “sesat” yang pantas untuk mereka. Ini dikarenakan Abū Bakar sama seperti sahabat lainnya. Ketika seseorang, al-Ghazālī menyontohkan, menuduh Abū Bakar berzina, maka ia hanya akan dihukumi ḥad (hukuman) dengan delapan puluh kali

pukulan jilid. Tetapi al-Ghazāli membedakan dengan kasus seseorang yang menuduh Abū Bakar dan beberapa tokoh besar sahabat sebagai kafir. Mereka memang pelangggar ijmā‘, tetapi kekafiran mereka bukan karena hal ini. Mereka dinilai kafir oleh al-Ghazālī karena mendustakan Nabi Saw yang menyatakan keagungan sahabatnya. Al-Ghazālī dengan tegas mengemukakan bahwa siapa yang mengingkari satu kata saja dari sabda Nabi Saw adalah kafir berdasarkan ijmā‘.137

Adapun ajaran yang mesti dikafirkan dalam pandangan al-Ghazālī adalah penyimpangan terhadap ajaran keesaan Allah, syirik, mengingkari

134 Al-Ghazālī,

Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 46.

135 Al-Ghazālī,

Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 46-47. 136 Al-Ghazālī,

Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 47-48. 137 Al-Ghazālī,

kenabian dan Hari Kiamat.P137F

138

P Namun terlihat jelas bahwa al-Ghazālī tidak

mengafirkan aliran Bāt{inīyah, karena tidak mereka tidak menyimpang dalam masalah tersebut. Konsep ini tampaknya dikemukakan oleh al- Ghazālī untuk meluruskan kesalahan sebagian teolog Sunni yang terlanjur mengafirkan aliran Bāt{inīyah. Ini dikarenakan takfīr berimplikasi berat,

yaitu kehalalan membunuh mereka dan merampas harta mereka.P138F

139

P

Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī (429 H.) yang toleran terhadap kelompok sufi, tetapi tidak memaafkan aliran Bāt{inīyah. Berdasarkan penelitiannya, ‘Abd al-Qāhir menilai bahwa Bāt{inīyah secara substansi sama dengan Majusi dan Thanuwīyah. Tokoh-tokoh mereka seperti ‘Abd Allāh bin Maymūn al-Qadāḥ dan ḥamdān bin Qarāmit{ melakukan interpretasi sesuai dengan ajaran Majusi pada masa al-Ma’mūn. Mereka pada dasarnya meyakini ada dua pencipta alam. Oleh karena itu, ia dengan tegas mengatakan bahwa aliran Bāt{inīyah adalah aliran kafir yang paling merusak pada masanya.P139F

140 ‘Abd al-Qāhir cenderung untuk mengatakan bahwa penganut ajaran ḥulūlīyah telah keluar dari agama Islam. Geneologis kelompok mereka dalam pandangan ‘Abd al-Qāhir adalah kembali kepada kelompok Shī‘ah Rāfid}ah yang jauh menyimpang (ghullāt). Ia

menyebutkan lima kelompok yang identik kelompok ini dari sepuluh macam yang ia temui, tetapi hanya memastikan penisbahan teologi ḥulūl

kepada empat golongan, yaitu Saba’īyah, Rizāmīyah, Muqanna‘īyah, ḥilmanīyah. Adapun golongan ḥalājīyah yang dinisbahkan kepada al- Hallāj (309 H.), maka terlihat bahwa ia tidak secara eksplisit memastikannya. Malah ‘Abd al-Qāhir lebih memilih untuk menukil pendapat orang yang mengafirkan dan membela kewaliannya. Ia menambahkan bahwa memang mayoritas teolog sepakat dalam mengafirkannya. Disebutkan bahwa dari kalangan fuqahā’, terdapat tokoh yang tidak menetapkan kekafiran kepadanya, seperti Abū al-‘Abbās bin Surayj (306 H.) yang wafat tiga tahun sebelum hukum mati dijatuhkan. Ini berbeda dengan Muḥammad bin Dāwud yang memfatwakan hukum

138 Al-Ghazālī,

Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 151. 139 Al-Ghazālī,

Fays{al al-Tafriqah, 79. 140 ‘Abd al-Qāhir,

Us{ūl al-Dīn, 323. ‘Abd al-Qāhir mencoba menyebutkan

lebih lengkap kekufuran mereka. Penyimpangan mereka dalam tauhid adalah anggapan bahwa Tuhan adalah yang pertama menciptakan sesuatu kedua. Setelah itu, Dia bersama dengan sesuatu yang kedua tersebut mengatur alam. Keyakinan ini bagi ‘Abd al-Qāhir sama persis dengan ajaran Majusi yang meyakini bahwa Tuhan pertama kali menciptakan shetan. Setelah itu, Dia mengatur hal-hal yang baik, dan shetan mengatur hal-hal yang buruk. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 329.

