LEMBAR PERSETUJUAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama (Inisial) : ...
Alamat : ...
Saya telah diminta dan memberi ijin untuk berperan serta sebagai responden dalam penelitian yang berjudul “Beban Keluarga Dalam Merawat Pasien Halusinasi di Poli Klinik Jiwa Blud Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan”.
Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang akan dilaksanakan. Saya mengetahui
bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran beban keluarga dalam
menghadapi anggota keluarganya yang mengalami halusinasi. Saya mengerti bahwa
catatan mengenai penelitian ini akan dirahasiakan. Kerahasiaan ini dijamin selegal
mungkin. Semua berkas yang mencantumkan identitas subyek penelitian hanya
digunakan untuk keperluan pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan akan
dimusnahkan. Hanya peneliti mengetahui kerahasiaan data.
Saya berhak menghentikan penelitian ini tanpa adanya hukuman atau kehilangan
hak bila ada perlakuan yang merugikan bagi saya.
KUESIONER PENELITIAN
2. Bila ada pertanyaan yang kurang dimengerti dapat ditanyakan kepada peneliti.
Inisial : ...
Penghasilan keluarga : (Rp. ____________________)
Hubungan dengan pasien : ...
2. Kuesioner Beban Keluarga
Petunjuk pengisian
Beri tanda checklist ( √ ) pada kolom pilihan yang tersedia sesuai dengan kondisi adik-adik sekarang 1 Keluarga mengalami kesulitan dalam
merawat pasien yang mengalami halusinasi
2 Keluarga bingung dalam memberikan obat pada pasien yang mengalami halusinasi
3 Lama rawatan/pengobatan yang berulang membutuhkan banyak biaya
4 Merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi membatasi kegiatan sosial
5 Keluarga kesulitan dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga yang mengalami halusinasi
6 Merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi menyita waktu kerja
7 Merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi membuat kelelahan anggota keluarga
8 Keluarga mengalami kesulitan dalam memberikan makan kepada anggota keluarga yang mengalami halusinasi 9 Keluarga kesulitan membawa anggota
keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan
b. Beban Subjektif 11 Keluarga merasa sedih memiliki anggota
keluarga yang mengalami halusinasi 12 Keluarga merasa cemas akan keadaan
penyakit yang dialami
13 Keluarga merasa frustasi dalam merawat pasien yang halusinasi
14 Keluarga merasa malu dalam merawat pasien yang halusinasi
15 Keluarga merasa bosan dalam merawat anggota keluarga yang halusinasi
16 Keluarga merasa dikucilkan
dimasyarakat akibat ada anggota keluarga yang mengalami halusinasi
17 Keluarga yakin halusinasi yang dialami akan sembuh
18 Keluarga bingung terhadap gangguan perilaku/bicara-bicara sendiri yang sering dilakukan pasien
19 Keluarga takut terjadi pengerusakan diri, orang lain, lingkungan akibat halusinasi pasien
Z25 MR 41-50 P Islam SMA Jawa Wiraswasta Anak 10 Bulan 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 2 2 2 3 3 3 2 54
Z26 IR 20-30 P Islam SMA Aceh Karyawan Orang Tua 15 Bulan 3 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 2 57
Z27 SW 31-40 P Islam SMA Aceh Wiraswasta Saudara K 17 Bulan 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 4 3 2 2 2 2 3 3 3 2 54
Z28 RS 41-50 L Islam SMA Aceh Petani Anak 13 Bulan 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 4 4 2 3 2 1 3 3 3 2 55
Z29 ER >50 P Islam SD Aceh Petani Anak 18 Bulan 2 2 3 2 2 2 2 2 2 1 3 3 2 2 2 2 3 2 2 2 43
Z30 SR >50 L Islam SMP Aceh Petani Anak 19 Bulan 3 2 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 2 2 3 3 3 2 55
Z31 CB 41-50 P Islam SMA Jawa Wiraswasta Anak 9 Bulan 3 2 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 2 2 3 3 3 2 55
Z32 HS 41-50 L Kristen P SMA Batak Karyawan Anak 10 Bulan 3 2 4 3 4 3 3 3 3 2 3 3 2 2 3 2 3 3 3 2 56
Z33 RM >50 P Islam Akademi Aceh Karyawan Anak 11 Bulan 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 2 3 2 3 3 3 2 54
Z34 MA >50 L Islam SMA Jawa Wiraswasta Anak 20 Bulan 2 2 4 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 3 3 3 2 47
Z35 FL 20-30 P Islam SMA Jawa Karyawan Saudara K 9 Bulan 3 2 4 3 4 3 3 2 2 2 3 3 2 2 2 2 3 3 3 2 53
Z36 SG >50 L Islam SD Aceh Petani Anak 15 Bulan 2 2 2 3 2 2 2 2 2 1 3 3 2 2 2 2 3 3 3 2 45
Z37 HS >50 P Islam Sarjana Aceh PNS Anak 18 Bulan 3 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2 2 3 3 3 2 56
Z38 AT 41-50 P Islam SD Aceh Petani Anak 10 Bulan 2 2 4 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 3 3 3 2 47
Z39 DM >50 P Islam SMA Aceh Wiraswasta Anak 12 Bulan 3 2 4 3 3 3 3 3 3 1 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 57
TAKSASI DANA PENELITIAN
Kertas A4 : Rp. 80.000,-
Tinta Print : Rp. 120.000,-
Biaya Internet : Rp. 300.000,-
Buku Referensi : Rp. 500.000,-
Foto copy : Rp. 300.000,-
Biaya Transportasi : Rp. 850.000,-
Penggandaan Skripsi + Jilid : Rp. 100.000,-
Translet Abstrak : Rp. 100.000,-
Biaya tak terduga : Rp. 200.000,-
Konsumsi : Rp. 250.000,-
Pulsa : Rp. 100.000,-
Total Rp.2.900.000,-
JADWAL TENTATIF PENELITIAN
r Desember Januari Februari
Daftar Riwayat Hidup Data Pribadi
Nama : Irma Henni
NIM : 141121034
Tempat/Tanggal Lahir : Meukek, 08 April 1979
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kutabuloh II,Meukek,Aceh Selatan
Kewarganegaraan : Indonesia
No.Hp : 085371963002
Email : irma.henni@yahoo.com
Orangtua/Keluarga
1. 1986-1992 : SDN.1 Kutabuloh, Meukek,Aceh Selatan
2. 1992-1995 : SMPN.I Meukek,Aceh Selatan
3. 1995-1998 : SPK PEMDA Tapaktuan,Aceh Selatan
4. 2001-2003 : D-III Akper Depkes Banda Aceh
5. 2014-2016 : S-I Keperawatan Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi
VI. Jakarta : Rineka Cipta.
Engkeng, S. Maslina. (2013). Faktor-Faktor Presipitasi Yang Berhubungan
Dengan Timbulnya Halusinasi Pada Klien Gangguan Jiwa Di BPRS Makasar. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Manado.
Hidayat, A. A. (2011). Metodi Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data
. Jakarta ; Salemba Medika.
Hidayat, A. A. (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta ; Salemba Medika.
Kurniawan, H. (2014). Kecemasan Keluarga Merawat Pasien Perilaku Kekerasan
Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Ngadiran, A. (2010). Studi FenomenologiPengalaman Keluarga Tentang Beban
Dan SumberDukungan Keluarga Dalam Merawat KlienDengan Halusinasi.Tesis. Program Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan
Jiwa Fakultas ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok.
Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga Dan Beban Keluarga Dalam
Merawat Anggota Dengan Riwayat Perilaku Kekerasan Di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur. Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan
Kekhususan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Medika Salemba.
Pieter, H. Z. Bethsaida J dan Marti S. (2011). Pengantar Psikopatologi Untuk
Keperawatan. Jakarta ; Kencana
Rabba, E. P. Dahrianis dan Sri P. R. (2014). Hubungan Antara Pasien Halusinasi
Pendengaran Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan Diruang Kenari Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Rahmawati, Y. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Ny. L Dengan Gangguan
Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Di Ruang Srikandi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Naskah Publikasi. Program Studi Diploma III
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Riduwan. (2010). Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti
Pemula. Bandung : Alfabeta.
Suliswati, T. A. P. Jeremia M. Yenny S. Sumijatun. (2005). Konsep Dasar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Suwardiman, D. (2011). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Beban
Keluarga Untuk Mengikuti Regimen Terapeutik Pada Keluarga Klein Halusinasi Di Rumah Sakit Umum Daerah Serang Tahun 2011.Tesis.
Fakultas Ilmu Keperawatan Program Magister Ilmu Keperawatan Peminatan Keperawatan Jiwa Depok
Suhita, B. M. (2013). Pengaruh Health Education Tentang Strategi Pelaksanaan
Halusinasi Pada Keluarga Terhadap Peran Keluarga Dalam Membantu Klien Schizophrenia Mengontrol Halusinasi. Strada Jurnal. STIKes Surya
Mitra Husada.
Sudjana. (2005). Metoda Statistika, Edisi 6. Bandung; Tarsito Bandung
Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta : EGC
Wiramihardja, S. A. 2007. Pengantar Psikologi Abnormal.Bandung ; Refika Aditama
Yusnipah, Y. (2012). Tingkat Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat Pasien
Halusinasi Di Poliklinik Psikiatri Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.
27
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1.Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan landasan berpikir yang digunakan sehingga
peneliti dapat menghubungkan hasil penelitian dengan teori (Nursalam, 2008).
Skema 1. Kerangka Konsep Beban Keluarga Dalam Merawat Pasien Halusinasi di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. Yuliddin Away Tapaktuan
3.2. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah mendefenisikan variabel secara operasioanal
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena (Hidayat, 2011).
Berdasarkan judul penelitian “ Beban Keluarga Dalam Merawat Pasien
29
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1.Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi murni untuk
melihat gambaran beban keluarga dalam merawat anggota keluarga yang
menderita halusinasi.
4.2.Populasi dan Sampel 4.2.1. Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu
yang akan diteliti (Hidayat, 2011). Pada penelitian ini populasinya adalah
keluarga yang anggota keluarganya mengalami Halusinasi di Poli Klinik Jiwa
Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away
Tapaktuan. Berdasarkan jumlah penderita halusinasi yang berobat jalan di Poli
Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Yuliddin Away Tapaktuan selama bulan Januari sampai bulan Maret 2015
sebanyak 39 orang.
4.2.2. Sampel
Sampel murupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki dari populasi (Hidayat, 2007). Sampel
diambil sesuai dengan kemampuan peneliti dari segi waktu, tenaga, dana, serta
luas sempitnya wilayah penelitian. Dengan sampel pada penelitian ini diambil
30
Sampling ini dilakukan dengan mengambil semua populasi digunakan
sebagaisampel (Riduwan, 2010). Sehingga jumlah sampel yang diambil dalam
penelitian ini sebanyak 39 orang dengan kriteria sampel adalah keluarga inti
penderita halusinasi, dan tinggal satu rumah dengan penderita.
4.3.Waktu dan Tempat Penelitian 4.3.1. Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015.
4.3.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum
Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. Pemilihan
lokasi ini karena Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit satu-satunya yang
memiliki Poli Klinik melayani pasien penderita gangguan jiwa di Aceh Selatan
sehingga memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan
pada penelitian ini.
4.4.Pertimbangan Etik
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin ke Komisi Etik Fakultas Keperawatan, setalah mendapatkan izin
dari Komisi Etik Fakultas Keperawatan selanjutnya peneliti meminta izin dari
pihak pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara untuk
melakukan penelitian, selanjutnya akan mengirim surat permohonan izin
31
penelitian. Setelah mendapat persetujuan penelitian, peneliti akan memberikan
kuesioner kepada responden yang akan diteliti dengan terlebih dahulu
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepeda responden dengan menekankan
pada masalah yang meliputi :
a. Informed Consent (Lembar persetujuan)
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Lembar persetujuan
diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memeberikan lembar persetujuan
untuk menjadi responden jika subjek bersedia, maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti
harus menghormati hak mereka.
b. Anonimity (Tanpa Nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden dalam lembar alat ukur dan hanya menuliskan
kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
c. Confidentiality (Kerahasiaan)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset
32
4.5.Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah berisi data demografi yang terdiri
dari inisial, usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, suku, pekerjaan, penghasilan
keluaga, hubungan dengan klien, kemudian lama sakit.
Bagian kedua adalah kuesioner beban keluarga yang berisi sejumlah
pernyataan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi beban keluarga merawat
pasien halusinasi. Kuesioner penelitian ini terdiri dari dari 20 pernyataan meliputi
beban objektif dan beban subjektif.
Instrumen yang dipakai berupa pernyataan yang dirancang oleh peneliti
sendiri berdasarkan materi dan substansi beban subjektif dan objektif dari WHO
(2008),. Kuesioner ini terdiri dari 20 pernyataan, beban objektif (nomor 1-10) dan
beban subjektif (nomor 11-20) diukur menggunakan skala Likert (1-4) dengan
nilai pernyataan 4 = sangat setuju, 3 = setuju, 2 = tidak setuju, dan 1 = sangat
tidak setuju. Berdasarkan skala tersebut skor yang bisa dicapai responden adalah
minimal 20 sampai dengan maksimal 80.
Menurut Sudjana (2005), untuk menghitung jumlah panjang kelas
digunakan rumus statistik :
P = Rentang
Banyak Kelas
Dimana P merupakan panjang kelas dengan nilai tertinggi dikurang nilai
33
diperoleh P = 15, dan nilai terendah 20 sebagai batas bawah kelas pertama, beban
keluarga dikategorikan atas kelas interval sebagai berikut :
20-35 = Tanpa Beban
36-50 = Ringan
51-65 = Sedang
66-80 = Berat
4.6.Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dugunakan adalah wawancara dengan
panduan kuesioner. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti menerima surat
izin dari institusi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan surat izin
dari lokasi penelitian yaitu Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum
dr. Yuliddin Away Tapaktuan. Sebelum pengumpulan data peneliti terlebih
dahulu melakukan skreening pada keluarga pasien halusinasi, kemudian peneliti
menjelaskan waktu, tujuan, manfaat dan prosedur pelaksanaan pada calon
responden dan yang bersedia berpartisifasi diminta untuk menandatangani
Informed Consent, responden yang bersedia diwawancarai dengan panduan
lembar kuesioner dan diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada pernyataan
yang tidak dipahami. Selesai wawancara peneliti memeriksa kelengkapan data dan
jika ada data yang kurang, dapat langsung dilengkapi dan selanjutnya data yang
34
4.7.Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidtan
atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih
mempunyai validitas tinggi dan juga sebaliknya (Arikunto, 2006). Instrumen
penelitian ini telah dilakukan uji validitas oleh Ibu Siti Zahara, S.Kep, MNS dan
Ibu Mahnum Lailan Nasution, S.Kep, Ns, M.Kep.
