KETERKAITAN PRODUKSI DENGAN BEBAN MASUKAN
BAHAN ORGANIK PADA SISTEM BUDIDAYA INTENSIF
UDANG VANAME (
Litopenaeus vannamei
Boone 1931)
TATAG BUDIARDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei Boone 1931)“ adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi di mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Pebruari 2008
ABSTRACT
TATAG BUDIARDI. Relation of Production and Organic Matter Loading at Vaname Shrimp (Litopenaeus vannamei, Boone 1931) Intensive Culture System. Under direction of CHAIRUL MULUK, BAMBANG WIDIGDO, KARDIYO PRAPTOKARDIYO, and DEDI SOEDHARMA.
A study on relation of production and organic matter loading at vaname shrimp (Litopenaeus vannamei) intensive culture system was conducted in Pelabuan Ratu, West Java during Mei-Agustus 2003. The research was aim at evaluating inappropriate feeding practices, and suitability of its water quality obtained. This study was based on observations ponds during one growout period (100 days) with causal design and ex post-facto method to obtain data on water quality and production.
The result showed that degradation of water quality occurred not until the 40th day of cultivation, and progressively decreased up to the end of the growout period. The high level of feed utilization produced suitable water quality, and high shrimp growth rates, thus, yielding high shrimp biomass. Feed-shrimp biomass relationship could be expressed by the following regression: y = 0.7931x + 787.6 (R2 = 0.9357) from which the shrimp biomass production was reached at 7648 ± 565 kg/ha on 8650 kg feed, giving a feed conversion ratio of 1.1. Feeding level (y, kg/day) was determined by amount of shrimp (x1) and mortality rate, mean
weight of shrimp (x2, gram) and the specific growth rate, culture time (t, day) and
feeding rate (x3, 3-4%) or (x4, 2-3%), could be expressed by the following
regression: y = {[x1 exp(-0.0002t)] [x2 exp(0.0245t)] x3} on T2 (D40-D70) and
y = {[x1 exp(-0.0003t)] [x2 exp(0.0115t)] x4} on T3 (D70-D100).
RINGKASAN
TATAG BUDIARDI. Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei Boone 1931). Dibimbing oleh CHAIRUL MULUK, BAMBANG WIDIGDO, KARDIYO PRAPTOKARDIYO, dan DEDI SOEDHARMA
Penelitian keterkaitan produksi dengan beban masukan bahan organik pada sistem budidaya intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei) telah dilakukan di Pelabuan Ratu, Jawa Barat pada bulan Mei-Agustus 2003. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat pemanfaatan pakan dan kelayakan kualitas air sebagai landasan bagi estimasi pertumbuhan dan produksi dari setiap tahap pemeliharaan pada sistem budidaya intensif udang vaname. Penelitian ini didasarkan pada observasi tambak selama satu masa pemeliharaan (100 hari) dengan desain kausal dan metode ex post-facto untuk mendapatkan data kualitas air dan produksi udang.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa masa pemeliharaan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal (T1; H1-H40), tahap transisi (T2; H40-70) dan tahap akhir (T3; H70-100). Konsentrasi DO pada petak A, B, C, D, E dan F tidak berbeda nyata (P>0.05) pada T1, T2 dan T3, serta masih layak. Media pada awal pemeliharaan pada semua petak bersalinitas 35 ppt dan terus meningkat selama pemeliharaan, serta tidak layak bagi kehidupan udang karena berkisar pada 35-40 ppt. Suhu pada semua petak cenderung menurun selama pemeliharaan, namun tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) pada T1, T2 dan T3 dengan rata-rata 28.5 OC, 26.0 OC dan 25.5 OC. Alkalinitas cenderung menurun selama pemeliharaan, namun tidak berbeda nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 113.7 mg/L, 114.2 mg/L dan 104.9 mg/L. Nilai pH air tidak berbeda nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 7.8, 7.4 dan 7.6. Konsentrasi bahan organik total (TOM) tidak berbeda antar nyata petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 50.97, 104.58 dan 198.67 mg/L. Konsentrasi amoniak tidak berbeda nyata antar petak pada T1 (P>0.05) dengan rata-rata 0.009 mg/L. Konsentrasi amoniak pada kelompok petak D, E dan F lebih tinggi dari pada kelompok petak A, B dan C di T2 dan T3 (P<0.05). Hidrogen sulfida mulai terbentuk pada T2, yaitu pada petak A, B dan C di H50, serta di petak D, E dan F pada H70. Konsentrasi H2S pada petak D dan E sudah
masuk pada tingkat mematikan pada akhir pemeliharaan.
Pada N/P>16, fitoplankton didominasi oleh kelompok fitoplankton positif, sedangkan pada N/P<16 didominasi oleh kelompok fitoplankton negatif. Pergeseran dominasi ke arah kelompok fitoplankton negatif mulai terjadi pada T2 dan berlanjut pada T3, serta pada H100 terjadi di semua petak tambak.
DO defleksi tidak berbeda nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 0.48, 0.74 dan 1.40 mgO2.L-1.jam-1. DO defisit tidak berbeda
nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata oksigen -0.95, -8.18 dan -10.78 mgO2.L-1.hari-1. DO minimum tidak berbeda nyata antar petak di
Tingkat pemberian pakan pada T1 dan T2 tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) dengan rata-rata 38 kg/47.2 kg udang per hari dan 121 kg/2625 kg udang per hari. Pada T3 tingkat pemberian pakan A, B, C dan F sebanyak 138 kg/5634 kg udang per hari lebih tinggi dibandingkan dengan petak D dan E dengan rataan 90 kg/4403 kg udang per hari. Biomassa mati pada petak A, B dan C lebih rendah daripada petak lainnya, dengan rataan berturut-turut pada T1, T2 dan T3 sebesar 0.2, 0.7, dan 1.5 kg/hari; pada petak D dan F sebesar 2.9, 15.9 dan 24.0 kg/hari; serta pada petak E sebesar 8.9, 68.9 dan 47.0 kg/hari.
Tingkat pemanfaatan pakan bagi biomassa tumbuh (IOIR-BG) pada T1 dan T2 tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) dengan rata-rata 1.29 dan 0.93. IOIR-BG berbeda nyata pada T3 (P<0.05), yaitu rata-rata pada kelompok petak A, B dan C sebesar 0.59, sedangkan pada kelompok petak D, E dan F sebesar 0.09. Tingkat pemanfaatan pakan bagi biomassa mati (IOIR-BE) berbeda nyata antar petak (P<0.05) pada T1 dengan nilai terendah pada kelompok petak A, B dan C. Pada T2, nilai IOIR-BE berbeda antar petak (P<0.05) dengan nilai tertinggi di petak E, sedangkan terendah di petak A, B, C, D dan F. Pada T3, nilai IOIR-BE berbeda antar petak (P<0.05) dengan nilai terendah pada petak A, B dan C. Dengan demikian, petak A, B dan C lebih efisien dalam pemanfaatan pakan dibandingkan dengan petak D, E dan F.
Laju kematian dan sintasan pada petak A, B dan C termasuk baik sedangkan pada petak D, E dan F termasuk jelek. Laju pertumbuhan spesifik individu tidak berbeda nyata antar petak di T1, T2 dan T3 (P>0.05). Laju pertumbuhan spesifik biomassa tidak berbeda nyata antar petak di T1 dan T2 (P>0.05), namun petak A, B dan C lebih tinggi daripada petak D, E dan F pada T3. Produksi biomassa pada T1 dan T2 tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) dengan rata-rata masing-masing sebesar 971±116 kg/ha dan 3951±418 kg/ha. Produksi biomassa pada T3 berbeda nyata antar petak (P<0.05), yaitu kelompok petak A, B dan C lebih tinggi daripada kelompok petak D, E dan F.
Pemberian pakan yang tepat dan efisien bagi pembentukan biomassa berkelanjutan pada setiap tahap pemeliharaan menghasilkan produksi biomassa udang yang tinggi. Model prediksi biomassa yang dihasilkan (y) dari sejumlah pakan yang diberikan (x) selama 100 hari pemeliharaan berupa model regresi linier: y = 0.7931x + 787.6 (R2 = 0.9357) dengan produksi biomassa 7648 ± 565 kg/ha pada pemberian pakan sebanyak 8650 kg atau FCR sebesar 1.1. Jumlah pemberian pakan harian (y, kg/hari) ditentukan oleh jumlah populasi udang (x1,
ekor) dan laju mortalitas, bobot rata-rata udang (x2, gram) dan laju pertumbuhan
spesifik, waktu pemeliharaan (t, hari) serta tingkat pemberian pakan (x3, 3-4%)
atau (x4, 2-3%), dengan model regresi:
- Pada T2 (H40-H70) : y = {[x1 exp(-0.0002t)] [x2 exp(0.0245t)] x3}
- Pada T3 (H70-H100) : y = {[x1 exp(-0.0003t)] [x2 exp(0.0115t)] x4}
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KETERKAITAN PRODUKSI DENGAN BEBAN MASUKAN
BAHAN ORGANIK PADA SISTEM BUDIDAYA INTENSIF
UDANG VANAME (
Litopenaeus vannamei
Boone 1931)
TATAG BUDIARDI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Budidaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Disertasi : Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei Boone 1931)
Nama : Tatag Budiardi
NIM : P19600001
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Chairul Muluk, M.Sc. Dr. Ir. Bambang Widigdo
Ketua Anggota
Dr. Kardiyo Praptokardiyo Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA.
