PERBEDAAN KADAR SERUM BESI & TIBC BERDASARKAN LAMANYA MENJALANI HEMODIALISA PADA PENDERITA
GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) YANG MENJALANI HEMODIALISA DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H.
ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012
(Skripsi)
Oleh
SATYA ADI NUGRAHA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
DIFFERENCES OF SERUM IRON LEVELS & TIBC BASED OLD UNDERGO HEMODIALYSIS ON CHRONIC RENAL FAILURE (CRF)
PATIENTS UNDERGO HEMODIALYSIS IN HEMODIALYSIS INSTALLATION DR.H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG PROVINCE
HOSPITAL 2012
By
SATYA ADI NUGRAHA
Mann-Whitney test. Samples were obtained based on inclusion and exclusion criteria in this study amounted to 48 patients. The results of the statistical test serum iron levels with unpaired t-test p = 0.498 obtained values (p> 0.05) and TIBC values obtained by Mann-Whitney p = 0503 (p> 0.05), indicating that there is no difference in the levels of serum iron and TIBC were significant in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis by old. On examination of serum iron (SI), obtained by 4 respondents (8.3%) had SI levels less than normal, 24 respondents (50%) had normal levels of SI and 20 respondents (41.7%) had higher levels of SI over normal. While the examination of the value of TIBC, 35 respondents (72.9%) had a less than normal TIBC and 13 respondents (27.1%) had a normal TIBC.
ABSTRAK
PERBEDAAN KADAR SERUM BESI & TIBC BERDASARKAN LAMA MENJALANI HEMODIALISIS PADA PENDERITA GAGAL GINJAL
KRONIK DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012
Oleh
SATYA ADI NUGRAHA
hasil pemeriksaan diuji statistik dengan uji t-test tidak berpasangan & uji Mann-Whitney. Sampel yang didapatkan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini berjumlah 48 pasien. Hasil uji statistik kadar serum besi dengan t-test tidak berpasangan didapatkan nilai p=0,498 (p > 0,05) dan nilai TIBC dengan
Mann-Whitney didapatkan nilai p=0.503 (p > 0,05), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar serum besi & TIBC yang bermakna pada pasien gagal
ginjal kronik berdasarkan lama menjalani hemodialisa. Pada pemeriksaan kadar
serum besi (SI), didapatkan sebanyak 4 responden (8,3 %) memiliki kadar SI
kurang dari normal, 24 responden (50 %) memiliki kadar SI normal dan 20
responden (41,7 %) memiliki kadar SI lebih dari normal. Sedangkan pada
pemeriksaan nilai TIBC, sebanyak 35 responden (72,9 %) memiliki nilai TIBC
kurang dari normal dan 13 responden (27,1 %) memiliki nilai TIBC normal. .
PERBEDAAN KADAR SERUM BESI & TIBC BERDASARKAN LAMANYA MENJALANI HEMODIALISA PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK
PROVINSI LAMPUNG 2012
Oleh
SATYA ADI NUGRAHA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Judul Skripsi : PERBEDAAN KADAR SERUM BESI & TIBC BERDASARKAN LAMANYA MENJALANI HEMODIALISA PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA DI INSTALASI HEMODIALISIS RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 2012
Nama Mahasiswa : Satya Adi Nugraha
Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011077
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
dr. Wiranto Basuki, Sp.PK dr. Oktafany
NIP. 195406191984101002 NIP. 197610162005011003
2. Dekan Fakultas Kedokteran
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : dr. Wiranto Basuki, Sp.PK
Sekretaris : dr. Oktafany
Penguji
Bukan Pembimbing : dr. Agustyas T, Sp.PK
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. Sutyarso, M. Biomed
NIP. 195704241987031001RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 26 Juli 1991, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari Bapak Y.Edy Priyono,S.FT dan Ibu Katmiyatun, S.FT.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Xaverius 1 diselesaikan tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Fransiskus 1 Tanjungkarang pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 2 Bandar Lampung tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2009.
“Niscaya Allah akan Meninggikan orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa Derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
( QS. Al-Mujadalah:11)
“Ilmu itu seperti hewan buruan, maka dari itu ikatlah buruanmu
sekuat-kuatnya. Dan pengikat ilmu adalah tulisan”
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.
Skripsi berjudul ” Perbedaan Kadar Serum Besi & TIBC Berdasarkan Lama Menjalani Hemodialisa Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa Di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung 2012 ” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.
3. dr. Wiranto Basuki, Sp.PK selaku Pembimbing Pertama atas semua bantuan, saran, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. dr. Oktafani selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan, saran,
bimbingan, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. dr. Agustyas T., Sp.PK selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini.
6. dr. Syazili Mustofa selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Papa, Mama, Mbak Dewi, Mas Lian, Rika dan segenap keluarga besar yang selalu memberi semangat dan doa hingga skripsi ini selesai.
8. Bapak dan Ibu Staff Administrasi PSPD Unila, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
9. Mas Sigit, Ibu Menik dan semua pihak di instalasi Hemodialisis dan Lab. PK RSUD AM Bandar Lampung, terima kasih atas bantuan dan kerjasama dalam pengambilan data dan pengamatan.
10.Hario, Lovensia, Laras, Apple terima kasih atas kesempatan berharga yang kalian berikan untuk menjadi teman sepenelitian, untuk semua bantuan dan masukan.
11.Teman-teman tim futsal Kehidupan, Reza, Salman, Rizki, Husni, Yai, Rino, Faris, Kharisma, Galih, Apga, Iqbal Tafwid dan semua teman bermain futsal terima kasih atas keakraban yang telah kalian berikan. 12.Teman-teman seperjuangan yang sudah membantu dalam proses
13.Rekan-Rekan di Dewan Perwakilan Mahasiswa FK Unila, Kak Andromeda, Mbak Dini, Mbak Fauziah, Shinta, Ummi, Salman, Hario, Ryan F, Hamidi, Lovensia, Sari, Wida, Aqsha, Vicky, Puput, Arnia, Billy, Abigail, terima kasih atas persaudaraan, pengalaman dan dukungan. 14.Teman-teman Propti Kelompok 3 (Pulmo), Husni, Nora, Muslim, Gaby,
Ecy, Cindy, Agung, Wida, Rosdiana, terima kasih atas kebersamaannya. 15.Rekan-rekan angkatan 2009, teman-teman seperjuangan selama menuntut
ilmu di FK Unila..SATU KEDOKTERAN SATU!!
