• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kesesuaian lahan budidaya rumput laut menggunakan penginderaan jauh dan SIG di Taman Nasional Karimunjawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kesesuaian lahan budidaya rumput laut menggunakan penginderaan jauh dan SIG di Taman Nasional Karimunjawa"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

FIRMANSYAH SAMAD

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT

LAUT MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG

DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

FIRMANSYAH SAMAD. Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Taman Nasional

Karimunjawa. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan VINCENTIUS P. SIREGAR.

Taman Nasional Karimunjawa memiliki fungsi utama sebagai kawasan konservasi yang memberlakukan tujuh sistem zonasi, salah satu diantaranya yaitu zona budidaya. Zona budidaya ini yang akan dikaji untuk menganalisis tingkat kesesuaian budidaya rumput laut di daerah tersebut.

Tahapan untuk mengetahui kesesuaian lahan budidaya rumput laut

dilakukan dalam empat tahapan yaitu : pengumpulan basis data, pengolahan citra, survey lapang, dan analisis tingkat kesesuaian budidaya rumput laut. Penentuan kesesuaian lahan budidaya rumput laut dilakukan dengan menganalisis kesesuaian pada masing-masing bulan (April dan Mei) dianalisis dengan Sistem Informasi Geografi menggunakan metode scoring dan untuk mendapatkan daerah

kesesuaian pada satu musim tanam rumput laut yaitu 1,5 bulan (45 hari) dalam penelitian ini bulan April dan Mei maka digunakan metode matching sehingga menghindari kemungkinan terburuk pada saat satu musim tanam.

Setelah didapat hasil kesesuaian lahan budidaya rumput laut, maka dilihat dari aspek keamanan dalam hal ini dari data angin. Hasil pengolahan data angin (windrose) menunjukan kecepatan angin pada bulan April – Mei 2009 dominan berkisar antara 3,6 – 5,7 m/s. Berdasarkan skala angin Beaufort (Met Office, 2010) kecepatan angin seperti ini disebut angin sepoi-sepoi lembut dan dampak yang akan timbul di laut yaitu gelombang laut kecil. Kondisi ini menunjukan pada bulan April – Mei aman untuk dilakukan kegiatan budidaya.

(4)

© Hak cipta milik Firmansyah Samad, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

(5)

DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

FIRMANSYAH SAMAD

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(6)

Judul skripsi : ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA RUMPUT

LAUT MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Nama : Firmansyah Samad

NIM : C54060074

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA

NIP. 19580909 198303 1 003 NIP. 19561103 198503 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut

Menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Taman Nasional

Karimunjawa”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah

satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Kelautan. Penulis menyadari bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan mengalami banyak kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan serta meluangkan waktu kepada penulis.

2. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T. selaku Ketua Komisi Pendidikan S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Keluarga tercinta Ibu, Ayah, Kakak, dan Adik atas dukungan, motifasi, dan doa yang telah diberikan.

4. Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) Prof. Drs. Ruyitno Nuchsin, M.Sc dan Drs. Muswery Muchtar, M.Sc yang telah memberikan kemudahan dalam memperoleh data.

(8)

7. Novilia Rosyadi yang senantiasa menemani penulis dengan sabar, memberikan masukan, dan bantuannya dalam penulisan skripsi. 8. Warga ITK, khususnya ITK 43 yang telah memberikan dukungan dan

semangat pada penulis.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.

Bogor, Februari 2011

(9)

ix

2.3 Parameter Ekologis dan Metode Budidaya Rumput Laut ... 10

2.3.1 Parameter Ekologis Budidaya Rumput Laut ... 10

2.3.2 Metode Budidaya Rumput Laut ... 12

2.4 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG Untuk Budidaya Rumput Laut ... 15

3.5 Pembobotan Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut ... 22

(10)
(11)

xi

Tabel Halaman

1. Kriteria kesesuaian budidaya rumput laut ... 22 2. Luas substrat dasar perairan Kepulauan Karimunjawa ... 25 3. Persentase substrat dasar perairan zona budidaya ... 28 4. Arah dan kecepatan angin bulan Januari – Desember tahun 2009

(12)

xii

5. Sketsa penanaman rumput laut sistem tali rawai (long-line) ... 14

6. Lokasi penelitian, zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa ... 17

7. Diagram alir penelitian ... 20

8. Kesesuaian berdasarkan substrat dasar perairan pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa ... 26

9. Komposisi substrat dasar perairan pada zona budidaya ... 27

10. Arah arus pada musim Pancaroba 1 (April-Juni) Kepulauan Karimunjawa ... 29

11. Kesesuaian berdasarkan arus perairan pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa (bulan April) ... 30

12. Kesesuaian berdasarkan arus perairan pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa (bulan Mei) ... 31

13. Arah dan kecepatan angin bulan Januari – desember 2009 di daerah penelitian ... 33

14. Kesesuaian berdasarkan keterlindungan wilayah perairan pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa ... 37

15. Kesesuaian berdasarkan kedalaman perairan pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa ... 39

16. Kesesuaian berdasarkan kecerahan perairan pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa ... 41

17. Kesesuaian berdasarkan salinitas pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa (bulan April) ... 43

18. Kesesuaian berdasarkan salinitas pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa (bulan Mei) ... 44

19. Kesesuaian berdasarkan suhu perairan pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa (bulan April) ... 46

(13)

xiii

22. Kesesuaian lahan budidaya rumput laut zona budidaya pulau

Kemujan ... 52 23. Kesesuaian lahan budidaya rumput laut zona budidaya pulau

Menjangan Besar dan Kecil ... 53 24. Kesesuaian lahan budidaya rumput laut zona budidaya pulau

Nyamuk ... 54 25. Kesesuaian lahan budidaya rumput laut zona budidaya pulau

(14)

xiv

Halaman

1. Kalkulasi koefisien attenuasi perairan ... 60

2. Sebaran substrat dasar perairan Kepulauan Karimunjawa ... 61

3. Arah dan kecepatan arus perairan Kepulauan Karimunjawa (April) ... 62

4. Arah dan kecepatan arus perairan Kepulauan Karimunjawa (Mei) ... 63

5. Skala angin Beaufort ... 64

6. Keterlindungan wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa ... 65

7. Sebaran kedalaman perairan Kepulauan Karimunjawa ... 66

8. Sebaran kecerahan perairan Kepulauan Karimunjawa ... 67

9. Sebaran salinitas perairan Kepulauan Karimunjawa (April) ... 68

10. Sebaran salinitas perairan Kepulauan Karimunjawa (Mei) ... 69

11. Sebaran suhu perairan Kepulauan Karimunjawa (April) ... 70

(15)

1

1.1 Latar Belakang

Permintaan akan hasil-hasil perikanan pada masa sekarang dan akan datang diperkirakan akan semakin meningkat, hal ini disebabkan banyaknya masyarakat dunia yang semakin sadar akan pentingnya kualitas hidup dari apa yang mereka makan. Salah satu komoditi perikanan penting yang diperjual belikan secara besar yaitu rumput laut. Menurut Sulistijo (2002) perairan

Indonesia merupakan daerah tropik yang memiliki sumberdaya rumput laut yang cukup besar, terdapat kurang lebih 555 jenis rumput laut yang ditemukan.