4.8.Uji Realibilitas Instrumen
Menurut Arikunto (2006), realibilitas menunjuk pada suatu pengertian
bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpulan data karena instrumen tersebut sudah baik.
Dalam penelitian ini, uji reliabilitas akan dilakukan dengan menggunakan
tekhnik Formula Alpha Cronbachdengan r hitung > 0.6 akan dikatakan reabilitas.
Uji reliabilitas dilakukan pada keluarga pasien halusinasi di Poli Klinik Jiwa
Rumah Sakit Umum Daerah Aceh Tamiang sebanyak 20 orang dengan hasil 0.744
4.9.Analisa Data
Setelah semua data terkumpul maka peneliti akan mengadakan analisa data
melalui beberapa tahap, yaitu sebagai berikut :
a. Editingadalah upaya untuk memeriksa kembali data yang diperoleh atau
yang dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan
data atau setelah data terkumpul.
35
pengolahan dan analisa dan menggunakan komputer. Biasanya dalam
pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku
untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu
variabel.
c. Processing yaitu memasukkan data dari lembar kuesioner kedalam
program komputer.
d. Cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah dimasukkan untuk
mengetahui ada kesalahan atau tidak
e. Tabulating yaitu menganalisa data secara deskriptif
f. Teknik Analisa dilakukan dengan bantuan komputer, untuk data
demografi akan ditampilkan dalam bentuk persentase dan tidak akan
dianalisa lebih lanjut. Analisa yang digunakan untuk beban keluarga
adalah analisa data secara deskriptif untuk mengetahui frekuensi, mean
dan standar deviasi yang bertujuan untuk menjelaskan atau
menggambarkan beban keluarga dalam merawat pasien halusinasi di Poli
Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan.
Penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 10-31 Desember 2015 di Poli Klinik
Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuluddin
Away Tapaktuan.
5.1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian akan dijabarkan mulai dari data demografi karakteristik
responden dan beban keluarga dalam merawat pasien halusinasi
5.1.1. Data Demografi
Hasil penelitian pada keluarga di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum
Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuludiin Away Tapaktuan dapat
dilihat pada tabel 5.1
Berdasarkan dari 39 keluarga yang diteliti, mayoritas pada rentang usia
41-50 tahun berjumlah 20 orang (51,3%), mayoritas berjenis kelamin perempuan
berjumlah 23 orang (59%), mayoritas beragama islam berjumlah 37 orang
(94,4%), mayoritas berpendidikan SMA berjumlah 18 orang (46.2%), mayoritas
suku aceh berjumlah 31 orang (79,5%), mayoritas pekerjaan petani berjumlah 16
orang (41%), mayoritas penghasilan keluarga < Rp.1.900.000,- berjumlah 25
orang (64,1%), mayoritas hubungan dengan pasien adalah anak berjumlah 29
37
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik keluarga di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan (n=39)
38
5.1.2. Beban Keluarga Dalam Merawat Pasien Halusinasi
Hasil penelitian yang diperoleh beban keluarga dalam merawat pasien
halusinasi di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum
Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan dapat dilihat pada tabel 5.2.
Pada tabel 5.2 menunjukkan, beban keluarga dalam merawat pasien
halusinasi di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum
Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan sedang yaitu 32 orang (82,1%).
Tabel 5.2. Beban Keluarga Dalam Merawat Pasien Halusinasi di Poli Klinik Jiwa
Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan (n=39)
Beban Keluarga Frekuensi Persentase (%)
Sedang 32 82,1
Ringan 7 17,9
Distribusi frekuensi dan persentase beban keluarga di Poli Klinik Jiwa
Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah H. Yuluddin Away
Tapaktuan dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Beban Keluarga Di Poli Klinik
merawat pasien yang mengalami halusinasi (2.6) (82.1) (15.4)
2 Keluarga bingung dalam memberikan obat 8 31 -
pada pasien yang mengalami halusinasi - (20.5) (79.5)
3 Lama rawatan/pengobatan yang berulang 17 20 2 -
39
4 Merawat anggota keluarga yang mengalami 3 29 7 -
halusinasi membatasi kegiatan sosial (7.7) (74.4) (17.9)
5 Keluarga kesulitan dalam berkomunikasi 4 29 6 -
dengan anggota keluarga yang mengalami (10.3) (74.4) (15.4) halusinasi
6 Merawat anggota keluarga yang mengalami 1 31 7 -
halusinasi menyita waktu kerja (2.6) (79.5) (17.9)
7 Merawat anggota keluarga yang mengalami - 32 7 -
halusinasi membuat kelelahan anggota (82.1) (17.9) keluarga
8 Keluarga mengalami kesulitan dalam - 29 10 -
memberikan makan kepada anggota keluarga (74.4) (25.6) yang mengalami halusinasi
9 Keluarga kesulitan membawa anggota 1 29 9 -
Keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan (2.6) (74.4) (23.1)
10 Keluarga merasa tidak nyaman tinggal - 13 17 9
serumah dengan anggota keluarga yang (33.3) (43.6) (23.1) menderita halusinasi
Subjektif
11 Keluarga merasa sedih memiliki anggota 2 36 1 -
keluarga yang mengalami halusinasi (5.1) (92.3) (2.6)
12 Keluarga merasa cemas akan keadaan 2 32 5 -
penyakit yang dialami (5.1) (82.1) (12.8)
13 Keluarga merasa frustasi dalam merawat 7 32 - -
pasien yang halusinasi (17.9) (82.1)
14 Keluarga merasa malu dalam merawat - 14 24 1
pasien yang halusinasi (35.9) (61.5) (2.6)
15 Keluarga merasa bosan dalam merawat - 13 26 -
anggota keluarga yang halusinasi (33.3) (66.7)
16 Keluarga merasa dikucilkan dimasyarakat - 9 29 1
40
17 Keluarga yakin halusinasi yang dialami - 37 2 -
akan sembuh (94.9) (5.1)
18 Keluarga bingung terhadap gangguan - 35 4 -
perilaku/bicara-bicara sendiri yang sering (89.7) (10.3) dilakukan pasien
19 Keluarga takut terjadi pengerusakan diri, - 36 3 - orang lain, lingkungan akibat halusinasi (92.3) (7.7) pasien
20 keluarga merasa ragu atas kesembuhan 1 11 27 -
pasien yang mengalami halusinasi (2.6) (28.2) (69.2)
Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa 32 keluarga (82,1%) setuju dengan
pernyataan keluarga mengalami kesulitan dalam merawat pasien yang mengalami
halusinasi, 20 keluarga (51,3%) setuju dengan pernyataan lama
rawatan/pengobatan yang berulang membutuhkan banyak biaya, 31 keluarga
(79,5%) setuju dengan pernyataan merawat anggota keluarga yang mengalami
halusinasi menyita waktu kerja, 32 keluarga (82,1%) setuju dengan merawat
anggota keluarga yang mengalami halusinasi membuat kelelahan anggota
keluarga, 36 keluarga (92,3%) setuju dengan pernyataan keluarga merasa sedih
memiliki anggota keluarga yang mengalami halusinasi, 36 keluarga (92,3%)
setuju dengan pernyataan keluarga takut terjadi pengerusakan diri, orang lain,
lingkungan akibat halusinasi pasien.