16.Seluruh Civitas Akademika Program Studi Pendidikan Dokter yang tidak dapat disebutkan satu–persatu.
Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.
Demikianlah, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, Februari 2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme tubuh, keseimbangan cairan dan elektrolit sehinggga dapat menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)
Gagal ginjal kronik adalah merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dengan nilai GFR 25%-10% dari nilai normal. (Suryanto, 2007)
Data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) yang melibatkan populasi dewasa Amerika Serikat, terjadi peningkatan prevalensi PGK stadium 1 sampai 4 dari tahun 1988-1994 sebanyak 10% menjadi 13,1 % pada tahun 1999-2004. NHANES juga mendapatkan peningkatan prevalensi PGK pada setiap stadium dari tahun 1988-1994 ke tahun 1994-2004, yaitu PGK stadium 1 dari 1,7% menjadi 1,8% stadium 2 dari 2,7 % menjadi 3,2 %, stadium 3 dari 5,4 % menjadi 7,7 % dan stadium 4 dari 0,21% menjadi 0,35%. (Coresh, 2007)
Gagal ginjal kronik adalah keadaan dimana fungsi ginjal sudah rusak sehingga diperlukan terapi seperti cuci darah (dialisa) setiap jangka waktu tertentu atau transplantasi. Menurut National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC, 2006) hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan pada penderita gagal ginjal kronis. Terapi hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia, seperti urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultra filtrasi (Nettina, 2001).
Di Amerika dilaporkan pasien yang menderita gagal ginjal kronik yang telah memasuki tahap akhir 91% di antaranya menjalani terapi hemodialisis. Hal ini menggambarkan tingginya angka penggunaan hemodialisis sebagai terapi pada pasien gagal ginjal terutama gagal ginjal kronik yang sudah memasuki tahap akhir. Tetapi biaya yang dikeluarkan cukup mahal, di Amerika biaya per tahun yang dikeluarkan untuk biaya hemodialisis mencapai 77.000 USD sehingga dapat membebani pasien, terutama yang berasal dari ekonomi kelas menengah ke bawah (Levy et al., 2004).
Penderita Gagal Ginjal Kronis (GGK) sering mengalami anemia yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah penurunan produksi eritropoetin, kehilangan darah waktu dialisis dan pembatasan diet pada terapi (Segal, 1988).
Sebelum ditemukannya terapi eritropoietin sebagai pengganti suplementasi besi dan transfusi yang berulang, pada pasien HD sering dijumpai penimbunan besi yang berlebihan. Keadaan ini akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi (Pusparini, 2000). Zat besi berhubungan dengan transferin plasma ( protein ) yang bertanggung jawab terhadap transportasi zat besi ke sumsum tulang untuk sintesa hemoglobin. Nilai besi serum meningkat bila ada destruksi sel – sel darah merah yang berlebihan ( hemolisis ) dan nilai menurun pada anemia akibat kekurangan besi. Fe serum/TIBC ditentukan bersaaman. TIBC mengukur jumlah tambahan besi yang dapat dikombinasi oleh transferin (Joyce LeFever Kee, 1997).
Tingginya prevalensi anemia pada penderita GGK serta banyaknya parameter status besi yang dapat dipakai untuk melihat perubahan metabolisme besi pada penderita tersebut diperlukan suatu parameter yang spesifik dan sensitif untuk menetapkan status zat besi yaitu parameter Fe dan TIBC (Total Iron Binding Capaity). Kedua parameter itu lebih baik dibandingkan jika hanya memeriksa kadar hemoglobin, yang kurang sensitif untuk menetapkan status zat besi terutama pada anemia ringan pada pasien gagal ginjal kronik. (Yendriwati, 2008).
zat besi sangat dibutuhkan pasien gagal ginjal kronik untuk melakukan proses eritropoesis. Kondisi di mana besi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan eritropoeisis bila diberikan rHuEPO inilah yang dinamakan defisiensi besi fungsional. Apabila kondisi defisiensi zat besi ini terus dibiarkan, tentu bisa mengakibatkan anemia pada pasien GGK. Dan, kondisi anemia pada pasien Gagal Ginjal Kronik dapat menentukan prognosis penyakit ini. Atas dasar ini, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar serum besi & TIBC berdasarkan lama menjalani hemodialisa pada penderita GGK yang menjalani hemodialisa. Sehingga dapat diketahui angka kejadian defisiensi besi fungsional akibat hemodialisa dan hubungan lamanya menjalani hemodialisa dengan terjadinya defisiensi besi, yang secara tidak langsung akan menggambarkan efektivitas hemodialisis, selain masih jarangnya penelitian yang dilakukan di bidang ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat terlihat bahwa hemodialisis merupakan terapi yang tersering digunakan dalam penatalaksanaan gagal ginjal terutama yang telah memasuki tahap akhir akan tetapi terapi hemodialisis dapat pula menimbulkan terjadinya kekurangan zat besi (defisiensi besi fungsional) yang disebabkan oleh kehilangan darah pada proses hemodialisa dan hal ini juga dapat dipengaruhi oleh lamanya mendapatkan terapi hemodialisa. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.Bagaimana gambaran kadar besi serum pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUDAM?
2. Bagaimanakah gambaran TIBC pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalaani hemodialisa di RSUDAM?
3. Adakah perbedaan kadar besi serum dan TIBC pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUDAM berdasarkan lamanya menjalani hemodialisa?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran kadar besi serum penderita gagal ginjal kronik sesudah menjalani hemodialisa.
b. Untuk mengetahui gambaran nilai TIBC pada penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.
c. Untuk mengetahui perbedaan kadar besi serum dan TIBC pada penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa berdasarkan lamanya menjalani hemodialisa
D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Bagi peneliti
Menambahkan pengetahuan dan informasi bagi peneliti tentang penyakit gagal ginjal, terapi hemodialisa dan pemeriksaan status besi pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
2. Bagi para klinisi
3. Bagi penelitian lain
Sebagai sumber referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan status besi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
E. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori (Ria Bandiara, 2003, Nurko, 2006.). Dialisis
Pemberian rHu EPO Gangguan
pengeluaran cadangan besi
dari makrofag & hepatosit
Pemakaian besi
untuk Eritropoeisis Kehilangan Darah
Defisiensi Besi (SI ↓, TIBC ↑ atau normal)
Mortbiditas & Mortalitas ↑
Ginjal Sehat GGK
Tranfusi Darah Berulang
Risiko Kelebihan Zat Besi ↑
F. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
G. Hipotesis
Terdapat perbedaan bermakna kadar besi serum & TIBC pada penderita Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa berdasarkan lamanya menjalani hemodialisa.