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi kemudahan dalam penyusunan disertasi dengan judul “Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei Boone 1931)” ini.
Atas terselesaikannya penulisan disertasi ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih setulusnya kepada :
1. Bapak Dr. Chairul Muluk, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Bambang Widigdo, Bapak Dr. Kardiyo Praptokardiyo dan Bapak Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA. sebagai Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan selama ini,
2. Bapak Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto sebagai Penguji pada Ujian Tertutup serta Dr. Ir. Endhay Kusnendar M. Kontara M.S. dan Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc. sebagai Penguji pada Ujian Terbuka atas bimbingannya,
3. Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor, Bapak Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, serta Bapak Ketua Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB atas ijin melanjutkan pendidikan yang telah diberikan,
4. Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI atas beasiswa yang telah diberikan, serta Staf Edukatif dan Administratif PPs-IPB atas bimbingan dan kerjasamanya,
5. Bapak Ir. Djoko Darmanto sebagai Direktur PT Bimasena Sagara beserta staf atas ijin, fasilitas dan bantuan yang diberikan selama penelitian,
6. Rekan-rekan Staf Edukatif Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB atas waktu yang telah diluangkan untuk diskusi dan dorongan morilnya, serta rekan-rekan Staf Administratif atas perhatian dan bantuannya,
7. Rekan-rekan mahasiswa SPs-IPB, terutama Angkatan 2000 yang telah banyak memberi bantuan dan masukan, rekan-rekan mahasiswa sepenelitian (Asep, Hanhan, Ismoko, Tommy dan Zacky) yang telah menunjukkan ketulusannya dalam bekerjasama sebagai suatu tim selama penelitian, serta semua pihak yang telah memberi masukan bagi perbaikan disertasi ini dan banyak membantu, baik moril maupun materiil, serta
8. Ibu dan bapak (almarhum), serta kakak-kakak beserta keluarganya yang telah banyak berdoa, serta istri (Nuning) dan kedua anak (Tita dan Febi) tercinta atas kebesaran jiwa, pengertian, dan dorongan morilnya selama ini.
Dengan segala keterbatasannya, semoga disertasi ini banyak memberi manfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Pebruari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nganjuk pada tanggal 2 Oktober 1963 sebagai anak dari pasangan Bapak Darmosuwito dengan Ibu Sudjiati. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan studi pada program magister sains pada Program Studi Ilmu Perairan, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan diselesaikan pada tahun 1998 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pada tahun 2000, penulis dengan sumber beasiswa yang sama memperoleh kesempatan mengikuti program doktor pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4.1.2 Tingkat Pemberian Pakan ... 51
4.1.2.1 Pemberian Pakan ... 51
4.1.2.2 Peningkatan Biomassa ... 52
4.1.2.3 Tingkat Pemanfaatan Pakan ... 54
4.1.3 Estimasi Pertumbuhan dan Produksi ... 55
4.1.3.1 Mortalitas dan Sintasan ... 55
4.1.3.2 Pertumbuhan Individu ... 57
4.1.3.3 Pertumbuhan Biomassa ... 58
4.1.3.4 Produksi ... 59
4.2 Pembahasan ... 59
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1 Kesimpulan ... 63
5.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 70
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kisaran nilai optimum parameter kualitas air bagi udang ... 9
2 Jenis variabel yang diukur selama penelitian dan metode pengukurannya 26 3 Pakan dan pemberian pakan udang selama pemeliharaan ... 32
4 Waktu pemberian pakan ... 33
5 Perbedaan nilai variabel kualitas air antar petak tambak pada tiap tahap waktu pemeliharaan ... 37
6 Frekuensi kejadian dominasi kelompok fitoplankton ... 45
7 Oksigen defleksi pada petak tambak menurut tahap waktu ... 46
8 Potensi defisit oksigen akibat tanpa fitoplankton dan tanpa aerasi kincir 47 9 Oksigen minimum pada petak tambak menurut tahap waktu ... 48
10 Penambahan, pengurangan dan cadangan oksigen terlarut ... 49
11 Tingkat pemberian pakan pada setiap petak menurut tahap waktu ... 51
12 Peningkatan biomassa pada setiap petak menurut tahap waktu ... 53
13 Tingkat pemanfaatan pakan ... 54
14 Laju mortalitas dan sintasan... 56
15 Laju pertumbuhan spesifik individu ... 57
16 Laju pertumbuhan spesifik biomassa ... 58
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram pemecahan masalah sistem produksi udang ... 6
2 Sebaran oksigen terlarut pada petak tambak menurut tahap waktu ... 38
3 Sebaran salinitas pada petak tambak menurut tahap waktu ... 39
4 Sebaran suhu pada petak tambak menurut tahap waktu ... 40
5 Sebaran pH pada petak tambak menurut tahap waktu ... 41
6 Sebaran alkalinitas pada petak tambak menurut tahap waktu ... 41
7 Sebaran bahan organik pada petak tambak menurut tahap waktu ... 42
8 Sebaran amoniak pada petak tambak menurut tahap waktu ... 43
9 Sebaran hidrogen sulfida pada petak tambak menurut tahap waktu ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Posisi petak tambak yang digunakan dalam penelitian ... 71
2 Tambak Biocrete ... 72
3 Model pemberian pakan untuk udang umur 1-50 hari ... 75
4 Model pemberian pakan untuk udang umur 51-100 hari ... 76
5 Metode pengukuran kualitas air ... 77
6 Data variabel kualitas air ... 80
7 Data variabel produksi ... 84
8 Analisis ragam bagi kualitas air ... 87
9 Analisis ragam bagi variabel produksi ... 94
10 Kurva hubungan biomassa dan jumlah pakan pada kelompok petak ... 100
1.1 Latar Belakang
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) mulai diintroduksi di Asia dalam
skala penelitian sekitar tahun 1978-1979. Udang ini kemudian dikembangkan
dalam skala komersial mulai awal tahun 1996 di wilayah Cina dan Taiwan. Usaha
budidaya tersebut kemudian berkembang dengan pesat hampir di semua wilayah
pantai Asia mulai tahun 2000-2001, yang meliputi wilayah Filipina, Indonesia,
Vietnam, Thailand, Malaysia dan India. Produksi udang dunia hasil budidaya
pada tahun 2002 sekitar 1.48 juta ton atau sekitar 49% dari total produksi udang
(hasil tangkap dan budidaya). Kontribusi udang windu (Penaeus monodon) dari
tahun 1994 sampai 2001 relatif stabil, yaitu sekitar 600 ribu ton sehingga secara
persentase menurun dari 68% menjadi 48%. Pada selang waktu tersebut terjadi
peningkatan produksi L. vannamei dan L. chinensis secara cepat dari 184974 ton
pada tahun 1994 menjadi 490616 ton pada tahun 2001 atau dari 21% menjadi
38% dari total udang budidaya (FAO 2003).
Di Indonesia, dalam dekade terakhir ini budidaya udang dikembangkan
secara mantap dalam rangka menanggapi permintaan pasar udang dunia.
Pengembangan budidaya udang vaname semakin pesat menggantikan budidaya
udang windu. Alasan utama bagi beralihnya komoditas budidaya udang windu ke
udang vaname antara lain adalah performa dan laju pertumbuhan udang windu
yang rendah serta kerentanannya yang tinggi terhadap penyakit. Hal ini
ditunjukkan dengan mulai menurunnya produksi industri budidaya udang akibat
patogen viral yang menyerang udang windu mulai tahun 1990. Produksi udang
kemudian meningkat lagi dengan pesat setelah dibudidayakannya udang vaname.
Produksi udang vaname pada tahun 2002 sebesar 5000 ton/tahun (10% dari total
produksi udang) dan diperkirakan menjadi 20000 ton/tahun (23% dari total
Dalam pengembangan industri budidaya udang diperlukan sumberdaya
lingkungan yang memadai untuk menghasilkan produksi yang ditargetkan. Namun
kondisi lingkungan, baik kuantitas maupun kualitas, semakin menjadi pembatas
sehingga sistem produksi cenderung berubah dari budidaya berbasis luasan
(ekstensifikasi) ke arah perbaikan pengelolaan sistem budidaya (intensifikasi)
(Thakur & Lin 2003). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam budidaya udang
vaname di tambak juga diterapkan sistem budidaya intensif.
Konsep dari sistem budidaya udang intensif yaitu penggunaan padat tebar
tinggi dengan diberi pakan yang tepat (Xincai & Yongquan 2001), agar tidak
mengakibatkan penurunan kualitas air sehingga kelangsungan hidup dapat
dipertahankan tinggi. Padat tebar pada sistem budidaya udang windu intensif
sekitar 20-50 ekor/m2, sedangkan pada udang vaname 75-150 ekor/m2 atau lebih.
Perbedaan padat tebar tersebut sangat berpengaruh terhadap teknik produksi.
Bagaimanapun, sifat udang windu yang lebih banyak menempati dasar tambak
akan berbeda dengan udang vaname yang cenderung menempati seluruh kolom
air. Selama ini, teknik produksi yang diterapkan pada budidaya udang vaname
kebanyakan mengadopsi dari teknik produksi udang windu.
