• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sustainable Analysis Of Tidal Region Transmigration (Study Of Household Income Stucture And Carrying Capacity In Two Villages In The District Of Banyuasin, South Sumatera)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sustainable Analysis Of Tidal Region Transmigration (Study Of Household Income Stucture And Carrying Capacity In Two Villages In The District Of Banyuasin, South Sumatera)"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)

NURILLA ELYSA PUTRI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Keberlanjutan Wilayah

Transmigrasi Pasang Surut (Studi struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua

Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Nurilla Elysa Putri

(3)
(4)

REGION TRANSMIGRATION (Study of household income stucture and certainly provided a change to the area sustainability condition. This study aims to analyze the sustainability of the tidal area transmigration by analyzing the economic security conditions (structure of household income and welfare status), assessing the tidal land carrying capacity, and identifying the eco-social conditions existed. This study is expected to provide knowledge to the public, academics and researchers and policy makers is a transmigration area can be developed or not. The method used is the calculation of household income in the

form of On Farm, OF Farm and Non Farm income, calculation of tidal land

carrying capacity, calculations of agrarian density and the ability to support the life and descriptive identification of eco-social conditions. Result from the both studied villages (Mekar Sari and Telang Rejo) showed that a shift in household

livelihoods from the main activities of the agricultural food (On Farm) to other

activities (Non Farm), the contribution of income from additional livelihood

activities of non-Farm were 57.98% and 63.04% in the villages Mekar Sari and Telang Rejo respectively, this indicates a possible further decline in the focus of

the main livelihood On Farm, which is certainly threaten the sustainability of this

area as a buffer food. Results of land Carrying Capacity Assessment in the district Banyuasin and sub-district Muara Telang were deficit (CCR <1), where the CCR estimated for district by 0.4 and for sub-district by 0.6, in other words this means it is no longer possible to construct expansive and exploratory land construction, while Mekar Sari (1.018) and Telang Rejo (0.021) villages on alert status, which means there is a balance between the land carrying capacity and the population existence. Results of ecological conditions identification, showed a reduce in forest cover due to land clearing for agriculture and settlements and infrastructure development, thus the conservation and reforestation efforts are in need. Results of the social conditions identification was indicated this area is quite conducive, institutional village were developed, but not yet have a marketing corporation of their agricultural products at the village level. Reflection results of the conceptual theory from Christaller and Von Thunen suggests that the two villages were not able to be a new development center and give spread effect at economic activity for the surrounding hinterland. Policy implications that recommended from of this

study results is this area prospected to developed as a buffer food if the Non Farm

activities redirected to agriculture-based-food industry, as well as the need for ground transportation access and agricultural marketing agencies.

(5)
(6)

NURILLA ELYSA PUTRI. Analisis Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa Kabupaten Banyuasin). Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN DAN DEDDY S BRATAKUSUMAH.

Sejak dibukanya daerah transmigrasi di Kabupaten Banyuasin pada tahun 1970 maka pertambahan populasi dan aktivitas masyarakat tentunya memberikan perubahan terhadap kondisi keberlanjutan wilayah. Studi ini bertujuan menganalisa keberlanjutan wilayah transmigrasi pasang surut melalui analisis kondisi ketahanan ekonomi (struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga), menilai daya

dukung lahan pasang surut (Carrying capacity), serta mengidentifikasi kondisi

sosial ekologi yang ada didaerah tersebut. Studi ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada khalayak, akademisi dan peneliti serta pengambil kebijakan apakah suatu wilayah transmigrasi dapat terus dikembangkan atau tidak, Metode penelitian yang digunakan adalah perhitungan pendapatan rumahtangga berupa

pendapatan On Farm, OF Farm dan Non Farm, perhitungan carrying capacity

lahan pasang surut, perhitungan kepadatan agraris dan kemampuan mendukung kehidupan, identifikasi kondisi sosial ekologi secara deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa di kedua desa studi yaitu desa Mekar Sari dan desa Telang Rejo telah terjadi pergeseran mata pencaharian rumahtangga dari kegiatan utama

pertanian pangan (On Farm) ke kegiatan lain selain pertanian (Non Farm),

kontribusi pendapatan mata pencaharian tambahan Non Farm yaitu 57,98% di desa

Mekar Sari dan 63,04% di desa Telang Rejo, yang mengindikasikan adanya

kemungkinan semakin menurunnya fokus mata pencaharian On farm, yang

mengamcam keberlanjutan wilayah sebagai penyangga pangan. Hasil penilaian

Carrying Capacity lahan pasang surut di Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan Muara Telang adalah Defisit karena CCR < 1, dimana CCR Kabupaten sebesar 0,4 dan CCR kecamatan sebesar 0,6, yang berarti tidak dimungkinkan lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan eksploratif lahan, sedangkan untuk desa Mekar Sari (1,018) dan desa Telang Rejo (0,021) berada pada status waspada, yang bearti masih ada keseimbangan antara daya dukung lahan dengan keberadaan penduduk. Hasil identifikasi kondisi ekologi, terlihat bahwa tutupan hutan semakin berkurang akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman serta pembangunan infrastuktur, sehingga perlu adanya usaha konservasi dan reboisasi. Hasil dari identifikasi kondisi sosial menunjukkan bahwa daerah ini secara sosial cukup kondusif, namun belum memiliki kelembagaan pemasaran hasil pertanian di tingkat desa. Hasil refleksi konseptual teori Christaller dan Von Thunen menunjukkan bahwa kedua desa belum bisa menjadi pusat pertumbuhan baru dan

spread effect kegiatan ekonomi bagi hinterland disekitarnya. Implikasi kebijakan yang disarankan dari hasil studi ini adalah wilayah ini masih berprospek

dikembangkan sebagai penyangga pangan jika kegiatan Non Farm diarahkan pada

kegiatan usaha produktif yang berbasis pada pertanian pangan.

(7)
(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)
(10)

di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)

NURILLA ELYSA PUTRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

di Dua Desa di kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)

Nama : Nurilla Elysa Putri

NIM : H152100101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Ketua

Dr. Ir. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc, M.URP Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(13)
(14)

yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga Tesis yang berjudul Analisis

Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan

Carrying Capacity di Dua Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan

penghargaan sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Arya Hadi

Dharmawan, M.Sc.Agr dan Dr. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc.M.URP yang

telah mencurahkan waktu, pemikiran dan memberi pengarahan dalam

penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir.

Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi PWD dan Dr. Ir. Ernan

Rustiadi, M.Agr sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi

kelengkapan penulisan ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Sriwijaya dan Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan tugas belajar

kepada penulis di Institut Pertanian Bogor dan telah memberikan bantuan

pendanaan dalam penulisan dan penyelesaian Tesis ini.

Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kecamatan Muara Telang dan

Kepala Desa beserta segenap masyarakat Desa Telang Rejo dan Desa Mekar Sari

yang telah bersedia menjadi responden, Badan Pusat statistik (BPS) Sumatera

Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura, Stasiun Klimatologi

dan Geofisika Klas II Kenten yang telah membantu dalam penelitian ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada sumber kekuatan dan inspirasiku

suami tercinta Muhammad Sirajuddin S.IP, serta anak-anak tersayang Ananda Siti

Aisyah dan Adinda Rameyza Elya atas segala pengertian dan kesabaran dengan

begitu banyak pengorbanan waktu kebersamaan yang hilang dalam menempuh

studi dan meyelesaikan Tesis. Sumber Doa yang terus mengalir tiada henti dari

kedua orang tuaku, Ayahanda H. Alysa Husin dan Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati

terimakasih atas pengorbanan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT

(15)

membantu penulis dalam pengambilan data dan survey di lapangan. Kepada para

sahabat: Sukma, Dyah, Rezi, Eka dan Sanda terima kasih atas bantuan dan

kebersamaan yang senantiasa diberikan, beserta semua Sahabat S2 dan S3 PWD

lintas angkatan terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan, berdiskusi,

seminar, maupun kunjungan lapang yang pernah kita lalui bersama, banyak

kenangan manis yang tidak terlupakan.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan karena banyaknya keterbatasan, oleh karenanya dengan segala

kekurangan penulis mengharapkan saran bagi perbaikan tesis ini untuk

pengembangan pada penelitian berikutnya. Semoga karya kecil ini dapat

memberikan manfaat dan kegunaan bagi kita semua.

Bogor, Juli 2012

(16)

Penulis dilahirkan di Palembang Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal

4 Juli 1978. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak

H. Alysa Husin, Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati, Menikah dengan Muhammad

Sirajuddin, S.IP dan saat ini dikaruniai dua orang anak yakni Ananda Siti Aisyah

dan Adinda Rameyza Elya. Saat ini bertempat tinggal di Griya Cipta Pratama

Blok J No.10 Sako Palembang. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar

Negeri 249 Palembang pada tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama Negeri 14

Palembang pada tahun 1993, Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Palembang pada

tahun 1996. Pada tahun 2000 penulis menamatkan program S1 Program Studi

Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya,

pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2000-2007 penulis bekerja pada PT. Tiga

Raksa Satria, Tbk, dan sejak tahun 2008 hingga saat ini Penulis bekerja sebagai

Pengawai Negeri Sipil pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian

(17)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Konsepsi Lahan Pasang Surut ... 13

2.2. Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung) ... 15

2.3. Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial ... 18

2.3.1. Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan ... 18

2.3.2. Kondisi Ekologi ... 21

2.3.3. Kondisi Sosial ... 24

2.4. Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ... 25

2.4.1. Pengembangan Wilayah Pasang Surut ... 25

2.4.2. Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ... 27

2.5. Penelitian Terdahulu ... 29

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ... 33

3.1. Kerangka Teoritis ... 33

3.1.1 Pendekatan Carrying Capacity (Daya Dukung Lahan) ... 33

3.1.2 Struktur Nafkah dan Tingkat Kesejahteraan... 35

(18)

ii

3.1.6 Teori Von Thunen ... 42

3.2. Kerangka Operasional ... 44

3.3. Hipotesis ... 45

3.4. Batasan Operasional ... 45

BAB IV METODE PENELITIAN ... 47

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 47

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 47

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 48

4.4. Metode Analisis Data ... 49

4.4.1. Analisis Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan ... 49

4.4.2. Analisis Daya Dukung (Carrying Capacity/CCR) ... 51

4.4.3. Pengukuran Kepadatan Agraris ... 53

4.4.4. Analisis Kualitatif ... 54

4.4.5. Matriks Penelitian ... 55

BAB V KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 57

5.1. Kondisi Fisik ... 57

5.1.1. Letak, Batas dan Luas Wilayah ... 57

5.1.2. Topografi dan Hidrologi ... 59

5.1.3. Iklim dan Curah Hujan ... 61

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 62

5.2.1. Penduduk... 62

5.2.2. Mata Pencaharian ... 64

5.2.3. Pendidikan ... 65

5.3. Transmigrasi ... 66

5.4. Sektor Pertanian ... 67

5.4.1. Pertanian Tanaman Pangan ... 67

5.4.2. Perkebunan ... 68

(19)

iii

(ANALISIS MAKRO) ... 71

6.1. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 71

6.2. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ... 77

6.3. Struktur Nafkah Rumahtangga dan Keberlanjutan Ekonomi Wilayah ... 83

6.3.1 Struktur Nafkah Rumahtangga ... 83

6.3.2 Klasifikasi Status kesejahteraan Rumahtangga Responden . 88

6.3.3 Keberlanjutan Ekonomi Wilayah ... 97

6.4. Ikhtisar... 100

BAB VII DAYA DUKUNG (CARRYING CAPACITY) LAHAN, KEPADATAN AGRARIS, DAN KONDISI SOSIAL EKOLOGI (ANALISIS MAKRO) ... 105

7.1. Kondisi Wilayah pasang Surut Kabupaten Banyuasin ... 105

7.2. Kemampuan Daya Dukung Lahan ... 107

7.2.1 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Kabupaten Banyuasin ... 107

7.2.2 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang ... 108

7.2.3 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo ... 110

7.3. Kepadatan Agraris dan Kemampuan Mendukung Kehidupan ... 114

7.3.1 Kepadatan Agraris ... 114

7.3.2 Kemampuan Mendukung Kehidupan ... 117

7.4. Kondisi Sosial ... 119

7.4.1 Keadaan Sosial Desa Mekar Sari ... 120

7.4.2 Keadaan Sosial Desa Telang Rejo ... 121

7.5. Kondisi Ekologi ... 124

7.5.1 Kondisi Lahan Pasang Surut ... 124

(20)

iv

BAB VIII REFLEKSI KONSEPTUAL TEORITIK PENGEMBANGAN

WILAYAH KEDEPAN ... 133

8.1. Refleksi Teori Christaller ... 133

8.2. Refleksi Teori Von Thunen ... 139

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

9.1. Kesimpulan ... 143

9.2. Saran ... 144

9.3. Implikasi Kebijakan ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147

(21)

v

Halaman

1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan Luas yang dikembangkan

dengan bantuan pemerintah………. 2

2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya ....……….... 3

3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta program Rice Estate di Kabupaten Banyuasin... 5

4 Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin... 30

5 Matriks Penelitian………... 55

6 Jumlah Desa/Kelurahan di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 57

7 Jumlah Penduduk Desa/Lokasi Penelitian ... 62

8 Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian di Desa/Lokasi Penelitian ... 63

9 Jumlah Penduduk 10 tahun keatas menurut tingkat pendidikan, Kabupaten Banyuasin, 2010 ... 64

10 Penempatan Transmigran di Kabupaten Banyuasin 5 tahun terakhir ... 65

11 Luas dan jumlah petani perkebunan rakyat di Kabupaten Banyuasin ... 67

12 Mata Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 72

13 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 74

14 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari dengan Frekuensi Panen... 76

