PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK
ATAS TANAH ADAT :
STUDI MENGENAI KONVERSI HAK
ATAS TANAH GRANT SULTAN DI KOTA MEDAN
TESIS
Oleh :
APRILLIYANI
057011005 / MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK
ATAS TANAH ADAT :
STUDI MENGENAI KONVERSI HAK
ATAS TANAH GRANT SULTAN DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
APRILLIYANI
057011005 / MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK
ATAS TANAH ADAT : STUDI MENGENAI KONVERSI HAK ATAS TANAH GRANT SULTAN DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Aprilliyani Nomor Pokok : 057011005 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS,CN)
Ketua
(Dr.Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 5 Nopember 2007
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. M. Yamin, SH., MS., CN.
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi. A, SH., CN., MHum 2. Dr. Budiman Ginting, SH.,MHum
Judul Tesis : PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK
ATAS TANAH ADAT : STUDI MENGENAI KONVERSI HAK ATAS TANAH GRANT SULTAN DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Aprilliyani Nomor Pokok : 057011005 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS,CN)
Ketua
(Dr.Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)
ABSTRAK
Pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah hak adat yaitu pembuktian bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat dilakukan melalui alat-alat bukti mengenai adanya hak berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi. Dengan adanya konversi atas tanah, maka terbuka peluang bagi pemilik Grant Sultan untuk meningkatkan status tanahnya, yaitu dengan cara dikonversi menjadi hak milik. Meskipun hak milik adat tetap diakui, akan tetapi dianggap sebagai bekas hak milik adat yang masih harus disesuaikan dengan ketentuan konversi hak-hak atas tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria, jika statusnya ingin ditingkatkan menjadi status hak milik menurut peraturan yang diatur di dalam Undang-undang Pokok Agraria.
Demikianlah Grant Sultan merupakan salah satu dari bukti kepemilikan atas tanah, atau disebut juga sebagai bukti tertulis, dimana bukti tersebut atas nama pemegang hak, pada waktu berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, seyogianya dikonversi menjadi hak milik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pengaturan pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah hak adat pada Kantor Pertanahan Kota Medan khususnya tanah grant sultan di Kota Medan. Oleh karena itu perlu penelitian mengenai pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah hak adat dan hambatan-hambatan serta upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah hak adat.
Untuk menjawab hal tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu : pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kenyataan yang terjadi dilapangan, khususnya peraturan perundang-undangan yang mendukung terlaksananya pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah hak adat. Penelitian ini didukung oleh data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan alat pengumpulan data pedoman wawancara dari nara sumber dan pengamatan, dan data sekunder dari buku-buku hokum, peraturan perundang-undangan tentang pendaftaran tanah, serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Kemudian keseluruhan data diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif.
Akhirnya disarankan agar pemerintah khususnya Kantor Pertanahan Kota Medan agar memberikan penyuluhan tentang pentingnya sertipikat serta prosedur pelaksanaan konversi tanah Grant Sultan bagi masyarakat pemegang tanah grant sultan.
ABSTRACT
Implementation of registeration of the right conversion on the custom-possessed land as the evidence of the Older Right and the Custom-owned Land is carried out through the instruments of evidence regarding the presence of proofs in written.
Given the conversion on land, there is a probability for the owner of Sultan Grant to increase his custom land status, by convertig into the possession. Even though the ownership is remain recognized, however, it is considered to be former custom possessed that still should be complied with the regulation of conversion of right on custom land in the Laws of Agrarian, if the status will be increased to be possession in pursuant of the statutory rule as stipulated I the Laws of Agrarian
Similarly, the Sultan Grant is one of the possession evidences on land, or it is also called as a proof in written in which the proof is on behalf of the holder of right, when the Laws of Agrarian is effective, it should be converted ito possession. The objective of this study is to find know how the arrangement of registeration of conversion of right on the custom possessed land at the Municipal Landform Office of Medan especially on the Sultan grant land in Medan. Therefore, it is required to make a study of implementing a registeration of conversion of rights on the custom-possessed land and the challenges and even what efforts to do to deal with the challenges in implementation of registeration of conversion of rights on the custom-possessed land.
Finally, it is suggested that the municipal Government particularly the Municipal Landform Office of Medan may provide a promotion /guidance about the importance of certificate and procedures of the implementation of conversion of Sultan Grant land for those people who owned the Sultan grant lands
Keywords : - Implementation of conversion - Right on custom-possessed land - Sultan Grant
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah S.W.T yang telah
memberikan kekuatan jasmani dan rohani sehingga penulis telah dapat
merampungkan penulisan Tesis dengan judul “PELAKSANAAN PENDAFTARAN
KONVERSI HAK ATAS TANAH HAK ADAT STUDI MENGENAI
KONVERSI ATAS TANAH GRANT SULTAN DI KOTA MEDAN”. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera
Utara Medan. Penulisan tidak terlepas dari bimbingan, arahan, dan bantuan dari
semua pihak, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin
Lubis, SH, MS, CN, Bapak Dr. Budiman Ginting, SH, MHum., dan Ibu Dr. T.
Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., yang memperlakukan saya sebagai murid,
anak, bahkan sahabat, sehingga berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang
diberikan kepada saya telah diperoleh hasil yang maksimal.
Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada pada dosen penguji
diluar komisi pembimbing Bapak Syafnil Gani, SH, MHum., dan Ibu Chairani
Bustami, SH, SpN, MKn. yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan
arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap
kolokium, dan sampai selesainya penulisan tesis ini.
Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan, dan para Asisten Direktris berserta seluruh staf
atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan pendidikan ini.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Medan, yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan
proposal penelitian tesis ini.
3. Para Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana khususnya pada
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan,
yang membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada saya sehingga dapat
menyelesaikan studi, atas jasa dan budi para Bapak dan Ibu Dosen, saya ucapkan
terima kasih.
4. Para Pegawai/Staf pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatara Utara yang selalu membantu penulis dengan sepenuh hati dan
memberikan senyuman manis, terutama dalam kelancaran manajemen administrasi
yang dibutuhkan.
5. Bapak Drs. Ronsen Pasaribu, SH, MM, Selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota
Medan, Bapak Emri Rangkuti, SH, MKn., selaku Kepala Tata Usaha Kantor
Pertanahan Kota Medan, serta Bapak Safrudin Chandra, SH, CN, MKn., selaku
Staf Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan,
Bapak Mangasi Tambunan, SH, selaku Staf Permasalahan Kantor Pertanahan Kota
Medan, Bapak Jokiaman Limbong, SH, selaku Staf Keuangan Permasalahan
Kantor Pertanahan Kota Medan serta seluruh Pegawai Kantor Pertanahan Kota
Medan yang telah memberi informasi data kepada saya dalam rangka penulisan
tesis ini.
6. Bapak Oloan Pasaribu, SH, Selaku Staf pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Medan,
7. Bapak Rudy Haposan Siahaan, SH, dan Bapak Sopar Siburian, SH, yang telah
bersedia saya wawancarai dan memberikan informasi, dalam rangka penulisan tesis
ini.
8. Seluruh sahabat-sahabat pada Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatara Utara Medan, yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu
yang telah memberikan bantuan semangat, dorongan, motivasi kepada saya dalam
Secara khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada
suamiku Gary Baldi, SE, dan anak-anakku tersayang Rivanka Gradian Baldi dan
Difelia Putri Balqis, yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, terutama dalam
mendukung, membantu serta mencurahkan kasih, perhatiannya terhadap penulisan
tesis ini.
Akhirnya kepada orang tuaku tercinta bapak Drs. Taufiq Hidayat dan ibunda
Ernawati, serta mertuaku Almarhum Bapak Munir Ismail dan Ibunda Farida, serta
Abangku Yunnata Surya, kakakku Riana Dewi, SE, dan adikku Noviansyah, SH, juga
ipar-iparku maupun seluruh keponakan-keponakanku yang dengan kasih sayang
dalam memberikan dorongan serta doa kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (Strata-2), Sekolah Pasca
Sarjana, Universitas Sumatera Utara Medan.
Medan, 6 Juni 2007
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Na m a : APRILLIYANI
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang / 06 April 1978
Status : Menikah
Alamat : Jalan Universitas No. 36 Medan
II. Orang Tua
Nama Ayah : Drs. Taufiq Hidayat
Nama Ibu : Ernawati
III. Pendidikan
1. TK. Xaverius Curup : Tamat Tahun 1984
2. SD. Xaverius Lubuk Linggau : Tamat Tahun 1990
3. SMP. Xaverius Lubuk Linggau : Tamat Tahun 1993
4. SMA. Xaverius Lubuk Linggau : Tamat Tahun 1996
4. Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta : Tamat Tahun 2000
5. Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DARTAR RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsi ... 20
G. Metode Penelitian... 23
1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 23
2. Teknik Pengumpulan Data ... 23
3. Lokasi Penelitian... 24
4. Sumber Data... 24
5. Alat Pengumpulan Data ... 25
6. Analisis Data ... 26
BAB II PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT ... 27
A. Asas dan Sistem Pendaftaran ... 28
A. Kerajaan-Kerajaan Melayu di Sumatera Timur ... 57
B. Pengertian Grant Sultan ... 60
C. Jenis-Jenis Grant... 62
D. Grant Sultan dan Hak Ulayat Masyarakat Melayu ... 64
E. Grant Sultan Pada Masa Sebelum Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria ... 67
F. Grant Sultan Pada Masa Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria ... 69
G. Ciri-ciri Grant Sultan Yang Dapat Dikonversi di Kota Medan... 70
H. Administrasi Grant Sultan dan Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan ... 73
BAB III KENDALA YANG MENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK ... 80
ATAS TANAH ADAT A. Masalah Pertanahan Mengenai Grant Sultan ... 80
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGATASI KEDALA YANG MENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT ... 102
A. Kesimpulan... 111
B. Saran... 112
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Data Asal Usul Kepemilikan Grant Sultan --- 71
Tabel 2 : Data Keadaan Letak Tanah Grant Sultan Yang Terdapat
di Kota Medan --- 84
Tabel 3 : Data Mengenai Tanah Grant Sultan Yang Dikuasai
Oleh Penggarap --- 85
Tabel 4 : Data Grant Sultan Yang Sudah Dialihkan Sebelum
Di Konversi --- 86
Tabel 5 : Data Status Tanah Grant Sultan Yang Berasal
Dari Pewarisan --- 87
Tabel 6 : Data Tanah Grant Sultan Yang Berasal Dari Warisan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk
manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
melanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap
anggota masyarakat, bahkan sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama
yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah-kaedah yang mengatur
hubungan antara manusia dengan tanah.
Tanah merupakan tempat atau ruang sekaligus sebagai sumber kehidupan bagi
seluruh makhluk hidup di atas bumi, terutama bagi manusia. Di satu sisi pertambahan
penduduk semakin melaju cepat yang diikuti dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi di berbagai bidang, sedangkan di sisi lain tanah
merupakan sumber daya alam yang terbatas baik luas maupun kesuburannya.
Tanah juga dijadikan sebagai sarana investasi. Bagi investor, pemilikan dan
penguasaan tanah merupakan sarana investasi yang sangat menguntungkan dan
menjadikan keamanan dalam jangka panjang, ”akibatnya banyak tanah yang dibeli
tidak untuk digarap atau dikembangkan”.1 Hubungan antara manusia dengan tanah
1
sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia
untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka,
tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang-orang halus
pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya -daya hidup,
termasuk juga hidupnya umat.
Sebelum berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, hukum tanah di
Indonesia yang dipengaruhi oleh keadaan pada jaman penjajahan adalah ”bersifat
dualisme, dimana status hukum tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa
(Burgerlijk Wetboek) dan ada yang dikuasai oleh hukum adat (hukum tanah adat)”.2
Tanah-tanah yang dikuasai oleh hukum Eropa disebut juga dengan tanah hak
Barat, “misalnya tanah eigendom, tanah erpacht, tanah opstal dan lain-lain yang
hampir semuanya terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah, menurut
Overscrijvingsordonnantie atau ordonasi Balik Nama (S. 1834-27)”. Tanah-tanah
dengan hak Barat ini tunduk pada ketentuan hukum agrarian Barat, misalnya
mengenai cara memperolehnya, peralihannya, lenyapnya hapusnya),
pembebanannya dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta
kewajiban-kewajiban yang mempunyai hak.
2
Tanah-tanah dengan hak Indonesia yaitu tanah yang tunduk pada hukum
agrarian adat, ”antara lain adalah tanah ulayat, tanah milik (yayasan), tanah usaha,
tanahgogolan.”1
Taah-tanah dengan hak Indonesia atau yang tunduk pada hukum adat hampir
semua belum terdaftar kecuali tanah yang berstatus buatan atau ciptaan pemerintah
kolonial yaitu, “tanah Agrarische Eigendom, tanah milik di dalam kota Yogyakarta,
tanah-tanah milik di dalam kota, di daerah Surakarta dan tanah-tanah Grant di
Sumatera Timur.”2
Tanah Adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai
sejak dulu, dan telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan
bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya
berdominasi.
Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang
berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
merupakan suatu conditio sine qua non. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan
campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai
lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat,
campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutuan hukum, seperti kepala
atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat
ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya.
1
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Jogyakarta, 2001, Hal. 49.
2
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah-kaedah hukum. Keseluruhan
kaedah hukum yang tumbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama
manusia adalah sangat berhubungan erat dengan pemanfaatan tanah sebaik-baiknya
sekaligus menghindarkan perselisihan. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah
adat. Dari ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang
berkaitan erat dengan hak-hak yang ada diatas tanah.
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’,
yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum
Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.3
Dualisme dalam hukum pertanahan juga mengakibatkan dualisme dalam
penyelenggaraan dan prosedur peralihan hak atas tanah. Untuk itulah diperlukan
unifikasi hukum pertanahan yang bersifat nasional. Oleh sebab itu, pada tanggal 24
September 1960 lahir Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dengan berlakunya undang-undang Pokok
Agraria, maka hukum Agraria lama yang lebih condong untuk kepentingan penjajah
dihapuskan dan digantikan dengan hukum agraria baru yang bersifat nasional.
Di dalam Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria disebutkan bahwa
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara.”4
Dengan demikian, “landasan hukum yang dijadikan sendi-sendi dari hukum agraria
3
Ahmad Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat-Multi disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, Hal. 12.
4
nasional adalah hukum adat menurut versi Undang-undang Pokok Agraria.”5 Dari
kenyataan tersebut, maka jelaslah bahwa keberadaan tanah hak milik adat yang di
akui berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria masih dapat ditemukan pada masa
sekarang. ”Sebagai contoh yaitu tanah Grant Sultan, kedudukan hak yang diperoleh
dengan Grant Sultan kepada kaula Swapraja, hak Grant Sultan pada masa setelah
kemerdekaan didaftar di kantor Pejabat pamong Praja.”6
Keadaan seperti ini merupakan peninggalan atau warisan dari politik agraria
Pemerintah Hindia Belanda, yang pada dasarnya juga dijadikan alasan untuk
memisahkan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing.
Hal ini dapat terlihat dari komentar Ter Haar Bzn yang menyebutkan bahwa
”dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi atas
tanah, syarat hidup bagi penduduk pribumi, syarat berdiri bagi pengusaha-pengusaha
perkebunan Eropa”9.
Terlepas dari itu, diseluruh Indonesia kita melihat adanya
hubungan-hubungan antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan
kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah-tanah itu, yang
dinamakan Beschikkingsrecht. Untuk istilah ini, beberapa sarjana memiliki beberapa
5
Ibid, Hal. 16. 6
Ali Achmad Chomzal, Hukum Agraria, Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, Hal. 133. 9
perbedaan penggunaan istilah, misalnya ‘hak pertuanan’ (Soepomo), ‘hak ulayat’
(Soekanto dan Mr. Mahadi).10
Hal ini membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa tanah adat atau
hukum tanah adat di Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat besar pada pola
hidup dalam persekutuan masyarakat hukum tanah adat. Tetapi masalah hukum tanah
adat tidaklah mudah adanya. Karena masih dibawah pengaruh dualisme hukum tanah
adat yang ada selama masa Pemerintah Hindia Belanda.
Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh
masyarakat Adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya di
wilayah pedesaan di luar Jawa, tanah ini diakui oleh hukum Adat tak tertulis baik
berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah.
Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat, tanah
milik bersama masyarakat Adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat
melalui penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai
dikenal di dalam sistem pemilikan komunal.
Situasi ini terus berlangsung di dalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak
abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan kolonial Belanda pada abad ke
tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan
menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah di bawah hukum Adat
10
dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan
kolonial, tanah bersama milik Adat dan tanah milik Adat perorangan adalah tanah di
bawah penguasaan negara.
Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepada
yang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas tanah-tanah
di perkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi
pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.
Tanah dapat juga digunakan sebagai pendukung keberhasilan pembangunan disegala bidang, karena tanah dapat juga dijadikan sebagai jaminan Kredit ke Bank, dalam usaha tersedianya dana untuk kebutuhan Modal Usaha. Disamping itu Tanah dapat dipergunakan dalam berbagai kegiatan sosial, keagamaan, kesehatan, pendidikan, olah raga, politik pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta bidang-bidang lainnya.11
Sebagaimana juga yang tercantum dalam Penjelasan Umum angka 1 bahwa
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah meletakkan dasar-dasar pemikiran
baru dalam hubungan hukum antara rakyat dan masyarakat Indonesia dengan bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, seperti
yang dijelaskan dalam tujuan pokok UUPA yaitu antara lain :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.12
11
Ibid, Hal 23. 12
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa tujuan UUPA tersebut adalah untuk
meletakkan landasan yang kuat guna memberikan jaminan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah yaitu dalam hak kepemilikan dan penguasaan atas
tanah.
Undang-Undang Pokok Agraria pasal 19 mengharuskan pemerintah
menyelenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan
ini, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
pendaftaran tanah, yang kemudian pada tanggal 8 Juli 1997 diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Menurut Boedi Harsono, ”pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya”.13
Didalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 disebutkan bahwa :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah di dalam pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal 1 meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
13
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan
bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya
tersebut”.
Dari isi Pasal 19 tersebut, telah dijelaskan bahwa pendaftaran tanah adalah
merupakan upaya yang diadakan pemerintah yang bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum di bidang hak-hak atas tanah. Pendaftaran tanah akan menghasilkan
kepastian bukti hak atas tanah yang merupakan alat yang mutlak ada, sebagai dasar
status kepemilikan tanah. Dengan adanya bukti hak atas tanah, maka seseorang dapat
mempertahankan haknya dan mempergunakan hak tersebut sesuai dengan
kepentingannya, misalnya dalam melakukan peralihan hak atas tanah maupun untuk
Dengan terdaftarnya hak-hak atas tanah atau diberikannya hak-hak atas tanah
kepada semua subyek hak untuk dimanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan
peruntukannya, maka akan terciptalah jaminan kepastian hukum.14
Pemberian hak atas tanah merupakan wewenang Negara yang dilaksanakan
oleh pemerintah dengan prosedur yang ditentukan dalam perundang-undangan.
Dalam hal ini pemberian hak atas tanah tidak dimungkinkan lagi dilakukan oleh
lembaga lain seperti lembaga peradilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 584,
Pasal 610 dan Pasal 1010 KUH Perdata yang dikenal dengan uitwijzings-prosedure,
karena UUPA tidak mengenal lembaga uitwijzings-prosedure dalam sistem
pemberian hak atas tanah.15
Dengan demikian pemberian hak atas tanah hanya dapat dilakukan oleh
Negara melalui pemerintah, sehingga setiap perselisihan maupun persengketaan hak
atas tanah merupakan pula sebagian dari tugas pemerintah di dalam fungsi
administrasi.16Terhadap pemberian hak atas tanah termasuk dalam setiap
penyelesaian masalah pertanahan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk
pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang haknya.
14
Lihat Pasal 19 ayat 1 UUPA dinyatakan bahwa untuk kepastian hukum dilaksanakan pendaftaran atas tanah diseluruh wilayah Indonesia. Kemudian dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, juga untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah.
15
uitwijzings-prosedure adalah seseorang karena kadaluwarsa waktu menguasai sebidang tanah dengan iktikad baik selama jangka waktu tertentu (30) tahun secara terus menerus sehingga menguasai sebidang tanah, maka yang bersangkutan dapat memohon kepada pengadilan untuk kepastian hukumnya dan juga dapat membuktikan iktikad baiknya dapat diputuskan tanah itu adalah miliknya dan kepadanya dapat diberikan hak eigendom.
16
Bukti hak atas tanah disebut juga dengan sertifikat. Jadi sertifikat merupakan
hasil dari kegiatan pendaftaran tanah yang merupakan realisasi dari tujuan
Undang-Undang Pokok Agraria, dimana ”kegiatan pendaftaran tanah akan menghasilkan
tanda bukti hak atas tanah yang disebut dengan sertifikat”.17
Dengan adanya sertifikat, maka pada bidang tanah dapat diketahui kepastian
letak tanah, batas-batas tanah, luas tanah, bangunan dan jenis tanaman apa yang ada
di atasnya. Demikian pula ”untuk memperoleh kepastian mengenai status tanahnya,
siapa pemegang haknya dan ada atau tidak adanya hak pihak lain”.18
Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, dalam ketentuan umum pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa ”Pendaftaran
Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Kegiatan bidang yuridis bertujuan untuk memperoleh data mengenai haknya,
siapa pemegang haknya, dan atau tidak adanya hak pihak lain yang membebaninya
17
Maria SW. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta , Buku Kompas, 2001, Hal. 81.
18
sedang kegiatan yang ketiga adalah penerbitan surat tanda bukti halnya. Surat tanda
bukti hak atas tanah yang sudah didaftar tersebut disebut sertifikat.
Sistem pendaftaran tanah, adalah mempermasalahkan tentang apa yang harus
didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis, serta bentuk tanda
buktinya.
Terdapat dua macam sistem pendaftaran tanah yaitu :
”1. Sistem pendaftaran akta (Registration of deeds)
2. Sistem pendaftaran hak (Registration of titles)”19
Jadi, baik di dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak,
setiap pemberian atau penciptaan hak baru, serta pemindahan dan pembebanannya
dengan hak lain, kemudian harus dibuktikan dengan suatu akta.
Dalam akta tersebut dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan yaitu
mengenai apa perbuatan hukumnya, haknya penerima haknya, dan hak apa yang
dibebankan, yang kemudian akta di daftar oleh Pejabat Pendaftaran Tanah.
Di dalam sistem pendaftaran hak, dikenal juga Torrens System, bukan aktanya
yang didaftar, tetapi haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian.
Meskipun akta tetap merupakan sumber datanya.
Jadi, di dalam sistem pendaftaran hak terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi dibuatkan suatu daftar isian. Pada sistem pendaftaran hak, Pejabat Pendaftaran
tanah akan melakukan pengujian kebenaran data, yaitu sebelum dilakukan
19
pendaftaran hak di dalam buku tanah. Jadi, Pejabat Pendaftaran tanah, dalam hal ini
bersikap aktif.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi
Permasalahan dalam Penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah adat Grant Sultan
di Kantor Pertanahan Kota Medan ?
2. Apakah kendala yang dihadapi, dalam pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas
tanah adat Grant Sultan di Kantor Pertanahan Kota Medan tersebut?
3. Upaya apakah yang dilakukan dalam menghadapi kendala yang timbul dalam
pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah adat Grant Sultan di Kantor
Pertanahan Kota Medan tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam Penelitian ini, maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam Penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah adat
Grant Sultan di Kantor Pertanahan Kota Medan.
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi, pelaksanaan pendaftaran konversi
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan terhadap kendala yang timbul dalam
pelaksanaan pendaftaran konversi hak atas tanah adat Grant Sultan di Kantor
Pertanahan Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil Penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis, hasil Penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang Agraria yang menyangkut
dalam hal pendaftaran atas tanah di Indonesia yang salah satunya menekankan
dalam hal konversi grant sultan di Kota Medan.
2. Secara Praktis, bahwa Penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi
ilmu pengetahuan dalam bidang hukum agraria ataupun pertanahan. Terutama
bagi praktisi hukum dan pejabat atau pegawai Pertanahan, di dalam melaksanaan
pekerjaannya sebagai pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang, untuk
melakukan pendaftaran atas tanah salah satunya dalam hal konversi grant sultan
di Kota Medan, disamping itu, penelitian ini dapat berguna bagi para Notaris dan
PPAT, selaku Pejabat Negara yang ditunjuk oleh Undang-Undang, untuk
membuat akta otentik.
Demikian pula halnya bagi masyarakat pemilik tanah yang hendak
mendaftarkan haknya ke Kantor Pertanahan setempat, dimana penelitian ini, dapat
berguna untuk mengetahui prinsip konversi grant sultan di Kota Medan dalam
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelurusan yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,
khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada
penelitian yang menyangkut masalah, “Pelaksanaan Pendaftaran Konversi Hak Atas
Tanah Adat Studi Mengenai Konversi Atas Tanah Grant Sultan di Kota Medan”.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi,20 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.21
Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis22. Bagi peneliti, konversi hak suatu pembuktian
bekas hak lama dan hak milik adat dilakukan melalui alat-alat bukti mengenai adanya
hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup oleh pejabat yang
berwenang.
20
J.J.J M. Wuisman, dengan penyuting M. Hisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Asas-Asas, FE,UI, Jakarta, Hal. 203.
21
Ibid, Hal. 16. 22
Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuatu dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat.23
Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik
anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya
pihak yang melarang.
Supaya tidak ada ketidakjelasan hak antara satu sama lain pihak, maka
diperlukanlah aturan-aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Aturan-aturan atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan manusia dengan tanah
ini, selanjutnya disebut hukum tanah menurut hukum tanah adat.
Menurut Hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu:
1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.
Secara umum, Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’. Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum Tanah Adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat-pusat
23
kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah.24
Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah dan mempunyai
hak-hak tertentu atas tanahnya, dan melakukan hak-haknya baik keluar maupun ke dalam
persekutuan. Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut maka persekutuan masyarakat
hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa memungut hasil dari tanahnya dengan
membatasi adanya orang-orang lain yang melakukan hal yang serupa itu. Sebagai
suatu kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orang-orang dari luar
masyarakat itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran di wilayah tanah masyarakat
itu.
Masyarakat adat membatasi kebebasan berbuat anggota-anggotanya secara
perseorangan berdasarkan atas haknya atas tanah itu dan untuk kepentingannya
sendiri (kepentingan masyarakat).25 Sehingga, sifat sosial tanah itu benar-benar
terjadi, berlaku dan dipertahankan dengan jelas.
Sifat yang khusus dari hak pertuanan atau persekutuan adalah terletak pada
daya timbal balik dari pada hak itu terhadap hak-hak yang melekat pada orang
perorangan atau individu. Semakin memperkuat anggota masyarakat (selaku
pengolah tanah) hubungan individu tersebut dengan tanah yang tertentu itu dari pada
tanah yang diliputi oleh hak persekutuan, makin memperdalam hubungannya dengan
24
Ibid, Hal. 71. 25
hukum perseorangan (terhadap tanah itu), maka makin kecillah hak yang dimiliki
masyarakat terhadap sebidang tanah itu.26
Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan
itu diabaikan secara terus-menerus, maka hak-hak masyarakat akan dikembalikan
seperti sedia kala, dan hak persekutuan atas tanah itu berlaku kembali tanpa ada
gangguan. Misalnya, dapat saja diatur agar tanah sedemikian itu menjadi bagian
orang-orang miskin atau orang-orang baru anggota persekutuan dengan ‘hak pakai’
(hak-hak sementara).27
Anggota-anggota masyarakat sebagai perseorangan atau individu dapat
memungut hasil dari tanah itu, dalam mayoritas lingkungan hukum adat pada
pokoknya selama penggarapan tanah itu semata-mata hanya diperuntukkan untuk
mencari nafkahnya saja, atau berikut untuk keluarganya atau kerabatnya. Apabila
anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu, misalnya melakukan
penggarapan tanah untuk kepentingan perdagangan (trading) dalam artian untuk
memperkaya diri sendiri, maka mereka akan diperlakukan seberapa jauh sebagai
orang-orang dari luar persekutuan, yang selanjutnya hak-hak persekutuan yang
bersifat ke luar akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali lagi di sini dapat terlihat
bahwa sifat tanah itu benar-benar adalah bersifat sosial adanya.28
Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk
26
Ibid, Hal. 72. 27
Ibid, Hal. 73. 28
membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan
sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak
membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya salah satu dari pada
tanda-tanda munculnya hak persekutuan atau beschikingsrecht dan hanya ada pada
anggota-anggota masyarakat atau tanah-tanah di lingkungan hak pertuanan itu sendiri.
Hubungan hukum seperti ini dapat diwariskan.
Para pemimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk mencabut kembali
hak pakai atas tanah karena alasan-alasan tertentu. Misalnya, apabila lahan lama telah
lama ditinggalkan, atau si penggarap telah meninggal dunia tanpa mempunyai ahli
waris, atau karena suatu perjanjian tertentu masyarakat hukum adat, atau karena si
penggarap telah berkelakuan kurang baik terhadap persekutuan hukum.
Penggarapan tanah atau pemakaian tanah untuk menikmati hasilnya tersebut, juga berlaku bagi kepala atau pegawai masyarakat hukum selama mereka menjabat dinas bagi kepentingan persekutuan hukum. Tanah-tanah seperti ini sering disebut sebagai ‘tanah bengkok’, atau di beberapa tempat lainnya, para pemimpin persekutuan dapat saja menikmati hasil dari tanah dengan jalan memiliki tenaga kerja yang diambil dari sesama anggota persekutuannnya. Lebih tegasnya, ‘tanah bengkok’ yang disebut di sini adalah sebagian dari tanah persekutuan yang diperuntukan sebagai semacam gaji kepala desa, terlepasdari mana asal usulnya yang lebih tegas, tetapi secara umum diambil dari tanah persekutuan.29
Hal lain yang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah karena
tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau beschikkingsrecht.
Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan menurut hukum adat
adalah konstruksi yuridis yang abstrak. Sehingga batas- batas pertanahan antara
29
persekutuan hukum adat yang satu dengan yang lainnya yang bertetangnga sering kali
tidaklah jelas adanya. Sehingga, ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim
batas tertentu tanahnya, bisa jadi itu sudah dianggap melampaui batas yang telah
diklaim oleh persekutuan hukum adat tetangganya. Apabila kelak ada orang yang
berkehendak untuk membuka lahan di bidang yang adalah ‘perbatasan’ tersebut,
maka konflik pertanahan antar persekutuan hukum akan timbul dengan sendirinya.
Hal yang seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila ada ketegasan hukum dalam
bidang pertanahan.
Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik, adalah karena
adanya prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat
dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya pada waktu terjadi perbedaan
pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas-batas tanah
tersebut, masing-masing persekutuan hukum akan membela haknya dengan segala
cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah mereka
klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja.
Ada nilai magis-religi yang terdapat antara tanah persekutuan dengan masyarakat
persekutuan yang membuat prinsip itu berlaku dengan kuat di antara mereka.
Di sinilah letak perlunya peran pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi
untuk membuat peraturan yang memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam
bidang pertanahan, menghindari konflik pertanahan di antara persekutuan hukum
adat. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam hal beschikingsrecht, yang dimaksud
Van Vollenhoven.30 Sehingga fungsi ke dalam maupun ke luar dapat disimpulkan
sebagai hak pakai oleh setiap warga masyarakat daerah persekutuan dan tanah demi
kepentingan bersama dalam masyarakat daerah persekutuan serta persekutuan
lainnya. Sementara itu, ada juga Hak Perseorangan atau individu atas tanah.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan Konsepsi
dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.31
Menurut Soerjono Soekanto bahwa ”Kontinuitas Perkembangan ilmu hukum, selain
bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori.”32 Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan ”
serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep”. 33
Menurut Snelbecker yang mendefinisikan teori sebagai ”Seperangkat proposisi yang
terintegasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat
dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati)
dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang
30
Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta; 1985, Hal. 22, 23.
31
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal. 3. 32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 1986, Hal. 6.
33
diamati.”34 ”Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk
bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasi hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.”35 Oleh karena itu
untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa
konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai
dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu :
Menurut Boedi Harsono, mengartikan bahwa Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara/pemerintah secara terus-menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada diwilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda-buktinya dan pemeliharannya.36
Yang dimaksud dengan ”Konversi hak-hak atas tanah adalah perubahan hak
lama atas tanah menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria”.37
Sedangkan menurut A.P. Parlindungan, konversi hak-hak atas tanah adalah
”bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya
Undang-Undang Pokok Agraria untuk masuk dalam sistem Undang-Undang Pokok
Agraria”.38
Upaya pelaksanaan konversi tanah Grant Sultan adalah dalam rangka
pengumpulan dan pengolahan data fisik dalam proses pendaftaran tanah, diantaranya
34
Snelbecker, dikutip dalam Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, Hal. 34.
35
Burhan Ashshofa, Op. Cit. Hal. 23. 36
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, ( Hukum Tanah Nasional), Jilid I Djambatan, Revisi 2003, Hal 72.
37
Ali Achmad Chomzah, 2004, Op.Cit, Hal. 80. 38
berdasarkan kegiatan pembuktian hak “meliputi pembuktian hak baru, pembuktian
hak lama, dan pembukuan hak”.39 Sedangkan untuk konversi tanah Grant Sultan
dilakukan berdasarkan pembuktian hak lama.
Surat Grant, untuk tanah-tanah di daerah Kesultanan Deli Sumatera Timur
misalnya dikenal tanah-tanah yang disebut :
a. Grant Sultan (Grant S), semacam hak milik adat, diberikan oleh pemerintah
swapraja, khusus bagi para kaula swapraja dan didaftarkan di kantor pejabat
swapraja.
b. Grant Controleur (Grant C), diberikan oleh pemerintah swapraja bagi yang
bukan golongan kaula swapraja, didaftarkan di kantor Controleur.
c. Grant Deli Maatschappij (Grant D), terdapat di kota Medan dan diberikan
oleh Deli Maatschappij, juga terdapat di kantor perusahaan tersebut.
d. Hak konsesi untuk perusahaan kebun besar, diberikan oleh pemerintah
swapraja dan didaftarkan di kantor Residen.
e. Tanah Garapan, termasuk juga dalam tanah negara yang belum bersertifikat.
Tanah garapan dimaksudkan terhadap tanah yang diketahui tidak dimiliki oleh
siapapun, maka orang yang hendak menguasainya disebut pihak penggarap.
Tanah garapan tidak mempunyai alas hak dan untuk mengetahuinya cukup
dengan melihat dan yakin bahwa tanah tersebut telah digarap olehnya.
39
f. Pendaftaran tanah untuk pemeliharaan data adalah dengan cara data yang
disimpan/disajikan, baik data fisik maupun data yuridis, perlu disesuaikan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, agar selalu sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya. Perubahan pada data fisik dapat terjadi jika
luas tanah berubah, yaitu dengan cara pemisahan atau pemecahan bidang
tanah yang bersangkutan, menjadi satuan-satuan baru.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Dari judul dan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
penelitian ini bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Disebut demikian karena
penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan
atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang
lain.40
Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum,
sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan,
yurisprudensi dan beberapa buku mengenai hukum pertanahan.
Tujuan dari penelitian hukum normatif untuk menganalisa secara yuridis
bagaimana pelaksanaan Pendafaran Konversi Hak Atas Tanah Adat Studi Tentang
Grant Sultan di Kota Medan.
40
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dari penelitian kepustakaan
(library research) dan penelitian lapangan (field research) untuk menghimpun data
sekunder41 dari para responden maupun data sekunder berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku, teori-teori dan asas-asas hukum, doktrin-doktrin dan
yurisprudensi-yuriprudensi yang berkaitan dengan materi penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Medan, mengingat
Kantor Pertanahan Kota Medan sering memproses pendaftaran/konversi hak dan
balik nama atas tanah hak adat, sehingga perbuatan hukum dalam melakukan
pendaftaran hak atas tanah sangat banyak ditemukan.
4. Sumber Data
Dalam melaksanakan penelitian, data-data diperoleh dengan mengumpulkan
data primer dan data sekunder.
a. Data primer, yang diperoleh melalui pedoman wawancara dari nara sumber
sebagai berikut yaitu :
a.1. Pejabat Kantor Pertanahan Kota Medan.
41
a.2. 3 (tiga) orang Pejabat Notaris dan PPAT di Kota Medan.
a.3. 2 (dua) orang Camat Kota Medan.
a.4. 2 (dua) orang masyarakat yang mengurus pendaftaran hak atas tanahnya di
Kantor Pertanahan Kota Medan.
b. Data sekunder, dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai data sekunder adalah
berupa buku-buku perpustakaan hukum, peraturan perundang-undangan tentang
pendaftaran tanah, serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti.
5. Alat Pengumpulan Data
1. Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan menelaah semua literatur yang berhubungan
dengan topik penelitian yang sedang dilakukan.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan :
2.1. Mewawancarai 30 (tigapuluh) orang sampel yang dipilih , yang dianggap
dapat mewakili populasi.
2.2. Para informan yang dipilih dalam penelitian, yaitu :
a. Pejabat Kantor Pertanahan Kota Medan.
c. 2 (dua) orang Camat Kota Medan.
d. 2 (dua) orang masyarakat yang mengurus pendaftaran hak atas
tanahnya di Kantor Pertanahan Kota Medan.
6. Analisis Data
Analisis data adalah merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam
suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.
Sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi
terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Untuk selanjutnya
diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis data
dengan pendekatan komulitatif.
Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik
untuk memperoleh deskripsi tentang pelaksanaan prinsip transparansi dalam
pendaftaran tanah di Indonesia, khususnya di Kantor Pertanahan Kota Medan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian,
menghubungkannya dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan
dengan pendapat pakar hukum dan pendapat pakar sosiologi.
Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan induktif dan
deduktif.42, artinya dengan cara mendapatkan jawaban dari hasil penelitian tentang
42
pelaksanaan konversi hak atas tanah dikota Medan, sedangkan berdasarkan lokasi
penelitian yang dipilih akan mengarah pada gambaran tentang bagaimana
pelaksanaan konversi tanah Grant Sultan di Kota Medan.
BAB II
PELAKSANAAN PENDAFTARAN KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT
1. Pendaftaran Tanah di Indonesia
Di dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 disebutkan bahwa :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah di dalam pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria;
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termasuk dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat
yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut.
Dari isi Pasal 19 tersebut, telah dijelaskan bahwa pendaftaran tanah adalah
kepastian hukum di bidang hak-hak atas tanah akan menghasilkan kepastian bukti hak
atas tanah yang merupakan alat yang mutlak ada, sebagai dasar status kepemilikan
tanah.
A. Asas dan Sistem Pendaftaran Tanah
Di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan
bahwa “pendafaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Yang dimaksud dengan asas sederhana adalah
agar ketentuan-ketentuan pokoknya, maupun prosedurnya dengan mudah dipahami
oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pada pemegang hak atas tanah.
Asas aman, adalah untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan
kepastian hukum, sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah.
Yang dimaksud dengan asas terjangkau, adalah memperhatikan kemampuan
pihak-pihak yang berkepentingan yaitu keterjangkauan pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi
lemah.
Yang dimaksud dengan asas mutakhir, adalah menentukan data pendaftaran
tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di
Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan. Sedangkan asas
terbuka adalah agar publik dapat memperoleh keterangan mengenai data yang
B. Alat Bukti Tertulis dalam Proses Pendaftaran Tanah
Dalam rangka proses pendaftaran tanah, kegiatan yang dilakukan adalah
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis
mengenai objek pendaftaran tanah yang dilakukan. Alat bukti dalam pendaftaran
hak “meliputi pembuktian hak baru, pembuktian hak lama, dan pembukuan
hak”.43 Sedangkan untuk konversi tanah Grant Sultan dilakukan berdasarkan
pembuktian hak lama. Di dalam Pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa : “Untuk keperluan
pendaftaran hak, hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama
dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa
bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang
kadar kebenarannya oleh panitian ajudikasi dalam pendaftaran tanah serta
sistematik atau Kepala Kantor Pertahanan dalam pendaftaran tanah secara
sporadic dianggap cukup untuk mendaptarkan hak, pemegang hak dan hak-hak
pihak lain yang membebaninya”. Untuk itu, alat bukti tertulis, diperlakukan
sebagai dasar yang dapat menentukan hak atas tanah. Dalam kegiatan
pengumpulan data yuridis, diadakan pembedaan antara pembuktian hak baru dan
hak lama.
43
2. Pengertian dan Objek Konversi.
Menurut Boedi Harsono menyatakan “Konversi adalah perubahan hak yang
lama menjadi satu hak baru menurut UUPA”44 Jadi Pengertian konversi adalah
pengaturan dari hak–hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk
dalam sistem dari UUPA.
Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak–hak atas tanah
adalah penggantian/perubahan hak–hak atas tanah dari status yang lama yaitu
sebelum berlakunya UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud dengan hak–hak atas
tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak–hak atas tanah yang diatur dan tunduk
pada hukum adat dan hukum Barat (BW)
Terhadap pelaksanaan konversi itu sendiri A.P.Parlindungan, memberikan
komentar sebagi berikut : “bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan
sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastic, oleh karena sekaligus ingin diciptakan
berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrariaan di tanah air kita, perangkat hukum
maupun tenaga yang terampil belumlah ada sebelumnya”.45
Walaupun pada kenyataannya UUPA telah melakukan perombakan yang
mendasar terhadap sistem–sistem agrarian, tetapi dengan adanya lembaga konversi
seperti yang terdapat dalam bagian kedua dari UUPA adalah merupakan suatu
pengakuan terhadap adanya jenis-jenis hak atas tanah yang lama, walaupun hak
44
Boedi Harsono, 1968, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar Esa, Jakarta, Hal. 140.
45
tersebut perlu disesuaikan dengan hak-hak yang ada dalam UUPA, sehingga dengan
demikian tidak bertentangan dengan jiwa filosofi yang terkandung dalam UUPA.
Ada terdapat 3 (tiga) jenis konversi atas tanah yaitu :
1. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah Hak Barat;
2. Konversi hak atas tanah, berasal dari Hak Indonesia;
3. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja
Konversi hak atas tanah yang berasal dari Hak Barat yaitu hak Eigendom, hak
opstal dan hal Erpacht yang Altijdurend (Altijdurende Erpacht). Hak Agrarische
Eigendom dan hak gogolan. Sedangkan konversi hak-hak atas tanah yang berasal dari
tanah bekas Swapraja adalah terhadap hak Hanggaduh, hak-hak grant dan hak-hak
konsesi dan sewa untuk perumahan kebun besar.
A. Objek Konversi
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa macam–macam hak atas tanah
sebelum berlakunya UUPA terdiri dari hak–hak yang tunduk pada hukum adat dan
hak–hak yang tunduk pada hukum Barat, adapun hak –hak atas tanah yang tunduk
pada hukum adat adalah :46
a. Hak Agrarisch Eigendom (Staatsblad 1872-117)
Lembaga Agrarisch eigendom ini adalah usaha dari Pemerintah Hidia Belanda
dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik yang berupa milik perorangan
maupun yang ada hak perorangan pada hak ulayat dan jika disetujui sebagian besar
46
dari anggota masyarakat pendukung hak ulayatnya, tanahnya dikonvesikan menjadi
Agrarisch eigendom.
Sedangkan Mahadi, memberikan defenisi tentang eigendom sebagai : “Hak
kebendaan (zakelijkrecht) yang dipunyai seseorang untuk secara bebas menikmati
sebidang tanah dan menguasainya secara mutlak”47
b. Tanah hak milik, hak yasan, adarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa,
pesini. Istilah dan lembaga–lembaga hak atas tanah yang tersebut diatas
merupakan istilah –istilah lokal yang terdapat di pulau Jawa.
c. Grant sultan yang terdapat di daerah Sumatera Timur terutama di Deli yang
dikeluarkan oleh Kesultanan Deli termasuk bukti–bukti hak atas tanah yang
diterbitkan oleh para Datuk yang terdapat disekitar Kotamadya Medan, disamping
itu masih ada lagi yang disebut grant lama yaitu bukti hak tanah yang juga
dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.
d. Landrerijen bezitrecht, altijddurende erfpacht, hak–hak usaha atas bekas tanah
partikulir.
Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk pada hukum adat ada
juga hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal dengan nama antara lain : ganggam
bauntik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas dan lain–lain.
Sedangkan hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat antara lain
adalah :
47
a. Hak Eigendom
Hak eigendom adalah hak untuk menikmati atas sebidang tanah dengan leluasa
dan berbuat bebas terhadap tersebut dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak
bertentangan dengan undang–undang atau peraturan–peraturan umum yang
ditetapkan oleh hak–hak orang lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan akan
pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang–
undang dan dengan pembayaran ganti rugi (Pasal 570 BW)
b. Hak Opstal.
Yang dimaksud dengan hak opstal adalah : suatu hak kebendaan untuk
mempunyai gedung–gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di atas
pekarangan orang lain (Pasal 711 BW)
c. Hak Erpacht.
Adapun yang dimaksud dengan hak Erpacht adalah : Suatu hak kebendaan untuk
menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain,
dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada sipemilik sebagai
pengakuan akan kemilikannyam baik berupa uang baik berupa hasil atau
pendapatan (pasal 720 BW)
B. Tujuan Konversi
Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa pada zaman Pemerintah
peraturan perdata barat (BW) berlaku pada hukum berdasarkan hukum adat, oleh
karena itu terdapat tanah–tanah dengan hak–hak barat dan dengan hak Indonesia.
Dengan diberlakukannya UUPA 24 September 1960 yang menganut
asas unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh
wilayah tanah air bukan lagi ketentuan dari BW maupun dari ketentuan hukum
adat yang bersifat kedaerahan, oleh karena itu hak–tanah yang ada sebelum
UUPA haruslah disesuaikan atau dirobah dengan padanannya yang terdapat di
dalam UUPA yaitu dengan melalui Lembaga Konversi.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dikonversinya
hak–hak atas tanah pada hak–hak atas tanah menurut sistem UUPA, yaitu
disamping untuk terciptanya suatu unifikasi hukum pertahanan di tanah air
dengan mengakui hak–hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut
ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan untuk menjamin kepastian hukum,
juga bertujuan agar hak–hak atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat
terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dicita–citakan oleh
Undang–undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan “bahwa bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesarnya–besarnya kemakmuran rakyat”.
C. Prinsip-Prinsip Konversi Hak Atas Tanah
Lembaga konversi di dalam UUPA adalah merupakan penyesuaian
tanah menurut Kitab Undang–undang Hukum Perdata Barat (KUHPer) dan tanah
-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak–hak
tanah menurut ketentuan UUPA dan pelaksanaan konversi hak itu baru selesai
apabila hak atas tanah tersebut telah dibukukan dan diterbitkan sertifikat hak
tanahnya bahwa tanah tersebut telah dikonversi dengan tanda–tanda dari Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah, maka belumlah dapat dianggap selesai konversinya
menurut Pasal 18 PMA No.2 tahun 1960. Dalam pelaksanaan konversi atas hak–
hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA.
Menurut A.P.Parlindungan ada 5 prinsip/filosofi sebagai pedoman
dalam pelaksanaan konversi atas hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya
UUPA. 48 Salah satunya adalah prinsip Nasionalitas.
Prinsip Nasionalitas ini meperjelaskan bahwa sebagai sikap tanpa
kompromi kita menyatakan “hanya warga, negara Indonesia mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa”, sehingga orang
asing sebagaimana yang pernah mereka miliki boleh mempunyai hak-hak atas
tanah di Indonesia asal mau tunduk kepada Burgelijk Wetboek (BW) dan
peraturan-peraturan keperdataan telah kita tinggalkan, disini kita membedakan
disatu pihak Warga Negara Indonesia dan dilain pihak orang asing dan UUPA
penuh ketentuan-ketentuan itu dan tidak ada jalan keluar apapun untuk
melegalkan orang asing mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi,
48