Budidaya rumput laut menjadi salah satu prospek di bidang perikanan yang cemerlang karena selain memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasaran lokal mapun internasional juga memiliki banyak kegunaan dari hasil olahan seperti makanan, industri farmasi, kosmetika dan makanan kesehatan serta substansi bioaktif yang membuka peluang untuk penemuan obat-obatan. Menurut Sulistijo (2002) rumput laut merupakan komoditas ekonomis penting yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan di perairan Indonesia terutama dari agarofit

(Glacilaria), karaginofit (Eucheuma dan Kappaphycus) dan alginofit (Sargassum dan Turbinaria).

(16)

lahan perikanan budidaya laut yang masih lestari dan belum dimanfaatkan secara optimal, jika dikelola dengan baik maka dapat menjadi peluang peningkatan hasil budidaya laut di daerah ini.

Menurut Kadi dan Sulistijo (1988) terdapat 67 jenis rumput laut yang ditemukan di Kepulauan Karimunjawa. Dari jenis-jenis tersebut, ada empat marga yang memiliki nilai ekonomis penting yaitu : Eucheuma, Gracilaria, Hypnea, dan

Gelidiopsis. Potensi yang cukup besar adalah marga Eucheuma dengan kepadatan

total mencapai 1356,8 g/m2. Marga rumput laut Eucheuma dapat menghasilkan karaginan sekitar 54 – 73 % tergantung dari jenis dan lokasi tempat tumbuhnnya.

Mengingat permintaan pasar yang semakin meningkat maka perlu mengantisipasi permintaan tersebut dengan cara budidaya. Penentuan kawasan budidaya rumput laut secara tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha budidaya ini. Dewasa ini penentuan kesesuaian lokasi budidaya dapat mencakup daerah yang luas dan berkesinambungan. Teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi menjadi pilihan yang baik dalam menentukan kesesuaian lahan budidaya rumput laut.

(17)

Sistem Informasi Geografi merupakan sarana dalam mengumpulkan, menggabungkan, dan mengolah data dari setiap parameter yang diperlukan. Keberadaan Sistem Informasi Geografi dapat mempermudah pengolahan data dengan struktur yang kompleks dengan jumlah yang besar secara efisien dan dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan yang tepat.

1.2 Tujuan

(18)

4

2.1 Kondisi Umum Taman Nasional Karimunjawa

Kepulauan Karimunjawa secara geografis terletak sekitar 45 mil atau 83 kilometer di barat laut Kota Jepara, dengan ketinggian tempat 0 - 506 mdpl. Secara geografis lokasi ini terletak antara 5°40’39”-5°55’00” LS dan 100°05’57”- 110°31’15” BT dengan luas wilayah 169.680 ha, lokasi Taman Nasional Karimunjawa dapat dilihat pada Gambar 1. Secara administratif wilayah ini termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Dati II Jepara, Jawa Tengah. Kecamatan Karimunjawa terbagi atas 3 desa, yaitu: Desa Karimunjawa, Desa Kemujan dan Desa Parang (BPP, 2003). Taman Nasional Karimunjawa merupakan gugusan pulau-pulau yang jumlahnya 22 pulau, namun hanya empat pulau yang berpenghuni yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, dan Pulau Nyamuk dengan jumlah penduduk kurang lebih 9.054 jiwa.

Umumnya kondisi pesisir daerah ini yaitu pantai berpasir putih dan sangat landai yang menjorok ke tengah laut. Fringing reefs mengelilingi pulau-pulau dan menjadikan daerah ini terlindung dari hempasan gelombang. Di tengah perairan banyak terdapat terumbu karang yang muncul kepermukaan, dua diantaranya yang besar adalah Karang Kapal dan Karang Katang (BTNKJ, 2010).

Taman Nasional Karimunjawa memiliki iklim tropis, kondisi ini

(19)

gelombang 300 meter dari garis pantai berkisar antara 15 – 18 cm, dan kecepatan arus berkisar antara 13,2 – 40,2 cm/detik (BPP, 2003).

Gambar 1. Lokasi Taman Nasional Karimunjawa

Pulau Karimunjawa merupakan pulau berbukit dengan dataran pesisir yang sempit. Dataran pesisir yang agak lebar terdapat di sebelah selatan,

sedangkan di sebelah barat, utara, dan timur lebih sempit. Material dari daratan ke perairan laut sekitarnya biasanya terbawa oleh sungai, sebagaian material halus lainnya terbawa oleh angin dan pada saat hujan maka material tersebut jatuh ke perairan (Selley, 1976 in Helfinalis, 1999).

Kawasan Karimunjawa pada awalnya merupakan kawasan cagar alam laut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/Kpts-II/1986 tanggal 9 April tahun 1986. Kemudian melalui surat Menteri Kehutanan No.

161/Menhut-II/1988 tanggal 23 Februari tahun 1988, kawasan tersebut

(20)

sebagai Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa. Taman Nasional Karimunjawa memiliki luas 111.625 ha meliputi 22 pulau. SK Menteri Kehutanan No. 74/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret tahun 2001 yang merupakan keputusan terbaru tentang penetapan sebagai kawasan Taman Nasional

Karimunjawa seluas 110.117,30 ha kawasan perairan dan luas kawasan darat Karimunjawa 1.285,50 ha dan darat Kemujan 222,20 ha, dan dikelola dengan sistem zonasi. Sistem zonasi yang telah ada direvisi pada tahun 2005. Dasar pertimbangan revisi zona antara lain adalah adanya kerusakan ekosistem pada kawasan zona inti perairan (BTNKJ, 2010).

Keputusan Direktorat Jenderal PHKA No. SK. 79/IV/Set-3/2005 tanggal 30 Juni tahun 2005 tentang revisi zonasi di Taman Nasional Karimunjawa seluas 111.625 ha adalah sebagai berikut :

1. Zona Inti meliputi sebagian perairan Pulau Kumbang, Perairan Taka Menyawakan, Perairan Taka Malang, dan Perairan Tanjung Bomang.

2. Zona Perlindungan meliputi hutan tropis dataran rendah dan hutan mangrove serta wilayah perairan Pulau Geleang, Pulau Burung, Tanjung Gelam, Pulau Sintok, Pulau Cemara Kecil, Pulau Katang, Gosong Selikur, dan Gosong Tengah.

