LAMPIRAN 1
Kerangka Teori
Analisis Wajah
Fotometri Sefalometri
Frontal Lateral Frontal Lateral
LAMPIRAN 2
Kerangka Konsep
Variabel Bebas:
Konveksitas skeletal secara sefalometri lateral berdasarkan analisis Holdaway (A-N-Pog)
Variabel Tergantung: Konveksitas jaringan lunak wajah secara sefalometri lateral berdasarkan analisis Holdaway (sudut N’-Pog’-Ls)
Variabel Terkendali:
Mahasiswa suku Proto Melayu
Usia ≥18 tahun
Belum pernah mendapat perawatan ortodonti
LAMPIRAN 3
Hasil Uji Intraoperator
No
Konveksitas Skeletal Konveksitas Jaringan Lunak Pengukuran
I
Pengukuran II
Selisih Pengukuran I
Pengukuran II
Selisih
1 0 mm 0,5 mm -0,5 17o 16o 1
2 6 mm 6,5 mm -0,5 10o 10o 0
3 3 mm 3 mm 0 14o 15o -1
4 6,5 mm 6 mm 0,5 7,5o 8o -0,5
5 0,5 mm 0,5 mm 0 17o 16,5o 0,5
LAMPIRAN 4
Hasil Pengukuran Konveksitas Skeletal dan Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
No Sampel Konveksitas Skeletal
22 Sampel 22 -2,5 mm 10,5o
23 Sampel 23 3,5 mm 14o
24 Sampel 24 2,5 mm 12o
25 Sampel 25 7 mm 16o
26 Sampel 26 3 mm 14o
27 Sampel 27 4 mm 11o
28 Sampel 28 1 mm 13o
29 Sampel 29 6,5 mm 18o
30 Sampel 30 1 mm 12o
31 Sampel 31 1 mm 15o
32 Sampel 32 4,5 mm 17o
33 Sampel 33 3 mm 15o
34 Sampel 34 4,5 mm 17o
35 Sampel 35 5 mm 17o
36 Sampel 36 2 mm 15o
37 Sampel 37 6 mm 17o
38 Sampel 38 4,5 mm 16o
39 Sampel 39 6 mm 17o
40 Sampel 40 8,5 mm 23o
LAMPIRAN 5
Hasil Pengukuran Konveksitas Skeletal dan Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Laki-laki
No Sampel Konveksitas Skeletal
Perempuan
No Sampel Konveksitas Skeletal
LAMPIRAN 6
Hasil Uji Statistik Kolmogorov-Smirnov Terhadap Nilai Konveksitas Skeletal dan Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Suku Proto Melayu
FKG dan FT USU
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Konveksitas Skeletal
Konveksitas Jaringan Lunak
N 40 40
Normal Parametersa,b Mean 3.2625 14.9750
Std. Deviation 2.85771 3.51362
Most Extreme Differences Absolute .106 .168
Positive .070 .101
Negative -.106 -.168
Kolmogorov-Smirnov Z .670 1.061
Asymp. Sig. (2-tailed) .760 .210
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Konveksitas Skeletal 40 -2.50 8.50 3.2625 2.85771
LAMPIRAN 7
Hasil Uji-T Terhadap Nilai Konveksitas Skeletal pada Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Group Statistics
Jenis kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Konveksitas Skeletal dim
ens
ion
1
laki-laki 20 2.6750 3.06197 .68468
Perempuan 20 3.8500 2.58080 .57708
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Konveksitas Skeletal Equal variances assumed 1.525 .225 -1.312 38 .197 -1.17500 .89544 -2.98772 .63772
Equal variances not assumed
LAMPIRAN 8
Hasil Uji-T Terhadap Nilai Konveksitas Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
LAMPIRAN 9
Hasil Uji Statistik Pearson Terhadap Korelasi Nilai Konveksitas Skeletal dan Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Suku Proto Melayu
FKG dan FT USU
Correlations
Konveksitas Skeletal
Konveksitas Jaringan Lunak
Konveksitas Skeletal Pearson Correlation 1 .748**
Sig. (2-tailed) .000
N 40 40
Konveksitas Jaringan Lunak Pearson Correlation .748** 1 Sig. (2-tailed) .000
N 40 40
LAMPIRAN 10
Hasil Uji Statistik Pearson Terhadap Korelasi Nilai Konveksitas Skeletal dan Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan
Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Laki-laki
Konveksitas Skeletal Pearson Correlation 1 .701**
Sig. (2-tailed) .001
N 20 20
Konveksitas Jaringan Lunak Pearson Correlation .701** 1
Sig. (2-tailed) .001
N 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Perempuan
Konveksitas Skeletal Pearson Correlation 1 .814**
Sig. (2-tailed) .000
N 20 20
Konveksitas Jaringan Lunak Pearson Correlation .814** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 20 20
DAFTAR PUSTAKA
1. Bhalajhi SI. Orthodontics: the art and science. 1st ed. New Delhi: Arya
Publishing House, 1998: 1-2,15,151-2.
2. Sahin AM, Umit G. Analysis of Holdaway soft tissue measurements in children
between 9 and 12 years of age. European Journal of Orthodontics 2001; 23:
287-94.
3. Sarver DM, Ackerman JL. Orthodontics about face : the re‐emergence of the esthetic paradigm. Am J Orthod Dentofac Orthop. 2000; 65: 575‐6.
4. Hashim HA, Albarakati SF. Cephalometric soft tissue profile analysis between
two different ethic groups: a comparative study. Journal of Contemporary Dental
Practice. 2003; 4(2).
5. Arnett GW, Bergman RT. Facial keys to orthodontic diagnosis and treatment
planning--part I. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 1993; 103: 299-312.
6. Sahar FA, Naif AB. Holdaway soft tissue cephalometric standards for Saudi
adults. King Saud University Journal of Dental Sciences 2012; 3: 27-32.
7. Hamdan AH. Soft tissue morphology of Jordanian adolescents. Angle Orthod
2010; 80, 1: 80-3.
8. Gupta A, Anand N, Garg J, Anand R. Determination of Holdaway soft tissue
norms for the North Indian population based on panel perception of facial
esthetics. Jornal of pierre fauchard academy. 2013; 27: 18-22.
9. Abdulqadir MY, Aldawoody AD, Agha NF. Evaluation of Holdaway soft tissue
analysis for Iraqi adults with class I normal occlusion. Al–Rafidain Dent J. 2008;
8(2): 231-7.
10. Peck H, Sheldon P. A concept of facial esthetics. Angle Orthodontics 1970; 40:
284,305,317-8.
11. Jacobson A, Vlachos C. Soft tissue evaluation. In: Patricia BW, ed. Radiographic
12. Taki AA, Abuhijleh E, Shafei LA. Soft tissue profile values in Palestinian adults.
Smile Dental Journal. 2013; 8: 26-9.
13. Mehta P, Tikku T, Khanna R, Maurya RP. Holdaway’s soft tissue cephalometric
norms for the population of Lucknow, India. Journal of Oral Health Research.
2010; 1: 153-9.
14. Susanti R. Indeks perubahan jaringan lunak profil fasial lateral pasca perawatan
ortodontik. Disertasi. Jakarta: Program Doktor Ilmu Kedokteran Gigi FKG UI,
2009: 1-5.
15. Kamak H, Celikoglu M. Facial soft tissue thickness among skeletal
malocclusions. The Korean Association of Orthodontists. 2012; 42(1): 23-31.
16. Perabuwijaya B. Analisa konveksitas wajah jaringan lunak secara sefalometri
lateral pada mahasiswa Deutro Melayu FKG USU usia 20-25 Tahun. Skripsi.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007.
17. Susilowati. Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan
jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar. Dentofasial 2009; 8:125-30.