Gagal Ginjal Kronik
Menjalani hemodialisa <1 tahun
Kadar Serum Besi & TIBC
Menjalani hemodialisa ≥1 tahun
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ginjal
1. Anatomi
Ginjal merupakan suatu fungsi untuk mempertahankan internal tubuh yaitu hemostasis cairan tubuh dan pengaturan keseimbangan asam basa terutama dilaksanakan oleh ginjal, dua buah organ berbentuk kacang polong yang terlentak di belakang selaput rongga perut ( retro peritoneal ) pada kedua belah sisi tulang belakang agak di sebelah atas pinggang. Kedua organ ini dipertahankan posisinya oleh jaringan yang mengikat pada bangunan di sekitarnya. Masing-masing ginjal mempunyai panjang kurang lebih 11 – 13 cm, lebar 5 – 7,5 cm, tebal 2,5 cm dan berat antara 115 – 170 gram (Sodeman, 1995).
Nefron terdiri dari beberapa bagian yaitu: 1. Glomerulus
Glomerulus adalah masa kapiler yang berbentuk bola yang terdapat sepanjang arteriol. Fungsinya untuk filtrasi air dan zat terlarut dalam darah (Leeson, 1996)
2. Kapsula Bowman
Kapsula Bowman merupakan suatu pelebaran nefron yang dibatasi oleh epitel yang mengelilingi glomerulus untuk mengumpulkan zat terlarut yang difiltrasi oleh glomerulus. (Leeson, 1996)
3. Tubulus Kontortus Proksimal
Cairan yang difiltrasi akan mengalir ke tubulus kontortus proksimal. Letak tubulus ini di dalam korteks ginjal, panjangnya 14 mm dengan diameter 50-60 nm. Bentuknya berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus yang berjalan ke arah medula yaitu ansa henle (Leeson, 1996).
4. Ansa Henle
Ansa henle merupakan nefron pendek yang memiliki segmen yang tipis yang membentuk lengkung tajam berbentuk huruf U. Bagian pars desendens dari ansa henle terbentang dari korteks ke bagian medulla, sedangkan pars asendens berjalan kembali dari medulla ke arah korteks ginjal. (Leeson, 1996)
Setelah melewati ansa henle, maka akan berlanjut ke bagian nefron tubulus distal. Tubulus kontortus distal lebih pendek dari tubulus proksimal dan bagian tubulus distal ini berkelok-kelok di bagian korteks dan berakhir di duktus koligentes. (Leeson, 1996)
6. Duktus Koligentes
Duktus Koligentes merupakan bagian pengumpul yang akan menerima cairan & zat terlarut dari tubulus distal. Duktus koligentes berjalan dari dalam berkas medulla ke medulla. Setiap duktus pengumpul yang berjalan ke arah medulla akan mengosongkan urin yang telah terbentuk ke dalam pelvis ginjal. (Leeson, 1996)
2. Fungsi ginjal sebagai alat ekskresi
3. Peranan ginjal dalam mengatur cairan dan elektrolit
Perubahan cairan dan elektrolit pada saat kreatinin menurun, dimana kemampuan untuk memekatkan atau mencairkan urine terganggu. Pembatasan asupan air dapat mengakibatkan kontraksi volume dan cairan hipernatremia, sebaliknya jika asupan garam dan air berlebihan, dapat terjadi hiponatremia, oedema ataupun keduanya (Peterson, 1997). Cairan tubuh beserta zat-zat atau elektrolit / ion-ion yang terlarut di dalamnya selalu cenderung berubah-ubah oleh karena adanya proses metabolisme. Di lain pihak supaya tetap konstant maka ginjal ikut membantu mempertahankan jumlah elektrolit atau ion-ion dalam batas-batas tertentu, sehingga tidak timbul kegoncangan di dalam tubuh dan inilah merupakan salah satu fungsi ginjal proses hemostasis yaitu dengan cara pemekatan ataupun pengenceran urine, proses counter current di dalam ginjal.(Kiyatno, 1991)
4. Hormon-hormon yang disekresi ginjal
Sebagai alat ekskresi, ginjal membuang urine melalui saluran khusus mulai dari nefron sampai uretra. Selain pembuangan urine melalui saluran khusus tadi, ginjal juga mengsekresi zat langsung masuk darah, tidak melalui saluran khusus. Karena hasil ekskresi langsung masuk darah tanpa harus melalui saluran khusus, maka zat itu termasuk hormon.
a) Hormon renin yang sangat penting di dalam sistem kardiovasa yang berhubungan dengan tekanan darah.
b) Hormon eritrogenin atau renal eritropoietin faktor (REF) yang berperan didalam proses pembentukan eritrosit atau eritropoesis. (Kiyatno, 1991)
1. Fungsi hormonal ginjal
a) Perubahan pra hormon menjadi metabolik aktifnya.
b) Sintesis enzim yang bekerja pada protein plasma tertentu untuk menghasilkan zat mirip hormon.
c) Degradasi hormon beredar yang berlebih.
Sintesis enzim yang bekerja pada protein plasma tertentu untuk menghasilkan zat-zat mirip hormon. Enzim-enzim tertentu yang di sintesis dalam ginjal merupakan enzim yang amat penting dalampengaturan tekanan darah karena reaksinya dengan protein plasma spesifik menghasilkan zat mirip hormon. (Sodeman, 1995)
B. Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi
Definisi lain menyebutkan gagal ginjal kronik adalah merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dengan nilai GFR 25%-10% dari nilai normal. (Suryanto, 2007)
Gagal ginjal kronik dapat didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang ireversibel atau ketika Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) berada di bawah 60 ml/min/1.73 m2 yang telah berlangsung minimal 3 bulan. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) telah mengklasifikasikan gagal ginjal kedalam 5 derajat tingkatan. Klasifikasi tersebut berdasarkan atas nilai LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroff-Gault sebagai berikut :
LFG (ml/min/1.73 m2) =
Rumus diatas berlaku untuk laki-laki dewasa, sedangkan untuk perempuan nilai tersebut dikali dengan koefisien sebesar 0,85.
