• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia"

Copied!
283
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH

DI INDONESIA

ACHMAD SOBARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Achmad Sobari

(3)

ABSTRACT

ACHMAD SOBARI. Impact of Fiscal Decentralization on Regional Socio-Economic Development in Indonesia. Under the Supervision of NUNUNG NURYARTONO and IRFAN SYAUQI BEIK.

Fundamental change in the Indonesian governance mechanisms from centralized into decentralized system has been occured since 1st January 2001. The successes of the government during the period of decentralization can be seen from several indicaators such as economic growth, the number of poor people as well as human development index. However, many parties felt that the implementation of fiscal decentralization in Indonesia only in terms of its political success through the implementation of direct election of regional heads, while from an economic standpoint is still not satisfactory. Based on the background above, the purpose of this research are: 1) to analyze the factors that affect revenue, expenditure of local government and regional socio-economic development in Indonesia, 2) analyze the impact of fiscal decentralization on the revenue and expenditure of local government in Indonesia, 3) Analyzing the impact of changes in revenues and expenditures of local governments towards local socio-economic development in Indonesia. The analysis used in this research is descriptive analysis and analysis of simultaneous equations. The results of simulation models from the revenue side generally indicates that the increase in general allocation funds more influential and effective in improving the performance of socio-economic development compared with the increase in taxes and tax-sharing and non-tax. From the expenditure side, the agricultural sector development spending significantly more effective increasing the GRDP and poverty reduction in Sumatera, Kalimantan, and Sulawesi. As for education and health sector spending provides a larger impact on the increase GRDP and poverty reduction in Java-Bali and Papua.

(4)

RINGKASAN

ACHMAD SOBARI. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO and IRFAN SYAUQI BEIK.

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32/2004 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 33/2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dikenal dengan era otonomi daerah. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah adanya desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.

Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.

Menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yang berbeda yaitu (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil, atau (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya.

Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut, sehingga terjadi disparitas (kesenjangan) fiskal daerah, baik kesenjangan vertikal (antara pusat dengan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah).

Pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, sehingga dapat mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah, dengan kata lain daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah.

(5)

(DAK) juga mengalami peningkatan tajam dari 1.05 trilyun pada tahun 2001, menjadi 24.4 trilyun tahun 2009.

Disamping dari sisi penerimaan, peningkatan juga terjadi pada sisi pengeluaran pemerintah. Pada awal pelaksanaan desentralisasi yaitu tahun 2001, pengeluaran pemerintah sebesar 94.4 trilyun, kemudian di tahun 2009 meningkat menjadi 407.8 trilyun. Bila dilihat perbandingan pengeluaran rutin dan pembangunan, terlihat bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dibanding untuk pengeluaran pembangunan.

Berbagai keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin serta indeks pembangunan manusia. Tingkat pertumbuhan ekonomi dari tahun 2001 hingga tahun 2009 terlihat berfluktuasi, demikian pula dengan persentase penduduk miskin yang terlihat berfluktuasi dari tahun 2001 hingga 2009, sedangkan indeks pembangunan manusia (IPM) terus mengalami peningkatan dari 65.80 pada tahun 2002, menjadi 71.76 pada tahun 2009. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah.

Namun demikian, setelah 8 tahun otonomi daerah berjalan, harus disadari bahwa tujuan ideal belum tercapai dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, tentunya disertai dengan komitmen yang kuat sehingga otonomi daerah nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan menyejahterakan rakyat (Brodjonegoro, 2009).

(6)

Dari sisi pengeluaran, seiring dengan peningkatan penerimaan, pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan secara absolut menjadi lebih tinggi pada periode setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal. Pengeluaran pembangunan untuk pertanian dan tenaga kerja secara signifikan menjadi relatif lebih tinggi, sebaliknya pengeluaran pembangunan untuk kesehatan dan pendidikan tidak signifikan perubahannya.

Hasil simulasi model dari sisi penerimaan secara umum menunjukkan bahwa peningkatan DAU lebih berpengaruh dan efektif dalam meningkatkan kinerja pembangunan sosial ekonomi dibandingkan dengan peningkatan pajak dan BHPBP. Dari sisi pengeluaran, pengeluaran pembangunan sektor pertanian lebih berpengaruh nyata dan efektif dalam meningkatkan kinerja perekonomian dan penurunan tingkat kemiskinan di Pulau Sumatera, Kalimantan, serta Sulawesi. Sedangkan pengeluaran sektor pendidikan dan sektor kesehatan memberikan dampak yang lebih besar terhadap peningkatan PDRB serta penurunan kemiskinan di Pulau Jawa-Bali dan Papua.