5.2. Pembahasan
Hasil penelitian yang dilakukan di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum
41
Umum Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan yaitu sedang (82,1%). Hal ini
sesuai dengan penelitian Suwardiman (2011) mengenai hubungan antara
dukungan keluarga dengan beban keluarga untuk mengikuti regimen terapeutik
pada keluarga klien halusinasi di RSUD Serang. Penelitian Suwardiman (2011),
beban keluarga berada pada kondisi sedang dengan rata-rata penghasilan keluarga
Rp.1.605.316,46,-. Bila dikaitkan dengan data demografi sebagian besar
responden berpenghasilan dibawah Upah Minimum Kabupaten Tapaktuan
< Rp.1.900.000,- (64,1%), tentu ini akan membuat beban keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang sakit akan lebih dirasakan. Hal ini juga didukung
Penelitian oleh Gururaj, Bada, Reddy dan Chandrashkar (2008) menemukan
bahwa dari enam dimensi beban keluarga dengan skizofrenia, skor finansial
memiliki rata-rata yang paling tinggi. Peneliti berasumsi bahwa faktor ekonomi
bisa menjadi penyebab kekambuhan karena keluarga tidak sanggup mematuhi
regimen terapeutik klien halusinasi untuk tetap mendapat perawatan
kesehatannya, oleh karena itu, apabila keluarga tidak memiliki sumber dana yang
cukup atau jaminan kesehatan, maka hal ini akan menjadi beban yang berat bagi
keluarga. Namun saat ini pemerintah telah menyelenggarakan program Jaminan
Kesahatan Nasional tentu akan sedikit membatu keluarga dalam biaya
pengobatan. Dari data demografi juga didapatkan bahwa sebagian besar lama sakit
anggota keluarga ≥ 1 tahun (61,5%), dimana hal ini akan sedikit meringankan
beban keluarga dimana keluarga sudah mempunyai pengalaman dan dapat
menerima segala stigma selama merawat pasien halusinasi sehingga beban yang
42
Menurut WHO (2003), secara umum dampak yang dirasakan oleh keluarga
dengan adanya anggota keluarga mengalami halusinasi adalah tingginya beban
ekonomi, beban emosi keluarga, stress terhadap perilaku pasien yang terganggu,
gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga sehari-hari dan
keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Selain itu juga muncul beban keluarga
karena stigma sosial terhadap penderita halusinasi tersebut, beban yang muncul
bisa berupa psikologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20 keluarga (51,3%)
menyatakan setuju bahwa lama rawatan/pengobatan yang berulang membutuhkan
banyak biaya. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Ngadiran (2010) mengenai
studi fenomenologi pengalaman keluarga tentang beban dan sumber dukungan
keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi di Cimahi dan Bandung,
menyatakan bahwa beban yang di hadapi oleh partisipan dalam merawat anggota
keluarganya dengan halusinasi adalah beban psikologi, beban finansial dan
masalah dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian diperkuat dengan
Friedman, (1998) mengemukakan bahwa beban keluarga obyektif meliputi beban
keluarga dalam pelaksanaan merawat salah satu anggota keluarga yang
mengalami halusinasi, termasuk dalam beban keluarga obyektif ini adalah beban
biaya finansial, untuk perawatan dan pengobatan, tempat tinggal, makanan, dan
transportasi. Dukungan instrumental keluarga merupakan fungsi ekonomi dan
fungsi perawatan kesehatan yang diterapkan keluarga terhadap anggota keluarga
43
Gangguan jiwa dapat berdampak negatif pada keluarga. (Stuart & Laraia,
2001, dalam Suwardiman, 2011) dampak yang terjadi meliputi ; meningkatnya
konflik dan stress keluarga, saling menyalahkan satu sama lain, kesulitan untuk
mengerti dan menerima keluarganya yang sakit, meningkatnya emosi ketika
berkumpul dan kehilangan energi, waktu, uang untuk merawat anggota
keluarganya.
Hasil penelitian menunjukkan 36 keluarga (92,3%) menyatakan setuju
bahwa keluarga merasa sedih memiliki anggota keluarga yang mengalami
halusinasi, 32 keluarga (82,1%) menyatakan setuju keluarga merasa cemas akan
keadaan penyakit yang dialami. Hal ini diperkuat pendapat Mohr (2006) bahwa
beban subyektif yang di rasakan oleh keluarga sebagai respon terhadap anggota
keluarga yang gangguan mengalami jiwa adalah masalah rasa kehilangan, rasa
takut, merasa bersalah, rasa marah dan perasaan negatif lainnya yang dialami.
Hasil penelitian menunjukkan 36 keluarga (92,3%), keluarga menyatakan
setuju bahwa keluarga takut terjadi pengerusakan diri, orang lain, lingkungan
akibat halusinasi pasien. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ngadiran
(2010) mengenai studi fenomenologi pengalaman keluarga tentang beban dan
sumber dukungan keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi di Cimahi dan
Bandung yang menyatakan bahwa beban psikologi yang dirasakan partisipan
selama merawat anggota keluarganya dengan perilaku halusinasi, adalah rasa
kecewa terhadap klien karena ketidak patuhan dalam minum obat, putus asa
dalam menghadapai proses penyakit klien , marah terhadap perilaku klien, rasa
44
(59,3% ) adalah perempuan. dimana beban akan lebih dirasakan dalam merawat
pasien. Komar dan Muhanti (2007) yang menemukan bahwa jenis kelamin
memiliki pengaruh yang besar terhadap beban keluarga dalam mendukung
keluarga dengan skizofrenia, dimana perempuan memiliki beban yang lebih berat
jika dibandingkan dengan laki-laki.
Perilaku klien dengan halusinasi di atas menimbulkan beban bagi
keluarganya, karena keluarga harus lebih sabar, perhatian , menyediakan waktu
yang khusus, klien tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
selain itu masih banyak keluarga yang merasakan beban atau kesulitan dalam
merawat anggota keluarganya dengan halusinasi, keluarga sangat membutuhkan
sumber-sumber dukungan seperti apa yang dapat mendukung keluarga tersebut
dalam merawat anggota keluarganya yang mengalamihalusinasi (Ngadiran, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan 35 keluarga (89,7% ), menyatakan setuju bahwa
keluarga bingung terhadap gangguan perilaku/bicara-bicara sendiri yang sering
dilakukan pasien. Hal ini dikarenakan mayoritas 28 keluarga (74,4%) memiliki
hubungan dengan pasien adalah anak. Hasil penelitian Sari (2009) dan Saunders
(2003) bahwa beban keluarga akan dirasakan lebih berat pada individu yang
mempunyai hubungan langsung dengan klien.
Keluarga menghadapi situasi penuh stres dan ketegangan karena memiliki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Situasi penuh stres ini
diperberat dengan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang
45
perilaku maladaptif dan masa depannya. Situasi-situasi tersebut menimbulkan
beban keluarga yang tidak ringan, jika tidak mendapatkan intervensi secara
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan di Poli Klinik Jiwa Badan Layanan Umum
Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuluddin Away Tapaktuan dapat
disimpulkan bahwa Beban keluarga dalam merawat pasien halusinasi di Poli
Klinik Jiwa Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.