Adapun klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan KDOQI adalh sebagai berikut : (140-umur) x berat badan
Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal kronik (Bello et al., 2010). Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan KDOQI
Derajat Penjelasan LFG (ml/min/1.73 m2) Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat Gagal ginjal
Gagal ginjal kronik suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumya berakhir dengan kematian.
Kriteria gagal ginjal kronik, seperti yang tertulis pada tabel 2.
Tabel 2. Kriteria gagal ginjal kronik (Suwitra, 2007). Kriteria gagal ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test).
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab. Penyebab gagal ginjal kronik yang sering ditemukan antara lain :
a. Glomerulonefritis
Penyebab gagal ginjal tidak selalu sama diberbagai negara dan juga polanya berubah sesuai kondisi tiap negara. Glomerulonefritis merupakan etiologi yang utama diseluruh dunia, tetapi di Indonesia dan beberapa negara berkembang tidak selalu glomerulonefritis menjadi penyebab terbesar (Tambayong, 2000).
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik. Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis kronik merupakan kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama (Price dan Wilson, 2006).
ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Pielonefritis kronik
Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal progresif yang menunjukkan kelainan parenkimal yang disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi yang menetap pada ginjal. Pielonefritis kronik terjadi pada pasien dengan infeksi saluran kemih yang juga mempunyai kelainan anatomi utama pada saluran kemihnya (Price dan Wilson, 2006).
c. Penyakit ginjal polikistik
d. Nefrosklerosis hipertensif
Nefrosklerosis (pengerasan ginjal) menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal sebagai akibat hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal kronik.
e. Nefropati diabetik
Nefropati diabetik atau penyakit ginjal diabetik adalah suatu komplikasi penyakit diabetes mellitus yang tidak terkendali dengan baik. Nefropati diabetik terjadi karena kadar gula darah yang tinggi pada menderita diabetes mellitus tidak terkontrol dengan baik. Kondisi ini yang mengakibatkan timbulnya kelainan pada pembuluh darah halus ginjal. Apabila berada pada stadium lanjut, kondisi nefropati diabetik ini akan mengakibatkan penderita GGK memerlukan pengobatan pengganti dengan cuci darah (hemodialisis). Hampir 20-30% penderita diabetes mellitus akan mengalami nefropati diabetik (Astuti, 2000).
f. Nefropati Analgetik
fenasetin setiap hari dalam 3 tahun bertutut-turut menimbulkan penyakit ginjal secara klinis (Price dan Wilson, 2006).
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan penyebab utama dan insidensi penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel4.
Tabel 3. Penyebab utama penyakit ginjak kronik di Amerika Serikat (Suwitra, 2007). Penyebab utama gagal ginjak kronik di Amerika Serikat
Penyebab Insiden
Diabetes mellitus -tipe 1 (7%) -tipe 2 (37%)
Penyakit lain 4%
Table 4. Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia Th.2000 (Suwitra, 2007).
Gambaran umum perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan LFG sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar ureum dengan rusaknya massa nefron secara progresif oleh penyakit ginjal kronik.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu :
a. Stadium I
b. Stadium II
Stadium kedua perkembangan ini disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar ureum baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan konsentrasi ureum ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini (Price dan Wilson, 2006).
c. Stadium III
dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis (Price dan Wilson, 2006).
5. Manifestasi Klinis GGK
Penyakit GGK akan menimbulkan gangguan pada berbagai sistem atau organ tubuh, antar lain :
a. Gangguan pada sistem gastrointestinal
(1). Anoreksia dan nause yang berhubungan dengan gangguan metabolisme protein dalam usus dan terbentuknya zat–zat toksik akibat metabolisme bakteri usus, seperti ammonia dan metal guanidin, serta sembabnya mukosa usus.
(2). Ureum yang berlebihan pada air liur yang diubah oleh bakteri dimulut menjadi amonia oleh bakteri sehingga nafas berbau amonia.Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
b. Gangguan pada sistem hematologi
(1).. Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu :
i. Berkurangnya produksi eritropoetin sehingga rangsangan eritropoesis pada sum-sum tulang menurun.
ii. Hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik.
iii. Defisiensi besi dan asam folat akibat nafsu makan yang berkurang.
iv. Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
v. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisma sekunder.
(2). Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia yang mengakibatkan perdarahan.
(3). Gangguan fungsi leukosit, dimana fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
c. Gangguan pada sistem kardiovaskuler
(1). Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam
(3). Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan klasifikasi metastatik.
(4). Edema akibat penimbunan cairan.
d. Gangguan pada sistem saraf dan otot
(1). Restless leg syndrome, dimana pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
(2). Feet syndrome, yaitu rasa kesemutan dan seperti terbakar terutama di telapak kaki.
(3). Ensefalopati metabolik, yang menyebabkan lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang.
(4). Miopati, yaitu kelemahan dan hipotrofi otot-otot, terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
e. Gangguan pada sistem endokrin
(1). Gangguan seksual : libido, fertilitas, dan penurunan seksual pada laki-laki, pada wanita muncul gangguan menstruasi.
(3). Gangguan metabolisme lemak, biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, peninggian VLDL (very low density lipoprotein) dan penurunan LDL (low density lipoprotein). Hal ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat menurunnya fungsi ginjal.
(4). Gangguan metabolisme vitamin D.
f. Gangguan pada kulit
(1). Kulit berwarna pucat akibat anemia dan gatal-gatal akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
(2). Uremic frost yaitu jika kadar ureum sangat tinggi, maka pada bagian kulit yang banyak keringat timbul kristal-kristal urea yang halus dan berwarna putih (Price dan Wilson, 2006).
g. Gangguan pada Tulang
Osteodistrofi ginjal yang menyebabkan osteomalasia (Nettina, 2001).
h. Gangguan metabolik
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran ion hidrogen atau asam endogen yang dibentuk (Alatas, 2004).
i. Gangguan cairan-elektrolit
j. Gangguan fungsi psikososial
Perubahan kepribadian dan prilaku serta perubahan proses kognitif (Nettina, 2001).