mati baginya.141 Adapun di kalangan sufi yang terlihat kurang senang tetapi tidak mengafirkannya, seperti ‘Amrū bin ‘Utsmān al-Makkī (297 H.), Abū Ya‘qūb al-Aqt{a‘ (330 H.), dan al-Junayd. Hal ini berbeda dengan Ibn ‘At{ā’ al-Baghdādī (309 H.) yang wafat pada tahun yang sama dengan al-ḥallāj, begitu juga Abu al-Qāsim al-Naṣar Ābādī (367 H.) di Naisapur dan al-Daynūrī (340 H.). Tiga tokoh ini masih menganggap al-ḥallāj sebagai bagian dari sufi yang lurus.142 Perbedaan persepsi dari mereka ini merupakan hal yang unik dan dinamis. Ini dikarenakan mayoritas mereka adalah sahabat al-Junayd yang memang telah pernah memberikan peringatan kepada al-ḥallāj.

Di samping itu, terlihat bahwa ‘Abd al-Qāhir sendiri membuka kemungkinan kepentingan politik dalam penghukuman al-ḥallāj. Ia mengatakan bahwa al-ḥallāj dekat dengan pejabat-pejabat tinggi khalifah saat itu, yaitu Ja‘far al-Muqtadir. Hal membuat Ja‘far merasa terancam secara politik. Berdasarkan hal ini, Ja‘far memutuskan untuk memenjarakan al-ḥallāj. Sementara itu, ia meminta fatwa kepada para fuqahā’ mengenai kehalalan darahnya. Ja‘far tampak melihat fatwa Qād}i Ibn Abī Dāwud menguntukkannya secara politik, sehingga menetapkan hukum mati baginya.P142F

143

P

Hal ini memperkuat asumsi bahwa ‘Abd al-Qāhir memang tidak berani memastikan kekafiran al-ḥallāj. Khusus untuk konteks ini, ‘Abd al-Qāhir terlihat sangat hati-hati dalam menerapkan kaidah takfīr.

Pada karya lain, seperti Fayṣal al-Tafriqah tokoh besar al-Ghazāli

menjelaskan kaidah takfīr secara lebih sederhana. Terlihat dari

penjelasannya bahwa karya ini ditulis untuk mengritisi teolog Sunni semasa dan sebelumnya yang berlebihan dalam mengafirkan sekte selain pengikut Ash‘arīyah. Ia menegaskan bahwa berbeda pendapat dengan teologi al-Ash‘arī>yah atau Mu‘tazilah atau Hanbālīyah bukanlah penyebab kekafiran. Selain itu, ia menyangkal anggapan bahwa hukum kafir disebabkan karena berbeda dengan teolog pendahulu. Ini dikarenakan Mu‘tazilah lebih dahulu muncul daripada Abū al-Hasan al- Ash‘arī, tetapi bukan berarti ia kafir. Bagitu juga al-Bāqillāni> berbeda dalam satu hal dengan al-‘Ash‘arī, tetapi hal tersebut hanya berkaitan dengan masalah ungkapan bahasa.P143F

144

P

Ia mengatakan bahwa kufur adalah segala bentuk pendustaan terhadap ajaran Nabi Saw, sedangkan iman adalah membenarkan ajarannya. Ia menambahkan bahwa mengapa

141 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī,

al-Farq bayn al-Firaq, 197.

142 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī,

al-Farq bayn al-Firaq, 197. 143 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī,

al-Farq bayn al-Firaq, 197. 144 Al-Ghazālī,

Yahudi dan Naṣrani dihukumi kafir, yaitu karena mereka mendustai Nabi Saw.145

Kaidah takfīr dengan ungkapan yang berbeda juga dikemukakan

oleh al-Ghazālī dalam al-Iqtiṣād. Ia memberikan kategorisasi yang lebih

terperinci dan lengkap. Namun, ia terlebih dahulu mengingatkan bahwa pengafiran seseorang berimplikasi berat. Ini dikarenakan akan memastikan keberadaannya di dalam neraka setelah meninggal, halal dibunuh dan dirampas hartanya. Dalam menetapkan kekafiran seseorang diketahui dari ijmā‘, dalīl, dan qiyās. Ia menolak penetapan kekafiran berdasarkan analisa akal semata. Ia mengakui bahwa untuk mengungkapkan seseorang mendustakan agama atau mengingkarinya memang dilakukan dengan sarana akal. Namun, penetapan kekafirannya adalah bukanlah otoritas akal, tetapi dengan syariat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia memberikan beberapa kategorisasi kafir atau sesat berdasarkan hierarki tertentu.146