Yuluddin Away Tapaktuan yaitu sedang dengan sebagian besar responden berusia
41-50 tahun, berjenis kelamin perempuan, beragama islam, berpendidikan SMA,
suku aceh, pekerjaan keluarga sebagai petani, penghasilan keluarga
< Rp.1.900.000,-, hubungan dengan pasien adalah anak, lama sakit ≥ 1 tahun.
6.2. Saran
6.2.1. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi Mahasiswa dan
bahan tambahan informasi dalam pembelajaran keperawatan jiwa komunitas yang
berorientasi pada pasien dan keluarga yang menderita gangguan jiwa, sehingga
informasi ini juga dapat dikembangkan dalam pemberian asuhan keperawatan
47
6.2.2. Praktik Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melakukan
intervensi pada keluarga yang mengalami gangguan jiwa yang berkaitan dengan
memenimalkan beban keluarga dalam membantu proses kesembuhan klien dan
sebagai peningkatan motivasi terhadap perawat untuk melakukan kunjungan
rumah.
6.2.3. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberi pengetahuan yang
berharga bagi peneliti dan peneliti selanjutnya, sehingga dapat menerapkan
pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk penelitian yang akan datang mengenai
program perawatan klien gangguan jiwa beserta keluarganya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Halusinasi 2.1.1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal dan rangsangan eksternal. Klien memberi 5 pendapat tentang
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata, misalnya klien
mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara
(Kusumawati, 2010)
Halusinasi ialah suatu pengalaman pada suatu kejadian sensoris tanpa ada
input dari lingkungan sekitarnya. Mark Durrand dan David H. Barlow (2007),
mendeskripsikan halusinasi adalah suatu penghayatan kepada kejadian-kejadian
yang tidak mendasar pada kejadian eksternal (Pieter, Herri Zan, Bethsaida
Janiwarti dan Marti Saragih, 2011)
2.1.2. Jenis Halusinasi
Jenis halusinasi menurut Cancro dan Lehman dalam Videbeck (2008) yaitu
halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, taktil, kinestetik
atau gerakan. Stuart (2007) mengatakan bahwa halusinasi dapat terjadi pada salah
satu dari 5 modalitas sensosi utama penglihatan, pendengaran, bau, rasa, dan
perabaan persepsi terhadap stimulus eksternal dimana stimulus tersebut
8
sering muncul adalah halusinasi pendengaran sebanyak 69,23%, diikuti dengan
halusinasi penglihatan sebesar 8,59 %, selanjutnya halusinasi taktil sebesar
5,72%, dan sisanya halusinasi tipe lain. Maka halusinasi dapat terjadi berupa
stimuluspalsu terhadap seluruh panca indera, tetapi yang paling banyak terjadi
adalah halusinasi pendengaran(Yusnipah, 2012).
Hoeksema (2004) mengemukakan adanya bermacam-macam halusinasi,
pertama, halusinasi pendengaran, dimana orang mendengar suara-suara, musik
dan lain-lain yang sebenrnya tidak ada. Ini merupakan yang paling sering muncul
dan rata-rata lebih sering pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Halusinasi
kedua yang sering muncul adalah halusinasi penglihatan, seringkali berbarengan
dengan halusinasi pendengaran. Selanjutnya halusinasi perabaan, melibatkan
persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi diluar tubuh seseorang. Selanjutnya
halusinasi somatis, melibatkan persepsi bahwa sesuatu sedang terjadi didalam diri
seseorang, halusinasi ini seringkali sangat hebat dan menakutkan (Wiramihardja,
2007)
2.1.3. Tanda dan Gejala
Klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi dapat memperlihatkan
berbagai manifestasi klinis yang bisa kita amati dalam perilaku mereka
sehari-hari. Menurut NANDA (2010), tanda dan gejala halusinasi meliputi: konsentrasi
kurang, selalu berubah respon dari rangsangan, kegelisahan, perubahan sensori
akut, mudah tersinggung, disorientasi waktu, tempat, dan orang, perubahan
kemampuan pemecahan masalah, perubahan pola perilaku. Bicara dan tertawa
9
tidak ada, menarik diri, mondar-mandir, dan mengganggu lingkungan juga sering
ditemui pada pasien dengan halusinasi. Individu terkadang sulit untuk berpikir
dan mengambil keputusan. Banyak dari mereka yang justru mengganggu
lingkungan karena perilakunya itu. Pasien halusinasi biasanya dibawa ke rumah
sakit dalam kondisi akut yang memperlihatkan gejala seperti bicara dan tertawa
sendiri, berteriak-teriak, keluyuran, dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila keluarga mengetahui tanda dan
gejala awal dari halusinasi (Yusnipah, 2012).
2.1.4. Patofisiologi Halusinasi
Patofiologi halusinasi yaitu menurut Maramis (2004), halusinasi dapat
didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak
terdapat stimulus, individu merasa ada stimulus yang sebetulnya tidak ada, pasien
merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara, bisa juga berupa suara-suara
bising dan mendengung, tetapi paling sering berupa kata- kata yang tersusun
dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien
menghasilkan respon tertentu seperti bicara sendiri. Suara bisa berasal dari dalam
diri individu atau dari luar dirinya. Isi suara tersebut dapat memerintahkan sesuatu
pada klien atau seringnya tentang perilaku klien sendiri, klien merasa yakin bahwa
suara itu dari Tuhan, sahabat dan musuh (Rahmawati, 2014).
Terjadinya Halusinasi dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor
presipitasi.Menurut Dermawan dan Rusdi (2013), faktor predisposisi yang
10
halusinasi adalah faktor biologis, stress lingkungan, pemicu gejala dan sumber
koping (Rahmawati, 2014).
Menurut Stuart & Laraia (2005) dalam Suwardiman (2011), proses
halusinasi terjadi melalui empat tahapan, antara lain :
1) Tahap dirasakan oleh klien sebagai pengalaman yang memberi rasa
nyaman, dengan perilaku yang sering ditampilkan pada tahapan ini adalah
tersenyum atau tertawa sendiri, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.
2) Tahap menyalahkan, pada tahap ini dikarakteristikan sebagai pengalaman
sensori dan isolasi diri.
3) Tahap mengontrol, perilaku yang ditampilkan pada tahap ini adalah
perintah halusinasi dituruti, sulit berhubungan dengan orang lain, dan
rentang perhatian hanya beberapa detik.
4) Tahap menguasai, perilaku yang sering dimunculkan pada tahap ini adalah
perilaku panik, perilaku mencederai diri sendiri atau orang lain, dan
potensial bunuh diri.
2.1.5. Tindakan Keperawatan Keluarga dengan Halusinasi
Menurut Stuart (2007), strategi merawat pasien dengan halusinasi yaitu
membina hubungan interpersonal dan saling percaya, mengkaji gejala halusinasi,
memfokuskan pada gejala dan minta pasien menjelaskan apa yang sedang terjadi,
mengkaji penggunaan alkohol atau obat terlarang, mengatakan bahwa perawat
tidak mempunyai stimulus yang sama, membantu pasien mengidentifikasikan
11
mempengaruhi aktifitas hidup sehari-hari. Keluarga merupakan faktor penting
yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien dengan
halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien dirawat di rumah sakit sangat
dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien
tidak lagi dirawat di rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung
pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program
pengobatan secara optimal (Yusnipah, 2012).
