di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)
NURILLA ELYSA PUTRI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Keberlanjutan Wilayah
Transmigrasi Pasang Surut (Studi struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua
Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Nurilla Elysa Putri
REGION TRANSMIGRATION (Study of household income stucture and certainly provided a change to the area sustainability condition. This study aims to analyze the sustainability of the tidal area transmigration by analyzing the economic security conditions (structure of household income and welfare status), assessing the tidal land carrying capacity, and identifying the eco-social conditions existed. This study is expected to provide knowledge to the public, academics and researchers and policy makers is a transmigration area can be developed or not. The method used is the calculation of household income in the
form of On Farm, OF Farm and Non Farm income, calculation of tidal land
carrying capacity, calculations of agrarian density and the ability to support the life and descriptive identification of eco-social conditions. Result from the both studied villages (Mekar Sari and Telang Rejo) showed that a shift in household
livelihoods from the main activities of the agricultural food (On Farm) to other
activities (Non Farm), the contribution of income from additional livelihood
activities of non-Farm were 57.98% and 63.04% in the villages Mekar Sari and Telang Rejo respectively, this indicates a possible further decline in the focus of
the main livelihood On Farm, which is certainly threaten the sustainability of this
area as a buffer food. Results of land Carrying Capacity Assessment in the district Banyuasin and sub-district Muara Telang were deficit (CCR <1), where the CCR estimated for district by 0.4 and for sub-district by 0.6, in other words this means it is no longer possible to construct expansive and exploratory land construction, while Mekar Sari (1.018) and Telang Rejo (0.021) villages on alert status, which means there is a balance between the land carrying capacity and the population existence. Results of ecological conditions identification, showed a reduce in forest cover due to land clearing for agriculture and settlements and infrastructure development, thus the conservation and reforestation efforts are in need. Results of the social conditions identification was indicated this area is quite conducive, institutional village were developed, but not yet have a marketing corporation of their agricultural products at the village level. Reflection results of the conceptual theory from Christaller and Von Thunen suggests that the two villages were not able to be a new development center and give spread effect at economic activity for the surrounding hinterland. Policy implications that recommended from of this
study results is this area prospected to developed as a buffer food if the Non Farm
activities redirected to agriculture-based-food industry, as well as the need for ground transportation access and agricultural marketing agencies.
NURILLA ELYSA PUTRI. Analisis Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa Kabupaten Banyuasin). Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN DAN DEDDY S BRATAKUSUMAH.
Sejak dibukanya daerah transmigrasi di Kabupaten Banyuasin pada tahun 1970 maka pertambahan populasi dan aktivitas masyarakat tentunya memberikan perubahan terhadap kondisi keberlanjutan wilayah. Studi ini bertujuan menganalisa keberlanjutan wilayah transmigrasi pasang surut melalui analisis kondisi ketahanan ekonomi (struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga), menilai daya
dukung lahan pasang surut (Carrying capacity), serta mengidentifikasi kondisi
sosial ekologi yang ada didaerah tersebut. Studi ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada khalayak, akademisi dan peneliti serta pengambil kebijakan apakah suatu wilayah transmigrasi dapat terus dikembangkan atau tidak, Metode penelitian yang digunakan adalah perhitungan pendapatan rumahtangga berupa
pendapatan On Farm, OF Farm dan Non Farm, perhitungan carrying capacity
lahan pasang surut, perhitungan kepadatan agraris dan kemampuan mendukung kehidupan, identifikasi kondisi sosial ekologi secara deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa di kedua desa studi yaitu desa Mekar Sari dan desa Telang Rejo telah terjadi pergeseran mata pencaharian rumahtangga dari kegiatan utama
pertanian pangan (On Farm) ke kegiatan lain selain pertanian (Non Farm),
kontribusi pendapatan mata pencaharian tambahan Non Farm yaitu 57,98% di desa
Mekar Sari dan 63,04% di desa Telang Rejo, yang mengindikasikan adanya
kemungkinan semakin menurunnya fokus mata pencaharian On farm, yang
mengamcam keberlanjutan wilayah sebagai penyangga pangan. Hasil penilaian
Carrying Capacity lahan pasang surut di Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan Muara Telang adalah Defisit karena CCR < 1, dimana CCR Kabupaten sebesar 0,4 dan CCR kecamatan sebesar 0,6, yang berarti tidak dimungkinkan lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan eksploratif lahan, sedangkan untuk desa Mekar Sari (1,018) dan desa Telang Rejo (0,021) berada pada status waspada, yang bearti masih ada keseimbangan antara daya dukung lahan dengan keberadaan penduduk. Hasil identifikasi kondisi ekologi, terlihat bahwa tutupan hutan semakin berkurang akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman serta pembangunan infrastuktur, sehingga perlu adanya usaha konservasi dan reboisasi. Hasil dari identifikasi kondisi sosial menunjukkan bahwa daerah ini secara sosial cukup kondusif, namun belum memiliki kelembagaan pemasaran hasil pertanian di tingkat desa. Hasil refleksi konseptual teori Christaller dan Von Thunen menunjukkan bahwa kedua desa belum bisa menjadi pusat pertumbuhan baru dan
spread effect kegiatan ekonomi bagi hinterland disekitarnya. Implikasi kebijakan yang disarankan dari hasil studi ini adalah wilayah ini masih berprospek
dikembangkan sebagai penyangga pangan jika kegiatan Non Farm diarahkan pada
kegiatan usaha produktif yang berbasis pada pertanian pangan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)
NURILLA ELYSA PUTRI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
di Dua Desa di kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)
Nama : Nurilla Elysa Putri
NIM : H152100101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Ketua
Dr. Ir. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc, M.URP Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga Tesis yang berjudul Analisis
Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan
Carrying Capacity di Dua Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Arya Hadi
Dharmawan, M.Sc.Agr dan Dr. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc.M.URP yang
telah mencurahkan waktu, pemikiran dan memberi pengarahan dalam
penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi PWD dan Dr. Ir. Ernan
Rustiadi, M.Agr sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi
kelengkapan penulisan ini.
Terima kasih kepada Rektor Universitas Sriwijaya dan Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan tugas belajar
kepada penulis di Institut Pertanian Bogor dan telah memberikan bantuan
pendanaan dalam penulisan dan penyelesaian Tesis ini.
Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kecamatan Muara Telang dan
Kepala Desa beserta segenap masyarakat Desa Telang Rejo dan Desa Mekar Sari
yang telah bersedia menjadi responden, Badan Pusat statistik (BPS) Sumatera
Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura, Stasiun Klimatologi
dan Geofisika Klas II Kenten yang telah membantu dalam penelitian ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada sumber kekuatan dan inspirasiku
suami tercinta Muhammad Sirajuddin S.IP, serta anak-anak tersayang Ananda Siti
Aisyah dan Adinda Rameyza Elya atas segala pengertian dan kesabaran dengan
begitu banyak pengorbanan waktu kebersamaan yang hilang dalam menempuh
studi dan meyelesaikan Tesis. Sumber Doa yang terus mengalir tiada henti dari
kedua orang tuaku, Ayahanda H. Alysa Husin dan Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati
terimakasih atas pengorbanan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT
membantu penulis dalam pengambilan data dan survey di lapangan. Kepada para
sahabat: Sukma, Dyah, Rezi, Eka dan Sanda terima kasih atas bantuan dan
kebersamaan yang senantiasa diberikan, beserta semua Sahabat S2 dan S3 PWD
lintas angkatan terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan, berdiskusi,
seminar, maupun kunjungan lapang yang pernah kita lalui bersama, banyak
kenangan manis yang tidak terlupakan.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan karena banyaknya keterbatasan, oleh karenanya dengan segala
kekurangan penulis mengharapkan saran bagi perbaikan tesis ini untuk
pengembangan pada penelitian berikutnya. Semoga karya kecil ini dapat
memberikan manfaat dan kegunaan bagi kita semua.