Adapun yang tingkatan pertama, pengingkaran Yahudi, Nasrani, Majusi, Paganisme, dan sejenis mereka. Al-Ghazālī menegaskan bahwa

takfīr terhadap mereka telah ditetapkan di dalam Syariat. Selain kelompok

ini mengikuti konsep takfīr ini. Pada tingkatan kedua, pengingkaran

Brahmana (Hindu) terhadap prinsip kenabian, begitu juga pengingkaran Dahrīyah (kelompok Materialis) terhadap eksistensi pencipta alam. Mereka dihukumi kafir sebagaimana tingkatan pertama. Tetapi al-Ghazālī menambahkan bahwa Dahrīyah lebih utama dikafirkan daripada Brahmana, Yahudi ,dan Nasrani.147 Pada tingkatan ketiga, orang-orang yang membenarkan eksistensi pencipta, kenabian, bahkan mempercayai Nabi Muhammad Saw. Tetapi juga meyakini pemahaman yang bertentangan dengan syariat, meskipun mereka percaya kepada Nabi Saw. Mereka adalah para filosof (falāsifah). Al-Ghazālī tidak sepakat dalam

menetapkan hukum kafir terhadap para filosof kecuali dalam tiga hal. Pertama apabila mereka mengingkari Hari Kebangkitan, kenikmatan sorga, dan kepedihan azab di neraka. Kedua, apabila mereka meyakini bahwa Allah hanya mengetahui alam semesta secara universal (kullīyāt),

bukan secara partikular (juz’īyāt). Ketiga, apabila mereka meyakini

bahwa alam qadīm, sedangkan keqadīman Allah hanya ibarat sebab (‘illat) terhadap alam yang menjadi ma‘lūl (yang disebabkan).148 Adapun

tokoh sufi lain seperti al-Jīlī, walaupun bisa berpikir positif bahwa ketiga 145 Al-Ghazālī, Fays{al al-Tafriqah, 79. 146 Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 80. 147 Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 81. 148 Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 81.

bagian yang disebutkan di atas masih menyembah Allah, tetapi menegaskan bahwa mereka tetaplah syirik dan tidak sempurna karena hanya menyembah Allah dari satu aspek. Pengafiran mereka dalam hal ini adalah karena satu hal saja, yaitu ketidaksempurnaan tauhid.149

Pada tingkatan keempat, aliran Mu‘tazilah, Mushabbihah, dan aliran teologi lain selain filosof. Mereka membenarkan syariat dan tidak memperbolehkan pendustaan karena suatu tujuan maslahat. Mereka tidak sibuk dalam berspekulasi terhadap suatu pengingkaran syariat. Namun mereka mencoba alternatif lain yaitu interpretasi (ta’wīl). Al-Ghazālī

menambahkan bahwa permasalahan mereka adalah kekeliruan dalam melakukakan penakwilan. Ia menegaskan bahwa sebaiknya tidak mencoba menlancarkan tuduhan kafir kepada mereka. Ini dikarenakan berimpliklasi berat sebagaimana disebutkan sebelumnya padahal mereka terjaga “darah” dan harta yang dimiliki karena konsekuensi shahadat. Al- Ghazālī mengingatkan dengan tegas bahwa membunuh orang yang telah bershahadat adalah kesalahan besar. Ia menganalogikan kesalahan tersebut dengan sikap tidak membunuh seribu orang kafir lebih ringan daripada membunuh seseorang yang telah bershahadat. Al-Ghazālī dengan teguh menyatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam hadis “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka bershahadat”150. Ia menentang sikap pentakfiran terhadap mereka, karena sikap tersebut hanya dimotivasi oleh kefanatikan. Padahal kekeliruan, ungkap al-Ghazālī, dalam melakukan interpretasi tidak berimplikasi kafir. Ia memastikan bahwa usaha dalam mengafirkan mereka tidak berdasarkan kepada argumen yang kuat.151 Sikap ini terlihat telah diterapkan oleh tokoh-tokoh Sunni sebelum al-Ghazālī, seperti al- Bāqillāni>. Ia hanya menyebut aliran teologi seperti Khawārij, Rāfid}ah, dan Mu‘tazilah sebagai aliran yang menyimpang dan tersesat. Belum ditemukan tuduhan kafir yang dilancarkan oleh al-Bāqilllānī terhadap mereka, walaupun ia sangat genjar menyerang argumentasi mereka.152

Hal ini berbeda dengan ‘Abd al-Qāhir (429 H.) yang menilai bahwa terdapat delapan sekte dalam Rāfid}ah yang mesti dikafirkan.

