• Tidak ada hasil yang ditemukan

On the relationship between grouper (fish Family Serranidae) and coral reef condition Implication for management

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "On the relationship between grouper (fish Family Serranidae) and coral reef condition Implication for management"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

TERUMBU KARANG : IMPLIKASI UNTUK

PENGELOLAAN

LILI WIDODO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang : Implikasi untuk Pengelolaan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

(3)

LILI WIDODO. On the relationship between grouper (fish: Family Serranidae) and coral reef condition: Implication for management. Under direction of M. MUKHLIS KAMAL and ZAIRION

Ecosystem-based resource management was required basic information such problems and the condition of coral reefs and associated fish (grouper). The aims of this research were : 1) Assess habitat characteristics and grouper at the research location . 2) Analysis the factors that influenced the abundance of grouper in the research location 3) Analysis correlation between resources grouper with coral reef ecosystems. Collection of coral cover data using LIT (Line Intercept Transect Method), grouper data include: size (small, medium and long), living habits and abundance, with reef fish visual census methods and LIT. The results showed that the number of variables analyzed, only variables grouper abundance and percentage cover of live coral that showed a significant correlation value or there

is a close relationship to the value of the 95% confidence interval (α: 0.05) with

R2

(4)

LILI WIDODO. Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang: Implikasi untuk Pengelolaan. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan ZAIRION.

Pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem memerlukan informasi dasar tentang potensi ekosistem pendukungnya seperti ekosistem terumbu karang dan jenis-jenis ikan yang berasosiasi di dalamnya. Informasi-informasi tersebut berupa permasalahan dan kondisi terumbu karang serta ikan kerapu. Keterkaitan ikan kerapu terhadap terumbu karang sangat tinggi karena fungsi ekologis terumbu karang sebagai penyedia makanan, tempat hidup dan tempat perlindungan. Banyak celah dan lubang di terumbu karang sebagai tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan yang berada di sekitarnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengkaji karakteristik habitat dan ikan kerapu di lokasi penelitian. 2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian. 3) Menganalisis hubungan antara sumberdaya ikan kerapu dengan ekosistem terumbu karang.

Penelitian ini dilakukan di perairan Pesisir Selatan Teluk Kupang dan Sekitarnya, yang dilaksanakan dari bulan April-Juni 2010. Pengambilan data penutupan karang dengan transek garis menyinggung adalah dengan membentangkan roll meter sepanjang 50 m. Transek garis sepanjang 50 m diletakkan sejajar dengan garis pantai. Kondisi terumbu karang diamati dengan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect Method).

Pengambilan data ikan kerapu meliputi: ukuran (kecil, sedang dan panjang), kebiasaan hidup dan kelimpahannya, metode yang digunakan adalah metode sensus visual ikan karang (coral reef fish visual census). Pemasangan garis transek ikan karang (50 m) di lokasi yang sama dengan LIT. Pengambilan data parameter lingkungan dilakukan secara insitu di lokasi penelitian meliputi: kecerahan, suhu, salinitas, kecepatan arus, kekeruhan dan pH.

Secara umum, hasil penelitian untuk pengukuran parameter fisika-kimia perairan di lokasi penelitian menunjukkan variasi yang rlatif kecil antar stasiun pengamatan serta masih berada dalam kisaran yang layak bagi kehidupan biota karang dan ikan kerapu.

Hasil analisis kelompok terhadap habitat terubu karang menghasilkan 3 kelompok habitat terumbu karang yaitu Kelompok 1 terdiri dari 5 stasiun (Tanjung Kelapa, Bolok, Pulau Kambing, Pasir Panjang dan Paradiso). Kelompok ini dicirikan dengan persentase tutupan karang hidup yang tinggi (rerata 47,73%), Kelompok habitat 2 : terdiri dari stasiun 2 stasiun yaitu (Hansisi dan Tanjung Uikalui). Kelompok ini dicirikan dengan persen tutupan other biota (rerata 58%). Kelompok habitat 3 : terdiri dari stasiun 2 stasiun pengamatan yaitu Uiasa dan Otan. Kelompok ini dicirikan dengan persentase tutupan karang hidup dan other biota yang tinggi (rerata 41,17% dan 33,33%).

(5)

signifikan atau tidak menunjukan hubungan yang erat.

Kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh kondisi tutupan terumbu karang dan pola penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (dengan menggunakan bom). Dimana tutupan terumbu karang yang baik serta tidak adanya upanya penangkapan dengan menggunakan bom maka kelimpahan ikan kerapu akan tinggi, ketertarikan sumberdaya ikan kerapu terhadap karakteristik habitat dicirikan dengan keberadaan terumbu karang hidup (Hard Coral/HC) yang tinggi

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

(7)

TERUMBU KARANG : IMPLIKASI UNTUK

PENGELOLAAN

LILI WIDODO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama

NRP

Program Studi

: : :

Karang : Implikasi untuk Pengelolaan

Lili Widodo C252080374

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc

Anggota Ir. Zairion, M.Sc

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(10)

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 6 Juni 1972. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan ayah Lasim (alm) dan ibu Hj. Djuwartini.

Pada tahun 1985 penulis lulus dari SD Negeri Sumberjati, tahun 1988 lulus dari SMP Negeri Ambal, dan tahun 1991 lulus dari SMA Negeri Prembun. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya lulus tahun 1997. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan Program Magister Sains (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana-IPB yang merupakan program pendidikan Sandwich kerjasama IPB dan Ryukyus University, Okinawa, Jepang, melalui pendanaan dari COREMAP-DKP-World Bank.

(11)

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April hingga Juni 2010 ini adalah “Analisis Hubungan Sumberdaya Ikan Kerapu (Serranidae) dengan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang : Implikasi untuk Pengelolaan”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Bapak Ir. Zairion, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan ide pemikiran dan arahan dalam penyusunan tesis, Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan saran demi kesempurnaan tesis, Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf sekretariat SPL atas bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di SPL-IPB, Dr. Yusli Wardiatmo, M.Sc selaku Ketua Departemen MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich COREMAP II-DKP dan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan pendidikan dan beasiswa yang diberikan.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahnda, ibunda, istriku tercinta (Evy Ardiyanti), anak-anakku tersayang (Gading, Raya, Rafif) serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, rekan-rekan SPL-Sandwich COREMAP II-Worl Bank atas kebersamaannya selama mengikuti masa studi, teman-teman selama penelitian di lapangan : Group Kupang (Gunawan, Jisrael, Imel, Ivone “Bunga”, Bambang “Anis” dan Adi “Broken”) atas kerjasama dan dukungan yang diberikan selama penelitian.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, September 2010

(12)

xvii

DAFTAR TABEL ……….. xix

DAFTAR GAMBAR ……….…………. xxi

DAFTAR LAMPIRAN ……….……. xxiii

1 PENDAHULUAN ……….…… 1

1.1 Latar Belakang ………..…. 1

1.2 Perumusan Masalah ………... 3

1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ……….… 3

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..…… 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ………..…….. 7

2.1 Ikan Kerapu ……….…….. 7

2.2 Ekosistem Terumbu Karang ……….……. 8

2.3 Kondisi Lingkungan Perairan ………..……. 11

2.4 Hubungan Ikan Kerapu dengan Terumbu Karang ..….. 14

2.6 Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Ekosistem …..….. 15

3 METODOLOGI PENELITIAN ……….…... 20

3.4.3 Interaksi Masyarakat Sekitar Lokasi Penelitian Terhadap Sumberdaya (Ikan Kerapu dan Terumbu Karang) ... 25

3.4.4 Parameter Lingkungan ... 26

3.5 Analisis Data ……….…… 26

3.5.1 Kondisi Terumbu Karang ……….……. 26

3.5.2 Ikan Karang dan Kerapu …………..……..…… 27

3.5.3 Hubungan Ikan kerapu terhadap Habitat Terumbu Karang ………..….. 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ……….…….... 29

(13)

xvii

4.2 Kondisi Parameter Lingkungan………..…… 32

4.2.1 Suhu ……….………... 33

4.2.2 Salinitas ……….…….…. 33

4.2.3 Kecepatan Arus ……….…..… 34

4.2.4 Kecerahan ………...……. 35

4.2.5 Kekeruhan ………...…… 36

4.2.6 Derajat Keasaman (pH) ……….…..…… 36

4.3 Kondisi Terumbu Karang ………..……… 36

4.3.1 Persentase Tutupan Karang…………..………. 36

4.3.2 Indeks Mortalitas Karang……….………. 43

4.4 Kondisi Ikan Karang dan Ikan Kerapu ……… 44

4.4.1 Kondisi Ikan Karang ……….…. 44

4.4.2 Kondisi Ikan Kerapu ……... 47

4.4.3 Hubungan Ikan Kerapu dengan Karakteristik Habitat Terumbu Karang ……… 50

4.4.5 Implikasi untuk Pengelolaan ………..… 53

5 KESIMPULAN DAN SARAN ……….…… 56

5.1 Kesimpulan ………...……. 56

5.2 Saran ………..………… 56

DAFTAR PUSTAKA……….…………..….….. 57

(14)

xix

Halaman

1 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan……….. 14 2 Alat ukur parameter fisika-kimia perairan………... 22 3 Daftar penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas

karang lifeform karang dan kodenya (English et al.1997)…………... 25

4 Metode dan peralatan untuk pengambilan data parameter perairan…… 27 5 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan……… 35 6 Kelimpahan dan keanekaragaman ikan kerapu hasil visual sensus di

lokasi penelitian………. 49

(15)

xxi

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian……….. 5

2 Peta lokasi penelitian ………. ... 21 3 Ilustrasi teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan

menggunakan metode LIT….…………... 23

4 Kategori persen tutupan karang (Dahl 1981 dalam English et al. 1997)… 24 5 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan Metode Sensus Visual … 26 6 Persentase penutupan substrat dasar : karang hidup (hard corals), karang

mati (dead corals), alga, biota lainnya dan abiotik ………... 39

7 Persentase tutupan kelompok karang hidup………... 40 8 Persentase tutupan kelompok abiotik………. 42 9 Persentase tutupan karang mati beralga (DCA) dan karang mati (DC)….. 43 10 Persentase tutupan biota lainnya………... 44 11 Persentase tutupan alga………... 45 12 Indeks mortalitas tutupan karang di lokasi penelitian ………. 46 13 Jumlah dan komposisi dari 5 kelompok terbesar ikan karang yang

mendominasi di lokasi penelitian ……… 47

14 Dendrogram pengelompokan habitat stasiun berdasarkan habitat bentik

(persentase tutupan karang) dengan menggunakan indeks Bray-Curtis…. 53

(16)

xxiii

Halaman 1 Tabel Koordinat Stasiun Penelitian ………... 69 2 Tabel Presentase Penutupan Karang Hidup dan Biota Penyusun Substrat Dasar

Lainnya (%) pada Lokasi Penelitian... 70

3 Famili dan spesies ikan karang yang ditemukan dengan menggunakan metode

underwater visual census di seluruh stasiun penelitian ………. 71

(17)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi dengannya. Keanekaragaman biologi yang tinggi pada ekosistem ini tercermin dari beragamnya jenis hewan karang dan ikan karang yang ada. Ikan merupakan organisme dengan jumlah yang terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok serta dapat ditemui di sebuah terumbu karang. Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1997).

Keanekaragaman dan kekayaan jenis dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang, keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih merayap (Chabanet et al. 1997); Choat & Bellwood (1991), menyatakan bahwa interaksi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu : (1) interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interaksi dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga; (3) interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen.

(18)

Jenis ikan kerapu (Suku Serranidae) dikenal dalam perdagangan internasional dengan nama grouper, merupakan predator puncak (top predator) dalam ekosistem terumbu karang yang hidup dari memangsa ikan, krustasea dan chephalopoda sehingga memainkan peranan penting dalam pembentukan komunitas terumbu karang. Oleh karenanya, populasi kerapu yang besar menunjukkan sebuah komunitas terumbu karang yang produktif dan berkembang dengan baik meskipun mengalami eksploitas berat (Bohnsack 1994; Chiappone et al. 2000; Costa et al. 2003 in Unsworth et al. 2007). Umur yang panjang, pertumbuhan yang lambat serta adanya kecenderungan melakukan pemijahan secara massal (spawning aggregation) membuat ikan kerapu rentan terhadap penangkapan berlebih (over fishing) (Sadovy & Colin 1995 in Unsworth et al. 2007).

Perdagang ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat pada pertengahan tahun 1990-an, dimana jumlah ekspor sebesar 300 ton pada tahun 1989 menjadi 3.800 ton pada tahun 1995 (DKP 2003). Menurut importir yang berbasis di Hongkong, Indonesia penyuplai lebih dari 50% tangkapan ikan karang hidup ke Hongkong dan Singapura (Johannes & Riepen 1995) dan tercatat sebagai negara pengekspor utama ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan giant grouper (Epinephelus lanceolatus) bersama dengan Phillipina (Lau & Parry-Jones 1999).

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem memerlukan informasi dasar tentang potensi ekosistem pendukungnya seperti ekosistem terumbu karang dan jenis-jenis ikan yang berasosiasi di dalamnya. Informasi-informasi tersebut berupa permasalahan dan kondisi terumbu karang serta ikan kerapu.

Ikan-ikan yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan ikan dari berbagai tingkat tropik dan tiap-tiap komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu sama lain (Nybakken 1997). Sedangkan salah satu ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu karang adalah jenis ikan kerapu.

Keterkaitan ikan kerapu terhadap terumbu karang sangat tinggi karena fungsi ekologis terumbu karang sebagai penyedia makanan, tempat hidup dan tempat perlindungan. Banyak celah dan lubang di terumbu karang sebagai tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan yang berada di sekitarnya.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya kajian terhadap ikan kerapu (Serranidae) pada lokasi tertentu di wilayah terumbu karang yang berguna untuk pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem. Kajian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan ekologi dengan menjawab permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana hubungan persentase penutupan karang dengan kelimpahan ikan

kerapu?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian?

3. Bagaimana respon ikan kerapu terhadap perubahan kondisi terumbu karang ? 4. Belum adanya kajian mengenai katerkaitan antara sumberdaya ikan kerapu

dengan karateristik ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian.

1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

(20)

pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi banyak biota laut. Apabila terjadi tekanan terhadap terumbu karang maka akan berpengaruh langsung terhadap biota yang berasosiasi dengannya termask ikan kerapu.

Sumberdaya ikan kerapu berada dalam ekosistem terumbu karang yang kompleks, yang komponen di dalamnya saling berinteraksi membentuk keseimbangan ekologi. Secara garis besar, komponen tersebut terdiri dari lingkungan biofisik perairan, terumbu karang dan komunitas ikan kerapu itu sendiri. Oleh karena itu, suatu pengelolaan perikanan kerapu yang baik harus mempertimbangkan adanya keseimbangan antara ketiga komponen tersebut.

Berdasarkan peran dan manfaat terumbu karang tersebut maka kerangka penelitian untuk untuk melihat hubungan sumberdaya ikan kerapu dengan habitatnya dapat dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut :

(1) Mengukur lingkungan yang terdiri dari parameter fisika dan kimia berupa kedalaman, suhu, kecepatan arus, kecerahan, kekeruhan, salinitas dan pH,.

(2) Mendiskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan life form dan presentase tutupan substrat bentik.

(3) Mendiskripsikan kondisi sumberdaya ikan kerapu berdasarkan jenis, ukuran (kecil, sedang dan panjang), kebiasaan hidup dan kelimpahannya.

(4) Menganalisis hubungan atau keterkaitan antara sumberdaya ikan kerapu dengan karakteristik habitat (kondisi ekosistem terumbu karang).

(5) Merumuskan rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan kerapu berbasis ekosistem.

(21)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji karakteristik habitat dan ikan kerapu di lokasi penelitian.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kelimpahan ikan kerapu di lokasi penelitian .

3. Menganalisis hubungan antara sumberdaya ikan kerapu dengan ekosistem terumbu karang.

Ekosistem Terumbu Karang & Komunitas Ikan Kerapu

Sumberdaya Ikan Kerapu

Terumbu Karang

Kualitas Perairan

Analisis Hubungan antara Karakteristik Habitat dengan Kelimpahan Sumberdaya Ikan Kerapu

Tutupan Substrat Bentik

Rekomendasi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kerapu Berbasis Ekosistem

Jenis dan Kelimpahan Suberdaya Ikan

Kerapu

Kondisi Parameter Fisika dan Kimia

(22)
(23)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kerapu

Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis, dan ada beberapa ikan kerapu hidup di terumbu karang. Kerapu muda hidup di daerah padang lamun, tetapi pada saat dewasa hidup di pantai berpasir atau di daerah pantai berlumpur. Beberapa spesies kerapu hidup pada kedalaman 100-200 m (adakalanya sampai kedalaman 500 m), tetapi pada umumnya kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m (Philip & Randall 1993). Menurut Philip dan Randall (1993), habitat ikan kerapu berada pada perairan dasar, terumbu karang dan karang berbatu pada kedalaman kurang dari 60 m. Pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m, dimana perpindahan ini biasanya terjadi pada siang dan sore hari. Telur dan larva kerapu bersifat pelagis, sedangkan muda hingga dewasa bersifat demersal (Tampubolon & Mulyadi 1989).

Ikan kerapu tersebar luas di Pasifik Barat, mulai Jepang bagian selatan sampai Palau, Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australia bagian selatan serta Laut India bagian timur dari Nicobar sampai Broome. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di wilayah perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Madura, Kalimantan dan Nusa Tenggara (Heemstra & Randall 1993).

Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperature 24-31o

Kebanyakan jenis komersial penting, termasuk jenis ikan kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal adalah kelompok species ikan yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi

(24)

agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997).

Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogyni (Shapiro1987 in Levin & Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya mamiliki jenis kelamin betina dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin & Grimes 1991). Selanjutnya Levin & Grimes (1991) menjelaskan bahwa eksploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalaupun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al. 1994 in Levin & Gimes 1991).

2.2 Ekosistem Terumbu Karang

(25)

terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan gelombang sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Dahuri et al. 2001)

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti : a). beraneka ragam avertebrata: terutama karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili laut; b). beraneka ragam ikan : terutama 50–70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; c). reptil seperti ular laut dan penyu laut; d). ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Bengen 2001).

Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh aktifitas hewan karang (Filum Cnidaria, Klas Anthozoa, Ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Struktur bangunan batuan kapur (CaCO3) cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gelombang air laut, sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian koral adalah algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur.

Menurut Nybakken (1997), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah :

1. Kedalaman

Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0–25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50–70 m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-pulau.

2. Suhu (Temperatur)

(26)

terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling

sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang.

3. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15–20% dari intensitas di permukaan.

4. Salinitas

Karang tidak dapat bertahan pada salinitas di luar 32–35o/oo. Namun pada

kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 42o/oo

5. Pengendapan

. Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran diatas, terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan yang didalam tubuhnya akan keluar.

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang adalah pengendapan dimana pengendapan yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Endapan mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang.

(27)

reef flat, reef edge dan reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan terutama pada terumbu karang yang letaknya di pantai pulau terpencil yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan bebas. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching.

Di samping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang diketahui juga tidak kalah pentingnya andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi (Echinometra mathaei, Diadema setosum, dan Tripneustes gratilla), dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua (Scarrus sp.), Kepe-kepe (Chaetodon sp.) dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang (Supriharyono 2000).

Faktor kerusakan lainnya disebabkan oleh kegiatan manusia secara langsung yang dapat menyebabkan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi berlebihan pada sumberdaya tertentu. Pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak baik kecelakaan kapal di laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Disamping itu kegiatan pertanian dan perkebunan di daerah dataran tinggi dapat menyebabkan sedimentasi di daerah pesisir (Supriharyono 2000).

2.3 Kondisi Lingkungan Perairan

Kondisi suatu perairan merupakan faktor kunci yang mendukung kehidupan flora dan fauna. Kondisi perairan tersebut meliputi sifat fisika, kimia dan biologi. Sifat fisika yang penting antara lain adalah suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus dan kedalaman.

(28)

tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya, algae dari filum Clorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30-35oC dan 20-30oC. Filum Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Chlorophyta dan diatom (Haslam 1995 in Hefni Effendi 2003). Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutn gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Haslam 1995 in Effendi 2003). Selain itu suhu

juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolism dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10o

Pada Perairan laut dan limbah industri, salinitas perlu diukur. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1998 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua korbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (

C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolism dan respirasi. Peningkatan suhu juga mengakibatkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003).

o

/oo). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari

0,5 o/oo, perairan payau antara 0,5-30 o/oo, dan perairan laut 30-40 o/oo. Pada

Perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40-80 o/oo.

Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan

(29)

keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi 2003).

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di adalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis & Cornwel 1991 in Effendi 2003). Kekeruhan dinyatakan dalam satuan turbiditas, yang setara dengan 1 mg/liter SiO2.

Sedangkan sifat kimia yang penting adalah pH, pada dasarnya keasaman tidak sama dengan pH. Asiditas (keasaman) melibatkan dua komponen yaitu jumlah asam (baik asam kuat maupun asam lemah), dan konsentrasi ion hydrogen. Menurut APHA (1976) in Effendi (2003), pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk menetralkan basa hingga pH tertentu. Mackereth et al. (1989) in Effendi (2003) berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif.

Peralatan yang pertama kali digunakan untuk mengukur kekeruhan adalah Jackson Candler Turdimeter

dengan satuan 1 JTU. Selain dengan menggunakan Jackson Candler Turdimeter,

kekeruhan sering diukur dengan metode Nephelometric. Satuan kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Sawyer & McCarty 1978 in Effendi 2003). Satuan JTU dan NTU sebenarnya tidak dapat saling mengkonversi, akan tetapi, menurut Sawyer dan McCarty (1978) in Effendi (2003) mengemukakan bahwa 40 NTU setara dengan 40 JTU.

(30)

Tabel 1 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan

Nilai pH Pengaruh Umum

6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun.

2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan.

5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak.

2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan yang berarti.

3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral. 5,0 – 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton,

perifiton dan bentos semakin besar.

2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos.

3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat.

4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar.

2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos.

3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat.

Sumber : Modifikasi Baker et al (1990) in Effendi (2003)

Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun, algae Clamydomonas acidophila masih dapat bertahan hidup pada pH yang sangat rendah yaitu 1, dan algae Euglena

masih dapat bertahan pada pH 1,6 (Haslam 1995 in Effendi 2003).

2.4 Hubungan Ikan Kerapu dengan Terumbu Karang

Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah luar karang sebagai tempat mencari makan. Selain itu terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat memijah dan daerah pengasuhan bagi biota laut.

(31)

1. Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda.

2. Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.

3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen.

Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997).

Menurut Kuiter (1992), ikan kerapu tergolong ikan karnivora, hidup soliter dan banyak terdapat di daerah terumbu karang serta muara sungai. Kerapu termasuk ke dalam predator yang dominan pada habitat karang dengan makanan utamanya adalah ikan, krustasea dan chepalopoda (Heemstra & Randall 1993).

Menurut Utojo et al. (1999) ikan kerapu hidup secara soliter pada daerah terumbu karang yang berasosiasi dengan jenis Porites sp., Acropora sp., Foliosa, Sponge, Pinctada dan Tridacna.

Umumnya ikan kerapu hidup di daerah terumbu karang pada kedalaman 5 – 20 m di semua tipe terumbu karang dengan kategori kondisi yang baik. Ikan kerapu dalam kehidupannya biasanya menetap atau tidak berpindah-pindah (sedentary), kebanyakan ikan kerapu macan memanfaatkan liang/lobang yang ada di daerah terumbu karang sebagai tempat berlindung (Yeeting et al. 2001).

2.5 Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Ekosistem

(32)

menerima perhatian dari seluruh dunia. Terumbu karang menutupi hampir kurang lebih 1% dari wilayah lautan, terumbu karang juga merupakan tempat hidup bagi hampir 1/3 spesies ikan laut di dunia (Rinkevich 2008), menyediakan sekitar 10% dari total konsumsi ikan oleh manusia. Di samping itu bahwa terumbu karang menjadi fokus utama industri pariwisata (Ahmed et al. 2007).

Ketika perusakan berlangsung, maka terumbu karang akan kehilangan fungsi ekologi dan biologinya. Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang akibat dari alam dan kegiatan manusia, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan oleh manusia, agar kerusakan oleh alam dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kelestarian lingkungan.

Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi terumbu karang sebagai tempat ikan tersebut tinggal.

Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan dan manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna perairan.

(33)

Sedang keberlanjutan ekonomi berarti bahwa kegitan pengelolaan dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.

Mengingat begitu besarnya peranan terumbu karang bagi manusia dan untuk mencegah kerusakannya, maka pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak lepas dari beberapa aspek sebagai berikut (Supriharyono 2000) :

1. Pertimbangan fisik, pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi area/ lokasi, kondisi geologis, tipe arus pasang surut utama di daerah tersebut dan gambaran awal lokasi

2. Pertimbangan biologis, meliputi kondisi biota dalam penyebaran, kelimpahan, komposisi; perubahan, indikator kerusakan, indikator pemanfaatan dan eksploitasi; pertimbangan khusus pada lokasi pembesaran atau pemijahan spesies langka yang endemik dan ekonomis.

3. Pertimbangan sosio-ekonomis, meliputi pemanfaatan ekosistem terumbu karang; konflik faktual dan potensial yang akan terjadi diantara pemanfaat. 4. Pertimbangan budaya, meliputi asal usul pemanfaat ekosistem terumbu

karang secara tradisional; tradisi pemanfaatan; perubahan konsep pemanfaatan secara tradisional ke modern.

Menurut UNESCO (1988) bahwa untuk mempertahankan fungsi dari ekosistem terumbu karang, khususnya produktifitasnya yang tinggi telah dicanangkan suatu strategi pengelolaan terumbu karang dan telah menjadi prioritas dunia yang dikenal sebagai World Consenvational Strategy. Di dalam strategi tersebut bahwa ada lima pendekatan dasar pengelolaan konservasi yaitu: 1. Zonation (zoning)

Penentuan untuk semua, atau bagian spesifik dari area yang dikelola, tujuan khusus penggunaan dan izin masuk yang meliputi:

- Preservation zone (zona perlindungan), tidak ada akses bagi orang untuk memasuki area tersebut selain dari pengamatan penelitian yang diperbolehkan, area diperuntukkan sebagai sumber genetik.

(34)

- Wilderness Zone (zona taman laut) dimana izin untuk masuk kawasan dibatasi, tetapi tidak diperbolehkan untuk berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan.

- National Park zone (zona taman nasional) orang dapat diizinkan untuk masuk tetapi tidak untuk berburu, penangkapan dan pengumpulan.

- Recreational Zone (zona rekreasi), orang diijzinkan masuk dalam

tingkat tinggi dan kontrol tingkat pemburuan, penangkapan ikan dan pengumpulan.

- General Use Zone (zona penggunaan umum), dimana kegiatan

komersial, rekreasi dan mata pencaharian lainnya diperbolehkan dengan kemungkinan pengadaan aturan untuk pengendalian jangka panjang atau melindungi area yang lebih sensitif.

2. Penutupan secara periodik (Periodic Closure)

Hal ini dapat seperti penutupan singkat (short-term closure) selama sebagian waktu dalam satu tahun misalnya waktu pemijahan dari berbagai spesies, atau penutupan dalam waktu beberapa tahun untuk membuat pulih habitat yang rusak oleh manusia atau fakor alam lainnya.

3. Pembatasan Hasil (Yield Constraints)

Determinasi tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan untuk ikan produk lainnya, hal ini bisa seperti:

- Memonitor hasil dan pelarangan penangkapan setelah beberapa tangkapan telah didapat atau,

- Membatasi jumlah individu atau jumlah dan kapasitas kapal yang diperbolehkan menangkap di area yang dimaksud.

4. Pembatasan Peralatan (Equipment Constraints)

- Pelarangan bahan peledak, racun dan tehnik penangkapan dan panen lainnya yang dapat merusak fisik terumbu karang

- Penentuan ukuran mata jaring yang memungkinkan ikan-ikan kecil tumbuh sampai umur siap memijah,

(35)

5. Pengurangan dampak (Impact Limitations)

- Penentuan batasan bahan pencemar yang diperbolehkan,

(36)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perairan Pesisir Selatan Teluk Kupang dan Sekitarnya, yang dilaksanakan dari bulan April-Juni 2010. Stasiun pengambilan data ditetapkan di 9 (sembilan) stasiun pengamatan berdasarkan pada kriteria tutupan karang hidup berdasarkan Gomez dan Yap (1988) yaitu : kondisi sangat baik, kondisi baik, kondisi sedang dan kondisi buruk.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini secara umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1) Peralatan pengukuran parameter fisika-kimia perairan dan 2) peralatan untuk pengamatan komunitas ikan kerapu dan terumbu karang. Peralatan untuk mengukur parameter fisika-kimia seperti disajikan pada Tabel 2.

#

123°20' 123°25' 123°30' 123°35' 123°40'

123°20' 123°25' 123°30' 123°35' 123°40'

#

- Peta Digital Indonesia, BAKOSURTANAL, 2004 - Direktorat Pulau-Pulau Kecil Ditjen KP3K - DKP - Direktorat Pesisir & Lautan Ditjen KP3K - DKP - MCRMP

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Tahun 2010 Pusat Data dan Informasi Geografis Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(37)

Tabel 2 Alat ukur parameter fisika-kimia perairan

Refraktometer Salinitas o/

4

oo

Floating drough Kecepatan Arus m/dt

5 Kompas Arah arus (0

6

)

pH meter pH -

7 Turbidimeter Kekeruhan NTU

Sementara peralatan yang digunakan dalam pengamatan ekosistem terumbu karang dan populasi ikan kerapu terdiri dari alat selam Self Contain Underwater Breathing Aparatus (SCUBA), Global Positioning System (GPS), kapal motor, roll meter 50 m, sabak dan pensil, kamera bawah air. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku identifikasi karang (Suharsono 1996) dan buku identifikasi ikan (Kuiter 1992).

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan dapat diketegorikan menjadi dua kelompok, yaitu 1) data primer dan 2) data sekunder. Secara rinci jenis dan sumber data untuk masing-masing kategori data adalah sebagai berikut :

3.3.1 Data Primer

Jenis data primer yang dikumpulkan yaitu : persentase penutupan karang, indeks mortalitas karang, ukuran ikan kerapu, kelimpahan ikan kerapu, interaksi penduduk sekitar tempat penelitian terhadap sumberdaya (ikan kerapu dan terumbu karang) dan parameter fisika-kimia perairan.

3.3.2 Data Sekunder

(38)

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Kondisi Terumbu Karang

Untuk mendapatkan kondisi terumbu karang yang sesuai dengan kriteria Gomez & Yap (1988), maka dilakukan pemantauan awal dengan menggunakan metode Manta Tow. Setelah stasiun dipastikan, maka kondisi terumbu karang diamati dengan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect Method) mengikuti English et al. (1997). Setiap lokasi diambil titik koordinatnya menggunakan GPS.

Pengambilan data penutupan karang hidup dengan transek garis menyinggung adalah dengan membentangkan roll meter sepanjang 50 m. Transek garis sepanjang 50 m diletakkan sejajar dengan garis pantai (English et al. 1997), dengan 3 kali ulangan dalam pengambilan data yaitu 0 – 10 m, 20 – 30 m dan 40 - 50 m. Kedalaman berkisar antara 3 sampai dengan 10 meter sesuai dengan kontur dasar (modifikasi) . Hal ini juga dikarenakan pengambilan data lebih pada pendekatan kriteria persen tutupan karang sesuai dengan Gomez dan Yap (1988). Koloni karang yang terletak di bawah tali transek diukur mengikuti pola pertumbuhan koloni karang. Koloni karang yang telah diketahui jenisnya langsung dicatat. Kondisi dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masive dan biota lainnya dicatat. Data diambil oleh satu orang penyelam (Gambar 3).

Gambar 3 Ilustrasi teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode LIT.

Kategori persen penutupan karang hidup, karang mati dan substrat berdasarkan skema gambaran kategori persen penutupan karang pada Gambar 4. Penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform

karang seperti disajikan dalam Tabel 3.

(39)

Gambar 4 Kategori persen tutupan karang (Dahl 1981 in English et al. 1997).

Kategori 1 1 – 10%

Kategori 2 11 – 30%

Kategori 3 31 – 50%

Kategori 4 51 – 75%

(40)

Tabel 3 Daftar penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas karang lifeform karang dan kodenya (English et al. 1997).

Kategori Kode Keterangan

Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih kotor

Dead Coral with Alga

DCA

Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat

Acropora Branching

ACB Paling tidak 2 o

percabangan. Memiliki axial dan radial oralit.

Encrusting

ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa

Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji

Digitate ACD Bercabang tidak lebih dari 2

Tabulate

o ACT Bentuk seperti meja datar

Non-Acropora Branching

CE Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) Paling tidak 2o percabangan Foliose

CF Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring.

Massive CM Seperti batu besar atau gundukan

Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji.

Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera

Heliopora CHL Karang biru

Millepora CML Karang api

Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil

Sof Coral SC Karang bertubuh lunak

Sponge SP Bertubuh lunak, terlihat dalam berbagai

bentuk seperti tabung, vas, pipih, membulat.

Zoanthids ZO Seperti anemone tetapi lebih kecil, biasanya

hidup sendiri/koloni seperti hewan kecil menempel pada substratum seperti platythoa

Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain-lain

Alga Alga assemblage AA Lebih kecil dari satu spesies yang agak sulit diperuntukkan

Coralline alga CA Dinding tubuh mengandung kapur

Halimeda HA Alga dari genus Halimeda

Macroalga MA Berbagai jenis alga, alga coklat, hijau, merah

Turf alga TA Alga halus berspiral lebat

Abiotik Sand S Pasir

Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil

Silt SI Pasir berlumpur

Water W Air

Rock RCK Batu

3.4.2 Kondisi Ikan Kerapu

Untuk mengetahui, ukuran (kecil, sedang dan panjang), kebiasaan hidup dan kelimpahan ikan kerapu metode yang digunakan adalah metode sensus visual ikan karang (coral reef fish visual census) yang dikemukakan oleh English et al.

(41)

LIT. Tujuannya agar data ikan karang yang diperoleh dapat juga mendeskripsikan secara rinci daerah terumbu karang yang sedang diteliti. Kelimpahan ikan tiap spesies dihitung dalam batasan jarak 2,5 m ke kiri dan 2,5 meter ke kanan.

Pembatasan jarak pandang berkaitan dengan kemampuan dan keterbatasan mata dalam mengidentifikasi ikan karang. Kegiatan sensus dimulai setelah periode normal (tenang) kurang lebih 15 menit setelah transek dipasang. Pengamatan dilakukan pada rentang waktu pukul 9 pagi sampai dengan pukul 4 sore pada kedalaman 3-10 meter. Semua jenis ikan kerapu yang ada dicatat pada kertas atau lembaran data yang sudah disediakan. Selain itu, penggunaan foto bawah air juga digunakan untuk mempermudah dan menkonfirmasi identifikasi spesies.

Gambar 5 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan metode sensus visual.

3.4.3 Interaksi Masyarakat Sekitar Lokasi Penelitian Terhadap

Sumberdaya (Ikan Kerapu dan Terumbu Karang)

Pengambilan data interaksi masyarakat sekitar lokasi penelitian dengan cara wawancara langsung dengan nelayan dan para pemangku kepentingan, dan pengambilan data sekunder dengan cara studi literatur penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya ikan kerapu maupun sumberdaya terumbu karang di Pesisir Selatan Teluk Kupang dan Sekitarnya, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3.4.4 Parameter Lingkungan

Pengambilan data parameter lingkungan dilakukan secara insitu di lokasi penelitian. Metode/alat yang digunakan untuk mendapatkan data parameter lingkungan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

0 m 50 m

(42)

Tabel 4 Metode dan peralatan untuk pengambilan data parameter perairan

Parameter Unit Alat Keterangan

Kecerahan % Secchi disc in situ

Suhu oC Thermometer in situ

Salinitas Ppt Refraktometer in situ

Kecepatan Arus m/dt Floating drough in situ

Kekeruhan NTU Turbidimeter Lab

pH - pH meter Lab

3.5 Analisa Data

3.5.1 Terumbu Karang

1. Persentase Penutupan Karang

Persentase penutupan karang hidup dihitung menurut persamaan yang dikemukakan dalam English et al. (1997) :

Keterangan : P = Persentase penutupan karang hidup (%)

A = Panjang total komponen karang hidup (cm)

B = Panjang total transek garis (cm)

Gomes dan Yap (1988) mengkategorikan kriteria persentase tutupan karang hidup sebagai berikut :

1. Kondisi sangat baik, persentase tutupan karang hidup : 75–100% 2. Kondisi baik, persentase tutupan karang hidup : 50–74,9 % 3. Kondisi cukup, persentase tutupan karang hidup : 25–49,9 % 4. Kondisi rusak, persentase tutupan karang hidup : 0–24,9 %.

2. Indeks Mortalitas

(43)

Nilai indeks mortalitas/indeks kematian (IM) yang mendekati nol menunjukan bahwa tidak ada perubahan yang berarti bagi karang hidup. Sedangkan nilai yang mendekati satu menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang berarti dari karang hidup menjadi karang mati.

3.5.2 Ikan Karang dan Kerapu

1. Kelimpahan

Kelimpahan ikan hasil sensus visual dihitung dengan rumus :

2. Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) didasarkan pada kelimpahan proporsional dari spesies dengan asumsi individu tercacah secara acak dari sebuah komunitas yang besar tak teratas (Magurran 1988). Indeks keanekaragaman Shanon digunakan untuk mengukur keanekargaman jenis ikan kerapu di masing-masing stasiun penelitian:

Pi = ; i = 1,2,3….s

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon s = Jumlah spesies ikan kerapu

(44)

3.5.3 Hubungan Ikan Kerapu terhadap Habitat Terumbu Karang

1. Analisis kelompok (Cluster Analysis)

Analisis digunakan untuk melihat kecenderungan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan variabel habitat bentik dan variabel populasi ikan kerapu, serta untuk melihat ada tidaknya keterkaitan antara kondisi habitat dan kondisi populasi ikan kerapu di lokasi penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan indeks Bray-Curtis untuk menentukan pola pengelompokan habitat. Data parameter biologi yang digunakan untuk pengelompokan habitat ini adalah persentase penutukan karang hidup yang diperoleh dari masing-masing stasiun pengamatan (Legendre & Legendre 1983).

Dimana : D = Indeks Bray-Curtis Yi1

Y

= nilai data parameter ke-i pada stasiun ke-1

i2

n = jumlah parameter yang dibandingkan = nilai data parameter ke-i pada stasiun ke-2

Pengolahan data untuk analisis kelompok dengan menggunakan paket program XLStat 2010.

2. Analisis korelasi

(45)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran umum lokasi penelitian

Teluk Kupang merupakan kawasan pesisir dan laut yang terletak di bagian barat Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan Teluk Kupang menyimpan berbagai potensi sumberdaya kelautan tropika, dan banyak memberi manfaat bagi masyarakat. Teluk Kupang keberadaannya saat ini ada dalam wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Kupang, Pemerintah Kota Kupang, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis Teluk Kupang terletak di antara 9o91’ – 10o 40’ LS dan 123o 23’ – 123o

Berdasarkan peta tematik Landsat memberikan gambaran yang jelas sebaran terumbu karang, padang lamun serta substrat pasir di Teluk Kupang dan sekitarnya. Ekosistem terumbu karang terkonsentrasi di sekitar Pulau Semau dan Pulau Kera serta Teluk Kupang bagian barat; substrat pasir tersebar terutama di dalam perairan teluk dari Sulamu sampai Pasir Panjang, sedangkan padang lamun tersebar hampir sama dengan ekosistem terumbu karang.

85’ BT.

Menurut ketinggian atau topografi wilayah pesisir Teluk Kupang, memperlihatkan adanya pantai-pantai yang masuk kategori satuan perbukitan terjal, landai sampai berupa dataran pantai. Pulau Semau bagian barat wilayah pesisirnya termasuk dalam satuan perbukitan landai sedangkan bagian timur termasuk ke dalam kategori satuan perbukitan terjal.

Di perairan Teluk Kupang ditemukan berbagai endapan serta karakteristik geologis yang berbeda antara satu dengan lainnya yang memberikan gambaran bahwa tipe pantai yang terdapat antara Kota Kupang, Pulau Semau secara keseluruhan serta wilayah pesisir sampai Tanjung Oisiina adalah tipe pantai II dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Geologi : Aluvium, batu gamping dan breksi 2. Relief : Rendah - tinggi

3. Karakteristik garis pantai : Berpasir, berbatu dan berkoral

(46)

Hasil pengamatan beberapa peneliti menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) massa air yang mempunyai karakteristik yang berbeda dan menonjol yaitu massa air dari Samudra Hindia (selatan) yang ditandai dengan tingginya suhu dan salinitas air, namun memiliki kadar oksigen terlarut yang rendah serta massa air dari Laut Banda (utara) yang memiliki karakteristik sebaliknya. Pertemuan kedua massa air ini terlihat di sekitar pantai barat Pulau Timor sedangkan pola arus sesaat ternyata lebih dipengaruhi oleh arus pasang surut, hal ini terjadi karena pola arus ini berbeda antara lokasi yang satu dan lokasi lainnya. Kesuburan perairan tinggi terdapat di beberapa lokasi yang dekat dengan daratan dan memiliki sungai yang dapat menyumbang nutrient dan zat hara ke perairan sekitarnya seperti Teluk Kupang yaitu diantara Tanjung Barat dan Nunkurus serta wilayah yang terbatas di sekitar Pulau Semau.

Terkait pengelolaan kawasan Teluk Kupang, berasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 18/Kpts –II/1993 tanggal 28 Januari 1993 kawasan Teluk Kupang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi sebagai Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang dengan luas kawasan 50.000 Ha, yang terbentang sepanjang pantai Teluk Kupang, termasuk Pulau Burung, Pulau Kera, Pulau kambing dan Pulau Semau. Sedangkan di dalam rancangan Perda Provinsi NTT Tentang Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Kupang dan Wini di Provinsi NTT (Bappeda Kabupaten Kupang 2003) dinyatakan bahwa pengeloaaan pesisir dan laut dalam lingkungan kawasan Teluk Kupang akan diatur dalam perda yang akan ditetapkan tersebut. Pulau-pulau di wilayah Teluk Kupang termasuk dalam ruang lingkup berlakunya Perda tersebut, dimana pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya dilakukan secara menyeluruh berdasarkan satu gugusan pulau-pulau dan/atau keterkaitan pulau tersebut dengan ekosistem pulau induk di wilayah Teluk Kupang (Bappeda Kabupaten Kupang 2003)

Menurut Bappeda Kabupaten Kupang (2003) tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan laut Teluk Kupang adalah :

(47)

2. Mengurangi, menghentikan, menanggulangi dan mengendalikan tindakan dari kegiatan-kegiatan merusak terhadap habitat dan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Teluk Kupang;

3. Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir dan laut dalam rangka pembangnan di wilayah pesisir dan yang memperhatikan daya dukung lingkungan;

4. Mendorong kerjasama dan meningkatkan kapasitas pengelolaaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu antara masyarakat lokal, pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan;

5. Meningkatkan kapasitas, kemampuan dan kemandirian dalam mengelola wilayah pesisir dan terpadu oleh masyarakat di tingkat pedesaan.

Sedangkan prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut Teluk Kupang adalah : 1. Meningkatkan koordinasi pengambilan keputusan melalui proses antar sektor

dalam membuat dan meninjau keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pengelolaaan wilayah pesisir dan laut;

2. Melindungi habitat pesisir dan laut melalui penetapan dan pelaksanaan Daerah Perlindungan Laut atau Taman Laut Provinsi dan Kabupaten/Kota; 3. Meningkatkan keadilan dan partisipasi melalui pengakuan hak masyarakat

tradisional;

4. Meningkatkan kapasitas melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan peayanan kepada masyarakat;

5. Memajukan dan mempertahankan sumberdaya perikanan pesisir melalui kegiatan perikanan yang ramah lingkungan;

6. Memperbaiki perencanaan tata ruang melalui prioritas ketergantungan pemanfaatan pada wilayah pesisir dan laut.

(48)

1. Meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa;

2. Meningkatkan kesempatan kerja dengan memanfaatkan potensi sumberdaya laut dan pesisir di bidang produksi, jasa wisata bahari, industri pengolahan, pemasaran hasil, penerapan teknologi dan peningkatan sumberdaya manusia. 3. Meningkatkan ketahanan pangan khususnya protein hewani dari ikan

Potensi Perikanan tangkap di wilayah Nusa Tenggara Timur meliputi luas perairan laut sebesar 199.529 km2

Produksi perikanan tangkap khususnya produksi ikan kerapu di Propinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2003 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan produksi yaitu dari tahun 2003 produksi sebesar 2.613,1 ton/th, 2004 produksi sebesar 2.068,6 ton/th, 2005 produksi sebesar 3.105,5 ton/ha, tahun 2006 tidak ada data, tahun 2007 produksi sebesar 6.018,1 ton/th, dan tahun 2008 produksi ikan kerapu sebesar 6.617,1 ton/ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2009).

(di luar perairan ZEEI), panjang garis pantai 5.700 km, jumlah yang diperbolehkan ditangkap (JBT) sebanyak 292.800 ton ikan/tahun dengan nilai stock potensi lestari (MSY) sebesar 388.700 ton/tahun. Serta jumlah produksi perikanan tangkap pada Tahun 2008 adalah 101.217,08 Ton. Besarnya jumlah potensi sumberdaya ikan ini dapat dikategorikan menurut klafisikasi jenis ikan yakni : ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar dan ikan demersal serta benih ikan (nener), Namun dari semua jenis ikan tersebut yang merupakan produksi unggulan adalah jenis ikan tuna dan cakalang (Pemprov Nusa Tenggara Timur 2009).

4.2 Kondisi Habitat Perairan

(49)

Tabel 6 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan penting yang mempengaruhi organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta proses-proses fisiologi organisme, karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian sebaran suhu berkisar antara 26,67-29o

Biota karang sebagai habitat ikan kerapu dapat mentolerir suhu tahunan maksimum sebesar 36-40

C.

o

C dan suhu minimum 18oC (Thamrin 2006). Sementara, parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan kerapu yaitu pada kisaran suhu antara 24-31o

Huet (1971) menyatakan fluktuasi harian suhu perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu besar dapat mematikan organisme perairan. Bihsop (1973) menyatakan suhu air dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Menurut Boyd & Kopler (1979) suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-30

C (Lembaga Penelitian Undana 2006).

o

C. Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa suhu di lokasi penelitian masih berada dalam kisaran yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan biota karang dan ikan kerapu.

4.2.2 Salinitas

(50)

Hasil pengukuran salinitas di setiap stasiun pengamatan menunjukan nilai yang homogen di semua stasiun pengamatan yaitu berkisar antara 31-33 o/oo

(Tabel 6), dengan nilai salinitas terendah terdapat di Stasiun 9 yaitu Paradiso (31

o

/oo) dan yang tertinggi terdapat di Stasiun 8 yaitu Pasir Panjang (33o/oo). Dengan

nilai salinitas tersebut di atas sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan kerapu, sebagaimana menurut Lembaga Penelitian Undana (2006) menyatakan bahwa parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu pada salinitas berkisar antara 30-33o/oo. Menurut

Effendi (2003) bahwa nilai salinitas perairan laut berkisar antara 30-34 o/oo,

sedangkan salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran 27-40o/oo dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36o/oo

4.2.3 Kecepatan Arus

(Nybakken 1998 & Thamrin 2006). Berdasarkan hasil pengukuran di lokasi penelitian terlihat bahwa salinitas perairan di lokasi penelitian masih dalam kisaran yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan bagi ikan kerapu dan biota karang sebagi habitat ikan kerapu.

Kecepatan arus pada masing-masing stasiun berkisar antara 0,14-0,67 m/dt (Tabel 6), kecepatan arus terendah terjadi di stasiun 4 yaitu Hansisi (0,14 m/dt), sedangkan kecepatan arus yang tertinggi terjadi di stasiun 7 yaitu di Otan. Sedangkan arah arus pada umumnya menuju arah barat hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara (pada bulan Mei) dan musim timur (bulan Juni) yang berlangsung pada saat pengukuran.

(51)

4.2.4 Kecerahan

Kecerahan berhubungan erat dengan kekeruhan karena kecerahan air sangat tergantung pada warna dan kekeruhan. Peningkatan padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan dan sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter tersebut merupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan.

Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Hasil pengukuran kecerahan di lokasi penelitian berkisar antara 85-100% (Tabel 6), hal ini menunjukan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan berlangsung baik tanpa hambatan dari bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di dalam perairan. Sebagaimana dinyatakan oleh Wardoyo (1980) bahwa kemampuan daya tembus cahaya matahari ke perairan sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik dan bahan anorganik tersuspensi di dalam air, kelimpahan plankton, jasad renik dan densitas air. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi (Hubbard 1997). Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik sehingga diduga hal ini juga mempengaruhi penyebarannya (Sukarno 1977).

Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai kecerahan dan kekeruhan di lokasi pengukuran berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang sesuai dengan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (Kepmen LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut) yakni masing-masing sebesar >5m dan <5 NTU, sehingga dapat disimpulkan bahwa cukup tersedia cahaya matahari untuk proses fotosintesis bagi kelangsungan hidup hewan karang.

4.2.5 Kekeruhan

(52)

baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan berdasarkan Kepmen LH RI No. 51 Tahun 2004 yaitu <5 NTU. Hal ini menunjukan bahwa partikel tersuspensi pada perairan tersebut sangat sedikit sehingga kecil kemungkinan terjadinya penutupan polip pada hewan karang serta penetrasi cahaya matahari dapat berlangsung secara maksimal. Dengan demikian dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan biota laut secara optimum.

4.2.6 pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman (pH) perairan hasil pengukuran di semua stasiun lokasi penelitian berkisar antara 7,00-8,2 (Tabel 6), nilai pH terendah terdapat di stasiun 3 Pulau Kambing (7,00), sedangkan tertinggi di stasiun 6 (Uiasa) yaitu sebesar 8,2. Derajat keasaman adalah salah satu faktor yang berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan biota laut. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi 2003).

Menurut baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, kisaran pH air laut bagi biota laut adalah 7-8,5. Sementara Lembaga Penelitian Undana (2006) menyimpulkan bahwa kisaran pH yang cocok bagi pertumbuhan ikan kerapu adalah 7,8-8, hal ini sangat sesuai dengan hasil pengukuran di lokasi penelitian.

4.3 Kondisi Terumbu Karang

4.3.1 Persentase tutupan karang

(53)

berkisar antara 0,00% -2,33% dengan rata-rata 0,52%, sedangkan penutupan biota lainnya berkisar antar 0,00%-71,00%, dengan rata-rata persentase penutupannya sebesar 22,96%, dan penutupan abiotik berkisar antara 3,33-43,33%, dengan rata-rata 19,33%. (Gambar 6).

Gambar 6 Persentase penutupan substrat dasar : karang hidup (hard corals), karang mati (dead corals), alga, biota lainnya dan abiotik.

Menurut Gomes & Yap (1988) berdasarkan persentase tutupan karang hidup, maka kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian terdiri dari kategori rusak adalah di Hansisi dengan persentase karang hidup sebesar 10,67% dan Tanjung Uikalui yaitu sebesar 18,00%, kategori cukup/sedang adalah di Pulau Kambing dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 30,00%, Otan sebesar 34,33%, di Bolok sebesar 38,67%, di Uiasa sebesar 48,00% dan di Tanjung Kelapa sebesar 49.67%, Sedangkan kategori baik adalah di Paradiso persentase tutupan karang hidup sebesar 50%, dan di Pasir Panjang sebesar 70,33% (Gambar 7).

ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 ST6 ST7 ST8 ST9

(54)

Gambar 7 Persentase tutupan kelompok karang hidup.

Kelompok karang hidup merupakan komponen substrat bentik yang memiliki persentase tertinggi di daerah penelitian yaitu dengan rerata persen tutupannya sebesar 38,85%. Kategori terumbu karang dengan kondisi rusak di Hansisi dan Tanjung Uikalui, Desa Hansisi dan Tanjung Uikalui berada di Kecamatan Semau yaitu ada di Pulau Semau. Keberadaan ekosistem terumbu karang di kedua daerah tersebut rusak diduga di pengaruhi oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktifitas manusia yang bersifat destruktif terjadi secara langsung di dalam area terumbu karang dapat berakibat terjadinya kerusakan fisik, antara lain penambangan karang, pola penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan penggunaan racun sianida, lego jangkar perahu/kapal (anchoring) serta aktivitas penyelaman yang tidak profesional. Kerusakan ekosistem terumbu karang karena aktifitas manusia yang terjadi secara tidak langsung, berakibat menurunnya kualitas air. Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain adalah limbah industri, limbah rumah tangga dan pembukaan hutan.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan warga yang berprofesi sebagai nelayan menyebutkan bahwa kerusakan terumbu karang di daerah Hansisi, Tanjung Uikalui, Otan dan Uiasa (Desa di Pulau Semau) pada umumnya

0,00

ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 ST6 ST7 ST8 ST9

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1  Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
Gambar 4  Kategori persen tutupan karang  (Dahl 1981 in English et al. 1997).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Daun majemuk berpinak daun 1, berseling; tangkai daun 0,3–1,5 cm, tangkai daun lebih pendek dari panjang helaian; sayap tangkai daun sangat sempit, bertepi; helaian melanset

[r]

Mata kuliah ini diperuntukkan bagi mahasiswa Jurusan Syari’ah sebagai calon sarjana yang mahir dalam hukum Islam. Mata kuliah ini akan membantu mahasiswa

1 في&#34; ةدام نع ةيبرعلا ةغللا ملعت جئاتن ةيقرت في سرهفلا ةقاطب ةقباطم ملعتلا ةيجيتاترسا قيبطت جناديرس ليد نياثلا ةيمسوحكا ةطسستمتا ةسسدرمتبا نياثلا

1(2011) dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak Hasil Penelitian menunjukkan bahwa sikap wajib pajak terhadap kesadaran membayar pajak , dan

Wanita yang sudah menikah ( PUS) dan yang sudah memeiliki anak yang belum menggunakan KB atau alat kontrasepsi di Desa Bera Dolu Sumba Barat NTT yang memiliki

Bahwa Pemohon akan mengajukan seorang atau lebih anggota DPR yang mungkin dulu atau MPR karena kalau ini rumusan di dalam Undang-Undang Dasar pada perubahan Undang-Undang

Apabila ada mahasiswa yang belum selesai bimbingan proposal, mahasiswa dipanggil Kaprodi, dicari permasalahan dan diberi solusinya 4.. Setiap bimbingan harus membawa