Menurut Keliat, dkk (2011) tindakan keperawatan yang dapat diberikan
untuk keluarga pasien halusinasi adalah sebagai berikut. 1) Diskusikan masalah
yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien, 2) Berikan pendidikan kesehatan
tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien, tanda dan
gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat pasien halusinasi,
3) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat
pasien dengan halusinasi langsung dihadapan pasien, 4) Memberikan pendidikan
kesehatan kepada keluarga tentang perawatan lanjutan pasien (Yusnipah, 2012).
Merawat pasien berarti juga harus terlibat langsung dalam program
pengobatan pasien. Peran keluarga dibutuhkan dalam mengawasi pasien minum
obat. Oleh karena itu penting bagi keluarga untuk mengetahui tentang obat dan
efek samping obat. Keluarga diharapkan mengetahui manfaat obat, jenis, dosis,
waktu, cara pemberian, dan efek samping obat. Kondisi halusinasi dalam
perawatan dan pengobatannya bisa dikontrol oleh obat (Videbeck, 2008 dalam
12
Penatalaksanaan terpentingnya adalah bagaimana pasien dengan halusinasi
tahu manfaat obat, kemudian mau minum obat dan patuh, sehingga mampu
mengikuti dan mempertahankan terapinya untuk mengontrol halusinasinya
(Suwardiman, 2011). Pemberian informasi yang Tingkat pengetahuan tepat
tentang obat pada keluarga penting untuk keberhasilan perawatan pasien
halusinasi. Faktor keluarga menempati hal vital penanganan pasien gangguan jiwa
di rumah. Hal ini mengingat keluarga adalah support sistem terdekat dan 24 jam
bersama-sama dengan pasien. Keluarga sangat menentukan apakah pasien akan
kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung secara optimal akan
membuat pasien mampu survive dalam kondisi apapun. Jika keluarga tidak
mampu merawat pasien maka pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya
lagi akan sangat sulit. Perawat dituntut harus melatih keluarga pasien agar mampu
merawat pasien gangguan jiwa di rumah (Keliat, 1996 dalam Yusnipah, 2012).
2.2. Konsep Keluarga 2.2.1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran,
dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap
anggota keluarga. Secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga
dapat digambarkan sebagai anggota dari kelompok masyarakat yang paling dasar,
tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan antar individu
13
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu
membentuk homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota
keluarganya dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota
keluarganya dari adanya gangguan-gangguan mental dan ketidaksetabilan
emosional anggota keluarganya. Usaha kesehatan mental sebaiknya dan
seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu perhatian utama dalam kesehatan
mental adalah menggarap keluarga agar dapat memberikan iklim yang kondusif
bagi anggota keluarganya yang mengalami gangguan kesehatan mental
(Notosoedirdjo dan Latipun, 2005, dalam Kurniawan, 2014).
2.2.2. Tipe Keluarga
Dalam Suprajitno (2004), Pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks
keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1) Keluarga Inti (Nuclear Family)adalah keluarga yang hanya terdiri dari
ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau
keduanya.
2) Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah
anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah
14
2.2.3. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga secara umum didefinisikan sebagai hasil akhir atau akibat
dari struktur keluarga. sedangkan fungsi dasar keluarga adalah untuk memenuhi
kebutuhan anggota keluarga itu sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Tujuan
terpenting yang perlu dipenuhi keluarga adalah menghasilkan anggota baru
(fungsi reproduksi) dan melatih individu tersebut menjadi bagian dari anggota
masyarakat (fungsi sosialisasi) (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).
Fungsi keluarga menjadi suatu perhatian ketika kita akan membahas
bagaimana kebutuhan dukungan yang dipersepsikan oleh keluarga dengan beban
keluarga yang mengalami halusinasi. Adapun fungsi keluarga meliputi :
1) Fungsi afektif, kebahagiaan keluarga diukur oleh kekuatan cinta
keluarga (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011). Keluarga
harus memenuhi kebutuhan kasih sayang anggota keluarganya
karena respon kasih sayang satu anggota keluarga ke anggota
keluarga lainnya memberikan dasar penghargaan terhadap
kehidupan keluarga.
2) Fungsi sosialisasi, sosialisasi anggota keluarga adalah fungsi yang
universal dan lintas budaya yang dibutuhkan untuk kelangsungan
hidup masyarakat (Friedman, 2010, dalam Suwardiman, 2011).
Sosialisasi merujuk pada banyaknya pengalaman belajar yang
diberikan dalam keluarga yang ditujukan untuk mendidik klien
15
masyarakat, sehingga klien yang mengalami halusinasi merasa
diterima oleh lingkungan sosial.
3) Fungsi reproduksi, salah satu fungsi dasar keluarga adalah untuk
menjamin kontinuitas antar generasi keluarga dan masyarakat, yaitu
menyediakan anggota baru untuk masyarakat (Friedman, 2010,
dalam Suwardiman, 2011).
4) Fungsi ekonomi, fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga
akan sumber daya yang cukup, ruang, dan materi serta alokasinya
yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan.
Termasuk ke dalam fungsi ekonomi yaitu :
a. mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
b. pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
c. menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa
yang akan datang (pendidikan, dan jaminan hari tua).
d. Fungsi perawatan kesehatan, fungsi peningkatan status kesehatan
pada klien dengan halusinasi dipenuhi oleh keluarga yang
menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan
kesehatan, dan perlindungan terhadap munculnya bahaya. Pelayanan
dan praktik kesehatan adalah fungsi keluarga yang paling relevan
16
2.2.4. Tugas Keluarga
Keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan (Friedman, 2010, dalam
Nuraenah, 2012) yang meliputi :
a. kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan keluarga klien
dengan halusinasi, keluarga perlu mengetahui peneyebab tanda-tanda
klien kambuh.
b. kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan
keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota keluarga dengan
halusinasi, menanyakan kepada orang yang lebih tahu.
c. kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan merawat
anggota keluarga dengan riwayat halusinasi.
d. kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang
berada di masyarakat.
e. Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan.
2.2.5. Peran Keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan
langsung pada setiap keadaan sehat-sakit klien (Friedman, 1998, Ngadiran, 2010).
Umumnya mereka tidak sanggup merawatnya, setelah sebelumnya keluarga
mencoba menyelesaikan masalah dengan anggotanya yang sakit dengan
menyangkal bahwa mereka mempunyai masalah yang serius, atau melakukan
kontrol yang berlebihan atau menarik diri, sehingga klien gangguan halusinasi
biasanya dibawa ke Rumah Sakit setelah mereka lama berada di rumah (Stuart &
17
Keluarga yang menpunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat
mencegah perilaku maladaptif (pencegahan perimer), penanggulangan
perilakumaladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku
adaptif(pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan keluarga dapat
ditingkatkan secara optimal (Keliat, 1995, dalam Ngadiran, 2010). Maka peran
keluarga sangatpenting dari berbagi faktor:
1) Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan
interpersonal dengan lingkungan. Keluarga merupakan istitusi untuk
belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap, perilaku (Clenent &
Buchanan 1982, dalam Keliat 1995, dalam Ngadiran, 2010). Individu
menguji perilakunya didalam keluarga dan umpan balik keluarga
mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tersebut, semua ini
merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.