149 Al-Jīlī,

al-Insān al-Kāmil, 124-129. al-Ghazālī, al-Munqidh, 38-44. 150 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim. teksnya adalah,

ﺕﺭﻣﺃ ﻥﺃ ﻝﺗﺎﻗﺃ ﺱﺎﻧﻟﺍ ﻰﺗﺣ ﺍﻭﻟﻭﻘﻳ ﻻ ﻪﻟﺇ ﻻﺇ ﷲ ﺩﻣﺣﻣ ﻝﻭﺳﺭ ،ﷲ ﺍﺫﺈﻓ ﺎﻫﻭﻟﺎﻗ ﺩﻘﻓ ﺍﻭﻣﺻﻋ ﻲﻧﻣ ﻡﻫءﺎﻣﺩ ﻡﻬﻟﺍﻭﻣﺃﻭ ﻻﺇ ﺎﻬﻘﺣﺑ 151 Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 82.

152 Ini telihat dari karyanya

al-Ins{āf yang berisi kritik terhadap aliran selain

Sunni, al-Bāqillāni>, al-Ins{āf, tahqiq: M. Zāhid al-Kawtsarī (Kairo: al-Khānjī, 1993

Mereka adalah al-Bayānīyah153, al-Mughīrīyah154, pengikut ‘Abdullāh bin Mu‘āwīyah155, Manṣūrīyah156, al-Khat{t{ābīyah157, pengikut al- Muqni‘158, al-Sabā’īyah159, dan al-Kāmilīyah160. Ia menegaskan bahwa mereka telah keluar (murtad) dari Islam.161 Pada bab lain, ia menyebutkan bahwa mereka dihukumi seperti penyembah berhala. Adapun terhadap aliran Karrāmīyah dalam pandangan ‘Abd al-Qāhir harus dihukumi kafir.162 ‘Abd al-Qāhir tampak lebih berani lagi ketika memberikan penjelasan beberapa hal yang menyebabkan beberapa tokoh aliran Mu‘tazilah dihukumi kafir. Di antara mereka adalah Wāṣil bin ‘At{ā’163,

153 ‘Abd al-Qāhir menyebutkan bahwa sekte al-Bayānīyah meyakini Allah

mempunyai rupa seperti manusia, akan binasa kecuali wajah-Nya, dan Allah menitis

(h{ulūl) kepada imam mereka yaitu Bayān bin Sam‘ān setelah menitis kepada Abū

Hāshim. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331. al-Shahrastāni menambahkan bahwa mereka

memang kelompok yang ghulāt (berlebihan) terutama masalah penitisan tuhan kepada

para imam. al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 122.

154 Al-Mughīrīyah meyakini bahwa Allah mempunyai anggota tubuh seperti

huruf Hija’īyah dan Allah h{ulūl kepada al-Mughīrah bin Sa‘īd. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al- Dīn, 331.

155 Mereka meyakini Allah

h{ulūl kepada ‘Abdullāh. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al- Dīn, 331.

156 Mereka adalah pengikut Abū al-Mans{urrr al-‘Ijlī mi‘raj ke langit, lalu

ketika bertemu Allah maka diusapi oleh tangan-Nya. Mereka menghalalkan darah kelompok lain. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331.

157 Mereka adalah pengikut Abu al-Khat{t{āb al-Asadī yang meyakini penitisan

Tuhan kepada Ja‘far al-S{ādiq, lalu ia sendiri mengaku sebagai tuhan. ‘Abd al-Qāhir,

Us{ūl al-Dīn, 331; ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170. 158 Pengikut al-Muqni‘ meyakini bahwa Tuhan

h{ulūl kepada imam mereka.

‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331.

159 Mereka adalah pengikut ‘Abdullāh bin Sabā’ yang menyatakan bahwa

ketuhanan ‘Alī bin ‘Abī T{ālib, ‘Ali berada di awan dan suaranya muncul pada saat petir. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 332; ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170.

160 Mereka mengafirkan sebagaian sahabat Nabi Saw yang tidak membai‘at

‘Alī, lalu juga mengafirkan ‘Alī karena tidak memerangi mereka. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 332. ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170.