15 Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ... 78

16 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari... 82

17 Perbandingan Pendapatan Total/Th Rumahtangga Responden Berdasarkan Kegiatan Mata Pencaharian... 86

18 Status Kesejahteraan Berdasarkan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga.... 87

19 Perbandingan Struktur Pendapatan Total/Th (Rp) Rumahtangga Responden……… 90

20 Stuktur Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 91

(22)

vi

24 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang . 108

25 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari

dan Desa Telang Rejo Tahun 2011 ... 111

26 Kepadatan Agraris dan Daya Dukung Kehidupan ... 115

27 Kemampuan mendukung kehidupan lokasi Penelitian ... 117

28 Hasil identifikasi kondisi sosial di desa Mekar Sari dan Telang Rejo ... 119

29 Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Banyuasin ... 128

30 Refleksi hasil studi pada teori Christaller ... 136

31 Refleksi hasil studi pada teori Von Thunen... 139

(23)

vii

1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut

pandang infrastruktur pengairan) ... 7

2 Bagan Alur Pemikiran Dalam Penelitian ... 44

3 Peta Kabupaten Banyuasin ... 47

4 Data Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk, 2012 ... 63

5 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga Responden

Desa Mekar Sari, 2012... 71

6 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden

Desa Mekar Sari, 2012 ... 73

7 Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012 ... 74

8 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Mekar Sari, 2012 .. 75

9 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga

Responden Desa Telang Rejo, 2012 ... 77

10 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden

Desa Telang Rejo, 2012……….. 79

11 Sebaran Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012……….... 80

12 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Telang Rejo, 2012 81

13 Box plot Distribusi Pendapatan pertahun Rumahtangga, 2012………... 84

14 Perbandingan Struktur Pendapatan Rumahtangga Responden, 2012 ... 86

15 Perbandingan Struktur Pendapatan Pertahun Rumahtangga Responden,

2012 ... 89

16 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Mekar Sari, 2012 ... 90

17 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Telang Rejo, 2012 ... 92

18 Perbandingan Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden

Berdasarkan Klasifikasi Kelas Rumahtangga, 2012 ... 95

19 Skema Peningkatan Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah... 98

20 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kabupaten Banyuasin ,

2009-2010……….. 108

21 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kecamatan Muara Telang,

(24)

viii

23 Perbandingan Carrying Capacity Desa, Kecamatan dan Kabupaten ,

2010……… 112

24 Perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayah, 2011………... 114

25 Perbandingan Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan……… 116

26 Perbandingan Daya Dukung Vs UMR Vs Kebutuhan Hidup, 201……… 118

27 Kondisi Jalan Desa,2012………... 123

28 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Banyuasin, Tahun 2006... 125

29 Kondisi saluran air di desa Mekar Sari, 2012……… 127

(25)

ix

1 Kuisioner……….………... 155

2 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Mekar Sari ... 168

3 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Telang Rejo………. 169

4 Scatter Plot sebaran Pendapatan Rumahtangga responden desa Mekar Sari

dan Telang Rejo………... 170

5 Perhitungan Carrying Capacity (CCR)... 171

6 Perhitungan Kepadatan Agraris dan daya Dukung Kehidupan ... 172

7 Sebaran Normal Pendapatan Rumahtangga Responden ... 173

8 Peta Rupa Bumi Kecamatan Muara Telang, Bakosurtanal 1969 ... 174

9 Dokumentasi Lokasi Studi Desa Mekar Sari ... 175

(26)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan pedesaan merupakan pendekatan multifaset dan

komprehensif terhadap perubahan masyarakat yang menyangkut aspek sosial,

norma, sumber daya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya

buatan) dan juga aspek pasar dan pengambilan keputusan di tingkat lokal. Konsep

pembangunan pada tatanan ini bukan saja mementingkan pada pertumbuhan

ekonomi namun juga kualitas pembangunan yang mempertahankan daya dukung

sumber daya alam dan lingkungan serta nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom)

yang dapat menjadi katalisator pembangunan ekonomi (Sumardjo, 2010).

Transmigrasi yang diselenggarakan sejak tahun 1970/1971 berdasarkan

kebijakan yang tercantum dalam REPELITA I, merupakan usaha penyediaan

lapangan kerja yang terkait proyek-proyek pembangunan di daerah kurang padat

penduduk. Program penempatan transmigrasi berhubungan dengan program

peningkatan produksi khususnya peningkatan produksi pangan, dengan prioritas

lain melalui penempatan transmigran pada proyek-proyek perluasan areal sawah

pasang surut di Sumatera dan Kalimantan. Penempatan lokasi transmigasi

dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan prasarana jalan dan pengairan

yang diperlukan untuk usaha peningkatan produksi.

Pada masa orde baru tujuan utama transmigrasi tidak semata-mata

memindahkan penduduk dari pulau Jawa keluar Jawa, namun ada penekanan pada

tujuan memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan.

Paradigma baru dalam pembangunan transmigrasi sudah jauh berbeda dengan

paradigma lama, hal ini terjadi dengan dikeluarkannya Undang-undang No 5

Tahun 1997, tentang Pelaksanaan Transmigrasi tidak lagi difokuskan pada

masalah penyebaran penduduk, tetapi bergeser pada pengembangan ekonomi dan

(27)

Dalam Kerangka Pembangunan Nasional, transmigrasi diharapkan dapat

meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun

budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi ekspor. Produksi

pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita

pembangunan, selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah

tujuan semenarik mungkin sehingga banyak penduduk tertarik untuk pindah dari

pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya yang padat penduduk dengan biaya mandiri

tanpa tergantung pada pemerintah.

Tabel 1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan luas yang dikembangkan dengan bantuan pemerintah

Lokasi Total lahan rawa secara Nasional Total lahan yang sudah dikembangan Sumatera 6.604.000 2.766.000 9.370.000 691.704 110.176 801.880

Kalimantan 8.126.900 3.580.500 11.707.400 694.935 194.765 889.700 Sulawesi 1.148.950 644.500 1.793.450 71.835 12.875 84.710 Papua 4.216.950 6.305.770 10.522.720 - 23.710 23.710

Total 20.096.800 13.296.770 33.393.570 1.458.474 341.526 1.800.000 Sumber : Dit Rawa dan Pantai, Ditjen Pengairan, Departemen PU, 2009.

Di Indonesia, setidaknya ada dua wilayah yang memiliki lahan pasang

surut yang besar, yaitu di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Dari tabel diatas

terlihat bahwa total lahan yang telah dikembangkan di Sumatera (691.704 ha)

untuk lahan pasang surut hampir sama dengan total lahan yang telah

dikembangkan di Kalimantan (694.935ha), padahal total lahan pasang surut yang

tersedia di Sumatera (6.604.000 ha) lebih kecil dibanding total lahan pasang surut

yang tersedia di Kalimantan (8.126.900 ha), hal ini mengindikasikan bahwa

pemanfaatan lahan pasang surut di Sumatera telah berkembang pesat dan meluas

seiring pertambahan populasi yang lebih besar dari pada di Kalimantan, sehingga

permasalahan daya dukung lahan (carrying capacity) perlu menjadi perhatian di

wilayah ini.

Di Provinsi Sumatera Selatan wilayah pasang surut terbesar terdapat di

Kabupaten Banyuasin. Hampir 80 persen dari wilayah Kabupaten Banyuasin

merupakan daerah sawah pasang surut. Pasang surut merupakan lahan marjinal

(28)

padi, palawija, dan kelapa. Bisa juga untuk kepentingan perkebunan, seperti

kelapa sawit. Dari klasifikasi lahan, pasang surut itu memiliki tipe beragam

dengan kepentingan sama, yakni untuk lahan pangan dan pertanian khususnya. Di

Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut yang tersebar di

sembilan daerah, seperti di Telang I, Telang II, Muara Padang, Air Saleh, Makarti,

Sugihan Kiri, Pulau Rimau, Karang Agung Ilir, Karang Agung Tengah, dan

Karang Agung Ulu.

Pengembangan daerah rawa di Sumatera Selatan secara besar-besaran oleh

pemerintah telah dimulai sejak tahun 1960 sampai tahun 1970 melalui program

transmigrasi. Sebelumnya daerah rawa hanya diusahakan oleh rakyat yang

merupakan penduduk asli maupun pendatang seperti pedagang dari suku bugis

dan hanya terbatas didaerah pinggiran sungai saja.