3. Zona Pemanfaatan Pariwisata meliputi perairan Pulau Menjangan Besar, Pulau Menjangan Kecil, Pulau Menyawakan, Pulau Kembar, sebelah timur Pulau Kumbang, Pulau Tengah, Pulau Bengkoang, Indonor, dan Karang Kapal. 4. Zona Permukiman meliputi Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang,

(21)

5. Zona Rehabilitasi meliputi perairan sebelah timur Pulau Parang, sebelah timur Pulau Nyamuk, sebelah barat Pulau Kemujan, dan sebelah barat Pulau

Karimunjawa.

6. Zona Budidaya meliputi perairan Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Menjangan Besar, Pulau Menjangan Kecil, Pulau Parang, dan Pulau Nyamuk. 7. Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional meliputi seluruh perairan di luar zona

yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa.

(22)
(23)

2.2 Taksonomi dan Morfologi Rumput Laut

Secara biologi rumput laut (seaweed) termasuk dalam anggota alga. Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi (fisik, kimia, dan pergerakan atau dinamika air laut) serta jenis substrat dasarnya (DKP, 2006). Secara morfologi rumput laut tidak

memperlihatkan perbedaan secara visual antara akar, batang, dan daun sejati. Keseluruhan dari tubuh rumput laut memiliki bentuk yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda.

Ada banyak spesies dari rumput laut yang telah berhasil dibudidayakan, namun pada tahun-tahun terakhir Eucheuma lebih mudah dikembangkan.

Anggadiredja et al. (2006) menjelaskan sistematika klasifikasi taksonomi rumput laut jenis Eucheuma cottonii sebagai berikut :

Divisio : Thallophyta Filum : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigarnitales Famili : Solieriaceae Genus : Eucheuma

Spesies : Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii)

Berbeda dengan ganggang lain, rumput laut tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Secara keseluruhan tubuhnya disebut sebagai thallus. Ciri-ciri

Eucheuma cottonii yaitu thallus silindris, permukaan tubuh licin, warna hijau

(24)

hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi sebabkan oleh faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan faktor adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan.

Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), dan duri-duri lunak. Percabangan bersifat alternatus

(berseling), tidak teratur, serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (percabangan tiga-tiga). Untuk pertumbuhan, rumput laut mengambil nutrisi dari sekitarnya secara difusi melalui dinding thallus. Rumput laut ini hanya dapat hidup pada lapisan fotik yaitu pada kedalaman dimana sinar matahari masih dapat mencapainya, tumbuhan ini memerlukan cahaya matahari guna proses fotosintesis untuk tubuhnya (Anggadiredja et al., 2006).

2.3 Parameter Ekologis dan Metode Budidaya Rumput Laut

Rumput laut tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, pasir, batu, dan benda keras lainnya. Pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sebagian besar spesies rumput laut.

2.3.1 Parameter Ekologis Budidaya Rumput Laut

Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi dari biota tersebut untuk beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan seperti : substrat, salinitas, suhu, dan intensitas cahaya. maka perlu diperhatikan berbagai parameter yang mendukung pertumbuhan rumput laut itu sendiri, berikut beberapa parameter yang perlu diperhatikan :

(25)

penghalang ataupun gosong yang dapat meredam kekuatan gelombang (Sulistijo, 2002).

2. Pergerakan air atau arus di lokasi budidaya terjadi secara terus menerus dengan kecepatan arus berkisar antara 20-40 cm/detik (DKP, 2006).

3. Dasar perairan yang paling baik adalah substrat berbatu karang mati dengan variasi suhu harian yang kecil (Aslan, 1998). Dasar yang sedikit berlumpur masih baik untuk penanaman dengan sistem tanam rakit atau rawai (long-line) (DKP, 2006).

4. Kecerahan perairan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut harus jernih, terhindar dari sedimentasi atau intrusi air sungai yang besar. Kecerahan perairan optimal pada kisaran 2 – 5 meter (DKP, 2006).

5. Salinitas perairan pada lokasi sebaiknya dalam kondisi kadar garam air laut sekitar 28 - 35 ppt (DKP, 2006).

6. Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma spp adalah 0,3 – 0,6 meter pada waktu surut terendah untuk metode lepas dasar, 2 – 15 meter untuk metode rakit apung, dan 5 – 20 meter untuk metode rawai (long-line) (DKP, 2006).

(26)

2.3.2 Metode Budidaya Rumput Laut

Metode penanaman rumput laut pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi perairan pantai setempat. Ada tiga macam metode penanaman rumput laut yaitu sistem dasar, sistem lepas dasar, sistem rakit apung (Kadi, 2004). Namun untuk jenis Eucheuma ada tiga metode (sistem) yang dikenal masyarakat serta

dikembangkan secara luas yaitu : sistem lepas dasar, sistem rakit bambu (apung), dan sistem tali rawai (long-line) (Anggadiredja et al., 2006).

1. Sistem lepas dasar

Kerangka dibuat dengan patok kayu atau bambu di dasar perairan untuk mengikatkan tali ris, jarak antar tali ris 25 cm dan jarak antar rumpun tanaman 15-25 cm, sedangkan jarak tanaman dengan dasar perairan 30-50 cm. Sketsa

penanaman rumput laut dengan sistem lepas dasar dapat dilihat pada Gambar 3. Sistem ini diterapkan pada lokasi yang dasar perairannya pasir berbatu karang mati, air jernih, dan pergerakan arus kuat dan terus menerus. Sistem ini diterapkan di Bali (Nusa Dua, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan Nusa Pedina) dan di Lombok (Gerupuk Lombok Tengah) (Sulistijo, 2002). Sistem lepas dasar cocok digunakan pada daerah dengan substrat pasir dengan pecahan karang, dikelilingi karang pemecah gelombang (barrier reef) sehingga daerah tersebut terlindung dari hempasan gelombang, dan kedalaman perairan sekitar 0,5 m pada surut terendah dan 3 m pada saat pasang tertinggi (Anggadiredja et al., 2006). 2. Sistem rakit bambu (apung)

Kerangka rakit dapat dibuat ukuran yang bervariasi, misalnya 5 m x 2,5 m, 5 m x 5 m, tali ris berjarak 25 cm satu dengan yang lainnya, jarak antar rumpun tanaman 15-25 cm, biasanya kedalaman perairan sekitar 2-15 m. Sketsa

(27)

Sistem ini banyak diterapkan di Lampung, Kepulauan Seribu, Madura, Banyuwangi, Lombok Timur dan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan (Sulistijo, 2002).