161 ‘Abd al-Qāhir,

Us{ūl al-Dīn, 331. al-Shahrastānī menyebutkan bahwa

jumlah sekte yang ghulāt terdapat sebelas. Mereka adalah delapan sekte yang disebutkan

oleh ‘Abd al-Qāhir, dan ditambahkan dengan sekte tiga sekte lainnya yaitu al- ‘Albā’īyah, al-Kiyālīyah, al-Nu‘mānīyah. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42. ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170.

162 ‘Abd al-Qāhir,

Us{ūl al-Dīn, 331. Ini dikarenakan mereka meyakini bahwa

Allah mempunyai batas (h{ad), batas pada jihat bahwa, istiwā’ dengan menyentuh

‘Arsh. Allah menempati tempat. Mereka biasa disebut dengan Mujassimah.

163 ‘Abd al-Qāhir menyimpulkan bahwa keyakinan Wās{il mengenai takdir.

Keyakinan tersebut berimplikasi kepada penetapan banyak pencipta selain Allah. Wās{il membuat keyakinan baru mengenai tempat lain antara surga dan neraka bagi orang fasiq.

Abū al-Hudhayl164, al-Naẓẓām165, al-Mu‘ammar166, Bishr bin al- Mu‘tamir167, al-Jāḥi168, Thumāmah169, dan Baghdādīyūn170. ‘Abd al- Qāhir malah dengan berlebihan mengatakan bahwa kekufuran Mu‘tazilah sangat banyak, sehingga tidak dapat dihitung kecuali oleh Allah.171

Pada tingkatan kelima, golongan yang tidak mendustakan atau mengingkari prinsip-prinsip syariat yang diketahui secara mutawātir dari Nabi Saw. al-Ghazālī memberikan contoh orang-orang yang termasuk ke dalam golongan ini, seperti seseorang yang berkata bahwa salat tidak wajib, orang yang mendengar ayat al-Qur’an maka ia berkata saya tidak

Wās{il menilai ‘Alī sebagai orang fasiq. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 335. al- Shahrastānī menambahkan bahwa Wās{il pada awalnya mengikuti ajaran al-H{asan al- Bas{rī, tetapi ia berubah setelah mempelajari kitab-kitab filsafat. Al-Shahrastānī, al- Milal wa-al-Nih{al, 36.

164 Ia meyakini bahwa kekuasaan Allah akan berakhir dengan kehancuran alam

semesta. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 335. Ia dipengaruhi oleh ‘Utsmān bin Khālid al-

T{awīl murid Wās{il. Wafat pada tahun 235 H. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al,

42.

165 Ia meyakini bahwa ilmu Allah tidak meliputi aspek partikular dari alam

semesta. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 335. al-Shahrastānī menambahkan bahwa-al-

Naẓẓām mengatakan Allah tidak mempunyai kuasa terhadap keburukan dan maksiat. Al- Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42.

166 Ia mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan

a‘rād} (accidents). Allah hanya menciptakan ajsām, lalu ajsām menciptakan a‘rād} dengan sendirinya. Ia

menyifati manusia dengan kriteria yang serupa dengan Allah. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al- Dīn, 336. al-Shahrastānī menambakan bahwa Mu‘ammar tokoh terdepan dalam

Qadarīyah untuk menegasikan sifat Allah, takdir baik dan buruk. Al-Shahrastānī, al- Milal wa-al-Nih{al, 52.

167 Ia meyakini bahwa manusia terkadang menciptakan

a‘rād}, pendengaran,

penglihatan, dan semua pengetahuan secara tawallud. Ia merupakan orang pertama yang

mengemukakan konsep tawallud dalam masalah af‘āl (aktivitas hamba). ‘Abd al-Qāhir,

Us{ūl al-Dīn, 336. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 50.

168 Ia meyakini bahwa manusia tidak mempunyai perbuatan kecuali

irādah. Ia

juga mengatakan bahwa pengetahuan bersifat d}arūrah. Manusia tidak dimasukkan oleh

Allah kepada surga dan neraka, tetapi keduanya yang menarik manusia. ‘Abd al-Qāhir,

Us{ūl al-Dīn, 336.

169 Ia menyatakan pengatahuan bersifat

d}arūrah sebagaimana al-Jāh{iẓ. Ia

menyatakan bahwa kaum Dahrīyah dan orang kafir akan menjadi tanah pada hari Kiamat, sehingga tidak akan mendapatkan azab. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 336.

170 Mereka adalah pengikut al-Jubbāī (mantan) guru al-Ash‘arī>, dan Abū

Hāshīm bin al-Jubbā’ī. Secara umum mereka meyakini bahwa pada dasarnya Allah tidak mendengar kecuali dengan makna pengetahuan-Nya terhadap objek yang didengar. Al-

Dokumen terkait