• Tidak ada hasil yang ditemukan

Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3): (Studi Deskriptif Tentang Fungsi Organisasi Sosial Suku Bangsa Minangkabau di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3): (Studi Deskriptif Tentang Fungsi Organisasi Sosial Suku Bangsa Minangkabau di Kota Medan)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BADAN MUSYAWARAH MASYARAKAT MINANG (BM3)

(Studi Deskriptif tentang Fungsi Organisasi Sosial Suku Bangsa Minangkabau di Kota Medan)

Innike Rahma Dewi Ermansyah

Abstract: Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) is an ethnic organization which

established by the Minangkabau people. The organization has four different functions, consist of, the function for integration, adaptation, latent pattern maintenance, and goal attainment. These functions and all other aspects of the organization are the main issues on the research.

Keywords: Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)

PENDAHULUAN

Salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah keragaman budaya yang dicerminkan oleh banyaknya suku bangsa yang mendiami tanah Nusantara ini. Lebih lanjut, menurut Melalatoa jumlah suku bangsa di Indonesia ini mencapai kurang lebih 500 etnis (Depdikbud, 2000: 1). Di antara ratusan suku bangsa tersebut, suku bangsa Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang terkenal dengan keunikannya. Keunikan itu terlihat dari sistem kekerabatan matrilineal yang mereka anut.

Menurut Geertz, Minangkabau sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, mempunyai budaya yang menyerupai budaya masyarakat pesisir (http//www.rantau.net.com). Lebih dijelaskan bahwa pada kenyataannya mereka adalah kelompok komunitas pedalaman yang menempati daerah seputar Bukit Barisan. Salah satu ciri masyarakat pedalaman adalah kecenderungannya pada pertanian sebagai sumber kehidupannya. Namun ciri tersebut tidak sepenuhnya melekat pada suku bangsa Minangkabau. Dalam perspektif sejarah perdagangan, komunitas Minangkabau telah berperan penting dalam perdagangan merica yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat pesisir. Di samping itu, keunikan lain yang dimiliki suku bangsa Minangkabau adalah cepatnya komunitas ini bersinggungan dengan ajaran Islam yang biasanya hanya dialami oleh masyarakat pesisir.

Terlepas dari semua keunikan di atas, suku bangsa Minangkabau terkenal dengan tradisi merantau. Merantau dalam pengertian di sini adalah meninggalkan kampung halaman mereka dan menetap di tempat lain yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang layak (Amir B, 1982: 219).

Kegiatan merantau memang tidak dapat dipisahkan dari suku bangsa Minangkabau. Pada awalnya merantau didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena tempat asal di daerah pedalaman Sumatera Barat atau luhak nan tigo

tidak lagi memadai luasnya untuk menunjang kehidupan. Mereka memerlukan tanah garapan baru untuk pertanian, sehingga suku bangsa Minangkabau memperluas daerah mereka dengan memasukkan pantai Barat ke dalam lingkungan wilayah mereka seperti Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh sejak abad ke-6 (Naim, 1984: 61-66).

Proses merantau menurut Naim (1984: 228) disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: faktor ekologi dan geografis1, faktor ekonomi2 dan faktor pendidikan3. Selain faktor-faktor itu, proses merantau pada suku bangsa Minangkabau juga didorong oleh nilai budayanya (Pelly, 1988: 19). Hal itu tertuang dalam pepatah berikut:

1 Minangkabau adalah daerah yang terpencil di luar pusat perdagangan dan politik sehingga orang luar tidak mungkin mendatangi Minangkabau. Sebagai akibatnya, suku bangsa Minangkabaulah yang harus keluar. Selain itu, Minangkabau adalah daerah yang subur yang sangat cocok untuk daerah pertanian, tetapi karena tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, tanah tersebut tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, merantau menjadi salah satu jalan keluarnya.

2 Di mana keadaan ekonomi di kampung tidak lagi sanggup menahan mereka, sedangkan dari luar faktor penarik yang disebabkan oleh pembangunan juga bertambah kuat.

(2)

Karatau madang di hulu Babuah babungo alun Marantau bujang dahulu

Di rumah baguno balun

(Karatau madang di hulu Berbuah berbunga belum Merantau bujang dahulu Di rumah berguna belum)

Bagi suku bangsa Minangkabau, seseorang belum dianggap dewasa dan berguna bagi kampungnya jika ia belum merantau. Merantau dianggap sebagai masa “inisiasi” (masa peralihan) kedewasaannya, sekaligus untuk memperlihatkan bahwa dirinya mampu menunaikan misi budaya di rantau. Mereka menganggap proses kedewasaan tidak akan sempurna apabila tidak melalui masa inisiasi di rantau. Gadang di

kampuang (besar di kampung) adalah besar yang

dibesarkan orang, sedangkan besar di rantau adalah besar seorang diri atau gadang surang. Dengan demikian, ilmu dan pengalaman di rantau dilihat sebagai kelengkapan mutlak untuk mengukur kedewasaan seseorang.

Salah satu kota yang menjadi tujuan merantau adalah Kota Medan. Perkembangan Kota Medan yang cukup pesat dari waktu ke waktu mendorong terjadinya migrasi besar-besaran dari berbagai suku bangsa untuk mencoba mengadu nasib di kota ini, tak terkecuali suku bangsa Minangkabau. Besarnya migrasi dari berbagai suku bangsa pendatang ini jumlahnya tidak tetap dan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi saat itu.

Lebih lanjut, Naim (1984) menjelaskan bahwa besarnya migrasi suku bangsa Minangkabau ke Kota Medan pada tahun-tahun permulaan tidak pernah terdata secara pasti. Namun data sensus pada tahun 1930 menunjukkan angka sebanyak 5.048 jiwa suku bangsa Minangkabau yang bertempat tinggal di Kota Medan. Dalam jangka waktu lima puluh tahun kemudian yaitu tahun 1980 terjadi kenaikan dengan total jumlah penduduk 141.507 jiwa.