Bogor, Juli 2012
Penulis dilahirkan di Palembang Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal
4 Juli 1978. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak
H. Alysa Husin, Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati, Menikah dengan Muhammad
Sirajuddin, S.IP dan saat ini dikaruniai dua orang anak yakni Ananda Siti Aisyah
dan Adinda Rameyza Elya. Saat ini bertempat tinggal di Griya Cipta Pratama
Blok J No.10 Sako Palembang. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
Negeri 249 Palembang pada tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama Negeri 14
Palembang pada tahun 1993, Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Palembang pada
tahun 1996. Pada tahun 2000 penulis menamatkan program S1 Program Studi
Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya,
pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2000-2007 penulis bekerja pada PT. Tiga
Raksa Satria, Tbk, dan sejak tahun 2008 hingga saat ini Penulis bekerja sebagai
Pengawai Negeri Sipil pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
1.5. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Konsepsi Lahan Pasang Surut ... 13
2.2. Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung) ... 15
2.3. Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial ... 18
2.3.1. Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan ... 18
2.3.2. Kondisi Ekologi ... 21
2.3.3. Kondisi Sosial ... 24
2.4. Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ... 25
2.4.1. Pengembangan Wilayah Pasang Surut ... 25
2.4.2. Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ... 27
2.5. Penelitian Terdahulu ... 29
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ... 33
3.1. Kerangka Teoritis ... 33
3.1.1 Pendekatan Carrying Capacity (Daya Dukung Lahan) ... 33
3.1.2 Struktur Nafkah dan Tingkat Kesejahteraan... 35
ii
3.1.6 Teori Von Thunen ... 42
3.2. Kerangka Operasional ... 44
3.3. Hipotesis ... 45
3.4. Batasan Operasional ... 45
BAB IV METODE PENELITIAN ... 47
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 47
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 47
4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 48
4.4. Metode Analisis Data ... 49
4.4.1. Analisis Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan ... 49
4.4.2. Analisis Daya Dukung (Carrying Capacity/CCR) ... 51
4.4.3. Pengukuran Kepadatan Agraris ... 53
4.4.4. Analisis Kualitatif ... 54
4.4.5. Matriks Penelitian ... 55
BAB V KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 57
5.1. Kondisi Fisik ... 57
5.1.1. Letak, Batas dan Luas Wilayah ... 57
5.1.2. Topografi dan Hidrologi ... 59
5.1.3. Iklim dan Curah Hujan ... 61
5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 62
5.2.1. Penduduk... 62
5.2.2. Mata Pencaharian ... 64
5.2.3. Pendidikan ... 65
5.3. Transmigrasi ... 66
5.4. Sektor Pertanian ... 67
5.4.1. Pertanian Tanaman Pangan ... 67
5.4.2. Perkebunan ... 68
iii
(ANALISIS MAKRO) ... 71
6.1. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 71
6.2. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ... 77
6.3. Struktur Nafkah Rumahtangga dan Keberlanjutan Ekonomi Wilayah ... 83
6.3.1 Struktur Nafkah Rumahtangga ... 83
6.3.2 Klasifikasi Status kesejahteraan Rumahtangga Responden . 88
6.3.3 Keberlanjutan Ekonomi Wilayah ... 97
6.4. Ikhtisar... 100
BAB VII DAYA DUKUNG (CARRYING CAPACITY) LAHAN, KEPADATAN AGRARIS, DAN KONDISI SOSIAL EKOLOGI (ANALISIS MAKRO) ... 105
7.1. Kondisi Wilayah pasang Surut Kabupaten Banyuasin ... 105
7.2. Kemampuan Daya Dukung Lahan ... 107
7.2.1 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Kabupaten Banyuasin ... 107
7.2.2 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang ... 108
7.2.3 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo ... 110
7.3. Kepadatan Agraris dan Kemampuan Mendukung Kehidupan ... 114
7.3.1 Kepadatan Agraris ... 114
7.3.2 Kemampuan Mendukung Kehidupan ... 117
7.4. Kondisi Sosial ... 119
7.4.1 Keadaan Sosial Desa Mekar Sari ... 120
7.4.2 Keadaan Sosial Desa Telang Rejo ... 121
7.5. Kondisi Ekologi ... 124
7.5.1 Kondisi Lahan Pasang Surut ... 124
iv
BAB VIII REFLEKSI KONSEPTUAL TEORITIK PENGEMBANGAN
WILAYAH KEDEPAN ... 133
8.1. Refleksi Teori Christaller ... 133
8.2. Refleksi Teori Von Thunen ... 139
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 143
9.1. Kesimpulan ... 143
9.2. Saran ... 144
9.3. Implikasi Kebijakan ... 145
DAFTAR PUSTAKA ... 147
v
Halaman
1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan Luas yang dikembangkan
dengan bantuan pemerintah………. 2
2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya ....……….... 3
3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta program Rice Estate di Kabupaten Banyuasin... 5
4 Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin... 30
5 Matriks Penelitian………... 55
6 Jumlah Desa/Kelurahan di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 57
7 Jumlah Penduduk Desa/Lokasi Penelitian ... 62
8 Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian di Desa/Lokasi Penelitian ... 63
9 Jumlah Penduduk 10 tahun keatas menurut tingkat pendidikan, Kabupaten Banyuasin, 2010 ... 64
10 Penempatan Transmigran di Kabupaten Banyuasin 5 tahun terakhir ... 65
11 Luas dan jumlah petani perkebunan rakyat di Kabupaten Banyuasin ... 67
12 Mata Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 72
13 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 74
14 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari dengan Frekuensi Panen... 76
15 Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ... 78
16 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari... 82
17 Perbandingan Pendapatan Total/Th Rumahtangga Responden Berdasarkan Kegiatan Mata Pencaharian... 86
18 Status Kesejahteraan Berdasarkan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga.... 87
19 Perbandingan Struktur Pendapatan Total/Th (Rp) Rumahtangga Responden……… 90
20 Stuktur Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 91
vi
24 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang . 108
25 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari
dan Desa Telang Rejo Tahun 2011 ... 111
26 Kepadatan Agraris dan Daya Dukung Kehidupan ... 115
27 Kemampuan mendukung kehidupan lokasi Penelitian ... 117
28 Hasil identifikasi kondisi sosial di desa Mekar Sari dan Telang Rejo ... 119
29 Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Banyuasin ... 128
30 Refleksi hasil studi pada teori Christaller ... 136
31 Refleksi hasil studi pada teori Von Thunen... 139
vii
1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut
pandang infrastruktur pengairan) ... 7
2 Bagan Alur Pemikiran Dalam Penelitian ... 44
3 Peta Kabupaten Banyuasin ... 47
4 Data Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk, 2012 ... 63
5 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga Responden
