• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM

DELISA” KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

(Skripsi)

Oleh

DITA MEILINDA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012

HAFALAN SHALAT KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

(2)

ABSTRAK

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

Oleh

D I T A M E I L I N D A

Penelitian ini membahas masalah tuturan bertanya pada dialog film “Hafalan

Shalat Delisa” karya Tere Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa

Indonesia di SD. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tuturan bertanya

pada dialog film “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye dan implikasinya

terhadap pembelajaran bahasa indonesia di SD.

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Sumber data penelitian ini berupa tuturan para pemain dalam film

“Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye. Data yang menjadi kajian dalam

penelitian ini berupa tuturan bertanya yang dilakukan oleh setiap pemain. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan

teknik catat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuturan bertanya yang muncul dilakukan

(3)

Dita Meilinda

bertanya langsung yang muncul hanya untuk mengekspresikan tindak tutur

bertanya. Tuturan langsung digunakan penutur untuk memperoleh informasi dari

mitra tutur. Tuturan bertanya tidak langsung terdiri atas (1) tuturan bertanya

sebagai ekspresi tindak tutur memerintah, (2) tuturan bertanya sebagai ekspresi

tindak tutur menolak, (3) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur meminta, (4) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur memberitahukan, (5) tuturan

bertanya sebagai ekspresi tindak tutur memohon, (6) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur mengajak.

Prinsip-prinsip percakapan terdiri dari prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun

juga terdapat pada tuturan bertanya pada dialog film “Hafalan Shalat Delisa”.

Prinsip kerja sama biasanya terdapat pada tuturan langsung, yakni maksim

kualitas, maksim relevansi dan maksim cara/pelaksanaan sedangkan dalam prinsip

sopan santun terdapat pada tuturan tidak langsung yakni dari maksim

kebijaksanaan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan dan maksim

(4)

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM DELISA” KARYA TERE

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

Program Studi Pendidi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN

KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

Oleh

DITA MEILINDA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

pada

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

kan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

(5)

Judul Skripsi : TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE- LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD

Nama Mahasiswa : Dita Meilinda

No. Pokok Mahasiswa : 0853041007

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

MENYETUJUI 1.Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Nurlaksana Eko R., M. Pd. Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum.

NIP 196401061988031001 NIP 196101041987031004

2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Nurlaksana Eko R., M.Pd. ...

Sekretaris : Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Wini Tarmini, M.Hum. ...

2. Dekan Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dr. Bujang Rahman, M.Si. NIP 196003151985031003

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandar Lampung, pada 19 Mei 1990. Penulis merupakan anak

sulung dari dua bersaudara yang dilahirkan dari buah cinta Sumardi Dae dan

Zulbaidar. Penulis mulai mengenyam pendidikan formal pada 1995 di Taman

Kanak-Kanak (TK) Al-Azhar 2 Bandar Lampung selesai 1996. Sekolah Dasar

(SD) Al-Azhar 1 Bandar Lampung pada 1996-2002. Sekolah Menengah Pertama

Negeri (SMP) 19 Bandar Lampung pada 2002-2005. Sekolah Menengah Atas

(SMA) Negeri 6 Bandar Lampung pada 2005 dan diselesaikan pada 2008.

Tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas

Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Lampung. Pada tahun 2011 penulis

melakukan praktik pengalaman lapangan (PPL) di Sekolah Menengah Pertama

Negeri 2 Gunung Sugih, Lampung Tengah Tahun Pelajaran 2011/2012 dari bulan

(8)

MOTO

“Selalu bersyukur adalah jalan terbaik untuk menjadikan hidup lebih bijaksana dan mensyukuri apa yang kamu miliki adalah syarat atas kebahagianmu”

(Mario Teguh)

“Demi cita-cita tidak ada rintangan yang menghalangi dan keberhasilan ada dalam tindakan bukan rencana”

(Mario Teguh)

(9)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan Allah

Subhanawataalla, penulis persembahkan buah karya ini kepada orang-orang

tersayang berikut ini.

1. Orang tua penulis Sumardi Dae dan Zulbaidar yang dengan penuh tulus

ikhlas mencurahkan kasih sayang, cinta, doa, pengorbanan, perhatian, dan

dukungan kepada penulis hingga sekarang;

2. Adik semata wayang, Defita Aprelia terima kasih atas semangat dan

senyuman yang selalu diberikan kepada penulis untuk menjadi lebih baik;

3. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa menanti kelulusanku; dan

4. Almamater Tercinta, Universitas Lampung yang telah memberi ilmu dan

(10)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat ALLAH Subhanawataala atas limpahan

rahmat dan hidayah-NYA kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan judul “Tuturan Bertanya Pada Dialog Film “Hafalan Shalat Delisa”

Karya Tere Liye Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Di

SD”.

Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan

pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Seni Universitas Lampung. Dalam penulisan skripsi ini penulis

banyak menerima bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada

1. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M. Pd., selaku pembimbing I yang selama

ini telah banyak membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan

saran kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini;

2. Ibu Sumarti, S. Pd. M. Hum., selaku pembimbing II dan kemudian proses

bimbingan dilanjutkan oleh Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum., kedua

dosen tersebut telah banyak membantu, membimbing dengan cermat,

(11)

3. Dr. Wini Tarmini, M. Hum., selaku penguji utama yang telah memberikan

nasihat, arahan, saran dan motivasi kepada penulis;

4. Dr. Siti Samhati, M. Pd., selaku Pembimbing Akademik (PA) yang banyak

membantu, memberikan saran, arahan, dan nasihat kepada penulis;

5. Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum. selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membimbing penulis selama

menempuh studi di Universitas Lampung;

6. Drs. Imam Rejana, M. Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;

7. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia yang telah memberi penulis ilmu yang bermanfaat;

8. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung

beserta stafnya;

9. Guru-guru SD, SMP, SMA penulis yang telah tulus ikhlas memberikan

ilmu pengetahuan serta nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi penulis.

Tanpa bekal ilmu pengetahuan dari Bapak dan Ibu guru, penulis tidak akan

sampai ke perguruan tinggi ini;

10. Keluarga besarku yang senantiasa menantikan kelulusanku dengan

memberikan dorongan, semangat, dan doa kepada penulis;

11. Sahabat terbaikku hingga saat ini Rahmalia Juwita Sari, Amd. Keb., terima

kasih untuk bantuan, memberikan dorongan dan semangat untuk penulis,

semoga persahabatan kita akan kekal selamanya;

12. Teman-teman seperjuangan penulis Evia, Dhea dan Tika serta

(12)

2008, terima kasih atas hari-hari indah yang kalian berikan, pertemanan,

doa serta kebersamaan yang telah diberikan selama ini;

13. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga ALLAH Subhanawataala selalu memberikan balasan yang lebih besar

untuk bapak, ibu dan rekan-rekan semua. Hanya ucapan terima kasih dan doa

yang bisa penulis berikan. Kritik dan saran selalu terbuka untuk menjadi

kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi yang luar biasa ini

bermanfaat untuk kemajuan pendidikan, khususnya Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia. Amin.

