• Tidak ada hasil yang ditemukan

Policy Srategic of Sustainable Forest Management In Lampung Barat District

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Policy Srategic of Sustainable Forest Management In Lampung Barat District"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN

BERKELANJUTAN DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

RIZAL TIAS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir “Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat” adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, September 2011

Rizal Tias

(3)

ABSTRACT

RIZAL TIAS, Policy Srategic of Sustainable Forest Management In Lampung Barat District. Under Direction of LALA KOLOPAKING and RINA OKTAVIANI

Thingking about Policy Strategic, we have to many aspect :ecologic, economic, social and culture and conflik of interest. It is important to have a detail research for forest management for welfare of people of Lampung Barat District. The aims of research were to mapping region problem core, calculating the balancing or equilibrium between ecologic aspec with economic , social and culture aspect. Make perfec and fair equilibrium. determining mechanism, strategy and program of forest management for peoples welfare one side and the other side is many people not west lampung only but province of lampung whole. Desain of research was descriptive analysis with SWOT and AHP (AWOT) , knowing about stengths, weakness, opportunities and threats, and then followed by AHP the meaning give the best forecasting, the best strategy of forest management and finally for welfare. Conclution of research : This research result recommend that strategy of agroforestry and ecotourisme that can be applied in Forestry in West Lampung, then recommend also empowerment bodies namely Kesatuan Pengelola Hutan (KPH).

(4)

RINGKASAN

RIZAL TIAS, Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat. Dibimbing oleh LALA KOLOPAKING dan RINA OKTAVIANI

Kebijakan sebagai ilmu pengetahuan memerlukan pendekatan

interdisipliner dan lintas sektoral, yaitu kebijakan di suatu sektor harus memperhatikan implikasinya bagi kegiatan atau dampak di sektor lain. Permasalahannya ialah kebijakan lintas sektoral sulit karena masing-masing sektor mempunyai strategi, program, proyek dan anggaran terpisah. Kebijakan adalah Proses, Sistem, Seni dan Ilmu dalam upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah dirumuskan, memperkenalkan model pembangunan baru berdasarkan masalah lama.

Kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan adalah kebijakan pembangunan kehutanan dimana mensinergiskan antara aspek ekologi yaitu perlindungan dan pelestarian hutan dengan pengembangan ekonomi lokal dan sosial budaya masyarakat lokal hutan.

Penelitian ini, secara khusus bertujuan untuk :

1. Mengetahui dan memahami karateristik dan substansi permasalahan pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat

2. Menganalisis potensi hutan dan kondisi pembangunan sektor kehutanan di Kabupaten Lampung Barat.

3. Menganalisis posisi pengelolaan kehutanan di Kabupaten Lampung Barat dengan mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada. 4. Membuat strategi dan perancangan program dalam pengelolaan hutan di

Kabupaten Lampung Barat yang berkelanjutan.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Barat. Desain penelitian adalah deskriptif analisis yang bersifat prospektif, dengan arti memberikan strategi penguatan kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan di masa yang akan datang.

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat menyediakan informasi yang dapat digunakan dalam langkah pengambilan keputusan kebijakan alternatif bagi stakeholders terutama yang ada di Kabupaten Lampung Barat terkait dalam membuat perencanaan dan strategi pengelolaan hutannya.

(5)

ini Bupati Lampung Barat, Bappeda, BPLH, Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, TNBBS, Swasta, Universitas, Kelompok Hkm, LSM dan terakhir adalah DPRD Lampung Barat.

Hasil penelitian ini dengan metode SWOT dan AHP dimana faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman masing-masing tercatat 3 aspek. Selanjutnya dinilai dengan AHP, dihasilkan skor faktor internal dan eksternal di Kuadran I, artinya Strategi yang dipakai adalah Strategi Agresif. Selanjutnya alternatif strategi ditawarkan kepada expert terpilih dengan metode AHP juga.

Hasilnya adalah bahwa strategi gabungan agroforestry dan ekowisata direkomendasikan menjadi strategi utama, kemudian strategi pilihan kedua penguatan kelembagaan dan manajemen dengan penekanan pembentukan Lembaga Khusus seperti Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) serta strategi sosialisasi manfaat ekonomi hutan di Kabupaten Lampung Barat.

(6)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

RIZAL TIAS

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tugas Akhir : Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat

Nama Mahasiswa : Rizal Tias

NRP : H 252070055

Program Studi : Manajemen Pembangunan Daerah

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala Kolopaking, M.S. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S K e t u a Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa Kajian dengan judul Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini dengan setulusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Lala Kolopaking, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr.Ir. Rina Oktaviani, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan, .

2. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.S selaku Ketua Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah yang telah banyak membantu baik dalam penulisan tugas akhir maupun dalam pelaksanaan selama perkuliahan.

3. Ir. Lukman M. Baga, M.S selaku Pengelola Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah yang telah banyak membantu baik dalam penulisan tugas akhir maupun dalam pelaksanaan selama perkuliahan

4. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat khususnya Bapak Bupati Lampung Barat yang telah memberikan kesempatan melanjutkan studi tugas belajar

5. Kedua orang tua penulis M. Ali dan Emizar serta Istriku tercinta Endang Ikhtiarti, S.Pd, M.Pd atas segala do’a, dukungan, kasih sayang, kesabarannya dan kepercayaannya selama ini dan tak lupa anakku tercinta Raihan Hatta Saefullah Rindang yang telah di surga,.

6. Kepala Dinas Kehutanan dan SDA Kabupaten Lampung Barat dan rekan-rekan kerja penulis di Dinas Kehutanan dan SDA Kabupaten Lampung Barat.

7. Seluruh dosen yang telah memberikan materi kuliah pada Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.

8. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungkarang, Kota Bandarlampung, 7 Desember 1974, sebagai putra pertama pasangan Bapak M. Ali dan Ibu Emizar. Menikah dengan Endang Ikhtiarti, S.Pd, M.Pd

Pendidikan dasar diselesaikan di SDN 1 Sumur Teluk Betung Bandar Lampung Tahun 1987 dan melanjutkan ke SMPN 2 Tanjungkarang Bandar Lampung dan lulus Tahun 1990. Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMAN 2 Tanjung Karang Bandar Lampung dan melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Universitas Lampung Bandarlampung lulus Tahun 2000. Selanjutnya Tahun 2007 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah.

(12)

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR …...……….. x

DAFTAR LAMPIRAN ………..……….……… xi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

I.1. Latar Belakang ……….……… 1

I.2. Perumusan Masalah ………..…………. 5

I.3. Tujuan Kajian …………...……….. 10

1.4. Manfaat Kajian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hutan dan Sistem Kawasan Hutan... 11

2.2. Landasan Teori/Konseptual 2.2.1. Konsep Strategi………. 12

2.2.2. Analisis Kebijakan ……….. 14

2.2.3. Pengelolaan Hutan ………. 15

2.2.4. Konflik Pengelolaan Sumberdaya ……… 16

2.2.5. Analisis SWOT ……… 17

2.2.6. Proses Hirarki Analitik ……… 18

2.2.7. Teknik AWOT ... 18

2.2.8. Kajian Lingkungan Strategis ... 19

2.2.9 Penelitian Terdahulu ... 20

2.3 Definisi Pembangunan ... 21

2.3.1 Pemenuhan Kebutuhan Dasar ... 22

2.3.2 Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ... 22

2.3.3 REDD+ dan SLVK... 24

(13)

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran ... 26

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 28

3.3. Tahapan Kajian ………….……… 28

3.4. Ruang Lingkup dan Batas Kajian ……… 29

3.5. Jenis, Sumber dan Cara/Metode Pengumpulan Data ... 30

a. 3.6 Analisis Data 31 . 3.6.1 Analisis Karakteristik Permasalahan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Lampung Barat ………… 31 3.6.2 Analisis Strategi Kebijakan.……… 31

3.7 Definisi Operasional ……… 36

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Kondisi Wilayah ……… 39

4.2. Keadaan Pendduduk ... ……… 41

4.3. Kondisi Sosial Budaya ... 43

4.4. Kondisi Perekonomian Daerah ... ... 45

4.5 Kondisi Pemerintahan ... 46

4.6 Dinas Kehutanan dan SDA Kabupaten Lampung Barat .... 48

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Hutan ... 58

5.2. Potensi Ekonomi ... 59

5.3. Analisis Kontribusi Kehutanan ... 61

5.4. Substansi Permasalahan ... 66

5.5 Analisis Kebijakan dan Posisi Pengelolaan Hutan di Kabupaten Lampung Barat dengan SWOT …... 67 5.5.1. Identifikasi Stakeholders ... 67

5.5.2 Klasifikasi Faktor-faktor Keputusan ... 69

5.5.3. Penjabaran Faktor Internal dan Eksternal ... 70

5.5.4. Evaluasi Faktor-faktor keputusan ... 72

(14)

BAB V I PERUMUSAN STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM 84

BAB VII KESIMPULAN ……… 93

7.1 Kesimpulan ... 93 7.2 Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA

(15)

DAFTAR TABEL Halaman

1. Tabel Tujuan, Jenis, Sumber, dan Metode Analisis Data ...30

2. Skala banding secara berpasangan ...34

3. Indikator-indikator dalam pengambilan keputusan menggunakan AHP...35

4. Luas Wilayah Kabupaten Lampung Barat menurut Kecamatan ...40

5. Penggunaan Lahan dan Ruang di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2007 ...41

6. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2007 ...42

7. Nama-nama Marga di Kabupaten Lampung Barat ...44

8. Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat ...47

9. Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lampung Barat sektor kehutanan ... 52

10. Anggaran pembangunan dan belanja bidang kehutanan yang berasal dari APBN ...53

11. Kawasan Hutan Kabupaten Lampung Barat ……...…...…...………58

12. Tabel Data Produksi Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu ...59

13. Perkembangan PDRB, Pendapatan per kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung Barat Tahun 2001 – 2006 ...59

14. Kontribusi Sub Sektor Kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Lampung Barat Tahun 2000 -2006 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ...61

15. Tingkat Pertumbuhan Sub Sektor Kehutanan dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung Barat Tahun 2000-2006 ...61

16. Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat dari sektor kehutanan ...65

17. Besaran Anggaran APBD Dinas Kehutanan terhadap APBD Kabupaten Lampung Barat ...65

18. Tingkat Kepentingan Pihak Terkait ...68

19. Faktor Internal dan Eksternal (SWOT) yang mempengaruhi strategi kebijakan pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat ...69

20. Evaluasi faktor Internal dan Eksternal (Skor) ...81

21. Skala Prioritas Kriteria ...85

22. Alternatif Strategi yang dipilih ...87

23. Strategi Gabungan ...88

(16)

DAFTAR GAMBAR Halaman

1. Struktur Hirarki Gabungan AHP dan SWOT yang dinamakan A’WOT ….…18 2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan ...……...….23 3. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan di Kabupaten

Lampung Barat Berbasis Ekologi, Ekonomi dan Sosial Budaya …...….…27 4. Matriks IFA/EFA dalam Analisis SWOT ... 35 5. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung Barat

(Bappeda Kab. Lampung Barat, 2006, 2008) ... ...45

6. Perangkat Daerah Kabupaten Lampung Barat ...46

7. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung Barat dan Provinsi Lampung (2007) ...62

8. PDRB atas dasar harga berlaku ... 63 9. Persentase Kontribusi Sektor Pertanian ...66 10. Struktur Hirarki Gabungan AHP dan SWOT yang dinamakan

Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di

Kabupaten Lampung Barat ...73

11. Diagram Kuadran Strategi Operasional Pengelolaan Hutan ...82

(17)

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

1. Jadwal Penelitian ………...… 9

2. Kerangka Pikir Pengelolaan Hutan ………..……… 23

3. Contoh Kuisioner ………... 24

4. Pengolahan Data AHP Setiap Responden ... 25

5. Penghitungan Hasil Penilaian terhadap Kriteria ...26

6. Peta Administrasi Kabupaten Lampung Barat ………..……… 34

7. Peta Kawasan Hutan ………... 41

(18)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Seluruh lembah, gunung, dan gurun yang pernah kulewati,

pasti akan selalu kuingat sekaligus kubayangkan segenap

strategi yang akan kugunakan, jika suatu saat aku berperang di

tempat itu (Khalid Bin Walid, Strategi Kardu Di Perang Yarmuk )

Seperti pepatah, bila pohon terakhir telah ditebang

dan tetesan air telah habis diminum maka uang

ternyata tidak dapat dimakan. (GSA)

Lihatlah

apa

yang

dikatakan

orang

itu,

jangan melihat siapa yang mengatakannya.

Hidup

ini

hanya

satu

kali,

tetapi

berbuat baik jangan hanya satu kali.

Persembahan buat

Nenek tersayang

Ibunda Tersayang Emizar dan Ayah M. Ali yang telah

dengan tulus dan khusy

uk selalu memanjatkan do’a

untuk keberhasilan penulis.

Istriku

Endang

Ikhtiarti

,S.Pd,

M.Pd

yang dengan tulus dan tabah telah merelakan untuk

kehilangan sebagian waktu dan kasih sayangnya

selama penulis menempuh pendidikan dan anakku,

(19)

KATA PENGANTAR

Pembangunan kehutanan dilaksanakan untuk menjamin kelangsungan ekologi, ekonomi dan sosial budaya di Wilayah Kabupaten Lampung Barat. Pemerintah Daerah bersama-sama dengan masyarakat bertanggung jawab untuk mengelola sumberdaya alam dan budaya lokal secara arif dan bijaksana dengan memanfaatkan teknologi ramah lingkungan serta peluang pasar, sehingga terwujud masyarakat Lampung Barat yang sejahtera lahir dan batin.

Permasalahan dan tantangan utama pembangunan kehutanan secara umum menyangkut pertambahan penduduk. Kemiskinan, ketergantungan yang tinggi, moral hazard, koordinasi Semakin terbatasnya sumberdaya alam, masih terbatasnya sarana dan prasarana usaha dibidang kehutanan semakin, serta besarnya proporsi penduduk miskin.

Penelitian Kebijakan Operasional Kehutanan direncanakan disusun melalui suatu proses pembahasan dengan melibatkan stakeholder terkait, dengan demikian diharapkan dapat menjadi salah satu acuan utama dalam pembangunan kehutanan di Kabupaten Lampung Barat.Pada kesempatan ini juga saya sampaikan terimakasih pada bapak ibu pembimbing, yang telah memberikan motivasi dan arahan sehingga kajian ini dapat tersusun dengan baik, Terimakasih.

(20)

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam bagian konsideran yang tersurat dinyatakan pada pertimbangan pertama (butir a) bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia karenanya wajib disyukuri ,diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat , bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Namun amanat Undang-undang Dasar 1945 belum menjadi kenyataan di tataran realita. Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah belum dapat menerapkan kebijakan yang menyejahterakan rakyatnya. Dapat dikatakan kebijakan yang merupakan salah satu unsur penting dalam organisasi atau lembaga apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, pendidikan, LSM atau lembaga internasional bahkan dalam keluarga atau institusi informasl karena merupakan landasan untuk tindakan-tindakan nyata di lapangan masih hanya bagus di atas kertas namun hasilnya belum dapat dirasakan oleh masyarakat.

Kebijakan yang ada pada setiap lembaga atau organisasi dapat dijabarkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus, kode etik, program dan proyek atau kegiatan dan ini artinya varian turunan dari kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik di tataran implementasinya.

(21)

dilaksanakan secara utuh. Hal ini memerlukan perhatian yang serius karena pada dasarnya hampir semua kegagalan pembangunan bersumber dari persoalan fundamental ini, yaitu kegagalan kebijakan.

Kebijakan pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam Kabupaten Lampung Barat meliputi Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Marga/Adat dan Repong Damar sedangkan untuk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang berpusat di Kota Agung Tanggamus. Arah dan tujuan pengelolaan hutan yang ada di wilayah administratif Kabupaten Lampung Barat untuk Kawasan Konservasi (TNBBS) dimaksudkan untuk melestarikan kawasan hutan alam yang memiliki koleksi tumbuhan dan atau satwa alami atau bukan alami, jenis asli (endemik) atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. (Dishut Lampung, 2004) dalam Nurul Fajri (2006). Untuk Hutan Lindung sebagai kawasan lindung / resapan air. Hutan Produksi Terbatas(HPT), untuk Lampung Barat HPT yang ada telah lama tidak diusahakan sejak tahun 1985 (PT. Andatu Lestari) , di sini perlu ada sebuah kebijakan pengelolaan hutan inovatif. Kabupaten Lampung Barat telah mendeklarasikan dalam hal ini Bupati Lampung Barat bahwa Kabupaten Lampung Barat adalah Kabupaten Konservasi.

Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang mempunyai luas wilayah 495.040 hektar dengan penduduk berjumlah 424.586 jiwa terdiri dari 103.940 Kepala Keluarga, terbagi menjadi 17 Kecamatan yang terdiri dari 195 desa/pekon dan 6 kelurahan. Kabupaten Lampung Barat dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Lampung Barat, yang diundangkan pada tanggal 16 Juli 1991.

(22)

Hutan Suaka Alam (TNBBS) sekitar 263.510 ha; Cagar Alam Laut TBBS seluas kurang lebih 21.600 Ha dan Taman Laut seluas 6.555 Ha, yang memiliki fungsi konservasi yaitu sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keanekaragamanhayati (Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat,2008).

Dalam rangka optimalisasi pengelolaan hutan, pemerintah Kabupaten Lampung Barat telah menyusun kebijakan mengenai pengelolaan hutan dengan tetap merujuk kepada Kebijakan Departemen Kehutanan periode 2005 – 2009 yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 456/Menhut-VII/2004 di dalamnya ditetapkan 5 (lima) kebijakan, yaitu:

1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal.

2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan. 3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan.

4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan

5. Pemantapan dan pemanfaatan kawasan hutan.

(23)

HKm berjalan baik. Kelima, belum terpadunya dan tidak sistemiknya pelaksanaan program/kegiatan di lapangan:masih kurangnya sosialisasi, penyuluhan yang kontinyu serta masih kurang tegasnya penegakkan hukum di bidang kehutanan.Keenam, positioning (pemosisian) pengelolaan hutan masih tataran komitmen dan wacana yaitu Kabupaten Lampung Barat sebagai Kabupaten Konservasi, namun agenda strategis dan agenda aksi belum dijabarkan secara kompehensif dan penyesuaian sebagai kata ganti dari inovasi atas strategi yang ada masih kurang terkesan dengan filosofis seperti air mengalir.

Adapun kebijakan pembangunan kehutanan dalam hal ini pengelolaan hutan adalah dengan arahan pengembangan kehutanan yang berkelanjutan berbasis kabupaten konservasi dimana mensinergiskan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Pada rencana tata ruang wilayah (RTRW), pembangunan kehutanan ditetapkan sebagai salah satu sektor unggulan (Bappeda, 2007.2008).

Namun demikian, kebijakan pemerintah daerah tersebut belum dapat menjadikan pengelolaan hutan berfungsi optimal dalam kegiatan pembangunan. Hal ini terlihat pada kondisi ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang cenderung mengalami penurunan kualitas. Apabila dikaitkan dengan konsepsi pembangunan berkelanjutan, maka kondisi pembangunan kehutanan di Kabupaten Lampung Barat menunjukkan belum diterapkannya paradigma pembangunan berkelanjutan. Kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekologi, ekonomi, dan sosial budaya bersifat kelanjutan (Serageldin, 1996). Inilah ironisnya, Kabupaten Lampung Barat dengan sumber daya alam yang melimpah namun Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten miskin di Provinsi Lampung dilihat dari indikator-indikator seperti PDRB yang relatif rendah dibanding kabupaten lain, pendapatan perkapita yang rendah, jumlah rumah tangga miskin yang tinggi.

(24)

dan tanaman holtikultura lainnya. Kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lampung Barat disebabkan oleh adanya praktek penebangan liar, perambahan dan penyerobotan kawasan hutan, konversi kawasan hutan, perburuan satwa liar, tata usaha dan pemungutan hasil hutan yang belum sesuai aturan serta tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang masih rendah berada di bawah garis kemiskinan. Kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lampung Barat disebabkan oleh adanya praktek penebangan liar, perambahan dan penyerobotan kawasan hutan, konversi kawasan hutan, perburuan satwa liar, tata usaha dan pemungutan hasil hutan yang belum sesuai aturan serta tingkat sejahteraan masyarakat sekitar hutan yang masih rendah berada di garis kemiskinan.

Padahal di sisi lain keberadaan hutan tersebut merupakan daerah tangkapan air bagi sungai-sungai besar yang mengalir ke beberapa kabupaten di Propinsi Lampung seperti Daerah Aliran Sungai Way Besai, juga di beberapa bagian hilirnya terdapat bangunan-bangunan vital seperti PLTA Way Besai dan jaringan irigasi, Dengan demikian, kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lampung Barat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi fungsi dan kelestarian bangunan vital tersebut, disamping dampak buruk lainnya seperti banjir, longsor serta konflik satwa liar dengan penduduk di sekitar kawasan hutan. kerusakan hutan ini membuat keseimbangan fungsi hidrologis, fungsi erosi, fungsi unsur hara dan keanekaragaman hayati terganggu

(25)

1.2 Perumusan Masalah

Kebijakan pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk mengoptimalkan potensi sumber daya hutan yang telah dilaksanakan selama ini belum memperlihatkan hasil yang dapat menjadikan sektor kehutanan sebagai primadona pendongkrak dalam kegiatan pembangunan di Kabupaten Lampung Barat. Apabila dilihat dari paradigma pembangunan berkelanjutan, maka

pembangunan kehutanan belum menunjukkan adanya pemerataan,

keberlanjutan, dan kesejahteraan bahkan memperlihatkan kecenderungan penurunan kualitas ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.

Masyarakat di wilayah sekitar hutan sebagian besar hidup dalam kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, terbatas dalam penguasaan modal dan akses informasi usaha, adopsi teknologi yang rendah dan kelembagaan ekonomi yang belum optimal (Dishut, 2008). Struktur ekonomi Kabupaten Lampung Barat dari tahun 2000 s.d 2006 didominasi oleh sektor pertanian (SDA, Kehutanan (70% lebih) sedangkan sektor lain hanya 30% kurang. Sedangkan sumbangan sektor kehutanan mencapai 3,73% terhadap total PDRB (BPS dan Bappeda Lampung Barat, 2007,2008). Peranan sektor pariwisata berbasis alam belum optimal terhadap perekonomian Kabupaten Lampung Barat, meski begitu potensi kunjungan wisata cukup signifikan, dapat dilihat dari kunjungan wisata yang terus bertambah yaitu 11.500 orang (2002), 15.510 orang (2003), 20.914 (2004), 23.797 (2005) dan 36.514 (2006) dan 70% lebih menikmati ekowisata/alam Lampung Barat (Bappeda, 2008)

Selain itu permasalahan sosial adalah terjadinya konflik pengelolaan hutan antara masyarakat dengan instansi pemerintah serta belum diakomodirnya hutan adat(Dishut Lampung Barat, 2008)

(26)

Rasionalitas memang bukan segala-galanya, tetapi pendekatan moral saja seringkali tidak efektif. Pendekatan apapun yan dipakai, sumberdaya alam akan terdegradasi hebat apabila dibiarkan menjadi open acces property. Hardin dalam (1968) dalam Nurrohmat (2007) dengan tesisnya yang monumental the tragedy of The Commons, Hardin mengawali analisisnya melalui pendekatan rasional dengan memaparkan kepentingan penegakkan hukum (positivistik) untuk mengendalikan short term self interest. Meski dalam hal penegakkan hukum yang tegas adalah hal utama tetapi dalam implementasi dengan proses-proses persuasif dan edukatif dan dalam koridor menuju Good Forest Governance.

Dalam kurun waktu 1998 s.d 2000 awal penegakkan hukum pun dilakukan oleh jajaran kehutanan Kabupaten Lampung Barat, namun kerusakan tidak dapat terkendali. Meski begitu sejak tahun 2000 di satu sisi penegakkan hukum dilakukan penindakan pelaku tindak pidana tetap berjalan (tahun 1998 6 tersangka, 1999 8 tersangka), Kemudian tahun 2000 8 kasus, 2001 10 kasus, tahun 2002 s.d 2005 rata-rata per tahun 5 kasus, namun di tahun 2006 dalam rangka pelaksanaan Inpres Nomor 04 tahun 2005 tentang Percepatan pemberantasan illegal logging naik drastis menjadi 10 kasus. Di sisi lain pembinaan kepada masyarakat dengan pendekatan persuasif, kolaboratif dikedepankan melalui pembinaan hutan kemasyarakat, pembinaan kepada kolompok masyarakat pengelola hutan.

Kebijakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan adalah kebijakan pembangunan kehutanan berbasis ekologi, ekonomi dan sosial budaya dimana mensinergiskan antara perlindungan dan pelestarian hutan dengan pengembangan ekonomi lokal dan sosial budaya masyarakat lokal hutan.

Secara ekologis, keutuhan dan kelangsungan proses-proses ekologis dari masing-masing ekosistem (Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Taman Nasional, Hutan Marga) harus tetap dijaga dan dipelihara, sehingga fungsi ekologis :fungsi hidrologis, fungsi penahan erosi, unsur hara, sedimentasi dan fungsi keanekaragamanhayati bagi kehidupan manusia tetap dapat berlangsung dan berkelanjutan.

(27)

memberi alternatif sumber pendapatan kepada para penduduk sebagai alternatif ekonomi yang memungkinkan para penduduk untuk tidak kembali ke hutan dan tidak tergantung sepenuhnya dengan hutan.

Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan intergritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial budaya mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, akses masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

(28)

pengambilan keputusan, pengembangan kelembagaan lokal atas inisiatif masyarakat (Pitcher, 1999) dalam (Suaedi.2007)

Sumberdaya alam merupakan potensi dan komoditas utama yang terbesar di hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Barat sehingga eksistensinya diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian wilayah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian ini yang pertama adalah “Sampai sejauh mana kebijakan pengelolaan

hutan di Kabupaten Lampung Barat berkontribusi terhadap perekonomian dan sosioekonomi di Kabupaten Lampung Barat?”

Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian yang kedua adalah “Bagaimana posisi pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat dengan mengetahui dan memahami potensi keunggulan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam kerangka strategi pengelolaan hutan berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat? .”

Data statistik Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, kondisi kerusakan hutan di kawasan hutan di Kabupaten Lampung dijumpai seluas 74.500,5 ha yang tersebar di Hutan Lindung (29.273 ha), Hutan Produksi Terbatas (20.000 ha) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (25.227,5 ha) dengan jumlah perambah sebanyak 12.292 kk, dan kecenderungannya meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap hutan. Kawasan hutan di Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2000 tersisa 200.419 Hektar, 2002 tersisa 195.798, 2004 tersisa 193.128 Hektar dan di tahun 2006 tersisa 191.087 hektar (Dono, 2008). Ditambah lagi dengan belum efektifnya dan terpadunya pola pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah yang disebabkan karena koordinasi antar sektoral yang terkait dengan lingkungan, keterbatasan sumber daya manusia :rasio polisi kehutanan dengan luas hutan yang harus dijaga 1: 8000 ha, penyuluh kehutanan seluruhnya berada di Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Perkebunan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Lampung Barat, belum lagi penegakkan hukum yang belum optimal karena penuh dengan kepentingan politis dan koordinasi yang kurang antar instansi terkait penegakkan hukum.

(29)

Kabupaten Lampung Barat yang berkelanjutan ditinjau secara ekologi/ konservasi, ekonomi dan sosial-budaya

Berdasarkan permasalahan dan uraian tersebut di atas, maka pertanyaan kajian yang ke tiga adalah “Bagaimana rumusan strategi dan perancangan program kebijakan pengelolaan hutan Kabupaten Lampung Barat yang

berkelanjutan?”

1.3 Tujuan Kajian

Dengan memperhatikan latar belakang, permasalahan seperti diuraikan di atas, maka tujuan kajian ini adalah :

1. Mengetahui karakteristik dan substansi permasalahan kebijakan pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat

2. Menganalisis potensi hutan dan kondisi pembangunan sektor kehutanan di Kabupaten Lampung Barat.

3. Menganalisis posisi pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat dengan melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada. 4. Membuat strategi dan perancangan program dalam pengelolaan hutan di

Kabupaten Lampung Barat yang berkelanjutan?

1.4 Manfaat Kajian

Kajian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Lampung Barat dan pihak pengambil keputusan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat.

2. Memberikan gambaran bagi berbagai stakeholders dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat untuk mengambil peran serta bagi pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat dan informasi untuk masyarakat tentang hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraannya.

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hutan dan Sistem Kawasan Hutan di Indonesia

Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan berdasarkan statusnya menurut Undang-undang terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan yang dimaksud hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.

(31)

dimanfaatkan potensi hutannya untuk kepentingan masyarakat, swasta, dan negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Konsep Strategi

Strategi merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangannya, konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau konsep selama 30 tahun terakhir. Seperti yang diungkapkan oleh Chandler (1962) dalam Rangkuti (2004) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan/organisasi serta pendayagunaan dan alokasi semua sumberdaya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Marrus dalam Umar (2005) dalam Eka Ayu Agustina (2008), strategi juga didefinisikan sebagai proses penentuan rencana pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai. Hammel dan Prahald dalam Umar (dalam Eka Ayu Agustina, 2008) lebih khusus memberi definisi strategi sebagai kompetensi inti suatu perusahaan/organisasi, dimana dia bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang dihadapkan pada para

stakeholders (pelanggan) di masa depan.

Namun menurut Andrews (1980), strategi adalah kekuatan motivasi untuk

stakeholders, seperti stakeholders, debtholders, manajer, karyawan, konsumen, komunitas, pemerintah dan sebagainya, yang baik secara langsung maupun tidak langsung menerima keuntungan atau baiya yang ditimbulkan oleh semua tindakan yang dilakukan oleh perusahaan.

Pemahaman yang baik mengenai konsep strategi dan konsep-konsep lain yang berkaitan sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun. Konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut:

II. Distinctive Competence : tindakan yang dilakukan perusahaan/organisasi agar dapat melakukan kegiatan lebih dibandingkan dengan pesaingnya.

(32)

Adapun tipe-tipe strategi menurut Kotten dalam Zulkarnain (2008) terdiri dari :

1. Corporate strategy (Strategi organisasi), strategi ini berkaitan dengan peumusan visi, misis, tujuan, sasaran, nilai-nilai dan inisiatif strategi baru. Pembatasan diperlukan yaitu apa yang dilakukan dan untuk siapa.

2. Program strategy (Strategi program, strategi ini lebih memberikan perhatian pada implikasi strategik dari suatu program tertentu. Apa kiranya dampaknya apabila suatu program tertentu dilancarkan atau diperkenalkan, apa dampaknya bagi sasaran organisasi.

3. Resources support strategy (strategi pendukung sumberdaya), strategi ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya esensial yang tersedia guna meningkatkan kreativitas kinerja, sumberdaya itu dapat berupa tenaga, keuangan, teknologi dan sebagainya.

4. Institusi strategy (strategi kelembagaan), fokus strategi institusional adalah menggambarkan kemampuan organisasi untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif strategik.

Beberapa pernyataan terkait strategi :

1. Strategi adalah revolusi , Hammel dalam Usmara (2008).

2. Strategi bukan efektivitas organisasi, Michael E. Porter dalam Usmara (2008)

(33)

2.2.2 Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin profesi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan perspektif. Dunn (2003) menyatakan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Kebijakan sebagai ilmu pengetahuan memerlukan pendekatan

interdisipliner dan lintas sektoral, yaitu kebijakan di suatu sektor harus memperhatikan implikasinya bagi kegiatan atau dampak di sektor lain. Permasalahannya ialah kebijakan lintas sektoral sulit karena masing-masing sektor mempunyai strategi, program, proyek dan anggaran terpisah. Kebijakan juga merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan untuk mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Dengan kata lain penulis mendefinisikan, kebijakan adalah Proses, Sistem, Seni dan Ilmu dalam upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah dirumuskan, memperkenalkan model pembangunan baru berdasarkan masalah lama.

2.2.3 Pengelolaan Hutan

Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan bahwa pengelolaan hutan merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi:

a. Tata guna lahan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan

c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan

d. Perlindungan hutan dan konservasi alam

(34)

2) masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan, 3)berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses atau ha katas tanah miliknya.

Dalam pengelolaan hutan isu pokok yang sering muncul adalah adanya gangguan terhadap hutan terutama pencurian kayu, perambahan, gangguan perburuan liar dan gangguan satwa liar. Faktor-faktor yang meyebabkan gangguan terhadap hutan adalah :

1. Pendapatan yang diperoleh relatif tinggi dan caranya mudah.

2. Rantai pemasaran yang rendah, sehingga petani hutan kurang akses ke pasar.

3. Keterbukaan wilayah yang tinggi 4. Alternatif lapangan kerja yang terbatas.

Landasan/Dasar Hukum pengelolaan hutan adalah UUD RI tahun 1945, UU Nomor 41 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004, Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang mengukuhkan Kabupaten Lampung Barat sebagai Kabupaten Konservasi.

2.2.3 Konflik Pengelolaan Sumberdaya

Suporaharjo (1999) menyatakan bahwa konflik merupakan benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya .Dengan kata lain konflik terjadi karena adanya beda kepentingan antar individu yang satu dengan yang lain (antar individu), antar kelompok individu.

Ada tiga hal yang merupakan acuan menjadi penyebab konflik yakni :

(35)

2. Ketidakadilan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam, terutama perihal berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah/lahan dan 3. Pemusatan pengambilan keputusan berkenaan dengan akses dan kontrol

serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam (Maliket al, 2003)

2.2.5 Analisis SWOT

Menurut Salusu (1996) analisis SWOT adalah analisis yang mencoba mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunities) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (Threats)

2.2.6 Analytical Hierarcy Proces (AHP)

Metode ini dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton Schooll of Bussines yang juga seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburg pada tahun 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty, 1983) dalam Marimin (2004). Metode pemecahan masalah menggunakan AHP dalam bahasa Indonesia Proses Hirarki Analitik (PHA) memiliki ciri khas yaitu dipakainya hirarki untuk menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen-elemen yang lebih sederhana. Pada awalnya ditujukan untuk memodelkan sejumlah problem yang tidak berstruktur ,baik di bidang ekonomi, sosial, dan sains manajemen. Metode PHA memasukkan aspek kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia, dimana aspek kuantitatif untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat (Ramdan. 2001).

PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem. Pada penyelesaian persoalan dengan PHA ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain:

(36)

b. Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif di antara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari PHA, karena akan berperngaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk Matriks Pairwise Comparison.

c. Synthesis of Priority, yaitu melakukan sintesis prioritas dari setiap matriks

Pairwise Comparisonvector eigen” (ciri)-nya untuk mendapatkan prioritas lokal. Matriks Pairwise Comparison terdapat pada setiap tingkat, oleh karena itu untuk melakukan prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal.

d. Logical Consistency, yang dapat memiliki dua makna, yaitu 1) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya; dan 2) tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Menurut Suryadi (2000) dalam Sahwan (2002) dalam Nurul Fajri (2006) kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah :

1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, pada sub kriteria yang paling dalam.