3. Sistem tali rawai (long-line)

Tali nilon sebagai tali ris yang direntangkan pada dua ujung patok atau pun jangkar sepanjang 25-100 m, rumpun rumput laut diikat pada tali ris dengan jarak antar tanaman 20-50 cm dan pada jarak tiap 2-5 m diberi pelampung (botol plastik). Tali rawai ini dapat dirangkai antara 4-5 jalur, jarak tiap tali rawai antara 1-2 m. Sistem ini kini sangat populer pengembangannya, hampir di seluruh lokasi yang kedalamnnya antara 2-10 m yang mudah dijumpai di wilayah perairan Indonesia. Disamping itu sistem ini dapat menghemat kerangka rakit bambu yang cukup mahal dan terbatas. Sketsa penanaman rumput laut dengan sistem tali rawan/rentang dapat dilihat pada Gambar 5 (Sulistijo, 2002).

(28)

Gambar 4. Sketsa penanaman rumput laut sistem rakit bambu (Sumber : Sulistijo, 2002)

Gambar 5. Sketsa penanaman rumput laut sistem tali rawai (long-line) (Sumber : Sulistijo, 2002)

(29)

laut di dekat dasar perairan lebih banyak sehingga membuat rumput laut menjadi rusak (Sulistijo, 2002).

Pada saat ini sistem tali rawai banyak digunakan untuk budidaya rumput laut pada perairan dangkal di Indonesia, sebenarnya sistem ini sama baiknya dengan sistem rakit bambu. Namun, sistem tali rawai lebih efisien karena sistem ini dapat menghemat kerangka rakit bambu yang harganya cukup mahal dan jumlahnya terbatas (Sulistijo, 2002).

2.4 Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Budidaya Rumput Laut

Dalam penentuan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut harus

diperhatikan beberapa parameter yang mendukung bagi pertumbuhan rumput laut tersebut. Pengambilan data insitu untuk cakupan area yang luas akan meyebabkan banyaknya dana yang harus dikeluarkan dan memerlukan waktu yang lebih lama dalam pengambilan data insitu. Dewasa ini teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat memudahkan dalam memperoleh data maupun mengolah data dengan cakupan area yang luas.

Teknologi penginderaan jauh membantu dalam memperoleh data lebih cepat dalam waktu bersamaan dengan areal yang luas. Data penginderaan jauh dapat diproses sesuai dengan faktor yang akan ditampilkan. Data yang dapat dihasilkan oleh citra satelit (Landsat 7 ETM+) untuk budidaya laut bermacam-macam seperti : klorofil-a, suhu permukaan laut, dan muatan padatan tersuspensi (Arief dan Laksmi, 2006). Data lain yang dapat dihasilkan yaitu data

(30)

analisis suatu data tersebut harus memiliki suatu rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapang (Purwadhi, 2001). Data yang di dapat dari pengolahan citra kemudian diolah dengan bantuan sistem informasi geografis.

Sistem Informasi Geografis merupakan salah satu pilihan dalam

penentuan lokasi ideal untuk pengembangan budidaya laut. SIG dapat digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya (Prahasta, 2002). Dalam penentuan kesesuaian lokasi budidaya rumput laut, SIG menjadi pilihan yang tepat dalam pengambilan keputusan kesesuaian lahan budidaya rumput laut , SIG dapat memadukan beberapa data dan informasi tentang budidaya perikanan dalam bentuk lapisan (layer) yang nantinya dapat ditumpanglapiskan (overlay) dengan data lainnya, sehingga menghasilkan suatu keluaran baru dalam bentuk peta tematik yang mempunyai tingkat efisiensi dan akurasi yang cukup tinggi (Ariyati

et al., 2007).

(31)

17

3. METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di Perairan Taman Nasional Karimunjawa. Secara geografis terletak antara 5°40’39”- 5°55’00” LS dan 110°05’57”- 110°31’15” BT. Gambar 6 di bawah merupakan tampilan peta lokasi penelitian Taman Nasional Karimunjawa (Zona Budidaya: P. Kemujan, P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Parang, dan P. Nyamuk).

(32)

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini dari proses pengumpulan, pengolahan hingga hasil akhir yaitu:

1. GPS (Global Positioning System) jenis Garmin - etrex 2. Alat Dasar Selam

3. Seperangkat komputer

4. Perangkat lunak image processing

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Citra Landsat 7 ETM+ Akuisisi 4 Mei 2009

2. Data sekunder ( Arus, Suhu Permukaan Laut, Salinitas, dan Kecerahan) bulan April (Natih et al., 2009) dan bulan Mei (Hikmah, 2009).

3. Peta Batimetri Pulau - Pulau Karimunjawa dari Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, skala 1:100000, tahun 2005.

4. Data angin periode Januari – Desember 2009, interval 6 jam (Pukul 00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00) diunduh dari http://www.ecmwf.int.

5. Peta Zonasi Taman Nasional Karimunjawa dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, tahun 2005.

3.3 Pengumpulan Data

(33)

permukaan laut. Data substrat dasar perairan dan keterlindungan didapat dari hasil pengolahan citra. Dalam pengolahan data, perlu diperhatikan pola musiman, dimana setiap terjadi perubahan musim maka kondisi dari parameter fisik dan kimia periaran yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut juga akan berubah.

3.4 Pengolahan Citra Landsat dan Data

Pengolahan citra bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari instansi sehingga dapat melengkapi dari parameter penentu kesesuaian lokasi budidaya rumput laut . Tahap awal yang dilakukan dalam pengolahan citra yaitu

cropping, koreksi radiometrik, dan transformasi citra. Cropping bertujuan untuk

membatasi daerah penelitian. Koreksi radiometrik bertujuan menghilangkan faktor-faktor yang menurunkan kualitas citra. Transformasi citra dilakukan untuk mendapatkan informasi (data) substrat dasar perairan dan keterlindungan lokasi.

Data keterlindungan, substrat dasar perairan, dan batimetri dianggap tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam jangka waktu yang singkat, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk bulan April dan Mei. Data arus, salinitas, dan suhu permukaan laut pada masing-masing bulan (April dan Mei).

(34)

Gambar 7. Diagram alir penelitian

Tahap awal yaitu data sekunder (arus, salinitas, suhu permukaan laut, kecerahan, dan batimetri) digabungkan dengan data hasil penajaman citra Landsat (substrat dasar perairan dan keterlindungan lokasi). Tahap kedua yang dilakukan yaitu membuat kriteria kesesuaian budidaya rumput laut yang mengacu pada studi pustaka dan dikonsultasikan pada pakar yang kompeten dibidang perikanan. Selanjutnya pembuatan peta tematik dari setiap parameter berdasarkan kriteria kesesuaian. Kemudian menumpang susunkan setiap parameter masing-masing bulan dan dianalisis secara SIG dengan metode scoring, maka didapatkan hasil kesesuaian budidaya rumput laut pada periode bulan April - Mei.