6. Pencegahan Gagal Ginjal Kronik
a. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial untuk gagal ginjal kronik dimaksudkan memberikan keadaan pada masyarakat umum yang memungkinkan faktor predisposisi terhadap gagal ginjal kronik dapat dicegah dan tidak mendapat dukungan dasar dari kebiasaan, gaya hidup, dan faktor resiko lainnya (Bustan, 1997).
Menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa minum 8 gelas sehari untuk menjaga kesehatan ginjal merupakan hal penting, dan berolahraga teratur (Lumenta et al., 1992).
b. Pencegahan Primer
Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat dicegah dengan melakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah pencegahan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.
i. Penghambatan hipertensi dengan menurunkan tekanan darah sampai normal untuk mencegah risiko penurunan fungsi ginjal
ii. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia iii. Penghentian merokok
iv. Pengendalian berat badan
v. Banyak minum air putih agar urine tidak pekat dan mampu menampung/ melarutkan semua garam agar tidak terjadi pembentukan batu.
vi. Konsumsi sedikit garam, makin tinggi konsuumsi garam, makin tinggi ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat mempermudah terbentuknya kristalisasi.
vii. Mengurangi makanan yang mengandung protein tinggi dan kolestrol tinggi (Rindiastuti, 2008 dan Utomo, 2005).
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan skunder berupa penatalaksanaan konservatif terdiri atas pengobatan penyakit-penyakit komorbid (penyakit penyerta) untuk menghambat progresifitas, mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas (Bustan, 1997).
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal sedini mungkin.
Pengobatan konservatif penyakit Gagal ginjal Kronik (GGK) terdiri dari : i. Deteksi dini dan terapi penyakit primer
Identifikasi (deteksi dini) dan segera memperbaiki (terapi) penyakit primer atau faktor-faktor yang dapat memperburuk faal ginjal sangat penting untuk memperlambat laju progresivitas gagal ginjal menjadi gagal ginjal terminal (Lumenta et al, 1992).
ii. Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan (1). Protein
Diet protein yang tepat akan memperlambat terjadinya keracunan ureum. Pembatasan protein dimulai pada saat permulaan terjadinya penyakit ginjal dengan masukan protein sebesar 0,5-0,6 g/kg BB/hari, dengan nilai biologik yang tinggi. Pembatasan protein dalam makanan pasien GGK dapat mengurangi gejala anoreksia, mual, dan muntah, dan apabila diberikan secara dini dapat menghambat progresifitas penyakit.
(2). Kalium
Hiperkalemia dapat menimbulkan kegawatan jantung dan kematian mendadak.4 Maka dihindari konsumsi makanan atau obat yang tinggi kadar kaliumnya seperti ekspektoran, kalium sitrat, sup, kurma, pisang, dan sari buah murni (Price dan Wilson, 2006).
(3). Natrium
Pengaturan diet natrium penting pada penderita gagal ginjal. Jumlah natrium yang dianjurkan adalah 40 sampai 90 mEq/hari (1 sampai 2 gr natrium).Asupan natrium maksimum harus ditentukan secara tersendiri untuk tiap penderita agar hidrasi yang baik dapat tetap dipertahankan. Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru-paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Reeves et al., 2001).
(4). Cairan
iii. Pengobatan Komplikasi (1). Hipertensi
Hipertensi dapat dikendalikan dangan tindakan non-farmakologi, yaitu diet rendah garam, menurunkan berat badan, dan berolahraga.bila dengan cara non-farmakologi tidak berhasil, dapat diberi tindakan farmakologi. Tindakan farmakologi dapat langsung diberikan bila hipertensi disertai gejala kerusakan organ atau peningkatan tekanan darah sangat cepat. Obat-obat yang sering digunakan adalah diuretika, beta-blocker adrenergik, agonis adrenergik alfa, dan vasodilator perifer.
(2). Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi paling serius pada penderita uremia. Hiperkalemia pada penderita gagal ginjal dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena yang akan memasukkan K+ ke dalam sel (Price dan Wilson, 2006).
(3). Anemia
(4). Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik terjadi akibat penurunan kemampuan ekskresi beban asam pada gagal ginjal kronik, ditandai dengan LFG <25% ml/menit. Diet rendah protein dan pemberian natrium bikarbonat dapat membantu mengurangi asidosis.
(5). Hiperurisemia
Obat yang digunakan untuk mengobati hiperurisemia pada penyakit GGK adalah alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh.
(6). Pengobatan segera pada infeksi
Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Karena semua jenis infeksi dapat memperkuat proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat, keseimbangan cairan dan elektrolit, maka infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut (Price dan Wilson, 2006).
iv. Pengobatan Pengganti
Pengobatan pengganti yang dilakukan bertujuan menghindari kematian dengan melakukan persiapan Renal Replacement Therapy (hemodialisis dan dialysis peritoneal), pengobatn ini berupa :
a. Hemodialisis b. Dialisa peritoneal c. Transplantasi Ginjal
(Price dan Wilson, 2006).
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat atau kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik tetapi juga menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan ini dilakukan pada pasien GGK yang telah atau sedang menjalani tindakan pengobatan atau terapi pengganti berupa:
(1). Mengurangi stress.
(2). Meningkatkan aktivitas sesuai toleransi.
(3). Meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik. (4). Mematuhi program diet yang dianjurkan.
C. Hemodialisis
Hemodialisis adalah sebuah terapi medis. Kata ini berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dilisis yang berarti dipisahkan. Hemodialisis merupakan salah satu dari terapi pengganti ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, baik akut maupun kronik. Hemodialisis dapat dikerjakan untuk sementara waktu (misalnya pada gagal ginjal akut) atau dapat pula untuk seumur hidup (misalnya pada gagal ginjal kronik). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Pudji Rahardjo et al., 2007).
1. Alasan melakukan dialisis
2. Proses Hemodialisis
Gambar 3. Proses difusi yang terjadi pada hemodialisis (Pilgram dan Schneditz, 2001).
Frekuensi tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisis sebanyak 2 kali/minggu. Program dialisis dikatakan berhasil jika penderita kembali menjalani hidup normal, penderita kembali menjalani diet yang normal, jumlah sel darah merah dapat ditoleransi, tekanan darah normal dan tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif.
D. Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
1. Definisi Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.15The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause. 15,16 Dan berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal kronik jika Hb ≤ 10 gr/dl
Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah. (NKF, 2001)
2. Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik
Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi vitamin, “uremic milieu”, defisiensi eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.
(Nurko, 2006)
Kehilangan Darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga. Pasienpasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 1), sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak. (Nurko, 2006)
Pemendekan masa hidup eritrosit
Defisiensi Eritropoetin
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik.(National Kidney Foundation, 2001) Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya, sehingga produksi eritropoetin tidak serendah sesuai dengan derajat anemianya.2 Donelly mengatakan bahwa defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus.(Donnely, 2001) Satu studi mengatakan bahwa untuk mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada daerah yang tinggi.(Goodnough, 2000)
Defisiensi Besi
Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal. (Stenvinkel, 2002)
3. Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya.(National Kidney Foundation, 2001)
Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah eritrosit, yaitu :
- Darah lengkap
- Pemeriksaan darah tepi - Hitung retikulosit
- Pemeriksaan besi (SI, TIBC, saturasi transferin, serum feritin) - Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
E. Besi
1. Pengertian
Zat besi (Fe) adalah unsur mineral yang paling penting dibutuhkan oleh tubuh karena perannya pada pembentukan hemoglobin. Senyawa ini bertindak sebagai pembawa oksigen dalam darah, dan juga berperan dalam transfer CO2 dan H positif pada rangkaian trasport elektron yang diatur oleh fosfat organik (Soeida, 2008).
Menurut Bothwell, et,al.,1979 dan Commision of European Communities (CEC), 1993 cit Gillespie, (1998), Besi (Fe) merupakan mikronutrien yang esensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi dalam mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, mengangkut electron dalam sel, dan dalam mensintesa enzim yang mengandung besi yang dibutuhkan untuk menggunakan oksigen selama memproduksi energi selluler.
Total kapasitas pengikatan zat besi ( TIBC ) adalah Zat besi yang berhubungan dengan transferin plasma ( protein ) yang bertanggung jawab terhadap transportasi zat besi ke sumsung tulang untuk sintesa hemoglobin. (Joyce LeFever Kee, 1997)
2. Sumber zat besi ( Fe )
besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolik, dan bagian yang merupakan cadangan (reserfa). Hemoglobin, myoglobin,cytocrome serta enzim hem dan nonhem adalah bentuk zat besi yang fungsional dan berjumlah antara 5-25 mg/kg berat badan. Feritin dan hemosiderin adalah bentuk zat besi reserva yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang (Wirakusumah, 1999).
Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1998 menetapkan angka kecukupan besi untuk Indonesia sebagai berikut :
Bayi : 3 – 5 , Balita : 8 – 9, Anak sekolah : 10, Remaja laki-laki : 14 – 17, Remaja Perempuan : 14 – 25, Dewasa laki-laki : 13, Dewasa Perempuan : 14 – 26, Ibu hamil : > 20, Ibu menyusui : > 2 mg
3. Metabolisme besi ( Fe )
Zat besi merupakan unsur yang penting dalam tubuh dan hampir selalu berikatan dengan protein tertentu seperti hemoglobin, mioglobin. Kompartemen zat besi yang terbesar dalam tubuh adalah hemoglobin yang dalam keadaan normal mengandung kira-kira 2 gram zat besi.Hemoglobin mengandung 0,34% berat zat besi; 1 ml eritrosit setara dengan 1 mg zat besi.
limpa, dan sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali.Hati merupakan tempat penyimpanan feririn terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum.Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar feritin serum meningkat,ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak.Pada penyakit keganasan sel darah kadar feritin serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia.Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial yang mekanismenya belum jelas, akibatnya kadar feritin intrasel dan serum meningkat. Feritin disintesis dalam sel retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin ).
4. Proses Penyerapan dan Penyimpanan Zat Besi
Sebagian besar transferin darah membawa besi ke sum -sum tulang dan bagian tubuh lain. Di dalam sum-sum tulang besi digunakan untuk membuat haemoglobin yang bagian sel darah merah. Sisanya di bawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Kelebihan besi yang bisa mencapai 200 hingga 1500 mg. disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%). Sum - sum tulang belakang (30%) dan selebihnya dalam limfa dan otot. Dari simpanan besi tersebut hingga 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan hemoglobin. Feritin yang bersirkulasi didalam darahmencerminkan simpanan besi didalam tubuh. Pengukuran feritin di dalam serum merupakan indikator penting dalam menilai status besi. Penyerapan zat besi ada tiga faktor utama yang mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh, yaitu ketersediaan zat besi dalam tubuh, bioavailabilitas zat besi, dan adanya faktor penghambat penyerapan zat besi. Apabila jumlah zat besi yang berada dalam tubuh menurun maka penyerapan zat besi akan meningkat. Pada laki-laki penyerapan zat besi akan meningkat setelah pertumbuhan terhenti dan akan memasuki masa dewasa. Sebaliknya pada wanita justru setelah masa manopouse cadangan zat besi dalam tubuh meningkat dan penyerapan justru menurun karena tidak mengalamimentruasi lagi (Wirakusumah,1999).
absorbsi berlangsung lebih efisien. Jumlah zat besi dalam tubuh terutama diatur oleh penyerapan yang bervariasi. Apabila penyerapan zat besi dalam tubuh berkurang maka penyerapan akan meningkat.
