• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema Konsep Wuj ū d

PERDEBATAN KONSEP WUJUD DALAM PRESPEKTIF TEOLOGI DAN TASAWUF

A. Dilema Konsep Wuj ū d

Konsep wujūd mempunyai peran penting dalam memahami eksistensi Allah dan makhluk. Makhluk dalam ungkapan teologi biasa disebut alam. Parviz Morewedge menyebutkan bahwa penggunaan term “wujūd” yang berarti eksistensi mempunyai kaitan dengan filsafat Aristotels. Ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi esse dan existens. Bahkan tidak hanya terbatas kepada Aristoteles, peneliti dari

Timur Tengah pun seperti Musṭafá Ghalūs mengakui bahwa perdebatan tentang term tersebut berasal dari filsafat Yunani kuno lain.P321F

322

P

Namun bukan berarti Praviz cenderung menganggap sama antara term wujūd yang dipahami filosof Muslim dengan filosof Yunani. Hal ini terlihat ketika ia menjelaskan konsep Ibn Sīnā yang mengategorisasikan wujūd kepada tiga pembagian, pertama, wājib al-wujūd, yaitu sesuatu yang ada

dengan sendirinya sehingga disebut dengan wujud mutlak. Kedua,

mumkin al-wujūd, yaitu sesuatu yang keberadaannya bergantung kepada

eksistensi lain. Ketiga, mumtani‘ al-wujūd adalah sesuatu yang mustahil

menjadi ada.P322 F

323

P

Parviz menolak pendapat yang mengatakan bahwa konsep

322 Parviz Morewedge, “The Neoplatonic Structure of Some Islamic Mystical

Doctrines” dalam Parviz Morewedge (ed.al.), Neoplatonism and Islamic Thought (State

University New York Press, 1992), 57; Musṭafá Ghalūs, al-Wujūdīyah fī al-Mīzān

(Kairo: Fākhirah, 1985), 11. J. Gregory menyimpulkan bahwa The One sebagai the cause of the eternal Beuty of the Intelligible. John Gregory, The Neoplatonists A Reader

(London and New York: Routledge, 1999), 24; Ibn Sab‘īn, Sharḥ} Risalat al-‘Ahd, 171. 323 Dr. Amad Mamūd ubḥī seorang guru besar filsafat di Universitas

Iskandariyah mengemukakan bahwa pembagian mawjūd kepada wājib al-wujūd dan mumkin al-wujūd merupakan konsep para filosof. Tetapi sayag sekali ia tidak menyebutkan filosof yang dimaksud. Adapun konsep yang berasal dari teolog adalah pembagian mawjūd kepada qadīm dan ḥādith. Qadīm adalah sesuatu yang tidak mempunyai awal pada wujudnya. Dia adalah Allah semata. Adapun ḥādith adalah sesuatu yang mempunyai permulaan wujud, yaitu segala sesuatuselain Alla ṣubḥī

menjelaskan bahwa “qadīm” dalam term teologi dimaksudkan untuk sesuatu yang mustahil disandarkan kepadanya pelaku yang lain. Adapun menurut para filosof sangat mungkin keberadaan sesuatu bersama Allah pada zaman azali, sehingga mereka memperbolehkan penyandaran suatu pelaku pada yang qadīm. Aḥmad Maḥmūd ṣubḥi,

Fī ‘Ilm al-Kalām; Dirāsah Falsafi>yah li Ārā’ al-Firaq al-Islāmīyah fi >Uṣūl al-Dīn

wājib al-wujūd atau Necessary Existent mempunyai kaitan dengan konsep the One Plotinus. Ini dikarenakan wājib al-wujūd identik dengan Ultimate Being (Wujud Asal). Tetapi ia mengakui bahwa hubungan

sintaksis konsep the One Plotinus memang mempunyai hubungan dengan the infinite Descartes. Pendapat ini diperkuat juga oleh ‘Ināyatullāh

Iblāgh al-Afghāni>, terutama dalam konteks tasawuf. al-Afghānī merincikan bahwa konsep wujud dalam tasawuf tidak hanya berbeda dengan Platonis, tetapi juga berbeda dengan filsafat India dan Persia.324