Tabel 2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya

No Kabupaten /Kota

Tadah Hujan Pasang Surut Frekuensi penanaman Jumlah Frekuensi

penanaman

Jumlah/Total 51.512 32.168 83.680 147.014 6.862 153.876

Sumber : Badan pusat Statistik, 2008

Pada Tabel 2 diatas, terlihat bahwa Kabupaten Banyuasin merupakan

penghasil padi sawah pasang surut terbesar di Sumatera Selatan, terbukti dengan

luas lahan sawah pasang surut sebesar 122.681 ha pada tahun 2005, yang

(29)

mengalahkan luas lahan irigasi teknis di kabupaten Ogan Komering Ulu sebesar

37.007 ha di tahun 2005 tersebut, hal ini membuktikan bahwa potensi lahan

pasang surut di Kabupaten Banyuasin sangatlah besar terutama dalam

berkontribusi mewujudkan Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan, serta

pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin sendiri khususnya melalui

komoditi unggulan penghasil padi sawah.

Seiring dengan otonomi daerah, maka visi dan misi kabupaten Banyuasin

untuk menjadi “pusat pertumbuhan ekonomi yang ekslusif bagi propinsi Sumatera Selatan” dilakukan melalui upaya memberdayakan masyarakat untuk dapat berdiri

sendiri, dengan potensi lahan pasang surut, rawa dan lebak yang mendominasi

hingga 80% wilayah Kabupaten Banyuasin, diharapkan mampu mewujudkan visi

tersebut, terutama terhadap kontribusinya sebagai lumbung pangan di Sumatera

Selatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan ketersediaan sektor hilir yang

menyokong hasil produksi di sektor hulu, dan pengembangan sektor hilir ini

dilakukan tanpa mengurangi produktivitas pertanian tanaman pangan (padi) yang

menjadi basisnya.

Kenyataan yang terjadi sejak adanya transmigrasi di daerah ini, maka

populasi penduduk seiring berjalannya waktu telah mengalami peningkatan yang

cukup besar, dan keterbatasan lahan menjadi permasalahan baru di daerah ini,

lahan yang tersedia telah termanfaatkan secara optimal, sehingga masalah daya

dukung (carrying capacity) lahan mulai menjadi perhatian, keterbatasan daya

dukung lahan merambah pada permasalahan ekonomi, dimana pendapatan petani

sawah dilahan pasang surut terancam mengalami penurunan akibat fragmentasi

lahan seiring pertambahan penduduk yang cukup besar dan kepadatan agraris

yang semakin meningkat. Dan permasalahan ekonomi yang berhubungan dengan

pendapatan menghadapkan masyarakat setempat pada pemilihan alternatif mata

pencarian selain kegiatan pertanian (non farm) yang kemudian menimbulkan

masalah baru beralihnya mata pencarian masyarakat dari bertani (on farm) ke

kegiatan industri lainnya (off farm) yang berpotensi menyebabkan penurunan

(30)

Tabel 3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta program

Rice Estate di Kabupaten Banyuasin

No Karakteristik Rumahtangga Rata-rata

Peserta Non-Peserta

7 Pengalaman KK berusahatani (th) 29.7 28.0

Sumber : Data Primer diolah (dalam Chuzaimah, 2006)

Lahan adalah aset terpenting bagi rumahtangga petani karena merupakan

sumber pangan keluarga dan sumber mata pencaharian yang berbasis lahan. Tabel

diatas menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan per rumah tangga petani peserta

adalah 2,4 hektar dan non peserta 2 hektar. Baik peserta maupun non peserta

sebagian besar adalah petani transmigrasi yang berasal dari jawa, yang pada awal

penempatannnya mendapatkan lahan dari pemerintah seluas 2,25 hektar. Hal ini

menunjukkan bahwa para petani telah memanfaatkan lahan usahatani yang

dimiliki secara maksimal. Jika di fragmentasikan dengan jumlah anggota

keluarga, maka lahan yang dimiliki perkapita adalah 0,8 ha/kapita untuk perserta

rice estate dan 0,6 ha/kapita bagi non peserta rice estate, hal ini mengindikasikan

bahwa para petani ini adalah petani gurem atau peasant yaitu petani yang meiliki

lahan kecil dan kurang dari 1 ha, yang jika dibiarkan akan mengancam ketahanan

ekonomi rumahtangga para petani di wilayah ini, sehingga untuk mencukupi

kebutuhan para petani ini akan beralih ke mata pencarian lain, yang menyebabkan

timbulnya masalah sosial berupa kemiskinan, perebutan penguasaan lahan

(konflik), migrasi, dan sebagainya.

Jika masalah ekonomi dan peralihan mata pencarian ke sektor lain terjadi

secara meluas, maka ketahanan pangan mulai terancam, dan otomatis akan timbul

berbagai permasalahan sosial dan kerusakan ekologi. Untuk itu diperlukan suatu

konsep atau strategi dalam mengantisipasi timbulnya permasalahan -permasalahan

tersebut, suatu strategi dalam mengembangkan wilayah berbasis carrying capacity

(daya dukung lahan) dan peningkatan kesejahteraan petani di daerah pasang surut

(31)

berkelanjutan (sustanaibility) dengan memperhatikan aspek penting dalam keberlanjutan wilayah yaitu ekonomi, ekologi dan sosial.

Dari sisi pengembangan wilayah, Kabupaten Banyuasin merupakan

kabupaten yang relatif baru akan tetapi telah melangkah maju dalam pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya. Adanya kawasan Tanjung api-api sebagai salah

satu bagian wilayah Kabupaten Banyuasin disinyalir akan menjadi kawasan

strategis yang berpotensi mengangkat dan meningkatkan sumberdaya Kabupaten

Banyuasin sebagai kabupaten otonom dan mandiri. Selain itu dengan

ditetapkannya perencanaan kawasan lain yang telah disepakati (commited plan)

diharapkan mampu mendorong tumbuhnya perekonomian wilayah serta

menumbuh kembangkan berbagai sektor pembangunan dan pelayanan regional di

wilayah Kabupaten Banyuasin, khususnya di sektor industri yang berbasis kepada

ekonomi lokal.

1.2 Rumusan Permasalahan

Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih menggantungkan

hidupnya dari sektor pertanian dengan tingkat produktivitas dan pendapatan usaha

yang relatif rendah, sehingga kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan

banyak terdapat di pedesaan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa upaya

pengentasan kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan harus dilakukan

dengan membangun pertanian dan pedesaan, yang merupakan tantangan kedepan

untuk mencapai Millenium Development Goals(MDG’s) melalui pembangunan

pertanian dengan segala karakteristik dan spesifikasi masalahnya yang tersebar

merata hampir diseluruh wilayah pedesaan (Bappenas, 2010).

Persoalan mendasar yang dihadapi sektor pertanian pada saat ini dan masa

yang akan datang adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan

iklim global; terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan

air; sedikitnya status dan kecilnya luas kepemilikan lahan; lemahnya sistem

pembenihan dan perbibitan nasional; keterbatasan akses petani terhadap

permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani; lemahnya kapasitas dan

kelembagaan petani dan penyuluh; masih rawannya ketahanan pangan dan

(32)

petani (NTP), dan belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan

pertanian (Bappenas, 2010).

Peranan sektor pertanian yang semakin menyusut dalam pembentukan

PDB ternyata tidak disertai dengan mengecilnya peranan dalam penyerapan

tenaga kerja, apabila dibandingkan antara kecepatan penurunan pangsa pertanian

dalam PDB dengan kecepatan penurunan penyerapan tenaga kerjanya, maka dapat

diduga bahwa pendapatan relatif tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian

cenderung semakin tertinggal dibanding sektor lain (industri, perdagangan atau

jasa) (Harianto, 2011).