2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan jiwa
(halusinasi) yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi
seluruh sistem. Sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula merupakan salah
satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga.
3) Berbagai pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien untuk hidup,
tetapihanya fasilitas yang membantu klien dan keluraga mengembangkan
kemampuan dalam mencegah terjadinya masalah, memanggualngi berbagi
18
4) Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa salah satu faktor penyebab
kekambuhan gangguan jiwa (halusinasi) adalah keluarga yang tidak tahu
menangani perilaku di rumah.
Ngadiran (2010), Peran keluarga dalam perawatan di rumah adalah :
1) Menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan menyenangkan sehingga
membantu memulihkan kesehatan fisik, psikologis dan sosial yang
memuaskan.
2) Mengatasi dan ikut bertanggung jawab atas terlaksananya pengobatan
lanjutan difasilitas kesehatan yang ada dan pengawasan dalam pemberian
obat di rumah.
3) Membantu pelaksanaan kegiatan sebelum dan setelah perawatan klien dan
bertanggung jawab atas kemadirian klien.
4) Menjalankan kerja sama yang baik dengan petugas kesehatan dalam
rangka partisipasi dalam proses pengobatan dan pemulihan di rumah.
5) Menciptakan hubungan yang baik dengan lingkungan keluarga dan
tetangga dalam rangka pemberian pengertian kepada masyarakat terkait
tentang keadaan, perilaku dan penyakit klien sehingga bersifat positif,
suportif dan membantu meneteramkan apabila klien memperlihatkan
perilaku negatif.
6) Membantu mencari tempat kerja di masyarakat sehingga kondisi klien
yang baik tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan.
7) Berpartisipasi secara aktif dan konstruktif dalam proses terapi keluarga.
19
perawatan halusinasi dan peroses terjadinya penyesuaian kembali klien di
rumah Oleh karena itu, peran keluarga dalam proses pemulihan, mencegah
kekambuhan dan mengontrol halusinasi di rumah sangat diperlukan.
2.2.6. Kekuatan Keluarga
Ketika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (halusinasi)
hal tersebut akan memperburuk keadaan mental keluarga, tetapi itu
lama-kelamaan akan menjadi biasa. Bahkan pada beberapa anggota keluarga
tanpadisadari terjadi perubahan dalam komunikasi dan pada keluarga lain tanpa
disadari berkerja sama untuk memulihkan atau memperbaiki komunikasi mereka
sehingga menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya (Barry, 1998,
dalam Ngadiran, 2010). Belajar untuk mengatasi masalah yang terjadi merupakan
kekuatan keluarga untuk berusaha mengontrol mereka (Stuart & Sunden,
1995,dalam Suwardiman, 2011). Menurut Friedman (1998) dalam Ngadiran
(2010), kekuatan keluarga terdiri dari keterampilan komunikasi, kemampuan
mendengar, kemampuan anggota keluarga berdiskusi dengan masalah,
pengungkapan persepsi-persepsi tentang realitas yang sama dalam
keluarga,keinginan keluarga untuk memiliki harapan dan apresiasi, bahwa
perubahan mungkin saja terjadi, dukungan dari dalam keluarga, kemampuan
memberikan penguatan satu sama lain,kemampuan anggota keluarga menciptakan
suasana memiliki, kemampuan dalam merawat diri, kemampuan anggota keluarga
bertanggung jawab terhadap masalah-masalah kesehatan, kemampuan anggota
20
2.3. Konsep Beban Keluarga 2.3.1. Pengertian Beban Keluarga
Beban keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga sebagai efek
dari kondisi anggota keluarganya. Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya
stres emosianal dan ekonomi keluarga adalah tingkat pengalaman distres keluarga
sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya (Fontaine, 2009, dalam Nuraenah,
2012).
Kondisi klien dengan halusinasi tersebut dapat menimbulkan efek
psikologis bagi keluarganya. Keluarga sering merasa malu dan marah terhadap
tingkah laku klien (misalnya, tertawa – tawa sendiri, berperilaku aneh), dan tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Klien yang menderita seumur hidup menjadi
beban bagi keluarga. Masalah yang sering dihadapi keluarga adalah klien susah
jodoh, diasingkan oleh lingkungan dan sumber dana yang diperlukan.
Masalah yang dihadapi keluarga tidak dapat dihindarkan, karena klien
dengan skizofrenia dengan halusinasi kronis memerlukan pembiayaan yang tidak
sedikit (Walton &Moss, 2005, dalam Ngadiran, 2010).
Pada keluarga dengan gangguan jiwa, stressor yang dihadapi berbeda
dengan keluarga dengan dengan masalah kesehatan lain. Selain berkaitan dengan
biaya yang dikeluarkan untuk perawatan, ketidakmampuan klien dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari juga pada stigma masyarakat pada klien gangguan jiwa.
Stressor yang dialami oleh keluarga dengan gangguan jiwa sering dikenal dengan
21
Gangguan jiwa dapat berdampak negatif pada keluarga. (Stuart & Laraia,
2001, dalam Suwardiman, 2011) dampak yang terjadi meliputi ; meningkatnya
konflik dan stress keluarga, saling menyalahkan satu sama lain, kesulitan untuk
mengerti dan menerima keluarganya yang sakit, meningkatnya emosi ketika
berkumpul dan kehilangan energi, waktu, uang untuk merawat anggota
keluarganya.
2.3.2. Pembagian Beban Keluarga
Pembagian beban keluarga juga disampaikan oleh Mohr (2006) dalam
Ngadiran (2010) yaitu bahwa beban keluarga terbagi atas tiga jenis :
1) Beban Obyektif
Beban obyektif adalah masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan
perawatan klien, yang meliputi; tempat tinggal, makanan, transportasi,
pengobatan, keuangan, intervensi krisis. Keluarga memerlukan biaya untuk klien
di rumah sakit, mengantarkannya berobat. Hal ini akan semakin meningkat jika
berlangsung lama.
2) Beban Subyektif
Beban subyektif adalah masalah yang berhubungan dengan kehilangan,
takut, merasa bersalah, marah dan perasaan negatif lainnya yang dialami oleh
keluarga sebagai respon terhadap anggota keluarga yang gangguan jiwa. Perasaan
kehilangan timbul karena menganggap bahwa masa depan keluarga dan klien
seolah telah berakhir (Mohr, 2006, dalam Ngadiran, 2010). Perasaan takut,
22
sendiri, marah terhadap keluarga, bahkan terhadap Tuhan (Mohr, 2006, dalam
Ngadiran, 2010)
3) Beban Iatrogenik
Beban yang tidak kalah pentingnya adalah beban iatrogenik yaitu beban
yang disebabkan karena tidak berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang
tidak mengetahui teori keluarga. Beban iatrogenik itu meliputi tentang pelayanan
yang di berikan oleh tenaga kesehatan : dokter, perawat, farmasi, gizi , pelayanan
dari tenaga penunjang lainya: sosial worker, analasis, administrasi, informasi .Hal
ini mengakibatkan proses pengobatan dan pemulihan tidak berjalan sesuai yang di
harapkan.