Sedangkan di kalangan filosof Muslim sendiri, konsep in dipopulerkan oleh al-Farābī dan Ibn Sīnā, walaupun mereka bukan orang pertama. Ibn Sīna mengatakan bahwa wājib al-wujūd adalah sesuatu yang

keberadaannya tanpa sebab ‘illah. Ia juga menyebutnya sebagai wājib al- wujūd li dhātihi.P324F

325

P

Adapun mumkin al-wujūd tidak mempunyai unsur

d}arūrī untuk menunjukkan keberadaannya atau ketiadaannya. Berdasarkan hal tersebut filosof dan teolog Muslim setelahnya, seperti al- Ghazālī ikut mengembangkannya lebih jauh, di samping juga mengritisi mereka dalam beberapa hal. Walaupun konsep ini tidak ditemukan dalam tradisi kenabian, tetapi teolog-teolog Sunni maupun Mu‘tazilah dapat menerimanya. Bahkan al-Ghazālī malah menjadikannya sebagai dasar dalam membicarakan filsafat ketuhanan. Tetapi ia tidak mengategorikan

mumtani‘ al-wujūd dalam kategorisasi wujud sebagaimana al-Farābī. Al-

Ghazāli hanya membagi kepada dua, wājib al-wujūd dan mumkin al- wujud.> Ia menyebutkan bahwa wājib al-wujūd merupakan sesuatu yang

keberadaannya mutak, tidak berkaitan dengan yang lain. Sebaliknya,

mumkin al-wujūd adalah sesuatu yang keberadaanya terkait dengan yang

lain.P325F

326

P

Al-Ghazālī menyebutkan duabelas keniscayaan yang ia anggap sebagai kaidah yang terkandung dari makna wājib al-wujūd. Konsep ini

nanti akan menjadi pegangan tokoh Sunni yang cenderung kepada perdebatan tentang wujūd. Kaidah pertama, wujūd tersebut tidak terdiri

dari jism. Ini dikarenakan jism terdiri dari kumpulan elemen-elemen yang

324 Parviz Morewedge, “The Neoplatonic Structure”, 58 dan 70. ‘Ināyatullāh

Iblāgh al-Afghāni>, Jalāl al-Dīn bayn al-ṣufīyah wa ‘Ulamā’ al-Kalām (Kairo: Dār al-

Miṣr al-Lubnānīyah, 1997), 161.

325 Ibn Sīnā,

al-Ishārāt wa-al-Tanbīhāt tahqiq Sulaymān Dunyá (Kairo: 1983),

145;Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Niḥal, (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 348. Muḥammad

al-Bahī, al-Jānib al-Ilāhī min al-Tafkīr al-Islāmī (Kairo: Dār al-Kātib al-’Arabī, 1967), 458 dan 516.

326 Al-Ghazālī,

Maqāṣid al-Falāsifah, tahqiq: Sulaymān Dunyá (Kairo: Dār al-

tersusun, sedangkan wājib al-wujūd tidak mungkin demikian.327 Kedua,

Dia bukan jism karena terdiri dari ṣūrah (bentuk) dan hāyūlī (esensi).

Ketiga, Dia juga bukan seperti ṣūrah (bentuk) dan hāyūlī (esensi). Ini

dikarenakan dua hal ini saling berkaitan, sehingga tidak ada bentuk tanpa esensi atau esensi tanpa bentuk. Keempat, sebuah keniscayaan bahwa wujudnya adalah substansi (māhīyah) dari zatnya. Kelima, Dia tidak

berkaitan dengan yang lain sebagaimana yang lain berkaitan dengan-Nya. “Kaitan” dalam konteks ini berarti dua keberadaan tersebut saling mempunyai hubungan sebab bagi yang lain.328 Keenam, Dia tidak berkaitan dengan yang lain, dalam artian bahwa hubungan keseteraan