2. Memperhitungkan validasi sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas

pengambilan k eputusan.

4. Mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi objektif dan multi kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dalam setiap elemen dalam hirarki.

2.2.7 Tekhnik A’WOT

(37)

Secara ringkas dan terstruktur dapat dilihat pada Gambar 1.

[image:37.595.107.546.83.592.2]

TAHAP PERTAMA

Gambar 1. Struktur Hirarki Gabungan AHP dan SWOT yang dinamakan A’WOT

Penggabungan ini dikarenakan analisis SWOT banyak memilik kelemahan seperti terlalu kualitatif apabila dikuantifikasikan tidak jelas berapa bobot antara faktor masing-masing komponen SWOT. Demikian juga bobot antara faktor dari masing-masing komponennya perlu dibuat prioritas sehingga dalam penentuan strategi mana yang menjadi prioritas akan lebih muda jika menggabungkan SWOT dengan AHP. Penentuan faktor-faktor dari setiap

PENENTUAN PRIORITAS ALTERNATIF

Strengths

A

Weakness Oppotunities Threats

B E

I H

L K J G

D

C

(38)

komponen SWOT dan pembobotan diperoleh dari hasil wawancara dengan responden. Keputusan alternatif juga dapat dievaluasi dengan respek untuk masing-masing faktor SWOT dengan menggunakan AHP.

Dalam hal ini analisis SWOT menyediakan frame dasar yang akan menghasilkan keputusan situasional, sedangkan AHP akan membantu meningkatkan analisis SWOT dalam mengkorelasikan hasil analisis, sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan.

Prinsip dasar perhitungan A’WOT sama dengan metode AHP, yaitu diawali dengan :

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah dengan mempertimbangkan faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi proses kebijakan.

2. Membuat struktur hirarki ada yang berbeda dengan AHP pada umumnya dalam A’WOT. Struktur hirarki setelah menentukan tujuan langsung dilanjutkan dengan memasukkan komponen SWOT pada level 2 dan faktor-faktor dari masing-masing komponen SWOT pada level 3, selanjutnya alternatif strategi pada level 4.

3. Membuat matriks berpasangan

4. Melakukan perbandingan berpasangan 5. Menghitung Vektor Ciri

6. Perhitungan consistency ratio (CR)

2.2.8 Kajian Lingkungan Strategis (KLS)

(39)

memperoleh pendapatan maupun munculnya tambahan biaya akibat kebijakan. Adapun 3 skenario yang dapat menjadi alternatif pilihan :

1. Skenario existing, yaitu membiarkan kondisi hutan pada saat ini tanpa ada perubahan

2. Skenari economic driven, dimana konservasi diilakukan hanya memperhatikan keuntungan ekonomi bagi pelaksana konservasi tanpa memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan masyarakat sekitar.

3. Skenario Environmental driven, dimana konservasi dilakukan memperhatikan aspek ekologis, sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan agar fungsi hutan kembali dan optimal.

Mensinergikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya terutama pada tahap kebijakan untuk dilakukan. Dilihat dari kebijakan global (Agenda 21) hasil deklarasi Rio, Protokol Kyoto dan Bali Roadmap telah direkomendasikan pengintegrasian aspek ekonomi dan lingkungan/ekologi dalam perumusan kebijakan. Dari berbagai gambaran di atas, penelitian pada level kebijakan pembangunan daerah di sektor kehutanan yang mengintegrasikan aspek ekonomi dan ekologi serta sosial budaya penting untuk dilakukan.

2.2.9 Penelitian Terdahulu

1. Nurul Fajri (2006) melakukan penelitian Analisis Strategi Kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya Berbasis Ekososiosistem (studi Kasus Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung).

2. Farma Yuniandra (2008) melakukan penelitian berjudul Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

3. Sri Heleosi (2006) melakukan penelitian Kajian Lingkungan Strategis Kebijakan Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005) 4. Nurul Febriani (2006) melakukan Kajian Konservasi Lahan di Hulu DAS

(40)

Pada kajian ini research gap ( kesenjangan riset) antara penulis dengan penulis terdahulu adalah penulis mengambil permasalahan pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat yang terdiri dari Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Repong Damar, Hutan adat dan Hutan Marga yang masing-masing mempunyai karakteristik permasalahan dan solusi yang sesuai. Selain itu penulis mengkaji aspek keseimbangan antara ekologi, ekonomi dan sosial budaya dengan pendekatan Kajian Lingkungan Strategis dan melakukan benchmarking

pengelolaan hutan di Finlandia dengan melakukan SWOT dahulu untuk kemudian melakukan AHP atas strategi-strategi terpilih.

2. 3 Definisi Pembangunan

Pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh setiap orang tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan oleh orang tersebut. Dalam UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional diartikan sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Menurut Suryadi (2001), pembangunan adalah proses yang

memungkinkan masyarakat meningkatkan kapasitas personel dan

institusionalnya dalam mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka, berkelanjutan, adil dan merata. (Suryono, 2001) menyatakan pembangunan merupakan proses yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan.

(41)

Pembangunan juga dapat dilihat dari sisi administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi. Administrasi pembangunan berkaitan dengan manajemen pembangunan. Dalam analisis manajemen pembangunan dikenal beberapa fungsi manajemen pembangunan yaitu perencanaan, pengerahan sumberdaya, pengerahan pembangunan oleh pemerintah, koordinasi, pemantauan, serta evaluasi dan pengawasan (Kartasasmita, 1997). Sedangkan pembangunan administrasi adalah perbaikan organisasi pemerintah dalam membangun, yang memungkinkan tercapainya efektifitas penggunaan sumberdaya.

2.3.1 Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia

Pembangunan menurut Todaro dan Smith (2003) memiliki tiga nilai inti yaitu tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem)

dan kemerdekaan atau kebebasan (freedom). Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan manusia adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan minimal yang diperlukan manusia untuk hidup dengan layak. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan akan pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan dan pekerjaan. Kebutuhan dasar dapat dibuat bertingkat tergantung urgensinya. Konsep tingkat kebutuhan manusia dikenalkan oleh Maslow. Menurut Maslow (Filippo, 1990) kebutuhan manusia bertingkat-tingkat. Tingkatan tersebut adalah (a) kebutuhan fisiologis berupa makan, minum, tidur, berkeluarga, dan kebutuhan dasar lainnya, (b) kebutuhan akan keamanan dan keselamatan, (c) kebutuhan akan kasih sayang, (d) kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, dan (e) kebutuhan akan aktualisasi diri.

Menurut Sumardjo (2008), Asian Development Bank (ADB) telah menetapkan bahwa hirarki kebutuhan dasar tersebut diawali dengan kebutuhan untuk bertahan hidup (survival) seperti kebutuhan akan makanan dan gizi, kesehatan, sanitasi dan air bersih serta kebutuhan akan pakaian yang layak. Pada tahap selanjunya adalah kebutuhan akan keamanan (security) yang meliputi perumahan, pekerjaan, pendapatan dan kedamaian. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap akhir terdapat kebutuhan untuk berkembang (enabling)

(42)

2.3.2 Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi dan sosial budaya yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation’s Conference on the human environtment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED,1987) dalam Suaedi (2007) .

Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial dan politik. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Sejalan dengan ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

Untuk mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan,

(43)

Gambar 2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993) dalam (Suaedy, 2007)

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumber daya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi dan sosial bersifat berkelanjutan ( Serageldin, 1996) dalam (Suaedi, 2007). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati, sedangkan keberlanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan.

EKOLOGI

Sumberday a alam

EKONOMI

Efisiensi

Pertumbuhan

SOSIAL BUDAYA

Keadilan

Pemerataan

 Asesment Lingkungan

 Valuasi Lingkungan

 Internalisasi

 Penanggulangan Kemiskinan

 Pemerataan

 Kelestarian

 Kesempatan kerja

 Redistribusi pendapatan

 Resolusi konflik

 Nilai nilai budaya

 Partisipasi

[image:43.595.102.517.47.828.2]
(44)

2.3.3 REDD + dan SLVK

Salah satu mekanisme untuk memberikan insentif bagi sesuatu pihak untuk turut serta menyelamatkan karbon yang terkandung dalam kayu (green carbon) adalah melalui skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Arya Hadi (2011). Pada intinya, REDD+ memberikan insentif positif bagi pihak-pihak yang dengan sengaja menyelamatkan atau memperkaya kandungan stok karbon di suatu satuan wilayah (kawasan hutan). Adalah sebuah kanyataan bila, kebijakan REDD+ pada tataran nasional dan implementasinya di daerah masih dalam proses pemahaman bersama yang belum tuntas sehingga REDD+ menjadi belum operasional atau tidak optimal dioperasionalkan di lapangan. Dengan kondisi ini, banyak daerah yang belum dapat mewujudkan REDD+ demi penyelamatan karbon di bumi. Padahal, secara ideal bila REDD+ dapat diimplementasikan, maka cita-cita sustainable forest management berupa hutan yang lestari dan masyarakat yang sejahtera secara sosial-ekonomi, sekaligus dapat diraih dan diwujudkan. Salah satu faktor yang menghambat implementasi REDD adalah tidak adanya “kekuatan pemaksa” yang memungkinkan para pihak tergiring kepada ide REDD+, dan secara rasional serta sukarela menerapkan ide tersebut di lapangan. Pertanyaannya kemudian adalah: adakah “kekuatan pemaksa” yang secara rasional dapat bekerja dan memberikan insentif positif bari pihak-pihak pemangku kepentingan hutan untuk melaksanakan REDD+, sehingga cita-cita

(45)

Dengan demikian, secara ideologikal, sesungguhnya REDD+ dan SVLK dapat saling mendukung. Keduanya merupakan skema penyelamatan kayu dan karbon serta sumberdaya hutan sekaligus. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana menyambungkan dua skema yang “berbeda arena permainan”nya

yakni REDD+ dan SVLK tersebut, dapat diimplementasikan untuk

menyelamatkan hutan di Indonesia seraya memperbaiki kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakatnya?

2.3 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

(46)

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Hutan yang merupakan salah satu dari sumber daya alam mempunyai berbagai manfaat yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Manfaat sosial dari hutan ialah sebagai hak masyarakat sekitar hutan, estitika, dan budaya. Manfaat ekonomi ialah hasil hutan kayu dan non kayu, kebutuhan lahan dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan manfaat ekologi dari hutan ialah keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya, iklim, pengatur tata air dan pencegah erosi.

Untuk mendapat manfaatnya, hutan harus dikelola. Pengelolaan hutan tergantung pada fungsi dan status suatu hutan. Namun, bentuk pengelolaan hutan harus memperhatikan juga stakeholders di sekitarnya karena mempunyai kepentingan masing-masing terhadap hutan. Jika tidak, maka suatu saat kepentingan yang berbeda-beda tersebut akan bersinggungan sehingga akan menimbulkan konflik. Bila konflik ini berlangsung terus, maka akan merugikan

stakeholders dan hutan sendiri.

Meskipun saat ini bentuk pengelolaan hutan telah menghasilkan hal-hal positif, tetapi ada beberapa hal yang menjadi masalah yaitu tentang keseimbangan antara ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat.

Strategi dan Keberlanjutan adalah kata kunci dalam upaya pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat. Keberlanjutan juga merupakan pernyataan ideal di mana masyarakat hidup untuk menikmati kebutuhan mereka yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial. Dalam prakteknya, keberlanjutan lebih pada proses penerimaan, pengimplementasian dan pengembangan strategi, institusi dan tekonologi yang sesuai untuk memajukan masyarakat menuju kondisi ynag ideal (Suaedi.2007).

(47)

Kebijakan pengelolaan berbasis ekologi, ekonomi dan sosial-budaya juga mengintegrasikan aspek kelembagaan. Kebijakan pengelolaan dan program yang sebelumnya telah ditetapkan baik oleh pemerintah daerah maupun lembaga pengelola kawasan hutan, dievaluasi dan yang bagus terus ditingkatkan, yang tidak dialihkan ke program lain sehingga hasilnya nanti merupakan konsep atau desain pengelolaan hutan di Kabupaten Lampung Barat yang secara teknis memungkinkan, secara ekonomi menguntungkan, sosial dapat dipertanggungjawabkan dan secara ekologi berkelanjutan.

Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan pemetaan masalah pengelolaan hutan, maka sebelum kerusakan ekosistem dan sumber daya di Kawasan Hutan di Kabupaten Lampung Barat berlanjut, langkah yang harus dilakukan adalah membuat suatu kebijakan pengelolaan hutan secara terpadu, komprehensif yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan pemanfaatan dari berbagai sektor dan stakeholder melalui kebijakan yang penulis sebut dengan Konsep Pengelolaan Hutan Berkelanjutan yang berbasis ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

(48)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Kabupaten Lampung Barat

Kriteria

Keberlanjutan Stakeholders

Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan (SWOT & AHP)

KONDISI SEKARANG

KAWASAN HUTAN

Kriteria Keberlanjutan

EKonomi Kriteria

Keberlanjutan Ekologi

(Kebijakan Pemerintah) Dokumen Pusat

UU No. 41/1999 Kehutanan dan UU No. 32 2004 ttg

Pemerintahan Daerah

Alternatif Strategi (AHP)

Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Terpilih dan Perancangan Program

Masalah

Ekologi

Masalah Ekonomi

- PDRB, - Diversifikasi,

- PAD

Masalah Sosial Budaya

[image:48.595.99.545.61.799.2]
(49)

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian

Kegiatan kajian dilakukan di Kawasan Hutan Wilayah Administrasi Kabupaten Lampung Barat dengan fokus pengambilan data pada wilayah kabupaten dan beberapa responden yang mewakili pihak-pihak pemangku kepentingan. Kajian dilaksanakan pada Bulan Oktober 2008 sampai dengan Januari 2009 (Lampiran 1. Jadwal Kajian).

3.3 Tahap Kajian

Tahap kajian terbagi 3 (tiga), yaitu:

1. Tahap pertama; pada tahap ini yang dilakukan adalah studi pustaka terhadap pustaka yang relevan bagi kajian, dan juga melakukan observasi awal terhadap kondisi lapangan yang ada, sehingga berdasarkan kegiatan tersebut dapat dilakukan : 1) Perumusan Tujuan kajian 2) Formulasi Permasalahan

2. Tahap kedua;pada tahap ini dilakukan analisis dari sistem-sistem yang terkait dalam pengelolaan kawasan, sehingga berdasarkan analisis tersebut dapat melakukan strukturisasi terhadap hierarki yang ada dalam pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Lampung Barat.