Dalam sistem budidaya intensif, pemenuhan materi bagi pertumbuhan
udang diperoleh dari pemberian pakan buatan. Jumlah pakan yang diberikan akan
meningkat sesuai dengan peningkatan biomassa udang akibat adanya
pertumbuhan. Sisa pakan dan ekskresi udang akan membentuk kumpulan bahan
organik di dalam media pemeliharaan yang memerlukan oksigen terlarut untuk
menguraikannya (Boyd 1991; Primavera 1994). Kondisi ini berpotensi untuk
terjadinya defisit oksigen yang selanjutnya dapat menyebabkan kondisi anaerob
dalam sistem budidaya. Dalam kondisi anaerob, penguraian bahan organik akan
menghasilkan senyawa beracun, terutama amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida
(H2S) (Boyd 1991; Goddard 1996). Secara keseluruhan, kondisi ini akan
menyebabkan penurunan kualitas air sehingga mengganggu metabolisme dan
kehidupan udang. Selanjutnya, akibat akhir sebagai keluaran sistem adalah
rendahnya biomassa melalui penurunan laju pertumbuhan dan peningkatan
Prinsip dari penerapan sistim budidaya udang intensif adalah tingkat
pemanfaatan pakan yang tinggi dengan kualitas media tetap layak bagi kehidupan
udang sehingga pertumbuhan dan produksi udang dapat mencapai target yang
ditetapkan. Konsekuensi dari ketidaktepatan pemberian pakan yang diikuti
penurunan kualitas air adalah sintasan tidak sesuai harapan yang berlanjut pada
penurunan pertumbuhan biomassa udang. Oleh karena sistem budidaya udang
vaname intensif menggunakan padat tebar tinggi, maka peluang terjadinya
permasalahan pengelolaan pakan dan kualitas air menjadi tinggi. Untuk itu
diperlukan penelitian yang mengkaji dan mengevaluasi pengelolaan pakan dan
kualitas air untuk pemantapan teknologi budidaya udang vaname intensif.
1.2 Perumusan Masalah
Usaha budidaya udang vaname intensif sering menghadapi masalah, yaitu
target produksi dari lama waktu pemeliharaan yang diharapkan tidak dapat
tercapai. Pertumbuhan biomassa selama masa pemeliharaan sering tidak
berkelanjutan. Pada tahap lama waktu sebagian biomassa yang akan telah
terbentuk mendadak terelimimir karena adanya kematian parsial. Kematian
tersebut selain faktor eksternal juga disebabkan adanya gas-gas toksik dari hasil
penguraian feses dan kotoran. Sumber penyebab dari hilangnya biomassa udang
tersebut yaitu kualitas air menjadi tidak layak sebagai akibat lanjut degradasi dari
akumulasi sisa pakan dan kotoran udang. Sisa pakan atau kotoran udang tersebut
terjadi karena jumlah pakan yang diberikan, khususnya pada tahap periode awal
pemeliharaan ternyata tidak dimanfaatkan secara efisien bagi pembentukan
biomassa. Sisa-sisa pakan yang terakumulasi tersebut mengalami penguraian
sehingga meningkatkan respirasi metabolik perairan.Ketersediaan oksigen terlarut
menjadi tidak memenuhi kebutuhan oksigen bagi respirasi udang, fitoplankton
maupun penguraian bahan organik sisa pakan. Tindakan penggunaan aerator
untuk meningkatkan ketersediaan oksigen sering terlambat untuk memenuhi
kebutuhan oksigen tersebut sehingga udang yang pada saat tersebut lemah akan
Untuk mengatasi masalah tersebut maka tingkat pemberian pakan di setiap
tahap pemeliharaan diupayakan optimal bagi pembentukan biomassa. Dengan
pemberian pakan yang tepat maka mortalitas yang mengakibatkan tereliminasinya
biomassa udang yang telah terbentuk dapat dihindari.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat pemanfaatan pakan
dan kelayakan kualitas air sebagai landasan bagi estimasi pertumbuhan dan
produksi dari setiap tahap pemeliharaan pada sistem budidaya intensif udang
vaname. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model hubungan antara
jumlah pakan dan pertumbuhan biomassa udang untuk dijadikan dasar
perencanaan, implementasi dan evaluasi sistem budidaya udang vaname intensif.
1.4 Konsep Pemecahan Masalah
Produksi dari budidaya udang vaname intensif ditentukan oleh perpaduan
antara pertumbuhan biomassa dan sintasan serta jaminan kelayakan kualitas air
dari setiap tahap periode pemeliharaan. Berhubung pemberian pakan pada tahap
tertentu tidak tepat atau tidak efisien dimanfaatkan bagi pembentukan biomassa
bahkan berakibat lanjut terhadap ketidaklayakan kualitas air serta mengakibatkan
kematian, maka tingkat pemberian pakan dari setiap tahap perlu direevaluasi
ketepatannya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka diajukan suatu
konsep: pemberian pakan bagi pembentukan biomassa berkelanjutan yang tepat
serta efisien dari setiap tahap pemeliharaan sehingga tidak mengakibatkan
penurunan kelayakan kualitas air. Pakan diberikan secara optimal dimanfaatkan
bagi pembentukan biomassa sehingga biomassa yang hilang dapat dihindari.
Sehubungan dengan konsep upaya perbaikan tingkat pemberian pakan yang
tepat bagi pertumbuhan biomassa udang, maka perlu dikaji :
1) Efisiensi pemanfaatan pakan bagi pembentukan biomassa dari setiap tahapan
pemeliharaan.
2) Kelayakan kualitas air sehubungan dengan kemungkinan adanya akumulasi
3) Pertumbuhan dan peningkatan biomassa udang setiap tahap pemeliharaan
sehubungan dengan efisiensi pemanfaatan pakan dan kelayakan kualitas air.
Kajian tersebut dilakukan mengikuti diagram pemecahan masalah sistem produksi
udang yang tertera pada Gambar 1.
1.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah jika tingkat
pemanfaatan pakan dari setiap tahap pemeliharaan udang dapat tinggi, maka
kualitas air selalu layak bagi kehidupan udang sehingga pertumbuhan biomassa
MGT = Managemen; KUA = kualitas air
Gambar 1 Diagram pemecahan masalah sistem produksi udang
Kategori dasar bagi respons organisme terhadap lingkungan dapat dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu 1) pertumbuhan dan kelangsungan hidup, 2) konsumsi
oksigen dan pakan, serta 3) produk metabolisme. Dua kelompok pertama
berhubungan dengan keluaran sistem sedangkan produk metabolisme merupakan
kelompok yang berpengaruh terhadap lingkungan sistem budidaya.
2.1 Intensitas dan Produktivitas Tambak Udang
Pertumbuhan budidaya udang di Asia terganggu oleh banyak permasalahan,
antara lain perjangkitan penyakit, degradasi kualitas lingkungan serta kelemahan
praktek manajemen (Primavera 1998) sehingga diperlukan pengembangan dan
diseminasi bidang akuakultur udang, baik yang ramah lingkungan maupun
kelayakan secara ekonomis (Funge-Smith dan Briggs 1998). Untuk mengurangi
dampak lingkungan dari buangan air tambak dan mengurangi resiko pencemaran
penyakit dari air yang terpolusi dari luar, maka budidaya udang intensif
berkembang dari 'sistem terbuka' dengan pergantian air menjadi 'sistem tertutup'
dengan sedikit atau 'nol' (tanpa) pergantian air (Thakur & Lin 2003).
Budidaya semi-intensif saat ini merupakan teknologi utama yang digunakan
untuk budidaya Litopenaeus stylirostris. Namun, peluang untuk meningkatkan
produksi yang dapat dilakukan tanpa meningkatkan luasan tambak dan
mengurangi dampak lingkungan dengan pengurangan pergantian air tambak telah
mendorong masyarakat untuk beralih ke teknologi intensif (Hernandez-Llamas et
al. 2004).
Eutrofikasi yang cepat didalam tambak sebagai hasil peningkatan
konsentrasi nutrien dan bahan organik selama periode pemeliharaan merupakan
masalah utama dalam sistem tertutup. Kondisi air tambak yang super-eutrofik
merupakan indikator lingkungan yang kurang baik dan dapat mengarah ke
penurunan daya dukung tambak (Lin 1995). Dengan demikian keseimbangan
antara produksi limbah dan kapasitas asimilasi didalam lingkungan tambak
strategi untuk mengatasi dampak limbah terhadap pertumbuhan organisma
budidaya, mortalitas, serta keseluruhan total biomassa didalam sistem produksi
(Thakur & Lin 2003).
Selama 90 hari udang windu (Penaeus monodon) dibudidaya secara intensif
tanpa pergantian air (closed system) dengan padat tebar 25 dan 50 juvenil/m2
menghasilkan pertambahan bobot udang dan produksi tertinggi pada padat tebar
50 juvenil/m2, sedangkan SR tidak berbeda antar padat tebar (Thakur & Lin
2003). Tidak ada perbedaan SR udang pada media bersalinitas 9, 18 dan 36 ppt.
Namun penurunan salinitas dari 36 ppt ke 9 ppt mengarah pada penurunan bobot
akhir udang dari 13.40 ± 0.26 g menjadi 10.23 ± 2.72 g (Decamp et al. 2003).