(tad}āyuf). Berbeda dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan

hubungan sebab (‘illah).329 Ketujuh, sebuah keniscayaan bahwa wājib al- wujūd hanya tunggal, karena jika ada dua maka terjadi “tandingan”

terhadap yang lain.330 Kedelapan, tidak ada sifat zā’idah (tambahan)

terhadap zat-Nya, sehingga jika sifat tersebut dinegasikan maka zat-Nya menjadi tidak ada. Ini mengindikasikan bahwa zat-Nya berkaitan dengan sifat tersebut, sehingga menjadi sesuatu yang tersusun dari beberapa elemen. Kesembilan, Dia mustahil berubah-rubah, karena sesuatu yang berubah maka muncul baginya sifat yang baru. Kesepuluh, tidak bersumber dari-Nya kecuali satu hal tanpa perantara dan berurutan. Adapun jika lebih dari satu maka terdapat perantara dalam kemunculannya. Kesebelas, Dia bukan jawhar atau ‘arad}. Oleh karena

itu, Dia berdiri sendiri tidak bertempat sebagaimana jawhar. Kedua belas,

sebuah keniscayaan bahwa segala sesuatu selain wājib al-wujūd

bersumber dari-Nya. Segala sesuatu itulah yang disebut dengan mumkin al-wujūd.331

Semua pemikir Muslim klasik sepakat bahwa wājib al-wujūd

tersebut hanyalah Allah semata. Begitu juga dengan mumkin al-wujūd

adalah alam semesta.332 Namun ketika mereka mencoba untuk

327 Al-Ghazālī,

Maqāṣid, 210-211. al-Ghazālī, Fad}ā’iḥ al-Bāṭinīyah, 83.

328 Al-Ghazālī,

Maqāṣīd, 212. Ia menyebutnya dengan ungkapan:

ﻝﻛ ﺩﺣﺍﻭ ﺎﻣﻬﻧﻣ ﺔﻠﻋ ﺭﺧﻶﻟ . 329 Al-Ghazālī,

Maqāṣīd, 212. al-Ghazālī, al-Maqṣad al-Asnā tahqiq Bisām bin

‘Abd al-Wahhāb al-Jābī (Qubrūṣ: al-Jafān wa-al-Jābī, 1987), 61. al-Ghazālī, Ma‘ārij al- Quds fī Madārij Ma‘rifat al-Nafs (Beirut: Dār al-ĀFāq al-Jadīdah, 1975), 164.

330 Al-Ghazālī,

Maqāṣid, 211-213. 331 Al-Ghazālī,

Maqāṣid, 210-219. Adapun di dalam kitab yang lain seperti Ma‘ārij al-Quds ia hanya menyebutkan delapan kriteria yang tercakup pada term wājib al-wujūd, al-Ghazālī, Ma‘ārij al-Quds, 163-164.

332 Ibn Sab‘īn,

Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 171. Muḥammad al-Bahī, al-Jānib al- Ilāhī, 520.

menerapkannya pada tataran yang lebih luas maka akan timbul persoalan yang lumayan rumit. Tetapi pembuktian falsafi dalam hal ini, terlihat ditentang keras oleh Ibn Taymīyah. Ia melihat bahwa metode-metode tersebut tidak bermanfaat kecuali sedikit. Ia menganalogikannya bagaikan sepotong daging di atas gunung yang tinggi, sehingga tidak banyak yang dapat mencapainya. Dalam hal ini, terlihat bahwa Ibn Taymīyah tidak ingin mempersulit pembuktikan wujud Allah yang wājib al-wujūd.

Kritikan ini juga diamini oleh Ibn al-Qayyim yang mengatakan bahwa kesia-siaan pembuktian ilmu kalam akan menyebabkan mereka menjadi orang yang paling banyak menyesali umurnya.333

