• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Pesisir Teluk Jor Bagi Pengembangan Budidaya Karamba Jaring Apung Dengan Analisis Daya Dukung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Pesisir Teluk Jor Bagi Pengembangan Budidaya Karamba Jaring Apung Dengan Analisis Daya Dukung"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

BURHANUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

jor bagi pengembangan budidaya karamba jaring apung dengan analisis daya dukung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 27 Januari 2016

(4)

RINGKASAN

BURHANUDDIN. Pengelolaan Pesisir Teluk Jor Bagi Pengembangan Budidaya Karamba Jaring Apung Dengan Analisis Daya Dukung. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YONVITNER.

Perairan Teluk Jor dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya lobster (Panulirus sp) dengan sistem Karamba Jaring Apung (KJA) oleh nelayan budidaya sejak 2000, aktivitas tersebut telah mencemari perairan yang bersumber dari limbah feses dan sisa pakan budidaya KJA. Sisa pakan dan feses yang terbuang kedalam badan air merupakan potensi sumber bahan organik yang mengandung senyawa nitrat dan fosfat. Meningkatnya kandungan fosfat dari limbah feses dan sisa pakan KJA diikuti dengan buangan limbah daratan yang mengandung fosfat organik akan terakumulasi dalam perairan, pada akhirnya menyebabkan rendahnya kandungan oksigen terlarut, menurunnya daya tahan tubuh lobster hingga berdampak kepada kematian lobster. Untuk keberlanjutan usaha budidaya lobster sistem KJA perlu ditetapkan daya dukung perairan Teluk Jor dengan cara menetapkan nilai optimum KJA yang boleh beroperasi dan Total Acceptable Loading limbah yang boleh masuk dalam perairan.

Tujuan penelitian ini adalah menentukan lokasi dan jumlah optimum unit KJA yang boleh beroperasi di teluk dalam rangka rencana pengelolaan wilayah pesisir. Lokasi kesesuaian lahan budidaya KJA menggunakan analisis spasial dan untuk jumlah optimum KJA menggunakan pendekatan loading P yang terbuang ke lingkungan perairan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2014 di perairan Teluk Jor Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur NTB.

Hasil penelitian menunjukan bahwa perairan Teluk Jor telah tercemar dan berpotensi terjadi eutrofikasi akibat buangan limbah senyawa nitrat dan fosfat. Parameter kualitas perairan yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia dan baku mutu Kementerian Lingkungan Hidup adalah oksigen terlarut (3,23-4,34 mg/l), nitrat (0,5-4,00 mg/l) dan fosfat (0,03-0,28 mg/l). Kelas kesesuaian lahan bagi pengembangan budidaya lobster sistem KJA adalah sesuai dengan luas 13.42 ha (2%), cukup sesuai dengan luas 207.66 ha (35%), dan tidak sesuai dengan luas 372.03 ha (63%). Rekomendasi lokasi unit KJA di mulut dan depan mulut teluk, sedangkan bagian dalam teluk tidak direkomendasikan. Daya dukung perairan bagi budidaya lobster adalah 60 unit rakit KJA yang diperbolehkan beroperasi.

Dalam rangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sebaiknya dilakukan strategi pengurangan 125 unit KJA eksisting menjadi 60 unit KJA demi keberlanjutan usaha budidaya lobster. Adapun pengurangan unit KJA dapat dilakukan dengan pembentukan kelompok usaha nelaya budidaya, pelatihan teknis dan penyadaran masyarakat tentang konservasi.

(5)

SUMMARY

BURHANUDDIN. Jor Gulf Coastal Management for Floating Net Cage With Carrying Capacity Analysis. Supervised by HEFNI EFFENDI and YONVITNER

Jor Gulf waters used as a location for the lobster (Panulirus sp) cultivation with floating net cage system (FNC) by cultivating fisherman since 2000, these activities have been polluting the waters sourced from faecal waste and feed residue FNC. Food residual and feces that wasted into the water is a potential source of organic material containing nitrate and phosphate compounds. The increased phosphate from feces waste and FNC food residue mainland waste disposal that containing an organic phosphates will accumulate in the water, in the end causing low dissolved oxygen, lobster immune deficiencies to affect the lobster deaths. For the sustainability of lobster cultivation with FNC system need to be set the carrying capacity of Jor Gulf waters by determining optimum FNC values which allowed to operate and Total Acceptable Loading of waste that allowed in the waters.

The research purpose is to determine the location and optimum number of FNC unit that allowed to operate in the Gulf in the framework of coastal management plans. Land suitability location of FNC cultivation using spatial analysis and for FNC optimum number use loading P approach which wasted into the aquatic environment. This research was conducted in February 2014 at Jor Gulf waters, subdistrict of Jerowaru, East Lombok Regency NTB.

Results showed that Jor Gulf waters have been polluted and potentially occur eutrophication, the effect of waste nitrate and phosphate compounds. Waters quality parameter which does not meet the Indonesian National Standard and the quality standard of the Ministry of Environment is dissolved oxygen (3,23-4,34 mg / l), nitrate (0,5-4,00 mg /l) and phosphate (0,03-0,28 mg/l). Land suitability grade for lobster cultivating development with FNC system suitable area is 13:42 ha (2%), quite suitable area is 207.66 ha (35%), and not suitable area 372.03 ha (63%). Recommend location for FNC unit are in the entrance and in front of gulf entry, while inside part of gulf is not recommended. Waters carrying capacity for lobster cultivating is 60 units FNC raft that allowed to operate.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

PENGELOLAAN PESISIR TELUK JOR

BAGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERAMBA JARING

APUNG DENGAN ANALISIS DAYA DUKUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengelolaan Pesisir Teluk Jor bagi Pengembangan Budidaya Karamba Jaring Apung dengan Analisis Daya Dukung Nama : Burhanuddin

NIM : C252114021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Ketua

Dr. Ir. Yonvitner, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Achmad Fakhrudin, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya dan salam dan salawat kepada baginda Rasulullah serta ahlul baitnya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februarin 2014 adalah pengelolaan pesisir Teluk Jor bagi pengembangan budidaya keramba jaring apung dengan analisis daya dukung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil dan Bapak Dr. Ir. Yonvitner, M.Si selaku pembimbing. Terimakasih kepada Bapak Dr. Yusli Wardiatno, M.Sc. sebagai penguji dan Bapak Dr. Zulhamsyah Imran, S.Pi, M.Si sebagai sekretaris program studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Arifin), ibu (Norma), serta seluruh keluarga (Herman, Awal, Tia, Lia, Astika), istri tercinta Hannisa Rahmaniar, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih buat Riana, Achmad Akmal, Rodhi Firmansyah yang telah membantu selama kuliah pascasarjana. Ungkapan terimakasih juga kepada kanda Syafinuddin al Mandari, Kanda Muzakkir Djabir, Mas Chozin Amirullah, dan Kanda Tamsil Linrung atas bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 27 Januari 2016

(11)

DAFTAR ISI

Budidaya Laut yang Berkelanjutan 12

Analisis Kesesuaian Lahan 12

Analisis Daya dukung Lingkungan 13

Alat Bantu (Tools) Analisis 14

METODE PENELITIAN

Kesesuaian Lahan Budidaya Lobster Sistem KJA 32

(12)

DAFTAR TABEL

1. Metode dan alat survei kualitas air perairan Teluk Jor 15

2. Hasil analisis kualitas air Teluk Jor 20

3. Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Jor 25 4. Kisaran oksigen terlarut perairan Teluk Jor 28

5. Status penilaian perairan Teluk Jor 32

6. Analisis kriteria kesesuaian lahan 33

7. Pendugaan buangan limbah dari daratan 37

8. Kondisi bioekologi dan lingkungan Teluk Jor 41

DAFTAR GAMBAR

1. Bagan alur kerangka pemikiran 3

2. Lobster air laut 4

3. Konstruksi KJA 11

4. Peta Teluk Jor Kabupaten Lombok Timur NTB 14

5. Diagram alur penentuan kesesuaian lahan budidaya lobster 17

6. Peta stasiun pengamatan kualitas air 19

7. Kisaran suhu 21

20.Peta layer kondisi kecerahan perairan Teluk Jor 34

21.Peta kesesuaian lahan budidaya lobster 35

22.Alur pemanfaatan N,P dan C pakan untuk produksi 1 ton lobster 36 23.Grafik tingkat buangan limbah budidaya dan limbah daratan 38

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil analisis kualitas air perairan Teluk Jor 51

2. Hasil uji kualitas air 52

3. Kriteria kesesuaian lahan Teluk Jor 53

4. Data sumber limbah dari aktifitas daratan sekitar Teluk Jor 54

5. Proses pelaksanaan penelitian 55

(13)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Berada di sebelah timur Pulau Lombok, dengan letak geografis antara 116°-117° Bujur Timur dan 8°-9° Lintang Selatan. Luas wilayahnya tercatat 2.679,88 km2, terdiri atas daratan seluas 1.605,55 km2 atau (59,91%) dan lautan seluas 1.074,33 km2 (40,09%). Secara administratif Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan, 13 kelurahan, 106 Desa, 772 lingkungan/dusun. Dengan batas administrasi sebagai berikut sebelah Utara dengan Laut Jawa, sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah Barat dengan Kabupaten Lombok Tengah, sebelah Timur dengan Selat Alas (BPS Kabupaten Lombok Timur 2013).

Laut Lombok Timur memiliki potensi sumberdaya ikan lestari (MSY) sebesar 18.242 ton/tahun yang terdiri dari potensi sumberdaya ikan pelagis 7.752,8 ton/tahun dan potensi sumberdaya ikan demersal 10.489,2 ton/tahun. Selain potensi perikanan tangkap, laut Lombok Timur juga potensial untuk kegiatan budidaya laut yaitu mutiara, ikan kerapu, udang lobster, rumput laut, teripang dan kekerangan. Potensi budidaya mutiara 3.433,65 ha, ikan kerapu 509,40 ha, udang lobster 525,68 ha, rumput laut 2.000 ha, teripang 194 ha, dan kekerangan 179,5 ha (KKP 2008).

Seiring dengan meningkatnya aktivitas budidaya, meningkat juga kasus pencemaran lingkungan perairan budidaya yang berdampak kepada hasil produksi, sehingga penting dilakukan penelitian untuk menemukan sebab akibat terjadi fenomena pencemaran lingkungan di sekitar perairan budidaya. Salah satu kasus yang sering ditemui di perairan Indonesia adalah menurunnya kualitas air di sekitar area perikanan budidaya karamba jaring apung yang bersumber dari aktivitas budidaya dan lingkungan sekitar. Dampak negatif dari hal tersebut adalah kematian ikan, seperti yang terjadi di Teluk Lampung dan Teluk Jakarta.

Tekanan limbah internal bersumber dari aktivitas budidaya berbentuk feses maupun sisa pakan yang tidak dikonsumsi, sedangkan limbah eksternal bersumber dari limbah industri, rumah tangga dan perkantoran yang berbentuk pestisida, merkuri dan sianida. Disamping limbah internal dan eksternal, kondisi eksisting lingkungan juga harus diperhatikan agar dapat menjaga kelestarian dan keberlanjutan produksi perikanan budidaya karamba jaring apung. Kondisi lingkungan ekosistem hutan bakau (Mangrove) dengan luas 1.589,81 ha yang tersebar pada wilayah Kecamatan Jerowaru, Keruak, Pringgabaya dan Sambelia. Potensi terumbu karang penyebarannya hampir merata pada perairan laut Lombok Timur yang berada pada kedalaman 8-34 m dengan perkiraan luas mencapai 321,04 km² (BPS Kabupaten Lombok 2013).

(14)

media pembesaran. Kawasan pemanfaatan umum Teluk Jor memerlukan suatu pengelolaan yang terintegrasi bagi peningkatan komoditas budidaya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Perumusan Masalah

Lobster (Panulirus sp) merupakan komoditas perikanan yang telah dikembangkan oleh masyarakat nelayan, budidaya lobster telah dilaksanakan sejak awal 2000. Pada awalnya benih diperoleh dari alam sekitarnya, namun seiring dengan terjadinya degradasi lingkungan sulit ditemukan benih di sekitar teluk sehingga mengharuskan nelayan mencari bibit lobster hingga ke luar Teluk Jor. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian bangunan KJA berjumlah 125 unit dengan ukuran yang berbeda-beda, jarak antar unit KJA 2-3 meter untuk alur transportasi nelayan. Penempatan lokasi KJA belum memenuhi kriteria kedalaman sehingga ketika surut jaring KJA menyentuh dasar perairan hingga dikuatirkan mempengaruhi pertumbuhan budidaya lobster.

Penyebaran virus penyakit Milky Haemolimp pada budidaya lobster kecamatan Jerowaru terjadi sejak 2010. Penyakit pada umumnya terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara tiga faktor utama yaitu pathogen, lingkungan dan inang. Kondisi lingkungan yang jelek dapat menyebabkan stress dan penurunan ketahanan lobster terhadap penyakit (BBL LombokS 2013). Budidaya lobster sistem KJA di Vietnam berkembang pesat sejak 1999 dan mencapai puncaknya pada tahun 2006, tetapi wabah penyakit susu pada akhir tahun 2006 mengakibatkan penurunan unit KJA (Pillai 2013)

Budidaya KJA di perairan Teluk Jor telah menghasilkan limbah yang berasal dari sisa pakan yang tidak dikonsumsi oleh lobster dan feses. Sisa pakan dan feses yang terbuang ke dalam badan air merupakan potensi sumber bahan organik yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan biota budidaya. Degradasi ekosistem mangrove akibat konversi lahan menjadi sawah dan tambak merupakan salah satu suplai limbah anorganik dari daratan melalui aliran sungai ketika terjadi hujan.

Kompleksitas ekosistem perairan Teluk Jor merupakan potensi yang perlu dijaga kelestariannya dengan melakukan sistem pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat pesisir. Oleh karena itu dalam rangka pengelolaan pesisir Teluk Jor perlu dilakukan penelitian tentang daya dukung perairan Teluk Jor untuk penentuan jumlah unit KJA yang boleh beroperasi dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini menentukan lokasi yang layak dan jumlah optimum bagi budidaya sistem karamba jaring apung dalam rangka rencana pengelolaan wilayah pesisir Teluk Jor Lombok Timur

(15)

Pendekatan Studi

Suatu perairan dapat dikatakan mendukung kegiatan budidaya apabila kondisi lingkungan perairannya layak dan memenuhi kriteria ekologi yang telah ditentukan. Kondisi perairan yang dimaksud antara lain secara fisika (kontur kedalaman, arus, pasang surut, gelombang) dan kimia (oksigen terlarut, tingkat keasaman/pH, salinitas, BOD, nutrient) (Beveridge 1996).

Beberapa pendekatan dalam estimasi daya dukung yang telah dilakukan untuk pengembangan lobster dalam keramba jaring apung di perairan laut, diantaranya untuk perairan semi tertutup melalui pendekatan loading P yang terbuang ke lingkungan perairan (Beveridge 1987). Secara skematis kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 1.

Untuk penentuan daya dukung suatu perairan memerlukan analisis yang mampu mengaitkan hubungan antara sifat biofisik, parameter-parameter standar yang diperlukan untuk budidaya lobster, jumlah limbah lobster, potensi limbah, serta kapasitas asimilasi. Daya dukung adalah kemampuan badan air atau perairan dalam menerima limbah organik internal untuk didaur ulang atau diasimilasi sehingga tidak mencemari lingkungan yang berakibat terganggunya keseimbangan ekologis (Widigdo 2000). Konsep daya dukung merupakan faktor yang signifikan

Analisis daya dukung

Jumlah unit optimum KJA

Strategi pengelolaan Teluk Jor

Estimas i limbah

Limbah KJA Limbah non KJA

Potensi lahan untuk budidaya lobster sistem KJA

Analisis kesesuaian lahan Kriteria kesesuaian lahan Basis data digital

Data primer

Data sekunder

(16)

untuk manajemen berbasis ekosistem dalam menentukan batas atas produksi perikanan budidaya diberikan batas lingkungan, penerimaan sosial, kebutuhan untuk menghindari perubahan yang tidak dapat diterima dalam ekosistem alam, fungsi dan struktur sosial (Ross et al. 2013).

II. TINJAUAN PUSTAKA

Komponen Biologi

Menurut Holthuis (1992) udang karang di seluruh dunia dijumpai mulai dari pantai timur Afrika, Jepang, Indonesia, Australia, dan Selandia Baru. Di perairan Indonesia diketahui ada enam jenis udang karang bernilai ekonomis penting. Enam jenis lobster termasuk dalam genus Panulirus, yaitu udang batu (Panulirus peniculatus), udang raja (Panulirus longipes), udang rejuna (Panulirus versicolor) udang jarak (Panulirus polyphagus), udang pantung (Panulirus homarus), dan udang ketangan (Panulirus ornatus).

Menurut Moosa dan Aswandy (1984), udang karang atau lobster laut mempunyai klasifikasi sebagai berikut :

Super Kelas : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Palinuridae Genus : Panulirus

Sumber : www.msc.org

Gambar 2. Lobster air laut (Panulirus sp)

(17)

seluruh perairan yang berkarang di dunia. Perairan Teluk Jor terletak di bagian timur Pulau Lombok memiliki kondisi perairan relatif tenang dengan hamparan terumbu karang yang sangat luas merupakan salah satu habitat lobster. (Priyambodo dan Sarifin 2008).

Menurut Priyambodo dan Sarifin (2008) spesies lobster yang dibudidayakan adalah benih yang tertangkap dari perairan sekitar Lombok. Dua spesies lobster yang sering ditangkap adalah lobster mutiara (Panulirus ornatus) dan lobster pasir (Panulirus homarus), sedangkan sebagian kecil jumlah yang tertangkap adalah lobster bambu (Panulirus versicolor) dan lobster batik (Panulirus longipes). Spesies Panulirus homarus dan Panulirus ornatus adalah dua lobster lebih berharga untuk pemasaran. Jenis lobster tersebut pertumbuhannya paling tinggi jika dibandingkan dengan lobster lainyya Panulirus versicolor, Panuliru homarus dan Panulirus polyhagus, di alam dapat ditemukan dengan bobot badan 4,2 kg/ekor.

Udang karang bersifat nocturnal yaitu melakukan aktifitas mencari makan pada malam hari, pada siang hari mereka bersembunyi di tempat-tempat yang gelap dan terlindung di dalam lubang-lubang batu karang. Udang karang bertelur sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada awal musim hujan. Sebagai contoh di perairan Pangandaran udang karang ditemukan bertelur sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Oktober (Setyono 2006).

Menurut Subani (1984) lobster dapat digolongkan binatang yang mengasuh benihnya walaupun sifatnya hanya sementara. Lobster betina yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara meletakkan atau menempelkan butir-butir telurnya di bagian bawah badan (abdomen) sampai telur tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva lobster. Menjelang akhir periode pengeluaran telur dan setelah dibuahi, lobster akan bergerak menjauhi pantai dan menuju ke perairan karang yang lebih dalam untuk penetasan.

Komponen Biofisik Perairan

Kualitas air akan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan hewan yang dipelihara. Khusus untuk budidaya dalam kurungan yang dibangun di laut, selain kondisi air (kualitas) in situ juga perlu diperhatikan pola aliran air (arus), gelombang dan angin, pasang surut, kedalaman perairan, salinitas (kadar garam), pH (keasaman), kandungan oksigen terlarut, dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, batu). Pemilihan lokasi untuk budidaya pembesaran lobster tidak jauh berbeda dengan persyaratan untuk budidaya biota laut pada umumnya (Pillay 1990).

Suhu

(18)

Suhu air laut dapat mempengaruhi kehidupan biota air secara tidak langsung, yaitu melalui pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah daya larut oksigen dalam air, dan sebaliknya. Pengaruh suhu secara tidak langsung lainnya adalah mempengaruhi metabolisme, daya larut gas-gas, termasuk oksigen serta berbagai reaksi kimia di dalam air. Selain itu kegiatan bakteri nitrifikasi, yaitu Nitrobakter dan Nitrosomonas juga dipengaruhi suhu (Kordi 2007).

Ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun 0,03 ºC. Suhu air yang baik, dan layak untuk usaha budidaya ikan laut adalah 27-32 ºC. Peningkatan suhu menyebabkan kadar oksigen terlarut turun dan selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme seperti laju pernapasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya karbondioksida. Perubahan suhu yang ekstrim dapat menghambat pertumbuhan ikan, karena energi untuk pertumbuhan habis digunakan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan suhu yang ekstrim (Gunarso 1985).

Kecerahan

Tingkat kecerahan yang tinggi sangat menentukan keberhasilan usaha budidaya lobster. Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan air adalah faktor yang sangat penting untuk pemeliharaan lobster, hal ini disebabkan lobster selalu berada di dasar jaring sepanjang waktu. Oleh karena itu jika kecerahan air sangat rendah akan sulit untuk melihat kondisi kesehatan ikan. Untuk budidaya perikanan laut kecerahan air yang disyaratkan > 5 meter (KLH 2004). Penelitian di Jepang menunjukkan lobster memiliki kebiasaan nokturnal, dan cenderung mempertahankan aktivitas pola variasi diurnal setelah terjadi perubahan kondisi perairan, tetapi periode variasi cenderung diper singkat (Koike et al 1996).

Menurut Davis dan Cornwell (1991) kekeruhan menggambarkan sifat optik yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipertebal oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan bahan faktor seperti plankton dan mikroorganisme lainnya. Kecerahan air laut ditentukan oleh kekeruhan air laut sendiri dari kandungan sedimen yang dibawa oleh aliran air sungai.

Padatan tersuspensi (TSS)

Padatan tersuspensi (TSS) merupakan partikel-partikel organik dan anorganik yang berasal dari pengikisan tebing dan dasar sungai, reklamasi pantai, buangan industri, bangunan rumah tangga dan tanah pertanian yang kesemuanya dapat terakumulasi dalam perairan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mengganggu pernapasan ikan dan hewan akuatik lainnya, karena partikel-partikel tersebut dapat menutupi insang, sehingga proses pengambilan oksigen akan terganggu dan akhirnya berakibat pada kematian (Mayunar et al. 1995).

(19)

untuk kehidupan ikan. Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha budidaya perikanan lautan adalah 5-25 ppm.

Kecepatan arus

Kecepatan arus merupakan faktor ekologi yang primer untuk memungkinkan terjadinya aerasi, tanaman dapat memperoleh unsur hara secara tetap, dan terhindar dari bahan-bahan tersuspensi dalam air (silt) dan epiphyt. Berdasarkan syarat budidaya, kecepatan arus yang ideal untuk budidaya rumput laut adalah 20 – 40 cm/det (Mubarak et al. 1990). Kecepatan arus tertinggi mencapai nilai lebih dari 40 cm/det terjadi pada bulan Januari, Maret dan tertinggi di bulan Juli 2013 mencapai 55 cm/det. Pada kondisi tersebut, wilayah yang terkena dampak paling tinggi adalah perairan teluk yang berada di daerah Lombok Barat, di mana terlihat arah arus hampir sepanjang tahun mengarah ke dalam perairan teluk yang berada di Kabupaten Lombok Barat (Manoppo et al. 2014).

Sutarmat et al. (2003) dalam budidaya ikan di jaring apung, arus air atau pergerakan air sangat penting dan perlu diperhatikan. Arus air berperan dalam penggantian air yang ada di dalam karamba jaring apung, sebagai suplai oksigen yang sangat diperlukan bagi ikan untuk bernafas, membersihkan sisa-sisa atau hasil sekresi yang di dalam jaring apung. Besarnya penggantian air juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan untuk menentukan kepadatan ikan di dalam karamba jarring apung. Perhitungannya didasarkan pada kemampuan seberapa besar arus air dapat menyediakan oksigen yang dibutuhkan oleh ikan.

Menurut Barg (1992) laju pergantian air oleh arus dan pasang surut berperan di dalam proses pembuangan limbah dan memasok oksigen. Pengenceran atau penyebaran areal dan sedimentasi dari pembuangan limbah dan dampaknya terhadap ekologi sekitar lokasi budidaya ditentukan oleh dinamika arus dan kedalaman badan air yang menerima beban limbah.

Pasang surut

Pasang surut adalah proses naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang timbul oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan, terhadap massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar daripada gaya tarik matahari. Fenomena ini memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan, sehingga menyebabkan kondisi fisik perairan yang berbeda-beda (Dahuri et al. 1996).

(20)

Kedalaman air

Lobster biasanya ditemukan di daerah umumnya tenang yang dipengaruhi oleh debu terestrial khas teluk atau daerah laguna dengan kedalaman 30 meter, lobster juga sering ditemukan hidup di antara terumbu karang, bawah karang besar, laguna dengan sirkulasi air yang baik, dan karang terpapar dalam air yang lebih dalam (Prescott 1980).

Sunyoto (1993) mengemukakan bahwa kedalaman perairan untuk karamba jaring apung paling sedikit 1 (satu) meter yaitu jarak dari dasar karamba ke dasar perairan. Kedalaman air sebaiknya 15-30 meter pada waktu pasang surut, jika terlalu dangkal, lumpur dan kotoran air laut akan dengan mudah terakumulasi oleh ombak. Jika lokasi perairan terlalu dalam sulit untuk penempatan jangkar sebagai tambahan agar KJA tidak bergerak (Sutarmat et al. 2003).

Komponen Biokimia

Beberapa faktor biokimia yang harus diperhatikan dalam penentuan lokasi penempatan KJA antara lain : pH, salinitas, oksigen terlarut, senyawa nitrogen, amonia, nitrat dan nitrit. Observasi pada umumnya adalah dengan memanfaatkan parameter lingkungan seperti suhu dan kualitas air sebagai parameter yang mempengaruhi keberlangsungan hidup hewan (Andrewartha et al. 2015).

pH

Menurut Mackereth et al. (1989) pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan alkalinitas. Makin tinggi nilai pH makin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah karbondioksida bebas. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan dengan pH rendah. Pada kondisi alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan amonium.

Proporsi dari total amonia nitrogen yang tidak terionisasi (NH3) akan

meningkat dengan meningkatnya suhu dan pH. Pengaruh dari pH bagi konsentrasi amonia tidak terionisasi sangat tinggi dibandingkan pengaruh suhu (Boyd 1982). Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Proses nitrifikasi akan berakhir jika pH bersifat asam. Pada pH 4,5-5,5 proses nitrifikasi akan terhambat. Bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis. Oleh karena itu proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis. Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbondioksida (Effendi 2003).

Salinitas

(21)

menjadi oksida, semua bromide dan iodide telah digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi.

Mayunar et al. (1995) mengemukakan bahwa perairan laut mempunyai kestabilan salinitas yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan perairan payau. Perubahan salinitas lebih sering terjadi pada perairan dekat pantai, hal ini disebabkan banyaknya air tawar yang masuk baik melalui sungai maupun “run off” terutama pada waktu musim hujan.

Boyd dan Lichtckoppler (1979) mengemukakan bahwa sebagian besar ikan muda lebih sensitif terhadap perubahan salinitas bila dibandingkan ikan dewasa. Peningkatan salinitas, selain berpengaruh pada daya hantar listrik juga dapat meningkatkan tekanan osmotic yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme terutama dalam proses osmoregulasi. Pada umumnya ikan menyenangi air laut berkadar garam 30-33 psu.

Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut dalam perairan merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air yang berasal dari proses fotosintesa oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya di zone eufotik, serta difusi dari udara. Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan mikrorganisme yang dimanfaatkan bahan organik yang berasal dari fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobic (APHA 1989).

Ketersediaan oksigen jika tidak mencukupi akan mengakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus akan menurunkan kualitas kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing), dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air. Peningkatan suhu sebesar 10 C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 %. Secara vertikal distribusi oksigen akan menurun di perairan seiring dengan bertambahnya kedalaman (Effendi 2003).

Oksigen terlarut (DO) merupakan parameter kimia yang paling kritis di dalam budidaya ikan. Oksigen dalam air terutama berasal dari udara (melalui difusi) dan hasil sampingan fotosintesa tumbuhan akuatik terutama fitoplankton. Konsentrasi oksigen terlarut bagi kepentingan perikanan sangat bervariasi dan tergantung pada jenis, stadia dan aktivitas organisme. Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5-8 ppm (Mayunar et al. 1995).

Senyawa Nitrogen

Nitrogen di dalam air laut terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang bersifat racun terhadap ikan dan organisme 3 (tiga) senyawa yaitu amonia (MH3-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Amonia dan nitrit merupakan

(22)

Sumber nitrogen alami berasal dari air hujan, fiksasi nitrogen dari air dan sedimen, dan limpasan dari daratan dan air tanah. Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas amonia (H3), amonium (NH4+), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekul nitrogen nitrit (N2)

dalam bentuk gas, nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Sumber nitrogen organik di perairan berasal dari proses pembusukan makhluk hidup yang telah mati, karena protein dan polipeptida terdapat pada semua makhluk hidup, sedangkan sumber antropogenik adalah limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian, kegiatan perikanan dan limbah domestik (Effendi 2003).

Fiksasi nitrogen berdasarkan kedalaman mirip dengan proses fotosintesis. Pada intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi proses fiksasi akan terhambat pada permukaan, dan menjadi maksimum bertambahnya kedalaman. Fiksasi nitrogen berkorelasi positif dengan konsentrasi bahan organik terlarut yang terdapat pada perairan (Insan 2009).

Fosfor

Fosfor dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum, pembentukan tulang dan memelihara regulasi asam basa di dalam ikan. Oleh karena keberadaannya dalam perairan sangat terbatas, maka fosfor harus di tambahkan ke dalam pakan ikan. Pakan merupakan sumber utama beban limbah fosfor dari kegiatan budidaya ke lingkungan (Rachmansyah 2004).

Fosfor memainkan peran sentral dalam eutrofikasi badan air. Rendahnya kadar ortofosfat-fosfor dalam air karena pembentukan kompleks kalsium-fosfat tidak larut. Seperti fenomena pembersih dari beberapa nutrisi anorganik dan juga bertindak sebagai agen penyerapan bahan organik terlarut dengan cara absorpsi (Naik et al. 2015). Total Fosfor adalah salah satu nutrient yang penting untuk mengetahui mengenai eutrofikasi. Fosfor sering digunakan sebagai kunci untuk menjelaskan kualitas algae yang ada di danau. Fosfor merupakan unsur esensial bagi membentuk protein serta metabolisme sel organisme dan fosfor terdapat dalam bentuk senyawa orthofosfat (PO43-), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat

(P3O105-) serat dalam bentuk organik (Wardoyo 1981).

Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktivitas badan air. Jika dalam perairan terjadi masukan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan kandungan fosfat nya cukup tinggi, dapat mengakibatkan terjadinya proses eutrofikasi atau keadaan lewat subur, yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan plankton yang tidak terkendali (Sutamihardja 1978).

Karamba Jaring Apung

(23)

ikan. Sebuah KJA terdiri atas bagian-bagian berupa rakit, pelampung, pemberat, jangkar, kantong jaring dan gudang (rumah jaga). Bagian-bagian ini membentuk satu unit KJA yang saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya (Kordi 2010).

Sumber : Adi Panggih Nugroho

Gambar 3. Konstruksi keramba jaring apung Estimasi limbah

Estimasi limbah karamba jaring apung di kawasan sea farming merupakan langkah penting untuk mengetahui berapa besar limbah yang masuk ke perairan, sehingga dapat dilakukan kontrol terhadap sumber limbah. Minimnya pengaturan terhadap hasil ekstraksi budidaya perikanan dapat menimbulkan dampak serius bagi lingkungan sekitar perairan (Chen et al. 2012).

Limbah budidaya laut di dalam karamba jaring apung dikeluarkan langsung ke perairan sekitarnya. Sehingga berdampak kepada kualitas perairan, besarnya dampak tersebut tergantung pada; ukuran unit karamba jaring apung yang beroperasi, kepadatan ikan untuk setiap karamba, durasi pengoperasian karamba pada suatu tempat, kondisi fisik dan oseanografi yang berkaitan dengan tempat kegiatan karamba berlangsung, biota yang menghuni kawasan tersebut dan kapasitas asimilasi dari lingkungan (Milewski 2001).

(24)

limnologi digunakan untuk mengukur morfometri, stratifikasi, aliran air dan faktor-faktor biologis seperti input pakan budidaya, konsumsi, dan produksi limbah yang membantu memprediksi perubahan status trofik ekosistem dan fungsi lingkungan pelagis dan bentik karena budidaya ikan (Byron and Costa-Pierce 2010).

Budidaya Laut yang Berkelanjutan

Dalam pengembangan budidaya laut perlu memperhatikan aspek daya dukung lingkungan demi keberlanjutan kegiatan tersebut. Kemampuan daya dukung yang dimaksud adalah seberapa besar ruang tersebut dapat berproduksi secara optimal dengan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga kelestarian produksi tetap terjamin. Pengembangan budidaya laut di Indonesia berjalan sangat lamban disebabkan karena adanya berbagai permasalahan yang dihadapi, yaitu: masalah yang berkaitan dengan lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan teknologi (DKP, 2002).

Lee (2000) menyatakan bahwa untuk keberlanjutan usaha pengembangan budidaya laut, harus didukung oleh lingkungan, kondisi sosial ekonomi, dan kelembagaan. Pengembangan budidaya laut didasari pada pemahaman bahwa kegiatan budidaya laut mampu memberikan kontribusi yang baik kepada pelaku

budidaya maupun terhadap lingkungan, melalui 3 (tiga) aspek “sustainability” ,

yaitu :

1. Keberlanjutan sosial budidaya laut memiliki kontrol terhadap siklus produksi yang tinggi dengan teknik yang relatif mudah, sehingga ketergantungan masyarakat lokal terhadap orang luar (outsiders) dalam melakukan budidaya laut dapat direduksi seminim mungkin dalam periode waktu relatif singkat.. 2. Keberlanjutan ekologis budidaya laut merupakan „extractive-based activity’

yaitu rasionalisasi pengelolaan sumberdaya hayati perikanan melalui penambahan produksi dari kegiatan di luar penangkapan.

3. Keberlanjutan ekonomi budidaya laut dapat dilakukan sepanjang tahun, sehingga memungkinkan produksi yang kontinyu. Selanjutnya, penggunaan sumberdaya dan spesies ekonomis tinggi seperti lobster dapat memberikan nilai return yang sangat tinggi.

Analisis Kesesuaian Lahan

Pemilihan lokasi merupakan faktor kunci dalam operasi akuakultur, mempengaruhi keberlanjutan usaha dan bisa menyelesaikan konflik antara kegiatan yang berbeda. Pemilihan lokasi dengan menggunakan teknologi sistem geografis informasi (GIS), dengan cara integrasi data dan manipulasi secara sistematis dan logis terbukti sangat efektif untuk membantu proses pengambilan keputusan pemilihan lokasi (Perez et al. 2005).

(25)

pertambangan dan kawasan industri. Oleh itu sudah selayaknya kalau hal tersebut di atas segera dihentikan dan dilaksanakan sesuatu pengelolaan yang lebih baik.

Analisis Daya Dukung Lingkungan (Carrying Capacity)

Salah satu tujuan manajemen sistem budidaya adalah menyediakan tools yang dapat memprediksi dan menilai kemampuan suatu area mendukung budidaya perairan. Kebijakan pemilihan tempat budidaya dan strategi tata ruang spasial unit budidaya dapat meningkatkan daya dukung produksi dan mengurangi dampak ekologi dari usaha budidaya. Analisis daya dukung berdasarkan tool yang mendukung penataan ruang budidaya sangat mendukung lingkungan dalam mengurangi beban limbah (Gecek et al. 2010).

Daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu. Terkait dengan perikanan, daya dukung merupakan kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu tertentu (Kenchington and Hudson 1984). Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi dapat menurun akibat kegiatan manusia yang menghasilkan limbah atau kerusakan alam, seperti bencana alam, atau bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (Clark 1996).

Menurut Duarte et al. (2003) Definisi daya dukung yang terkait dengan ekonomi adalah tingkat stok dengan produksi tahunan dari kohort ukuran pasar yang dapat dimaksimalkan. Sementara daya dukung dalam tataran ekosistem didefinisikan sebagai tingkat pemanfaatan dalam suatu ekosistem tanpa membuat struktur dan fungsinya melebihi batas tertentu yang dapat diterima. Kegiatan budidaya karamba jaring apung menghasilkan limbah N dan P ke dalam perairan, sehingga mempengaruhi kualitas daya dukung suatu kawasan sehingga perlunya mengestimasi buangan fosfor. Fosfor dan cahaya merupakan faktor utama yang membatasi produksi baik pada perairan subtropis maupun tropis. Karenanya penambahan P akan mempengaruhi produktivitas (Beveridge 1982).

Kemampuan asimilasi merupakan ukuran kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Jadi dapat dikatakan dengan diketahuinya kapasitas asimilasi suatu perairan, penentuan daya dukung lingkungan di perairan tersebut menjadi semakin terbantu dan akurat. Estimasi daya lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di KJA merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh di tanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper 1982).

(26)

Alat Bantu (Tools) Analisis

Alat bantu analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem informasi geografis dan Surfer. Sistem Informasi Geografis merupakan suatu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan logika, yang berkenaan dengan objek yang terdapat di permukaan bumi. Sistem informasi geografis adalah sejenis perangkat lunak berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanipulasi, menampilkan dan mengeluarkan informasi geografis, lengkap dengan atributnya (Prahasta 2001).

Star dan Estes (1990) mengemukakan bahwa GIS adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, GIS adalah tools dalam penyusunan sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sistem GIS dapat dipertimbangkan sebagai suatu sistem manajemen basis data yang membolehkan pengguna untuk mengambil keputusan.

III. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Teluk Jor dipilih sebagai lokasi penelitian didasarkan pertimbangan potensi untuk pengembangan budidaya lobster sistem keramba jaring apung (KJA) dan terdapat vegetasi mangrove, lamun dan terumbu karangAdapun batas dari Kecamatan Jerowaru sebagai berikut sebelah Utara dengan Kecamatan Keruak, sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah Barat dengan Kabupaten Lombok Tengah, sebelah Timur dengan Selat Alas. Waktu penelitian dilaksanakan selama tujuh bulan, yaitu dari 1 Februari 2014 – 4 Agustus 2014.

(27)

Prosedur Penelitian

Persiapan

Persiapan merupakan kegiatan awal dalam mengumpulkan data dan peralatan yang dapat menunjang pelaksanaan penelitian. Tahap pengumpulan data tentang kondisi lokasi penelitian yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Mataram Fakultas Pertanian Program Studi Perikanan. Manfaat dari tahapan ini adalah penyusunan rencana penelitian, ketika dilapangan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Pengumpulan data primer

Pengumpulan data primer meliputi suvei lapangan dan pemukiman sekitar perairan Teluk Jor. Survei perairan meliputi parameter yang telah ditentukan dengan metode standar ilmiah pengambilan dan penyimpanan kualitas air. Sedangkan survei pemukiman dilakukan dengan cara visual dan wawancara langsung dengan masyarakat budidaya lobster dengan berdasarkan kuisioner yang telah disusun.

Dalam pengumpulan data primer kualitas perairan Teluk Jor dibutuhkan peralatan survei yang dapat menunjang keakuratan data, peralatan yang dibawa kelapangan merupakan peralatan yang sifatnya portabel dan multifungsi sehingga mempermudah ketika pengambilan sampel kualitas air. Adapun metode dan alat sampling di tampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Metode dan alat sampling kualitas air perairan Teluk Jor

No Parameter Unit Alat Metode

7 Salinitas psu Handfraktometer Insitu

8 Oksigen terlarut ppm DO meter Laboratorium 9 Orthophosphat ppm Spektrometer Laboratorium

10 Nitrat ppm Spektrometer Laboratorium

11 Nitrit ppm Spektrometer Laboratorium

Prosedur Analisis Data

(28)

mempermudah pengolahan data dan memiliki keterkaitan, sistematika analisis dapat dijelaskan sebagai berikut ;

Analisis kesesuaian lahan budidaya lobster dengan teknik KJA

Penentuan kelayakan perairan untuk lahan pengembangan budidaya KJA dilakukan dengan metode pembobotan. Data kondisi fisik perairan Teluk Jor, infrastruktur, sosial ekonomi, dan status penggunaan perairan dijadikan acuan dalam menentukan kriteria kesesuian lahan, yang terbagi kedalam kategori 1 yang terkait dengan proses biologi komoditas budidaya dengan bobot 40 %, kategori 2 terkait dengan desain tata letak dan konstruksi sarana budidaya dengan bobot 30 %, dan kategori 3 terkait dengan aspek sosial ekonomi dan kelembagaan dengan bobot 30 %, masing-masing kategori memiliki parameter dan persentase bobot.

Setiap parameter memiliki skor yang terbagi kedalam tiga kategori yaitu nilai 3 (sesuai dimana nilai parameter berada pada rentang yang optimal), 2 (cukup sesuai dimana nilai parameter berada pada rentang yang direkomendasikan) dan 1 (tidak sesuai dimana nilai parameter berada diluar yang direkomendasikan). Untuk memperoleh nilai setiap parameter maka persentase bobot dikalikan dengan nilai skor untuk masing-masing parameter yang diperoleh dari pengukuran dan pengamatan lapangan.

Untuk mendapatakan nilai kalayakan, maka masing-masing bobot parameter dikalikan dengan nilai skor. Kesesuaian lahan untuk budidaya lobster teknik KJA di laut dibagi kedalam 3 klasifikasi, Sesuai (S1) dengan nilai 67-100, cukup sesuai (S2) dengan nilai 34-66, dan tidak sesuai (S3) dengan nilai lebih kecil dari 33. Penentuan kelayakan lahan budidaya KJA di modifikasi dari Beveridge (1996) di dalam (Rachmansyah 2014).

Tahapan analisis dengan GIS

Dukungan GIS dan kapasitas daya dukung untuk wilayah pesisir telah dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya laut (Scott 2013). Penentuan lokasi dan luas perairan yang layak bagi budidaya lobster sistem KJA dilakukan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (GIS). perangkat lunak yang digunakan adalah software ArcGis versi 10, surfer 7, map info 10. Proses analisis dapat dilihat pada diagram alir proses penentuan lokasi bagi budidaya lobster teknik KJA disajikan pada Gambar 5.

Pengumpulan dan penyiapan data

Tahapan awal dalam melakukan analisis GIS adalah menyiapkan peta dasar yang menjadi acuan pemasukan data spasial maupun data atribut. Peta dasar yang digunakan adalah peta Lingkungan Pantai Indonesia skala (1 : 50.000), yang diperolah dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Data primer yang berhubungan dengan lingkungan perairan bersumber dari laporan, statistik maupun hasil pengukuran langsung di lapangan.

Penyusunan basis data

(29)

penggunaan GIS. Basis data GIS berisi sekumpulan data yang berasal dari berbagai sumber dan jenis data, baik berupa data spasial maupun data atribut. Sehubungan dengan aplikasi GIS yang digunakan untuk menentukan lokasi yang sesuai untuk budidaya lobster teknik KJA, maka data biofisik perairan yang diperoleh dari pengukuran di lapangan dimasukan ke dalam basis data. Data ini umumnya berbentuk titik (spasial objek dengan sepasang koordinat X dan Y) yang tidak mempunyai dimensi panjang dan luas (area).

Data yang di hasilkan dari pengukuran parameter lingkungan nantinya akan dibentuk suatu layer yang akan dimasukan dalam peta dasar yang telah tersedia. Untuk data atribut yang bersifat tabular dikompilasikan dengan perangkat lunak microsoft excel terlebih dahulu sebelum dimasukan ke basis data ArcGIS. Apabila basis data telah terbentuk selanjutnya peta digitasi yang ada ditransformasi ke dalam sistem proyeksi tranverse mercatoe dengan grid UTM (Universal Transverse Mercator).

Setelah peta tematik setiap parameter terbentuk dilakukan operasi penggabungan (union) atau tumpang susun (overlay operation) dengan software ArcGis 10 terhadap parameter kesesuaian lahan budidaya lobster sistem KJA. Operasi tumpang susun ini ditetapkan urutan dari setiap layer yang dilibatkan sesuai dengan tingkat kepentingan. Operasi tumpang susun dimulai dari layer paling penting ke kurang penting sehingga diperoleh peta kesesuaian lahan. Penyusunan matriks kesesuaian lahan berdasarkan parameter utama penilaian merupakan tahapan penting dalam menyiapkan data yang akan dianalisis. Penentuan kesesuaian lahan budidaya KJA dimodifikasi dari kriteria yang dikembangkan oleh Tiensongrusme et al. (1986) di dalam (Adibrata 2012). Analisis penentuan daya dukung

Salah satu pendekatan dalam menentukan daya dukung lingkungan bagi pengembangan budidaya lobster dalam KJA di laut, yaitu dengan pendekatan

Persyaratan Biofisik

Perairan Data Primer

Peta Kesesuaian Lahan Budidaya laut Teknik KJA Peta Dasar

Peta Tematik

Analisis Spasial

(30)

yang mengacu pada loading total-P dari sistem budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan. Pendugaan daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya lobster di laut mengacu pada tahapan yang dikemukakan oleh Beveridge (1987) dengan tahapan sebagai berikut :

 Menghitung luasan permukaan dari badan air adalah A-ha

 Rataan kedalaman Z = V/A meter (dihitung dari survey oseanografi dan peta bathymetri), di mana V adalah volume badan air (m3).

 Flushing koefisien ρ th-1

(dihitung dari sampling outflow pasang surut), dihitung berdasarkan formula yang dalam (Barg 1992), sebagai berikut : D = (Vh-Vl)/T x Vh

Di mana (Vh-Vl) adalah volume pergantian setiap pasang dan surut Vh = volume tertinggi air dari badan air saat pasang (m3)

Vl = volume terendah air badan air saat surut (m3) T = periode pasang dalam sehari

Dari data di atas maka daya dukung lingkungan perairan dapat ditentukan dengan tahapan sebagai berikut :

Tahap 1. Mengukur steady state [P]i dari konsentrasi total-P, yang

ditentukan berdasarkan rataan tahunan konsentrasi total-P dalam badan air, diperoleh dari sejumlah sampel yang representative selama satu tahun, misalkan P mg m-3.

Tahap 2. Menentukan [P] maksimum yang dapat diterima oleh badan air [P]f akibat adanya budidaya.

Tahap 3. Menentukan kapasitas badan air untuk budidaya lobster secara menangani loading P, maka :

= Lfish (1- Rfish)/Zρ

Lfish = * Z * ρ /1-Rfish

Rfish = x + [(1-x)R]; di mana R = 1/(1+ρ0,5)

Di mana, adalah total –P (g m-3), Lfish (total-P g m-2 th-1); Z (rataan

kedalaman badan air dalam meter); ρ adalah laju pembilasan (volume th-1); Rfish (total –P yang larut ke dalam sedimen); x (total –P yang hilang secara

permanen ke dalam sedimen).

Tahap 4. Jika telah diketahui luasan badan air (A m2), loading total-P yang dapat diterima (Lfish g th-1), loading total-P yang hilang ke lingkungan

selama budidaya (kg-P/ton ikan), maka dapat dihitung jumlah ikan (ton th

-1

) yang dapat diproduksi, yaitu : Lfish x A / total –P

(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi

Teluk Jor sejak 2000 telah menjadi kawasan budidaya lobster sistem KJA oleh masyarakat lokal, usaha budidaya lobster telah menjadi pekerjaan utama dalam memenuhi hidup keluarga dan pendidikan. Pertumbuhan usaha budidaya lobster tahun 2000-2010 menunjukkan trend peningkatan, sejak tahun 2010 produk lobster mengalami penurunan akibat penyakit dan kelangkaan benih. Budidaya lobster system KJA oleh masyarakat hanya proses pembesaran dengan mengambil benih dari alam yang didatangkan dari Teluk Ekas, Dompu dan Bima.

Teluk Jor terbagi atas dua bagian yaitu perairan bagian dalam dan perairan pada bagian mulut teluk. Bagian dalam Teluk Jor memiliki kecepatan arus yang lambat, sedangkan bagian mulut teluk kecepatan arus yang lebih cepat dan dinamis. Teluk Jor merupakan perairan dengan arus 3-38 cm/detik dan berhadapan langsung dengan Selat Alas yang mampu memberikan input massa air untuk melakukan proses asimilasi limbah, sehingga kondisi perairan Teluk Jor mampu mendukung usaha budidaya lobster sistem KJA.

Gambar 6 . Peta stasiun pengamatan kualitas air Teluk Jor Kualitas Air

(32)

Tabel 2. Hasil analisis kualitas air perairan Teluk Jor

Parameter satuan Kualitas air Baku Mutu Perairan min maks direkomendasikan Sumber

Suhu ⁰C 28 33 27-32 SNI 8116 : 2015

Suhu perairan pada saat pengamatan secara keseluruhan berkisar antara 28-330 C. Hasil pengukuran pada 2012 yang dilakukan oleh BBL lombok di Teluk Jor menunjukkan suhu perairan berkisar antara 28-290 C, nilai ini tidak jauh berbeda dengan pengamatan pada tahun 2014. Berdasarkan acuan dari Standar Nasional Indonesia parameter suhu untuk mendukung keberlanjutan hidup budidaya lobster system KJA antara 28-31oC. Perbedaan mungkin terjadi karena berbeda intensitas penyinaran matahari pada saat pengambilan data suhu perairan.

Dilihat dari nilai rata-rata nilai suhu sebesar 31oC maka nilai ini merupakan kondisi suhu yang sesuai untuk pertumbuhan lobster. Hal ini memberikan peluang bahwa berdasarkan nilai suhu di lokasi penelitian dapat dikembangkan untuk budidaya lobster dengan sistem KJA.

Hasil pengukuran menunjukkan pada stasiun 1 (satu) yang merupakan stasiun kontrol di luar Teluk Jor memiliki suhu terendah (28,90 C), sedangkan suhu tertinggi pada stasiun 12 yang merupakan area yang berdekatan dengan daratan. Perbedaan suhu setiap stasiun dipengaruhi oleh waktu pengukuran dan jarak perairan dengan daratan. Pada lokasi sekitar budidaya sistem KJA memiliki suhu berkisar antara 29-300 C, sesuai bagi pengembangan budidaya lobster.

Perubahan kondisi suhu perairan Teluk Jor dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup budidaya lobster system KJA, karena suhu mempengaruhi sifat fisika, kimia dan biologi perairan dapat meningkatkan tingkat stres lobster hingga ukuran menjadi kerdil dan berakhir pada kematian. Kondisi suhu perairan yang relatif stabil mampu mendukung pertumbuhan lobster pada kegiatan budidaya sistem KJA di perairan Teluk Jor.

(33)

Gambar 7. Kisaran suhu perairan Teluk Jor Kedalaman

Kedalaman perairan di lokasi penelitian yang terukur pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 1-7 meter, sedangkan lokasi KJA Teluk Jor pada saat surut kedalaman perairan berkisar antara 0-5 meter. Kedalaman perairan untuk pengembangan budidaya karamba jaring apung menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi. Perairan bagian dalam Teluk Jor memiliki kedalaman yang rendah sehingga tidak memungkinkan dilakukan proses budidaya, perairan tersebut dimanfaatkan masyarakat untuk melakukan proses penangkapan ikan kecil. Perairan bagian mulut Teluk Jor memiliki kedalaman cukup tinggi, perairan tersebut dimanfaatkan sebagai lokasi penempatan KJA.

Gambar 8. Kedalaman perairan Teluk Jor

(34)

Sunyoto (1993) menyatakan bahwa kedalaman perairan untuk kegiatan budidaya KJA bagi ikan berkisar antara 7-15, namun berdasarkan pengamatan di perairan Teluk Jor dengan kedalaman 1-5 meter pada saat surut dapat dibangun KJA bagi lobster dengan melakukan modifikasi kantong jaring agar tidak terlalu menyentuh dasar perairan.

Mengacu pada SNI (2013) kedalaman minimal 6 meter untuk KJA, maka perairan Teluk Jor memiliki area yang tidak memenuhi syarat tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan lapang terjadi modifikasi jaring oleh nelayan untuk mentaktisi kedalaman bagi budidaya lobster system KJA, sehingga perairan Teluk Jor yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan areal budidaya lobster sistem KJA terdapat pada daerah mulut Teluk dan luar Teluk Jor.

Kecerahan

Kondisi dasar perairan sangat mempengaruhi kualitas air diatasnya, apabila badan perairan mengalami pelumpuran dan terjadi gerakan air baik oleh arus maupun gelombang maka akan mengaduk partikel dasar termasuk feses yang mengendap dan terbawa ke permukaan yang akan menimbulkan keruh nya air sehingga penetrasi sinar matahari menjadi kurang dan dalam kondisi partikel lumpur yang pekat dapat berpotensi menutup insang ikan. Kekeruhan dan kecerahan perairan dapat diukur dengan tingkat kecerahan perairan. Tingkat kecerahan yang tinggi akan sangat menentukan keberhasilan usaha budidaya lobster sistem KJA.

Gambar 9. Tingkat kecerahan perairan Teluk Jor

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perairan Teluk Jor memiliki kecerahan rendah dengan kedalaman antara 1- 4 meter kondisi kecerahan perairan memberikan gambaran bahwa pengembangan KJA di perairan Teluk Jor belum memenuhi kriteria baku mutu Kep-51/MENLH/2004 bagi budidaya perikanan (biota laut), nilai kecerahan terukur belum memenuhi baku mutu yang diinginkan sehingga perlu adanya perhatian pada sumber pencemar baik dari aktivitas budidaya dan limbah antropogenik dari daratan.

(35)

Kecerahan terendah pada lokasi budidaya sistem KJA (stasiun 11), sedangkan kecerahan tertinggi pada stasiun kontrol (stasiun 15) yang berada pada perairan luar Teluk Jor. Berdasarkan hasil pengamatan visual rendahnya kecerahan pada lokasi yang berdekatan dengan KJA disebabkan oleh partikel organik yang bersumber dari dasar perairan.

TSS

Berdasarkan survei analisis laboratorium kandungan padatan tersuspensi (TSS) berada pada kisaran antara 0,07-0,27 mg/l. Perairan dengan kadar TSS yang tinggi biasanya cenderung keruh, hingga secara visual tidak mampu menembus dasar perairan. TSS yang lebih tinggi diperoleh pada daerah dalam Teluk yang merupakan daerah dekat KJA dan dekat pemukiman masyarakat, hal ini karena banyak dari sisa makanan, kotoran ikan dan buangan limbah rumah tangga masyarakat yang turun ke perairan. Berdasarkan pengamatan visual pada lokasi penelitian perairan cenderung keruh ketika terjadi surut, pada saat pasang perairan tingkat keruh rendah akibat sirkulasi massa air dari luar perairan Teluk Jor.

Gambar 10. TSS perairan Teluk Jor

(36)

Kecepatan Arus

Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, sebagai pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, kelarutan oksigen dapat mengurangi organisme penempel (biofouling). Desain dan konstruksi keramba harus disesuaikan dengan kecepatan arus. Di perairan Teluk Jor, kecepatan arus perairan berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan berkisar antara 3-38 cm/detik. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia untuk budidaya lobster, parameter kecepatan arus yang direkomendasikan sekitar 20-40 cm/detik (SNI 2013).

Menurut Velvin (1999) didalam Noor (2009) bahwa kecepatan arus terbagi ke dalam 4 kategori yaitu arus sangat rendah (<0,003 m/detik), kecepatan arus rendah (antara 0,03 s/d 0,06 m/det), kecepatan arus sedang (antara 0,07 s/d 0,10 m/detik) dan kecepatan arus tinggi (0,10–0,25 m/detik). Berdasarkan kategori kecepatan arus perairan Teluk Jor masuk kategori rendah.

Gambar 11. Kecepatan arus perairan Teluk Jor

Kecepatan arus perairan Teluk Jor tertinggi ditemukan pada bagian mulut dalam Teluk yang merupakan bagian outflow massa air, sedangkan arus terendah ditemukan pada bagian dalam Teluk yang berhadapan dengan ekosistem mangrove. Letak KJA terdapat pada posisi bagian outflow perairan Teluk Jor sehingga limbah KJA langsung terbawa arus surut ke perairan Selat Alas.

Kondisi konstruk KJA di sekitar perairan Teluk Jor terbuat dari kayu dan bambu sehingga ketahanan KJA tergantung pada arus dan gelombang perairan, berdasarkan hasil pengamatan lapang kecepatan arus masih ditolerir untuk mendukung usaha budidaya lobster sistem KJA.

Pasang Surut

(37)

arus menggali masuk ke perairan Teluk Jor, sedangkan pada saat muka air bergerak turun maka arus bergerak keluar dari perairan teluk menuju Selat Alas.

Pergerakan arus pasang surut mempengaruhi kondisi massa air dalam perairan Teluk Jor, pergerakan horizontal massa air akan membawa sejumlah beban limbah KJA dan rumah tangga untuk ke luar dari perairan teluk dan terjadi sirkulasi massa air dari Selat Alas, sehingga perairan Teluk Jor mampu melakukan asimilasi terhadap tekanan limbah.

Berdasarkan data hidrooseanografi yang didapatkan, maka dengan menggunakan rumus Gowen et al. (1989) didalam Noor (2009) yang mengacu

pada data pasang surut, volume dan luasan teluk, maka “flushing time” Teluk Jor

diperoleh 14 hari dengan prosedur sebagai berikut ;

Menurut Noor (2009) perairan dengan kondisi flushing rate tinggi memiliki kemampuan laju buangan yang lebih baik bila dibandingkan dengan perairan yang memiliki flushing rate rendah. Nilai flushing rate merupakan data penting digunakan dalam estimasi waktu tinggal limbah dari setiap perairan yang menerima limbah. Dari hasil perhitungan nilai flushing time maka Teluk Jor termasuk memiliki flushing time relatif tinggi.

Tabel 3. Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Jor

Vh = A.h1 dan V1 = A.h0

Dimana :

A : luas perairan teluk (m2)

h1 dan h0 : kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah

Vh-Vl : perubahan volume karena efek pasang surut

Vh : 54,658,343 m3 (Volume air pada sat pasang tertinggi) Jenis

permukaan pasut

Tinggi air dari MSL

Luas permukaan

teluk (ha)

Volume Tidel

range

MHWS 128.67 593.11 54,658,343 259.63

(38)

V1 : 46,695,958 m3 (Volume air pada sat surut terendah)

T : Periode pasut untuk perairan Teluk Jor 24/12 = 2

Maka : nilai pH menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Nilai pH yang normal bagi air laut adalah antara 8,0-8,5. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan tersebut (Boyd and Lichtkoppler 1979).

Gambar 13. pH perairan Teluk Jor

Pada saat pengamatan di perairan Teluk Jor nilai pH berkisar antara 8,2-8,7, berdasarkan rekomendasi kesesuaian budidaya lobster sistem KJA dari SNI nilai pH berkisar antara 7-8, kisaran nilai pH ini memenuhi SNI untuk budidaya lobster system KJA di perairan Teluk Jor. Menurut penelitian BBL Lombok di perairan Teluk Jor pada tahun 2012 memiliki nilai pH berkisar antara 6,5-8,1. Kriteria baku mutu Kep-51/MENLH/2004 nilai pH yang direkomendasikan yaitu 6,5-8,5 kriteria ini tidak jauh berbeda dengan kisaran nilai pH Teluk Jor pada tahun 2014,

(39)

sehingga dapat dikatakan bahwa nilai pH perairan Teluk Jor masih mendukung bagi aktifitas budidaya lobster.

Salinitas

Hasil pengukuran salinitas berkisar antara 29-36 psu. Salinitas yang lebih tinggi diduga terjadi karena proses penguapan yang cukup tinggi ketika pengambilan data. Hasil pengukuran salinitas di perairan Teluk Jor oleh BBL Lombok (2012) mendapatkan bahwa nilai salinitas nya berkisar antara 34-36 psu, tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran di perairan Teluk Jor tahun 2014.

Kisaran nilai salinitas yang diperoleh masih tergolong dalam batas kriteria oleh SNI untuk budidaya lobster system KJA berkisar antara 28-35 psu. Salinitas tertinggi 36 psu ditemukan dekat KJA, sedangkan salinitas terendah 29 psu ditemukan dekat pemukiman, kemungkinan nilai rendah disebabkan oleh masukan massa air tawar dari sekitar pemukiman masyarakat. Kondisi salinitas perairan Teluk Jor mampu mendukung keberlangsungan budidaya lobster system KJA.

Gambar 14. Salinitas perairan Teluk Jor Oksigen Terlarut

Sumber utama oksigen terlarut atau dissolve oksigen (DO) di perairan adalah difusi dari udara dan hasil fotosintesis biota perairan yang berklorofil. Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air sangat lambat, oleh karena itu fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen terlarut di perairan.

(40)

Tabel 4. Kisaran oksigen terlarut perairan Teluk Jor Oksigen terlarut Satuan Status Perairan

> 6.5 mg/liter Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan

4.5-6.4 mg/liter Tercemar ringan

2.0 - 4.4 mg/liter Tercemar sedang

< 2.0 mg/liter Tercemar berat

Sumber ; Lee et al. (1978)

Hasil pengukuran selama penelitian menunjukkan kisaran oksigen terlarut antara 3,23-4,34 mg/l yang diukur pada pukul 09.00, 13.00 dan 17.00. berdasarkan kondisi oksigen terlarut yang terukur selama penelitian dapat disimpulkan bahwa perairan Teluk Jor termasuk dalam kategori perairan yang tercemar sedang. Pencemaran dari limbah organik juga dapat menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam perairan (Connel and Miller 1995).

Gambar 15. Oksigen terlarut perairan Teluk Jor

Berdasarkan hasil pengukuran BBL Lombok di perairan Teluk Jor tahun 2012 berkisar antara 5,5-6,8 mg/l, perbedaan nilai pengukuran disebabkan oleh semakin meningkatnya beban limbah organik yang masuk ke perairan Teluk Jor sehingga mempengaruhi konsumsi oksigen terlarut. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia nilai DO untuk budidaya lobster minimal 5, nilai parameter DO perairan Teluk Jor tidak mendukung pengembangan budidaya lobster.

Fosfat

Kadar fosfat semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik, budidaya dan pertanian yang mengandung kadar fosfat. Peningkatan kadar fosfat dalam laut akan menyebabkan terjadinya blooming fitoplankton yang mengakibatkan pada kematian ikan. Berdasarkan kadar fosfat total, perairan

(41)

diklasifikasikan menjadi tiga yaitu; perairan dengan tingkat kesuburan rendah yang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0 – 0,02 mg/liter. Perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat 0,021 – 0,05 mg/liter. Perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, memiliki kadar fosfat total 0,051 – 0,1 mg/liter (Yoshimura dan Liaw, 1969 dalam Effendi 2003)

Berdasarkan hasil analisis laboratorium nilai fosfat berkisar antara 0,03-0,28 mg/l, nilai fosfat tertinggi (0,28 mg/l) ditemukan dekat aktifitas KJA sedangkan terendah 0,03 (mg/l) di teluk bagian dalam, kisaran nilai fosfat untuk pengembangan budidaya perikanan menurut baku mutu Kementerian Lingkungan Hidup 0,015 mg/l. Nilai fosfat perairan Teluk Jor menunjukkan perairan Teluk Jor tidak memenuhi kriteria baku mutu fosfat bagi pengembangan usaha budidaya perikanan, sehingga perlu dilakukan pembatasan sumber pencemaran yang dapat menambah unsur fosfat di perairan Teluk Jor.

Gambar 16. Fosfat perairan Teluk Jor Nitrat

Hasil analisis laboratorium nitrat selama penelitian berkisar antara 0,5-4,00 mg/l, sedangkan hasil pengukuran nitrat oleh BBL Lombok tahun 2012 di perairan Teluk Jor berkisar antara 0,6-1,7 mg/l, kondisi perairan Teluk Jor menunjukkan trend peningkatan kadar nitrat setiap tahunnya. Suatu perairan menunjukkan kadar nitrat lebih dari 5 mg/l, maka perairan tersebut telah terjadi pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1.000 mg/l (Davis dan Cornwell 1991).

Kandungan nitrat yang terdapat dalam suatu perairan dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat kesuburan, yakni perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/l, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1-5 mg/l, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat berkisar antara 5-50 mg/l (Volenweider

(42)

1969 dalam Effendi 2003). Standar baku mutu Kementerian Lingkungan Hidup (2004) kandungan nitrat bagi perairan air laut untuk biotalaut 0,008 mg/l, hal ini menunjukkan bahwa nilai nitrat pada perairan Teluk Jor telah melewati batas aman bagi biota laut mengarah kepada terjadinya eutrofikasi.

Gambar 17. Nitrat perairan Teluk Jor Nitrit

Hasil analisis laboratorium nitrit selama penelitian berkisar antara 0,02-0,03 mg/l, kadar terendah ditemukan pada stasiun kontrol yang jaraknya jauh dari lokasi KJA, sedangkan kadar tertinggi ditemukan pada lokasi KJA. Hasil penelitian BBL Lombok tahun 2012 di perairan Teluk Jor nilai nitrit berkisar antara 0,03-0,06 mg/l. Nitrit direkomendasikan untuk budidaya udang oleh BBL Lombok lebih kecil dari 1 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa nilai nitrit pada perairan Teluk Jor masih dalam batas aman bagi biota laut.

Gambar 18. Nitrit perairan Teluk Jor

0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

m

g

/l

ite

r

Gambar

Gambar 1. Bagan alur kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3. Konstruksi keramba jaring apung
Gambar 4.Peta Teluk Jor Kabupaten Lombok Timur Propinsi NTB
Tabel 1. Metode dan alat sampling kualitas air perairan Teluk Jor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam disertasi ini dikaji secara komprehensif tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan daya dukung bagi pengembangan perikanan budidaya ikan kerapu di laut, meliputi

JUDUL TESIS KAJIAN BIOfISIK PERAIRAN PESISIR TELUK AWARANGE UNTUK BUDIDAYA LAUT SISTEM KARAMBA JARING APUNG DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN.. Ketua Program Studi IImu

Walaupun limbah dari KJA dapat meningkatkan konsentrasi total fosfat di perairan Danau Lut Tawar, namun karena limbah yang masuk masih dalam batas daya tampung

Langkah yang dapat ditempuh oleh stakeholders untuk meningkatkan daya dukung Waduk Jatiluhur terhadap aktivitas budidaya ikan dengan sistem KJA salah satunya adalah

Teluk Ambai menjadi salah satu teluk yang ada di Kepulauan Yapen sangat cocok untuk pengembangan berbagai komoditi kelautan budidaya ikan kerapu, namun masih

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rencana zonasi (RZWP3K) teluk Lampung untuk kegiatan budidaya ikan tidak didasarkan pada hasil kajian

Beban limbah organik yang berasal dari luar dan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA ini akan mempengaruhi parameter kualitas lingkungan perairan, terutama kadar

Penelitian mengenai faktor-faktor kondisi yang mendukung kontinuitas aktivitas budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Teluk Lampung telah dilakukan pada Bulan Agustus 2009.