3. Tahap ketiga, merupakan tahap akhir dalam kajian ini dengan melakukan sintesis terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan analisis deskriptif dari hasil tabulasi data serta dengan menggunakan analisis AHP dan SWOT untuk merumuskan strategi utama dan oeprasional dalam pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Lampung Barat.

3.4 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

Kabupaten Lampung Barat memiliki luas wilayah daratan 495.040 ha, dimana dari luas tersebut sekitar 323.643 ha atau kurang lebih 67% dari luas wilayah administratifnya, merupakan kawasan hutan yang terdiri dari:

(50)

No.71/Kpts-II/1990 ditetapkan Cal BBS seluas kurang lebih 21.600 Ha, yang memiliki fungsi konservasi yaitu sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keanekaragaman , pada Juli 2004 UNESCO menetapkan Taman Nasioanl BBS (TNBBS) sebagai Tapak Warisan Dunia dengan nama The Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS).

b. Hutan Lindung (HL) sekitar 39.191 ha, yang penyebarannya di Gunung Seminung (Register 9B), Bukit Serarukuh (Register 17 B), Krui Utara (Register 43 B), Way Tenong Kenali (Register 44 B), Bukit Rigis (Register 45 B) dan Palakiah (Register 48B).

c. Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 33.358 ha, yang penyebarannya di wilayah pesisir barat.

d. Hutan Marga dan atau Repong Damar.

3.5 Jenis, Sumber dan Cara/Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung dari

[image:50.595.95.568.492.752.2]

Stakeholders lewat kuisioner sebagai panduan dan dilakukan wawancara langsung, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Tujuan, Jenis, Sumber, dan Metode Analisis Data

No TUJUAN DATA METODE ANALISIS

JENIS SUMBER

1 Mengidentifikasi potensi kehutanan

Literatur yang terkait Pihak terkait Deskriptif dan kuantitatif

2 Mengetahui Substansi dan Mengevaluasi Pelaksanaan

Program Kebijakan

Pembangunan Sektor Kehutanan

Sekunder

- Data-data Luas Hutan

- Kerusakan Hutan

- Renstra Kehutanan

- Data kasus

- Perda/kebijakan

- Sejarah Kawasan Hutan

Dinas Kehutanan dan SDA, BPS

Bappeda, PMD, Dinas Sosial

Deskriptif dan kuantitatif

3 Manfaat Ekonomi Sekunder

- PDRB

- PAD

- APBD

BPS Lampung Barat Deskriptif

4. Nilai Kerusakan - Luas Hutan yang rusak (Ha) -Fungsi Hidrologi

- Erosi Tanah (Unsur Hara) - Keanekaragaman hayati -Hasil Hutan Non Kayu

-Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat

-Hasil Penelitian

Analisis Ekonomi, Valuasi Ekonomi

5. Merumuskan strategi dan program pembangunan kehutanan di Kabupaten Lampung Barat

Primer Bupati, Bappeda, Dinas

Kehutanan dan SDA, TNBBS, BPLH, LSM, Swasta, Perguruan Tinggi, Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan, DPRD

(51)

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden untuk mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sektor kehutanan. Teknik wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner yang telah disediakanResponden adalah pihak-pihak yang memahami tentang kehutanan, kebijakan dan program-program pembangunan serta pihak-pihak yang terlibat langsung atau berhubungan dengan masyarakat, seperti dinas teknis. Sementara itu data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait baik dari dalam maupun luar daerah Kabupaten Lampung Barat antara lain Dinas Kehutanan dan SDA Kabupaten Lampung Barat, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Barat, Bappeda Daerah Kabupaten Lampung Barat berupa dokumen-dokumen kebijakan, publikasi hasil penelitian dan berbagai referensi lainnya yang terkait dengan kajian ini.

3.6 Analisis Data

3.6.1 Analisis Karakteristik Permasalahan Kawasan Hutan di Kabupaten Lampung Barat

Pengolahan dilakukan dengan menggunakan metode tabulasi dan dianalisis secara deskriptif

3.6.2 Analisis Strategi Kebijakan

Metode analisis data yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab permasalahan pengelolaan Kawasan Hutan yang berada di wilayah administratif Pemerintah Kabupaten Lampung Barat dengan melakukan wawancara terhadap responden.

Metode analisis data yang digunakan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Lampung Barat berkelanjutan yang mampu mengatasi permasalahan dan konflik pengelolaan adalah dengan metode PHA (Process Herarki Analitic) dan metode deskriptif yang dalam kajian ini mengacu pada metode dikemukakan oleh Saaty (1993).

(52)

hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variabel lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggai dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004).

Secara umum langkah-langkah yang dilakukan adalah :

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah.

2. Membuat struktur hierarki, yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria, dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.

Pendekatan PHA menggunakan skala banding berpasangan menurut Saaty (1993). Skala banding berpasangan tersebut disajikan pada Tabel

Tahapan dalam melakukan analisis data PHA menurut Saaty (1993( dikemukan sebagai berikut :

1. Identifikasi sistem yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari referensi dan berdiskusi dengan para responden yang memahami permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternat

Gambar

Gambar 1. Struktur Hirarki Gabungan AHP dan SWOT yang dinamakan A’WOT
Gambar 2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993)
Gambar 3.
Tabel 1. Tabel  Tujuan, Jenis, Sumber, dan Metode Analisis Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usulan pengabdian masyarakat hibah kompetisi sebanyak 3 (tiga) eksemplar (hardcopy) dan 1 softcopy format Pdf dalam bentuk CD, dikirim ke LP3M STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta

Berdasarkan pusat cluster pada tabel tersebut, dapat disimpulkan Kota/Kabupaten yang termasuk pada cluster 1 adalah Kota/Kabupaten yang tidak mempunyai populasi ternak

Sistem baru tersebut adalah semua pihak yang turut serta dalam meeting dengan klien baik dari pihak operasional maupun pihak marketing sama-sama membuat notulen pribadi,

Pada tulisan ini yang akan dibahas adalah pengaruh pemasangan salah satu jenis peralatan FACTS yaitu Static Var Compensator (SVC) pada sistem transmisi tenaga

Berdasarkan analisis kebutuhan yang dilakukan pada tanggal 21 Agustus 2013 dengan wawancara ke guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga serta angket kepada 26 siswa

Gambar 3.4 Rancangan halaman info dan biaya sms Home Syarat/daftar Info&biaya sms Daftar harga FAQ Live Chat On line Contact Banner Informasi Logo Operator Disclaimer

Proses pengayaan cocopeat pada penelitian ini belum menghasilkan bahan organik yang matang karena dilihat dari rasio C/N beberapa perlakuan yang masih tinggi.Perlakuan

Sedangkan untuk besar nilai efisiensi saluran distribusi jaringan tegangan rendah yang memiliki nilai efisiensi rata-rata terbesar pada saat kapasitas sistem