3.4.1 Penajaman Citra untuk Substrat Perairan Dangkal

Pengolahan citra Landsat untuk pemetaan substrat dasar perairan dangkal dilakukan penajaman citra dengan pendekatan standard exponential attenuation

model. Metode ini efektif untuk membangun peta tematik terumbu karang dengan

menghasilkan “depth invariant index” atau karakteristik dasar perairan (Green et Penajaman citra

2. Salinitas (April & Mei) 3. Suhu (April & Mei) 4. Kecerahan 5. Batimetri

Pembuatan peta tematik

Daerah kesesuaian budidaya

(35)

al., 2000). Algoritma ini menggunakan band 1 dan band 2 dari citra Landsat, 3.4.2 Pengolahan Data Kesesuaian Lahan

Dari hasil pengolahan citra awal dan pengumpulan basis data maka kita perlu melakukan penentuan matriks kesesuaian lokasi budidaya, pembobotan setiap parameter didasarkan pada dominasi pengaruh parameter dalam penentuan kesesuaian wilayah untuk budidaya tersebut. Pemberian skor dilakukan untuk menilai faktor pembatas pada setiap parameter.

Dalam melakukan analisis spasial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu penyusunan basis data spasial dan teknik tumpang susun : a) Penyusunan basis data

Penyusunan basis data spasial dimaksudkan untuk membuat peta tematik secara digital yang dimulai dengan peta dasar, pengumpulan data (kompilasi data) sampai tahap overlaying. Pada penelitian ini jenis data yang dipakai adalah data yang berkaitan dengan budidaya rumput laut seperti salinitas, arus, kecerahan, kedalaman, substrat perairan, keterlindungan, dan suhu permukaan laut.

(36)

dengan bantuan Extention Gird Contur sehingga terbentuk kontur, selanjutnya kontur tersebut di convert to polygon yang menghasilkan tema itu sendiri. Hasil dari poligon atau coverage (layer) ini yang digunakan untuk proses overlay. b) Proses Tumpang Susun (overlay)

Sebelum proses tumpang susun dilakukan, setiap tema dinilai tingkat pengaruhnya terhadap penentu kesesuaian lahan. Pemberian nilai pada masing-masing tema ini menggunakan pembobotan (weighting). Setiap tema dibagi dalam beberapa kelas (yang disesuaikan dengan kondisi daerah penelitian) diberi skor sangat sesuai, sesuai, dan tidak sesuai. Setiap kelas akan memperoleh nilai akhir yang merupakan hasil dari penjumlahan skor dari semua parameter.

3.5 Pembobotan Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut

Setiap parameter memiliki skor yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengaruh dari masing-masing parameter terhadap hasil akhir kesesuaian lahan rumput laut. Tabel 1 berikut merupakan penilaian setiap parameter untuk kesesuaian lahan budidaya rumput laut :

Tabel 1. Kriteria kesesuaian budidaya rumput laut

Sumber : DKP (2006); SNI (2010) 1 Keterlindungan Terbuka Terlindung Sangat

Terlindung

(37)

Setiap zona akan memiliki nilai kesesuaian dari setiap parameter yang dianggap paling penting dalam penentuan kesesuaian lahan. Didasarkan pada perhitungan dengan rumus sebagai berikut (scoring) :

N = Σ(Bi x Si) ... (2) Dimana : N = Total bobot nilai

Bi = Bobot pada tiap kriteria Si = Skor pada tiap kriteria

Interval kelas kesesuaian lahan diperoleh berdasarkan metode Equal

Interval (Prahasta, 2002), selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian

nilai maksimum tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai

minimumnya yang kemudian dibagi jumlah kelas, kelas kesesuaian dibagi 3 yaitu sangat sesuai, sesuai, dan tidak sesuai. Maka dapat dinyatakan dengan rumus dibawah ini :

Selang tiap kelas = Σ (Bi x Si)max – Σ (Bi x Si)min ... (3)

3

Berdasarkan rumus di atas, selang masing-masing kelas ditetapkan nilainya sebagai berikut :

Kelas sangat sesuai (S1) : 44 - 60 Kelas sesuai (S2) : 28 - 43 Kelas tidak sesuai (S3) : 12 - 27

Masing-masing kelas di atas didefinisikan sebagai berikut (Suwargana et

al., 2006) :

(38)

masukan yang diperlukan sehingga melampaui batas-batas yang masih dapat diterima. Kelas sesuai (S2), lahan yang tergolong dalam kelas ini memiliki faktor pembatas yang dapat mengurangi tingkat produksi atau keuntungan yang

diperoleh. Pembatas yang ada meningkatkan masukan atau biaya yang diperlukan. Kelas tidak sesuai (S3), lahan ini disarankan untuk dibiarkan tanpa dikelola atau dikelola secara alami, karena faktor pembatasnya bersifat permanen.

Selain faktor ekologis diatas ada faktor-faktor lain yang perlu

dipertimbangkan yaitu : faktor resiko (keamanan, keterlindungan, dan konflik) dan kemudahan (aksesibilitas), faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan

(39)

25 4.1 Substrat Dasar Perairan Dangkal

Pengolahan citra untuk mendapatkan penampakan substrat dasar perairan maka dilakukan transformasi citra dengan pendekatan “Standard Exponential

Attenuation Model”. Dilakukan ekstrak nilai digital band 1 dan band 2 dari citra

Landsat 7 ETM+ sehingga didapatkan nilai koefisien attenuasi perairan (ki/kj) yaitu 2,357859718 (contoh perhitungan pada Lampiran 1). Setelah didapat nilai koefisien attenuasi perairan (ki/kj) maka persamaan algoritmanya yaitu Y= ln (Band1) – 2,357859718*ln (Band2).

Dari hasil transformasi citra maka didapatkan perbedaan penampakan pada citra antara karang hidup, karang mati, lamun/makro alga, dan pasir. Karang hidup berwarna cyan, karang mati berwarna merah, lamun/makro alga berwarna merah menuju kuning (bercak coklat), dan pasir berwarna kuning.