Ibn Taymīyah menyebutkan kelemahan pendekatan ini dalam beberapa hal yang kurang sistematis. Pertama, pendekatan tersebut akan membuat banyak orang putus asa sebelum sampai kepada natījah (hasil)

metode ini. Kedua, ada dua kemungkinan dari pendekatan ini, yaitu adakalanya menghasilkan natījah yang mushtabihah (tidak pasti)

sehingga memunculkan perdebatan baru, dan adakalanya khafīyah

(samar) sehingga tidak dipahami kecuali orang-orang yang pintar.334 Inilah, ungkap Ibn Taymīyah, penyebab utama mengapa setiap filosof atau teolog berbeda pendapat. Setiap mereka berpandangan bahwa Allah tidak bisa dikenal kecuali dengan metode yang ditempunya.335 Namun, kritikannya tersebut tampak melunak ketika menemukan bahwa Abū al- ḥasan al-‘Ash‘arī menggunakan metode falsafi tentang konsep ṣifāt dan ‘ard} untuk menjelaskan kelemahan Mu‘tazilah mengenai sifat Allah. Ibn

Taymīyah yang sebelumnya terlihat menganggap metode ini tidak bernanfaat kecuali sedikit, malah mengakui bahwa perdebatan al- Ash‘arī> sangat bermanfaat dalam mengungkapkan kekeliruan uṣūl

(prinsip ajaran) Mu‘tazilah.336

Tetapi kritikan Ibn Taymīyah terlihat tidak berpengaruh kepada perkembangan teologi dan tasawuf yang filosofis. Hal ini terlihat dari kemunculan tokoh sufi seperti ‘Abd al-Karīm al-Jīlī (767-805 H.) ”Ibn ‘Arabī> al-saghīr (junior)” setelah kematian Ibn Taymīyah tahun 728 H.

Ia beranjak dari teologi Sunni untuk menjelaskan term-term rumit dalam konsep wujud dan menyelesaikan problem yang ditemukan dalam kajian

333 Ibn Taymīyah,

Majmū Fatāwā, II/22. Ibn al-Qayyim, al-ṣawā‘iq al- Mursalah, II/663. Ibn al-Qayyim, Shifā’ al-‘Alīl (Beirut: Dār al-Fikr, 1978), 155. Aḥmad

bin Ibrāhīm, Tawd}īh al-Maqāṣid, I/360. 334 Ibn Taymīyah,

Majmū Fatāwā, II/22.

335 Ibn Taymīyah,

Majmū Fatāwā, II/22. 336 Ibn Taymīyah,

Dar’u al-Ta‘ārud} al-‘Aql wa-al-Naql (Riyad}: Dār al-

Ibn ‘Arabī. Ia mensistematiskan konsep kewalian tertinggi insān kāmil

yang pernah dikembangkan Ibn ‘Arabī. Bahkan ia mengarang Sharḥ Mushkilāt untuk menjelaskan istilah rumit dalam al-Futūḥāt al-Makkīyah;

terutama dari bab ke-559. Motivasi penulisan kitab ini, tampak berkaitan dengan ’kegelisahannya’ ketika ada orang yang mampu memperoleh dan membaca naskah kitab al-Futūḥāt tetapi kemampuannya lemah untuk

memahami sesuatu yang dituju oleh Ibn ‘Arabī>.337 Hal yang sama juga pernah disinggung oleh ‘Abd al-Ghanī al-Nablusī, bahwa kritikan terhadap Ibn ‘Arabī hanya disebabkan ketidakpahaman terhadap istilah kesufian.338 Dalam hal ini, boleh jadi kritikan Ibn Taymīyah terhadap teolog dan sufi disebabkan ketidakmampuan tersebut, walaupun ia telah mencoba membaca karya-karya mereka. Atau ada kemungkinan lain, bahwa Ibn Taymīyah memang sangat memahami, tetapi ia menganggapnya menyulitkan keimanan sehingga keluar bermacam kritikan yang disebutkan di atas.

Dalam konteks kajian ini, apakah sikap Ibn Taymīyah yang mempengaruhi al-Rānīrī>? Atau memang al-Rānīrī sangat mengerti konsep wujud baik dalam konsep teolog maupun Sunni, sehingga ia melihat ada penyimpangan dalam ajaran ḥamzah dari teologi yang ia anut. Atau kemungkinan terakhir, sebagaimana populer diasumsikan oleh Takeshi Ito bahwa al-Rānīrī bersaing kedudukan yang ’strategis’ di kesultanan Aceh dengan pengikut ḥamzah, walaupun akhirnya ia kalah oleh Sayf al-Rijāl sang tokoh Wujūdīyah ’misterius’ dari Minangkabau.339

Jawaban dari permasalahan ini akan dijumpai dari metode al- Rānīrī> dalam mengritisi ḥamzah. Bagi al-Rānīrī, misalnya, penganalogian Allah dan alam yang dilakukan ḥamzah tidaklah hal yang baru. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika bahasa yang diungkapkan ‘keliru’, maka berakibat kepada konsekuensi teologis yang berbahaya.

Adapun pembelaan al-Attas terhadap ḥamzah memang wajar dikemukakannya. Namun terlihat bahwa al-Attas tidak berusaha memahami secara adil terhadap term-term teologis yang menjadi sumber permasahan di antara mereka. Di sisi lain, Al-Attas sebenarnya mencoba

337 Al-Jīlī,

Sharḥ} Mushkilāt al-Futūḥāt al-Makkīyah, naskah tulisan tangan

dikoleksi oleh Perpustakaan King Saud University MS. 3987, 2v.

338 ‘Abd al-Ghanī al-Nablusī,

I<d}āḥ al-Maqṣūd, 7.

339 Takeshi Ito, “Why Nuruddin ar-Raniri leave Aceh in 1054 A.?” in Bijdregen

tot de Taal, Land en Volkenkunde 134 (1978), no: 4, Leiden, 489-491. Artikel ini dalam bentuk pdf didownload dari ḥttp://kitlv-journals.nl tanggal 20 Juli 2010.

memahami kategorisasi tauhid Wujūdīyah yang dikemukakan oleh al- Rānīrī>. Ini terbukti dari penukilannya terhadap pendapat Al-Rānīrī yang menyebutkan bahwa ada dua kategori penganut tauhid Wujūdīyah, pertama golongan Wujūdīyah Muwaḥḥid yaitu ahli sufi yang mempunyai

pemahaman yang benar. Adapun yang kedua, golongan Wujūdīyah Mulḥidah yaitu para penganut ajaranḥulul dan ittiḥad.340 Al-Attas terlihat

berusaha keras membuktikan bahwa sebenarnya ḥamzah bukanlah kelompok yang kedua, tetapi ia adalah Wujūdīyah Muwaḥḥid.

Namun demikian, jika pendapat al-Attas dibenarkan maka secara tidak langsung al-Rānīrī> harus dinilai keliru dalam mengritisi teologi ḥamzah. Atau di sisi lain akan dibenarkan anggapan bahwa al-Rānīrī mempunyai kepentingan politik. Dugaan ini diperkuat dengan anggapan bahwa ada sebuah literatur dari Timur Tengah yang mengoreksi kesalahpahaman sebagian orang-orang Melayu (Jāwīyīn) tentang konsep

wujud.

Setelah ditelusuri, ternyata literatur yang dimaksud adalah karya al-Kurānī. Ini dapat dibuktikan dari ungkapan Al-Kūrānī (1023-1102 H./1614-1690 M.) yang menyebutkan bahwa ia mendengar informasi mengenai kajian konsep wujud yang berkembang pesat di Nusantara. Namun ia menyayangkan bahwa kajian tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang komprehensif terhadap ilmu syariat.P340F

341

P

Walaupun teks tersebut tidak secara ekplisit menyebut ḥamzah atau al-Rānīrī>, tetapi hal tersebut menjadi bukti bahwa ada kesamaan isu yang berkembang antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah.

340 Al-Rānīrī,

ujjat al-ṣiddīq li Daf‘i al-Zindīq dikoleksi oleh Perpusnas ML

301, 78r-v;al-Attas, A Contemporary on the Hujjat al-ṣiddiq of Nur al-Dīn al-Rānīrī>,

(Kualalumpur: Ministry of Culture, 1986), 61. Sebenarnya al-Rānīrī bukan orang yang pertama memberikan klasifikasi ini. Ini terlihat dari kritikan Mulā ‘Alī al-Qārī terhadap tasawuf Ibn ‘Arabi>. Al-Qārī menyebutkan bahwa tokoh yang dikritisinya tersebut telah membagi kaum Wujūdīyah kepada dua aliran yang disebutkan di atas. ‘Alī al-Qārī, al- Radd ‘alá al-Qā’ilīn bi Waḥdat al-Wujūd, 93.