Bandar Lampung, 27 September 2012

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

2.3 Peranan Mitra Tutur dalam Peristiwa tutur ... 12

2.4 Konteks ... 15

2.5 Prinsip-Prinsip Percakapan ... 20

2.4.1 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle) ... 20

2.4.2 Prinsip Sopan Santun (Politness Principle) ... 24

(14)

III. METODE PENELITIAN

4.2.1.2.1 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Memerintah ... 42

4.2.1.2.2 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Menolak ... 45

4.2.1.2.3 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Meminta ... 47

4.2.1.2.4 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Memberitahukan ... 53

4.2.1.2.5 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Memohon ... 55

4.2.1.2.6 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Mengajak ... 57

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Format Panduan Pengumpulan Transkip data Tuturan Bertanya

pada Dialog Film “Hafalan Shalat Delisa”

Lampiran 2 : Catatan Transkip Data Tuturan Bertanya pada Dialog Film

“Hafalan Shalat Delisa”

Lampiran 3 : Korpus Data Tuturan Bertanya pada Dialog Film “Hafalan

Shalat Delisa”

Lampiran 4 : Klasifikasi Data Tuturan Bertanya pada Dialog Film “Hafalan

(16)

DAFTAR SINGKATAN

1. De : Delisa

2. Ab : Abi

3. Umm : Umi

4. Ai : Aisyah

5. Ti : Tiur

6. Za : Zahra

7. Koh : Koh Acan

8. Um : Umam

9. Rlwn : Relawan

(17)

ABSTRAK

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA DI SD

Oleh

D I T A M E I L I N D A

Penelitian ini membahas masalah tuturan bertanya pada dialog film “Hafalan Shalat Delisa”

karya Tere Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SD. Tujuan

penelitian ini adalah mendeskripsikan tuturan bertanya pada dialog film “Hafalan Shalat Delisa”

karya Tere Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa indonesia di SD.

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber

data penelitian ini berupa tuturan para pemain dalam film “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere

Liye. Data yang menjadi kajian dalam penelitian ini berupa tuturan bertanya yang dilakukan oleh

setiap pemain. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

simak dan teknik catat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuturan bertanya yang muncul dilakukan dengan dua cara,

yakni bertanya langsung dan bertanya tidak langsung. Tuturan

Dita Meilinda

bertanya langsung yang muncul hanya untuk mengekspresikan tindak tutur bertanya. Tuturan

(18)

tidak langsung terdiri atas (1) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur memerintah, (2) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur menolak, (3) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur meminta, (4) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tuturmemberitahukan, (5) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur memohon, (6) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur mengajak.

Prinsip-prinsip percakapan terdiri dari prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun juga terdapat

pada tuturan bertanya pada dialog film “Hafalan Shalat Delisa”. Prinsip kerja sama biasanya

terdapat pada tuturan langsung, yakni maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim

cara/pelaksanaan sedangkan dalam prinsip sopan santun terdapat pada tuturan tidak langsung

yakni dari maksim kebijaksanaan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan dan maksim

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Chaer, 1998:1). Bahasa merupakan sarana komunikasi yang hanya dimiliki oleh manusia. Bahasa adalah salah satu ciri pembeda utama antara manusia dengan makhluk lain. Oleh karena itulah bahasa itu bersifat manusiawi.

Bahasa memiliki peran sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan manusia dalam segala tindak kehidupan untuk menjalin hubungan dengan manusia yang lain yang mempunyai kesamaan bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai fungsi sebagai alat interaksi sosial untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (Chaer, 2009:33). Komunikasi merupakan suatu proses ekspresi seseorang untuk menyampaikan maksud dan tujuannya.

(20)

berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap(tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Film. 5 Februari 2012).

Dalam dialog sebuah film sering menggunakan bahasa tidak resmi karena pemerannya menyesuaikan konteks dengan situasi tutur. Salah satu contoh film yang tidak menggunakan bahasa secara resmi yakni film “Hafalan Shalat Delisa”.

Hafalan Shalat Delisa adalah novel karya Tere Liye yang diterbitkan oleh Republika pada tahun

2005 dengan 266 halaman (Liye, 2005). Novel ini bertemakan nilai edukatif yang tinggi, yang menceritakan tentang kehidupan seorang gadis kecil berusia 6 tahun yang bernama Delisa, anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Abi Usman dan Umi Salamah. Mereka tinggal di Lhok Nga desa kecil dipinggir pantai Aceh. Tepat 26 Desember 2004, Delisa kehilangan Umi dan ketiga kakaknya akibat bencana alam tsunami di Aceh. AbiUsman selamat dari tsunami karena sedang bertugas di sebuah kapal tanker perusahaan minyak Internasional.

(21)

Di dalam sebuah pertuturan yang terjadi dalam film, baik secara sengaja atau tidak sengaja pasti terjadi tindak tutur bertanya yang ditujukan kepada mitra tutur untuk menanyakan sesuatu. Untuk melakukan aktivitas ini sekurang-kurangnya ada dua pihak yang dilibatkan, yakni penutur dan mitra tutur, dan seringkali pihak ketiga juga dilibatkan. Tindak tutur sebagai wujud peristiwa komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi dengan sendirinya, melainkan mempunyai fungsi, mengandung maksud, dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Berikut salah satu tuturan yang terdapat pada dialog film “Hafalan Shalat Delisa”.

Ai : “Ini cokelat siapa?”(keluar dari rumah menghampiri Delisa sambil menunjukkan cokelat).

De : “Punyaku. Ini hadiah dari Ustad Rahman” (sambil merebut cokelat dari tangan Aisyah).

(22)

Penulis memilih tuturan bertanya untuk dijadikan objek penelitian karena setelah menonton film “Hafalan Shalat Delisa”, penulis banyak menemukan tuturan bertanya dari para pemain di setiap dialog yang terdapat pada film “Hafalan Shalat Delisa”.

Penelitian sebelumnya tentang tuturan bertanya pernah dilakukan oleh Susilo (2011), tuturan yang dikaji adalah tuturan bertanya pada siswa TK LPMK Seputih Agung Lampung Tengah. Penelitan ini berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan, yakni penelitian terdahulu membahas tentang tuturan bertanya pada siswa Taman Kanak-Kanak, sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang tuturan bertanya pada dialog film. Berdasarkan uraian tersebut, untuk mengetahui tuturan bertanya pada dialog film, penulis tertarik untuk mendeskripsikan tuturan bertanya pada dialog film “Hafalan Shalat Delisa”dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SD.

Penulis memilih film “Hafalan Shalat Delisa”karya Tere Liye sebagai bahan penelitian dibanding film lainnya karena selain film “Hafalan Shalat Delisa”terinspirasi dari kejadiannyata yaitu bencana alam tsunami tujuh tahun silam. Film “Hafalan Shalat Delisa” juga menceritakan tentang kasih sayang keluarga, ketabahan, keikhlasan dan bersyukur.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. Bagaimanakah tuturan bertanya dalam dioalog film “Hafalan Shalat Delisa” dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SD?