Sedangkan menurut WHO (2008) dalam Suwardiman (2011),
mengkategorikan beban keluarga dengan klien halusinasi dibagi kedalam dua
jenis yaitu:
1. Beban obyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan masalah dan
pengalaman anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas
kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik
anggota keluarga.
2. Beban subyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi
psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan,
kecemasan dan malu dalam situasi sosial, koping, stress terhadap
gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan karena perubahan
23
2.3.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga
Faktor-Faktor yang mempengaruhi beban keluarga penderita skizofrenia
merupakan beban bagi keluarga. Beban keluarga ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi beban keluarga antara lain:
1) Perjalanan penyakit
Penderita skizofrenia sering mangalami ketidakmampuan seperti merawat
diri, berinteraksi sosial, sehingga sangat bergantung kepada keluarga yang akan
menjadi beban baik subyektif maupun obyektif (Kaplan & Sadock, 2000 dalam
Nuraenah, 2012). Siregar, Arijanto dan Wati (2008) dalam Nuraenah (2012)
menemukan bahwa gejala positif dan negatif klien skizofrenia berperan dalam
beratnya beban caregiver, semakin tinggi skor sindrom positif dan negatif
skizofrenia maka semakin berat beban yang dirasakan.
2) Stigma
Pada kehidupan masyarakat, skizofrenia masih dianggap sebagai penyakit
yang memalukan dan merupakan aib bagi keluarga, dan sering dianggap sebagai
ancaman yang mengganggu keamanan sekitarnya. Keadaan ini menyebabkan
keluarga dikucilkan dan mengalami isolasi sosial dari masyarakat. Hal ini menjadi
beban bagi keluarga baik beban subyektif maupun beban obyektif. Menurut Sane
Research (2009) dalam Nuraenah (2012), stigma adalah suatu usaha untuk label
tertentu sebagai kelompok yang kurang patut dihormati dari pada yang lain.
Stigma masih tersebar luas di Australia. Australia menghabiskan sekitar 8% dari
24
adalah 12% atau lebih, kekurangan ini memiliki efek drastis pada kapasitas
layanan. Keadaan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Australia. Orang
yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan dengan cara yang tidak pantas.
Kalau kita melihat pelayanan kesehatan di Indonesia, bahwa bangsal-bangsal yang
ada di rumah sakitumum banyak yang belum ada bangsal jiwanya hal ini
menunjukkan bukan hanya masyarakat awam saja yang melakukan diskriminatif,
tetapi para profesionalpun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap
penderita gangguan jiwa. Menurut Hawari (2009) dalam Nuraenah (2012), stigma
merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang menggangap bahwa bila salah
seorang anggota keluarga menderita skizofrenia merupakan aib bagi anggota
keluarganya. Selama bertahun-tahun banyak bentuk diskriminasi di dalam
masyarakat. Penyakit mental masih menganggap kesalahpahaman, prasangka,
kebingungan, ketakutan di tengah-tengah masyarakat.
3) Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan khususnya kesehatan mental merupakan sarana yang
penting dalam melakukan perawatan terhadap skizofren. Kemudahan keluarga
untuk membawa klien kepelayanan kesehatan akan mengurangi beban keluarga
dalam merawat, begitu juga sebaliknya, jika pelayanan kesehatan khususnya
mental tidak tersedia atau sulit dijangkau akan menyebabkan keadaan klien lebih
buruk yang akan menjadi beban bagi keluarga yang merawat (Thonicraft &
25
4) Pengetahuan terhadap penyakit
Pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dan cara perawatannya sangat
mempengaruhi proses fikir keluarga.
5) Ekspresi emosi
Ekspresi emosi adalah keadaan individu yang terbuka dan sadarakan
perasaannya dan dapat berpartisipasi dengan dunia eksternal dan internal (Keliat,
2000, dalam Nuraenah, 2012). Beberapa penelitian menemukan bahwa ekspresi
emosi keluarga yang tinggi rata-rata memiliki beban yang tinggi jika
dibandingkan dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang rendah.
Angiananda (2006) dalam Nuraenah (2012), menemukan bahwa emosi keluarga
berkaitan dengan pengetahuan menyebabkan emosi tinggi karena merasa
terbebani dengan perilaku klien. Tingginya angka kekambuhan tersebutkan
meningkatkan ketidakmampuan penderita yang menyebabkan beban bagi
keluarga.
6) Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam
penilaian beban keluarga. Perawatan klien skizofrenia membutuhkan waktu yang
lama sehingga membutuhkan biaya yang banyak. Penelitian Gururaj, Bada, Reddy
dan Chandrashkar (2008) menemukan bahwa dari enam dimensi beban keluarga
dengan skizofrenia, skor finansial memiliki rata-rata yang paling tinggi. Oleh
karena itu, apabila keluarga tidak memiliki sumber dana yang cukup atau jaminan
26
2.3.4. Beban Keluarga Merawat Pasien Halusinasi.
Menurut WHO (2003), secara umum dampak yang dirasakan oleh keluarga
dengan adanya anggota keluarga mengalami halusinasi adalah tingginya beban
ekonomi, beban emosi keluarga, stress terhadap perilaku pasien yang terganggu,
gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga sehari-haridan keterbatasan
melakukan aktivitas sosial. Selain itu juga muncul beban keluarga karena stigma
social terhadap penderita halusinasi tersebut, beban yang muncul bisa berupa
psikologis.
Prilaku halusinasi adalah akibat kesalahan persepsi sensori dari kelima
pancaindra, penyimpangan prilaku klien sangat bervariasi tergantung dari tingkat
terjadinya halusinasi. Penimpangan prilaku yang terjadi meliputi; terseyum lebar,
menggerakkan bibir tanpa membuat suara, perhatian menyempit, kesulitan
berhubungan dengan orang lain, tampak cemas, tidak mampu mengikuti perintah,
prilaku klien seperti di hantui teror, potensi kuat untuk bunuh diri atau membunuh
orang lain, menarik diri, tidak bisa pada lebih dari satu orang.
Prilaku klien dengan halusinasi di atas menimbulkan beban bagi
keluarganya, karena keluarga harus lebih sabar, perhatian, menyediakan waktu
yang khusus, klien tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya,
selain itu masih banyak keluarga yang merasakan beban atau kesulitan dalam
merawat anggota keluarganya dengan halusinasi, keluarga sangat membutuhkan
sumber-sumber dukungan seperti apa yang dapat mendukung keluarga tersebut
dalam merawat anggota keluarganya yang mengalami halusinasi (Ngadiran,
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas ini
cenderung semakin meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan
seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran,
masalah dalam pernikahan, krisis ekonomi, tekanan dalam pekerjaan dan
deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).
Depertemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, menyatakan jumlah
penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta. Dari 150 juta populasi
orang dewasa Indonesia, berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes), ada
1,74 juta orang mengalami gangguan mental emosional. Sedangkan 4 % dari
jumlah tersebut terlambat berobat dan tidak tertangani akibat kurangnya layanan
untuk penyakit kejiwaan ini. Krisis ekonomi dunia yang semakin berat
mendorong jumlah penderita gangguan jiwa di dunia, dan Indonesia khususnya
kian meningkat, diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari penduduk Indonesia
mengalami gangguan jiwa (Rabba, Dahrianis dan Rauf, 2014).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Pasien merasakan
stimulus yang sebenarnya tidak ada. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan