LEMBAR PENJELASAN KEPADA PASIEN KANKER DENGAN RADIOTERAPI DAERAH KEPALA DAN LEHER
DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
Selamat Pagi.
Nama saya Tarra Dipa Sonia, saat ini saya sedang menjalani pendidikan dokter gigi di Universitas Sumatera Utara. Saya akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Terjadinya Xerostomia pada Pasien Kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara perawatan radioterapi kanker daerah kepala dan leher dengan xerostomia di RSUP HAM Medan. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan dan menjadi masukan serta memberi informasi yang benar tentang komplikasi xerostomia akibat perawatan radioterapi daerah kepala dan leher bagi dokter dan dokter gigi dalam merawat pasien serta masyarakat yang akan dan sedang menjalani perawatan radioterapi daerah kepala dan leher.
Bapak/Ibu/Saudara/i, perawatan radioterapi daerah kepala dan leher dapat mempengaruhi produktifitas air ludah, seperti terjadinya xerostomia (mulut kering). Hal ini dapat terjadi karena kelenjar air ludah terkena sinar radiasi.
Saya akan melakukan pemeriksaan pada air ludah dengan pengumpulan tanpa rangsangan saudara/i sekalian. Adapun pemeriksaan yang akan saya lakukan yaitu: 1. Bapak/Ibu/Saudara/i duduk dengan tenang dan diam sambil menundukkan
kepala. Bapak/Ibu/Saudara/i diinstruksikan untuk tidak menelan selama prosedur berlangsung. Sesaat sebelum prosedur pengumpulan dimulai, diharuskan menelan semua sisa air ludah yang ada di rongga mulut.
2. Air ludah dibiarkan mengumpul di dalam rongga mulut dan setiap menit air ludah yang sudah terkumpul dikeluarkan ke dalam tabung, kemudian volumenya diukur.
Partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam penelitian ini bersifar sukarela. Tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan bila Bapak/Ibu/Saudara/i tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Saudara/I akan tetap mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur.
Pada penelitian ini identitas Bapak/Ibu/Saudara/i akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komite etik yang akan melihat data penelitian ini. Kerahasiaan data Bapak/Ibu/Saudara/i akan dijamin sepenuhnya. Bila data Bapak/Ibu/Saudara/i dipublikasikan kerahasiaan akan tetap terjaga.
Jika selama menjalankan penelitian ini ada keluhan, Bapak/Ibu/Saudara/I dapat langsung menghubungi saya:
Nama : Tarra Dipa Sonia No.Hp : 083198661101
Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, patisipasi, dan kesediaan waktu Bapak/Ibu/Saudara/i, saya ucapkan terima kasih.
Medan, 2013
Peneliti,
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama ;
Umur : Alamat :
Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap pada penelitian yang berjudul:
Hubungan Antara Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Terjadinya Xerostomia pada Pasien Kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan
Saya dengan sadar dan tanpa paksaan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Medan, 2013
Mahasiswa peneliti, Tanda Tangan
Peserta penelitian
LEMBAR PEMERIKSAAN PASIEN
Nama : DATA DEMOGRAFI
Umur :
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. perempuan Jenis Kanker :
Dosis Radiasi : DATA RADIOTERAPI
DATA HASIL PENELITIAN Jenis_Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Xerostomia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid xerostomia 35 76.1 76.1 76.1
Tidak xerostomia 11 23.9 23.9 100.0
Total 46 100.0 100.0
Jenis_Kelamin * Xerostomia Crosstabulation Count
Xerostomia
Total xerostomia Tidak xerostomia
Jenis_Kelamin laki-laki 29 9 38
perempuan 6 3 8
Total 35 11 46
Usia * Xerostomia Crosstabulation Count
Xerostomia
Total xerostomia Tidak xerostomia
Usia < 20 tahun 2 0 2
21-30 tahun 2 0 2
31-40 tahun 3 1 4
41-50 tahun 10 3 13
51-60 tahun 10 5 15
> 61 tahun 8 2 10
Chi-Square Test
Test Statistics Dosis Sinar
Radioterapi xerostomia
Chi-Square 6.348a 9.174b
df 6 2
DAFTAR PUSTAKA
1. Freitas DA, Caballaro AD, Pereira MM, Oliveira SKM, Silva GPE,
Hernandez CI. Oral sequelae of head and neck radiotherapy. Rev CEFAC Sao
Paul
(Agustus 8 2012).
2. Atri R, Dhankhar R, Nair V, Kaushal. Management of radiation induced
xerostomia in head and neck cancers. J Oral Health Comm Dent 2007; 1(2):
33-9.
3. Candra M. Karsinoma nasofaring. http://misschandra.blogspot.com
/2012/03/karsinoma-nasofaring.html
4. Hancock PJ, Epstein JB, Sadler GR. Oral and dental management related to
radiation therapy for head and neck cancer. J Can Dent Assoc 2003; 69(9):
585-90.
(Agustus 8 2012).
5. Malikha NZ, Murdiastuti K, Lastianny SP. Efek radioterapi area kepala dan
leher terhadap kadar kalsium saliva. Maj Ked Gi 2008; 15(2): 117-20.
6. Rose-Ped AM, Bellm LA, Epstein JB, Trotti A, Gwede C, Fuchs HJ.
Complications of radiation therapy for head and neck cancers. Cancer
Nursing., Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins, 2002: 461-7.
7. Sciubba JJ, Goldenberg D. Oral complications of radiotherapy. Lancet Oncol
2006; 7: 175-83.
8. Jham BC, Freire ARS. Oral complications of radiotherapy in the head and
neck. Rev Bras Otorrinolaringol 2006; 72(5): 704-8.
9. Someya M, Sakata K, Nagakura H, Nakata K, Oouchi A, Hareyama M. The
changes in irradiated salivary gland function of patients with head and neck
tumors treated with radiotherapy. Jpn J Clin Oncol 2003; 33(7): 336-40.
10. Olver IN. Xerostomia: a common adverse effect of drugs and radiation. Aust
11. Wada A, Uchida N, Yokokawa M, Yoshizako T, Kitagaki H.
Radiation-induced xerostomia: objective evaluation of salivary gland injury using MR
sialography. AJNR 2009; 30: 53-8.
12. Guchelaar HJ, Vermes A, Meerwaldt JH. Radiation-induced xerostomia:
pathophysiology, clinical course and supportive treatment. Support Care
Cancer 1997; 5(4): 281-8.
13. Dawes C, Odlum O. Salivary status in patients treated for head and neck
cancer. J Can Dent Assoc 2004; 70(6): 397-400.
14. Blanco AL, Chao KS, Vivic M, El NI, Franklin GE, Zakarian K, Deasy JO.
Dose-volume modeling of salivary function in patients with head-and-neck
cancer receiving radiotherapy. Int J Radiat Oncol Biol Phys 2005; 62(4):
1055-69.
15. Asroel HA. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. USU
digital library, 2002: 1-11.
16. Affandi A. Prinsip terapi radiasi dalam THT. DrsMed-FK UNRI, 2009: 2-14.
17. Susworo R. Radioterapi. Jakarta: UI Press, 2007: 1-13.
18. Bartels CL. Xerostomia information for dentists.
19. Porter SR, Scully C, Hegarty AM, Greenberg MS. eds. An update of etiology
and management of xerostomia. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod 2004; 97: 28-46.
20. Davies NA, Broadley K, Beighton D. Xerostomia in patients with advanced
cancer. J Pain Symptom Manage 2001; 22(4): 820-5.
21. Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditinjau dari faktor penyebab, manifestasi
dan penanggulangannya. USU digital library, 2002: 1-7.
22. Gayford JJ. Penyakit mulut. Alih Bahasa. Yuwono L. Jakarta: EGC,1990:
168-75.
23. Walsh TD. Erlan. eds. Kapita selekta penyakit dan terapi. Alih Bahasa.
24. Eisburch A, Rhodus N, Rosenthal D, et al. How should we measure and report
radiotherapy-induced xerostomia?. Seminars in Radiation Oncology 2003;
13(3): 226-34.
25. Farsi NMA. Signs of oral dryness in relation to salivary flow rate, pH,
buffering capacity and dry mouth complaints. BMC Oral Health 2007; 7:15. 26. Vissink A, Jansma J, Spljkervet FKL, Burlage FR, Coppes RP. Oral sequelae
of head and neck radiotherapy. Sage Journals CROBM, 2003; 14(3): 199-212.
27. Notoadmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta,
2010: 37,120,130.
28. Wahyuni AS. Statistika kedokteran. Jakarta: Bamboedoea Communication,
2007: 109-17.
29. Mukhtar Z, Sitinjak F, Ashrinda D, dkk. Desain penelitian klinis dan statistika
kedokteran. Medan: USU Press, 2011: 1-19.
30. Kartawiguna E. Faktor-faktor yang berperan pada karsinogenesis. J Kedokter
Trisakti 2001; 20(1): 16-26.
31. Fatmah. Respon imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut.
Makara Kesehatan 2006 ; 10(1): 47-53.
32. Kentjono WA. Perkembangan terkini penatalaksaan karsinoma nasofaring.
Majalah Kedokteran Tropis Indonesia 2003 ; 14(2): 1-32.
33. Braam PM, Terhaard CHJ, Roesink JM, Raaijmakers CPJ.
Intensity-modulated radiotherapy significantly reduces xerostomia compared with
BAB 3
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah survei analitik, yaitu penelitian untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen (radioterapi daerah kepala dan leher) dan dependen (xerostomia). Penelitian ini mengunakan pendekatan cross sectional, yaitu mengukur variabel penelitian dalam waktu yang sama atau sesaat.27-29 Dalam penelitian cross sectional, xerostomia yang merupakan efek dan radioterapi daerah kepala dan leher yang merupakan faktor resiko akan dipelajari korelasinya dengan pendekatan point time dan diobservasi pada saat yang sama.
3.2 Lokasi dan Waktu
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah pasien kanker daerah kepala dan leher di RSUP HAM.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian adalah pasien kanker yang mendapat radioterapi daerah kepala dan leher di RSUP HAM. Jumlah sampel dalam penelitian ini diambil dengan rumus penaksiran proporsi populasi dengan ketentuan absolut (simpangan mutlak). 27,28
n : ukuran sampel yang diperlukan d : tingkat akurasi (0,1)
P: proporsi populasidiambil berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dawes C dan Odlum O yaitu 88% (0,88).13
� : nilai kepercayaan 0,95% = 1,96
menjadi 46 orang pasien kanker yang mendapat radioterapi daerah kepala dan leher di RSUP HAM. Teknik pengambilan sampel yang digunakan purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.27-29
3.3.3 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh subjek sehingga dapat diikutsertakan ke dalam penelitian.27,29 Kriteria inklusi dalam penelitian ini antara lain :
1. Pasien kanker yang mendapat radioterapi daerah kepala dan leher di RSUP HAM.
2. Pasien radioterapi daerah kepala dan leher yang bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent serta mengikuti prosedur penelitian secara keseluruhan.
3. Pasien radioterapi daerah kepala dan leher yang mendapat dosis radiasi >10 Gy.
3.3.4 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian.27,29 Kriteria eksklusi dalam penelitian ini antara lain :
3.4 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional 3.4.1 Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Radioterapi daerah kepala dan leher. 2. Variabel Terikat : Xerostomia.
3. Variabel Tak Terkendali : Jenis kelamin dan usia.
3.4.2 Defenisi Operasional
Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Xerostomia adalah keadaan saliva bila dilakukan pengukuran whole saliva tanpa stimulasi dengan menggunakan metode spitting, volume saliva berkisar < 0,2 ml/menit.25
b. Pasien kanker dengan radioterapi daerah kepala dan leher adalah pasien yang menderita penyakit kanker daerah kepala dan leher yang mendapatkan perawatan untuk mengobati penyakitnya dengan menggunakan radioterapi diketahui dari rekam medik.
c. Dosis radiasi adalah dosis yang telah diterima oleh pasien yang mendapatkan perawatan radioterapi yang dinyatakan dalam Gray dan diketahui dari rekam medik.8,15
d. Jenis kelamin adalah keadaan kodrati responden sesuai anatomis, yaitu laki-laki atau perempuan yang diketahui dari rekam medik.28
e. Usia adalah frekuensi responden yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan waktu penelitian yang dinyatakan dalam tahun dan diketahui dari rekam medik.28
3.5 Sarana Penelitian 3.5.1 Alat dan Bahan 1. Masker
2. Sarung Tangan
5. Stopwatch
3.5.2 Formulir Pencatatan Lembar pemeriksaan pasien.
3.6 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada pasien kanker yang mendapat perawatan radioterapi daerah kepala dan leher di RSUP H. Adam Malik yang dilakukan mulai pukul 08.00-12.00 WIB dan pada pasien diberikan informasi tentang tujuan penelitian ini. Setelah pasien setuju menjadi subjek penelitian, pasien diminta menandatangani
informed consent. Kemudian dari rekam medik pasien dicatat keterangan data pribadi
(nama, umur, jenis kelamin), jenis kanker daerah kepala dan leher dan dosis radiasi yang telah diterima.
Selanjutnya pemeriksaan keadaan klinis rongga mulut pasien berupa pengukuran tingkat aliran saliva dengan menggunakan whole saliva tanpa stimulasi dengan metode spitting yaitu :
1. Posisi subjek penelitian duduk dengan tenang dan diam sambil menundukkan kepala. Subjek penelitian diinstruksikan untuk tidak menelan selama prosedur berlangsung. Sesaat sebelum prosedur pengumpulan dimulai, subjek diharuskan menelan semua sisa saliva yang ada di rongga mulut.
2. Saliva dibiarkan mengumpul di dalam rongga mulut dan setiap menit saliva yang sudah terkumpul dikeluarkan ke dalam pot saliva, kemudian volumenya diukur.
3.7 Pengolahan Data dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan pasien kemudian dianalisis sesuai dengan sifatnya. Data yang bersifat univariat dianalisis secara manual dan data yang bersifat bivariat dianalisis dengan menggunakan sistem komputerisasi.
3.7.2 Analisis Data Data Univariat
Analisis univariat (analisis deskriptif) bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.27 Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi :
1. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia dan Jenis Kanker.
2. Distribusi dan Frekuensi Xerostomia pada Pasien Kanker yang Mendapat Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Ketika Dilakukan Penelitian.
3. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Xerostomia Berdasarkan Jenis Kelamin.
4. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Xerostomia Berdasarkan Usia.
Data Bivariat
Berdasarkan uji statistik tersebut dapat diputuskan:
• Menerima Ha (menolak Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung > X2 tabel atau nilai p ≤ α (0,05).
• Menolak Ha (menerima Ho), jika diperoleh nilai X2 hitung < X2 tabel atau nilai p > α (0,05).
3.8 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut: 1. Persetujuan Komisi Etik (Ethical Clerance)
Peneliti mengajukan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.
2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti meminta secara sukarela responden penelitian untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Bagi responden yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan responden penelitian untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Karateristik Responden
Penelitian ini menggunakan subjek sebanyak 46 orang pasien kanker dengan radioterapi daerah kepala dan leher di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Karateristik subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini sebagian besar terdapat subjek laki-laki sebanyak 38 orang (82,60%), sedangkan perempuan sebanyak 8 orang (17,40%).
Berdasarkan usia subjek penelitian, kelompok usia < 20 tahun sebanyak 2 orang (4,35%), kelompok usia 21- 30 tahun sebanyak 2 orang (4,35%), kelompok usia 31-40 tahun sebanyak 4 orang (8,70%), kelompok usia 41- 50 tahun sebanyak 13 orang (28,27%), kelompok usia 51- 60 tahun sebanyak 15 orang (32,60%) serta kelompok usia > 61 tahun sebanyak 10 orang (21,73%).
Tabel 2. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat Perawatan Radioterapi daerah Kepala dan Leher Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia dan Jenis Kanker.
Karateristik Frekuensi (n = 46) Persentase (%) 1. Jenis kelamin
a. Kanker Nasofaring b. Kanker Parotis c. Kanker Laring d. Kanker Lidah e. Kanker Sinonasal
4.2 Xerostomia Pada Pasien Kanker Daerah Kepala dan Leher yang Mendapat Radioterapi di RSUP Haji Adam Malik Ketika Dilakukan Penelitian
Berdasarkan tabel 3 subjek penelitian yang mengalami xerostomia ketika dilakukan penelitian sebanyak 35 orang (76,10%) sedangkan yang tidak mengalami xerostomia 11 orang (23,90%).
Tabel 3. Distribusi dan Frekuensi Xerostomia Pasien Kanker yang Mendapat Radioterapi daerah Kepala dan Leher Ketika Dilakukan Penelitian
Xerostomia Frekuensi (f) %
Xerostomia (+) 35 76,10
Xerostomia (-) 11 23,90
Total 46 100
Keterangan : f dinyatakan dalam jumlah orang
4.3 Xerostomia Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pasien Kanker Daerah Kepala dan Leher yang Mendapat Radioterapi di RSUP Haji Adam Malik
Tabel 4. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat Perawatan Radioterapi daerah Kepala dan Leher dengan Xerostomia Berdasarkan Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin
Xerostomia
Total %
(+) (-)
f % f %
Laki-laki 29 63,05 9 19,55 38 82,60
Perempuan 6 13,05 2 4,35 8 17,40
Jumlah (n) 35 76,10 11 23,90 46 100
Keterangan : f dinyatakan dalam jumlah orang
4.4 Xerostomia Berdasarkan Usia Pasien Kanker Daerah Kepala dan Leher yang Mendapat Radioterapi di RSUP Haji Adam Malik
Tabel 5. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat Perawatan Radioterapi daerah Kepala dan Leher dengan Xerostomia Berdasarkan Usia.
Usia
Xerostomia
Total %
(+) (-)
f % f %
< 20 Tahun 2 4,35 0 0 2 4,35
21- 30 Tahun 2 4,35 0 0 2 4,35
31- 40 Tahun 3 6,52 1 2,17 4 8,69
41- 50 Tahun 10 21,74 3 6,52 13 28,26
51- 60 Tahun 10 21,74 5 10,86 15 32,60
> 61 Tahun 8 17,40 2 4,35 10 21,75
Jumlah (n) 35 76,10 11 23,90 46 100
Keterangan : f dinyatakan dalam jumlah orang
4.5 Tabulasi Silang antara Dosis Radiasi pada Perawatan Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dan Terjadinya Xerostomia
Tabel 6. Tabulasi Silang antara Dosis Radiasi pada Perawatan Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dan Terjadinya Xerostomia
Dosis Radiasi pada Perawatan Radioterapi
Insiden Xerostomia Sig-p
Xerostomia (+) Xerostomia (-)
Total %
BAB 5 PEMBAHASAN
Berkaitan dengan data demografi pasien kanker dengan radioterapi daerah kepala dan leher di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, sebagian besar subjek penelitian laki-laki 38 orang (82,6%), sedangkan perempuan sebanyak 8 orang (17,4%). Secara umum kanker daerah kepala dan leher berkaitan erat dengan faktor pola kehidupan, faktor pekerjaan dan paparan lingkungan. Laki-laki pada umumnya memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol dan memiliki pekerjaan yang sering terpapar zat yang berbahaya. Zat yang terdapat didalam rokok memiliki sifat kimiawi, racun dan karsiogenik yang dapat memicu terjadinya kanker seperti tar, nitrosamin dan lain-lain.30 Pekerjaan di pabrik industri dan bahan kimia juga dapat memicu kanker akibat dari asap, serbuk kayu maupun berkontak langsung dengan zat karsiogenik hasil produksi. Hal tersebutlah yang dapat memicu terjadinya kanker daerah kepala dan leher selain dari faktor infeksi Epstein-Barr Virus dan faktor genetik.15 Namun dalam penelitian ini faktor pemicu kanker daerah kepala dan leher yang terjadi tidak dimasukkan dalam pemeriksaan, sehingga mengapa jumlah laki-laki yang lebih banyak dalam penelitian ini hanya dapat dijelaskan secara umum saja.
serta selanjutnya akan merusak organ-organ tubuh. Bagi orang yang sudah berusia lebih lanjut, mengalami stress dan keletihan kronis, kurang istirahat serta pola makan yang kurang baik dapat mengganggu keseimbangan sistem imun menjadi lebih melemah dan sel kanker akan berkembang dengan mudah.31
Berdasarkan jenis kanker daerah kepala dan leher pada penelitian ini, paling banyak pasien yang mengalami penyakit kanker nasofaring yaitu 33 orang (71,73%). Hal ini dikarenakan kanker nasofaring merupakan kanker daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di Indonesia akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kanker seperti dari infeksi Epstein-Barr Virus, pola kehidupan dengan makanan yang mengandung bahan pengawet seperti ikan asin, kebiasaan merokok dan minum alkohol. Kurangnya program deteksi dini yang dilakukan secara massal terhadap kanker nasofaring dengan mendiagnosa kanker pada stadium awal dan mengenali tanda serta gejala awal yang sering terjadi seperti gangguan pada telinga berupa rasa penuh ditelinga, nyeri, dan kesulitan pendengaran, gangguan pada hidung berupa mimisan yang berulang dan kesulitan dalam mencium bau serta gangguan pusing kepala. Kesadaran yang kurang untuk melakukan pemeriksaan ke dokter dan menganggap hal tersebut hanya penyakit biasa membuat banyak pasien datang pada stadium yang lebih lanjut.3,15,32 Prevalensi kanker nasofaring cukup tinggi di Indonesia yaitu 4,7 per 100.000 penduduk.3
Pada penelitian ini dari 46 orang subjek penelitian ditemukan 35 orang (76,10%) mengalami xerostomia. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Braam, dkk hanya 56% pasien yang mengalami xerostomia.33 Hal ini disebabkan perbedaan alat radioterapi yang digunakan pada perawatan kanker. Perawatan kanker daerah kepala dan leher dengan radioterapi di RSUP Haji Adam Malik menggunakan alat radioterapi konvensional sedangkan penelitian Braam, dkk menggunakan IMRT (Intensity Modulated
Radiation Therapy). Penggunaan IMRT dapat lebih mengurangi efek samping
menghindari jaringan normal disekitarnya dari efek samping.32 Perlindungan selama pemberian radioterapi dengan menggunakan masker atau topeng khusus yang tidak adekuat menyebabkan efek samping terjadi pada jaringan disekitar area radiasi seperti xerostomia tidak bisa diminimalkan. Tindakan perawatan yang dilakukan sebelum, sesudah dan selama radioterapi dapat mengurangi efek samping dari radioterapi. Lebih tingginya angka xerostomia disebabkan kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut dengan rutin melakukan hidrasi yang baik, tindakan oral higiene yang optimal dan melakukan perawatan lain dengan menggunakan saliva buatan, pemberian agen pembasahan mulut serta obat-obatan seperti pilocarpin dan amifostin.2
Penelitian ini memiliki jumlah laki-laki yang mengalami xerostomia lebih banyak yaitu 63,05% dibandingkan perempuan 13,05%. Hasil ini tidak bisa menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dengan xerostomia karena jumlah sampel antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang, penelitian ini lebih didominasi oleh laki-laki. Namun pada umumnya xerostomia akibat radioterapi akan lebih banyak terjadi pada perempuan, oleh karena perempuan memiliki kelenjar saliva yang lebih kecil daripada laki-laki dan perempuan memiliki level estrogen lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang dapat mempengaruhi sekresi saliva perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki.1,3
Prevalensi terjadinya xerostomia pada 46 orang pasien kanker dengan radioterapi daerah kepala dan leher berdasarkan kelompok usia paling banyak terjadi pada usia 41-50 tahun dan 51-60 tahun yaitu 10 orang (21,74%). Hasil ini merupakan data demografi saja tidak bisa menjelaskan hubungan antara usia dengan terjadinya xerostomia karena jumlah sampel pada penelitian ini lebih banyak pada usia 41-50 tahun dan 51-60 tahun. Namun pada pasien radioterapi dengan usia lebih tua akan lebih banyak yang mengalami xerostomia dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Hal ini dapat terjadi akibat seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses aging. Terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak dan penyambung,
pemberian radioterapi.21 Pengaruh radioterapi lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar serous. Diawali dengan radang kelenjar saliva kemudian kerusakan parenkim, perubahan vaskuler dan edema yang mengakibatkan kerusakan struktur kelenjar yang mengakibatkan saliva berkurang.7,21
Hasil penelitian yang diperoleh dari pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan yang mendapatkan radioterapi daerah kepala dan leher mengalami xerostomia sebesar 35 orang (76,10%) dan menunjukkan pengaruh yang signifikan antara dosis radiasi dengan terjadinya xerostomia. Hal ini sehubungan dengan literatur yang mengatakan bahwa xerostomia yang diakibatkan oleh radioterapi, jumlah dan keparahan kerusakan jaringan kelenjar salivanya tergantung pada dosis dan lamanya penyinaran.21 Pengaruh radiasi yang lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar serous menghasilkan dua jenis tingkat kerusakan sel yaitu apoptosis pada dosis rendah dan nekrosis pada dosis yang tinggi.7 Pada dosis radiasi < 10 Gray terjadi radang kelenjar saliva yang menyebabkan reduksi tidak tetap sekresi saliva dimana
pengaruh radioterapi lebih banyak mengenai sel asinar dari kelenjar saliva serous
dibandingkan dengan kelenjar saliva mukus. Dosis radiasi 10 - 15 Gy menyebabkan
penyusutan parenkim sehingga terjadi pengecilan kelenjar saliva dan penyumbatan
sehingga xerostomia mulai nyata terlihat dan menyebabkan keluhan mulut kering.
Dosis 15 - 40 Gy penyumbatan pada kelenjar saliva makin terjadi sehingga terjadi
fibrosis yang mengakibatkan reduksi secara reversibel. Dosis lebih besar dari 40 Gy
terjadi kerusakan pada glandula secara ireversibel akibat banyaknya kehilangan sel
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dari pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan yang mendapatkan radioterapi daerah kepala dan leher mengalami xerostomia sebanyak 35 orang dan yang tidak mengalami xerostomia sebanyak 11 orang. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada struktur kelenjar saliva yang mengakibatkan berkurangnya volume saliva merupakan kasus yang sering dijumpai. Proses radiasi yang dilakukan pada daerah kepala dan leher akan mempengaruhi kelenjar saliva yang terkena sinar radiasi. Kelenjar saliva mengalami perubahan dan kerusakan yang terus berlangsung sampai menyebabkan penurunan aliran saliva seiring dengan meningkatnya dosis.
Penelitian ini hanya menguraikan secara umum mengenai hubungan radioterapi daerah kepala dan leher dengan terjadinya xerostomia, oleh karena itu diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk lebih menyempurnakan penelitian ini dengan mengendalikan variabel yang dapat mempengaruhi xerostomia seperti usia dan juga membuat data homogen pada kelompok jenis kelamin.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radioterapi Kanker daerah Kepala dan Leher 2.1.1 Definisi
Radioterapi atau terapi radiasi merupakan salah satu metode pilihan dalam pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan radiasi ion. Radiasi ion ialah jenis radiasi yang meningkatkan ionisasi pada daerah tertentu yang bertujuan untuk mematikan sel-sel kanker sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar kanker agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.8,15
2.1.2 Mekanisme Kerja
Radiasi ion yang digunakan dalam radioterapi dibagi menjadi 2 yaitu,
corpuscular dan electromagnetic. Radiasi corpuscular berupa elektron, proton, dan
neutron, sedangkan radiasi electromagnetic disebut juga photon berupa sinar X dan sinar Gamma. Dalam praktek klinis, perawatan dengan radioterapi banyak dilakukan dengan menggunakan photon.8
Radiasi ion yang bekerja pada DNA sel kanker menyebabkan kematian atau kehilangan kemampuan reproduksifitas sel. DNA sel akan melakukan duplikasi selama mitosis. Sel-sel dengan tingkat aktifitas mitosis yang tinggi lebih radiosensitif dibandingkan dengan sel-sel yang tingkat aktifitas mitosis lebih rendah.8
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra seluler maupun ekstra seluler sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion-ion tersebut dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom sehingga dapat terjadi antara lain:15,16
1. Reaksi duplikasi DNA pecah.
2. Perubahan cross-lingkage dalam rantai DNA.
Sel-sel yang masih bertahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya masing-masing. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dibandingkan sel kanker. Keadaan tersebut yang akan digunakan sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.15,16
2.1.3 Teknik Radioterapi
Radioterapi dapat diberikan dalam berbagai teknik. Ada tiga teknik utama pemberian radioterapi, yaitu :
1. Radiasi Eksterna atau Teleterapi
Sumber radiasi berupa aparat sinar X atau radioisotop yang ditempatkan diluar tubuh.16-18 Sinar diarahkan ke kanker yang akan diberikan radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu kanker tergantung dari :
a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi. b. Jarak antara sumber energi dan kanker.
c. Kepadatan massa kanker.
Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 rad per kali dalam 2-3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 istirahat selama 1-2 minggu untuk pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.15 2. Radiasi Interna atau Brakhiterapi
Sumber energi diletakkan di dalam kanker atau berdekatan dengan kanker.15-17 Ada beberapa jenis radiasi interna, yaitu:
a. Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam kanker, misalnya jarum radium atau jarum irridium.15,16
b. Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :
 After loading
 Instalasi
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misalnya pleura atau peritoneum.15,16
3. Intravena
Radiasi intravena menggunakan larutan radioisotop yang disuntikkan ke dalam vena, misalnya iodium yang disuntikkan intravena akan diserap oleh kelenjar tiroid untuk mengobati kanker tiroid. 15,16
2.1.4 Dosis Radiasi
Untuk mengungkapkan jumlah radiasi yang diserap oleh jaringan, unit Sistem Internasional (SI) pada awalnya menyatakannya dalam rad (radiasi dosis yang diserap) artinya banyaknya energi yang diserap per unit jaringan. Saat ini digantikan oleh Gray yang didefinisikan sebagai 1 joule per kilogram. Gy adalah singkatan Gray, dengan demikian 1 Gy = 100 cGy = 100 rad.8,15
Radiasi kuratif dapat diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali pada penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah kanker primer, kelenjar getah bening leher dan supra klavikular. Dosis total yang diberikan adalah 66-70 Gy dengan fraksi 2 Gy, dengan waktu 5 kali pemberian dalam seminggu dan sekali sehari. Setelah dosis 40 Gy medulla spinalis di blok dan setelah 50 Gy daerah atau lapangan penyinaran klavikular dikeluarkan.15
Radiasi paliatif diberikan untuk metastasis kanker pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk metastasis tulang adalah 30 Gy dengan fraksi 3 Gy, yang diberikan dengan waktu 5 kali pemberian dalam seminggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi dibatasi hanya pada daerah kekambuhan saja.15
2.1.5 Komplikasi Radioterapi
1. Komplikasi Dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :16,17  Xerostomia
Biasanya terjadi setelah satu tahun pemberian radioterapi, seperti :15,16
 Kerontokan, terjadi pada pasien dengan radioterapi daerah otak. Namun, tidak seperti kerontokan pada kemoterapi, kerontokan karena radioterapi bersifat permanen dan biasanya terbatas pada daerah yang terkena sinar radiasi.