(23)

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tuturan bertanya pada dialog film“Hafalan Shalat Delisa” dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SD.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan secara praktis. a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis, yakni dapat menambah referensi penelitian di bidang kebahasaan pada umumnya dan khususnya pada kajian tindak tutur.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan

khususnya, bagi guru SD mengenai tuturan bertanya dalam proses belajar mengajar di kelas serta dapat dijadikan referensi penelitian bagi mahasiswa di bidang kajian yang sama.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Sumber penelitian ini adalah tuturan dari setiap tokoh dalam film “Hafalan Shalat Delisa”;

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu ilmu yang dimasukkan dalam kurikulum tahun 1994. Ilmu

pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan yang harus diberikan dalam pengajaran bahasa.

Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi

suatu laporan pemahaman bahasa (Levinson dalam Tarigan, 1986: 33). Dalam penelaahannya,

pragmatik meliputi aspek penutur, mitra tutur, tujuan tutur dan tuturan sebagai kegiatan tindak

tutur.

Sementara itu, Jacob L. Mei (1983) dalam Rahardi (2005) menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia

yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa

itu sendiri.

Di pihak lain, Wijana (2003) juga mengemukakan bahwa pragmatik adalah salah satu cabang

linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana bahasa itu

digunakan dalam komunikasi. Yang lebih dipentingkan dalam studi pragmatik adalah maksud

pembicara (speaker sense) bukan makna satuan lingual yang bersangkutan (linguistic sense).

(25)

Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari

aspek pemakaian aktualnya.Austin dalam buku yang berjudul How to Do Things with Words

tahun 1962, pertama kali mengemukakan istilah tindak tutur (speech act). Austin mengemukakan

bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan

sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat Austin ini didukung oleh Searle (2001) dengan

mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah kalimat, melainkan tindakan tertentu,

seperti membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan.

Dalam uraian selanjutnya, Austin mengklasifikasikan tindak tutur atas tiga klasifikasi, yaitu (1)

tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi (Rusminto, 2010: 22).

2.2.1 Tindak Lokusi (locutionary act)

Tindak lokusi adalah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu (an act of

saying something). Oleh karena itu, yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah tuturan yang

diungkapkan oleh penutur. Leech (1983: 176) menyatakan bahwa tindak lokusi ini lebih kurang

dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan acuan. Tindak

lokusi adalah tindak tutur yang relatif mudah untuk diidentifikasi karena tindak lokusi hanya

berupa ujaran saja tanpa disertai efek terhadap mitra tuturnya. Kekuatan lokusi adalah makna

dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu.

Contoh tindak lokusi:

(26)

Tuturan (1) jika ditinjau dari segi lokusi memiliki makna sebenarnya, seperti yang

tertulis di atas, dari segi lokusi kalimat di atas mengatakan atau menginformasikan

sebuah pernyataan bahwa baju itu bagus sekali (makna dasar).

2.2.2 Tindak Ilokusi (illocutionary act)

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan tertentu

dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of doing something saying something).

Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi dibandingkan dengan tindak lokusi. Hal itu terjadi

karena tindak ilokusi harus mempertimbangkan siapa penutur dan mitra tuturnya, kapan dan di

mana tuturan terjadi, serta konteks tuturan dalam situasi tutur. Oleh karena itu, tindak ilokusi

merupakan bagian penting dalam memahami tindak tutur. Tindak ilokusi dapat diidentifikasi

sebagai tindak tutur yang berfungsi untuk menginformasikan sesuatu dan melakukan sesuatu.

Contoh tindak ilokusi:

(2) Saya Haus

Tuturan (2) penutur ingin menginformasikan bahwa saya haus dan ingin minum. Dengan

demikian, tindak ilokusi tersebut menekankan pentingnya pelaksanaan isi ujaran bagi

penuturnya.

Leech (1983: 104) mengklasifikasikan berdasarkan hubungan fungsi tindak ilokusi dengan

tujuan sosialnya dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:

a. Kompetitif (competitive), seperti memerintah, meminta, menuntut, mengemis;

b. Menyenangkan (convival) seperti menawarkan, mengajak, mengundang, menyapa,

(27)

c. Bekerja sama (collaborative), seperti menyatakan, melapor, mengumumkan,

mengajarkan;

d. Bertentangan (conflictive), seperti mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi.

Di pihak lain J. R. Searle dalam (Leech, 1983: 106) mengklasifikasikan tindak ilokusi ke dalam

lima kriteria, yaitu:

a. Asertif (assertive), yakni ilokusi yang melibatkan penutur pada kebenaran proposisi yang

diujarkan, misalnya menyatakan, memberitahukan, mengusulkan, mengeluh, melaporkan.

Contoh kalimat asertif:

(3) Aku cinta padamu.

Tuturan (3) berupa pernyataan untuk memberitahukan kepada mitra tutur bahwa penutur

menyatakan cinta kepada mitra tutur.

b. Direktif (derictive), yakni ilokusi yang bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan

yang dilakukan oleh mitra tutur, misalnya memesan, memerintah, meminta, memohon,

menanyakan, memohon, menyarankan, dan memberi nasihat.

Contoh kalimat direktif:

(4) Silahkan duduk!

Tuturan (4) merupakan kalimat direktif memerintah, pada tuturan di atas penutur

menghendaki mitra tutur menghasilkan sesuatu tindakan untuk segera duduk.

c. Komisif (commissive), yakni ilokusi yang melibatkan penutur pada suatu tindakan yang

akan datang, misalnya bersumpah, menjanjikan, menawarkan, berkaul/bernazar.

Contoh kalimat komisif:

(28)

Tuturan (5) berupa komisif menjanjikan, tuturan yang berupa janji untuk segera melamar.

Pada kalimat di atas penuturnya terikat pada suatu tindakan di masa yang akan datang

berupa janji untuk segera melamar.

d. Ekspresif (expressive), yakni ilokusi yang berfungsi untuk mengungkapkan sikap

psikologis/mental penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya

mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memaafkan, menyalahkan, memuji,

berbela sungkawa.

Contoh kalimat ekspresif:

(6)Mahasiswi itu cantik sekali.

Tuturan (6) berupa ekspresif memuji yang mengungkapkan sikap psikologis penutur

terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi.

e. Deklaratif (declaration), yakni ilokusi yang digunakan untuk memastikan kesesuaian

antara isi proposisi dengan kenyataan, misalnya memberi nama, memecat, membaptis,

menjatuhkan hukuman, mengangkat, menentukan, mengucilkan, menunjuk.

Contoh kalimat deklaratif:

(7)Dengan ini Anda saya nyatakan lulus.

Tuturan (7) berupa ilokusi deklaratif, kalimat di atas mengubah status seseorang dari

keadaan belum lulus menjadi lulus.