Desa Mekar Sari, 2012... 71
6 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Desa Mekar Sari, 2012 ... 73
7 Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012 ... 74
8 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Mekar Sari, 2012 .. 75
9 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga
Responden Desa Telang Rejo, 2012 ... 77
10 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Desa Telang Rejo, 2012……….. 79
11 Sebaran Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012……….... 80
12 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Telang Rejo, 2012 81
13 Box plot Distribusi Pendapatan pertahun Rumahtangga, 2012………... 84
14 Perbandingan Struktur Pendapatan Rumahtangga Responden, 2012 ... 86
15 Perbandingan Struktur Pendapatan Pertahun Rumahtangga Responden,
2012 ... 89
16 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Mekar Sari, 2012 ... 90
17 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Telang Rejo, 2012 ... 92
18 Perbandingan Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Berdasarkan Klasifikasi Kelas Rumahtangga, 2012 ... 95
19 Skema Peningkatan Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah... 98
20 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kabupaten Banyuasin ,
2009-2010……….. 108
21 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kecamatan Muara Telang,
viii
23 Perbandingan Carrying Capacity Desa, Kecamatan dan Kabupaten ,
2010……… 112
24 Perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayah, 2011………... 114
25 Perbandingan Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan……… 116
26 Perbandingan Daya Dukung Vs UMR Vs Kebutuhan Hidup, 201……… 118
27 Kondisi Jalan Desa,2012………... 123
28 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Banyuasin, Tahun 2006... 125
29 Kondisi saluran air di desa Mekar Sari, 2012……… 127
ix
1 Kuisioner……….………... 155
2 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Mekar Sari ... 168
3 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Telang Rejo………. 169
4 Scatter Plot sebaran Pendapatan Rumahtangga responden desa Mekar Sari
dan Telang Rejo………... 170
5 Perhitungan Carrying Capacity (CCR)... 171
6 Perhitungan Kepadatan Agraris dan daya Dukung Kehidupan ... 172
7 Sebaran Normal Pendapatan Rumahtangga Responden ... 173
8 Peta Rupa Bumi Kecamatan Muara Telang, Bakosurtanal 1969 ... 174
9 Dokumentasi Lokasi Studi Desa Mekar Sari ... 175
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pedesaan merupakan pendekatan multifaset dan
komprehensif terhadap perubahan masyarakat yang menyangkut aspek sosial,
norma, sumber daya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya
buatan) dan juga aspek pasar dan pengambilan keputusan di tingkat lokal. Konsep
pembangunan pada tatanan ini bukan saja mementingkan pada pertumbuhan
ekonomi namun juga kualitas pembangunan yang mempertahankan daya dukung
sumber daya alam dan lingkungan serta nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom)
yang dapat menjadi katalisator pembangunan ekonomi (Sumardjo, 2010).
Transmigrasi yang diselenggarakan sejak tahun 1970/1971 berdasarkan
kebijakan yang tercantum dalam REPELITA I, merupakan usaha penyediaan
lapangan kerja yang terkait proyek-proyek pembangunan di daerah kurang padat
penduduk. Program penempatan transmigrasi berhubungan dengan program
peningkatan produksi khususnya peningkatan produksi pangan, dengan prioritas
lain melalui penempatan transmigran pada proyek-proyek perluasan areal sawah
pasang surut di Sumatera dan Kalimantan. Penempatan lokasi transmigasi
dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan prasarana jalan dan pengairan
yang diperlukan untuk usaha peningkatan produksi.
Pada masa orde baru tujuan utama transmigrasi tidak semata-mata
memindahkan penduduk dari pulau Jawa keluar Jawa, namun ada penekanan pada
tujuan memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan.
Paradigma baru dalam pembangunan transmigrasi sudah jauh berbeda dengan
paradigma lama, hal ini terjadi dengan dikeluarkannya Undang-undang No 5
Tahun 1997, tentang Pelaksanaan Transmigrasi tidak lagi difokuskan pada
masalah penyebaran penduduk, tetapi bergeser pada pengembangan ekonomi dan
Dalam Kerangka Pembangunan Nasional, transmigrasi diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun
budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi ekspor. Produksi
pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita
pembangunan, selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah
tujuan semenarik mungkin sehingga banyak penduduk tertarik untuk pindah dari
pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya yang padat penduduk dengan biaya mandiri
tanpa tergantung pada pemerintah.
Tabel 1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan luas yang dikembangkan dengan bantuan pemerintah
Lokasi Total lahan rawa secara Nasional Total lahan yang sudah dikembangan Sumatera 6.604.000 2.766.000 9.370.000 691.704 110.176 801.880
Kalimantan 8.126.900 3.580.500 11.707.400 694.935 194.765 889.700 Sulawesi 1.148.950 644.500 1.793.450 71.835 12.875 84.710 Papua 4.216.950 6.305.770 10.522.720 - 23.710 23.710
Total 20.096.800 13.296.770 33.393.570 1.458.474 341.526 1.800.000 Sumber : Dit Rawa dan Pantai, Ditjen Pengairan, Departemen PU, 2009.
Di Indonesia, setidaknya ada dua wilayah yang memiliki lahan pasang
surut yang besar, yaitu di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Dari tabel diatas
terlihat bahwa total lahan yang telah dikembangkan di Sumatera (691.704 ha)
untuk lahan pasang surut hampir sama dengan total lahan yang telah
dikembangkan di Kalimantan (694.935ha), padahal total lahan pasang surut yang
tersedia di Sumatera (6.604.000 ha) lebih kecil dibanding total lahan pasang surut
yang tersedia di Kalimantan (8.126.900 ha), hal ini mengindikasikan bahwa
pemanfaatan lahan pasang surut di Sumatera telah berkembang pesat dan meluas
seiring pertambahan populasi yang lebih besar dari pada di Kalimantan, sehingga
permasalahan daya dukung lahan (carrying capacity) perlu menjadi perhatian di
wilayah ini.
Di Provinsi Sumatera Selatan wilayah pasang surut terbesar terdapat di
Kabupaten Banyuasin. Hampir 80 persen dari wilayah Kabupaten Banyuasin
merupakan daerah sawah pasang surut. Pasang surut merupakan lahan marjinal
padi, palawija, dan kelapa. Bisa juga untuk kepentingan perkebunan, seperti
kelapa sawit. Dari klasifikasi lahan, pasang surut itu memiliki tipe beragam
dengan kepentingan sama, yakni untuk lahan pangan dan pertanian khususnya. Di
Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut yang tersebar di
sembilan daerah, seperti di Telang I, Telang II, Muara Padang, Air Saleh, Makarti,
Sugihan Kiri, Pulau Rimau, Karang Agung Ilir, Karang Agung Tengah, dan
Karang Agung Ulu.
Pengembangan daerah rawa di Sumatera Selatan secara besar-besaran oleh
pemerintah telah dimulai sejak tahun 1960 sampai tahun 1970 melalui program
transmigrasi. Sebelumnya daerah rawa hanya diusahakan oleh rakyat yang
merupakan penduduk asli maupun pendatang seperti pedagang dari suku bugis
dan hanya terbatas didaerah pinggiran sungai saja.
Tabel 2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya
No Kabupaten /Kota
Tadah Hujan Pasang Surut Frekuensi penanaman Jumlah Frekuensi
penanaman
Jumlah/Total 51.512 32.168 83.680 147.014 6.862 153.876
Sumber : Badan pusat Statistik, 2008
Pada Tabel 2 diatas, terlihat bahwa Kabupaten Banyuasin merupakan
penghasil padi sawah pasang surut terbesar di Sumatera Selatan, terbukti dengan
luas lahan sawah pasang surut sebesar 122.681 ha pada tahun 2005, yang
mengalahkan luas lahan irigasi teknis di kabupaten Ogan Komering Ulu sebesar
37.007 ha di tahun 2005 tersebut, hal ini membuktikan bahwa potensi lahan
pasang surut di Kabupaten Banyuasin sangatlah besar terutama dalam
berkontribusi mewujudkan Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan, serta
pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin sendiri khususnya melalui
komoditi unggulan penghasil padi sawah.
Seiring dengan otonomi daerah, maka visi dan misi kabupaten Banyuasin
untuk menjadi “pusat pertumbuhan ekonomi yang ekslusif bagi propinsi Sumatera Selatan” dilakukan melalui upaya memberdayakan masyarakat untuk dapat berdiri
sendiri, dengan potensi lahan pasang surut, rawa dan lebak yang mendominasi
hingga 80% wilayah Kabupaten Banyuasin, diharapkan mampu mewujudkan visi
tersebut, terutama terhadap kontribusinya sebagai lumbung pangan di Sumatera
Selatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan ketersediaan sektor hilir yang
menyokong hasil produksi di sektor hulu, dan pengembangan sektor hilir ini
dilakukan tanpa mengurangi produktivitas pertanian tanaman pangan (padi) yang
menjadi basisnya.
Kenyataan yang terjadi sejak adanya transmigrasi di daerah ini, maka
populasi penduduk seiring berjalannya waktu telah mengalami peningkatan yang
cukup besar, dan keterbatasan lahan menjadi permasalahan baru di daerah ini,
lahan yang tersedia telah termanfaatkan secara optimal, sehingga masalah daya
dukung (carrying capacity) lahan mulai menjadi perhatian, keterbatasan daya
dukung lahan merambah pada permasalahan ekonomi, dimana pendapatan petani
sawah dilahan pasang surut terancam mengalami penurunan akibat fragmentasi
lahan seiring pertambahan penduduk yang cukup besar dan kepadatan agraris
yang semakin meningkat. Dan permasalahan ekonomi yang berhubungan dengan
pendapatan menghadapkan masyarakat setempat pada pemilihan alternatif mata
pencarian selain kegiatan pertanian (non farm) yang kemudian menimbulkan
masalah baru beralihnya mata pencarian masyarakat dari bertani (on farm) ke
kegiatan industri lainnya (off farm) yang berpotensi menyebabkan penurunan
Tabel 3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta program
Rice Estate di Kabupaten Banyuasin
No Karakteristik Rumahtangga Rata-rata
Peserta Non-Peserta
7 Pengalaman KK berusahatani (th) 29.7 28.0
Sumber : Data Primer diolah (dalam Chuzaimah, 2006)
Lahan adalah aset terpenting bagi rumahtangga petani karena merupakan
sumber pangan keluarga dan sumber mata pencaharian yang berbasis lahan. Tabel
diatas menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan per rumah tangga petani peserta
adalah 2,4 hektar dan non peserta 2 hektar. Baik peserta maupun non peserta
sebagian besar adalah petani transmigrasi yang berasal dari jawa, yang pada awal
penempatannnya mendapatkan lahan dari pemerintah seluas 2,25 hektar. Hal ini
menunjukkan bahwa para petani telah memanfaatkan lahan usahatani yang
dimiliki secara maksimal. Jika di fragmentasikan dengan jumlah anggota
keluarga, maka lahan yang dimiliki perkapita adalah 0,8 ha/kapita untuk perserta
rice estate dan 0,6 ha/kapita bagi non peserta rice estate, hal ini mengindikasikan
bahwa para petani ini adalah petani gurem atau peasant yaitu petani yang meiliki
lahan kecil dan kurang dari 1 ha, yang jika dibiarkan akan mengancam ketahanan
ekonomi rumahtangga para petani di wilayah ini, sehingga untuk mencukupi
kebutuhan para petani ini akan beralih ke mata pencarian lain, yang menyebabkan
timbulnya masalah sosial berupa kemiskinan, perebutan penguasaan lahan
(konflik), migrasi, dan sebagainya.
Jika masalah ekonomi dan peralihan mata pencarian ke sektor lain terjadi
secara meluas, maka ketahanan pangan mulai terancam, dan otomatis akan timbul
berbagai permasalahan sosial dan kerusakan ekologi. Untuk itu diperlukan suatu
konsep atau strategi dalam mengantisipasi timbulnya permasalahan -permasalahan
tersebut, suatu strategi dalam mengembangkan wilayah berbasis carrying capacity
(daya dukung lahan) dan peningkatan kesejahteraan petani di daerah pasang surut
berkelanjutan (sustanaibility) dengan memperhatikan aspek penting dalam keberlanjutan wilayah yaitu ekonomi, ekologi dan sosial.
Dari sisi pengembangan wilayah, Kabupaten Banyuasin merupakan
kabupaten yang relatif baru akan tetapi telah melangkah maju dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya. Adanya kawasan Tanjung api-api sebagai salah
satu bagian wilayah Kabupaten Banyuasin disinyalir akan menjadi kawasan
strategis yang berpotensi mengangkat dan meningkatkan sumberdaya Kabupaten
Banyuasin sebagai kabupaten otonom dan mandiri. Selain itu dengan
ditetapkannya perencanaan kawasan lain yang telah disepakati (commited plan)
diharapkan mampu mendorong tumbuhnya perekonomian wilayah serta
menumbuh kembangkan berbagai sektor pembangunan dan pelayanan regional di
wilayah Kabupaten Banyuasin, khususnya di sektor industri yang berbasis kepada
ekonomi lokal.
1.2 Rumusan Permasalahan
Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih menggantungkan
hidupnya dari sektor pertanian dengan tingkat produktivitas dan pendapatan usaha
yang relatif rendah, sehingga kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan
banyak terdapat di pedesaan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa upaya
pengentasan kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan harus dilakukan
dengan membangun pertanian dan pedesaan, yang merupakan tantangan kedepan
untuk mencapai Millenium Development Goals(MDG’s) melalui pembangunan
pertanian dengan segala karakteristik dan spesifikasi masalahnya yang tersebar
merata hampir diseluruh wilayah pedesaan (Bappenas, 2010).
Persoalan mendasar yang dihadapi sektor pertanian pada saat ini dan masa
yang akan datang adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan
iklim global; terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan
air; sedikitnya status dan kecilnya luas kepemilikan lahan; lemahnya sistem
pembenihan dan perbibitan nasional; keterbatasan akses petani terhadap
permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani; lemahnya kapasitas dan
kelembagaan petani dan penyuluh; masih rawannya ketahanan pangan dan
petani (NTP), dan belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan
pertanian (Bappenas, 2010).
Peranan sektor pertanian yang semakin menyusut dalam pembentukan
PDB ternyata tidak disertai dengan mengecilnya peranan dalam penyerapan
tenaga kerja, apabila dibandingkan antara kecepatan penurunan pangsa pertanian
dalam PDB dengan kecepatan penurunan penyerapan tenaga kerjanya, maka dapat
diduga bahwa pendapatan relatif tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian
cenderung semakin tertinggal dibanding sektor lain (industri, perdagangan atau
jasa) (Harianto, 2011).
Gambar 1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut pandang infrastruktur pengairan)
Sumber: Menko Ekonomi, 2009 dan BAPPENAS et al., 2002, dalam Susanto, 2010
Upaya optimalisasi lahan untuk ketahanan pangan harus dilakukan, dan
salah satu upaya tersebut adalah pemanfaatan wilayah pasang surut sebagai areal
persawahan, yang merupakan sumberdaya alam terbesar di Indonesia terutama di
Sumatera dan Kalimantan. Optimalisasi lahan rawa pasang surut untuk produksi
pangan misalnya terbukti telah mampu meningkatkan produksi lahan per hektar
per musim bahkan juga meningkatkan indeks pertanaman dari satu kali (IP100)
menjadi dua sampai tiga kali per tahun (IP200, IP300). Bahkan di beberapa
sampai 8 ton GKP per hektar dan sudah 2-3 kali tanam (padi-padi-jagung) dalam
setahun (Susanto, 2010).
Secara umum kendala yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang
surut mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Kendala
biofisik dicerminkan dari sifat fisika kimia lahan, seperti rendahnya kesuburan
tanah dan pH tanah, adanya zat beracun (alumunium, besi, hydrogen sulfide dan
natrium) dan lapisan gambut, terjadinya kekeringan / genangan air dan intrusi air
asin, kendala sosial ekonomi meliputi keterbatasan modal, tenaga kerja, tingkat
pendidikan petani yang rendah, kondisi sarana dan prasarana yang kurang
memadai, rendahnya harga hasil pertanian dan kurangnya dukungan eksternal
seperti kelembagaan untuk penyediaan modal, sarana produksi dan pemasaran
hasil (Pramono, 2003).
Memprioritaskan pertanian pasang surut justru low cost dan cukup dengan
simple technology. Sehingga secara matematisnya akan lebih menguntungkan jika mengoptimalkan lahan pasang surut, ketimbang irigasi teknis. Sebab, di daerah
pasang surut, sumber daya manusianya sudah tersedia, teknologinya sederhana
dan tidak harus memulai dari awal. Berbeda dengan irigasi teknis yang harus
mencetak sawah terlebih dulu, kapasitasnya terbatas dan begitu pula lahannya,
seperti kutipan berikut ini:
“Di Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut
dari jumlah tersebut yang sudah bisa ditanami 150 ribu hektare. Sudah ada saluran primer, sekunder, dan pintu-pintu air. Sisanya belum bisa ditanami, karena irigasinya banyak yang dangkal. Pintu-pintu airnya banyak yang rusak. Sehingga menjadi lahan tidur. Diantara yang telah ditanami ada pula yang dimanfaatkan untuk kelapa sawit, selain padi. Kendati banyak yang rusak, dari lahan pasang surut ini Banyuasin mampu ikut menopang stok pangan Sumsel sebesar 28 persen. Andai saja dari luas yang ada itu bisa dimanfaatkan optimal, maka Sumsel yang sudah mencanangkan diri
menjadi Lumbung Pangan itu, jelas tak lagi sekadar bermimpi”
“Kondisi Sumsel memang dilematis. Di satu sisi memproklamirkan
diri sebagai lumbung pangan, tapi di sisi lain daerah penyangga pangan seperti pasang surut itu kurang mendapat perhatian. Pemerintah pusat, khususnya Menteri Pertanian belum melihat
Kurangnya perhatian dalam pengelolaan lahan gambut terhadap
prinsip-prinsip ekologi dan karakteristik ekosistem gambut, mengakibatkan timbulnya
beragam masalah seperti rusaknya produktivitas lahan gambut, hilangnya
keaneragaman hayati, kebakaran hutan dan asap, banjir terus menerus diluar
musim hujan, tanah sulfat masam, masalah sosial ekonomi, hilangnya mata
pencaharian masyarakat dan dampak lanjutan yang ditimbulkan. Akibatnya,
pengelolaan hutan rawa gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan masih
sangat jauh dari harapan, yang masih berlangsung hingga kini adalah eksploitasi
ekosistem lahan gambut yang mengakibatkan dampak buruk yang luas terhadap
ekosistem, lingkungan dan dampak ekonomi ikutan (Simbolont, 2011).
Pendekatan seperti ini ditegaskan dalam Undang-Undang No 41 tahun
2009 tentang ”Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Dimana
salah satu pertimbangan yang dikemukakan yaitu bahwa makin meningkatnya
pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan
terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah
mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan pangan.
Di masa depan, pengelolaan lahan gambut di Indonesia hendaknya menuju
upaya merevitalisasi fungsi hutan rawa gambut sehingga tercapai tiga tujuan
utama yaitu mengkonversi dan menggunakan hutan rawa gambut sesuai regulasi
serta kemampuan daya dukung lahan, merubah paradigma dalam peningkatan
usaha di lahan gambut yang harus selalu diharmonisasikan dengan lingkungan,
dan memperkaya teknologi modern dengan kearifan lokal melalui pengembangan
program partisipatif.
Menurut Miettinen & Liew (2010) dalam Simbolont (2011), hanya sekitar
3,6 persen dari seluruh hutan rawa gambut Sumatra dan Kalimantan yang masih
alami dan sekitar 7,7 persen yang masih dapat disebut sebagai sedikit terganggu,
sedangkan sisanya sudah terdegradasi atau bahkan telah dikonversi menjadi lahan
pertanian atau perkebunan dan pemukiman. Salah urus pengelolaan gambut dalam
sejarah lingkungan Indonesia berperan dalam menyebabkan kerusakan
Desa (lokalitas) juga menjadi ajang perebutan tarik menarik kepentingan
sosial-politik dan ekonomi yang menjadikan eksistensinya tidak selalu bebas
dalam menentukan arah perkembangannya ke depan. Bukan hal yang mudah
untuk menggambarkan desa masa depan, karena proses proses transformasi sosial
di kawasan pedesaan (lokalitas) berjalan amat sangat cepat dan membawa
konsekuensi perubahan sangat substansial pada aspek kehidupan lokal (Castel,
2001 dalam Dharmawan 2011).
Mengingat pentingnya pengamanan lahan-lahan sawah produktif sebagai
penghasil komoditi unggulan di Kabupaten Banyuasin yaitu padi atau beras, maka
ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan merupakan faktor utama yang harus
diperhatikan, namun seiring pertambahan jumlah penduduk, maka fragmentasi
dan konversi lahan pun terjadi, ancaman penurunan luas lahan sawah yang
digarap mengakibatkan tingkat produksi per petani menurun, dan akibatnya
pendapatan petanipun terancam, dengan adanya konversi lahan ke komoditas lain
selain padi juga dapat menurunkan ketersediaan pangan (mengancam ketahan
pangan) yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan bahan konsumsi pokok
rumah tangga (basic needs) sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekonomi.
Masalah lingungan akibat perubahan iklim juga perlu kita antisipasi begitu juga
kemungkinan munculnya masalah sosial akibat penurunan pendapatan, dan
kurangnya ketersediaan lahan sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekologi
dan sosial dalam pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan.
Dari latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga yang
ada di wilayah pasang surut tersebut?
2. Apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa menjamin
keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut ?
3. Bagaimana kondisi ketahanan Sosial Ekologi yang ada di wilayah pasang
C. Tujuan Penelitian
Pentingnya pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan
dengan orientasi kepada keberlanjutan (sustainability) dalam hal ini dijabarkan
sebagai status kesejahteraan ekonomi dan sosial ekologi dengan memperhatikan
status daya dukung lahan (carrying capacity) perlu dipahami. Sehingga perlu
adanya kajian terhadap permasalahan ini khususnya di Kabupaten Banyuasin yang
merupakan kawasan gambut terbesar di Sumatera Selatan, maka yang menjadi
tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengkaji dan menganalisis struktur nafkah dan status kesejahteraan
rumahtangga yang ada di wilayah pasang surut tersebut
2. Menilai potensi daya dukung lahan (carrying capacity) apakah masih bisa
menjamin keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut.
3. Mengetahui dan mengidentifikasi kondisi ketahanan sosial ekologi yang ada
di wilayah pasang surut tersebut.
4. Melalui isu kritikal yang telah di uraikan, maka dapat dinilai apakah sebuah
kawasan transmigrasi bisa terus berkembang dan dikembangkan.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Studi ini berupaya untuk melakukan analisis terhadap carrying capacity
(daya dukung lahan) dan identifikasi kondisi keberlanjutan pengembangan
wilayah pasang surut yang berorientasi pada ketahanan ekonomi, dan sosial
ekologi di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Melakukan
penghitungan terhadap kepadatan Agraris dan tingkat pendapatan rumahtangga
untuk mengetahui tingkat ketahanan ekonomi. Serta mengidentifikasi orientasi
ketahanan sosial ekologi di wilayah studi. Keberlanjutan wilayah pasang surut
akan dinilai dari :
1. Struktur nafkah dan status kesejahteraan, yang diukur melalui tingkat
pendapatan rumah tangga di wilayah studi dan perbandingan dengan garis
kemiskinan berdasarkan stardar Bank Dunia (world Bank) sebesar 2$ perhari
perkapita atau setara dengan Rp. 540.000 per bulan per kapita.
2. Kondisi daya dukung lahan (carrying capacity) di wilayah studi, di level
3. Kondisi ekologi di wilayah pasang surut dalam menopang kehidupan sosial
ekonomi penduduk setempat yang dideteksi melalui kepadatan agraris dan
kemampuan mendukung kehidupan.
4. Kondisi sosial masyarakat pada wilayah pasang surut dideteksi melalui
frekuensi dan kedalaman gangguan-gangguan sosial.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu
kebijakan, khususnya di bidang perencanaan dan pengembangan wilayah pasang
surut di Kabupaten Banyuasin. Penelitian juga diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak swasta yang membutuhkan data dan masalah lain yang berkaitan dengan
usaha pengembangan produksi pertanian.
Selain pemerintah dan swasta, pihak lain yang cukup penting untuk
memperoleh nilai guna dari penelitian ini adalah masyarakat. Secara khusus
penelitian ini berguna untuk:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan di
bidang pengembangan wilayah pasang surut dan pembangunan kesejahteraan
masyarakat khususnya ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.
2. Memberikan informasi dan saran pada masyarakat tentang kondisi
keberlanjutan wilayah pasang surut di Kabupaten Banyuasin Sumatera
Selatan, melalui hasil kajian ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.
3. Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa maupun
peneliti serta referensi penelitian selanjutnya.
4. Memberikan pengetahuan kepada khalayak, akademisi dan peneliti serta
pengambil kebjakan tentang apakah suatu kawasan transmigrasi dapat terus
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsepsi Lahan Pasang Surut
Berdasarkan definisi BPS (2005), Sawah pasang surut adalah sawah yang
pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi pasang surutnya air
laut. Konvensi Ramsar 1971 mendefinisikan lahan basah secara internasional
sebagai berikut (Dugan, 1990): Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut,
dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung
(stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau atau asin, mencakup
wilayah air marin yang dalamnya pada waktu surut tidak lebih dari enam meter
(Maas, 2003). Rawa adalah bagian daratan yang sepanjang tahun biasanya jenuh
air atau tergenang air.
Menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), lahan rawa adalah lahan
yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini
sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air
(waterlogged) atau tergenang. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 yang dinamakan lahan rawa adalah genangan air secara alamiah yang
terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat dan
mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis.
Selanjutnya menurut Barchia (2006), kawasan rawa terbentang 2 ekosistem
lahan utama, yaitu ekosistem pasang surut dan ekosistem rawa pedalaman/lebak.
Namun menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), berdasarkan imbangan
antara kekuatan arus sungai dan air pasang dari laut, lahan rawa dibedakan
menjadi 3 zone, yaitu Zona I: lahan rawa pasang surut air salin/ payau, Zone II :
lahan pasang surut air tawar, Zone III : lahan rawa buka pasang surut atau lebak,
dan masing-masing zone mempunyai bentukan fisiografi atau landform dan
penyebaran tanah yang berbeda.
Wilayah rawa pasang surut air asin atau payau merupakan bagian dari
wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut
lepas. Biasanya rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau
delta serta tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut atau
Sumatera Selatan, antara lain delta Upang, delta Telang, dan pulau Rimau
(Subagyo, 2006).
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi, sesunguhnya lahan
gambut sangat rendah kesuburannya, sehingga tidak cocok untuk tanaman
budidaya tanpa perlakuan atau masukan tehnologi atau pemupukan. Keadaan yang
selalu tergenang menyebabkan keadaannya cenderung an aerob, gambut bersifat
masam dengan pH 3-5, miskin akan ketersediaan unsur hara makro (K, Ca, Mg, P)
dan mikro (Cu, Zn, Mn, and Bo), terdapat asam organic yang bersifat racun,
kapasitas pertukaran kation rendah tetapi rendah kejenuhan basanya. Gambut
memiliki bulk density yang sangat rendah, karena gambut memiliki pori yang
besar maka gambut mempunyai kemampuan menahan tanah yang sangat rendah
sehingga bobotnya sangat ringan dan kemampuan kohesinya juga rendah. Itulah
sebabnya pohon yang ditanam di lahan gambut sangat mudah rebah, dan juga
merupakan masalah dalam pembagunan konstruksi bangunan (Simbolont, 2011).