Berdasarkan hasil penelitian maka saran penelitian ini adalah : 1) Meskipun DAU memberi dampak yang besar bagi kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi, namun perhatian harus lebih ditingkatkan pada kemampuan fiskal daerah serta perbaikan pengelolaan sumber daya alam, untuk dapat meningkatkan penerimaan dari bagi hasil pajak dan bukan pajak. 2) Pembangunan wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi diarahkan untuk menjadi pusat produksi, pengolahan, serta peningkatan produktivitas sektor pertanian, untuk itu dibutuhkan peningkatan pengeluaran sektor pertanian secara berkesinambungan pada ketiga pulau tersebut. 3) Tantangan terbesar pengembangan Pulau Papua adalah meningkatkan sumber daya manusia. Peningkatan pada fasilitas dan akses pendidikan dan kesehatan sangat diperlukan, untuk itu peningkatan pengeluaran sektor kesehatan dan pendidikan lebih diprioritaskan dibanding pengeluaran sektor lainnya. 4) Pemerintah daerah diharapkan melakukan efisiensi pos pengeluaran rutin dan mengaloksikan kembali pada pos pengeluaran pembangunan karena memberikan dampak yang relatif baik pada kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi daerah.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH

DI INDONESIA

ACHMAD SOBARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia

Nama : Achmad Sobari NRP : H151090324 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Irfan Syauqi Beik, SP. M.Sc.Ec. Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Irfan Syauqi Beik, Sp, M.Sc. Ec. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. H.R. Dedi Walujadi, SE, MA. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agrselaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi.

Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik serta Kepala BPS Provinsi Maluku Utara yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis, begitu pula rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada istri tercinta Arie Nurlaela, kedua buah hatiku Muhammad Sheva Adrian dan Keisha Alya Adrian, serta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan inspirasi dan semangat luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia.

Bogor, Juni 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 September 1978 dari pasangan Bapak Abdul Razak dan Ibu Masidjah. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 2 Pesawahan Teluk Betung kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Teluk Betung pada tahun 1991 dan lulus pada tahun 1994. Setelah lulus dari SMPN 1 Teluk Betung penulis melanjutkan ke SMAN 2 Bandar Lampung. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan lulus tahun 2001.

(13)

DAFTAR ISI

1.2 Perumusan Masalah………. 6

1.3 Tujuan Penelitian………. 7

1.4 Manfaat Penelitian………... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian………... 8

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN………. 11

2.1 Tinjauan Teori dan Konsep………. 11

2.1.1 Pengertian dan Konsep Desentralisasi………. 11

2.1.2 Desentralisasi Fiskal ……….. 11

2.1.3 Peranan Pemerintah………. 13

2.1.4 Teori Pengeluaran Pemerintah……… 15

2.1.5 Pengelolaan Keuangan Daerah……… 18

2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi……… 21

2.1.7 Definisi Kemiskinan……… 25

2.1.8 Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan……….. 28

2.1.9 Indeks Pembangunan Manusia……….. 34

2.1.10 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Desentralisasi... 38

2.1.11 Hubungan Pengeluaran dan Pertumbuhan Ekonomi…. 39 2.1.12 Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan………. 39

2.1.13 Pengeluaran Pemerintah dan pembangunan Manusia… 40 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu……… 40

2.3 Kerangka Pemikiran……… 44

2.4 Hipotesis……….. 44

III METODE PENELITIAN……… 47

3.1 Jenis dan Sumber Data………. 47

3.2 Metode Analisis………... 47

3.2.1 Model Persamaan Simultan………. 47

3.2.2 Identifikasi Model Simultan ……….. 54

3.2.3 Validasi Model……… 55

3.2.4 Simulasi Model……… 56

IV GAMBARAN UMUM……… 61

4.1 Penerimaan Pemerintah Daerah……….. 61

4.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah………. 64

(14)

4.4 Pembangunan Manusia……… 69

4.5 Kemiskinan……….. 72

V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA FISKAL DAN PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH 77 5.1 Blok Penerimaan Fiskal Daerah……….. 78

5.1.1 Dana Alokasi Umum……….. 78

5.1.2 Pajak Daerah……… 79

5.1.3 Retribusi Daerah………. 81

5.1.4 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak……….. 82

5.2 Blok Pengeluaran Daerah……… 83

5.2.1 Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian………….. 84

5.2.2 Pengeluaran Pembangunan Sektor Ketenagakerjaan….. 85

5.2.3 Pengeluaran Pembangunan Sektor Kesehatan………… 86

5.2.4 Pengeluaran Pembangunan Sektor Pendidikan………… 87

5.2.5 Pengeluaran Rutin……… 88

5.3 Blok Sosial Ekonomi Daerah………... 89

5.3.1 Produk Domestik Regional Bruto……… 89

5.3.2 Kemiskinan……….. 92

5.3.3 Pembangunan Manusia……… 94

VI DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH………. 97 6.1 Hasil Validasi Model……….. 97

6.2 Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah di Indonesia………. 100 6.2.1 Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 16%... 101

6.2.2 Peningkatan Pajak Sebesar 20%... 104

6.2.3 Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak 20%... 108

6.2.4 Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian Sebesar 50% 110 6.2.5 Peningkatan Pengeluaran Sektor Kesehatan Sebesar 30% 112

6.2.6 Peningkatan Sektor Pendidikan Sebesar 10%... 113

VII KESIMPULAN DAN SARAN………. 115

7.1 Kesimpulan……….. 115

7.2 Saran……… 116

DAFTAR PUSTAKA……… 117

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di Indonesia

tahun 2001-2009 (Trilyun)……… 5

2. Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pembangunan manusia

di Indonesia tahun 2001-2009………. 6

3. Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM…… 37

4. Keterangan variabel dalam persamaan simultan……….. 53

5. Sumber penerimaan daerah dan kontribusinya di Indonesia

tahun 1996, 2001 dan 2009………….……….. 63

6. Pendapatan asli daerah provinsi/kabupaten/kota di Indonesia

menurut sumber, tahun 1996, 2001 dan 2009……..………. 63

7. Belanja daerah di Indonesia dirinci menurut jenis belanja tahun

1996, 2001 dan 2009 (milyar rupiah)………….……….. 64

8. Distribusi belanja daerah di Indonesia menurut pulau tahun

1996, 2001 dan 2009 (%)……….……… 65

9. Rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia sebelum

desentralisasi dan di era desentralisasi……….. 68

10. Indeks pembangunan manusia di Indonesia tahun 1996-2009…. 70

11. Perkembangan komponen indeks pembangunan manusia di

Indonesia tahun 1996-2009………..……….. 71

12. Perkembangan garis kemiskinan menurut status daerah di

Indonesia tahun 1996-2009……….. 73

13. Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia menurut

status daerah tahun 1996-2009……… 75

14. Faktor-faktor yang memengaruhi dana alokasi umum di

Indonesia………. 79

15. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan pajak di

Indonesia………. 80

16. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan retribusi di

(16)

17. Faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan bagi hasil pajak

dan bukan pajak di Indonesia……….. 83

18. Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor pertanian di Indonesia………...

85

19. Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor

ketenagakerjaan di Indonesia……… 86

20. Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor kesehatan

di Indonesia………. 87

21. Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran sektor

pendidikan di Indonesia……… 88

22. Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran rutin di Indonesia 89

23. Faktor-faktor yang memengaruhi PDRB di Indonesia…………. 91

24. Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Indonesia……. 93

25. Faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan manusia di

Indonesia……….. 95

26. Dampak peningkatan DAU sebesar 16% terhadap kinerja fiskal

daerah……….. 102

27. Dampak kenaikan DAU 16% terhadap pembangunan sosial

ekonomi daerah……… 103

28. Dampak peningkatan pajak sebesar 20% terhadap kinerja fiskal

daerah……….. 105

29. Dampak kenaikan pajak 20% terhadap pembangunan sosial

ekonomi daerah………. 106

30. Dampak peningkatan bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar

20% terhadap kinerja fiskal daerah……….. 109

31. Dampak peningkatan bagi hasil pajak dan bukan pajak 20%

terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah……… 110

32. Dampak peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 50%

terhadap kinerja fiskal daerah………. 111

33. Dampak peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 50%

(17)

34. Dampak peningkatan pengeluaran sektor kesehatan sebesar 30% terhadap kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi

daerah……….. 113

35. Dampak peningkatan pengeluaran sektor pendidikan sebesar 30% terhadap kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perkembangan dana perimbangan di Indonesia tahun 2001-2009 (Juta rupiah)………...………...

4

2. Hubungan stok Kapital, tenaga kerja dan teknologi menurut teori Solow………

24

3. Kerangka hubungan pertumbuhan ekonomi sektoral dan

pengurangan kemiskinan……….. 30

4. Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi

pengeluaran pemerintah terhadap PDRB………. 39

5. Diagram alur kerangka pemikiran……… 45

6. Keterkaitan antar blok dan persamaan dalam dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan social ekonomi

daerah di Indonesia……….. 54

7. Penerimaan daerah di Indonesia tahun 1996, 2001

dan 2009 (Milyar)………...……….. 62

8. Belanja daerah di Indonesia menurut jenis belanja

tahun 1996-2009 (%)………... 65

9. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1995-2009………. 66

10. Persentase penduduk miskin di Indonesia menurut status daerah

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Produk domestik regional bruto provinsi di Indonesia atas dasar

harga konstan 2000 tahun 1996-2009 (milyar)………. 123

2. Indeks pembangunan manusia provinsi di Indonesia

tahun 1996-2009………..……… 126

3. Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut status daerah

di Indonesia tahun 1996-2009……….. 127

4. Hasil output persamaan simultan dengan EViews 6.0………….. 128 5. Hasil validasi model persamaan simultan dengan koefisien

(20)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terkait dengan dilaksanakannya otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah.

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berubah dari sistem pemerintahan yang sentralistik, menjadi bersifat desentralistik.

Kedua undang-undang tersebut dalam perjalanannya diperbaharui dengan Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Perubahan kedua undang-undang tersebut dilakukan dengan harapan daerah menjadi lebih mandiri dalam melaksanakan pemerintahan maupun pembangunan.

(21)

mengelola sebagian besar urusan domestik, bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalannya, maka pemerintah pusat cukup dengan membimbing, mengawasi dan memberi dukungan saja. Dengan begitu akan tersedia banyak waktu dan energi bagi pemerintah pusat untuk berkonsentrasi pada urusan yang memerlukan kebijaksanaan nasional dan urusan-urusan strategis untuk kompetisi global. Di lain pihak daerah secara bertahap dapat menjadi lebih demokratis, mandiri, kreatif dan inovatif dalam mengatur dan menangani urusan domestiknya. Pelayanan publik dapat menjadi lebih baik karena pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Berdasarkan pertimbangan ini, maka pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Desentralisasi fiskal merupakan suatu konsekuensi dari diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.