2.2.3 Tindak Perlokusi (Perlokutionary act)

Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra tutur,

sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan. Levinson (dalam Rusminto

(29)

dikatakan berhasil jika mitra tutur melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Tindak

perlokusi disebut sebagai The Act Of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan

seseorang memunyai daya pengaruh (perlokutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya.

Efek yang timbul bisa saja sengaja maupun tidak sengaja.

Contoh tindak perlokusi:

(8) Ardi, matikan radio itu! Cepat!.

Tuturan (8) adalah tuturan seorang kakak yang merasa terganggu dengan ulah adiknya yang

mengeraskan radionya, karena dia lagi belajar. Dampak bagi mitra tutur, adalah Ardi akan segera

mematikan radionya.

1.3 Peranan Mitra Tutur dalam Peristiwa Tutur

Holmes (dalam Rusminto 2010: 50-55) menyatakan bahwa variasi penggunaan bahasa dalam

sebuah interaksi, di antaranya juga ditentukan oleh dimensi-dimensi sosial. Dimensi-dimensi

sosial tersebut meliputi empat skala sebagai berikut.

1. Skala Jarak Sosial

Jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, antara lain tampak dari tingkat keakraban

hubungan antara penutur dan mitra tutur tersebut. Tingkat keakraban ini pada umumnya

sangat ditentukan oleh intensitas hubungan antara penutur dan mitra tutur. Intensitas

hubungan yang tinggi antara penutur dan mitra tutur akan membuat tingkat keakraban

hubungan menjadi sangat dekat. Sebaliknya, intesitas hubungan yang rendah cenderung

(30)

Dalam hal ini, Leech (1983) menyatakan bahwa jarak sosial antara penutur dan mitra tutur

sangat menentukan pilihan tuturan yang digunakan dalam berkomunikasi. Untuk

berkomunikasi dengan mitra tutur yang tingkat kedekatan hubungannya termasuk dalam

kategori jauh (tidak akrab) diperlukan tuturan yang cenderung mematuhi prinsip-prinsip

sopan santun. Sebaliknya dalam berkomunikasi dengan mitra tutur yang termasuk dalam

kategori hubungan sangat dekat (akrab) cenderung tidak diperlukan tuturan yang memenuhi

prinsip-prinsip sopan santun.

Dalam kaitan dengan ini, jarak sosial antara penutur dan mitra tutur terutama dapat dilihat dari

tingkat keakraban dan kedekatan hubungan antara penutur dan mitra tutur tersebut. Untuk

mengarahkan pembahasan, kedekatan hubungan tersebut diklasifikasikan dalam empat

klasifikasi, yaitu klasifikasi hubungan sangat dekat, klasifikasi hubungan cukup

dekat,klasifikasi hubungan cukup jauh, dan klasifikasi hubungan sangat jauh.

Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan sangat dekat meliputi anggota keluarga dalam satu

rumah (ibu, bapak, kakak, adik ), kakek, nenek yang sering bertemu dengan anak, dan

teman-teman sepermainan yang sering bersama-sama dengan anak sehari-hari. Mitra tutur dengan

klasifikasi hubungan cukup dekat meliputi anggota keluarga yang tidak satu garis keturunan

dengan anak (om, tante) dan orang lain yang kebetulan tinggal satu rumah dengan anak. Mitra

tutur dengan klasifikasi hubungan cukup jauh meliputi anggota keluarga jauh dikenal oleh

anak tetapi anak dan tetangga sekitar rumah yang tidak terlalu dikenal oleh anak tetapi anak

mengetahui keberadaannya. Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan sangat jauh meliputi

keluarga jauh yang tidak dikenal oleh anak sebelumnya dan orang-orang yang tidak dikenal

(31)

2. Skala Status Sosial

Kompleksitas penggunaan tuturan dalam kegiatan komunikasi juga ditentukan oleh peran

status sosial, yang meliputi kedudukan, tataran, tingkat, derajat atau martabat sosial seseorang

terhadap orang lain. Scherer dan Giles (1978) menetapkan status sosial dalam kaitan dengan

aspek-aspek umur, jenis kelamin atau seks, kepribadian individu, kelas sosial, struktur sosial,

dan keetnikan. Peran individu dalam lingkungan keluarga atau masyarakat bersangkut paut

dengan “kekuasaan” dan “kedudukan” sosial penutur dibandingkan dengan mitra tuturnya.

“Kekuasaan” dan “kedudukan” sosial yang di maksudkan di sini dimaknai berbeda dengan

kekuasaan dan kedudukan secara formal.

3. Skala Formalitas

Tingkat keformalan interaksi antara penutur dan mitra tutur merupakan faktor yang juga

menentukan pilihan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Dalam sebuah interaksi

formal yang dilakukan oleh seorang direktur di kantornya atau seorang dosen yang sedang

mengajar di kelas menggunakan bahasa yang sangat formal. Sebaliknya, dalam sebuah

interaksi obrolan pertemanan, seseorang akan menggunakan bahasa percakapan sehari-hari

yang tidak formal. Dengan demikian, formal dan tidak formalnya interaksi antara penutur dan

mitra tuturnya juga akan berpengaruh terhadap strategi yang digunakan oleh anak dalam

kegiatan komunikasinya.

4. Skala afektif dan Referensial

Holmes (2001: 10) menyatakan bahwa bahasa tidak hanya dapat menyampaikan informasi

(32)

seseorang. Sebuah gosip yang disampaikan seseorang dapat memberikan informasi referensial

baru sekaligus dapat menyampaikan gambaran perasaan penutur berkaitan dengan gosip yang

disampaikannya.

2.4 Konteks

Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Bahasa

membutuhkan konteks tertentu dalam pemakaiannya, demikian juga sebaliknya konteks baru

memiliki makna jika terdapat tindak berbahasa di dalamnya ( Duranti, 1997 dalam Rusminto

2009: 50).

Wijana, 1996 (dalam Rahardi, 2005: 50) menyatakan bahwa konteks adalah segala latar belakang

pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan

mewadahi sebuah pertuturan. Konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi

tutur (speech situational contexts).

Dalam uraian selanjutnya, Leech (1993:19) membagi aspek situasi tuturatas lima bagian yaitu (1)

penutur dan mitra tutur; (2) konteks tuturan; (3) tujuan tuturan; (4) tindak tutur sebagai bentuk

tindakan; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.

(1) Penutur dan Mitra tutur

Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi pragmatis tertentu

di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi

sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pentuturan. Di dalam peristiwa tutur peran

penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, yang semula berperan penutur pada

(33)

terkait dengan komponen penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial,

ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban.

(2) Konteks Tuturan

Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (dalam Nadar, 2009:3) sebagai situasi lingkungan

dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi dan yang

membuat ujaran mereka dapat dipahami. Di dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakup

semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresikan. Konteks

yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara

itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti

semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya.

Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin

dinyatakan oleh penutur.

(3) Tujuan Tuturan

Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur.