Dari hasil penelitian pada 8 petak budidaya udang windu intensif dengan
luas efektif masing-masing 4000 m2 dan berpadat tebar 34-35 ekor PL12/m2,
didapatkan derajat kelangsungan hidup pada hari ke-90 sebesar 74.27 ± 6.38%
dengan kisaran 64.58-84.31%. Mortalitas udang yang tinggi akibat serangan
penyakit terjadi pada umur 95-100 hari pemeliharaan (Budiardi, 1998).
2.2 Faktor dan Proses Penentu Produktivitas
2.2.1 Mortalitas dan Kualitas Air
Pasokan kualitas air yang baik merupakan faktor penting bagi budidaya
perairan karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan
hidup organisme akuatik (Chien 1992). Dalam siklus pembesaran, udang akan
terkena tekanan akibat perubahan lingkungan yang bervariasi termasuk faktor
alam, misalnya salinitas dan suhu. Hal tersebut dapat mengarah ke penurunan
permorfa yang terkait dengan pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang
(Wyban et al. 1995). Kondisi perairan dengan pH ekstrim juga dapat membuat
udang tertekan, pelunakan karapas, serta kelangsungan hidup rendah. Mortalitas
tinggi pada udang terjadi pada pH perairan di bawah 6.0 sedangkan pada pH 3.0
dalam 20 jam terjadi kematian 100% (Law 1988). Mortalitas udang yang tinggi
juga dapat disebabkan karena adanya perubahan salinitas secara cepat (Tseng
Di sedimen, potensi reduksi-oksidasi mengontrol reduksi sulfat menjadi
sulfit. Di kolom air, hidrogen sulfida berbentuk anionik (H2S) yang bersifat
toksik bagi udang serta berbentuk ion (HS- dan S2-) (Boyd 1991; Goddard 1996).
Hidrogen sulfida secara cepat teroksidasi pada kondisi oksigen terlarut yang
tinggi. Oleh karena itu, gas tersebut jarang ditemukan pada lapisan air permukaan
namun menjadi masalah utama bagi organisme dasar yang meliang, termasuk di
dalamnya adalah udang (Goddard 1996). Hasil penelitian menyatakan, bahwa
perairan dengan konsentrasi H2S di bawah 0.009 mg/l tidak menyebabkan
kematian udang, sedangkan kematian total terjadi pada konsentrasi 0.064 mg/l
(Law 1988). Beberapa nilai optimum parameter kualitas air yang mendukung
budidaya udang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Kisaran nilai optimum parameter kualitas air bagi udang Parameter Satuan Nilai optimum Pustaka
Oksigen terlarut mg/l > 5 > 4
Yang (1990)
Udang vaname dapat tumbuh pada perairan salinitas rendah. Diperkirakan
lebih dari 30% budidaya udang di Thailand dilakukan pada perairan bersalinitas
rendah. Namun hal yang penting, air payau tambak di Thailand merupakan air
asin yang dialirkan ke darat dari kawasan pantai sehingga mempunyai
perbandingan ion yang serupa dengan air laut (Saoud & Davis 2003).
Udang vaname hidup pada perairan dengan kisaran salinitas antara 1-40 ppt
(Bray et al. 1994), serta dapat tumbuh pada perairan dengan salinitas berkisar
antara 0.5 ppt (Samocha et al. 2001) sampai 28.3 ppt (Smith & Lawrence 1990
dalam Saoud & Davis 2003). Namun demikian menurut Tsuzuki et al. (2000),
pascalarva (PL) dan juvenil udang penaeid tidak terlalu toleran terhadap fluktuasi
salinitas yang besar. Pascalarva penaeid yang mempunyai toleransi lebar terhadap
salinitas adalah setelah PL10-PL40. Sebelum periode tersebut, petani tidak akan
mengaklimatisasikan udang ke salinitas rendah.
Pada umumnya, udang penaeid merupakan spesies eurihalin dan juvenil
udang vaname telah berhasil dipelihara pada salinitas 5-35 ppt (Sturmer &
Lawrence, 1989; Bray et al. 1994; Ponce-Palafox et al. 1997). Bagaimanapun,
perbedaan salinitas dapat mempengaruhi fisiologi udang dan parameter kualitas
air, misalnya laju ekskresi amonium-N lebih rendah pada 25 ppt daripada 10 ppt
atau 40 ppt (Jiang et al. 2000). Ekskresi nitrit-N juvenil Penaeus chinensis
meningkat dengan meningkatnya salinitas, pH dan tingkat amonium-N ambien,
sedangkan ekskresi amonium-N menurun dengan meningkatnya salinitas, pH dan
tingkat amonium-N ambien (Chen & Lin 1995).
Kapasitas osmoregulasi udang dari kelompok yang sama menunjukkan
keragaman antar individu. Jika salinitas media diturunkan, maka keragaman akan
meningkat. Pada media isoosmotik (salinitas 26 ppt), koefisien keragaman
kapasitas osmoregulasi sebesar 2.7%, sedangkan pada salinitas 1.5 ppt bernilai
8.2%. Perbedaan koefisien keragaman kapasitas osmoregulasi antar invidu pada
tingkat salinitas yang sama dapat meningkat lebih dari 45.8%. Kapasitas
osmoregulasi rata-rata pada individu yang bertahan hidup setelah melalui uji stres
salinitas dan suhu secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
awalnya. Peningkatan kapasitas osmoregulasi tersebut dapat bertahan selama satu
Buangan yang dihasilkan dalam sistem (internal waste) budidaya udang
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu buangan padat yang terdiri dari pakan
yang tidak termakan dan feses, serta produk ekskresi terlarut, yang meliputi
amonia, urin, bahan organik terlarut dan karbondioksida. Diperkirakan lebih dari
sepertiga pakan yang digunakan pada budidaya intensif tidak dapat dicerna.
Komponen tersebut, bersama dengan mukus, bakteri dan sel-sel dari dinding
saluran pencernaan diekskresikan berupa feses yang mengandung lebih dari 30%
karbon dan 10% nitrogen yang dikonsumsi (Goddard 1996).
Menurut Goddard (1996), buangan yang dihasilkan selama pemeliharaan
udang berpotensi untuk membahayakan, baik bagi lingkungan tambak maupun
bagi lingkungan luar yang memakai air buangan tersebut. Pakan yang tidak
termakan menjadi masalah utama bagi budidaya, terutama bagi kolam-kolam
statis dengan laju pergantian air yang rendah.
Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai
bahan organik partikulat dalam agregar besar, atau organisme yang mati, yang
bersumber, baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allochtonous)
perairan. Secara umum, komposisi bahan organik meliputi protein (40-60%),
karbohidrat (25-50%), lemak dan minyak (10%), serta urea. Kandungan bahan
organik tersebut dapat diukur secara langsung dengan cara mengukur kandungan
bahan organik total (total organic matter, TOM) dan secara tidak langsung
dengan cara mengukur kebutuhan oksigen secara biokimia (biochemical oxygen
demand, BOD) atau kebutuhan oksigen secara kimia (chemical oxygen demand,
COD) (Wetzel & Likens 1991).
Kandungan bahan organik mempengaruhi kandungan oksigen terlarut dalam
air. Penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam air sehingga semakin
banyak bahan organik di air maka kandungan oksigen terlarut menjadi semakin
berkurang (Boyd 1979). Terkait dengan hal ini, Goddard (1996) menyatakan,
bahwa sisa pakan pada pemeliharaan udang menjadi subyek bagi perombakan
bakterial. Pada kondisi aerobik, proses tersebut akan meningkatkan pemakaian
oksigen. Jika pasokan oksigen berkurang, sedimen akan menjadi anaerobik dan
hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri heterotrof dapat terakumulasi
merupakan gas berkelarutan tinggi yang dalam konsentrasi rendah sudah bersifat
toksik bagi udang. Gas tersebut dapat menimbulkan masalah yang nyata pada
kolam-kolam budidaya, terutama yang pergantian airnya kurang mencukupi untuk
pengenceran sampai pada tingkat yang aman.
Laju pemakaian oksigen oleh udang windu relatif konstan pada konsentrasi
oksigen terlarut 3.0-4.0 mg/l, salinitas 4-45 ppt dan suhu 20-30°C (Liao dan
Murai 1986). Udang dalam perairan berkadar oksigen 1.0 mg/l akan berhenti
makan, tidak tumbuh pada 1.0-1.4 mg/l, tidak berbeda laju konsumsi pakan pada
1.5 mg/l, pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l, serta normal pada konsentrasi di
atas 5 mg/l (Yang 1990). Mortalitas PL udang windu sebesar 35% terjadi pada
konsentrasi oksigen terlarut di bawah 1 mg/l dan kematian total terjadi pada
konsentrasi di bawah 0.5 mg/l (Law 1988). Untuk itu disarankan agar oksigen
terlarut setiap saat dipertahankan di atas 2.0 mg/l (Law 1988) atau 4.0 mg/l (Liao
dan Huang 1975 dalamChien 1992).
Menurut Allen et al. (1984), laju konsumsi oksigen umumnya diukur dalam
studi-studi metabolisme hewan karena dapat merefleksikan perbedaan antara
energi asimilasi dan energi untuk pertumbuhan. Model yang dapat
mengekspresikan ketergantungan laju konsumsi oksigen terhadap bobot hewan
adalah: dO/dt = kOWγ dengan dO/dt = laju konsumsi oksigen, serta kO dan γ
merupakan konstanta yang dihitung.