Defisiensi besi terjadi karena : (1) Konsumsi Sumber zat besi yang berasal dari makanan yang tingkat absorbsinya rendah dan adanya penghambat /inhibitor. (2) Asupan makanan sumber zat besi kurang. (3) Meningkatnya kebutuhan zat besi misalnya pada keadaan hamil dan pada saat pertumbuhan cepat terutama pada anak-anak. (4) Kehilangan darah (Depkes RI, 1996)
5. Kekurangan Zat Besi
Jumlah besi yang diperlukan tiap hari untuk mengompensasi kehilangan besi tinggi pada masa kehamilan, remaja dan wanita menstruasi. Karena itu, kelompok tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi oleh sebab lain atau kurangnya asupan dalam waktu lama
(Hoffbrand, 2002)
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoeisis); cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoeisi terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik
3. Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi
(Bakta, 2002)
6. Pemeriksaan Fe & TIBC
Selanjutnya, untuk mendapatkan nilai TIBC, dilakukan penjumlahan dari nilai SI dengan UIBC. Spesimen yang diperiksa dengan metode FerroZine ini adalah serum/plasma yang didapatkan setelah melakukan sentrifus terhadap darah sampel. Reagen yang digunakan mengandung: Ferrous chloride, Sodium hydrogen carbonate, FerroZine, Hidroxylamine, Sodum azide. Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan menambahkan dengan EDTA, oxalat maupun citrat karena penggunaannya dapat mengikat ion besi, sehingga menggangu reaksi besi dengan kromogen.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan untuk menggali apakah terdapat perbedaan kadar serum besi & TIBC berdasarkan lamanya menjalani hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Unit Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek dan pemeriksaan serta analisis sampel dilakukan di Lab. Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
2. Variabel Terikat
Kadar serum Besi & TIBC
D. Definisi Operasional
1. Pasien gagal ginjal kronik
Adalah pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal yang irreversibel baik laki-laki maupun perempuan, sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap seperti dialisis atau transplantasi ginjal, dan telah berlangsung lebih dari 3 bulan.
2. Kadar serum iron (SI) & Kapasitas ikat besi total (TIBC)
Serum iron (SI) adalah penghitungan langsung jumlah yang berikatan ke
transferin. Normalnya yang dimiliki seorang individu berkisar antara 60-150
g/dl. Sedangkan TIBC merupakan jumlah besi yang dapat berikatan dengan
transferin. Normal TIBC berkisar antara 250 g/dl sampai 400 g/dl. Secara
bersamaan SI dan TIBC digunakan untuk menghitung persen saturasi transferin
dengan besi (SI : TIBC = persen saturasi). Dalam keadaan normal besi
seimbang, persen saturasi adalah antara 20-50 persen.
3. Hemodialisis
E. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Subjek penelitian merupakan pasien gagal ginjal kronik yang sedang menjalani Hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung karena memudahkan dilakukannya penelitian.
Subjek akan mengikuti penelitian ini apabila sesuai dengan kriteria inklusi sebagai berikut :
a. Bersedia sebagai sampel penelitian
b. Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
c. Tidak mengidap penyakit berat lain yang mengakibatkan perdarahan masif.
Subjek akan dikeluarkan apabila termasuk ke dalam kriteria eksklusi sebagai berikut :
a. Tidak rutin menjalani hemodialisa 2 kali per minggu.
2. Teknik Pengambilan Sampel
(Zα + Zβ ). S 2
x1-x2
kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian diambil sampai sesuai jumlah yang dibutuhkan.
3. Besar Sampel
Besar sampel ditentukan dengan rumus uji hipotesis terhadap penelitian analitik tidak berpasangan dengan variable numerik, yaitu :
n1=n2 = 2
(Sastroasmoro, 2010).
Zα = Nilai standar normal yang besarnya tergantung pada tingkat kesalahan α=0,05; maka z = 1,96, α sebesar 0,05
Zβ = Nilai standar normal yang besarnya tergantung pada tingkat kesalahan β= 0,80 z = 0,842, β sebesar 0,80. Nilai ini diambil karena penelitian yang dilakukan masih jarang sehingga peneliti menentukkan nilai kepercayaannya yaitu 20%.
S = simpang baku gabungan. (nilai ini diambil dari studi pendahuluan data bulan sebelumnya yaitu 55,7 mg/dl)
x1-x2= selisih minimal rerata yang dianggap bermakna (mempunyai nilai klinis yaitu 45mg/dL)
n1=n2 = 2 (Zα + Zβ) . S 2
x1-x2
n1=n2 = 2 (1,96+0.842)55,7 2 n1 = n2 = 24 45
Jadi sampel yang disertakan berjumlah 24 orang per kelompok
karena keterbatasan yang dimiliki peneliti dan alas an lain karena penelitian ini masih jarang dilakukan sehingga power (β) yang dipakai yaitu 20%.
F. Pengumpulan Data dan Analisis Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: 1. Data Sekunder
Dilakukan oleh peneliti sendiri dengan cara melihat data rekam medik pasien gagal ginjal kronik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
2. Data Primer
Pelaksanaan pengumpulan data primer dilakukan dengan pemeriksaan kadar besi serum (SI) & TIBC di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr.H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
2. Analisis Data
normal, namun jika sebaran data tidak berdistribusi normal digunakan statistik non parametrik Mann-Whitney Test, yaitu membandingkan rata-rata pasangan data satu sampel, data hasil pemeriksaan kadar serum besi & TIBC yang menjalani hemodialisa <1tahun dan ≥ 1 tahun.
G. Instrumen Penelitian
1. Formulir Data Responden.
2. Formulir Persetujuan Mengikuti Pemeriksaan.
3. Tabung Reaksi
4. Spuit 10 cc
5. Sentrifus
H. Alur Penelitian
Kriteri Inklusi Kriteria Eksklusi
Gambar 5 . Alur penelitian Penentuan sampel
Meminta izin dan informed consent
Menjalani Hemodialisa < 1 tahun
Pengambilan sampel dan penentuan kadar serum Fe &TIBC
dengan alat uji
Sebelum menjalani hemodialisis
Pengolahan dan penganalisaan data dengan program statistik yang
tersedia Data Rekam Medik
IV. DAFTAR PUSTAKA
Brunner, L dan Suddarth, D. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (H. Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan). (Ed.8) Vol 1. Jakarta : EGC.
Imroatul Ulya, Suryanto. 2007. Perbedaan Kadar Hb Pra dan Post Hemodialisa Pada Penderita Gagal Ginjal Kronis di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Diunduh dari : http://umy.ac.id. Diakses tanggal 20 September 2012.
Barsoum,R.S. M.D. Chronic Kidney Disease I in the Developing World. New England Journal of Medicine. 2006;354:997-999
Corresh, J, Selvin, E, Stevens, LA, et al. Prevalence of Chronic Kidney disease in the United. States. JAMA 2007; 298: 2038-2047
Suwitra K. Penyakit ginjal kronis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,. Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007, hal 570-573
Nettina, Sandra M. 2001 Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setyawan dkk. Ed. 1. Jakarta : EGC
Levy, J., Morgan, J., and Brown, E., 2004. Oxford Handbook of Dialysis 2nd edition. Oxford University Press, London.