Komponen ini menjadikan hal yang melatarbelakangi tuturan karena semua tuturan memiliki

suatu tujuan. Dalam hal ini bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk

menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan

dengan tuturan yang sama. Bentuk-bentuk tuturan Pagi, selamatpagi, dan metpagi dapat

digunakan untuk menyatakan maksud yang sama, yakni menyapa lawan tutur yang ditemui

pada pagi hari. Selain itu, Selamatpagi dengan berbagai variasinya bila diucapkan dengan

(34)

atau kolega yang terlambat datang ke pertemuan, atau siswa yang terlambat masuk kelas,

dan sebagainya.

(4) Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan

Tindak tutur sebagai bentuk tindakan adalah bahwa tindak tutur itu merupakan tindakan

juga. Tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan

menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan mencubit

tanganlah yang berperan, pada tindakan menendang kakilah yang berperan, sedangkan pada

tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan.

(5) Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal

Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia itu dibedakan menjadi dua,

yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Berbicara atau bertutur itu adalah tindakan

verbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal.

Tindak verbal adalah tindak mengekpresikan kata-kata atau bahasa.

Sementara itu, Hymes (dalam Rusminto 2009: 55), menyatakan bahwa unsur-unsur konteks

mencakup berbagai komponen yang disebut dengan akronim SPEAKING. Akronim ini dapat

diuraikan sebagai berikut.

(1) Setting, yang meliputi waktu, tempat, atau kondisi fisik lain yang berbeda di sekitar tempat terjadinya peristiwa tutur. Hal tersebut dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang

berbeda. Berbicara di tempat keramaian seperti di pasar akan berbeda dengan keadaan

pembicaraan di masjid.

(35)

(3) Ends, yaitu tujuan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai dalam peristiwa tutur yang sedang terjadi.

(4) Actsequences, yaitu bentuk dan isi pesan yang ingin disampaikan.

(5) Keys,yaitu cara berkenaan dengan sesuatu yang harus dikatakan oleh penutur (serius, kasar, atau main-main). Cara-cara yang digunakan oleh seseorang ketika bertutur dapat

mempermudah dalam memahami maksud ujaran tersebut.

(6) Instrumentalities, yaitu saluran yang digunakan dan dibentuk tuturan yang dipakai oleh penutur dan mitra tutur. Saluran yang digunakan dapat berupa jalur lisan, tertulis atau

telepon.

(7) Norms, yaitu norma-norma yang digunakan dalam interaksi yang sedang berlangsung. Norma ini mengacu untuk memperhalus ujaran yang akan dituturkan seseorang, misalnya

norma kesopanan, norma agama dan sebagainya.

(8) Genres, yaitu register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur. Genres ini mengacu pada jenis bentuk penyampaian tuturan, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika penutur bertutur, selalu terdapat

konteks yang melatari tuturannya tersebut. Konteks tersebut sangat menentukan dan berpengaruh

terhadap peristiwa tutur yang terjadi antara penutur dan mitra tuturnya. Lebih dari itu, ada

kalanya konteks tersebut dimanfaatkan oleh penutur untuk mendukung atau menunjang agar

tujuan tuturannya tercapai, seperti pemanfaatan waktu, tempat, suasana, peristiwa dan

keberadaan orang tertentu. Pemanfaatan konteks untuk mendukung keberhasilan tujuan tuturan

(36)

2.5 Prinsip-Prinsip Percakapan

Prinsip-prinsip percakapan digunakan untuk mengatur supaya percakapan dapat berjalan dengan

lancar. Dalam suatu percakapan, seseorang dituntut untuk mengusai kaidah-kaidah percakapan

sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar. Supaya percakapan dapat berjalan dengan

baik, maka pembicara harus menaati dan memperhatikan prinsip-prinsip yang ada di dalam

percakapan. Prinsip yang berlaku dalam percakapan ialah prinsip kerja sama (cooperative

principle) dan prinsip sopan santun (politness principle).

2.5.1 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)

Di dalam komunikasi seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan

komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Agar proses komunikasi dapat

berjalan dengan lancar penutur dan mitra tutur harus dapat saling bekerja sama. Prinsip kerja

sama mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur. Prinsip kerja sama berbunyi “buatlah

sumbangan percakapan Anda sedemikian rupa sebagaimana yang diharapakan, berdasarkan

tujuan dan arah percakapan yang sedang diikuti”.

Secara lebih rinci, Prinsip kerja sama dituangakan Grice, 1975(dalam Rahardi, 2005: 53-57) ke

dalam empat maksim, yaitu (i) maksim kuantitas (the maxim of quantity), (ii) maxim kualitas

(the maxim of quality), (iii) maxim relevansi (the maxim of relevance), dan (iv) maxim

pelaksanaan (the maxim of manner). Di bawah ini adalah uraian maksim-maksim tersebut.

(37)

Maksim kuantitas menyatakan “berikan informasi dalam jumlah yang tepat”. Maksim ini terdiri

dari dua prinsip, yaitu:

1) berikan informasi Anda secukupnya yang diperlukan mitra tutur;

2) bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.

Maksim kuantitas ini memberikan tekanan pada tidak dianjurkannya pembicara untuk

memberikan informasi lebih daripada yang diperlukan. Hal ini didasari asumsi bahwa informasi

lebih tersebut hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Kelebihan informasi tersebut

dapat saja dianggap sebagai sesuatu yang disengaja untuk memberikan efek tertentu.

Contoh maksim kuantitas:

(9) A: “Lihat itu Pak Eko memasuki ruang kuliah.”

B: “Lihat itu Pak Eko, dosen mata kuliah Analisis Wacana yang menjabat Kaprodi Pasca Sarjana, memasuki ruang kuliah.”

Tuturan (9A) lebih ringkas, jelas dan tidak menyimpang dari nilai kebenaran. Semua mahasiswa

yang mengambil mata kuliah analisis wacana sudah tau dosennya Pak Eko. Penambahan

informasi pada tuturan (9B), justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu

panjang, jadi tuturan (9B) tidak sesuai dan menyimpang dari maksim kuantitas.

b. Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)

Maksim kualitas menyatakan “usahakan agar informasi Anda sesuai dengan fakta”. Maksim ini

terdiri dari dua prinsip, yaitu:

1) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini bahwa hal itu tidak benar;

(38)

Maksim ini mengisyaratkan penyampaian informasi yang mengandung kebenaran. Artinya, agar

tercipta kerja sama yang baik dalam sebuah percakapan, seseorang dituntut menyampaikan

informasi yang benar, bahkan hanya informasi yang mengandung kebenaran yang meyakinkan.

Contoh maksim kualitas:

(10) A: Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya. B: Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !

Tuturan (10A) dan (10B) di atas dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang

ujian pada ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan.

Tuturan (10B) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra

tutur. Sementara tuturan (10A) dikatakan melanggar kualitas karena penutur mengatakan sesuatu

yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan oleh seorang dosen. Akan

merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang

mempersilahkan mahasiswanya melakukan pencontekan pada saat ujian berlangsung.

c. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)

Maksim relasi menyatakan “jagalah kerelevansian”. Agar terjalin kerja sama antar penutur dan

mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang

sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang

demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.