Dalam sistem perairan, keseluruhan model konsentrasi oksigen dapat
ditentukan dari keseimbangan massa dengan mengikuti persamaan yang diajukan
oleh Allen et al. (1984), yaitu perubahan DO sama dengan penambahan oksigen
dari fotosintesis, pasokan aerasi, aerasi alami, dan air masuk, serta pengurangan
dari respirasi fitoplankton, respirasi ikan, dekomposisi detritus, dan air keluar.
Laju perubahan setiap kategori tersebut dimodelkan sebagai fungsi kondisi
lingkungan eksternal dan internal (dalam kolam).
Budidaya udang penaeid pada air bersalinitas rendah sudah banyak
dilakukan, namun hanya ada sedikit informasi tentang kelayakan perairan dengan
berbagai komposisi ion untuk budidaya udang. Pada air bersalinitas rendah,
derajat kelangsungan hidup (SR) PL15 sama dengan PL20 namun lebih tinggi
terkandung dalam air, seperti K, Mg dan SO4 dan berkorelasi negatif dengan
konsentrasi besi tinggi (Saoud & Davis 2003).
Komponen sedimen yang secara nyata berkorelasi positif dengan bobot, SR
dan produksi udang adalah konsentrasi total dan ketersediaan besi (Fe), cadmium
(Cd), mangan (Mn), dan fosfor (P) serta tidak berkorelasi dengan tembaga (Cu)
dan seng (Zn). SR tertinggi dicapai pada sedimen dengan tingkat Mn tertinggi.
Bobot akhir tertinggi dicapai pada sedimen dengan kandungan fosfor tertinggi dan
sebaliknya dengan konsentrasi tembaga yang tinggi. Tekstur sedimen berpengaruh
pada produksi udang, yaitu rendah pada sedimen bertekstur pasir dan meningkat
pada sedimen berliat (Mendez et al. 2004).
Pada sistem akuakultur, sedimen tambak mempengaruhi perkembangan dan
kehidupan organisme. Substrat bagi jenis-jenis udang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang (Ray & Chien 1992), misalnya
Litopenaeus setiferus dan Farfantepenaeus aztecus berasosiasi dengan baik pada
substrat lumpur berpasir atau lumpur (Rulifson 1981 dalam Mendez et al. 2004);
Penaeus semisulcatus dan P. monodon pada substrat pasir dengan kisaran ukuran
0.9-0.12mm (Moller & Jones 1975 dalam Mendez et al. 2004); sedangkan L.
vannamei tumbuh lebih baik pada substrat yang impermeabel (dasar tanpa
sedimen, fiberglass) daripada substrat tanah (Bray & Lawrence 1993 dalam
Mendez et al. 2004).
2.2.2 Pertumbuhan dan Tingkat Pemberian Pakan
Nutrisi merupakan bahan baku yang dibutuhkan oleh suatu biota untuk
menyelenggarakan kehidupannya. Nutrien merupakan zat kimia yang diserap oleh
saluran dan kelenjar pencernaan serta dinding tubuh untukdigunakansel-sel tubuh
bagi pembentukan jaringan tubuh (anabolisme) dan pemenuhan energi dalam
metabolisme (katabolisme). Secara umum, keperluan nutrisi dipasok dari
kelompok nutrisi berenergi (karbohidrat, protein, dan lemak) serta kelompok tidak
berenergi atau faktor pertumbuhan (vitamin dan mineral) (Yamada 1983).
Energi diperoleh udang dari pakan yang dimakan. Energi dari total pakan
pertumbuhan (EG), serta sebagian energi hasil metabolisme (EE) yang dikeluarkan
berupa feses (EF) dan urine (EU). Energi metabolisme terdiri dari energi
metabolisme standar (tanpa makan dan tanpa pergerakan, ES), energi yang dipakai
untuk pencernaan, asimilasi dan penyimpanan (ED), serta energi untuk pergerakan
dan aktivitas lainnya (EA). Jadi rumusan tersebut dapat ditulis dalam persamaan
berikut (Braaten 1979 dalam Yamada 1983; Allen et al. 1984; Brett & Groves
1979 dalam Goddard 1996): EK = EG + EM + EE atau EK = EG + (ES +ED +EA) +
(EF + EU). Dari rumusan tersebut disimpulkan, bahwa pertumbuhan hanya dapat
terjadi jika terdapat kelebihan energi pakan setelah dikurangi dengan energi
metabolisme dan energi yang dikeluarkan, dengan rumus: EG = EK − (EM + EE).
Berdasarkan keseimbangan energi, pertumbuhan dapat disederhanakan
dalam persamaan: dw/dt = R - T. Nilai R (energi pakan yang diasimilasi) dihitung
dari selisih antara pakan yang dikonsumsi (100%) dengan hasil metabolit (EE =
20%), yaitu sekitar 80%. Nilai dw/dt adalah nilai pertumbuhan (EG) yang
merupakan parameter laju pertumbuhan. Nilai T merupakan energi metabolisme
(EM) yang dapat diukur melalui laju konsumsi oksigen (Allen et al. 1984).
Dalam mempelajari pertumbuhan udang, dua kajian penting yang perlu
dipertimbangkan adalah nilai kecernaan pakan dan nilai konversi pakan. Menurut
Primavera (1994), pakan yang diberikan (100%) akan tereduksi sekitar 15%
karena tidak termakan. Dari pakan yang dimakan (85%), jumlah yang diperlukan
untuk perbaikan sel, molting (ekdisis) dan ekskresi sekitar 48%, serta dikeluarkan
berupa feses dan urine sekitar 20%. Dengan demikian, sisa energi yang dapat
disimpan dalam bentuk pertumbuhan hanya sekitar 17% saja.
MenurutYamada(1983), pakan yang diperlukan selama pemeliharaan dapat
diprediksi dari nilai rasio konversi pakan (food conversion ratio, FCR). Nilai ini
menyatakan rasio antara jumlah pakan yang diberikan terhadap pertumbuhan
(pertambahan) biomassa udang yang umumnya berkisar 1-2. Kehadiran pakan
alami dan pakan lainnya selain dari pakan yang sengaja diberikan akan
menurunkan nilai FCR, yaitu mendekati, sama dengan atau kurang dari nilai 1.
Hal ini dimungkinkan karena adanya pemanfaatan jenis pakan selain dari pakan
tambak (Yamada 1983), bahan tumbuhan dan detritus (Gamboa-Delgado et al.
2003), serta flokulan (Burford et al. 2004).
Dalam kebanyakan sistem budidaya udang terbuka sebanyak 90% masukan
N dan P adalah dalam wujud pakan, dan sebagian besar dari porsi tersebut hilang
kedalam sistem dan hanya kurang dari seperenam yang terasimilasi didalam
biomass udang (Funge-Smith & Briggs 1998). Udang hanya dapat mengasimilasi
sekitar 23-31% N dan 10-13% P dari total input. Sumber utama input nutrien bagi
udang adalah pakan, yang mengandung sekitar 76-92% N dan 70-91% P dari total
input. Nutrien utama yang tenggelam di sedimen sebesar 14-53% N dan 39-67%
P dari total input. Air yang dialirkan pada saat panen berisi 14-28% N dan
12-29% P dari total input. Studi menunjukkan, bahwa sistem kultur udang tertutup
dapat memelihara kualitas air untuk pertumbuhan udang dan mengurangi
kehilangan nutrien melalui pengeluaran air dari tambak (Thakur & Lin 2003).
Menurut Allen et al. (1984), pendekatan langsung untuk memodelkan
konsumsi pakan adalah dengan mendeskripsikan jumlah pakan yang dikonsumsi
sebagai fungsi dari bobot dan kondisi lingkungan. Suatu alternatif kemungkinan
adalah dengan memodelkan pakan (dalam konteks energi yang diperlukan)
sebagai jumlah dari energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan energi yang
diperlukan untuk metabolisme (yang diukur sebagai konsumsi oksigen dalam
kondisi aktif). Model yang mengekspresikan ketergantungan laju konsumsi pakan
terhadap bobot secara umum mengikuti persamaan: dF/dt = kF.Wσ; dengan dF/dt
= laju konsumsi pakan, serta kF dan σ merupakan konstanta yang dihitung.
Dari hasil penelitian pada 8 petak budidaya udang windu intensif dengan
luas efektif masing-masing 4000 m2 dan berpadat tebar 34-35ekor PL-12/m2, pada
hari ke-90 didapatkan derajat kelangsungan hidup sebesar 74.27 ± 6.38% dengan
kisaran 64.58-84.31%; bobot rata-rata sebesar 15.29 ± 2.27 gram dengan kisaran
11.20-19.16 gram; FCR sebesar 1.45 ± 0.18 dengan kisaran 1.22-1.80 serta
biomassa udang pada akhir pemeliharaan berkisar antara 1067-1860 kg dengan
rata-rata 1579 ± 240 kg. Pakan yang dipakai selama pemeliharaan berupa pelet
komersial yang mengandung 38-41% protein, 5% lemak, 11% kadar air, serta
11% kadar abu. Mortalitas udang yang tinggi akibat serangan penyakit terjadi
2.2.3 Pengelolaan Kualitas Air
Budidaya semi intensif dan intensif dapat dibedakan dari segi ekologinya.