Apabila dikelola secara tepat, lahan pasang surut dapat dijadikan areal
pertanian produktif. Pengembangan lahan ini dapat mendukung peningkatan
ketahanan pangan, diversifikasi produksi, dan pengembangan agribisnis. Untuk
menjadikan lahan pasang surut produktif dan lestari, diperlukan upaya revitalisasi
dan rehabilitasi melalui penerapan inovasi teknologi dan rekayasa atau
pengembangan kelembagaan dan perbaikan prasarana penunjang secara terpadu
(Warta penelitian dan pengembangan pertanian, 2006).
Sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, terutama dalam kaitannya
dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya. Sistem
tata air di rawa pasang surut ditujukan selain untuk memenuhi kebutuhan air
selama penyiapan lahan dan pertumbuhan tanaman juga untuk memperbaiki sifat
fisiko-kimia tanah, yaitu dengan jalan: (1) memanfaatkan air pasang untuk
pengairan sesuai dengan kebutuhan tanaman, (2) mencegah masuknya air asin ke
petakan lahan, (3) mencuci zat-zat beracun bagi tanaman, (4) mengurangi
semaksimal mungkin terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam, dan (5)
Sebelum mengerjakan lahan pasang surut, perlu terlebih dahulu memahami
empat tipologinya. Tipologi pertama adalah tipologi Lahan Potensial, yaitu suatu
lahan yang mempunyai kedalaman pirit (lapisan beracun) pada kedalaman >50 cm
di atas permukaan tanah. Lalu tipologi yang kedua adalah Lahan Sulfat Masam,
yang merupakan lahan dengan lapisan pirit pada kedalaman 0-50 cm di atas
permukaan tanah. Selanjutnya, tipologi Lahan Gambut, dimana lahan ini
mengandung lapisan gambut dengan kedalaman yang sangat bervariasi. Terakhir,
tipologi Lahan Salin, yaitu lahan yang mendapat intrusi air laut sehingga
mengandung garam dengan konsentrasi tinggi terutama pada musim kemarau.
Keberhasilan usahatani pada agroekosistem lahan pasang surut antara lain terletak
pada ketepatan pengelolaan lahan dan air. Dengan pengelolaan yang tepat, seperti
proses pencucian bahan beracun pada tanah mineral potensial dan sulfat masam
serta proses pematangan (dekomposisi) gambut dan konservasi lahan terealisasi
dengan baik, maka produktivitas lahan dan tanaman meningkat.
Mengingat usahatani para petani di lahan rawa pasang surut pada
umumnya dilakukan secara konvensional, maka kini saatnya usaha peningkatan
produktivitas tersebut diarahkan melalui pendekatan Prima Tani Terpadu (PTT)
Padi Lahan Pasang Surut. Dengan demikian potensi lahan ini dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut melalui pendekatan
PTT maupun peningkatan indeks panen melalui ekstensifikasi, akan sejalan
dengan program pemerintah dalam peningkatan produksi beras nasional. Pada
akhirnya mengarah pada ketahanan pangan nasional (Litbang Deptan, 2008).
2.2 Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung)
Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara
optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula
diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara
sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan (Soemarwoto,
2001).
optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula
diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara
sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Definisi Daya
Dukung Lingkungan (Carrying Capacity) :
Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang
dapat didukung oleh suatu lingkungan.
Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan
tanpa merusak lingkungan tersebut.
Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam
periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut.
Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut.
Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok
manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka
yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya.
Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah
lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal,
dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut.
Selanjutnya menurut Bratakusumah (2004), pada sektor pertanian,
kemampuan daya dukung (Carrying Capacity Ratio) merupakan perbandingan
antara lahan yang tersedia dan jumlah petani. Sehingga perlu diketahui berapa
luas lahan rata-rata yang dibutuhkan per-keluarga, potensi lahan yang tersedia dan
penggunaannya untuk kegiatan non-pertanian. Meskipun analisis daya dukung
merupakan upaya untuk mengetahui perbandingan antara jumlah lahan dan jumlah
penduduk, penggunaannya tidak hanya untuk sektor pertanian atau perkebunan.
Dengan ditunjang alat-alat lainnya, analisis ini juga dapat digunakan untuk
membantu menentukan kegiatan dalam bidang atau sektor apa saja yang layak
dikembangkan disuatu daerah. Adapun langkah-langkah dalam melakukan
analisis daya dukung pada dasarnya bersifat fleksibel dan dinamis (cukup
beragam), langkah-langkah tersebut antara lain :
a). Identifikasi luas areal yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian
c). Tentukan jumlah keluarga dalam area tersebut
d). Tentukan persentase jumlah petani yang ada diarea tersebut
e). Tentukan ukuran lahan rata-rata yang dimiliki petani
f). Hitung kemampuan daya dukung dengan menggunakan rumus CCR
Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa
menjamin keberlanjutan ( sustainability) pengembangan wilayah di daerah pasang
surut tersebut, maka dilakukan analisis carrying capacity berbasis neraca lahan.
Penghitungan neraca lahan menurut (Rustiadi, 2010), terdiri dari beberapa
tahapan, sebagai berikut:
1) Menentukan unit wilayah analisis
2) Penghitungan ketersediaan (supply) lahan
3) Penghitungan permintaan (demand) lahan
4) Penentuan status surplus/defisit dengan menghitung ratio/selisih supply dan
demand
5) Penentuan status tingkat keberlanjutan.
Status Keberlanjutan dilakukan dengan perbandingan relative antar waktu
dengan membandingkan status Surplus/status defisit antara dua titik waktu yang
berbeda, yaitu kondisi saat ini (existing land use) diproyeksikan pada 20 tahun
yang akan datang., sehingga status keberlanjutan dapat disimpilkan menjadi :
1) tingkat keberlanjutan meningkat (KMi), 2) tingkat keberlanjutan tetap (KT),
dan 3) tingkat keberlanjutan menurun (KM) (Rustiadi et al, 2009).
Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan
cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan
penduduk terhadap lahan Selanjutnya, (Siwi, 2002 dalam Tola, 2007),
menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk daya dukung lahan pada
akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah
tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan
2.3 Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial 2.3.1 Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan
Azas ekonomi dalam pengembangan wilayah, merupakan usaha-usaha
mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang
memadai untuk mempertahankan kesinambungan dan perbaikan kondisi-kondisi
ekonomis yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah
yang lebih baik. Salah satu target utama dari pembangunan pertanian adalah
upaya peningkatan kesejahteraan petani. Unsur penting yang berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani.
Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani secara
otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan
petani juga tergantung pada pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga petani
serta faktor-faktor non finansial, seperti faktor sosial budaya. (Mulyanto, 2008).
.Menurut Todaro (2000), syarat-syarat yang harus segera dipenuhi dalam
rangka merealisasikan setiap strategi pengembangan sektor-sektor pertanian dan
pembangunan daerah-daerah pedesaan yang berorientasi pada kesejahteraan
rakyar banyak adalah struktur usaha tani, pola pemilikan lahan harus disesuaikan
dengan tujuan utama yang bersisi ganda, yaitu peningkatan produksi bahan
pangan pada satu sisi, serta pemerataan segala manfaat untuk ke atau
keuntungan-keuntungan kemajuan pertanian pada sisi lain.