 Kerusakan vaskuler  Kerusakan aliran limfe
 Kanker, dapat terjadi dikarenakan radiasi merupakan sumber potensial kanker dan keganasan sekunder. Ditemukan pada minoritas pasien dan biasanya timbul beberapa tahun setelah mendapatkan perawatan radiasi.  Kematian, radiasi juga memiliki resiko potensial terhadap kematian karena
serangan jantung yang ditemukan pada pasien post radioterapi kanker payudara.15,16
2.2 Xerostomia 2.2.1 Definisi
dan leher, atau efek samping dari berbagai obat. Hal ini dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan penurunan fungsi kelenjar saliva.18-21
2.2.2 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya xerostomia antara lain : 1. Fisiologis
Sensasi mulut kering yang subjektif terjadi setelah pembicaraan yang berlebihan dan selama olahraga.21 Bernafas melalui mulut yang terjadi pada saat olahraga, berbicara atau menyanyi juga dapat memberikan efek kering pada mulut. Selain itu, gangguan emosional seperti stress, putus asa dan rasa takut juga merangsang terjadinya efek simpatik dari sistem saraf autonom dan menghalangi sistem parasimpatik sehingga menyebabkan berkurangnya aliran saliva dan mulut menjadi kering. 21,22
2. Usia
Secara normal mulut akan menjadi kering dengan bertambahnya usia, terbukti bahwa banyak orang lanjut usia yang menemukan bahwa mulutnya memiliki reaksi yang sama.21 Keadaan tersebut disebabkan oleh karena atropi pada kelenjar saliva yang sesuai dengan pertambahan usia yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya sedikit. Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi aging yang akan mengakibatkan perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim akan hilang digantikan oleh jaringan lemak dan penyambung,
lining sel duktus intermediate mengalami atropi yang mengakibatkan pengurangan
jumlah aliran saliva. Selain itu penyakit-penyakit sistemik yang diderita pada usia lanjut dan obat-obatan yang digunakan untuk perawatan penyakit sistemik dapat memberikan pengaruh mulut kering pada usia lanjut.21,22
3. Gangguan pada kelenjar saliva
saliva, baik yang jinak maupun yang ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva. Sindrom Sjogren merupakan penyakit autoimun jaringan ikat yang dapat mempengaruhi kelenjar airmata dan saliva. Sel-sel asini kelenjar saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresi saliva akan berkurang.21,22
4. Kesehatan umum terganggu
Pada penderita penyakit yang dapat menimbulkan dehidrasi seperti demam, diare yang terlalu lama, diabetes, gagal ginjal kronis dan keadaan sistemik lainnya dapat mengalami pengurangan aliran saliva. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan dalam pengaturan air dan elektrolit yang diikuti dengan terjadinya keseimbangan air negatif yang menyebabkan turunnya sekresi saliva. Penderita diabetes, berkurangnya saliva dipengaruhi oleh faktor angiopati dan neuropati diabetik, perubahan pada kelenjar parotis dan karena poliuria yang berat. Penderita gagal ginjal kronis terjadi penurunan sekresi saliva. Agar keseimbangan cairan tetap terjaga diperlukan intake cairan. Pembatasan intake cairan akan menyebabkan menurunnya aliran saliva dan saliva menjadi kental. Pada infeksi pernafasan bagian atas, penyumbatan hidung yang terjadi menyebabkan penderita bernafas melalui mulut. Penyakit-penyakit infeksi pernafasan biasanya menyebabkan mulut terasa kering.21
5. Penggunaan obat-obatan
Banyak sekali obat yang dapat mempengaruhi sekresi saliva seperti antihistamin, antihipertensi, antikonvulsan, antiparkinson, antinausea dan lain-lain. Obat-obat tersebut mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem saraf autonom atau dengan secara langsung bereaksi pada proses seluler yang diperlukan untuk salivasi. Obat-obatan tersebut secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah ke kelenjar.21
6. Radiasi pada daerah kepala dan leher
saliva yang terkena radioterapi. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya volume saliva. Jumlah dan keparahan kerusakan jaringan kelenjar saliva tergantung pada dosis dan waktu radiasi.21
7. Keadaan-keadaan lain
Agenesis dari kelenjar saliva jarang terjadi, akan tetapi ada pasien yang mengalami keluhan mulut kering sejak lahir. Hasil sialografi menunjukkan adanya kerusakan yang parah dari kelenjar saliva. Kelainan syaraf yang diikuti gejala degenerasi, seperti sklerosis multipel akan mengakibatkan hilangnya innervasi kelenjar saliva, kerusakan pada parenkim kelenjar dan duktus, atau kerusakan pada suplai darah kelenjar saliva juga dapat mengurangi sekresi saliva. Saat ini, telah dilaporkan bahwa pasien-pasien AIDS juga mengalami mulut kering, oleh karena terapi radiasi yang dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan pada sarkoma kaposi intra oral dapat menyebabkan disfungsi kelenjar saliva.21
2.2.3 Gejala dan Tanda
Xerostomia mengakibatkan timbulnya beberapa gejala pada penderitanya seperti kesukaran dalam mengunyah dan menelan makanan, kesukaran dalam berbicara, kepekaan terhadap rasa berkurang (dysgeusia) dan kebutuhan yang meningkat pada air minum terutama pada malam hari.18,21,23
Xerostomia dapat ditandai bila saliva yang dikumpulkan jumlahnya sedikit atau tidak ada pada dasar mulut dan lidah tampak kering dengan penurunan jumlah papila. Saliva akan tampak berserabut dan berbusa. Xerostomia menurunkan pH mulut dan secara signifikan meningkatkan perkembangan plak dan karies gigi yang dapat ditemukan pada batas servikal atau leher gigi, batas insisal.18
2.2.4 Diagnosis dan Evaluasi
Diagnosis xerostomia dapat ditegakkan berdasarkan bukti yang diperoleh dari riwayat pasien, pemeriksaan pada rongga mulut dan sialometri yang merupakan sebuah prosedur sederhana untuk mengukur laju aliran saliva. Xerostomia harus ditanggulangi jika pasien mengeluh mulut terasa kering terutama pada malam hari, atau kesulitan makan makanan kering.18
Pada pemeriksaan rongga mulut, indikator yang digunakan untuk menentukan terjadinya xerostomia dengan meletakkan spatel yang kering di mukosa bukal dan spatel akan lengket di mukosa tersebut sewaktu diangkat.18 Beberapa tes dan teknik dapat digunakan untuk memastikan fungsi kelenjar saliva seperti sialometri dan sialographi. Pengukuran aliran saliva terdiri dari dua macam, yaitu whole saliva (terstimulasi dan tanpa terstimulasi) dan saliva individu. Pengukuran whole saliva yang tanpa terstimulasi terdiri dari empat cara pengumpulan, antara lain :24
1. Metode draining, yaitu dengan mengalirkan saliva keluar dari rongga mulut ke dalam tabung.
2. Metode spitting, yaitu dengan meludahkan saliva yang telah dikumpulkan setiap 60 detik selama 2-5 menit keluar dari dasar rongga mulut ke tabung. 3. Metode suction, yaitu dengan menyedotkan saliva yang ada didasar mulut
dengan suction tube.
4. Metode swab, yaitu dengan menggunakan swab absorbent.
Whole saliva terstimulasi biasanya menggunakan asam atau permet karet. Pada
metode saliva individu, pengukuran aliran saliva dilakukan dengan menggunakan perangkat yang ditempatkan di atas kelenjar parotis atau submandibula dan saluran kelenjar sublingual.24
2.3 Hubungan Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Terhadap Xerostomia
Xerostomia dikeluhkan sebanyak 90% pada pasien yang menerima radioterapi.10 Radioterapi pada daerah kepala dan leher terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya volume saliva. Jumlah dan keparahan kerusakan jaringan kelenjar saliva tergantung pada dosis dan lamanya penyinaran.21
Tabel 1. Hubungan antara dosis penyinaran dengan sekresi saliva 21
Dosis Gejala
< 10 Gray Reduksi tidak tetap sekresi saliva 10-15 Gray Hiposialia yang jelas dapat ditunjukkan 15-40Gray Reduksi masih terus berlangsung, reversibel
> 40 Gray Perusakan irreversibel jaringan kelenjar Hiposialia irreversibel
Pengaruh radiasi lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar saliva serous dibandingkan dengan kelenjar saliva mukous.21 Data laboratorium telah menunjukkan bahwa radiasi yang mengenai kelenjar serous mengalami kematian sel interfase secara apoptosis, hal ini diakibatkan oleh peningkatan intensitas perubahan degeneratif dengan dosis dan waktu radiasi dalam sel asini pada kelenjar serous yang menghasilkan dua jenis kerusakan, yaitu apoptosis pada dosis rendah dan nekrosis pada dosis tinggi.7
kerusakan. Kerusakan pada kelenjar saliva tersebut menyebabkan penurunan aliran saliva.7,21
Tingkat perubahan pada kelenjar saliva umumnya langsung berhubungan dengan dosis radiasi yang dihantarkan ke kelenjar saliva. Bentuk kerusakan yang paling parah dan tidak dapat diubah dari kelainan fungsi saliva ialah kerusakan atau hilangnya sel asini saliva. Di samping kerusakan sel secara langsung, tidak adanya kemampuan membasahi media mengurangi kemampuan kemoreseptor pada lidah dan palatum untuk menerima rangsangan dari makanan atau minuman mengakibatkan kegagalan respon saliva.7
Menurut Coppes, dkk pada tahun 2001 terdapat empat fase dari hilangnya fungsi kelenjar saliva yang disebabkan oleh radiasi. Fase pertama (0-10 hari) ditandai dengan penurunan yang cepat pada laju aliran saliva tanpa perubahan sekresi amilase atau jumlah sel asini. Fase ke dua (10-60 hari) ditandai dengan pengurangan sekresi amilase dan kehilangan sel asini yang paralel. Pada fase ketiga (60-120 hari) laju aliran saliva, sekresi amilase dan jumlah sel asini tidak berubah. Fase keempat (120-240 hari) ditandai dengan keburukan fungsi kelenjar tetapi meningkatnya jumlah sel asini, walaupun morfologi jaringannya buruk.24
Selain berkurangnya volume saliva terjadi perubahan lainnya pada saliva, dimana viskositas dan komposisi saliva berubah menjadi sangat kental dan lengket, putih, kuning, atau cairan yang berwarna coklat, pH menjadi turun dari 7 menjadi 5, penurunan kapasitas buffer, perubahan tingkat elektrolit saliva dan perubahan non imun serta imun sistem anti bakteri yaitu sekresi Ig A yang berkurang.21,26
Penurunan kapasitas buffer tersebut dapat terjadi karena berkurangnya konsentrasi bikarbonat pada kelenjar parotis. Peningkatan konsentrasi sodium, klorida, kalsium dan magnesium pada saliva telah dilaporkan walaupun konsentrasi dari potassium hanya sedikit dipengaruhi.26
2.4 Kerangka Teori
Perawatan Kanker Daerah Kepala dan
Leher
Xerostomia Radioterapi
Mekanisme Kerja
Tehnik Radioterapi
Dosis Radiasi
Komplikasi
Gejala dan Tanda
2.5 Kerangka Konsep
Radioterapi Daerah Kepala dan Leher
• Dosis Radiasi
Xerostomia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker pada daerah kepala dan leher merupakan permasalahan yang harus diperhatikan. Kanker daerah kepala dan leher terjadi kira-kira pada 10% penyakit kanker di dunia. Diantaranya, 40% terjadi pada kasus di rongga mulut, 25% pada laring, 15% pada faring, 7% kelenjar saliva dan 13% pada bagian lain.1
Delapan juta kasus kanker didunia dilaporkan setiap tahun. Dua ratus ribu kasus diantaranya terdapat pada rongga mulut. Pada tahun 2010 The Brazilian Instituto Nacional Do Cancer (INCA-BRASIL) memperkirakan terdapat 14.120 kasus baru kanker pada mulut terjadi pada 10.330 pria dan 3790 wanita di Brazil. Pada tahun 2008 di Brazil jumlah kematian akibat kanker mulut sebesar 6214 kasus diantaranya 4898 pria dan 1316 wanita.1
Di India dan China, kanker daerah kepala dan leher merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi. Di India dilaporkan dengan perbandingan 1 sampai 4 pada pria dan 2 sampai 10 pada wanita. Kanker daerah kepala dan leher biasanya terdapat pada membran mukosa dari rongga mulut, orofaring, laring, nasofaring, hipofaring, servikal esophagus, hidung, sinus paranasal dan bibir.2
Di Indonesia, kanker daerah kepala dan leher paling banyak ditemukan pada nasofaring sekitar 60%, sisanya kanker hidung dan sinus paranasal sekitar 18%, laring 16%, dan kanker rongga mulut, tonsil, hipofaring cukup rendah. Prevalensi kanker nasofaring di Indonesia cukup tinggi yaitu 4,7 per 100.000 penduduk.3
mukositis dan kandidiasis. Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien dengan kanker daerah kepala dan leher yang menjalani perawatan radioterapi adalah xerostomia.1,2,6-12 Hal tersebut dapat terjadi karena kelenjar saliva terkena sinar radiasi.9 Prevalensi xerostomia pada pasien yang telah mendapatkan radioterapi sekitar 90% yang ditemukan pada 30% pasien dengan kanker yang parah dan baru memulai program paliatif.10
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dawes dan Odium pada tahun 2004 terhadap 25 pasien yang menjalani perawatan radioterapi daerah kepala dan leher dijumpai 3 orang dengan mulut tidak kering, 12 orang mulut kering dan 10 orang mulut sangat kering.13 Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Blanco, dkk tahun 2005 menyatakan bahwa volume saliva pada masing-masing kelenjar berkurang kira-kira 5% per 1 Gy dosis radioterapi daerah kepala dan leher.14 Menurut penelitian Someya M, dkk tahun 2003 bahwa sekresi saliva pada pasien radioterapi daerah kepala dan leher dengan dosis ≤ 50 Gy secara signifikan lebih tinggi daripada pasien dengan dosis ≥ 58 Gy.9
RSUP Haji Adam Malik Medan (RSUP HAM) merupakan rumah sakit kelas A dan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Di rumah sakit tersebut terdapat sekitar 60-70 orang yang menjalani perawatan radioterapi setiap harinya dan 25% diantaranya merupakan pasien radioterapi daerah kepala dan leher.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Rumusan masalah umum
Apakah terdapat hubungan antara radioterapi kanker daerah kepala dan leher dengan xerostomia di RSUP HAM Medan?
1.2.2 Rumusan masalah khusus
1. Berapakah prevalensi xerostomia pada pasien dengan radioterapi kanker daerah kepala dan leher di RSUP HAM Medan?
2. Apakah terdapat hubungan antara dosis radiasi pada radioterapi kanker daerah kepala dan leher dengan xerostomia di RSUP HAM Medan?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara radioterapi kanker daerah kepala dan leher dengan xerostomia di RSUP HAM Medan.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi xerostomia pada pasien dengan radioterapi kanker daerah kepala dan leher di RSUP HAM Medan.
2. Untuk mengetahui karateristik dosis radiasi pada radioterapi kanker daerah kepala dan leher serta hubungannya dengan xerostomia di RSUP HAM Medan.
1.4 Hipotesa
Hipotesa dari penelitian ini yaitu:
Terdapat hubungan antara dosis pada radioterapi kanker daerah kepala dan leher dengan xerostomia.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat teoritis
1.5.2 Manfaat praktis
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2013
Tarra Dipa Sonia
Hubungan Antara Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Terjadinya Xerostomia pada Pasien Kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan
XI + 41 Halaman
(cross sectional). Penelitian ini melibatkan 46 subjek ( 38 orang laki-laki dan 8 orang perempuan) yang merupakan pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan sedang menjalani radioterapi. Penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan intra oral dan pengumpulan volume saliva. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji Chi-square (X2) untuk mengetahui hubungan radioterapi daerah kepala dan leher dengan terjadinya xerostomia. Hasil pada penelitian ini didapatkan 35 orang mengalami xerostomia dan 11 orang tidak xerostomia. Hasil uji statistik menggunakan Chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p = 0,01 atau < sig α (0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan radioterapi daerah kepala dan leher dengan terjadinya xerostomia.
Daftar Rujukan : 33 (1990-2011).
HUBUNGAN ANTARA RADIOTERAPI
DAERAH KEPALA DAN LEHER DENGAN
TERJADINYA XEROSTOMIA
PADA PASIEN KANKER
DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh
Tarra Dipa Sonia
090600046
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2013
Tarra Dipa Sonia
Hubungan Antara Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Terjadinya Xerostomia pada Pasien Kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan
XI + 41 Halaman
(cross sectional). Penelitian ini melibatkan 46 subjek ( 38 orang laki-laki dan 8 orang perempuan) yang merupakan pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik Medan sedang menjalani radioterapi. Penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan intra oral dan pengumpulan volume saliva. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji Chi-square (X2) untuk mengetahui hubungan radioterapi daerah kepala dan leher dengan terjadinya xerostomia. Hasil pada penelitian ini didapatkan 35 orang mengalami xerostomia dan 11 orang tidak xerostomia. Hasil uji statistik menggunakan Chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikansi p = 0,01 atau < sig α (0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan radioterapi daerah kepala dan leher dengan terjadinya xerostomia.
Daftar Rujukan : 33 (1990-2011).
HUBUNGAN ANTARA RADIOTERAPI
DAERAH KEPALA DAN LEHER DENGAN
TERJADINYA XEROSTOMIA
PADA PASIEN KANKER
DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh
Tarra Dipa Sonia
090600046
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan Di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 13 September 2013 Pembimbing:
Tanda tangan
Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji Pada tanggal 13 September 2013
TIM PENGUJI
KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Ir. Irsal, MP dan Yusnamiah, SE (Almh) serta kepada abang dan adik tersayang, Tessa Yudistira, SH dan Tomy Fadillah yang telah banyak memberikan nasihat, motivasi, doa dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penyelesaian skripsi ini.
3. Widi Prasetya, drg selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan Tim Penguji atas segala masukan dan saran yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.
Adam Malik Medan beserta staf, dan Kepala Unit Radioterapi RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin, bantuan dan saran dalam pelaksanaan penelitian ini.
6. Dede Amir Fhadillah, SE yang selalu memberikan doa, motivasi, semangat dan kasih sayang kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat penulis Geng Nine-Nine (Manok, Femy, Ade, Umay, Mira, Icut, Idah dan Raja), Yuyun, Dini, Asri, Tri dan lainnya yang telah meluangkan waktu, pikiran, masukan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh teman-teman stambuk 2009 yang tak mungkin disebutkan namanya satu-persatu.
Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat. Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain ucapan syukur sedalam-dalamnya, semoga Allah SWT memberi ridho-Nya pada kita semua.
Medan September 2013 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN...
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI...
KATA PENGANTAR...………... iv 1.3 Tujuan Penelitian………... 1.3.1 Tujuan Umum……… 1.3.2 Tujuan Khusus………... 1.4 Hipotesis Penelitian………... 1.5 Manfaat Penelitian………...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 2.1 Radioterapi Kanker daerah Kepala dan Leher...
2.1.1 Defenisi ………... 2.2.3 Gejala dan Tanda………...………... 2.2.4 Diagnosis dan Evaluasi ……….. 2.3 Hubungan Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Terhadap
Xerostomia ………. 2.4 Kerangka Teori………... 2.5 Kerangka Konsep...………...
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………... 3.1 Jenis Penelitian………... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 3.3 Populasi dan Sampel………...
3.6 Cara Pengumpulan Data………..…... 3.7 Pengolahan Data dan Analisis Data……… 3.8 Etika Penelitian………...
BAB 4 HASIL PENELITIAN………...…………...
BAB 5 PEMBAHASAN...……….………...
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN …….…………..………...
DAFTAR PUSTAKA ………... LAMPIRAN
23 23 24
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Hubungan antara Dosis Penyinaran dengan Sekresi Saliva……….. 2. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat
Perawatan Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia dan Jenis Kanker……… 3. Distribusi dan Frekuensi Xerostomia Pasien Kanker yang
Mendapat Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Ketika Dilakukan Penelitian……….. 4. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat
Perawatan Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Xerostomia Berdasarkan Jenis Kelamin……… 5. Distribusi dan Frekuensi Pasien Kanker yang Mendapat
Perawatan Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dengan Xerostomia Berdasarkan Usia……… 6. Tabulasi Silang antara Dosis Radiasi pada Perawatan
Radioterapi Daerah Kepala dan Leher dan Terjadinya Xerostomia………..
Halaman
14
26
27
28
29
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Surat Persetujuan Komisi Etik (Ethical Clearance) 2. Lembar Penjelasan kepada Subjek Penelitian
3. Informed Consent