Siklus bloming Cyanophyta, Chlorophyta, dan Diatomae merupakan karakteristik
ekologi tambak semi-intensif. Alga tersebut merupakan dasar dari jaring makanan
di dalam tambak yang meliputi alga, zooplankton, dan udang. Alga berfungsi
untuk menyerap karbondioksida dan amonium serta menghasilkan oksigen. Untuk
itu diperlukan pengelolaan kepadatan alga yang terkait dengan jaring makanan
serta pengaturan konsentrasi oksigen minimum untuk udang yang dicapai dengan
keseimbangan pergantian air dan pemberian pakan hingga panen (Schuur 2003).
Ekologi tambak intensif ditandaiolehproduktivitas bakteri heterotrofik yang
berkombinasi dengan proses autotrofik. Sisa pakan dan ekskresi udang dicerna
bakteri sebagai bentuk dasar dari jaring makanan di tambak.Udang dan organisme
didalam jaring makanan pada kepadatan tinggi memerlukan aerasi mekanik dalam
rangka meningkatkan kecukupan oksigen untuk mengimbangi respirasi bakteri
dan menjaga keseimbangan aerobik dalam sistem. Walaupun aplikasi aerasi
mekanik bergantung pada kebutuhan respirasi udang, kapasitas aerasi yang
diperlukan pada tambak intensif diperkirakan secara kasar sekitar 5-20 kW/ha
(Schuur 2003) atau 1 kW untuk setiap 500 kg produksi udang (Boyd 1998).
Manipulasi lingkungan untuk mendapatkan produksi lebih besar
memerlukan suatu pemahaman fisik dasar serta proses kimia dan biologi (Boyd
1982). Untuk memahami proses kimia, informasi nutrien terutama nitrogen dan
fosfor sangat penting. Penetapan anggaran nutrien didalam kolam merupakan
langkah dasar bagi studi kuantitatif dari efisiensi pemanfaatan pakan, kesuburan
kolam, kualitas air serta proses didalam sedimen (Avnimelech & Lacher 1979).
Dalam budidaya udang tradisional, air kolam yang memburuk sering diganti
dengan air dari luar untuk memelihara kualitas air yang ideal bagi pertumbuhan
udang. Nutrien dalam air tambak dapat menyebabkan eutrofikasi perairan pantai
yang berdampak pada lingkungan sekelilingnya (Hopkins et al. 1995).
Selama 90 hari udang windu (Penaeus monodon) dibudidaya secara intensif
tanpa pergantian air (closed system) dengan padat tebar 25 dan 50 juvenil/m2
kisaran yang aman untuk udang selama pemeliharaan. Jika sisa nitrogen
(amoniak dan nitrit) yang diproduksi didalam sistem budidaya melebihi kapasitas
asimilasi perairan, maka kualitas air akan menurun yang selanjutnya mendorong
kearah terjadinya lingkungan yang beracun untuk udang (Thakur & Lin 2003).
Pascalarva (PL) dari hatceri komersil biasanya menggunakan media air
bersalinitas di atas 20 ppt sehingga harus disesuaikan dengan salinitas rendah
sebelum ditebar (Saoud & Davis 2003). Mcgraw et al. (2002) menunjukkan
bahwa PL10 bisa disesuaikan dengan air laut buatan 4 ppt sedangkan PL15 dan
PL20 bisa disesuaikan dengan salinitas 1 ppt dengan kelangsungan hidup yang
tinggi setelah 48 jam diaklimasi. L. vannamei yang dipelihara di air laut telah
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik di salinitas rendah (2-10 ppt) daripada
salinitas tinggi (>15 ppt) (Bray et al. 1994). Bagaimanapun, hukum komposisi air
laut yang konstan tidak dapat diterapkan terhadap air sumur. Studi aklimatisasi
menghasilkan, bahwa penggunaan air laut tidak bisa diekstrapolasi secara
langsung untuk kehidupan udang pada perairan nonlaut (Saoud dan Davis 2003).
Permasalahan yang berkaitan dengan akumulasi sisa pakan dan feses dapat
bersifat akut pada kolam statis dengan sedikit pergantian air (flushing). Terjadinya
gelembung-gelembung gas metan atau bau busuk dari hidrogen sulfida merupakan
indikator bahwa perubahan kimia terjadi secara anoksik sehingga dapat dilakukan
tindakan remedial yang perlu (Goddard 1996).
Periode deplesi oksigen lebih umum terjadi di dalam kolamkolam budidaya
dibandingkan dengan di tangki, kolam air deras atau karamba. Fluktuasi oksigen
terlarut disebabkan oleh laju pergantian air yang rendah, fotosintesis, dan respirasi
biomassa di dalam kolam atau kondisi ekstrem, misalnya blooming fitoplankton.
Deplesi oksigen dapat diatasi dengan pergantian air, penggunaan aerator, atau
pemberian oksigen cair murni (Boyd & Watten 1989 dan Colt & Orwicz 1991
dalam Goddard 1996). Penanganan dini atau antisipasi permasalahan merupakan
elemen kritis dalam menyikapi kondisi yang berbahaya. Pemantauan konsentrasi
oksigen terlarut yang dikombinasikan dengan observasi tingkah laku udang
merupakan kegiatan yang penting untuk dilakukan dalam budidaya udang
Penurunan alkalinitas dan pH dapat dicegah dengan penambahan kalsium
karbonat, hydrated limes dan sodium bikarbonat. Peningkatan pelarutan CaCO3
oleh karbon dioksida (recarbonation) dapat meningkatkan tekanan untuk
meningkatkan laju transfer massa ke bentuk terlarut. Alkalinitas akan bertambah
melalui terbentuknya kalsium bikarbonat (Ca(HCO3)2) yang terlarut dalam air
sebagai akibat penambahan secara langsung CaCO3 padat dan karbon dioksida
yang dihasilkan dari respirasi organisme (Whangchai et al. 2004).
Ketersediaan karbon dioksida (CO2)merupakan faktor penting bagi aktivitas
fotosintesis. Pengapuran merupakan salah satu bentuk pengelolaan lingkungan
tambak. Pengapuran dilakukan untuk menekan pelepasan ion H+ melalui reaksi
antara H2CO3 dengan kapur (CaCO3) yang menghasilkan kalsium bikarbonat
(Ca(HCO3)2) yang larut dalam air dengan persamaan reaksi sebagai berikut
(Goldman & Horne 1983):
H2CO3 + CaCO3 → Ca2+ + 2 HCO3− ══ Ca(HCO3)2 → CaCO3↓ + H20 + CO2
Pada siang hari, kalsium bikarbonat berfungsi sebagai sumber CO2 bagi
fotosintesis sehingga pH tidak akan meningkat terlalu tinggi. Sistem bufer
perairan tambak yang terbentuk selama 90 hari pemeliharaan telah mampu
menekan fluktuasi pH harian. Aplikasi pengapuran selama pemeliharaan telah
mampumenjaga kisaran pH perairan dalam batas toleransi udang (Budiardi 1998).
Fosfat merupakan salah satu makronutrien bagi alga di perairan. Dalam
ekosistem perairan, fosfor berbentuk organik dan anorganik. Fosfor dalam
senyawa anorganik adalah ortofosfat (PO43-), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat
(P3O105-) sedangkan fosfat organik berada dalam tubuh organisme atau senyawa
organik. Senyawa fosfat mempunyai siklus terputus karena sifatnya yang reaktif,
yaitu mudah terikat sedimen tetapi sulit untuk melarut kembali ke perairan.
Ketepatan konsentrasi ortofosfat dalam air akan menstabilkan pertumbuhan
fitoplankton (Goldman dan Horne,1983).Beberapa faktor yang bertanggungjawab
terhadap siklus fosfat meliputi pelarutan; asimilasi makrofita, alga planktonik dan
bentik, bakteri dan fungi; serta adsorpsi deposit tanah dasar (Yamada, 1983).
Ortofosfat (PO43-) merupakan fraksi fosfat yang dapat langsung diserap oleh
fitoplankton dalam fotosintesis.Pada umumnya fosfat ditemukan diperairan alami
optimal bagi pertumbuhan fitoplankton (Goldman & Horne, 1983). Sehubungan
dengan hal tersebut, Wetzel (1975) mengelompokkan perairan berdasarkan
kandungan ortofosfatnya, yaitu perairan dengan kandungan ortofosfat 0,003-0,01
mg/l termasuk perairan oligotrofik, 0,011-0,03 mg/l termasuk perairan mesotrofik,
serta 0,031-0,1 mg/l tergolong perairan eutrofik.
Pengendalian pertumbuhan fitoplankton merupakan salah satu faktor
pengelolaan kualitas air yang penting. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan
fitoplankton yang sehat akan menstabilkan ekosistem tambak, yaitu melalui
mekanisme: 1) menekan fluktuasi kualitas air, 2) menambah oksigen terlarut, 3)
mengurangi konsentrasi senyawa racun (CO2, NH3, NO2-, dan H2S),
4) meningkatkan turbiditas air sehingga dapat menghambat pertumbuhan alga
berfilamen, mengurangi kanibalisme pada udang, dan menstabilkan suhu air,
5) kompetisi terhadap ketersediaan nutrien dengan mikroba dan bakteri patogen,
serta 6) meningkatkan pakan alami bagi udang (Chien 1992).
