Firqah biasa diidentikkan dengan suatu aliran teologis yang
terpisah dari yang lain. Ibn al-Khat{īb Fakhr al-Rāzi> (606 H./1209 M.) yang pernah mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai sejarah aliran teologi, lebih cenderung beranggapan tasawuf adalah suatu firqah.
Ia menilai bahwa pendapat yang mengatakan tasawuf bukan sebagai salah satu firqah dalam Islam adalah asumsi yang keliru. Al-Rāzī lebih
cenderung menilai tasawuf sebagai gerakan teologis yang berdiri sendiri. Ini dikarenakan objek ajaran tasawuf adalah mengenal Allah dengan penyucian jiwa (taṣfīyah) dan memisahkan diri dari belenggu hawa nafsu (‘alā’iq al-badanīyah).123 Al-Rāzī memuji ajaran ini, namun bukan berarti
ia sepakat dengan beberapa golongan dalam tasawuf. Berdasarkan hal tersebut, ia mengemukakan enam golongan dalam ajaran tasawuf. Pertama aṣḥāb al-‘ādāh yaitu golongan yang menjadikan substansi ajaran
mereka untuk memperindah penampilan ẓahir (tazyīn al-ẓāhir). Ini
terlihat dari tradisi menggunakan khirqah (kain simbolis dalam
pengajaran suatu tarekat sufi). Kedua, aṣhāb al-‘ibādah yaitu golongan
sufi yang menyibukkan diri mereka dengan kezuhudan, ibadah, dan meninggalkan kesibukan duniawi. Ketiga, aṣhāb al-ḥaqīqah yaitu
golongan sufi yang menyibukkan dirinya dengan kontemplasi setelah mereka selesai melaksanakan ibadah wajib. Mereka tidak menyibukkan diri dengan ibadah sunnah, tetapi lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga hati mereka dari hal-hal yang menghalangi aktivitas berzikir. Tiga kelompok ini sangat dipuji oleh al-Rāzī.124
Adapun keempat, aṣhāb al-nūrīyah yang meyakini bahwa ada dua
hijab pada diri manusia, yaitu nūrī (sifat maḥmūdah) dan nārī (sifat
madhmūmah). Kelima, ḥulūlīyah yaitu mereka meyakini terjadi kesatuan
123 Fakhr al-Rāzi>,
I‘tiqād Firaq al-Muslimīn wa-al-Mushrikīn (Kairo:
Maktabat al-Kullīyāt al-Azharīyah, 1978), 115. al-Ghazālī mendefinisikan dengan ungkapan lain, “Tasawuf adalah memfokuskan diri dalam pengabdian, dan menggantungkan hati kepada sifat rububīyah (ketuhanan)”. Al-Ghazālī, Rawd}at al- T{ālibīn wa-‘Umdat al-Sālikīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), 16.
124 Fakhr al-Rāzi>,
baik dalam bentuk ḥulūl maupun ittiḥād, sehingga mereka menyatakan
telah mendapatkan pengalaman spiritual yang menakjubkan. Ajaran ini dihubungkan oleh al-Rāzī dengan ajaran Rāfid}ah yang meyakini bahwa Allah ḥulūl kepada imam mereka. Bahkan ia menegaskan ajaran ini
pertama kali muncul dari golongan Rāfid}ah. Ia memberikan penilaian bahwa ajaran ini dikarenakan mereka tidak mempunyai ilmu ‘aqlīyah
(ilmu kalam dan mant{iq) yang memadai. Keenam, al-mubāḥīyah yang
berpandangan bahwa seorang pecinta Tuhan akan diangkat dari mereka kewajiban menjalankan syariat. Mereka dinilai oleh al-Rāzī beragama sebagaimana aliran Mazdakīyah dalam agama Thanuwīyah.P124 F
125
P
Ini berbeda dengan al-Qushayri> (465 H.) yang menyebut kaum sufi sebagai t{}ā’ifah (kelompok) yang tergabung ke dalam aliran teologi
Ahl al-Sunnah dan Salaf. Ia beralasan bahwa hal tersebut terbukti dari penolakan mereka terhadap tamthīl (penyerupaan dengan makhluk) dan ta‘t{}īl (penegasian) pada sifat Allah. Dalam hal ini, Ibn Taymīyah
memuji al-Qushayrī dan menyepakati penjelasannya.P125F
126
P