Contoh maksim relevansi:

(39)

Dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan Dhea, yakni “Aku baru saja minum jus melon, Vi” tidak memiliki relevansi dengan apa yang ditanyakan oleh Evia.

Dengan demikian tuturan Dhea pada contoh (11) tidak sesuai dengan maksim relevansi dalam prinsip kerja sama.

d. Maksim Cara/Pelaksanaan(The Maxim of Manner)

Maksim cara menyatakan “usahakan agar Anda berbicara dengan teratur, ringkas, dan jelas”. Secara lebih rinci maksim ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1) hindari ketidakjelasan atau kekaburan ungkapan; 2) hindari ambiguitas;

3) hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu; 4) harus berbicara dengan teratur.

Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama ini, karena tidak mematuhi maksim cara.

Contoh maksim cara:

(12) Dita: Ma, besok dita harus kembali lagi ke lokasi KKN. Mama: Sudah mama siapkan di laci meja.

Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan Dita kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan Dita itu, bukannya ingin memberi tahu kepada mama bahwa Dita akan segera kembali ke lokasi KKN, melainkan lebih dari itu, yakni bahwa Dita sebenarnya ingin

menanyakan apakah mama sudah menyiapkan uang yang sudah diminta sebelumnya.

(40)

Agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik dan lancar, mereka

haruslah dapat saling bekerja sama. Bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur salah

satunya, berprilaku sopan pada pihak lain, tujuannya supaya terhindar dari kemacetan

komunikasi. Leech (1993:120) mengatakan bahwa prinsip kerja sama berfungsi mengatur apa

yang dikatakan oleh peserta percakapan sehingga tuturan dapat memberikan sumbangan kepada

tercapainya tujuan percakapan, sedangkan prinsip kesantunan menjaga keseimbangan sosial dan

keramahan hubungan dalam sebuah percakapan.

Dalam kaitannya dengan ini, Leech mencontohkan pentingnya penerapan prinsip sopan santun

tersebut sebagai berikut: “Kita harus sopan kepada tetangga kita. Jika tidak, hubungan kita

dengan tetangga kita akan rusak dan kita tidak boleh lagi meminjam mesin pemotong

rumputnya”.

Leech dalam Tarigan (1986: 39) membagi prinsip sopan santun ke dalam enam kategori maksim

berikut (i) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (ii) maksim kedermawanan (generosity maxim),

(iii) maksim Penghargaan (approbation maxim), (iv) maksim kesederhanaan (modesty maxim),

(v) maksim kesepakatan (agreement maxim) dan (vi) maksim simpati (sympathy maxim).

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Maksim kebijaksanaan mengandung prinsip sebagai berikut:

1) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin;

2) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.

(41)

(13) Tuan rumah : “Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah mendahului.”

Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

Tuturan (13) dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di

rumah ibu tersebut. Pada saat itu, anak muda itu harus berada di rumah ibu tersebut sampai

malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda. Contoh di atas tampak dengan jelas

bahwa apa yang dituturkan oleh tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi tamu.

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan mengandung prinsip sebagai berikut:

1) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin;

2) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

Contoh maxim kedermawaan:

(14) Adik : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor.” Kakak : “Tidak usah, Kak. Nanti siang saya akan mencuci juga,

kok.”

Dari tuturan (14) yang disampaikan adik di atas, tampak dengan jelas bahwa adik berusaha

memaksimalkan keuntungan bagi kakak dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri.

Hal itu dilakukan adik dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya

sang kakak.

c. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

Maksim penghargaan mengandung prinsip sebagai berikut:

1) kurangi cacian pada orang lain sesedikit mungkin;

(42)

Contoh maxim penghargaan:

(15) Dosen A : Pak, tadi Saya sudah memulai kuliah perdana Analisis Wacana untuk kelas Batrasia.

Dosen B : Oya, tadi saya mendengar penjelasan Anda tentang Analisis Wacana sangat jelas.

Tuturan (15) dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga dosen dalam ruangan

dosen pada sebuah perguruan tinggi negeri. Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap

dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau

penghargaan oleh dosen B. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu

dosen B berprilaku santun terhadap dosen A.

d. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

Maksim kesederhanaan mengandung prinsip sebagai berikut:

1) kurangi pujian pada diri sendiri sesedikit mungkin;

2) tambahi cacian pada diri sendiri sebanyak mungkin.

Contoh maxim kesederhanaan:

(16) Dita : Ka, nanti kamu yang jadi moderator saat aku seminar proposal ya?

Tika : Waduh, nanti aku grogi.

Tuturan (16) yang disampaikan dita untuk meminta tika sebagai moderator dengan bersikap

rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.

(43)

Maksim kesepakatan mengandung prinsip sebagai berikut:

1) kurangi kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain sesedikit mungkin;

2) tingkatkan kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain sebanyak mungkin.

Contoh maxim kesepakatan:

(17) Lia : Nanti malam kita nonton di Bioskop ya, Ta! Dita : Boleh. Saya tunggu di 21.

Pada tuturan di atas terlihat jelas bahwa terdapat kesepakatan atau kecocokan antara penutur dan

mitra tutur untuk pergi bersama nanti malam. Hal tersebut juga diperkuat dengan tuturan dari

mitra tutur “boleh” yang berarti sepakat dengan ajakan penutur, yakni nonton di Bioskop.

f. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

Maksim simpati mengandung prinsip sebagai berikut:

1) kurangi rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain sekecil mungkin;

2) tingkatkan rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain sebanyak mungkin.

Contoh maxim simpati:

(18) Andre : Lia, Ibuku meninggal tadi malam.

Lia : Innalillahiwainailahi rojiun. Saya turut berduka cita.

Pada tuturan di atas, dikatakan memenuhi prinsip sopan santun maksim simpati karena terlihat

jelas bahwa Lia memaksimalkan simpati kepada Andre dengan cara ikut berduka cita.

2.6 Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan

(44)

mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Isi kurikulum merupakan susunan, bahan

kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang

bersangkutan (Oemar Hamalik, 2005: 18).

Kurikulum yang berlaku di sekolah dasar (SD) saat ini adalah kurikulum tingkat satuan

pendidikan (KTSP). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang

disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan badan standar nasional

pendidikan (BSNP). KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan

muatan

kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.

Pendidikan bahasa Indonesia di lembaga formal dimulai dari SD. Jumlah jam pelajaran bahasa

Indonesia di SD kelas I, II dan III sebanyak 6 jam pelajaran. Sedangkan kelas IV, V dan VI

sebanyak 5 jam pelajaran. Banyaknya jumlah jam pelajaran Bahasa Indonesia dimaksudkan agar

siswa mempunyai kemampuan berbahasa Indonesia yang baik serta mempunyai kemampuan

berpikir dan bernalar yang baik yang dapat disampaikan melalui bahasa yang baik pula.

Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi penting yang diajarkan di sekolah dasar, karena

bahasa Indonesia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan

sehari-hari. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh Akhadiah dkk. (1991:

1) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta

dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa serta

(45)
(46)
(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif,yaitu metode penelitian yang data dan hasil analisisnya menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis bukan angka-angka. Tulisan hasil

penelitian berisi kutipan-kutipan dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi

dan mengisi materi laporan (Zaini Hasan, 1990:16). Penggunaan metode

deskriptif diharapkan dapat memberikan bentuk tuturan bertanya pada

dialogfilm“Hafalan Shalat Delisa” dan implikasinya terhadap pembelajaran

Bahasa Indonesia di SD.

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berupa tuturan dari tokoh dalam dialog film

“Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye. Mereka adalah (1) Abi Usman, (2) Umi

Salamah, (3) Kak Fatimah, (4) Cut Aisyah, (5) Cut Zahra, (6) Delisa, (7) Koh

Acan, (8) Ustadz Rahman, (9) Prajurit Smith, (10) Suster Sophie.

Tokoh lainnya adalah: (1) Tiur, (2) Teuku Umam, (3) ibu guru Nur.

(48)

2

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

simak dan pencatatan. Dikatakan teknik simak yakni penulis menyimak semua

dialog film “Hafalan Shalat Delisa” yang berdurasi 01:40:17 detik.Penelitian ini

juga menggunakan teknik pencatatan, yakni catatan transkip data.

Catatan transkip data dilakukan untuk mencatat tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dari setiap pemeran dalam film “Hafalan Shalat Delisa”. Catatan tersebut, yakni catatan deskriptif dan reflektif. Catatan deskriptif berupa catatan tentang semua tuturan dari setiap tokoh dalam dialog film “Hafalan Shalat Delisa” termasuk konteks yang melatarinya, dan catatan reflektif adalah interpretasi atau penafsiran peneliti terhadap tuturan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Menyimak dan mencatat semua tuturan bertanya yang muncul dalam dialog

film “Hafalan Shalat Delisa”termasuk konteks tuturan;

2. Data yang didapat dianalisis dengan menggunakan catatan deskriptif, catatan reflektif dan juga menggunakan catatan heuristik, yakni analisis konteks. Analisis heuristik digunakan apabila ada tuturan bertanya tidak langsung yang memiliki berbagai interpretasi makna;

3. Mengidentifikasi tuturan tokoh yang di dalamnya terdapat tuturan bertanya; 4. Mengklasifikasi data tuturan bertanya, yakni bertanya langsung dan bertanya

tidak langsung berdasarkan konteks;

(49)

3

penarikan simpulan;

6. Mendeskripsikan implikasi tuturan bertanya dalam pembelajaran bahasa

Indonesia di Sekolah Dasar (SD).

Gambar 1. Bagan Analisis Heuristik

(Leech, 1993:63)

Leech menawarkan pemakaian analisis heuristik untuk menginterpretasi sebuah

tuturan. Dalam analis heuristik, analisis berawal dari problema, dilengkapi

proposisi, informasi latar belakang konteks, dan asumsi dasar bahwa penutur

menaati prinsip-prinsip pragmatis, kemudian mitra tutur merumuskan hipotesis

tujuan tuturan. Berdasarkan data yang tersedia, hipotesis diuji kebenarannya. Bila

hipotesis sesuai dengan bukti-bukti konstektual yang tersedia, berarti pengujian

berhasil, hipotesis diterima kebenarannya dan menghasilkan interpretasi baku

yang menunjukkan bahwa tuturan mengandung satuan pragmatis. Jika pengujian 1. Problem

2. Hipotesis

3. Pemeriksaan

4.b. Pengujian Gagal 4.a. Pengujian Berhasil

(50)

4

gagal karena hipotesis tidak sesuai dengan bukti yang tersedia, mitra tutur perlu

membuat hipotesis baru untuk diuji kembali dengan data yang tersedia. Proses

pengujian ini dapat berlangsung secara berulang-ulang sampai diperoleh hipotesis

yang dapat diterima.

Contoh:

Penutur dan Mitra Tutur : Lia (Bidan) dan Agung (IPDN) 1. Permasalahan (Interpretasi tuturan) “dingin sekali ya mas disini”

2. Hipotesis

a. menyatakan ingin dipeluk b. menyatakan ingin masuk rumah c. menyatakan ingin minta jaket

3.Pemeriksaan a. sudah lama tidak bertemu b. sedang duduk di teras c. cuaca dingin habis hujan

4.b. Pengujian b, dan c Gagal 4.a. Pengujian a Berhasil

(51)

5

Tempat : Teras rumah

Waktu : Malam hari

Tuturan pada contoh di atas merupakan kalimat yang berupa pertanyaan, tetapi

setelah diperiksa menggunakan analisis heuristik dengan memasukkan data-data

tuturan berupa bertanya tidak langsung dengan modus meminta. Selain bertanya,

penutur mempunyai maksud dibalik tuturannya itu, yakni minta dipeluk oleh

mitra tutur. Hal ini disebabkan karena penutur dan mitra tutur sudah lama tidak

bertemu sejak tiga bulan terakhir. Hubungan antara penutur dan mitra tutur adalah

(52)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tuturan bertanya pada dialog film

“Hafalan Shalat Delisa” terdapat tuturan bertanya langsung dan tuturan bertanya tidak langsung.

Tuturan bertanya langsung yang muncul hanya untuk mengekspresikan tindak tutur bertanya.

Tuturan langsung digunakan penutur untuk memperoleh informasi dari mitra tutur. Tuturan tidak

langsung terdiri atas (1) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur memerintah, berfungsi untuk memberi perintah atau menyuruh melakukan sesuatu secara tidak langsung; (2) tuturan

bertanya sebagai ekspresi tindak tutur menolak, berfungsi untuk tidak memberi atau mengabulkan sesuatu yang diminta; (3) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur meminta, berfungsi supaya diberi atau mendapat sesuatu; (4) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur

memberitahukan, berfungsi untuk menyampaikan sesuatu kabar supaya diketahui; (5) tuturan bertanya sebagai ekspresi tindak tutur memohon, berfungsi meminta dengan hormat; (6) tuturan

bertanya sebagai ekspresi tindak tutur mengajak, berfungsi untuk meminta (menyilakan) supaya

ikut serta.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh bahwa tuturan bertanya pada dialog

film “Hafalan Shalat Delisa” terdapat tuturan bertanya langsung dan tuturan bertanya tidak

(53)

1. Untuk Guru SD

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tuturan bertanya pada dialog film “Hafalan

Shalat Delisa” tidak hanya menggunakan bentuk tuturan bertanya langsung tetapi juga

tuturan bertanya tidak langsung. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh guru Bahasa Indonesia

di Sekolah Dasar (SD) agar lebih memperhatikan tuturan bertanya siswa dan mampu

memaknai tuturan yang dituturkan oleh siswa karena berdasarkan tuturan yang

disampaikan sebenarnya mempunyai maksud yang lain. Dengan demikian, tuturan yang

disampaikan dapat menjaga hubungan antara penutur dan mitra tutur tetap berjalan baik

dan menjaga komunikasi tetap berjalan dengan lancar;

2. Untuk Peneliti

Penelitian yang dilakukan penulis terbatas pada tuturan bertanya khususnya tuturan

bertanya pada dialog film. Dengan demikian, peluang sangat terbuka peluang bagi

adanya kajian lebih lanjut berkaitan dengan hal tersebut, terutama berkaitan dengan

meneliti tuturan bertanya dengan sumber data yang berbeda seperti pada tuturan bertanya

(54)

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM

KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA DI SD

(Skripsi)

Oleh

DITA MEILINDA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012

(55)

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM

KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

Program Studi

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM “HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE LIYE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA DI SD

Oleh

DITA MEILINDA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

pada

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012

(56)

DAFTAR ISI

1.3 Peranan Mitra Tutur dalam Peristiwa tutur ... 12

1.4 Konteks ... 15

1.5 Prinsip-Prinsip Percakapan ... 20

2.4.1 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle) ... 20

2.4.2 Prinsip Sopan Santun (PolitnessPrinciple) ... 24

1.6 Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD ... 28

(57)

3.1 Desain Penelitian ... 30

4.2.1.2.1 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Memerintah ... 42

4.2.1.2.2 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Menolak ... 45

4.2.1.2.3 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Meminta ... 47

4.2.1.2.4 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Memberitahukan ... 53

4.2.1.2.5 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Memohon ... 55

4.2.1.2.6 Tuturan Bertanya sebagai Ekspresi Tindak Tutur Mengajak ... 57

(58)
(59)

DAFTAR PUSTAKA

Brown dan Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

_____. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Halliday, M.A.K dan Hasan Ruqaiya. 1985. Bahasa, Konteks dan Teks. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hamalik, Oemar. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Hasan, Zaini. 1990. Penelitian Kualitatif. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang.

http://id.wikipedia.org/wiki/Film. 5 Februari 2012.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hafalan_Shalat_Delisa. 8 Februari 2012

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh Oka, M.D.D. Universitas Indonesia: Jakarta.

Liye, Tere. 2008. Hafalan Sholat Delisa(Novel). Jakarta: Republika.

Parera. J. D. 2004. TEORISEMANTIK. Jakarta: Erlangga.

Rahadi, R. Kunjana. 2005. PRAGMATIK Kesatuan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia (Buku Ajar). Bandar Lampung: Universitas Lampung.

_____. 2010. Memahami Bahasa Anak-Anak. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

(60)

Susilo, Agus. 2011. “Tuturan Bertanya Siswa Taman Kanak-Kanak LPMK Seputih Agung Lampung Tengah Tahun Pelajaran 2010/2011 di Lingkungan Sekolah dan Implikasinya Dalam Pembelajaran Bahasa. Lampung”. Skripsi Mahasiswa FKIP, Unila. Bandar Lampung: FKIP Unila.

Suyitno, Imam. 2011. Karya Tulis Ilmiah (KTI). Bandung: PT Refika Aditama.

Tarigan, Henry Guntur.1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung.

_____.1984. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa Bandung.

Universitas Lampung, 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

(61)

Judul Skripsi : TUTURAN BERTANYA PADA DIALOG FILM

“HAFALAN SHALAT DELISA” KARYA TERE- LIYE DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA DI SD

Nama Mahasiswa : Dita Meilinda

No. Pokok Mahasiswa : 0853041007

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

MENYETUJUI 1.Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Nurlaksana Eko R., M. Pd. Drs. Kahfie Nazaruddin, M. Hum.

NIP 196401061988031001 NIP 196101041987031004

2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

(62)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Nurlaksana Eko R., M.Pd. ...

Sekretaris : Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Wini Tarmini, M.Hum. ...

2. Dekan Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan

Dr. Bujang Rahman, M.Si. NIP 196003151985031003

(63)

MOTO

“Selalu bersyukur adalah jalan terbaik untuk menjadikan hidup lebihbijaksana dan mensyukuri apa yang kamu miliki adalah syarat atas kebahagianmu”

(Mario Teguh)

“Demi cita-cita tidak ada rintangan yang menghalangi dan keberhasilan ada dalam tindakan bukan rencana”

(Mario Teguh)

(64)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan Allah Subhanawataalla,

penulis persembahkan buah karya ini kepada orang-orang tersayang berikut ini.

1. Orang tua penulis Sumardi Dae dan Zulbaidar yang dengan penuh tulus ikhlas

mencurahkan kasih sayang, cinta, doa, pengorbanan, perhatian, dan dukungan kepada

penulis hingga sekarang;

2. Adik semata wayang, Defita Aprelia terima kasih atas semangat dan senyuman yang

selalu diberikan kepada penulis untuk menjadi lebih baik;

3. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa menanti kelulusanku; dan

4. Almamater Tercinta, Universitas Lampung yang telah memberi ilmu dan berbagai

(65)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandar Lampung, pada 19 Mei 1990. Penulis merupakan anak sulung dari dua

bersaudara yang dilahirkan dari buah cinta Sumardi Dae dan Zulbaidar. Penulis mulai

mengenyam pendidikan formal pada 1995 di Taman Kanak-Kanak (TK) Al-Azhar 2 Bandar

Lampung selesai 1996. Sekolah Dasar (SD) Al-Azhar 1 Bandar Lampung pada 1996-2002.

Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP) 19 Bandar Lampung pada2002-2005. Sekolah

Menengah Atas (SMA) Negeri 6 Bandar Lampung pada 2005 dan diselesaikan pada 2008.

Tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan,

Universitas Lampung. Pada tahun 2011 penulis melakukan praktik pengalaman lapangan (PPL)

di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Gunung Sugih, Lampung Tengah Tahun Pelajaran

Gambar

Gambar 1. Bagan Analisis Heuristik

Referensi

Dokumen terkait

Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama

a) Menyatakan perilaku yang benar. b) Menghargai kinerja yang baik dan menghapus ganjaran bagi kinerja yang buruk. c) Meyakinkan bahwa persaingan di antara karyawan tetap

Dalam hal suatu bidang usaha yang tercakup dalam komitmen Indonesia pada ASEAN Economic Community tidak tercantum pada Lampiran II kolom j Peraturan Presiden

Setiap individu yang memiliki toleransi risiko yang tinggi, individu tersebut akan berperilaku dalam mengelola keuangannya dengan mengambil suatu keputusan pengelolaan

Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan

Wilayah kajian dalam penelitian ini adalah media pembelajaran yang berupa media Adobe Captivate sebagai media belajar siswa untuk meningkatkan hasil belajar siswa

Yang sangat perlu diperhatikan saat pembuatan cetakan permanen adalah saat pengeringan, wadah cetakan dengan tutup cetakan harus pas dan tidak ada rongga agar

Terdapat beberapa nilai densitas yang berbeda atau tidak sama dengan kelompok perlakuannya disebabkan oleh faktor usia alat yaitu kemampuan penetrasi sinar-X dari ke tiga