Pengetahuan tentang jenis-jenis fitoplankton sangat penting di dalam
pengelolaan kualitas air. Kelompok fitoplankton yang sering mendominasi
perairan darat atau kolam budidaya adalah kelompok Chlorophyta (alga hijau),
Chrysophyta (diatom dan alga emas-coklat), Cyanophyta (alga biru-hijau), serta
Pyrrophyta (dinoflagellata) (Goldman & Horne 1983; Lin 1983). Perubahan atau
pergeseran dominasi antar keempat kelompok fitoplankton tersebut mengikuti
variasi perbandingan senyawa N dan P (N/P ratio) (Lin 1983). Kelompok
fitoplankton Cyanophyta dan Pyrrophyta mempunyai persamaan, yaitu dapat
berkembang cepat dalam kondisi konsentrasi nutrien yang rendah serta
kemampuan mengapung atau bergerak ke permukaan atau lapisan air bagian atas.
Kelompok Cyanophyta bergerak ke permukaan air dengan membentuk gelembung
gas di dalam selnya, sedangkan Pyrrophyta dapat bergerak aktif ke permukaan
pada siang hari dan ke bagian bawah pada malam hari (fototaksis positif)
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2003. Waktu penelitian,
yaitu selama 100 hari pemeliharaan udang, berada pada musim kemarau. Selama
waktu tersebut tidak terjadi hujan kecuali beberapa kali menjelang akhir
pemeliharaan, yaitu mulai hari ke-80.
Penelitian dilakukan di pertambakan PT Bimasena Sagara, Pelabuhan Ratu,
Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi ini berada di wilayah pantai selatan Pulau Jawa
dengan luas lahan sekitar 25 ha. Sekitar 50% dari lahan tersebut digunakan untuk
petak-petak tambak sedangkan sisanya digunakan untuk fasilitas penunjang.
Jumlah seluruh tambak sebanyak 50 petak dengan luas masing-masing petak
sekitar 2500-3000 m2 (Lampiran 1). Semua petak tambak berbentuk persegi dan
dibangun dengan sistem Biocrete® (Lampiran 2). Terdapat dua petak pendederan
(nursery pond) berbentuk persegi panjang, namun tidak digunakan selama
penelitian berlangsung.
Jaringan irigasi terdiri atas saluran pemasok utama air laut dan air tawar,
serta saluran pembuang. Saluran pemasok air berupa saluran terbuka terbuat dari
beton. Saluran ini berpenampang trapesium dengan lebar dasar 80 cm, lebar atas
100 cm dan kedalaman 80 cm dengan posisi terletak di bagian samping atas
petakan tambak. Saluran pembuang berupa saluran terbuka dari tanah dengan
posisi terletak di bagian samping bawah petakan tambak (Lampiran 2).
Sumber air asin berasal dari Samudera Indonesia. Air tersebut ditarik
menggunakan pompa air laut dari dua titik pompa dan dialirkan ke petak-petak
tambak melalui saluran air. Sumber air tawar berasal dari sungai yang berair pada
musim penghujan dan kering pada musim kemarau. Dengan demikian, pasokan
air media pemeliharaan selama penelitian hanya didapat dari air laut.
Ruang lingkup penelitian meliputi penelitian utama dan penelitian
penunjang. Penelitian utama digunakan untuk mengobservasi proses budidaya
udang vaname intensif selama 100 hari pemeliharaan. Penelitian penunjang
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode ex post-facto untuk
mengobservasi secara mendalam proses budidaya udang vaname dengan sistem
intensif selama satu masa pemeliharaan. Selama penelitian tersebut dikumpulkan
data yang meliputi data kualitas air dan data produksi.
3.2.2 Desain Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain kausal. Satuan percobaan
adalah unit-unit petak tambak sebanyak 6 petak tambak yang diberi perlakuan
secara homogen. Perlakuan tersebut meliputi penggunaan saprodi (benih udang,
pakan, pupuk) dan air.
Benih udang yang digunakan adalah udang stadium PL12 dengan padat
tebar 85±15 ekor/m2. Selama pemeliharaan digunakan pakan buatan komersial
dengan protein sekitar 40-42%. Pakan diberikan secara full feed mulai dari awal
penebaran sampai umur 50 hari pemeliharaan (H50) (Lampiran 3). Setelah H50,
pakan diberikan secara dinamis mengikuti estimasi perkembangan biomassa
udang hasil pengambilan contoh. Jumlah pakan yang diberikan dihitung dari
persentase biomassa (Lampiran 4). Pupuk digunakan pada waktu persiapan media
pemeliharaan sebelum penebaran benih udang. Jenis dan dosis pupuk tersebut
adalah urea 9 mg/L (sekitar 6-8 kg/petak) dan TSP 5 mg/L (sekitar 3-5 kg/petak).
Pengelolaan air selama pemeliharaan dilakukan dengan pergantian air,
penyiponan dasar tambak, serta pemberian aerasi. Pergantian air dilakukan secara
rutin yang jumlahnya semakin meningkat dengan meningkatnya masa
pemeliharaan. Penyiponan dilakukan jika kotoran sudah mulai terakumulasi di
dasar tambak, pada umumnya setelah H50. Pemberian aerasi dilakukan dengan
memakai kincir, yaitu 1 kincir pada H20-40, 2 kincir pada H41-60, serta 3 kincir
H61-akhir pemeliharaan setiap petaknya.
Penelitian dilakukan selama 100 hari pemeliharaan udang vaname.
Pengambilan data, baik data kualitas air maupun data produksi dilakukan setiap
10 hari sekali dari awal penebaran sampai panen sehingga terdapat 10 titik waktu
3.2.3 Variabel
Variabel yang diukur selama penelitian meliputi aspek kualitas air dan
biologi. Jenis variabel kualitas air yang diukur meliputi suhu, salinitas, oksigen
terlarut (dissolved oxygen, DO), pH, alkalinitas, bahan organik total (total organic
matter, TOM), amoniak (NH3), nitrit (NO2–), nitrat (NO3–), ortofosfat (PO43–) dan
hidrogen sulfida (H2S). Dari beberapa data tersebut kemudian dihitung untuk
menentukan variabel kerja yang meliputi defleksi DO, defisit DO, DO minimum,
dan rasio N/P.
DO minimum merupakan DO terendah yang terukur dalam rentang waktu
24 jam pengamatan, sedangkan DO maksimum merupakan DO tertinggi yang
terukur dalam rentang waktu 24 jam pengamatan. Defleksi DO merupakan selisih
antara DO maksimum dan DO minimum dalam rentang waktu kedua kondisi
tersebut terjadi atau dengan rumus:
Defleksi DO (mgO2.L-1.jam-1) = (DOmaksimum – DOminimum)/t
Jenis variabel biologi yang diukur meliputi kelimpahan dan jenis
fitoplankton, kelimpahan klorofil, serta jumlah dan bobot udang. Dari data
tersebut kemudian dihitung untuk menentukan variabel kerja yang meliputi rasio
kelompok fitoplankton positif (Chlorophyceae dan Bacillariophyceae) terhadap
kelompok fitoplankton negatif (Dynophyceae dan Cyanophyceae), produktivitas
dan respirasi fitoplankton, respirasi bakteri, laju mortalitas, sintasan, laju
pertumbuhan individu udang, laju pertumbuhan biomassa udang, rasio konversi
pakan (feed conversion ratio, FCR), serta input-output increment ratio (IOIR).
Rasio relatif fitoplankton (RF) antara kelompok fitoplankton positif (FP;
Chlorophyceae dan Bacillariophyceae) dan kelompok fitoplankton negatif (FN;
Dynophyceae dan Cyanophyceae) dirumuskan sebagai: RF = (FP–FN)/FP. Jika
RF>-5, maka dominasi mengarah ke FP, namun jika RF<-5, maka dominasi
mengarah ke FN.
Laju mortalitas (MR) merupakan nilai peluruhan jumlah udang dalam
satuan waktu tertentu. Derajat kelangsungan hidup merupakan perbandingan
antara jumlah udang pada waktu tertentu terhadap jumlah udang pada saat tebar.
MR = {(Ln Nt – Ln N0)/t} X 100%
keterangan: MR = laju mortalitas SR = sintasan (%)
No = jumlah udang pada hari ke-0 (ekor)
Nt = jumlah udang pada hari ke-t (ekor)
Laju pertumbuhan bobot individu udang (SGRi) merupakan penambahan
bobot individu rata-rata selama selang waktu tertentu. Laju pertumbuhan
biomassa udang (SGRb) merupakan penambahan biomassa selama selang waktu
tertentu. Kedua laju pertumbuhan tersebut diukur dengan laju pertumbuhan
spesifik (spesific growth rate, SGR) (Ricker 1979; Gulland 1983; Busacker et al.
1990) dengan rumus:
SGRi = {(ln wt−ln wo)/t} x100% SGRb = {(ln Bt−ln Bo)/t} x100%
keterangan: SGRi= laju pertumbuhan bobot individu udang SGRb = laju pertumbuhan biomassa udang
wo = bobot individu udang pada hari ke-0 (gram/ekor)
wt = bobot individu udang pada hari ke-t (gram/ekor)
Bo = biomassa udang pada hari ke-0 (kg)
Bt = biomassa udang pada hari ke-t (kg)
t = selang waktu pemeliharaan (hari)
Jumlah udang pada saat panen merupakan hasil pendugaan yang didapat
dari pembagian biomassa (bobot total) udang pada saat panen terhadap bobot
rata-rata udang dengan rumus:
Nt = Bt/wt
keterangan: Nt = jumlah udang pada hari ke-t (ekor)
Bt = biomassa udang pada hari ke-t (gram)
wt = bobot individu udang pada hari ke-t (gram/ekor)
Produksi merupakan biomassa udang yang diperoleh pada saat panen (Bt).