Gambar 1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut pandang infrastruktur pengairan)

Sumber: Menko Ekonomi, 2009 dan BAPPENAS et al., 2002, dalam Susanto, 2010

Upaya optimalisasi lahan untuk ketahanan pangan harus dilakukan, dan

salah satu upaya tersebut adalah pemanfaatan wilayah pasang surut sebagai areal

persawahan, yang merupakan sumberdaya alam terbesar di Indonesia terutama di

Sumatera dan Kalimantan. Optimalisasi lahan rawa pasang surut untuk produksi

pangan misalnya terbukti telah mampu meningkatkan produksi lahan per hektar

per musim bahkan juga meningkatkan indeks pertanaman dari satu kali (IP100)

menjadi dua sampai tiga kali per tahun (IP200, IP300). Bahkan di beberapa

(33)

sampai 8 ton GKP per hektar dan sudah 2-3 kali tanam (padi-padi-jagung) dalam

setahun (Susanto, 2010).

Secara umum kendala yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang

surut mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Kendala

biofisik dicerminkan dari sifat fisika kimia lahan, seperti rendahnya kesuburan

tanah dan pH tanah, adanya zat beracun (alumunium, besi, hydrogen sulfide dan

natrium) dan lapisan gambut, terjadinya kekeringan / genangan air dan intrusi air

asin, kendala sosial ekonomi meliputi keterbatasan modal, tenaga kerja, tingkat

pendidikan petani yang rendah, kondisi sarana dan prasarana yang kurang

memadai, rendahnya harga hasil pertanian dan kurangnya dukungan eksternal

seperti kelembagaan untuk penyediaan modal, sarana produksi dan pemasaran

hasil (Pramono, 2003).

Memprioritaskan pertanian pasang surut justru low cost dan cukup dengan

simple technology. Sehingga secara matematisnya akan lebih menguntungkan jika mengoptimalkan lahan pasang surut, ketimbang irigasi teknis. Sebab, di daerah

pasang surut, sumber daya manusianya sudah tersedia, teknologinya sederhana

dan tidak harus memulai dari awal. Berbeda dengan irigasi teknis yang harus

mencetak sawah terlebih dulu, kapasitasnya terbatas dan begitu pula lahannya,

seperti kutipan berikut ini:

“Di Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut

dari jumlah tersebut yang sudah bisa ditanami 150 ribu hektare. Sudah ada saluran primer, sekunder, dan pintu-pintu air. Sisanya belum bisa ditanami, karena irigasinya banyak yang dangkal. Pintu-pintu airnya banyak yang rusak. Sehingga menjadi lahan tidur. Diantara yang telah ditanami ada pula yang dimanfaatkan untuk kelapa sawit, selain padi. Kendati banyak yang rusak, dari lahan pasang surut ini Banyuasin mampu ikut menopang stok pangan Sumsel sebesar 28 persen. Andai saja dari luas yang ada itu bisa dimanfaatkan optimal, maka Sumsel yang sudah mencanangkan diri

menjadi Lumbung Pangan itu, jelas tak lagi sekadar bermimpi”

“Kondisi Sumsel memang dilematis. Di satu sisi memproklamirkan

diri sebagai lumbung pangan, tapi di sisi lain daerah penyangga pangan seperti pasang surut itu kurang mendapat perhatian. Pemerintah pusat, khususnya Menteri Pertanian belum melihat

(34)

Kurangnya perhatian dalam pengelolaan lahan gambut terhadap

prinsip-prinsip ekologi dan karakteristik ekosistem gambut, mengakibatkan timbulnya

beragam masalah seperti rusaknya produktivitas lahan gambut, hilangnya

keaneragaman hayati, kebakaran hutan dan asap, banjir terus menerus diluar

musim hujan, tanah sulfat masam, masalah sosial ekonomi, hilangnya mata

pencaharian masyarakat dan dampak lanjutan yang ditimbulkan. Akibatnya,

pengelolaan hutan rawa gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan masih

sangat jauh dari harapan, yang masih berlangsung hingga kini adalah eksploitasi

ekosistem lahan gambut yang mengakibatkan dampak buruk yang luas terhadap

ekosistem, lingkungan dan dampak ekonomi ikutan (Simbolont, 2011).

Pendekatan seperti ini ditegaskan dalam Undang-Undang No 41 tahun

2009 tentang ”Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Dimana

salah satu pertimbangan yang dikemukakan yaitu bahwa makin meningkatnya

pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan

terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah

mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian,

ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Di masa depan, pengelolaan lahan gambut di Indonesia hendaknya menuju

upaya merevitalisasi fungsi hutan rawa gambut sehingga tercapai tiga tujuan

utama yaitu mengkonversi dan menggunakan hutan rawa gambut sesuai regulasi

serta kemampuan daya dukung lahan, merubah paradigma dalam peningkatan

usaha di lahan gambut yang harus selalu diharmonisasikan dengan lingkungan,

dan memperkaya teknologi modern dengan kearifan lokal melalui pengembangan

program partisipatif.

Menurut Miettinen & Liew (2010) dalam Simbolont (2011), hanya sekitar

3,6 persen dari seluruh hutan rawa gambut Sumatra dan Kalimantan yang masih

alami dan sekitar 7,7 persen yang masih dapat disebut sebagai sedikit terganggu,

sedangkan sisanya sudah terdegradasi atau bahkan telah dikonversi menjadi lahan

pertanian atau perkebunan dan pemukiman. Salah urus pengelolaan gambut dalam

sejarah lingkungan Indonesia berperan dalam menyebabkan kerusakan

(35)

Desa (lokalitas) juga menjadi ajang perebutan tarik menarik kepentingan

sosial-politik dan ekonomi yang menjadikan eksistensinya tidak selalu bebas

dalam menentukan arah perkembangannya ke depan. Bukan hal yang mudah

untuk menggambarkan desa masa depan, karena proses proses transformasi sosial

di kawasan pedesaan (lokalitas) berjalan amat sangat cepat dan membawa

konsekuensi perubahan sangat substansial pada aspek kehidupan lokal (Castel,

2001 dalam Dharmawan 2011).

Mengingat pentingnya pengamanan lahan-lahan sawah produktif sebagai

penghasil komoditi unggulan di Kabupaten Banyuasin yaitu padi atau beras, maka

ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan merupakan faktor utama yang harus

diperhatikan, namun seiring pertambahan jumlah penduduk, maka fragmentasi

dan konversi lahan pun terjadi, ancaman penurunan luas lahan sawah yang

digarap mengakibatkan tingkat produksi per petani menurun, dan akibatnya

pendapatan petanipun terancam, dengan adanya konversi lahan ke komoditas lain

selain padi juga dapat menurunkan ketersediaan pangan (mengancam ketahan

pangan) yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan bahan konsumsi pokok

rumah tangga (basic needs) sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekonomi.

Masalah lingungan akibat perubahan iklim juga perlu kita antisipasi begitu juga

kemungkinan munculnya masalah sosial akibat penurunan pendapatan, dan

kurangnya ketersediaan lahan sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekologi

dan sosial dalam pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan.

Dari latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan yang akan

dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga yang

ada di wilayah pasang surut tersebut?

2. Apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa menjamin

keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut ?

3. Bagaimana kondisi ketahanan Sosial Ekologi yang ada di wilayah pasang

(36)

C. Tujuan Penelitian

Pentingnya pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan

dengan orientasi kepada keberlanjutan (sustainability) dalam hal ini dijabarkan

sebagai status kesejahteraan ekonomi dan sosial ekologi dengan memperhatikan

status daya dukung lahan (carrying capacity) perlu dipahami. Sehingga perlu

adanya kajian terhadap permasalahan ini khususnya di Kabupaten Banyuasin yang

merupakan kawasan gambut terbesar di Sumatera Selatan, maka yang menjadi

tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Mengkaji dan menganalisis struktur nafkah dan status kesejahteraan

rumahtangga yang ada di wilayah pasang surut tersebut

2. Menilai potensi daya dukung lahan (carrying capacity) apakah masih bisa

menjamin keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut.

3. Mengetahui dan mengidentifikasi kondisi ketahanan sosial ekologi yang ada

di wilayah pasang surut tersebut.

4. Melalui isu kritikal yang telah di uraikan, maka dapat dinilai apakah sebuah

kawasan transmigrasi bisa terus berkembang dan dikembangkan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini berupaya untuk melakukan analisis terhadap carrying capacity

(daya dukung lahan) dan identifikasi kondisi keberlanjutan pengembangan

wilayah pasang surut yang berorientasi pada ketahanan ekonomi, dan sosial

ekologi di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Melakukan

penghitungan terhadap kepadatan Agraris dan tingkat pendapatan rumahtangga

untuk mengetahui tingkat ketahanan ekonomi. Serta mengidentifikasi orientasi

ketahanan sosial ekologi di wilayah studi. Keberlanjutan wilayah pasang surut

akan dinilai dari :

1. Struktur nafkah dan status kesejahteraan, yang diukur melalui tingkat

pendapatan rumah tangga di wilayah studi dan perbandingan dengan garis

kemiskinan berdasarkan stardar Bank Dunia (world Bank) sebesar 2$ perhari

perkapita atau setara dengan Rp. 540.000 per bulan per kapita.

2. Kondisi daya dukung lahan (carrying capacity) di wilayah studi, di level

(37)

3. Kondisi ekologi di wilayah pasang surut dalam menopang kehidupan sosial

ekonomi penduduk setempat yang dideteksi melalui kepadatan agraris dan

kemampuan mendukung kehidupan.

4. Kondisi sosial masyarakat pada wilayah pasang surut dideteksi melalui

frekuensi dan kedalaman gangguan-gangguan sosial.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu

kebijakan, khususnya di bidang perencanaan dan pengembangan wilayah pasang

surut di Kabupaten Banyuasin. Penelitian juga diharapkan dapat bermanfaat bagi

pihak swasta yang membutuhkan data dan masalah lain yang berkaitan dengan

usaha pengembangan produksi pertanian.

Selain pemerintah dan swasta, pihak lain yang cukup penting untuk

memperoleh nilai guna dari penelitian ini adalah masyarakat. Secara khusus

penelitian ini berguna untuk:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan di

bidang pengembangan wilayah pasang surut dan pembangunan kesejahteraan

masyarakat khususnya ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.

2. Memberikan informasi dan saran pada masyarakat tentang kondisi

keberlanjutan wilayah pasang surut di Kabupaten Banyuasin Sumatera

Selatan, melalui hasil kajian ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.

3. Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa maupun

peneliti serta referensi penelitian selanjutnya.

4. Memberikan pengetahuan kepada khalayak, akademisi dan peneliti serta

pengambil kebjakan tentang apakah suatu kawasan transmigrasi dapat terus

(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsepsi Lahan Pasang Surut

Berdasarkan definisi BPS (2005), Sawah pasang surut adalah sawah yang

pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi pasang surutnya air

laut. Konvensi Ramsar 1971 mendefinisikan lahan basah secara internasional

sebagai berikut (Dugan, 1990): Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut,

dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung

(stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau atau asin, mencakup

wilayah air marin yang dalamnya pada waktu surut tidak lebih dari enam meter

(Maas, 2003). Rawa adalah bagian daratan yang sepanjang tahun biasanya jenuh

air atau tergenang air.

Menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), lahan rawa adalah lahan

yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini

sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air

(waterlogged) atau tergenang. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 yang dinamakan lahan rawa adalah genangan air secara alamiah yang

terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat dan

mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis.

Selanjutnya menurut Barchia (2006), kawasan rawa terbentang 2 ekosistem

lahan utama, yaitu ekosistem pasang surut dan ekosistem rawa pedalaman/lebak.

Namun menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), berdasarkan imbangan

antara kekuatan arus sungai dan air pasang dari laut, lahan rawa dibedakan

menjadi 3 zone, yaitu Zona I: lahan rawa pasang surut air salin/ payau, Zone II :

lahan pasang surut air tawar, Zone III : lahan rawa buka pasang surut atau lebak,

dan masing-masing zone mempunyai bentukan fisiografi atau landform dan

penyebaran tanah yang berbeda.

Wilayah rawa pasang surut air asin atau payau merupakan bagian dari

wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut

lepas. Biasanya rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau

delta serta tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut atau

(39)

Sumatera Selatan, antara lain delta Upang, delta Telang, dan pulau Rimau

(Subagyo, 2006).

Keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi, sesunguhnya lahan

gambut sangat rendah kesuburannya, sehingga tidak cocok untuk tanaman

budidaya tanpa perlakuan atau masukan tehnologi atau pemupukan. Keadaan yang

selalu tergenang menyebabkan keadaannya cenderung an aerob, gambut bersifat

masam dengan pH 3-5, miskin akan ketersediaan unsur hara makro (K, Ca, Mg, P)

dan mikro (Cu, Zn, Mn, and Bo), terdapat asam organic yang bersifat racun,

kapasitas pertukaran kation rendah tetapi rendah kejenuhan basanya. Gambut

memiliki bulk density yang sangat rendah, karena gambut memiliki pori yang

besar maka gambut mempunyai kemampuan menahan tanah yang sangat rendah

sehingga bobotnya sangat ringan dan kemampuan kohesinya juga rendah. Itulah

sebabnya pohon yang ditanam di lahan gambut sangat mudah rebah, dan juga

merupakan masalah dalam pembagunan konstruksi bangunan (Simbolont, 2011).

Apabila dikelola secara tepat, lahan pasang surut dapat dijadikan areal

pertanian produktif. Pengembangan lahan ini dapat mendukung peningkatan

ketahanan pangan, diversifikasi produksi, dan pengembangan agribisnis. Untuk

menjadikan lahan pasang surut produktif dan lestari, diperlukan upaya revitalisasi

dan rehabilitasi melalui penerapan inovasi teknologi dan rekayasa atau

pengembangan kelembagaan dan perbaikan prasarana penunjang secara terpadu

(Warta penelitian dan pengembangan pertanian, 2006).

Sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan

pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, terutama dalam kaitannya

dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya. Sistem

tata air di rawa pasang surut ditujukan selain untuk memenuhi kebutuhan air

selama penyiapan lahan dan pertumbuhan tanaman juga untuk memperbaiki sifat

fisiko-kimia tanah, yaitu dengan jalan: (1) memanfaatkan air pasang untuk

pengairan sesuai dengan kebutuhan tanaman, (2) mencegah masuknya air asin ke

petakan lahan, (3) mencuci zat-zat beracun bagi tanaman, (4) mengurangi

semaksimal mungkin terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam, dan (5)

(40)

Sebelum mengerjakan lahan pasang surut, perlu terlebih dahulu memahami

empat tipologinya. Tipologi pertama adalah tipologi Lahan Potensial, yaitu suatu

lahan yang mempunyai kedalaman pirit (lapisan beracun) pada kedalaman >50 cm

di atas permukaan tanah. Lalu tipologi yang kedua adalah Lahan Sulfat Masam,

yang merupakan lahan dengan lapisan pirit pada kedalaman 0-50 cm di atas

permukaan tanah. Selanjutnya, tipologi Lahan Gambut, dimana lahan ini

mengandung lapisan gambut dengan kedalaman yang sangat bervariasi. Terakhir,

tipologi Lahan Salin, yaitu lahan yang mendapat intrusi air laut sehingga

mengandung garam dengan konsentrasi tinggi terutama pada musim kemarau.

Keberhasilan usahatani pada agroekosistem lahan pasang surut antara lain terletak

pada ketepatan pengelolaan lahan dan air. Dengan pengelolaan yang tepat, seperti

proses pencucian bahan beracun pada tanah mineral potensial dan sulfat masam

serta proses pematangan (dekomposisi) gambut dan konservasi lahan terealisasi

dengan baik, maka produktivitas lahan dan tanaman meningkat.

Mengingat usahatani para petani di lahan rawa pasang surut pada

umumnya dilakukan secara konvensional, maka kini saatnya usaha peningkatan

produktivitas tersebut diarahkan melalui pendekatan Prima Tani Terpadu (PTT)

Padi Lahan Pasang Surut. Dengan demikian potensi lahan ini dapat dimanfaatkan

semaksimal mungkin. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut melalui pendekatan

PTT maupun peningkatan indeks panen melalui ekstensifikasi, akan sejalan

dengan program pemerintah dalam peningkatan produksi beras nasional. Pada

akhirnya mengarah pada ketahanan pangan nasional (Litbang Deptan, 2008).

2.2 Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung)

Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara

optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula

diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara

sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan (Soemarwoto,

2001).

(41)

optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula

diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara

sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Definisi Daya

Dukung Lingkungan (Carrying Capacity) :

 Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang

dapat didukung oleh suatu lingkungan.

 Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan

tanpa merusak lingkungan tersebut.

 Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam

periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut.

 Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh

suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut.

 Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok

manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka

yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya.

 Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah

lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal,

dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut.

Selanjutnya menurut Bratakusumah (2004), pada sektor pertanian,

kemampuan daya dukung (Carrying Capacity Ratio) merupakan perbandingan

antara lahan yang tersedia dan jumlah petani. Sehingga perlu diketahui berapa

luas lahan rata-rata yang dibutuhkan per-keluarga, potensi lahan yang tersedia dan

penggunaannya untuk kegiatan non-pertanian. Meskipun analisis daya dukung

merupakan upaya untuk mengetahui perbandingan antara jumlah lahan dan jumlah

penduduk, penggunaannya tidak hanya untuk sektor pertanian atau perkebunan.

Dengan ditunjang alat-alat lainnya, analisis ini juga dapat digunakan untuk

membantu menentukan kegiatan dalam bidang atau sektor apa saja yang layak

dikembangkan disuatu daerah. Adapun langkah-langkah dalam melakukan

analisis daya dukung pada dasarnya bersifat fleksibel dan dinamis (cukup

beragam), langkah-langkah tersebut antara lain :

a). Identifikasi luas areal yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian

(42)

c). Tentukan jumlah keluarga dalam area tersebut

d). Tentukan persentase jumlah petani yang ada diarea tersebut

e). Tentukan ukuran lahan rata-rata yang dimiliki petani

f). Hitung kemampuan daya dukung dengan menggunakan rumus CCR

Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa

menjamin keberlanjutan ( sustainability) pengembangan wilayah di daerah pasang

surut tersebut, maka dilakukan analisis carrying capacity berbasis neraca lahan.

Penghitungan neraca lahan menurut (Rustiadi, 2010), terdiri dari beberapa

tahapan, sebagai berikut:

1) Menentukan unit wilayah analisis

2) Penghitungan ketersediaan (supply) lahan

3) Penghitungan permintaan (demand) lahan

4) Penentuan status surplus/defisit dengan menghitung ratio/selisih supply dan

demand

5) Penentuan status tingkat keberlanjutan.

Status Keberlanjutan dilakukan dengan perbandingan relative antar waktu

dengan membandingkan status Surplus/status defisit antara dua titik waktu yang

berbeda, yaitu kondisi saat ini (existing land use) diproyeksikan pada 20 tahun

yang akan datang., sehingga status keberlanjutan dapat disimpilkan menjadi :

1) tingkat keberlanjutan meningkat (KMi), 2) tingkat keberlanjutan tetap (KT),

dan 3) tingkat keberlanjutan menurun (KM) (Rustiadi et al, 2009).

Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan

cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan

penduduk terhadap lahan Selanjutnya, (Siwi, 2002 dalam Tola, 2007),

menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk daya dukung lahan pada

akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah

tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan

(43)

2.3 Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial 2.3.1 Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan

Azas ekonomi dalam pengembangan wilayah, merupakan usaha-usaha

mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang

memadai untuk mempertahankan kesinambungan dan perbaikan kondisi-kondisi

ekonomis yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah

yang lebih baik. Salah satu target utama dari pembangunan pertanian adalah

upaya peningkatan kesejahteraan petani. Unsur penting yang berpengaruh

terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani.

Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani secara

otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan

petani juga tergantung pada pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga petani

serta faktor-faktor non finansial, seperti faktor sosial budaya. (Mulyanto, 2008).

.Menurut Todaro (2000), syarat-syarat yang harus segera dipenuhi dalam

rangka merealisasikan setiap strategi pengembangan sektor-sektor pertanian dan

pembangunan daerah-daerah pedesaan yang berorientasi pada kesejahteraan

rakyar banyak adalah struktur usaha tani, pola pemilikan lahan harus disesuaikan

dengan tujuan utama yang bersisi ganda, yaitu peningkatan produksi bahan

pangan pada satu sisi, serta pemerataan segala manfaat untuk ke atau

keuntungan-keuntungan kemajuan pertanian pada sisi lain.

Selanjutnya menurut Bappenas (2010), dalam kerangka peningkatan

kesejahteraan petani, prioritas utama Kementrian Pertanian adalah upaya

meningkatkan pendapatan petani, dari rata-rata pendapatan per kapita pertanian

hanya sekitar Rp 4,69 juta per tahun. Pada tahun 2014 Kementrian Pertanian

menargetkan pendapatan perkapita tersebut meningkat menjadi 7,39 juta per

tahun. Hal ini berarti setiap tahun harus diupayakan kenaikan pendapatan 11,1

persen per tahun.

Nilai pendapatan petani dapat bersumber dari usaha pertanian dan usaha

non pertanian. Nilai pendapatan yang bersumber dari usaha pertanian akan

diperoleh dari selisih nilai penjualan komoditas usahatani yang dihasilkan dengan

(44)

oleh volume produksi yang dihasilkan serta harga jual, makin besar volume

produksi yang dihasilkan makin besar pula volume fisik yang dapat di jual.

Dharmawan (2007), mengemukakan bahwa pengertian livelihood strategy

yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia)

sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah”

belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah

bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun

kolektif. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu

ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan

tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem

nilai budaya yang berlaku.

Tulak (2009) mengutip Chambers tentang komponen sustainable

livelihood (mata pencaharian yang berkelanjutan), yaitu terdiri dari capabilities,

yaitu kemampuan untuk bertahan menghadapi tekanan (stress) dan guncangan

(shock), mampu menemukan dan memanfaatkan kesempatan dalam kehidupan

ekonomi; Equity, yaitu secara konvensional dapat diukur dari distribusi

pendapatan relatif, tetapi lebih luas menunjuk pada pemerataan distribusi asset,

kemampuan, dan kesempatan terutama bagi mereka yang tergolong miskin;

Sustanaibility, dari aspek sosial dalam konteks livelihood, keberlanjutan ditunjukkan oleh cara-cara dan kemampuan seseorang untuk memelihara dan

memperbaiki kehidupan ekonomi serta memelihara aset lokal dan global.

Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap

produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat.

Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal seperti lahan gambut,

menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Selain berpotensi

memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat lahan

gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon

dan daya simpan airnya yang sangat tinggi.

Selain upaya yang berhubungan secara lansung dengan nilai input dan

ouput pertanian, pendapatan petani juga masih memungkinkan untuk ditingkatkan melalui: 1) Pengembangan infrastruktur oleh pemerintah secara padat karya

(45)

aktivitas off-farm yang mampu meningkatkan penghasilan petani dengan basis kegiatan yang terkait usahatani, 3) Mengupayakan insentif bagi tumbuhnya

industri hulu dan hilir pertanian, 4) Mengupayakan adanya payung hukum bagi

bertumbuhnya lembaga pembiayaan pertaniaan yang tersedia di perdesaan

(Bappenas,2010).

Menurut Badan Pusat Statistik (1993), indikator kesejahteraan rakyat

dilihat dari aspek spesifik yaitu kesehatan, pendidikan, konsumsi rumahtangga

dan perumahan. Aspek pendapatan, kondisi dan fasilitas perumahan, juga rasa

aman merupakan indikator kesejahteraan. Tingkat pendapatan keluarga diukur

dari besarnya pendapatan rumahtangga per kapita dalam sebulan dibagi kedalam

tiga kategori interval yang sama dalam satuan rupiah, yakni tinggi, sedang dan

rendah.

Klasifikasi tingkat kesejahteraan untuk pedesaan di Indonesia, menurut

Sajogyo (1993), yang termasuk kategori rendah (miskin) apabila pengeluaran per

kapita per tahun kurang dari setara 320 kilogram beras, Kategori sedang (hampir

cukup) apabila pengeluaran per kapita per tahun setara dengan 320 kilogram beras

sampai 480 kilogram beras. Sedangkan untuk kategori tinggi (cukup) apabila

pengeluaran per kapita per tahun lebih dari setara 460 kilogram beras.

Sedangkan Menurut Departemen Transmigrasi (1984) dalam Tulak

(2009), Penilaian tingkat kesejahteraan program transmigrasi dapat pula

dilakukan melalui kriteria tingkat kesejahteraan ekonomi, serta melalui indikator

kesejahteraan ekonomi masyarakat, yaitu: 1) pendapatan per kapita setara dengan

500 kilogram per tahun; 2) sumber pendapatan dari usahatani setara 420 kilogram

beras.

Keluarga sejahtera adalah 1) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan

anggotanya baik sandang, pangan, perumahan, sosial, maupun agama 2) keluarga

yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan dengan jumlah anggota

keluarganya, dan 3) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota

keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk dan

terpenuhinya kebutuhan pokok (Badan Koordinasi Keluarga Nasional, 1996

(46)

2.3.2 Kondisi Ekologi

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan ogranisme hidup

(elemen biotik) dengan benda tak hidup (elemen abiotik) di lingkungan

sekitarnya. Ekologi mempelajari struktur dan fungsi dari alam, termasuk buatan

Apa yang menjadi biaya ekologi dari desa sederhana dan pembangunan pertanian,

beberapa indikator seperti : tanah, hutan, laju deforestasi, laju reforestasi, emisi

karbon, kehilangan mangrove, dan pembaharuan sumber air, semuanya

merefleksikan status degradasi lingkungan (Partap et al, 2001).

Ekologi dapat terfokus secara global dan umum, atau lokal dan sangat

spesifik, tetapi seringkali dalam unit ilmu yang lain disebut ekosistem, baik kecil

maupun besar, ekosistem memiliki karakteristik sendiri yang sangat penting bagi

perencana wilayah di tingkat lokal. Wackernagel et al (1997), menyatakan secara

persuasif bahwa kita perlu mulai berpikir dalam terminologi jejak ekologi,

dimana dideskripsikan sebagai total area ekologi produktif, lahan dan air secara

eksklusif untuk memproduksi semua sumber daya (makanan dan serat) konsumsi

dan untuk asimilasi semua sampah yang termasuk sebagai penyebab polusi,

berupa rumah tangga, masyarakat dan negara (Honachefsky, 2000).

Secara sadar ataupun tidak, pentingnya mereduksi kerusakan lingkungan

hidup yang menjadi fenomena perubahan iklim, banjir dan sebagainya telah

terbungkus dengan kepentingan-kepentingan tertentu di setiap negara. Tanpa visi

pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis

yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Itu dapat terlihat dengan

liberalisasi penyelamatan ekologi melalui mekanisme pasar. Berbagai inisiatif

global dalam kerangka penyelamatan ekologi-lingkungan hidup telah digeser

pelan-pelan ke arah pendekatan neoliberalisme. Konsepsi penanganannya,

didorong melalui pendekatan mekanisme pasar. Yang paling mengemuka saat ini,

adalah berbagai inisiatif penanganan pemanasan iklim global baik pada skema

mitigasi, adaptasi dan konsep carbon offset. Baik melalui mekanisme pertukaran

kerusakan di suatu wilayah dengan pembiayaan konservasi di wilayah lainnya.

Ataupun melalui mekanisme carbon trade atau perdagangan karbon.

Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change)

Gambar

Gambar 1  Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut
Tabel 4  Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin
Gambar 2  Bagan alur pemikiran dalam penelitian.
Tabel 5  Matriks Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudara, perihal Pekerjaan Pengawasan Pembangunan Jalan Trans Provinsi Menuju Pemukiman Baru Desa Patal

Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani di Kota Magelang tahun 2012 sebesar 65,71 % dari jumlah perkiraan 20 % kasus komplikasi kebidanan yang terjadi (425 kasus)

Secara etimologi, dapat disimpulkan bahwa politik kriminal merupakan usaha yang ditempuh terkait penyelenggaraan pemerintahan dan negara, dengan merumuskan dan melaksanakan

195 ANALISIS PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, KECUKUPAN MODAL, KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (KAP), DAN LIKUIDITAS TERHADAP KINERJA KEUANGAN (Studi Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia

Menurut Samuelson (2003:37) modal adalah satu dari tiga faktor produksi utama, dua lainya yaitu tanah dan tenaga kerja yang sering disebut sebagai faktor produksi primer, yang

Surat Pendaftaran Objek Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat SPdORD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Retribusi untuk melaporkan data Objek Retribusi dan

Dalam kasus sengketa dagang Indonesia-AS terkait ekspor udang, maka dapat dikatakan bahwa teori keunggulan komparatif menjadikan Indonesia sebagai negara yang

Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang terdiri dari 17 orang kelompok kontrol yang tidak bermain video game apapun selama