341 Literatur yang dimaksud adalah

Itḥāf al-Dhakī karya Ibrāhīm al-Kūrānī>

seorang ahli hadis dan sufi di Madina Kitab ini merupakan salah satu sharḥ yang otoritatif terhadap kitab Tuḥfat al-Mursalah karya Muḥammad bin Fad}lullāh al-

Burhānfūrī. Kitab tersebut membicarakan tentang teori wujud berdasarkan teologi Sunni namun sangat kental dengan konsep filosofis. Ibrāhīm al-Kūrānī dengan terperinci menjelaskan rasionalisasi ajaran Martabat Tujuh Ibrāhīm al-Kūrānī, Itḥāf al-Dhakī, 3r.

ﺎﻣﺃ ﺩﻌﺑ ﺩﻘﻓ ﺢﺻ ﺎﻧﺩﻧﻋ ﻥﻣ ﺭﺎﺑﺧﺃ ﺔﻋﺎﻣﺟ ﻥﻣ ﻥﻳﻳﻭﺎﺟﻟﺍ ﻥﺃ ﺩﻼﺑ ﺓﻭﺎﺟ ﺩﻗ ﺎﺷﻓ ﻰﻓ ﺎﻬﻠﻫﺃ ﺽﻌﺑ ﺏﺗﻛ ﻕﺋﺎﻘﺣﻟﺍ ﻡﻭﻠﻋﻭ ﺭﺍﺭﺳﻷﺍ ﺎﻬﻟﻭﺍﺩﺗﻓ ﻯﺩﻳﺃ ﺱﺎﻧﻟﺍ ﻥﻣ ﺏﺳﻧﻳ ﻰﻟﺇ ﻡﻠﻌﻟﺍ ﻡﻬﻧﻣ ﺓءﺍﺭﻘﻟﺎﺑ ءﺍﺭﻗﻹﺍﻭ ﻥﻣ ﺭﻳﻏ ﻥﺎﻘﺗﺇ ﻡﻠﻌﻟ ﺔﻌﻳﺭﺷ ﻰﻔﻁﺻﻣﻟﺍ ﺭﺎﺗﺧﻣﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﷲ ﻪﻳﻠﻋ ﻡﻠﺳﻭ ﻼﺿﻓ ﻥﻋ ﻪﻧﺎﻘﺗﺇ ﻡﻠﻌﻟ ﻕﺋﺎﻘﺣﻟﺍ ﺏﻭﻫﻭﻣﻟﺍ ﻝﻫﻷ ﻕﻳﺭﻁ ﷲ ﻰﻟﺎﻌﺗ ﻥﻳﺑﺭﻘﻣﻟﺍ ﺭﺎﻳﺧﻷﺍ .

Ibrāhīm al-Kurānī yang dikenal sebagai tokoh utama pengganti al- Qushāshī, memang sangat banyak menulis tanggapan mengenai perkembangan Islam Nusantara. Sebagai contoh, al-Kūrānī> menyebutkan bahwa ia menyayangkan penyimpangan pemahaman tokoh Nusantara terhadap konsep wujud, terutama ketika dalam membaca kitab

Tuḥfat al-Mursalah.P341F

342

P

Al-Kūrānī mengatakan tidak mungkin orang tersebut akan mendalami secara benar ilmu hakikat. Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa al-Rānīrī> bukan orang yang dimaksudkan sebagai ”orang yang tidak mendalami syariat” . Ini dikarenakan ia merupakan ulama yang tekun dan ketat menjaga syariat, baik melalui karya tulis maupun dari dedikasinya di Aceh.P342 F

343

P

Begitu juga dengan ḥamzah Fanṣurī>, juga ’belum tentu’ ia yang dimaksud dalam kitab tersebut, karena ḥamzah termasuk orang yang sering menekankan penjagaan syariat, tarikat, hakikat, dan ma‘rifat secara benar.P343 F

344

P

Di dalam risalah lain, sebagaimana ditemukan oleh ‘Abd al-Ghanī al-Nablusī, yang berjudul al-Maslak al-Jalī fī ḥukm Shaṭḥ al-Walī al-

Kūrānī> menuliskan sikapnya terhadap kelompok Wujūdīyah. Sejauh ini belum ditemukan secara eksplisit tokoh siapa yang dimaksud oleh al- Kūrānī. Tetapi dari kutipan yang ia tampilkan, kelompok tersebut memang sangat identik dengan pengikut ḥamzah. Ia menyebutkan bahwa kelompok yang mempunyai tradisi keilmuan dan kezuhudan ini mengatakan ”Inna Allāh ta‘alā nafsunā wa wujūdunā” (Sesungguhnya Allah adalah diri kita dan wujud kita). Dalam hal ini, terlihat bahwa al- Kūrānī telah mengetahui polemik dua kelompok yang terjadi di komunitas ia sebut sebagai ahl jāwah. Kelompok pertama di antara

mereka menerima interpretasi terhadap kalimat ini, sedangkan kelompok yang kedua langsung menilainya sebagai kufr ṣarīḥ (kekafiran yang

342 Beberapa teks dari manuskrip yang ditemukan menunjukkan penyebutan

judul kitab ini tidak konsisten. Pertama ada yang menganggap dua kata ini sebagai kata majemuk (id}āfah), sehingga dibaca menjadi Tuḥfat al-Mursala Lihat ‘Abd al-Ghanī, Nukhbat al-Mas’alah fī Sharḥ} Tuḥfat al-Mursalah, 2v. Kedua, dua kata ini dianggap sebagai kata sifat (mawṣūf), sehingga menjadi al-Tuhfah al-Mursala Lihat Ibrāhīm al-

Kūrānī>, Itḥāf al-Dhakī bi Sharḥ} al-Tuhfah al-Mursalah, 1r. al-Kūrānī juga pernah

menjawab beberapa pertanyaan ahl Jāwah dalam beberapa risalah lain seperti al-Maslak al-Jalī dan Kashf al-Manẓar limā Yarāhu al-Muḥtd}ar. Judul pertama berkaitan dengan kelompok Wujūdīyah, sedangkan yang kedua berkaitan dengan hadis talqin yang diamalkan sebagian besar umat Islam di Nusantara saat itu. Ibrāhīm al-Kūrānī Kashf al- Manẓar limā Yarāhu al-Muḥtd}ar naskah mikrofilm Buton dikoleksi oleh Perpusnas rol

ke-3.

343 Amad Daudy, “Allah dan Manusia”, 306.

344 Penekanan Hamzah tersebut dapat dilihat dari beberapa shairnya dalam kitab Zīnat al-Wāḥidīn, 62-63 dan 71.

nyata). Adapun kelompok kedua –sesuai dengan informasi yang diterima al-Kūrānī- dipuji sebagai seorang yang alim terhadap ilmu lahir dan batin.345

Tidak salah lagi bahwa kelompok yang mengatakan kalimat tersebut adalah kelompok Wujūdīyah mempunyai ciri-ciri yang sama dengan Wujūdīyah Mulḥidahah yang dikritisi oleh al-Rānīrī>>. Al-Rānīrī juga menukilkan perkataan yang menjadi bahan pembicaraan al-Kūrānī, ”ﺎﻧﺩﻭﺟﻭﻭ ﺎﻧﺳﻔﻧ ﷲ ﻥﺇ-Inna Allāh ta‘alā nafsunā wa-wujūdunā” tetapi dengan

redaksi ”ﻩﺩﻭﺟﻭﻭ ﻪﺳﻔﻧ ﻥﺣﻧﻭ ﺎﻧﺩﻭﺟﻭﻭ ﺎﻧﺳﻔﻧ ﷲ ﻥﺇ-Inna Allāh nafsunā wa- wujūdunā, wa-naḥnu nafsuhu wa-wujūduhu”.P345 F