Selanjutnya menurut Bappenas (2010), dalam kerangka peningkatan
kesejahteraan petani, prioritas utama Kementrian Pertanian adalah upaya
meningkatkan pendapatan petani, dari rata-rata pendapatan per kapita pertanian
hanya sekitar Rp 4,69 juta per tahun. Pada tahun 2014 Kementrian Pertanian
menargetkan pendapatan perkapita tersebut meningkat menjadi 7,39 juta per
tahun. Hal ini berarti setiap tahun harus diupayakan kenaikan pendapatan 11,1
persen per tahun.
Nilai pendapatan petani dapat bersumber dari usaha pertanian dan usaha
non pertanian. Nilai pendapatan yang bersumber dari usaha pertanian akan
diperoleh dari selisih nilai penjualan komoditas usahatani yang dihasilkan dengan
oleh volume produksi yang dihasilkan serta harga jual, makin besar volume
produksi yang dihasilkan makin besar pula volume fisik yang dapat di jual.
Dharmawan (2007), mengemukakan bahwa pengertian livelihood strategy
yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia)
sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah”
belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah
bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun
kolektif. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu
ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan
tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem
nilai budaya yang berlaku.
Tulak (2009) mengutip Chambers tentang komponen sustainable
livelihood (mata pencaharian yang berkelanjutan), yaitu terdiri dari capabilities,
yaitu kemampuan untuk bertahan menghadapi tekanan (stress) dan guncangan
(shock), mampu menemukan dan memanfaatkan kesempatan dalam kehidupan
ekonomi; Equity, yaitu secara konvensional dapat diukur dari distribusi
pendapatan relatif, tetapi lebih luas menunjuk pada pemerataan distribusi asset,
kemampuan, dan kesempatan terutama bagi mereka yang tergolong miskin;
Sustanaibility, dari aspek sosial dalam konteks livelihood, keberlanjutan ditunjukkan oleh cara-cara dan kemampuan seseorang untuk memelihara dan
memperbaiki kehidupan ekonomi serta memelihara aset lokal dan global.
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap
produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat.
Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal seperti lahan gambut,
menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Selain berpotensi
memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat lahan
gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon
dan daya simpan airnya yang sangat tinggi.
Selain upaya yang berhubungan secara lansung dengan nilai input dan
ouput pertanian, pendapatan petani juga masih memungkinkan untuk ditingkatkan melalui: 1) Pengembangan infrastruktur oleh pemerintah secara padat karya
aktivitas off-farm yang mampu meningkatkan penghasilan petani dengan basis kegiatan yang terkait usahatani, 3) Mengupayakan insentif bagi tumbuhnya
industri hulu dan hilir pertanian, 4) Mengupayakan adanya payung hukum bagi
bertumbuhnya lembaga pembiayaan pertaniaan yang tersedia di perdesaan
(Bappenas,2010).
Menurut Badan Pusat Statistik (1993), indikator kesejahteraan rakyat
dilihat dari aspek spesifik yaitu kesehatan, pendidikan, konsumsi rumahtangga
dan perumahan. Aspek pendapatan, kondisi dan fasilitas perumahan, juga rasa
aman merupakan indikator kesejahteraan. Tingkat pendapatan keluarga diukur
dari besarnya pendapatan rumahtangga per kapita dalam sebulan dibagi kedalam
tiga kategori interval yang sama dalam satuan rupiah, yakni tinggi, sedang dan
rendah.
Klasifikasi tingkat kesejahteraan untuk pedesaan di Indonesia, menurut
Sajogyo (1993), yang termasuk kategori rendah (miskin) apabila pengeluaran per
kapita per tahun kurang dari setara 320 kilogram beras, Kategori sedang (hampir
cukup) apabila pengeluaran per kapita per tahun setara dengan 320 kilogram beras
sampai 480 kilogram beras. Sedangkan untuk kategori tinggi (cukup) apabila
pengeluaran per kapita per tahun lebih dari setara 460 kilogram beras.
Sedangkan Menurut Departemen Transmigrasi (1984) dalam Tulak
(2009), Penilaian tingkat kesejahteraan program transmigrasi dapat pula
dilakukan melalui kriteria tingkat kesejahteraan ekonomi, serta melalui indikator
kesejahteraan ekonomi masyarakat, yaitu: 1) pendapatan per kapita setara dengan
500 kilogram per tahun; 2) sumber pendapatan dari usahatani setara 420 kilogram
beras.
Keluarga sejahtera adalah 1) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan
anggotanya baik sandang, pangan, perumahan, sosial, maupun agama 2) keluarga
yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan dengan jumlah anggota
keluarganya, dan 3) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota
keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk dan
terpenuhinya kebutuhan pokok (Badan Koordinasi Keluarga Nasional, 1996
2.3.2 Kondisi Ekologi
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan ogranisme hidup
(elemen biotik) dengan benda tak hidup (elemen abiotik) di lingkungan
sekitarnya. Ekologi mempelajari struktur dan fungsi dari alam, termasuk buatan
Apa yang menjadi biaya ekologi dari desa sederhana dan pembangunan pertanian,
beberapa indikator seperti : tanah, hutan, laju deforestasi, laju reforestasi, emisi
karbon, kehilangan mangrove, dan pembaharuan sumber air, semuanya
merefleksikan status degradasi lingkungan (Partap et al, 2001).
Ekologi dapat terfokus secara global dan umum, atau lokal dan sangat
spesifik, tetapi seringkali dalam unit ilmu yang lain disebut ekosistem, baik kecil
maupun besar, ekosistem memiliki karakteristik sendiri yang sangat penting bagi
perencana wilayah di tingkat lokal. Wackernagel et al (1997), menyatakan secara
persuasif bahwa kita perlu mulai berpikir dalam terminologi jejak ekologi,
dimana dideskripsikan sebagai total area ekologi produktif, lahan dan air secara
eksklusif untuk memproduksi semua sumber daya (makanan dan serat) konsumsi
dan untuk asimilasi semua sampah yang termasuk sebagai penyebab polusi,
berupa rumah tangga, masyarakat dan negara (Honachefsky, 2000).
Secara sadar ataupun tidak, pentingnya mereduksi kerusakan lingkungan
hidup yang menjadi fenomena perubahan iklim, banjir dan sebagainya telah
terbungkus dengan kepentingan-kepentingan tertentu di setiap negara. Tanpa visi
pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis
yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Itu dapat terlihat dengan
liberalisasi penyelamatan ekologi melalui mekanisme pasar. Berbagai inisiatif
global dalam kerangka penyelamatan ekologi-lingkungan hidup telah digeser
pelan-pelan ke arah pendekatan neoliberalisme. Konsepsi penanganannya,
didorong melalui pendekatan mekanisme pasar. Yang paling mengemuka saat ini,
adalah berbagai inisiatif penanganan pemanasan iklim global baik pada skema
mitigasi, adaptasi dan konsep carbon offset. Baik melalui mekanisme pertukaran
kerusakan di suatu wilayah dengan pembiayaan konservasi di wilayah lainnya.
Ataupun melalui mekanisme carbon trade atau perdagangan karbon.
Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change)