(22)

menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yang berbeda yaitu (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan (revenue side) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang belum optimal melalui bagi hasil, atau (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektifitas sisi pengeluaran (expenditure side) untuk menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik bagi daerahnya.

Pendekatan yang didasarkan pada penerimaan (revenue side) akan menguntungkan bagi daerah yang relatif kaya dangan sumber daya alam dan daerah dengan basis pajak yang besar, tetapi akan menjadi suatu beban pada daerah yang miskin. Dengan demikian desentralisasi fiskal yang didasarkan pada bagi hasil akan menyebabkan disparitas diantara daerah-daerah.

Perbedaan kondisi dan potensi dari masing-masing daerah, menimbulkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut, sehingga terjadi disparitas (kesenjangan) fiskal daerah, baik kesenjangan vertikal (antara pusat dengan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah). Hasil penelitian Nanga (2005) menunjukkan adanya perbedaan kesiapan daerah dalam memasuki era otonomi daerah. Adi (2006), menunjukkan dua penyebab terjadinya perbedaan kesiapan daerah, yaitu adanya perbedaan kapasitas fiskal daerah dan adanya perbedaan kemampuan manajerial dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun dana.

(23)

melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah (Undang-Undang Nomor 33/2004), sehingga dapat dijamin tercapainya standar pelayanan minimum publik di seluruh negeri. Dana perimbangan tersebut hanya bersifat sebagai stimulus atau dana pendukung bagi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Disamping dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat, daerah juga dapat membiayai pelaksanaan pembangunan daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa Pajak Daerah, Retribusi daerah, BUMD dan Lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Pajak dan retribusi inilah nantinya diharapkan akan membentuk suatu struktur PAD yang kuat di masing-masing daerah. Struktur PAD yang kuat inilah sebenarnya menjadi barometer utama suksesnya pelaksanaan otonomi daerah didalam mendukung terciptanya suatu kemandirian daerah.

Sumber : Kementrian keuangan (diolah)

Gambar 1 Perkembangan dana perimbangan di Indonesia tahun 2001-2009 (Juta rupiah).

(24)

juga mengalami peningkatan tajam dari 1.05 trilyun pada tahun 2001, menjadi 24.4 trilyun tahun 2009. DAK ditujukan untuk membiayai kegiatan fisik di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur (jalan, jembatan, dan irigasi), pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan dan perikanan/kelautan.

Disamping dari sisi penerimaan, peningkatan juga terjadi pada sisi pengeluaran pemerintah. Pada awal pelaksanaan desentralisasi yaitu tahun 2001, pengeluaran pemerintah sebesar 94.4 trilyun, kemudian di tahun 2009 meningkat menjadi 407.8 trilyun. Pada era desentralisasi fiskal pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21.2% pertahun. Semakin besarnya pos pengeluaran pemerintah daerah mencerminkan lebih leluasanya pemerintah daerah dalam menggunakan dana. Bila dilihat perbandingan pengeluaran rutin dan pembangunan, terlihat bahwa pengeluaran pemerintah lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dibanding untuk pengeluaran pembangunan.

Tabel 1 Pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di Indonesia tahun 2001 – 2009 (Trilyun)

Tahun Pengeluaran Rutin

Pengeluaran Pembangunan

Total Pengeluaran

2001 63.92 30.52 94.45

2002 74.79 44.03 118.83

2003 65.06 62.47 127.54

2004 85.86 59.32 145.18

2005 102.56 77.38 179.94

2006 102.56 99.09 201.66

2007 230.46 101.19 331.65

2008 278.78 111.40 390.18

2009 300.47 107.40 407.87

Sumber : Kementrian Keuangan (diolah)

(25)

berfluktuasi, dimana pada tahun 2001 sebesar 18.40% dan terus mengalami penurunan menjadi 15.97% ditahun 2005, namun di tahun 2006 meningkat menjadi 17.75%, tahun 2007 menjadi 16.58% dan pada 2009 menjadi sebesar 14.15%. Walaupun mengalami penurunan dari tahun 2001-2009 namun penduduk miskin masih cukup tinggi. Sedangkan indeks pembangunan manusia (IPM) terus mengalami peningkatan dari 65.80 pada tahun 2002, menjadi 71.76 pada tahun 2009. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro, 2006).

Tabel 2 Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pembangunan manusia di Indonesia tahun 2001-2009

Tahun

Pertumbuhan ekonomi

(%)

Persentase penduduk miskin

(%)

Indeks pembangunan

manusia

2001 3.64 18.40 - 2002 4.50 18.20 65.80 2003 4.78 17.40 - 2004 5.03 16.70 68.70 2005 5.69 15.97 69.57 2006 5.50 17.75 70.10 2007 6.28 16.58 70.59 2008 6.06 15.42 71.17 2009 4.50 14.15 71.76 Sumber : BPS

(26)

1.2 Perumusan masalah

Pemerintah daerah dalam era desentralisasi mendapatkan keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangannya. Keleluasaan yang dimiliki diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah untuk mendorong terciptanya pembangunan sosial ekonomi.

Dengan demikian maka pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perkembangan kinerja fiskal dan pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia pada periode 1996-2009?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia?

3. Bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia?

4. Bagaimana dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:

1. Mendeskripsikan perkembangan kinerja fiskal, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia pada periode 1996-2009.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah, serta pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia 3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan dan

pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia

4. Menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah di Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian

(27)

1. Bagi pemerintah, dapat dijadikan pertimbangan pengambilan kebijakan pembangunan wilayah dalam penyusunan program pembangunan wilayah. 2. Bagi mahasiswa dan peneliti yang berminat dalam permasalahan

desentralisasi fiskal sebagai bahan kajian dan perbandingan kasus desentralisasi fiskal di Indonesia.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap seluruh provinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1996 hingga tahun 2009. Jumlah provinsi mengikuti keadaan tahun 1996, dimana jumlahnya sebanyak 26 provinsi, sehingga provinsi yang mekar setelah itu datanya diagregasikan ke provinsi induk. Penelitian terhadap pengeluaran pemerintah dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing komponen pengeluaran pemerintah setiap kabupaten/kota dan provinsi dari setiap provinsi di Indonesia. Komponen pengeluaran pemerintah provinsi merupakan penjumlahan seluruh komponen pengeluaran pemerintah di kabupaten/kota dan provinsi.

(28)

mengintegrasikan ekonomi lokalnya kedalam ekonomi wilayah yaitu ekonomi Eropa.

Dalam kasus Indonesia, integrasi ekonomi ditingkat provinsi merupakan suatu keniscayaan yang dapat membantu menjaga daya saing ekonomi nasional. Kabupaten/kota tidak akan kehilangan status daerah otonomnya teteapi mereka secara sadar mengintegrasikan ekonomi lokalnya ke dalam sistem ekonomi provinsi yang mempunyai skala ekonomi lebih besar dan lebih menjamin efisiensi. Integrasi ekonomi ditingkat provinsi ini sekaligus memberikan peran lebih jelas kepada provinsi sebagai panglima ekonomi daerah dengan tugas mengangkat perekonomian daerah dan menunjang semaksimal mungkin perekonomian nasional (Brodjonegoro, 2009).

Pembangunan sosial ekonomi daerah dalam penelitian ini dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut :

1. Pertumbuhan ekonomi , yang dilihat dari penambahan PDRB atas dasar harga konstan pada masing-masing provinsi.

2. Kemiskinan, yang dilihat dari jumlah penduduk miskin pada setiap provinsi.

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori dan Konsep

2.1.1 Pengertian dan Konsep Desentralisasi

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif

(administrative decentralization), dan fiskal (fiskal decentralization) (Abimanyu dan Megantara, 2009).

a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan

b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan

c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi

2.1.2 Desentralisasi Fiskal

(30)

diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari Pemerintah Pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi Alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengaturan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat.

(31)

petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.

Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik apabila berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :

a. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan

enforcement

b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah

c. Stabilitas politik yang kondusif

d. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut

e. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah

f. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat

2.1.3 Peranan Pemerintah

Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah ada tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial.

(32)

1 Menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta

2 Mengoreksi bila terjadi kegagalan pasar, adapun kegagalan pasar diantaranya:

a. Kompetisi tidak sempurna, dalam pasar yang tidak sempurna dan cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih tinggi dan jumlah produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan memperbaiki agar kesejahteraan masyarakat tidak berkurang.

b. Barang publik mempunyai karakteristik non exludable dan non rivalry. Sifat barang publik yang seperti itu maka akan menimbulkan fenomena

free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak membayar dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta, sehingga pemerintah yang menyediakannya.

c. Eksternalitas pasar bersifat egois (selfish), sehingga yang dipikirkan adalah meminimalkan biaya sedangkan dampak secara tidak langsung seperti dampak sosial tidak diperhitungkan.

d. Adanya kegagalan informasi, dalam beberapa hal masyarakat sangat membutuhkan informasi yang tidak dapat disediakan oleh pihak swasta, misalnya perkiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat membutuhkan informasi cuaca, akan tetapi pihak swasta tidak ada yang menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan informasi cuaca tersebut.

(33)

Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:

a kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atas barang dan jasa.

b kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan

c kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga.

Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Berdasarkan sisi pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan negara.

Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti membayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat pembangunan.

2.1.4 Teori Pengeluaran Pemerintah

(34)

sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi modern. Kesemuanya itu tidak bisa berlangsung dengan sendirinya jika hanya mengandalkan mekanisme pasar. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat tergantung dari peran pemerintah antara lain dimanifestasikan lewat pengeluaran pemerintah. Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: i) perubahan permintaan akan barang publik, ii) perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, iii) perubahan kualitas barang publik, iv) perubahan harga-harga faktor-faktor produksi. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto 1997), yaitu:

a. Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.

(35)

PDB semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.

b. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

c. Teori Peacock dan Wiseman

(36)

swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman (1961) mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena.

2.1.5 Pengelolaan Keuangan Daerah

(37)

kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pada pasal 66 ayat 1, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik.

Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.

Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya (Halim, 2007). Ketiga aspek tersebut meliputi :

1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.

2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat.

3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.

(38)

1. Pengelolaan (optimalisasi dan/atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan.

2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah.

3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah. APBD adalah sebuah rencana yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode, yang biasanya satu tahun. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Ada beberapa format APBD yang digunakan sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal. Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih diterapkannya pembukuan tunggal (Single entry book keeping) dan berbasis kas (cash basis).

(39)

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perubahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran 2002-2006 (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari ’Single Entry ke

Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi.

Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Permendagri No. 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata kelola keuangannya, yang tentu saja dalam rangka perbaikan manajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparasi dan akuntabilitas.

Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai kepentingan publik. Pengeluaran pemerintah dilaksanakan dalam rangka :

1. Menyediakan barang publik atau proses pembagian keseluruhan sumberdaya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik

2. Distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai keadaan distribusi yang merata dan adil, kemudian disebut fungsi distribusi.

3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran, yang kemudian disebut fungsi stabilisasi.

2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi

(40)

arti yang berbeda, meskipun keduanya memang menerangkan perkembangan ekonomi yang berlaku. Pertumbuhan selalu digunakan sebagai suatu ungkapan untuk menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara. Sedangkan istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ekonomi mengartikan pembangunan ekonomi sebagai pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi (economic development is growth plus change) (Sukirno, 2004).

Para ahli ekonomi maupun politik umumnya sepakat menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam pembangunan. Pemerintah di negara mana pun dapat segera jatuh atau bangun berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi atau rendahnya mutu aparatnya di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output nasional (Todaro dan Smith, 2006).

Berdasarkan teori neoklasik, pertumbuhan output ekonomi regional dipengaruhi pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan dalam menyediakan berbagai barang ekonomi bagi penduduknya.

Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung persentase Produk Domestik Bruto (PDB). PDB mengukur pengeluaran total dari suatu perekonomian terhadap berbagai barang dan jasa yang baru diproduksi pada saat atau tahun serta pendapatan total yang diterima dari adanya seluruh produksi dan jasa tersebut (Mankiw, 2006). Pertumbuhan biasanya dihitung dalam nilai riil dengan tujuan untuk menghilangkan adanya pengaruh inflasi pada barang dan jasa yang diproduksi, sehingga PDB riil semata-mata menggambarkan perubahan kuantitas produksi.

(41)

dilakukan secara langsung maupun dengan melakukan investasi terhadap fasilitas-fasilitas penunjang seperti investasi infrastuktur, ekonomi dan sosial. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja secara tradisional dianggap faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar berarti dapat menambah tenaga kerja produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang besar berarti ukuran pasar domestik besar. Faktor lainnya adalah kemajuan teknologi yang merupakan dasar bagi berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan.

Pentingnya akumulasi modal (investasi) dalam pertumbuhan ekonomi dikenal sejak dikembangkannya ”the linear stages theory”, yang menyatakan bahwa kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan adalah peningkatan total tabungan nasional dan luar negeri. Semakin banyak total tabungan dan diinvestasikan, laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat (Todaro dan Smith, 2006). Muncul beberapa kritik terhadap teori ini, yang menyatakan bahwa ada faktor-faktor lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi, yaitu kecakapan managerial, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih, kemampuan perencanaan, adanya transfortasi yang memadai serta birokrasi pemerintah yang efisien.

Berbagai model pertumbuhan ekonomi muncul mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Teori klasik dimotori Adam Smith, beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan pertambahan output. Yang termasuk dalam teori klasik lainnya Ricardo. Ricardo menyatakan bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah, sehingga dapat mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state).

(42)

dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori dari Harrord Domar juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja.

Model pertumbuhan Solow menjelaskan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi di dalam perekonomian. Ketiganya mempengaruhi produk nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada skala regional. Hubungan ketiga input produksi tersebut digambarkan pada Gambar 2. Dalam model pertumbuhan ekonomi ini, stok kapital merupakan faktor penentu output sebuah perekonomian, namun stok kapital selalu berubah sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada akhirnya. Kegiatan investasi dalam hal ini terkait dengan misalnya pengeluaran pembangunan gedung atau fasilitas baru dan perlengkapan. Pengeluaran ini mengakibatkan stok kapital meningkat.

Dari grafik , f(k) adalah fungsi produksi atau dapat dinotasikan y. Investasi per tenaga kerja dinotasikan dengan i. Jika investasi pertenaga kerja sy, maka

i = sf(k). Bagaimana setiap nilai dari k dapat mempengaruhi output serta bagaimana alokasi output antara konsumsi dan tabungan ditentukan oleh saving rates, dengan mempertimbangkan juga faktor depresiasi.

Output per

tenaga kerja Output f(k)

Output per c Konsumsi per tenaga kerja tenaga kerja

Investasi (sf(k))

y

i Investasi per tenaga kerja

Kapital per tenaga kerja

Sumber: Mankiw, 2006.