346

P

Hal ini diperkuat dengan kritikan ‘Abd al-Ra’ūf –sebagaimana akan dibahas nanti- terhadap Wujūdīyah dengan menyebutkan secara langsung nama ḥamzah. Berdasarkan hal ini, maka dapat diperkirakan bahwa orang yang dimaksud al-Kūrānī> adalah ḥamzah.P346F

347

P

Namun tidak diketauhi secara pasti siapa yang ia sebut sebagai ahl jāwah yang

menanyakan permasalahan, walaupun untuk sementara ini bisa

diasumsikan bahwa orang tersebut adalah ‘Abd al-Ra’ūf. Ini dikarenakan ‘Abd al-Ra’ūf adalah murid dari al-Kūrānī, sehingga besar kemungkinan sang guru mendapatkan informasi dari muridnya ini.

Asumsi ini disepakati oleh Ahmad Daudy. Tetapi sayang sekali, Ahmad Daudy tidak melakukan penelitian langsung kepada teks yang ditulis al-Kūrānī>. Daudy terlihat dipengaruhi oleh Voorhoeve.P347F

348

P

Di sisi lain, Ahmad Daudy –walaupun mengerti perdebatan teologis al-Rānīrī> dan pengikut ḥamzah- terlalu menonjolkan aspek psikologis al-Rānīrī sebagai seorang yang ’keras’ karena berasal dari India.P348F

349

P

Terkesan bahwa Daudy juga ’kurang senang’ dengan sikap al-Rānīrī, sehingga memperluas kekesalannya dengan membawa permasalahan psikologis. Tersirat bahwa Daudy merasa prihatin dengan ḥamzah sebagai ’pribumi’.

Terlepas dari hal tersebut, harus diakui bahwa literatur yang digunakan al-Rānīrī> untuk menyerang ḥamzah sangat kaya. Hal itu

345 Ibrāhīm al-Kūrānī>,

al-Maslak al-Jalī fīḥukm Shaṭḥ al-Walī dalam ‘Abd al-

Raḥman> Badawī, Shaṭaḥāt al-ṣufīyah (Kairo: Dār al-Nahd}ah al-Miṣrīyah, 1949), 151.

manuskrip dari teks ini dikoleksi di al-ẓāhirīyah Damaskus no. 4008. Apabila di dalam kitab Itḥaf al-Dhakī ia menyebut ﻥﻳﻳﻭﺎﺟﻟﺍ ﻥﻣ ﺔﻋﺎﻣﺟ maka di dalam kitab al-Maslak ia

menyebutkan ﺓﻭﺎﺟﻝﻫﺃ.

346 Ibrāhīm al-Kūrānī>,

al-Maslak al-Jalī, 151; al-Rānīrī>>, al-ḥill al-ẓill, 81. 347 ‘Abd al-Ra’ūf mengritisi Hamzah dalam kitab

Sullam al-Mustafīdīn

manuskrip dikoleksi oleh YPAH 11B, 82.

348 Ahmad Daudy, “Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-

Raniry” Disertasi IAIN Jakarta 1981, 60.

terlihat dari pemaparan kritikannya yang berdasarkan referensi yang banyak. Al-Rānīrī tampak sangat jujur dalam menukil suatu pendapat. Sebagaimana layaknya karya ilmiah, al-Rānīrī selalu menyebutkan referensi yang otoritatif dalam menukil pendapat seseorang. Hampir pada semua karangannya yang bersifat teologis, al-Rānīrī menyempatkan untuk mewaspadai perkembangan paham Wujūdīyah versi ḥamzah Fanṣurī. Namun sejauh pembacaan yang dilakukan, tidak terlihat bahwa al-Rānīrī berobsesi untuk mempertahankan jabatan. Justru sebaliknya, ia hanya menginginkan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Ia mengatakan di penutup kitab al-ḥill al-ẓill ia mengatakan Mudah-mudahan ku peroleh

bahagia dunia dan akhirat”.P349F

350

Tetapi pertanyaan yang muncul mengapa hasil penilaian dari al- Rānīrī> terhadap kelompok Wujūdīyah tersebut lebih tegas daripada al- Kūrānī>. Al-Kūrānī, misalnya, terlihat mencoba lebih fleksibel dengan

Dokumen terkait