Penegasan ini tampak dikuatkan dari penjelasan al-Ghazālī bahwa prinsip tasawuf adalah makan yang halal, mengikut Nabi Saw dalam akhlaq, perbuatan, perintah, dan sunnahnya. Al-Ghazālī menambahkan bahwa seseorang yang tidak menghafal al-Qur’an dan menulis hadis berarti tidak mengikuti haluan tasawuf. Ini dikarenakan tasawuf berkaitan erat dengan al-Qur’an dan Sunnah.P126F
127
P
Al-Ghazālī (505 H.) menyebut kaum sufi dengan t{uruq al-sūfīyah
yang menunjukkan makna plural, yaitu jalan-jalan sufi. Penyebutan ini terlihat dari penjelasan al-Ghazālī setelah keluar dari perdebatan kalam, falsafat, dan kebatinan. Ini menunjukkan bahwa al-Ghazālī menyadari bahwa kaum sufi mempunyai metode yang beragam. Ia menyebutkan bahwa “jalan” kesufian adalah kesempurnaan yang dicapai dengan ilmu dan amal. Semua hal tersebut berorientasi kepada kejernihan jiwa dari
125 Ini merupakan agama yang mirip dengan Majusi. Namun perbedaan mereka
adalah mengenai keyakinan bahwa kegelapan (ẓalam). Mereka sepakat mengatakan
bahwa cahaya bersifat azali, tetapi majusi menilai kegelapan tidak qadim, sedangkan Tsanuwīyah meyakininya qadim. Fakhr al-Rāzi>, I‘tiqād, 116. T{āhā ‘Abd al-Ra’ūf dan Must{afā al-Harawī, al-Murshid al-Amīn (Kairo: Maktabat al-Kullīyāt al-Aẓarīyah,
1978), 138.
126 Al-Qushayrī,
Al-Risālah al-Qushayri>yah, 22. Ibn Taymīyah mengatakan:
“Ini merupakan perkataan yang benar, karena perkataan para tokoh sufi yang dipercaya oleh umat dengan kejujuran, mereka berada dalam ajaran Salaf dan Ahl al-Sunnah, terutama dalam hal penolakan tamthīl dan ta‘t{īl.” Ibn Taymīyah, al-Istiqāmah, I/91.
127 Al-Ghazālī,
hawa nafsu dan sifat yang tercela, serta menghiasinya dengan sifat yang baik dan kontemplasi kepada Allah.128
Dalam hal ini, ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī (429 H.) yang pada dasarnya sangat ketat –bahkan pada tahap tertentu sangat ekstrim- dalam penerapan konsep-konsep teologi, malah mengategorikan tasawuf sebagai bagian dari teologi Ahl al-Sunnah. Ia menganggap tasawuf sebagai bagian sebagaimana fiqih dan hadis menjadi bagiannya. Ia sepakat dengan penukilan ‘Abū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulamī yang mengarang T{abaqāt al- ṣūfīyah. ‘Abd al-Qāhir di dalam kitab Uṣūl al-Dīn membenarkan bahwa
semua tokoh yang disebutkan di dalam T{abaqāt merupakan tokoh-tokoh
Sunni yang menjalankan kehidupan sufi, kecuali tiga tokoh. Pertama adalah Abū ḥilmān al-Dimashqī yang dianggap ‘Abd al-Qāhir sebagai penganut ajaran ḥulūl. Kedua, al-ḥallāj (309 H.) yang dianggap ‘Abd al-
Qāhir masih diperdebatkan. Ia mengakui bahwa tokoh sufi seperti Ibn ‘At{ā’, Ibn Khafīf (347 H./981 M.), dan Ibn al-Qāsim al-Naṣr Ābādhī mengakui kewalian al-ḥallāj. Ketiga, al-Qannād yang dianggap mengikuti ajaran Mu‘tazilah.129
Adapun di dalam kitab al-Farq bayn al-Firaq, ‘Abd al-Qāhir
dengan tegas mengatakan bahwa penganut ajaran ḥūlūl yang ia sebut
dengan ḥulūlīyah keluar dari Islam sebagaimana akan dijelaskan nanti.130 Kenyataan ini menunjukkan bahwa para teolog yang disebutkan di atas sepakat bahwa seorang tokoh sufi akan menjadi keluar dari substansi tasawuf ketika ia mengalami penyimpangan teologis. Berdasarkan pandangan al-Rāzī dan ‘Abd al-Qāhir, penyimpangan tersebut adakalanya dalam bentuk ajaran ḥulūl dan ittiḥad. Bahkan, tokoh terakhir
menambahkan penyimpangan teologis kepada ajaran Mu‘tazilah. Hal ini mengindikasikan dengan kuat ajaran ḥulūl dan ittiḥād yang dimaksud
adalah dari aspek teologis, karena ‘Abd al-Qāhir menyetarakannya dengan penyimpangan kepada teologi Mu‘tazilah.