Substrat dasar perairan di Taman Nasional Karimunjawa lebih didominasi oleh pasir kemudian karang hidup, lamun/makro alga, dan karang mati. Luas masing-masing substrat dasar perairan dapat dilihat pada Tabel 2. Umumnya substrat dasar yang mengelilingi pulau-pulau di Taman Nasional Karimunjawa dimulai dengan substrat pasir, lamun/makro alga, karang mati, dan karang hidup (Lampiran 2). Klasifikasi substrat dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 2. Luas substrat dasar perairan Kepulauan Karimunjawa

Substrat dasar Luas (m2) Luas (ha)

Karang hidup 16282380 1628,23

Karang mati 13631442 1363,14

Lamun / makro alga 15812335 1581,23

(40)

26

(41)

Substrat dasar perairan pada zona budidaya lebih didominasi oleh substrat dasar pasir, lamun/makro alga, dan karang mati, hanya sedikit karang hidup. Substrat dasar karang hidup dominan berada diluar zona budidaya, kondisi seperti ini menunjukan hasil yang baik karena kegiatan budidaya rumput laut dapat dimaksimalkan pada zona budidaya tanpa mengganggu karang hidup yang ada di Taman Nasional Karimunjawa. Persentase substrat dasar perairan pada zona budidaya dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Komposisi substrat dasar perairan pada zona budidaya Hasil ini pun tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya (DKP, 2005) dimana substrat dasar perairan di masing-masing pulau didominasi oleh substrat dasar pasir, persentase substrat dasar perairan di masing-masing pulau tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 3. Dasar perairan berupa berupa karang, pecahan karang, dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut, kondisi seperti ini menunjukan adanya pergerakan air yang baik

(42)

teraduk di kolom perairan dan akan menutupi rumpun rumput laut (Sulistijo, 2002).

Tabel 3. Persentase substrat dasar perairan P. Kemujan, P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar dan Kecil, dan P. Nyamuk.

Jenis Substrat

Persentase (%) substrat dasar perairan

Kemujan Karimunjawa Menjangan

Besar

Pola pergerakan arus permukaan sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin. Arus perairan di Taman Nasional Karimunjawa pada bulan April berkisar antara 0,23 – 0,42 m/s. Dapat dilihat pada Lampiran 3 pola sebaran arus permukaan laut bergerak dari arah utara menuju selatan, kecepatan arus besar pada bagian selatan Taman Nasional Karimunjawa. Kecepatan arus bulan April pada zona budidaya berkisar antara 0,28 – 0,35 m/s (Gambar 11). Pada bulan Mei arus perairan berkisar antara 0,2 – 0,3 m/s (Gambar 12). Kecepatan arus di bagian barat lebih besar dari pada bagian timur Taman Nasional Karimunjawa dan arah arus bergerak kearah barat dan utara. Sebaran arus permukaan laut pada bulan Mei dapat dilihat pada Lampiran 4.

Kecepatan arus pada zona budidaya bulan April dan Mei menunjukan kondisi yang baik untuk dilakukan budidaya rumput laut, kecepatan arus pada dua bulan tersebut berkisar antara 0,2 – 0,35 m/s. Di Laut Jawa pada musim

(43)

dibeberapa tempat terjadi olakan-olakan (eddies). Biasanya dalam Musim Pancaroba ini arus sudah mengalir ke barat dipantai selatan Kalimantan

sedangkan dilepas pantai utara Jawa arus masih mengalir ke timur (Nontji, 2005). Pola pergerakan arus di Kepulauan Karimunjawa pada Pancaroba 1 (April – Juni) bergerak dari arah barat laut, utara, dan timur laut menuju selatan. Arah arus dapat dilihat pada Gambar 10 (DKP, 2005).

Gambar 10. Arah arus pada musim Pancaroba 1 (April – Juni) Kepulauan Karimunjawa

(44)
(45)
(46)

4.3 Angin

Kecepatan angin bulanan tahun 2009 di daerah Kepulauan Karimunjawa berkisar antara 0,5 – 11 m/s. Keterangan arah dan kecepatan angin dapat dilihat pada Gambar 13 dan Tabel 4. Pada musim Barat (Desember – Maret) angin dominan bertiup dari arah barat dengan kecepatan berkisar antara 5,7 – 8,8 m/s, pada bulan Februari kecepatan angin mencapai maksimum yaitu berkisar antara 8,8 – 11 m/s. Musim Pancaroba 1 (April – Mei) arah angin bervariasi dari arah barat dan timur dengan kecepatan berkisar antara 3,6 – 5,7 m/s. Musim timur (Juni – Agustus) arah angin dominan berasal dari arah timur dengan kecepatan berkisar antara 3,6 – 5,7 m/s. Pada musim Pancaroba 2 (September – November) arah angin bervariasi dari arah barat dan timur laut dengan kecepatan berkisar antara 3,6 – 5,7 m/s.

(47)

(48)

(49)

Tabel 4. Arah dan kecepatan angin bulan Januari – Desember tahun 2009 di daerah penelitian (Sumber : ECMWF, 2010)

(50)

4.4 Keterlindungan Lokasi

Keterlindungan lokasi menjadi salah satu faktor penting dalam budidaya rumput laut. Arus dan gelombang besar akan menyebabkan kerusakan pada konstruksi budidaya rumput laut, selain itu tanaman rumput laut juga akan rontok atau rusak (DKP, 2006). Penentuan keterlindungan lokasi dilakukan dengan membuat komposit citra dan dilakukan training area menggunakan klasifikasi

supervis, sehingga didapatkan kelas baru berupa keterlindungan lokasi. Lokasi

terlindung terdapat pada daerah teluk atau selat yang sempit, daerah laguna (goba), dan daerah rataan karang (Sulma et al.,2005). Pada daerah yang memiliki tutupan karang yang panjang akan berguna untuk meredam gelombang. Perairan terbuka yang mengalami hempasan gelombang besar dan angin kuat tidak direkomendasikan sebagai daerah budidaya rumput laut.

(51)

37

(52)

4.5 Batimetri

Batimetri perairan Kepulauan Karimunjawa berkisar antara 0 – 55 meter. Kedalaman perairan yang mengelilingi pulau-pulau dan gosong di Taman Nasional Karimunjawa relatif dangkal. Dapat dilihat pada Lampiran 7 sebaran kedalaman perairan semakin dalam saat menuju laut lepas. Kedalaman perairan pada zona budidaya tergolong sesuai untuk dilakukan metode tali rawai karena kedalaman perairan berkisar antara 0 – 30 meter (Gambar 15). Namun pada daerah dekat darat kurang sesuai untuk metode tali rawai karena kedalaman perairan kurang dari 5 meter.

(53)

39

(54)

4.6 Kecerahan

Nilai kecerahan perairan di Taman Nasional Karimunjawa tergolong baik, kecerahan perairannya mencapai 15 meter. Tingkat kecerahan yang tinggi

diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara

sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis (DKP, 2006). Faktor yang mempengaruhi kecerahan diantaranya kandungan lumpur, plankton, dan bahan-bahan terlarut lainnya.

(55)

41

(56)

4.7 Salinitas

Salinitas perairan di Kepulauan Karimunjawa pada bulan April berkisar antara 32,05 – 32,2 ppt. Sebaran salinitas bulan April di Kepulauan Karimunjawa dapat dilihat pada Lampiran 9 dan pada zona budidaya salinitas berkisar antara 32,07 – 32,15 ppt (Gambar 17). Salinitas perairan pada bulan Mei berkisar antara 30 – 34 ppt dan pada zona budidaya berkisar antara 31 – 34 ppt (Gambar 18). Sebaran salinitas bulan Mei di Kepulauan Karimunjawa dapat dilihat pada Lampiran 10. Dapat dilihat sebaran salinitas baik pada bulan April maupun Mei, bagian barat Taman Nasional Karimunjawa nilai salinitasnya lebih tinggi

dibandingkan bagian timur.