18. Anonymous. Demografi Indonesia. ( 19 Juni 2013).
http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi_Indonesia. (19 Juli 2013).
19. Rio RO. Analisa wajah suku Batak. Tesis. Medan : Bagian Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher FK USU, 2008: 6-24.
20. Susanto FA. Analisa hubungan kranio-dento-fasial kelompok etnik Proto Melayu
usia 12-19 tahun di Medan pada tahun 1989 secara sefalometri radiografi.
Majalah Ortodonti Indonesia 1993; 4: 58-78.
21. Rakosi, Jonas I, Graber TM. Orthodontics diagnosis. New York: Thieme Medical
Publisher Inc., 1993 :110-13, 173-80.
22. Samawi S. A short guide to clinical digital photography in orthodontics. Jordan:
Sdoc. 2008: 12-6.
23. Bryan M. Facial proportion & analysis. 3 Feb 2010.
<http://www.jawaugmentation.com/facial_formula.html> (19 Juli 2013).
25. Anonymous. Ideal beauty: facial analysis & symmetry: section 1. 4 Agustus 2011.
< http://www.yestheyrefake.net/ideal_beauty.htm> (19 Juli 2013).
26. Prendergast PM. Facial proportions. Dundrum Office Park, Dundrum, Dublin 14,
Ireland. 2012. 15-22.
27. Taki AA, Oguz A, Abuhijleh E. Facial soft tissue values in Persian adults with
normal occlusion and well-balanced faces. Angle Orthodontist. 2009. 79 (3).
491-4.
28. Hwang, HS. Ethnic differences in the soft tissue profile of Korean and European
American adults with normal occlusions and well-balanced faces. Angle
Orthodontist. 2002; 72:72-3.
29. Šidlauskas A.,Laura Žilinskaitė, Vilma Švalkauskienė. Mandibular pubertal
growth spurt prediction. part one: method based on the hand-wrist radiographs.
Baltic Dental and Maxillofacial Journal 2005; 7:16-20.
30. Jacobson RL. Ricketts analysis. In: Patricia BW, ed. Radiographic Cephalometry.
Hong Kong: Quintessence Publishing Co, Inc, 2006 : 79-83.
31. Jacobson A. Steiner analysis. In: Patricia BW, ed. Radiographic Cephalometry.
Hong Kong: Quintessence Publishing Co, Inc, 2006 : 71-7.
32. Kusnoto H. Studi morfologik pertumbuhan kranio-fasial orang Indonesia
kelompok etnik Deutro Melayu, umur 6-15 tahun di Jakarta, dengan metode
sefalometri radiografi. Disertasi. Bandung: Universitas Padjajaran, 1988.
33. Koesoemahardja HD. Pola pertumbuhan jaringan lunak kraniofasial serta
kaitannya dengan pola pertumbuhan jaringan keras kraniofasial dan pertumbuhan
umum. Majalah Ortodonti Indonesia. 1993; Oktober: 1-23.
34. Sijabat DN. Hubungan konveksitas skeletal dengan konveksitas jaringan lunak
wajah pada pasien usia remaja suku Batak yang dirawat di klinik ortodonti FKG
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan
cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konveksitas
skeletal dengan konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu
FKG dan FT USU, serta untuk memperoleh nilai rerata konveksitas skeletal dan
jaringan lunak suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Ortodonti Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara yang bertempat di Jl. Alumni No.2 Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013 – April 2014.
3.3 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU yang berusia ≥ 18 tahun.
3.4 Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan metode
purposive sampling yang berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel berupa
foto sefalometri lateral yang merupakan data sekunder dari penelitian Hanes tahun
2012. Sampel tersebut diambil dari mahasiswa suku Proto Melayu Fakultas
Kedokteran Gigi dan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah
3.4.1 Besar Sampel
Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan rumus:
[
[ ] ]
Keterangan:
n = Jumlah sampel minimum
= Confidence Level, untuk α = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96
= Confidence Level, untuk β = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282
= Korelasi konveksitas skeletal dengan konveksitas jaringan lunak = 0,575 (penelitian terdahulu)
sehingga,
[
[ ]]
n = 28,18 → 29 orang
Jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah 29.
Jumlah sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah 40 sampel (20 sampel
wanita dan 20 sampel pria).
3.4.2 Kriteria Inklusi
Pasien belum pernah mendapat perawatan ortodonti
Pasien yang berusia ≥ 18 tahun
Semua gigi permanen lengkap (kecuali molar tiga)
Posisi bibir pada gambaran radiografi sefalometri rileks
Tidak ada cacat di kepala dan wajah yang dapat mempengaruhi hasil sefalogram
Mahasiswa suku Proto Melayu Universitas Sumatera Utara ( 2 keturunan diatas)
3.4.3 Kriteria Eksklusi
Sefalogram yang tidak jelas atau kabur
Adanya gigi fraktur atau atrisi
Adanya maloklusi
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional 3.5.1 Variabel Bebas
Konveksitas skeletal secara sefalometri lateral berdasarkan analisis Holdaway (A-N-Pog).
3.5.2 Variabel Tergantung
Konveksitas jaringan lunak wajah secara sefalometri lateral berdasarkan analisis Holdaway (perpotongan garis-H {garis dari Pog’- Ls dengan garis dari N’- Pog’})
3.5.3 Variabel Terkendali Mahasiswa suku Proto Melayu
Usia ≥18 tahun
Belum pernah mendapat perawatan ortodonti
Jenis dan alat yang digunakan
3.5.4 Defenisi Operasional
a. Titik A adalah titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan
b. Nasion skeletal (N) adalah titik perpotongan sutura frontonasalis.
c. Pogonion (Pog) adalah titik paling anterior dari tulang dagu.
d. Nasion kulit (N’) adalah titik paling cekung pada kulit di pertengahan dahi
dan hidung.
e. Pogonion kulit (Pog’) adalah titik paling anterior dari jaringan lunak dagu.
f. Labial superior (Ls) adalah titik perbatasan mukokutaneous dari bibir
atas.
g. Konveksitas skeletal adalah jarak dari titik A tegak lurus terhadap garis
yang ditarik dari titik Nasion ke titik Pogonion.
h. Skeletal normal adalah jarak dari titik A ke garis Nasion-Pogonion -3 mm
sampai +4 mm.
i. Skeletal cembung adalah jarak dari titik A ke garis Nasion-Pogonion lebih
besar dari +4 mm.
j. Skeletal cekung adalah jarak dari titik A ke garis Nasion-Pogonion lebih
kecil dari -3 mm.
k. Konveksitas jaringan lunak wajah adalah sudut yang dibentuk oleh
perpotongan garis-H (garis dari titik Pogonion kulit ke titik Labial superior) dengan
garis yang ditarik dari titik Nasion kulit ke titik Pogonion kulit.
l. Jaringan lunak normal adalah sudut-H sebesar 7o sampai 15o. m. Jaringan lunak cembung adalah sudut-H yang lebih besar dari 15o. n. Jaringan lunak cekung adalah sudut H yang lebih kecil dari 7o.
o. Oklusi normal adalah oklusi dengan hubungan tonjol mesiobukal molar
pertama permanen rahang atas berada pada groove bukal molar permanen rahang
bawah.
p. Usia adalah satuan waktu umur seseorang yang dihitung dari tahun lahir
sampai waktu dilakukan pengambilan foto sefalometri lateral.
q. Suku Proto Melayu adalah penduduk Indonesia yang terdiri dari suku
3.6 Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat Penelitian
a. Tracing box
b. Pensil 4H
c. Pensil mekanik
d. Pulpen
e. Penghapus
f. Busur
g. Penggaris
h. Kalkulator
Gambar 17. Alat-alat penelitian : (a) Pensil mekanik (b) Pensil
(c) Pulpen (d) Busur (e) Kalkulator (f) Penggaris
3.6.2 Bahan Penelitian
a. Sefalogram lateral (8x10 inci)
b. Kertas asetat (8x10 inci; tebal 0,003 inci)
c. Lem perekat
Gambar 19. (a) Kertas asetat (b) Lem perekat
3.7 Metode Pengumpulan Data
a. Pengumpulan foto sefalometri lateral diperoleh dari penelitian sebelumnya
di Departemen Ortodonsia Universitas Sumatera Utara yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
b. Sefalogram di-tracing dengan kertas asetat dan pensil 4H di atas
pencahayaan tracing box. Pengukuran konveksitas skeletal dan konveksitas jaringan
lunak dilakukan dengan menggunakan metode Holdaway.
c. Penentuan titik–titik referensi pada foto sefalometri lateral, yaitu titik A,
Nasion (N) dan Pogonion (Pog) untuk pengukuran konveksitas skeletal. Titik Nasion
kulit (N’), Pogonion kulit (Pog’) dan Labial superior (Ls) untuk pengukuran
konveksitas jaringan lunak.
d. Titik N dan Pog dihubungkan, kemudian titik A diproyeksikan tegak lurus
terhadap garis N-Pog. Konveksitas skeletal adalah jarak titik A terhadap garis N-Pog
dalam satuan millimeter (mm) yang diukur dengan menggunakan penggaris
(Gambar 20).
f. Sebelum melakukan pengukuran, peneliti melakukan uji intraoperator
untuk mengetahui ketelitian peneliti dalam melakukan pengukuran. Hal ini
disebabkan karena setiap pengulangan pengukuran belum tentu mendapatkan hasil
yang sama dengan pengukuran pertama. Uji intraoperator dilakukan dengan
mengambil masing-masing 5 sampel secara acak dari pengukuran pertama dan
pengukuran kedua kemudian dicari standar deviasi dari selisih kedua pengukuran
tersebut. Jika standar deviasi yang didapat menunjukkan angka antara 0-1 berarti
ketelitian pada pengukuran tersebut masih dapat diterima dan operator layak untuk
melakukan penelitian.
g. Hasil uji operator menunjukkan penyimpangan pengukuran tidak terdapat
perbedaan yang bermakna yakni 0,1147 untuk konveksitas skeletal dan 0,4014 untuk
konveksitas jaringan lunak, maka operator layak melakukan pengukuran tersebut.
h. Dalam satu hari, pengukuran sefalometri dilakukan pada 5 (lima)
sefalogram untuk menghindari kelelahan mata peneliti sehingga data yang diperoleh
lebih akurat.
g. Hasil pengukuran yang diperoleh dicatat, diolah dan dianalisis datanya.
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer. Analisis
data yang digunakan adalah analisis Pearson yang merupakan korelasi antara sudut
konveksitas skeletal dengan sudut konveksitas jaringan lunak wajah.
a. Dihitung rerata konveksitas skeletal (A-N-Pog)
b. Dihitung rerata konveksitas jaringan lunak (N’-Pog’-Ls)
c. Dianalisa perbedaan rerata konveksitas skeletal antara laki-laki dan
perempuan.
d. Dianalisa perbedaan rerata konveksitas jaringan lunak antara laki-laki dan
perempuan.
e. Dianalisa hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak.
f. Dianalisa hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Sampel penelitian berjumlah 40 orang yang terdiri dari 20 orang laki-laki dan
20 orang perempuan yang merupakan mahasiswa suku Proto Melayu Fakultas
Kedokteran Gigi dan Fakutas Teknik Universitas Sumatera Utara yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan (metode purposive sampling). Penelitian ini dilakukan
dengan tujuan mengetahui rerata konveksitas skeletal, rerata konveksitas jaringan
lunak wajah, mengetahui perbedaan rerata konveksitas skeletal dan jaringan lunak
wajah antara laki-laki dan perempuan serta untuk mengetahui hubungan konveksitas
skeletal dengan jaringan lunak wajah. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan
pada sefalogram, selanjutnya dilakukan uji statistik pada data-data hasil pengukuran.
4.1 Rerata Nilai Konveksitas Skeletal Mahasiswa Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Hasil pengukuran terhadap konveksitas skeletal (A-N-Pog) diperoleh nilai
terendah -2,5 mm dan nilai tertinggi 8,5 mm. Nilai rerata konveksitas skeletal pada
mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata nilai konveksitas skeletal pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU
N Rerata Standar Deviasi p
Konveksitas Skeletal 40 3,26 mm 2,86 0,760
Tabel 1 yang merupakan hasil pengukuran terhadap konveksitas skeletal
diperoleh nilai rerata 3,26 mm. Pengukuran pada 40 sampel penelitian yang telah
4.2 Perbedaan Rerata Konveksitas Skeletal antara Laki-laki dan Perempuan
Tabel 2. Perbedaan rerata konveksitas skeletal mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa
perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU lebih besar daripada rerata
konveksitas skeletal pada mahasiswa laki-laki. Namun, perbedaan ini secara statistik
tidak bermakna secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (p) yaitu
0,197 dimana (p>0,05). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa laki-laki
dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
4.3 Rerata Nilai Konveksitas Jaringan Lunak Wajah Mahasiswa Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Hasil pengukuran terhadap sudut konveksitas jaringan lunak wajah (N’-Pog’ -Ls) diperoleh nilai terendah 7,5o dan nilai tertinggi 23o. Nilai rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU ini dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rerata nilai konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU
N Rerata Standar Deviasi p
Tabel 3 yang merupakan hasil pengukuran terhadap konveksitas jaringan
lunak diperoleh nilai rerata 14,97o. Pengukuran pada 40 sampel penelitian yang telah ditetapkan memiliki distribusi normal dimana (p > 0,05).
4.4 Perbedaan Rerata Konveksitas Jaringan Lunak Wajah antara Laki laki dan Perempuan
Tabel 4. Perbedaan rerata konveksitas jaringan lunak wajah mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Jenis kelamin N Rerata Standar Deviasi p
Tabel 4 menunjukkan bahwa rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada
mahasiswa perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU lebih besar daripada
rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki. Namun, perbedaan
ini secara statistik tidak bermakna secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai
signifikansi (p) yaitu 0,425 (p>0,05). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata konveksitas jaringan lunak
wajah pada mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT
USU.
4.5 Hubungan Konveksitas Skeletal dengan Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada
mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU diuji makna korelasi signifikan
pada taraf uji p ≤ 0,01 (Sig. 2-tailed) dengan menggunakan Pearson Correlation (r)
Tabel 5. Analisis Pearson konveksitas skeletal dan jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Konveksitas Skeletal
Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil uji statistik untuk hubungan konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada taraf uji p ≤ 0,01 memiliki nilai signifikansi (p) yang bermakna yaitu sebesar 0,000 dengan nilai kekuatan uji korelasi
Pearson sebesar 0,748 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat (r = 0,748) antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada
mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
4.6 Hubungan Konveksitas Skeletal dengan Jaringan Lunak Wajah pada Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan
Tabel 6. Analisis Pearson konveksitas skeletal dan jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU
Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil uji korelasi Pearson antara konveksitas
skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki suku Proto Melayu
FKG dan FT USU adalah sebesar 0,701 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat (r = 0,701) antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa laki-laki suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
Hasil uji korelasi Pearson antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU adalah
sebesar 0,814 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat
(r = 0,814) antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa
BAB 5 PEMBAHASAN
Perawatan ortodonti dapat memberikan perubahan bentuk wajah, oleh karena
itu perubahan tersebut seharusnya telah diantisipasi dan diperkirakan sejak awal
dalam membentuk sebuah rencana perawatan yang komprehensif. Jaringan lunak
mempunyai peranan yang besar dalam keseluruhan estetika wajah seorang individu.2 Para ortodontis telah menyadari bahwa jaringan keras dan lunak harus
dipertimbangkan dalam membangun estetika wajah yang harmonis dan oklusi yang
fungsional.2,5-9 Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai rerata konveksitas skeletal, nilai rerata konveksitas jaringan lunak wajah, mengetahui perbedaan rerata
konveksitas skeletal dan jaringan lunak wajah antara laki-laki dan perempuan. Selain
itu juga akan dilihat adanya hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan
lunak wajah sehingga diketahui korelasi antar kedua variabel tersebut pada
mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
Analisa wajah dimulai dengan memeriksa faktor individu, yaitu usia, jenis
kelamin dan ras (etnis).19 Menurut Holdaway, konveksitas skeletal diukur berdasarkan jarak dari titik A ke garis Nasion-Pogonion skeletal (N-Pog).
Konveksitas skeletal wajah ras Kaukasoid yang ideal jika jarak antara garis N-Pog ke
titik A -3 mm sampai +4 mm.11 Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata nilai konveksitas
skeletal pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU adalah
sebesar 3,26 mm dan memiliki distribusi normal dimana nilai signifikansi
sebesar 0,760 (p> 0,05).
Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa
perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU sebesar 3,85 mm sedangkan rerata
konveksitas skeletal pada mahasiswa laki-laki sebesar 2,67 mm. Namun, perbedaan
ini secara statistik tidak bermakna secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai
signifikansi (p) yaitu 0,197 yang mana (p>0,05). Dari hasil tersebut dapat
skeletal pada mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT
USU.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Susilowati (2009) pada suku
Bugis dan Makassar yang mendapatkan hasil bahwa rerata derajat konveksitas
jaringan keras pada laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang
bermakna.17 Begitu pula halnya dengan Kusnoto (1988) dalam penelitiannya terhadap anak-anak usia 6-15 tahun menyatakan norma ukuran sefalometri suatu kelompok
etnik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Penelitiannya tidak ditemukan
perbedaan yang bermakna antara hasil yang diperoleh antar jenis kelamin.32
Analisis konveksitas jaringan lunak Holdaway tidak menggunakan tinggi
hidung sebagai titik penentu dalam analisisnya.2,6,26 Hidung bangsa Indonesia yang memiliki rerata lebih rendah daripada ras Kaukasoid menjadi alasan analisis jaringan
lunak oleh Holdaway sesuai digunakan dalam penelitian ini.
Holdaway menggunakan garis-H untuk analisis keseimbangan dan
keharmonisan profil jaringan lunak yang diperoleh dengan menarik garis dari titik
pogonion kulit (Pog’) ke titik labial superior (Ls). Garis-H ini berhubungan erat
dengan besar sudut-H. Yang dimaksud dengan sudut-H adalah sebuah sudut yang
dibentuk oleh perpotongan garis-H dengan garis N’-Pog’. Sudut-H yang digunakan
dalam penentuan konveksitas jaringan lunak adalah cembung, lurus, atau cekung.
Besar sudut-H yang harmonis dan seimbang pada ras Kaukasoid berkisar 7o– 15o.11 Tabel 3 yang merupakan hasil pengukuran terhadap konveksitas jaringan
lunak diperoleh nilai rerata 14,97o. Pengukuran pada 40 sampel penelitian memiliki distribusi normal dimana nilai signifikansi sebesar 0,210 (p>0,05).
Tabel 4 menunjukkan bahwa rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada
mahasiswa perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU sebesar 15,42o sedangkan rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki
sebesar 14,52o. Namun, perbedaan ini secara statistik tidak bermakna secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi (p) yaitu 0,425 (p>0,05). Dari
antara rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki dan
perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Perabuwijaya (2007) terhadap 42
orang dengan usia 20-25 tahun pada mahasiswa FKG USU ras Deutro Melayu
memperoleh rerata konveksitas jaringan lunak pada laki-laki (mean = 17o) dan perempuan (mean = 16,53o) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua jenis kelamin tersebut.16
Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil uji statistik untuk hubungan konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada taraf uji p ≤ 0,01 memiliki nilai signifikansi (p) yang bermakna yaitu sebesar 0,000 dengan nilai kekuatan uji korelasi
Pearson sebesar 0,748 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat (r = 0,748) antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada
mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil uji korelasi Pearson antara konveksitas
skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki suku Proto Melayu
FKG dan FT USU adalah sebesar 0,701 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat (r = 0,701) antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa laki-laki suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
Hasil uji korelasi Pearson antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa perempuan adalah sebesar 0,814 sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat (r = 0,814) antara konveksitas skeletal
dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa perempuan suku Proto Melayu FKG
dan FT USU.
Korelasinya positif berarti perubahan kedua variabel menunjukkan arah yang
sama. Semakin besar nilai konveksitas skeletal maka akan semakin besar nilai
konveksitas jaringan lunak mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Susilowati (2009) pada suku
Bugis dan Makassar yang menyatakan adanya korelasi antara derajat konveksitas
jaringan keras dengan jaringan lunak wajah baik pada laki-laki dan perempuan.
probabilitas 0,002 (p<0,05) sedangkan pada perempuan sebesar +0,586 dengan
probabilitas 0,001 (p<0,05) menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara
kedua variabel tersebut.17
Penelitian Koesoemahardja (1993) tentang pola pertumbuhan jaringan lunak
kraniofasial serta kaitannya dengan pola pertumbuhan jaringan keras kraniofasial dan
pertumbuhan umum pada anak usia 6-18 tahun menyatakan bahwa tidak semua
jaringan lunak fasial pertumbuhannya berkorelasi dengan jaringan kerasnya, tetapi
ada yang tumbuh mandiri. Hasil penelitian tersebut kurang bisa diperbandingkan
dengan penelitian ini karena sampel penelitian tersebut masih bercampur antara
rentang usia anak-anak dan dewasa.33
Penelitian Sijabat (2011) tentang hubungan konveksitas skeletal dengan
konveksitas jaringan lunak wajah pada pasien usia remaja suku Batak yang dirawat di
klinik ortodonti FKG USU juga mendapatkan hasil adanya hubungan konveksitas
skeletal dengan jaringan lunak pada kelompok kelas I Angle dengan kekuatan
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan
FT USU adalah sebesar 3,26 mm.
2. Rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto
Melayu FKG dan FT USU adalah sebesar 14,97o.
3. Konveksitas skeletal dan jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki
dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU tidak berbeda secara
signifikan.
4. Terdapat hubungan yang kuat (r = 0,748) antara konveksitas skeletal
dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
5. Terdapat hubungan yang kuat (r = 0,701) antara konveksitas skeletal
dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa laki-laki suku Proto Melayu FKG dan
FT USU dan terdapat hubungan yang sangat kuat (r = 0,814) antara konveksitas
skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa perempuan suku Proto Melayu
FKG dan FT USU.
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih banyak agar didapatkan hasil penelitian dengan validitas yang lebih tinggi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap tiap-tiap suku di Indonesia
karena Indonesia terdiri dari berbagai suku.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada saat ini perawatan ortodonti tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan
relasi rahang saja tetapi juga pada estetika wajah.1,4 Pemeriksaan wajah merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan untuk menghindari potensi penurunan
proporsi wajah dan untuk meningkatkan diagnosis, rencana perawatan dan kualitas
hasil yang diperoleh. Pasien diperiksa dalam posisi kepala yang alami, hubungan
rahang posisi relasi sentris, dan postur bibir yang rileks untuk mendapatkan ciri-ciri
skeletal wajah yang jelas.5
Para seniman dan ahli kesehatan sampai saat ini terus berusaha untuk
mendefinisikan proporsi wajah yang ideal. Mereka mengakui keindahan, namun
masih sulit menentukan standar yang objektif. Dengan munculnya radiografi
sefalometri, berbagai analisis dapat dikembangkan dalam upaya untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitatif estetika profil wajah.3,5 Terdapat dua metode pengukuran yang
dapat digunakan untuk menganalisis wajah yaitu fotometri dan sefalometri.10,19
2.1 Fotometri
Bidang ilmu kedokteran gigi khususnya ortodonti, banyak menggunakan
metode fotometri untuk mengevaluasi konfigurasi fasial, baik dalam arah frontal
maupun lateral.20,21 Penggunaan fotometri dapat menganalisis proporsi wajah, simetri wajah, konveksitas jaringan lunak wajah, serta bentuk wajah.11
Fotometri merupakan salah satu metode penting yang digunakan untuk
menegakkan diagnosis, rencana perawatan serta untuk dokumentasi. Manfaat
fotografi di bidang ortodonti yaitu sebagai media untuk memonitor perkembangan
2.1.1 Fotometri Frontal
Fotometri frontal digunakan untuk menganalisis proporsi dan simetri wajah
terhadap bidang vertikal dan horizontal serta menentukan morfologi tipe wajah.23 Proporsi wajah secara frontal dapat dianalisis dengan menggunakan bidang vertikal
dan horizontal. Penggunaan bidang horizontal, wajah dapat dibagi menjadi tiga
bagian, bagian atas dari batas garis rambut (trichion) ke titik glabella, bagian tengah
dari titik glabella ke titik subnasal dan bagian bawah dari titik subnasal ke titik
menton. Untuk mengevaluasi lebar dari wajah dapat dilakukan dengan cara membagi
wajah menjadi lima bagian yang sama secara vertikal (Gambar 1).23
Simetri wajah dapat dianalisis dengan cara membagi wajah menjadi dua
bagian yang sama dengan menggunakan garis simetri wajah yang melalui titik
glabella, puncak hidung (pronasale), titik tengah bibir atas (labrale superius) dan
titik tengah dagu (gnathion) (Gambar 2).11
(a) (b)
Gambar 2. Garis Simetri Wajah23
Bentuk wajah dapat dievaluasi berdasarkan indeks morfologi wajah yaitu
facial index, upper facial index, lower facial index dan chin index. Bentuk morfologi
wajah terdiri dari beberapa jenis yaitu brachicephali/euryprosopic,
mesocephali/mesoprosopic, dan dolichocephali/leptoprosopic (Gambar 3).21,22
2.1.2 Fotometri Lateral
Fotometri lateral dalam bidang ortodonti digunakan untuk menganalisis profil
wajah (konveksitas), proporsi wajah serta analisis hidung.21 Analisis konveksitas wajah pada metode fotometri ini menggunakan dua garis penuntun, yaitu garis yang
menghubungkan antara dahi dengan perbatasan septum nasal dengan bibir atas
(Subnasale) dan garis yang menghubungkan antara dagu (Pogonion) dengan
perbatasan septum nasal dengan bibir atas (Subnasale) (Gambar 4).21,24
Proporsi wajah secara lateral dapat dianalisis menjadi tiga bagian, yaitu
sepertiga atas (trichion - glabella), sepertiga tengah (glabella - subnasal) dan
sepertiga bawah (subnasal – menton) (gambar 5).23,25
Gambar 4. Konveksitas wajah dengan metode fotometri24
Analisis hidung secara sefalometri lateral dapat dilakukan dengan
menggunakan sudut nasofrontal dan sudut nasofacial. Sudut nasofrontal digunakan
untuk menganalisis hubungan hidung dan dahi (sekitar 120o) sedangkan sudut
nasofacial digunakan untuk mengevaluasi derajat proyeksi hidung secara tidak
langsung (sekitar 36o) (Gambar 6).19,25
(a) (b)
Gambar 6. Analisis hidung secara fotometri lateral. (a) Sudut nasofrontal (b) Sudut
nasofacial.25
Fotometri tidak dapat digunakan untuk melihat hubungan antara gigi-gigi,
tulang rahang dan struktur kraniofasial lainnya. Berdasarkan pengetahuan
antropometrik dan gnatostatik, maka para ahli antropologi menemukan suatu alat
yang dapat digunakan untuk mempelajari hubungan gigi-gigi dan struktur tulang
muka secara ekstrakranial dan intrakranial yang disebut sefalometri radiografi.14
2.2 Sefalometri
Radiografi sefalometri merupakan sarana penting dalam bidang kedokteran
gigi. Radiografi sefalometri ini merupakan sarana penunjang dalam mendiagnosis,
menentukan rencana perawatan, menganalisis kelainan kraniofasial serta
Sefalometri dapat menghasilkan pengukuran-pengukuran yang bersifat
kuantitatif terhadap bagian-bagian tertentu dari kepala untuk mendapatkan informasi
tentang pola kraniofasial. Analisis pada radiografi sefalometri dilakukan dengan cara
menetapkan lokasi titik-titik referensi pada bagian-bagian skeletal dan jaringan lunak
kraniofasial yang akan menghasilkan garis, bidang dan sudut.21
Menurut analisisnya, sefalometri terbagi menjadi dua tipe yaitu (Gambar 7):1 a. Sefalogram frontal adalah gambaran frontal atau anteroposterior dari tengkorak
kepala (Gambar 7a).
b. Sefalogram lateral adalah gambaran lateral dari tengkorak kepala (Gambar 7b).
Sefalogram lateral dapat digunakan untuk menganalisis profil jaringan lunak
aspek lateral, yaitu analisis profil jaringan lunak wajah.
(a) (b)
Gambar 7. Sefalogram (a) frontal, (b) lateral11
Dengan membandingkan sefalogram-sefalogram yang diambil dalam interval
waktu yang berbeda, untuk mengetahui arah pertumbuhan dan perkembangan
kraniofasial.
2. Diagnosis atau analisis kelainan kraniofasial.
Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab maloklusi (seperti ketidakseimbangan
struktur tulang muka).
3. Mempelajari tipe fasial.
Relasi rahang dan posisi gigi-gigi berhubungan erat dengan tipe fasial.
Ada 2 hal penting yaitu : posisi maksila dalam arah antero-posterior terhadap
kranium dan relasi mandibula terhadap maksila, sehingga akan mempengaruhi
bentuk profil : cembung, lurus atau cekung.
4. Merencanakan perawatan ortodonti.
Analisis dan diagnosis yang didasarkan pada perhitungan-perhitungan
sefalometrik dapat diprakirakan hasil perawatan ortodontik yang dilakukan.
5. Evaluasi kasus-kasus yang telah dirawat.
Dengan membandingkan sefalogram yang diambil sebelum, sewaktu dan sesudah
perawatan ortodonti.
6. Analisis fungsional.
Fungsi gerakan mandibula dapat diketahui dengan membandingkan posisi
kondilus pada sefalogram yang dibuat pada waktu mulut terbuka dan posisi
istirahat.
7. Sebagai sarana untuk penelitian.
2.3 Analisis Jaringan Keras dan Jaringan Lunak dengan Sefalogram Lateral
Analisis terhadap jaringan keras dan lunak wajah dapat dilakukan pada
sefalogram lateral. Titik-titik yang digunakan dalam analisis jaringan keras
(Gambar 8):2,11,19
Orbitale (Or) : titik paling rendah pada tepi bawah tulang orbita
Sub-spina (A) : titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion Supra-mental (B) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion Pogonion (Pog) : titik paling depan dari tulang dagu
Gnathion (Gn) : titik di antara pogonion dan menton
Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu
Articulare (Ar) : titik perpotongan antara tepi bawah dari basis kranium dan
permukaan posterior kondilus mandibula.
Gonion (Go) : titik bagi yang dibentuk oleh garis dari sudut yang dibentuk oleh
bidang mandibula dan ramus mandibula
Porion (Po) : titik paling superior dari porus accusticus externus
Pterygomaxilary Fissure (PTM) : Bayangan radiolusen yang menyerupai tetes air
mata,bagian anterior dari bayangan tersebut adalah permukaan posterior dari
tuber maksilaris.
Spina Nasalis Posterior (PNS) : Titik paling posterior dari palatum durum.
Titik-titik yang digunakan dalam jaringan lunak (Gambar 9): 2,11,19,26
Glabella (G) : titik paling anterior dari dahi pada dataran midsagital. Nasion kulit (N’) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. Pronasale (Pr) : titik paling anterior dari hidung.
Subnasale (Sn) : titik dimana septum nasal berbatasan dengan bibir atas. Labrale superius (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus dari bibir atas. Superior labial sulkus (SLS) : titik tercekung di antara Sn dan Ls. Stomion superius (Stms) : titik paling bawah dari vermilion bibir atas. Stomion inferius (Stmi) : titik paling atas dari vermilion bibir bawah. Labrale inferius (Li) : titik perbatasan dari membran bibir bawah. Inferior labial sulkus (ILS) : titik paling cekung di antara Li dan Pog’. Pogonion kulit (Pog’) : titik paling anterior jaringan lunak dagu. Menton kulit (Me’) : titik paling inferior dari jaringan lunak dagu.
Titik-titik di atas dapat digunakan untuk berbagai analisis terhadap jaringan
keras dan jaringan lunak wajah. 2,11,19,26 Yang tergolong dalamanalisis jaringan lunak secara lateral antara lain 1/3 tengah-bawah wajah,perbandingan tinggi bibir atas dan
bibir bawah, penilaian terhadap hidung, sudutnasomental, sudut nasolabial, prognasi
maksila dan mandibula, tebal bibir atas danbibir bawah, celah antara bibir atas dan
bibir bawah, tebal dagu, kontur dagu-leher, sudut konveksitas wajah, bidang Estetis
(Garis-E), garis-S dan sudut-Z Merrifield.11,27
2.4 Analisis Konveksitas Wajah
Konveksitas skeletal merupakan salah satu sudut yang dapat dianalisis dari
profil wajah pada pandangan anteroposterior yang juga menyatakan relasi skeletal
rahang atas dan rahang bawah yang lebih spesifiknya dianalisis melalui sefalometri
lateral. Analisis konveksitas skeletal yang ideal telah dilakukan oleh ahli ortodonti
dan telah diterapkan pada analisis-analisis perawatan ortodonti, antara lain analisis
yang dikemukakan oleh Downs, Ricketts dan Holdaway. Analisis terhadap
konveksitas skeletal diperoleh dari titik A dan bidang fasial (N-Pog).11,14,27
2.4.1 Analisis Downs
Menurut Downs, konveksitas skeletal diperoleh dari sudut yang dibentuk oleh
garis Nasion-A ke garis A-Pogonion. Jika garis A-Pogonion berada di anterior garis
Nasion- A, sudut ini bernilai positif yaitu maksila berada di anterior mandibula. Dan
sebaliknya, sudut ini bernilai negatif yaitu mandibula berada di anterior maksila. Nilai
Gambar 10. Konveksitas skeletal menurut Downs. Diperoleh dari sudut yang dibentuk oleh garis N-A ke garis A-Pog.11,29
2.4.2 Analisis Ricketts
Analisis Ricketts terhadap konveksitas skeletal diperoleh dari jarak titik A
terhadap bidang fasial (N-Pog) dalam mm. Nilai ideal jarak titik A terhadap bidang
fasial (N-Pog) adalah 2 ± 2 mm. Jika nilainya positif dan lebih besar dari 2 mm, maka
diperoleh relasi Kelas II skeletal dan jika bernilai negatif, maka diperoleh relasi
Kelas III skeletal. Nilai ideal yang dinyatakan Ricketts adalah 2 mm
Gambar 11. Konveksitas skeletal menurut Ricketts. Diperoleh dari jarak titik A
terhadap bidang fasial (N-Pog).11,30
2.4.3 Analisis Holdaway
Menurut Holdaway, konveksitas skeletal diukur jarak dari titik A ke garis
Nasion-Pogonion skeletal (N-Pog). Analisis ini sangat berguna dalam penentuan
konveksitas wajah skeletal dalam hubungannya dengan konveksitas jaringan lunak
(sudut-H). Konveksitas skeletal wajah ideal jika jarak antara garis N-Pog ke
titik A -3mm sampai +4 mm (Gambar 15).11
2.5 Analisis Konveksitas Jaringan Lunak
Analisis konveksitas jaringan lunak wajah dengan posisi bibir yang ideal telah
dilakukan penelitian oleh ahli-ahli ortodonti antara lain Steiner, Ricketts, Merrifeld
dan Holdaway yang merupakan penentuan bentuk profil jaringan lunak cembung,
lurus atau cekung. Masing-masing ahli menggunakan referensi yang bervariasi dalam
menganalisis profil jaringan lunak wajah. Steiner menggunakan garis S, Ricketts
garis estetis (garis E), Merrifeld menggunakan sudut Z dan Holdaway menggunakan
2.5.1 Analisis Menurut Steiner (Garis S)
Garis S merupakan garis yang ditarik dari titik Pog’ ke pertengahan kurva S
yang terletak diantara Pronasal (Pr) ke titik Subnasales (Sn) (Gambar 12). Menurut
Steiner, dalam keadaan normal titik Labrale superior (Ls) dan Labrale inferior (Li)
berada pada garis S. Jika bibir berada di belakang garis S dinyatakan profil wajahnya
cekung. Sedangkan jika berada di depan garis S, profil wajahnya terlalu tebal atau
cembung.14,17,29,31
Gambar 12. Analisis jaringan lunak wajah menurut Steiner (Garis S).11,31
2.5.2 Analisis Menurut Ricketts (Garis E)
Menurut Ricketts, analisis konveksitas jaringan lunak wajah seseorang
dipengaruhi oleh garis E. Garis E merupakan garis yang ditarik dari titik pogonion
kulit (Pog’) ke titik Pronasale (Pr) (Gambar 13). Seseorang mempunyai profil yang
harmonis jika titik Labrale superior (Ls) terletak 2-4 mm di belakang garis E dan titik
Labrale inferior (Li) 1-2 mm di belakang garis E. Apabila letak titik Ls lebih
dari 4 mm di belakang garis E maka profil wajah tampak cekung, juga sebaliknya
Gambar 13. Analisis jaringan lunak wajah menurut Rickets (Garis E).14,30
2.5.3 Analisis Menurut Merrifield (Sudut Z)
Menurut Merrifield, garis profil wajah merupakan garis yang ditarik dari titik
Pogonion kulit (Pog’) dengan titik paling depan dari Labrale superior (Ls) dan
Labrale inferior (Li). Sudut Z dibentuk oleh perpotongan antara bidang Frankfurt
horizontal dengan garis profil tersebut. (Gambar 14). Nilai ideal sudut ini
berkisar 80 ± 9o.11,28
Gambar 14. Analisis jaringan lunak wajah menurut
2.5.4 Analisis Menurut Holdaway (Sudut H)
Holdaway menggunakan garis-H untuk menganalisis keseimbangan dan
keharmonisan profil jaringan lunak. Garis-H ini diperoleh dengan menarik garis dari
titik Pogonion kulit (Pog’) ke titik Labial superior (Ls) (Gambar 15).2,5,27-29
Menurut Jacobson dan Vlachos, analisis Holdaway lebih berani, terperinci,
jelas dan luas dalam pembahasannya mengenai profil jaringan lunak yang seimbang
dan harmonis, yaitu terdiri dari jarak Pronasale (Pr) terhadap garis-H, kedalaman
sulkus Labialis superior (Ls), kedalaman sulkus Labialis inferior (Li), jarak bibir
bawah ke garis-H, tebal bibir atas, kurvatura bibir atas, besar sudut fasial, tebal dagu,
strain bibir atas, besar sudut-H dan konveksitas skeletal. Oleh karena itu penelitian ini
secara khusus akan membahas mengenai konveksitas skeletal dan konveksitas
jaringan lunak wajah berdasarkan sudut-H.11,26,27
Yang dimaksud dengan sudut-H adalah sebuah sudut yang dibentuk oleh
perpotongan garis-H dengan garis N’-Pog’ (Gambar 15). Sudut-H juga digunakan
dalam penentuan konveksitas jaringan lunak adalah cembung, lurus atau cekung.
Besar sudut-H yang harmonis dan seimbang berkisar 7o - 15o. Apabila sudut-H lebih
besar dari 15o maka konveksitas profil wajah menunjukkan cembung sedangkan jika sudut-H lebih kecil dari 7o menunjukkan bentuk profil konveksitas yang cekung oleh
karena letak Pog’ lebih ke posterior atau letak titik Ls lebih ke anterior.11
Berdasarkan analisis Holdaway, 10o merupakan sudut-H yang paling ideal dengan nilai konveksitas wajah 0 mm. Profil yang harmoni dapat dilihat jika nilai
konveksitas skeletal dan sudut-H seimbang. Apabila konveksitas skeletal lebih besar
dari besar sudut-H atau tidak sesuai maka kemungkinan yang terjadi adalah
Gambar 15. Analisis jaringan lunak wajah menurut Holdaway11,27,28
2.6 Suku Proto Melayu
Suku atau ras adalah sekelompok manusia yang dapat dibedakan dari
kelompok lain dengan ciri-ciri jasmaniah tertentu yang diperoleh dari keturunan,
sesuai dengan hukum genetika.19
Sebagian besar populasi penduduk Indonesia didominasi oleh suku
Paleomongoloid atau disebut juga suku Melayu. Suku Paleomongoloid terdiri atas
suku Proto Melayu (Melayu tua) dan suku Deutro Melayu (Melayu muda). Pada
tahun 2000SM., suku Proto Melayu pertama kalinya datang ke Indonesia kemudian
pada tahun 1500SM, suku Deutro Melayu mulai berdatangan ke Indonesia.19
Suku Proto Melayu terdiri dari suku Batak di Sumatera Utara, Dayak di
Kalimantan Barat dan Toraja di Sulawesi Barat pada awalnya menempati pesisir
pantai. Sedangkan suku Deutro Melayu terdiri dari suku Aceh, Melayu,
Minangkabau, Betawi, Sunda, Jawa, Lampung, Madura, Bali, Makasar, Bugis dan
Suku Proto Melayu yang menempati pulau Sumatera adalah suku Batak. Suku
Batak memiliki beberapa sub suku yang masih memiliki ikatan kuat antara satu
dengan lainnya, yaitu sub suku Toba, Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak.
Namun, ada juga yang menyebut sebelas, yaitu kelima sub tersebut ditambah dengan
Pasisir, Angkola, Padang Lawas, Melayu, Nias, dan Alas Gayo. Kelompok Proto
Melayu memiliki bentuk kepala yang panjang (dolichocephali) sedangkan kelompok
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya perawatan ortodonti bertujuan untuk menghasilkan fungsi
stomatognasi yang maksimal, keseimbangan struktural dan keselarasan estetik yang
efisien.1 Perawatan ortodonti yang dimulai pada masa dini tidak selalu mencapai hasil yang diinginkan. Keberhasilan dalam mengoreksi gigi dan rahang juga tidak selalu
memberikan perubahan jaringan lunak yang menguntungkan. Meskipun oklusi ideal
merupakan tujuan fungsional yang utama, namun diakui bahwa hasil estetika sangat
penting bagi kepuasan pasien.2,3
Saat ini perawatan dalam bidang ilmu ortodonsia mengalami kemajuan yang
pesat sehingga tujuan akhir dari perawatan tidak hanya pada perbaikan susunan gigi
dan relasi rahang saja yang disebut sebagai jaringan keras tetapi juga pada estetis
wajah.1,4 Arnett dan Bergman (1999) menyatakan analisis jaringan lunak merupakan
kunci estetik untuk diagnosis dan rencana perawatan ortodonti.5
Prinsip ortodonti yang diterapkan yaitu memperbaiki anomali gigi sehingga
didapatkan hasil yang lebih bagus dibandingkan sebelum perawatan. Hal ini tidak
dapat dicapai tanpa pemahaman yang lengkap dari wajah sebelum perawatan.
Perawatan ortodonti yang bertujuan untuk memperbaiki gigi dan rahang dapat
berdampak negatif terhadap estetika wajah jika estetika tidak dipertimbangkan
didalam rencana perawatan. Kadang-kadang, perawatan yang hanya terfokus untuk
memperbaiki oklusi dapat menimbulkan penurunan proporsi wajah. Hal ini dapat
terjadi karena kurangnya perhatian terhadap estetika atau kurangnya pemahaman
tentang apa yang diinginkan sebagai tujuan estetika.5
Saglam dan Gazilierli (2001) menyatakan bahwa analisis profil jaringan keras
dan lunak sebagai pedoman dalam diagnosis dan rencana perawatan ortodonti telah
Peck, Burstone, Iwasawa dkk. Namun belum menemukan hubungan perawatan
ortodonti dengan perubahan profil jaringan lunak yang cukup akurat.2
Angle cit. Hamdan (1907) menyatakan pentingnya estetika wajah dan relasi
jaringan lunak dalam perawatan ortodonti.7 Angle menekankan bahwa jaringan lunak merupakan faktor penting dalam keharmonisan wajah.7-9 Holdaway menyatakan jika pengukuran hanya pada jaringan keras atau hanya berdasarkan garis-garis wajah tidak
akan mampu menghasilkan perawatan yang maksimal. Holdaway menemukan bahwa
manfaat perawatan meningkat ketika jaringan lunak dipertimbangkan dengan
seksama dalam rencana perawatan.2,6-9
Sarver dan Ackerman (2000) menyatakan bahwa selama berabad-abad para
seniman dan dokter telah berusaha untuk menentukan proporsi wajah yang ideal.3 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Peck dan Peck (1970) yang menyatakan bahwa
tidak ada ukuran atau alat yang secara pasti bisa menentukan estetika wajah, tetapi
setidaknya analisis sefalometri lateral dapat membantu dalam penentuan ideal atau
tidaknya bentuk profil wajah seseorang.10
Analisis profil jaringan lunak dengan sefalometri lateral, Holdaway
menggunakan garis Harmoni (garis-H) yang ditarik dari titik pogonion kulit (Pog’) ke
titik Labial superior (Ls).2,11 Holdaway melakukan 11 analisis tentang profil jaringan lunak, yang dinyatakan oleh Jacobson dan Vlachos sebagai suatu analisis yang jelas
dan terperinci.11 Sedangkan analisis profil jaringan keras (skeletal), Holdaway mengukur dari titik A ke garis Nasion-Pogonion skeletal (N-Pog).2,12,13
Banyak studi yang telah menetapkan norma sefalometri bagi kelompok etnis
dan ras yang berbeda. Sebagian peneliti telah menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok ini, dan banyak standar
sefalometri telah dikembangkan untuk berbagai kelompok. Pengukuran normal untuk
satu kelompok tidak boleh dianggap normal untuk setiap ras atau kelompok etnis
lainnya. Kelompok ras yang berbeda harus diperlakukan sesuai dengan karakteristik
masing-masing.13-15
Penelitian Perabuwijaya (2007) terhadap 42 orang dengan usia 20-25 tahun
jaringan lunak pada laki-laki (mean = 17o) dan perempuan (mean = 16,53o) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua jenis kelamin
tersebut.16
Penelitian Susilowati (2009) pada suku Bugis dan Makassar
sebanyak 50 sampel (32 perempuan dan 18 laki-laki) dengan menggunakan analisis
Subtelny menunjukkan bahwa rerata derajat konveksitas jaringan keras pada laki-laki
sebesar 167,44o sedangkan pada perempuan sebesar 166,53o secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Rerata derajat konveksitas jaringan lunak pada
laki-laki adalah 159,05o sedangkan pada perempuan 162,77o, yang secara statistik perbedaan ini bermakna, dan ada hubungan yang bermakna antara derajat konveksitas
jaringan keras dengan jaringan lunak wajah baik pada laki-laki dan perempuan.17 Pada saat ini belum diketahui hubungan antara konveksitas skeletal dengan
konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu, oleh karena itu
penelitian ini perlu dilakukan. Suku Proto Melayu terdiri dari suku Batak di Sumatera
Utara, Dayak di Kalimantan Barat dan Toraja di Sulawesi Barat yang pada awalnya
menempati pesisir pantai. Suku Proto Melayu yang menempati pulau Sumatera
adalah suku Batak. Suku Batak memiliki beberapa sub suku, yaitu sub suku Toba,
Mandailing, Karo, Simalungun, dan Pakpak.18,19 Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
1.2 Rumusan Masalah
1. Berapakah rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa suku Proto
Melayu FKG dan FT USU?
2. Apakah ada perbedaan rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa
laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU?
3. Berapakah rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku
Proto Melayu FKG dan FT USU?
4. Apakah ada perbedaan rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada
5. Apakah ada hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU?
6. Apakah ada hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT
USU?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa suku Proto
Melayu FKG dan FT USU.
2. Mengetahui perbedaan rerata konveksitas skeletal pada mahasiswa
laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
3. Mengetahui rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada mahasiswa
suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
4. Mengetahui perbedaan rerata konveksitas jaringan lunak wajah pada
mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
5. Mengetahui hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
6. Mengetahui hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak
wajah pada mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Proto Melayu FKG dan FT
USU.
1.4 Hipotesa Penelitian
Terdapat hubungan antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah
pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat praktis penelitian ini yakni sebagai tambahan informasi dalam
menentukan diagnosa dan rencana perawatan ortodonti, khususnya pada suku Proto
Sedangkan manfaat teoritis yang diperoleh antara lain;
1. Bagi peneliti merupakan penambahan wawasan pengetahuan dan
pengalaman dalam melakukan penelitian.
2. Sebagai pengembangan ilmu di bidang ortodonti.
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ortodonsia
Tahun 2014
Henny
Hubungan Konveksitas Skeletal dengan Jaringan Lunak Wajah pada
Mahasiswa Suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
x + 44 halaman
Keberhasilan dalam mengoreksi gigi dan oklusi rahang tidak selalu
memberikan perubahan jaringan lunak yang menguntungkan. Saat ini perawatan
dalam bidang ilmu ortodonsia mengalami kemajuan yang pesat sehingga tujuan akhir
dari perawatan tidak hanya pada perbaikan susunan gigi dan relasi rahang saja yang
disebut sebagai jaringan keras tetapi juga pada estetika wajah yang dipengaruhi
jaringan lunak individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata konveksitas
skeletal, rerata konveksitas jaringan lunak wajah serta mengetahui adanya hubungan
antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto
Melayu FKG dan FT USU.
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat analitik dengan rancangan cross-
sectional yang menggunakan 40 sefalogram yang terdiri dari 20 laki-laki dan 20
perempuan berumur 18-25 tahun. Sefalogram diperoleh dari penelitian terdahulu
yang merupakan sefalogram mahasiswa suku Proto Melayu Fakultas Kedokteran Gigi
dan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dengan teknik purposive sampling.
Pada sefalogram ditentukan titik-titik dan garis-garis referensi yang kemudian akan
diukur dengan menggunakan penggaris dan busur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata konveksitas skeletal
adalah 3,26 mm, rerata konveksitas jaringan lunak wajah adalah 14,97o. Konveksitas skeletal dan jaringan lunak wajah pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara
signifikan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat (r = 0,748) antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah. Terdapat
wajah pada laki-laki dan terdapat hubungan yang sangat kuat (r = 0,814) antara
konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada perempuan.
Kesimpulannya adalah terdapat hubungan yang kuat antara konveksitas
skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan
FT USU.
HUBUNGAN KONVEKSITAS SKELETAL DENGAN
JARINGAN LUNAK WAJAH PADA MAHASISWA
SUKU PROTO MELAYU FKG DAN FT USU
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
HENNY
NIM : 100600124
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ortodonsia
Tahun 2014
Henny
Hubungan Konveksitas Skeletal dengan Jaringan Lunak Wajah pada
Mahasiswa Suku Proto Melayu FKG dan FT USU.
x + 44 halaman
Keberhasilan dalam mengoreksi gigi dan oklusi rahang tidak selalu
memberikan perubahan jaringan lunak yang menguntungkan. Saat ini perawatan
dalam bidang ilmu ortodonsia mengalami kemajuan yang pesat sehingga tujuan akhir
dari perawatan tidak hanya pada perbaikan susunan gigi dan relasi rahang saja yang
disebut sebagai jaringan keras tetapi juga pada estetika wajah yang dipengaruhi
jaringan lunak individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata konveksitas
skeletal, rerata konveksitas jaringan lunak wajah serta mengetahui adanya hubungan
antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto
Melayu FKG dan FT USU.
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat analitik dengan rancangan cross-
sectional yang menggunakan 40 sefalogram yang terdiri dari 20 laki-laki dan 20
perempuan berumur 18-25 tahun. Sefalogram diperoleh dari penelitian terdahulu
yang merupakan sefalogram mahasiswa suku Proto Melayu Fakultas Kedokteran Gigi
dan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dengan teknik purposive sampling.
Pada sefalogram ditentukan titik-titik dan garis-garis referensi yang kemudian akan
diukur dengan menggunakan penggaris dan busur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata konveksitas skeletal
adalah 3,26 mm, rerata konveksitas jaringan lunak wajah adalah 14,97o. Konveksitas skeletal dan jaringan lunak wajah pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara
signifikan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat (r = 0,748) antara konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah. Terdapat
wajah pada laki-laki dan terdapat hubungan yang sangat kuat (r = 0,814) antara
konveksitas skeletal dengan jaringan lunak wajah pada perempuan.
Kesimpulannya adalah terdapat hubungan yang kuat antara konveksitas
skeletal dengan jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Proto Melayu FKG dan
FT USU.
HUBUNGAN KONVEKSITAS SKELETAL DENGAN
JARINGAN LUNAK WAJAH PADA MAHASISWA
SUKU PROTO MELAYU FKG DAN FT USU
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
HENNY
NIM : 100600124
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 12 April 2014
Pembimbing : Tanda tangan
Prof.H. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji
pada tanggal 12 April 2014
TIM PENGUJI
KETUA : Prof.H. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort
ANGGOTA : 1. Siti Bahirrah, drg., Sp.Ort