Price S.A., Wilson L.M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku II. Edisi 6. EGC, Jakarta.
Segal GM, Eschbach JW, Egrie JC, Stueve T, Adamson JW. The anemia of end-stage renal disease: hematopoietic progenitor cell response. Kidney Int. 1988 May;33(5):983-8.
Ria Bandiara. 2003. Penatalaksanaan Anemi Defisiensi Besi Pada Pasien
Yang Menjalani Hemodialisis. Diunduh dari : http://pustaka.undap.ac.id. Diakses tanggal 26 Oktober 2012.
Sodeman. 1995 Patofisiologi.alih bahasa Hartono, A.Hipokrates, Jakarta Leeson, C. Roland. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta. EGC.
Peterson, JC. 1997. Gagal Ginjal Kronik. EGC. Jakarta. Kiyatno ,Sr. 1991. Fisiologi II Ginjal. Depdikbud. Jakarta
Tambayong, Jan.2000, Patofisiologi Untuk Perawatan, EGC, Jakarta
Prodjosudjadi W. 2006. Incidence, prevalence, treatment and cost of end-stage renal disease in Indonesia. PMID:16774003
Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat Informasi Ilmiah RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung
Astuti, N.H., 2000. Waspadai Nefropati Diabetik. Jurnal Kedokteran dan Farmasi Medika. No.4 Tahun ke XXVI.
Suhardjono. 2007. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. FK UI, Jakarta.
Alatas H., Tambunan T, dan Partini P., 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Bustan, N. M., 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta. Lumenta A.N., 1992. Penyakit Ginjal, Penyebab Pengobatan dan
Pencegahannya. P.T BK Gunung Mulia, Jakarta.
Rindiastuti, Y., 2008. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.http://www.journal.UNS.ac.id/AB/filter/20Compilation/
Thought. htm
Pudji Rahardjo. 2007. Hemodilasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. FK UI, Jakarta.
Pilgram dan Schneditz . 2001 http://www.uninet.edu/cin2001old/ conf/ pilgram/ pilgram.html diakses pada tanggal 15 september 2011.
Sastroasmoro, Sudigdo dan Ismael, Sofyan., 2008. Dasa-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke 3. Sagung Seto. Jakarta.
Syaifullah, M., 2007. Gagal Ginjal Kronik Pada Anak,
http://www.pediatric.com.int/artikel/publication/angka/GGK/masalah/20isi03/ php.htm
WHO. 2007. State Spesific Trends in Chronic Kidney Failured .
http://www.searo.who.int/.htm
Nurko S. Anemia in chronic kidney disease : Causes, diagnosis, treatment. Cleveland Clinic Journal pf Medicine. 2006; 73 : 289-297
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Pengkajian Status Besi dan Terapi Besi. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik. Ed II. 2011 : 11-16
Stenvinkel P, Alvestrand A. Inflammation in end-stage renal disease: sources, consequences and therapy. Semin Dial 2002; 15:329–37.
Marsden PA MD. Treatment of Anemia in Chronic Kidney Disease- Strategies Based on Evidence. N Engl J Med 2009 ; 361 : 2089-2090
Donnelly S. Why is erythropoietin made in the kidney? The kidney functions as a critmeter. Am J Kidney Dis 2001; 38:415–425.
Goodnough LT, Skikne B, Brugnara C. Erythropoietin, iron, and erythropoiesis. Blood 2000; 96:823–833.
Joyce LeFever Kee. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Dengan Implikasi Keperawatan. EGC. Jakarta.
Soeida. S, 2008. Gizi dan Kesehatan : Penurunan Tingkat Kecerdasan dan Upaya. Penanggulangan. Kurang Gizi : Salah Satu Penyebab Menurunnya Tingkat Kecerdasan dan Upaya Penanggulangannya
Wirakusumah, E.S., (1999). Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. PT. Pustaka. Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.
Hoffbrand, A.V. Petit, J.E. Moss P.A.H, Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2005: 221, 295
Bakta IM,2000. Hematologi Klinik Ringkas. Percetakan Universitas Udayana Denpasar
Hillman, Robert S. Kenneth A. Ault. 1998.Hematology in clinical practice: a guide to diagnosis and management.
Choi, SR, dkk., 2003. Comparatif Study of Renal Replacement Theraphy in Korea Diabetik End. Stage Renal Disease Patients : a Single Center Study. Yonsei Medical Journal Vol. 44 No.3 Farmasi Medika.No.4 Tahun ke XXVI.
Dahlan, S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Salemba Medika, Jakarta.
Ginting, F., 2004. Karakteritik Penderita GGK Rawat Inap di RSUP. H.Adam Malik Medan Tahun 2007. Skripsi Mahasiswa. FKM USU, Medan.
Guyton A.C, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. dr.Luqman Yanuar Rahman (Ed). Edisi 11. EGC. Jakarta.
Junqueira, L. C. 2007. Histologi Dasar. EGC, Jakarta.
Kathleen D. Liu. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Editon. Mc Graw Hill, New York.
Moore, K.L. 2002. Anatomi Klinis Dasar. EGC, Jakarta.
Roche. 2010. Buku Pedoman Manual Cobas Integra 400 plus. Jakarta
Gandasoebrata. 2004. Penuntun Laboratorium Klinik. Cetakan 11. Jakarta : Dian. Rakyat..
Nensi, Ida Gultom. 2003. Hubungan beberapa parameter anemia dengan derajat keparahan sirosis hati, 2003. Medan: USU e-Repository
Sudoyo Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid ke-2 Revisi IV. Jakarta Pusparini. 2000. Perubahan Respon Imun Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa. Jurnal Kedokteran Trisakti vol 9. Jakarta
Besarab, A. (1999), Parenteral Iron Therapy: Safety and Efficacy. Seminars in Dialysis, 12: 237–242.
Instalasi Patologi Klinik RSUD dr.Soetomo, 2002. Buku Panduan Tetap Pemeriksaan Hematologi. Surabaya
Christina, 2010. Hubungan Frekuensi Hemodialisa Dengan Kadar Besi Serum Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik. Politeknik Kesehatan Bandung, Bandung.