Pada zona budidaya Pulau Kemujan bagian timur dan Pulau Karimunjawa kisaran salinitasnya lebih rendah dibanding pada zona budidaya di pulau lain, hal ini dikarenakan pada zona budidaya Pulau Kemujan bagian timur dan Pulau Karimunjawa di pengaruhi oleh muara sungai di daerah tersebut (Lampiran 9 dan 10).

Rumput laut Eucheuma tumbuh baik pada salinitas tinggi berkisar 28 – 35 ppt. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk secara berlebih akan

menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal (DKP, 2006). Daerah yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara sungai (Anggadiredja et al., 2006). Salinitas di zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa tergolong optimum (sesuai) untuk budidaya rumput laut

(57)

43

(58)

44

(59)

4.8 Suhu

Nilai suhu perairan di Kepulauan Karimunjawa pada bulan April,berkisar antara 29,96 – 30,37 oC, sebaran suhu permukaan laut pada bulan April dapat dilihat pada Lampiran 11 dan pada zona budidaya berkisar antara 30,1 – 30,24 oC (Gambar 19). Pada bulan Mei nilai suhu perairan di Kepulauan Karimunjawa berkisar antara 25 - 32 oC, sebaran suhu permukaan laut pada bulan Mei dapat dilihat pada Lampiran 12. Suhu permukaan laut bulan Mei pada zona budidaya berkisar antara 27 - 32 oC (Gambar 20). Kondisi ini menunjukan bahwa suhu permukaan laut tergolong baik untuk dilakukan kegiatan budidaya rumput laut pada bulan April dan Mei.

Suhu permukaan laut rata-rata tahunan Pulau Karimunjawa adalah 29 oC, P. Kemujan adalah 30 oC, P. Menjangan Besar adalah 28 oC, P. Menjangan Kecil adalah 30 oC, P. Nyamuk adalah 30 oC, dan P. Parang adalah 30 oC (BTNKJ, 2010). Suhu memiliki peranan penting dalam proses tumbuh rumput laut.

(60)

46

(61)

47

(62)

4.9 Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut

Sebelum menentukan kesesuaian lahan budidaya rumput laut, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : faktor resiko (keamanan,

keterlindungan, dan konflik), kemudahan (aksesibilitas), dan faktor ekologis (DKP, 2006). Dari faktor resiko dan kemudahan, Taman Nasional Karimunjawa dirancang dengan sistem zonasi salah satu tujuannya untuk menghindari adanya konflik penggunaan lahan, letak zonasi budidaya yang dekat dengan daratan dan pemukiman sehingga akan mudah dalam mengontrol kegiatan budidaya tersebut.

Setelah dilakukan pembobotan dan skoring serta overlay ( tumpang

susun) dari ketujuh parameter (substrat dasar perairan, keterlindungan, kedalaman perairan, kecerahan, arus, salinitas, dan suhu permukaan laut) dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan bulan April - Mei pada zona budidaya Taman Nasional Karimunjaya berada dalam tingkatan sesuai dan sangat sesuai. Luas daerah kesesuaian budidaya rumput laut dapat dilihat pada Tabel 5.

Pada hasil akhir penentuan kesesuaian lahan budidaya rumput laut (metode

long-line) harus diperhatikan juga parameter penentu lain dalam hal ini yaitu

(63)

Tabel 5. Luas daerah kesesuaian budidaya rumput laut setiap pulau

Pulau Kesesuaian Luas (ha) Luas (%)

Karimunjawa sangat sesuai 133.63 91.38

sesuai 12.61 8.62

Kemujan sangat sesuai 376.67 85.86

sesuai 62.01 14.14

Menjangan besar sangat sesuai 4.11 35.48

sesuai 7.48 64.52

Menjangan kecil sangat sesuai 2.90 60.44

sesuai 1.90 39.56

Nyamuk sangat sesuai 29.21 100

Parang sangat sesuai 282.42 97.72

sesuai 6.58 2.28

Pada bulan April dan Mei daerah yang sangat sesuai (S1) untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut seluas 828,93 ha (90,14 % dari luas lokasi penelitian) dan daerah yang sesuai (S2) untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut seluas 90,57 ha (9,85 % dari luas lokasi budidaya). Lokasi kesesuaian budidaya rumput laut di tiap pulau dapat dilihat pada Gambar 21, 22, 23, 24, dan 25.

Hasil penelitian yang didapat jika dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya oleh Ariyati et al.(2007) tidak berbeda jauh, Pulau Kemujan (Perairan Telaga) mempunyai luas wilayah yang paling besar bagi pengembangan budidaya rumput laut. Kualitas air yang disyaratkan bagi pertumbuhan optimum rumput laut memenuhi nilai kesesuaian, sehingga Perairan Telaga merupakan lahan yang paling sesuai bagi budidaya rumput laut. Salah satu contoh, substrat dasar perairan pada Pulau Kemujan lebih di dominasi oleh karang mati (pecahan karang)

sedangkan pada zona pulau lain lebih di dominasi oleh substrat pasir dan

(64)

terdiri dari potongan-potongan karang mati dan pasir berarti pergerakan airnya cukup (baik), tidak lemah dan tidak kuat. Pada penelitian Ariyati et al.(2007) faktor pembatas yang mengurangi tingkat kesesuaian terhambat pada faktor tinggi gelombang (Septeber – Oktober). Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Mei, arus tidak terlalu besar dan kondisi angin sebagai pembentuk gelombang juga kecil sehingga pada periode ini baik untuk dilakukan kegiatan budidaya.

Zona budidaya rumput laut sudah dirancang dengan baik dari segi kemudahan (aksesibilitas) dimana zona budidaya berada dekat dengan zona pemukiman. Jarak zona budidaya terluar juga tidak terlalu jauh yaitu berkisar antara 300 – 500 meter dari garis pantai. Hal ini baik dalam hal pengontrolan dan pemanenan rumput laut.

(65)

51

(66)

52

(67)

53

(68)

54

(69)

55

(70)

56 5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data menunjukan bahwa kesesuaian lahan budidaya rumput laut pada bulan April - Mei tahun 2009 di zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa berada pada tingkatan “sesuai dan sangat sesuai”. Pada bulan April dan Mei daerah yang sangat sesuai (S1) untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut seluas 828,93 ha (90,14 % dari luas lokasi budidaya) dan daerah yang sesuai (S2) untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut seluas 90,57 ha (9,85 % dari luas lokasi budidaya).

5.2 Saran

(71)

57

Anggadiredja, J.T., A. Zatnika, H. Purwoto, dan S.Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Bogor.

Arief, M. dan W.L. Laksmi. 2006. Analisis Kesesuaian Perairan Tambak di Kabupaten Demak Ditinjau Dari Nilai Klorofil-a, Suhu Permukaan Perairan, dan Muatan Padatan Tersuspensi Menggunakan Data Citra Satelit Landsat ETM 7+. Jakarta. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra

Digital. 3(1): 108-118.

Ariyati, R.W., L. Sya’rani, dan E. Arini. 2007. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Pasir Laut. 3(1): 27-45. Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta

Badan Penelitian dan Pengembangan. 2003. Penelitian Identifikasi dan Penyelamatan Ekosistem Terumbu Karang Bagi Nelayan Kecil di Karimunjawa. Jawa Tengah.

Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2005. Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten Jepara. BTNK. Semarang

Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2010. www. karimunjawanationalpark.org [20 Juli 2010]

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut Eucheuma spp. Jakarta.

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2005. Potensi Budidaya Rumput Laut Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara. Semarang

Green E.P., P.J. Mumby., A.J. Edwards., dan C.D. Clark. 2000. Mapping Bathymetry. P : 219-233 in Edwards, A. J. (ed.) Remote Sensing

Handbook for Tropical Coastal Management. UNESCO Publishing. Paris. Helfinalis. 1999. Sebaran di Rataan Terumbu dan Suspensi Permukaan di Sebelah

Barat Perairan Pulau Karimunjawa. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta : dipresentasikan pada KIPNAS VII, 9-11 September 1999

Hikmah, R. 2009. Kerusakan Terumbu Karang di Kepulauan Karimunjawa. Skripsi. Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Jakarta.

(72)

Kadi, A. dan Sulistijo. 1988. Inventarisasi Jenis – jenis Rumput Laut di Karimun Jawa. Balai Penelitian dan Pengembangan Laut, P2O-LIPI. Jakarta.

Met Office. 2010. Beaufort Wind Force Scale.

http://www.metoffice.gov.uk/weather/marine/guide/beaufortscale.html. [8 November 2010]

Mubarak, H. 1981. Budidaya Rumput Laut. Fisheries and Aquaculture Department – FAO. Bali. Indonesia: dipresentasikan pada Training Workshop on Seafarming, Part II, 1-6 Maret 1981.

Natih, N.M.N., M. Budiarti, D.H. Yuliavi, dan Mawarda. 2009. Distribusi Suhu dan Salinitas di Perairan Kepulauan Karimunjawa. in Nuchsin, R., M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo, T. Susana, dan Fahmi. Studi Sumber Hayati Laut dan Oseanografi di Perairan Kepulauan Karimunjawa dan Bawean. DIKTI-Kementerian Pendidikan Nasional dan Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta

Prahasta, E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. Informatika Bandung. Bandung.

Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2010. Produksi Rumput Laut kotoni (Eucheuma

cottonii) – Bagian 2: Metode Long-line. Badan Standardisasi Nasional. SNI

: 7579.2:2010

Sulistijo, M.S. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Alga Makro/Seaweed) di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia. Jakarta.

Sulma, S., B. Hasyim, A. Susanto, dan A. Budiono. 2005. Pemanfaatan

Penginderaan Jauh Untuk Penentuan Kesesuaian Lokasi Budidaya Laut di Kepulauan Seribu. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

(LAPAN). Jakarta.

Suwargana, N., Sudarsono, dan V.P. Siregar.2006. Analisis Lahan Tambak Konvensional Melalui Uji Kualitas Lahan dan Produksi Dengan Bantuan Penginderaan Jauh dan SIG. Jakarta. Jurnal Penginderaan Jauh dan

(73)

59

(74)

Lampiran 1. Kalkulasi koefisien attenuasi perairan (ki/kj) Class/Region Band1 Band2

(75)
(76)
(77)
(78)

Lampiran 5. Skala angin Beaufort (Met Office, 2010) Skala

Beaufort Deskripsi

Kecepatan angin

Kondisi di laut tinggi

gelombang

Ada riak air, tapi tidak

menimbulkan buih 0.1

2 putih dan sedikit percikan air

Ombak yang lebih besar, ombak berujung putih

Buih putih dari ombak yang pecah mulai tertiup angin

Ombak yang sangat tinggi, buih yang tertiup air, warna lautan menjadi putih, jarak pandang sangat terbatas

> 14

(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)

72

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 3 Oktober 1988 dari pasangan Bapak Drs. Abdul Samad Dunda dan Ibu Nilawaty Regita Sinaga. sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Lulus dari SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2006, pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan tahun kedua penulis diterima menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) Departemen

Kewirausahaan periode 2008 - 2009. Penulis menjadi ketua praktikum lapang mata kuliah Sistem Informasi Geografi pada periode 2009 - 2010. Selain itu, penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut pada periode 2009 - 2010.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Taman Nasional Karimunjawa
Gambar 3. Sketsa penanaman rumput laut sistem lepas dasar (Sumber : Sulistijo,  2002)
Gambar 4. Sketsa penanaman rumput laut sistem rakit bambu (Sumber : Sulistijo,  2002)
Gambar 6. Lokasi penelitian, zona budidaya Taman Nasional Karimunjawa  Penelitian ini dilakukan dalam 4 tahap yaitu : pengumpulan data sekunder  dari instansi (Maret – April 2010 dan 6 – 9 Juli 2010), pengolahan citra dan data  (Mei – Agustus 2010), survey
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila anggaran pemakaian bahan baku tidak dibuat maka manajemen tidak akan mengetahui jumlah biaya yang diperlukan untuk membuat produk jadi dan tentunya

E pistemology adalah pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal pikiran (aliran rasionalisme), dari

Responden dalam penelitian ini adalah konsumen Wendy’s cabang Braga Citywalk Bandung yang juga pernah makan di restoran fast food lain yang merupakan pesaing

に触れるようになった。また,東大門市場は,他国では珍しい夜間市場であることから,海外から

Ini berarti bahwa kompleksitas operasi perusahaan, umur perusahaan, kepemilikan publik, dan opini akuntan publik berpengaruh signifikan secara simultan terhadap

Sehubungan dengan per- masalahan tersebut, penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pembentuk perilaku mahasiswa yang memiliki niat mengadopsi

Pemasyarakatan Narkotika yang peningkatan jumlahnya tidak terlalu besar, mungkin dapat dikatakan bahwa proses pemidanaannya sudah efektif. Akan tetapi hal tersebut

Sehingga, berdasarkan hasil angket tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik kelas XI MIA 2 dan XI MIA 3 di SMA Negeri 7 Kota Jambi belum sepenuhnya namun ada juga yang