Variabel ini digunakan sebagai kalibrasi bagi jumlah (Nt) dan derajat
kelangsungan hidup (SR) udang pada akhir penelitian.
Rasio konversi pakan (FCR) merupakan perbandingan antara jumlah pakan
yang diberikan terhadap pertambahan biomassa udang pada periode waktu
tertentu (NRC 1977) dengan rumus:
keterangan: FCR = rasio konversi pakan
F = jumlah pakan yang diberikan selama waktu tertentu (kg)
∆B = penambahan biomassa udang selama waktu tertentu (kg)
Jika pembandingan diarahkan untuk mengetahui efisiensi pakan secara
parsial pada periode waktu tertentu, maka dipakai variabel input-output increment
ratio (IOIR) untuk masing-masing biomassa udang hidup (BG), biomassa udang
mati (BE) dan biomassa udang total (BT), dengan rumus:
IOIR-BG = ∆BG/F IOIR-BE = ∆BE/F
IOIR-BT = (∆BG + ∆BE)/F
keterangan: IOIR = rasio perubahan input-output
∆BG= penambahan biomassa udang hidup selama waktu tertentu (kg)
∆BE = penambahan biomassa udang mati selama waktu tertentu (kg) F = jumlah pakan yang diberikan selama waktu tertentu (kg)
3.2.4 Bahan dan Metode Pengukuran
3.2.4.1 Bahan
Air yang digunakan untuk mengairi petak tambak adalah air laut dari
Samudera Indonesia. Benih udang yang ditebar berasal dari hatceri PT Biru Laut
Khatulistiwa (BLK), Lampung. Pakan buatan komersial yang digunakan berasal
dari perusahaan pemasok pakan di Jakarta. Pupuk yang digunakan berasal dari
pasar di Kecamatan Surade, Pelabuan Ratu.
3.2.4.2 Metode Pengukuran Variabel
Pengukuran variabel kualitas air dilakukan dalam dua kelompok, yaitu
variabel yang diukur secara harian dan 10 hari sekali. Variabel kualitas air yang
diukur secara harian meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, kedalaman dan
kecerahan. Variabel ini berubah dinamis sehingga dilakukan pengukuran secara
harian. Variabel yang diukur 10 hari sekali meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen
terlarut (dissolved oxygen, DO), kedalaman dan kecerahan, bahan organik total
(total organic matter, TOM), alkalinitas, amonium/amoniak (NH4+/NH3), nitrit
klorofil-a. Contoh air diambil dari lapisan air bagian atas dan bagian dasar setiap
petak tambak. Jenis dan metode pengukuran variabel tertera pada Tabel 2 dan
dirinci pada Lampiran 5.
Tabel 2 Jenis variabel yang diukur selama penelitian dan metode pengukurannya
Variabel Satuan Metode/instrumentasi
Variabel kualitas air
Suhu air °C Termometer
Salinitas ppt Salino-refraktometer pH unit Kertas pH, pH-meter
Oksigen terlarut/BOD mg/L Titrimetri (Winkler) Bahan organik total (TOM) mg/L Titrimetri (KMnO4)
Alkanilitas mg/L Titrimetri
NH4+ mg/L Spektrofotometer/phenate
NO2- mg/L Spektrofotometer/sulfanilamide
NO3- mg/L Spektrofotometer/brucine
PO4-3 mg/L Spektrofotometer/stanaous chlorida
H2S mg/L Titrimetri (iodometri)
Kecerahan cm Keping Secchi
Kedalaman cm Mistar
Variabel biologi
Bobot udang gram Jala, timbangan
Jumlah udang ekor Jala, alat penghitung (counter) Jumlah pakan kg Timbangan
Fitoplankton ind./L Plankton net, mikroskop Klorofil-a mg/m3 Spektrofotometer
Pengukuran variabel biologi dilakukan setiap 10 hari sekali. Sebagai data
utama, variabel biologi yang diukur meliputi jumlah dan bobot udang, kelimpahan
dan jenis fitoplankton, serta kelimpahan klorofil. Variabel sebagai data penunjang
yang diukur meliputi produktivitas (produksi oksigen) dan respirasi fitoplankton,
1) Jumlah dan bobot udang
Pengambilan contoh udang dilakukan setiap 10 hari yang dimulai dari umur
40 hari pemeliharaan (H40). Pada H40, udang sudah mulai dapat dijala untuk
pengambilan contoh namun hanya digunakan untuk penghitungan jumlah udang
saja. Mulai H50 sampai panen, pengambilan contoh udang tersebut digunakan
untuk mendapatkan data jumlah dan bobot rata-rata udang. Pengambilan contoh
dilakukan pada 5 titik tiap petak tambak, yaitu masing-masing 3 titik di bagian
pinggir dan 2 titik di bagian tengah.
Udang yang tertangkap dalam jala pada saat pengambilan contoh dihitung
untuk menentukan jumlah udang dan ditimbang untuk menentukan bobot
rata-rata. Jumlah udang yang hidup dalam satu petak tambak diduga dengan rumus:
Nt = nux Lt/Lj
keterangan: Nt = jumlah udang dalam satu petak tambak pada waktu ke-t (ekor)
nu = jumlah udang yang tertangkap dalam jala pada tiap
pengambilan contoh pada waktu ke-t (ekor) Lt = luas tambak (m2)
Lj = luas bukaan jala efektif/terkoreksi (m2)
Bobot rata-rata udang dihitung berdasarkan rumus: wt = Bt /nu
keterangan: wt = bobot rata-rata udang pada waktu ke-t (gram/ekor)
Bt = biomassa udang yang tertangkap dalam jala pada tiap
pengambilan contoh pada waktu ke-t (gram)
nu = jumlah total udang yang tertangkap dalam jala pada tiap
pengambilan contoh pada waktu ke-t (ekor)
2) Jenis dan kelimpahan fitoplankton
Pengamatan fitoplankton dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah
masing-masing fitoplankton. Contoh air untuk penghitungan fitoplankton diambil
sebanyak 50 liter dan disaring menggunakan plankton net dengan ukuran mata
jaring 20 µm. Contoh plankton tersaring dipekatkan menjadi 30 mL dan
diawetkan dengan lugol. Penghitungan jumlah fitoplankton menggunakan
mikroskop dengan memakai gelas penutup pada gelas preparat berukuran 20 mm
x 20 mm. Fitoplankton hasil saringan diidentifikasi jenisnya dan dikelompokkan
menurut genus dan kelasnya. Kelimpahan fitoplankton dari setiap contoh dihitung
N = (n x Vs)/(Vpx Vt)
Keterangan: N = kelimpahan fitoplankton (individu per liter) n = jumlah plankton dalam contoh (individu) Vp = volume air dalam preparat (mL)
Vs = volume air yang tersaring (mL)
Vt = volume air yang disaring (L)
3) Klorofil fitoplankton
Pengukuran klorofil fitoplankton dilakukan dengan metode
spektrofotometri melalui 2 tahap, yaitu ekstraksi dan pengukuran. Air contoh
dipekatkan dengan menggunakan botol gelas berpompa vakum memakai kertas
saring yang telah diberi beberapa tetes MgCO3. Contoh fitoplankton yang melekat
pada kertas saring diberi larutan aseton sebanyak 2-3 mL, digerus dalam tissue
grinder pada kecepatan 500 rpm selama 1 menit, kemudian dipindahkan ke
tabung centrifuge dan disimpan dalam tempat gelap bersuhu 40C selama 2 jam.
Setelah itu dilakukan centrifuge untuk memperoleh ekstrak larutan yang jernih
yang berupa larutan pigmen. Larutan tersebut dituangkan dalam cuvet berukuran
1 cm, kemudian dilakukan pengukuran pada spektrofotometer.
4) Produktivitas dan respirasi fitoplankton
Pengambilan contoh air dilakukan setiap 10 hari mulai dari penebaran
sampai akhir penelitian untuk pengukuran produksi dan konsumsi oksigen bagi
fitoplankton. Pengukuran produksi dan konsumsi oksigen bagi fitoplankton
menggunakan 2 botol BOD terang dan 1 botol BOD gelap. Satu botol BOD
terang dan gelap diinkubasi dalam air tambak di kedalaman 50 cm selama 8 jam
(jam 08.00-16.00). Rumus perhitungan yang digunakan dalam penentuan
produktivitas dan respirasi fitoplankton adalah:
DOR = DOB0 – DOIG
DOP = DOIT – DOB0
DOT = DOR + DOP
keterangan: DOB0 = konsentrasi oksigen pada botol BOD terang pada jam ke-0
DOIT = konsentrasi oksigen pada botol BOD terang setelah inkubasi
DOIG = konsentrasi oksigen pada botol BOD gelap setelah inkubasi
DOR = jumlah respirasi dalam contoh air
DOP = produksi bersih oksigen
DOT = produksi oksigen dari fotosintesis.