(43)

Dampak investasi dan depresiasi dalam stok kapital dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

Perubahan dalam stok kapital = Investasi – Depresiasi

Δk = i – δk ………...……….(2.1) dengan mensubstitusi i=sf(k) dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:

Δk = sf(k) – δk ……….………(2.2) Persamaan di atas menjelaskan investasi dan depresiasi pada berbagai level stok kapital k. Semakin tinggi stok kapital, semakin tinggi output yang dihasilkan, namun semakin tinggi pula depresiasi.

Pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow merupakan pilar yang memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan

memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006).

(44)

2.1.7 Definisi Kemiskinan

Menurut Badan Pusat Statistik, miskin adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupan. Sementara menurut World Bank Institute, kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Secara rinci terdapat beberapa definisi kemiskinan sebagai berikut:

a. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20% atau 40% lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.

Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998). Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15% di Amerika Serikat dan juga mendekati 15% di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia.

(45)

(rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat.

Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

b. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

(46)

c. Terminologi Kemiskinan Lainnya

Kemiskinan memiliki banyak wajah dan pengertian. Salah satu wajah kemiskinan adalah dimana orang kelaparan. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang tidak memiliki tempat tinggal. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang sakit tidak kuasa untuk pergi ke dokter. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana anak-anak tidak mampu bersekolah dan buta huruf. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang tidak memiliki pekerjaan sehingga masa depannya tidak pasti. Kemiskinan juga adalah kondisi dimana orang terpaksa tinggal dengan sanitasi yang buruk dan kesulitan memperoleh air bersih. Kemiskinan juga adalah kondisi tidak berdaya dan tidak terwakili secara politik. Dari semua wajah itu, Bank Dunia menyimpulkan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana orang ingin lepas darinya (Bank Dunia, 2006).

Lebih jauh, suatu konsep pandangan mengenai kemiskinan yang lebih luas dan filosofis dinyatakan oleh pemenang Nobel, Amartya Sen sebagai Capability Approach terhadap well being. Pendekatan ini melewati batasan pandangan mengenai kemiskinan yang konvensional dimana konsep ini memasukan dimensi-dimensi kemiskinan yang sifatnya lebih fundamental yang meliputi kerentanan terhadap resiko, kurangnya hak bersuara dalam masyarakat, dan ketidakberdayaan. Kapabilitas-kapabilitas penting yang harus dimiliki setiap orang tidak saja mencakup kecukupan sumberdaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok (essential needs) saja seperti pangan, sandang, dan papan saja., tetapi juga mencakup akses terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan dan kekuatan-kekuatan perusak (violence). Dalam hal ini, negaralah yang berkewajiban untuk merealisasikannya, mengingat mekanisme pasar tidak mungkin bisa menyelesaikan masalah tersebut.

2.1.8 Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan

Pada level negara atau wilayah, faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan meliputi PDRB sektoral, besarnya anggaran pemerintah dan tingkat pendidikan. Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

2.1.8.1 PDRB Sektoral

(47)

menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi sektoral. Pertumbuhan ekonomi menurut teori ekonomi mengindikasikan semakin banyak kesempatan kerja yang tercipta dan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. PDRB sektoral per tenaga kerja menurut harga konstan merupakan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan tahun 2000 dibagi dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. PDRB sektor pertanian, PDRB sektor industri dan PDRB sektor jasa per tenaga kerja juga digunakan untuk mengetahui secara langsung kesempatan kerja yang terjadi juga menyebar di sektor dimana penduduk miskin berada melalui peningkatan produktivitas. Selain itu, secara tidak langsung digunakan untuk mengetahui efektivitas kebijakan pemerintah dalam proses redistribusi manfaat pertumbuhan yang diperoleh dari sektor pertanian maupun dari sektor industri dan sektor jasa yang ditengarai memberikan kontribusi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2007).

Pengaruh kegiatan ekonomi menurut sektoral terhadap pengurangan kemiskinan juga dikemukakan oleh Montalvo dan Ravallion (2009) dengan menguji hipotesis pola pertumbuhan sektoral. Kegiatan ekonomi menurut sektor memiliki dampak pengurangan kemiskinan secara keseluruhan yang independen terhadap pertumbuhan ekonomi aggregat. Hipotesis tersebut berdasarkan dua alasan. Pertama, kerelevanan ketidakmerataan antar sektor yang cukup besar menyebabkan pola pertumbuhan antar sektor secara sistematis akan merubah distribusi pendapatan dan lebih luas lagi pada tingkat kemiskinan dengan tingkat rata-rata pendapatan tertentu. Secara intuisi, jika pertumbuhan ekonomi sangat intens dalam sektor-sektor tersebut dan tidak memberikan manfaat kepada penduduk miskin maka akan meningkatkan ketidakmerataan, dampaknya akan mengurangi manfaat pertumbuhan secara keseluruhan bagi penduduk miskin.

(48)

selama proses pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, distribusi pendapatan awal telah diketahui mempunyai peran yang sangat penting bagi dampak berikutnya dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.

Menurut Tambunan (2006), hubungan antara peningkatan output sektoral dan kemiskinan adalah efek trickle down dari peningkatan output sektoral dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan upah/gaji riil. Pertumbuhan ekonomi sektoral bisa menjadi suatu alat yang efektif bagi pengurangan kemiskinan dengan asumsi ada mekanisme yang diperlukan untuk memfasilitasi trickle down manfaat pertumbuhan ekonomi sektoral kepada penduduk miskin. Kerangka pemikiran hubungan pertumbuhan ekonomi sektoral dan pengurangan kemiskinan dapat ditunjukkan dalam Gambar 3.

Pada saat output meningkat maka kesempatan kerja juga bertambah sehingga mengakibatkan jumlah pengangguran berkurang. Penduduk akan memiliki sumber pendapatan baru maupun tambahan pendapatan, yang selanjutnya menurunkan jumlah penduduk miskin. Peningkatan output juga memberikan pengaruh terhadap laju inflasi, semakin banyak output yang dipasarkan akan menekan peningkatan harga domestik, bahkan dapat menurunkan laju inflasi sehingga akan menyebabkan peningkatan pendapatan riil. Peningkatan pendapatan riil ini akan menurunkan garis kemiskinan riil dan berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin.

Sumber: Tambunan (2006)

Gambar 3 Kerangka hubungan pertumbuhan ekonomi sektoral dan pengurangan kemiskinan.

Kerangka pemikiran tersebut didasarkan pada beberapa studi empiris lintas negara yang menguji relasi antara pertumbuhan output sektoral dan pengurangan

Pertumbuhan ekonomi sektoral

(peningkatan output)

Peningkatan kesempatan kerja

Peningkatan upah/gaji riil

(49)

kemiskinan. Studi yang dilakukan Ravallion dan Datt (1996) dengan memakai data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output di sektor primer khususnya pertanian, jauh lebih efektif dalam menurunkan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Sektor sekunder tidak memberikan dampak yang berarti terhadap penurunan kemiskinan. Demikian juga, studi Kakwani (2001) melaporkan hasil yang sama untuk kasus di Philipina. Dalam studinya ditemukan bahwa sektor pertanian mempunyai elastisitas yang lebih tinggi dibanding sektor industri dan jasa.

2.1.8.2 Pengeluaran APBD

Menurut Tambunan (2006), pengeluaran pembangunan pemerintah yang direalisasikan dalam rancangan APBN atau APBD merupakan instrumen kelembagaan pemerintah yang memiliki peran strategis dalam pengurangan kemiskinan, melalui penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur fisik terutama jalan dan irigasi. Peningkatan kesehatan dan pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas yang selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk miskin seperti petani dan buruh tani dalam arti luas. Infrastruktur yang baik sangat membantu peningkatan produksi, pertumbuhan kegiatan bisnis, termasuk di sektor informal, dan pemasaran produk-produk dari penduduk miskin seperti petani dan usaha mikro kecil.

Besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik dapat diproksi dengan besarnya realisasi pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) (Suparno, 2010). Nilai realisasi pengeluaran APBD digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam segi pendanaan dalam rangka dalam pembangunan daerah termasuk untuk mengatasi masalah kemiskinan. Semakin besar nilai realisasi pengeluaran APBD menunjukkan semakin besar pula peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin.

(50)

berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Pengeluaran pemerintah juga diperlukan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi untuk membantu mendayagunakan sumber daya secara berkelanjutan bagi pengeluaran pemerintah di masa depan. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama penyediaan solusi yang permanen dalam mengatasi masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan.

Menurut Iradian (2005), besarnya pengeluaran pemerintah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengurangan kemiskinan di berbagai negara, disamping juga dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil perkapita, perubahan ketidakmerataan dan tingkat ketidakmerataan awal. Besarnya pengeluaran pemerintah dalam APBN atau APBD memiliki hubungan yang signifikan dengan pengurangan jumlah penduduk miskin. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.

2.1.8.3 Tingkat Pendidikan

Gambar

Tabel  3  Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM
Gambar 5  Diagram alur kerangka pemikiran.
Tabel 4  Keterangan variabel dalam persamaan model simultan
Gambar 7.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis dampak kebijakan fiskal daerah terhadap kemiskinan dilakukan dengan menggunakan sistem persamaan simultan yang mengacu pada model penelitian Yudhoyono (2004), Sumedi

Variabel yang digunakan adalah tingkat kemandirian fiskal dilihat dari PAD/total pendapatan daerah, komponen PAD (pajak daerah, retribusi daerah, BHUMD dan PAD

Dengan menggunakan fixed-effect model , hasilnya menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan, DAK Non-Pendidikan, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki dampak

lebih baiknya penerimaan dana bagi hasil pajak dan adanya DAU dan DAK. Nasution dan Nina Andriany dkk telah melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hidayat (2013) yang memberikan hasil bahwa variabel ketergantungan keuangan daerah

Analisis Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Konsumsi Masyarakat Terhadap Ketergantungan Keuangan Daerah, PDRB Per Kapita, dan Kemiskinan di Propinsi

pemerintah daerah agar terjadi pemerataan dalam kemampuan fiskal.. Penelitian yang dilakukan Hartina (2012), menunjukkan DAU

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Jhingan (2008) bahwa investasi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran melalui penambahan persediaan atau