Keberadaan suku bangsa Minangkabau di Kota Medan pada masa dahulu dari tahun ke tahun jumlahnya tidak tetap. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan atau situasi politik pada masa itu, baik di daerah rantau ataupun di daerah asalnya. Misalnya pada masa Perang Dunia II dan perang kemerdekaan Indonesia, kebanyakan perantau kembali ke kampungnya. Sedangkan ketika

terjadi pemberontakan PRRI jumlah perantau ke Kota Medan meningkat. Namun, data statistik menunjukkan bahwa angka rata-rata kenaikan perantau Minangkabau sejalan dengan kenaikan rata-rata penduduk Kota Medan secara keseluruhannya.

Beradanya suatu kelompok masyarakat tertentu di daerah perantauan bukan berarti hanya merupakan sekumpulan orang-orang yang tersebar di tanah rantau, tetapi mereka juga makhluk sosial yang mengaktualisasikan budayanya. Oleh karena itu, orang-orang yang tinggal di daerah rantau ini biasanya membentuk suatu kelompok-kelompok sesuku bangsa atau sedaerah guna memenuhi kebutuhan psikologis mereka.

Kelompok sesuku bangsa yang dibentuk oleh perantau ini, biasa disebut paguyuban (Depdikbud, 2000: 2). Paguyuban dapat berbentuk atau bersifat kesukubangsaan maupun kedaerahan. Kata paguyuban sendiri berasal dari kata “guyub” dalam bahasa Jawa yang artinya “bersama-sama” atau “kumpul”. Paguyuban yang bersifat kesukubangsaan, anggotanya berasal dari suku bangsa yang sama atau satu suku bangsa, misalnya Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3), Putra Jawa Kelahiran Sumatera (PUJAKESUMA). Paguyuban yang bersifat kedaerahan, anggotanya berasal dari daerah yang sama atau satu daerah. Bisa yang berasal dari satu kotamadya, kabupaten maupun daerah propinsi, seperti Ikatan Keluarga Labuhan Batu (IKLAB). Dengan demikian paguyuban suku bangsa mengacu pada kesatuan suku bangsa. Sedangkan paguyuban kedaerahan mengacu pada kesatuan daerah asal. Konsep paguyuban dalam penelitian ini juga identik atau disamakan dengan organisasi sosial. Oleh karena itu, untuk selanjutnya dipergunakan konsep organisasi sosial.

Lebih lanjut, munculnya berbagai organisasi sosial di daerah-daerah perantauan ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang positif. Dengan hal tersebut, maka pengenalan antarbudaya sekaligus interaksi di antara suku bangsa segera dapat diwujudkan. Hal ini sangat penting sebab stereotype-stereotype peninggalan penjajah yang dimaksudkan untuk memecah belah antar suku bangsa segera dapat dikikis. Di samping itu, organisasi sosial yang ada di daerah perantauan juga akan menjadi semacam wadah guna menjalin persatuan dan kesatuan dalam upaya mempercepat pembangunan.

(3)

Hampir di setiap wilayah di pelosok tanah air yang didatangi oleh suku bangsa Minangkabau, berdiri berbagai organisasi sosial, sekalipun mereka menjadi suku bangsa yang minoritas di sana. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di dalam negeri saja, bahkan di luar Negara Kesatuan Indonesia (http//www.rantaunet.com). Di masing-masing daerah tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri, berdiri organisasi sosial Minangkabau dengan nama yang berbeda-beda.

Di Kota Medan sendiri, terdapat banyak organisasi sosial perantau Minangkabau. Awal pembentukan berbagai organisasi sosial keminangkabauan di Kota Medan sangat sukar dipastikan. Tidak ditemukan catatan resmi yang berkenaan dengan hal ini. Melalui wawancara yang dilakukan pada saat pra survey, diketahui bahwa organisasi yang lebih teratur yang dimaksudkan untuk kepentingan perantau Minangkabau telah dimulai ketika terjadinya pemberontakan PRRI yang menyebabkan sulitnya, bahkan terputusnya hubungan rantau dengan Minangkabau.

Berbagai organisasi sosial perantau Minangkabau kemudian tumbuh dan berkembang setelah kemerdekaan. Terlebih-lebih lagi pada beberapa dasawarsa terakhir Orde Baru. Hal ini merupakan akibat dari semakin meningkatnya jumlah suku bangsa Minangkabau yang menetap di Kota Medan. Di samping itu, kenyataan bahwa secara sosiologis, pluralitas penduduk di Kota Medan, mengharuskan orang-orang mencari perlindungan demi kelangsungan hidupnya. Organisasi-organisasi sosial itu ada yang berdasarkan suku, ada yang berdasarkan kedaerahan, dan ada pula yang berbentuk ikatan kekeluargaan.

Jumlah organisasi yang cukup banyak akhirnya menjadi masalah bagi suku bangsa Minangkabau yang merantau di Kota Medan, karena menyebabkan terjadinya pengkotakan dan benturan di kalangan mereka saat itu. Pada tahun 1965, Walikota Medan saat itu, yaitu Drs. Surkani mengundang berbagai organisasi sosial suku bangsa Minangkabau yang ada saat itu untuk berdialog. Dari pertemuan itu, keluarlah ide untuk menghimpun seluruh suku bangsa Minangkabau yang merantau di Sumatera Utara. Akhirnya pada tahun 1971, atas kesepakatan bersama suku bangsa Minangkabau yang merantau di Kota Medan lewat suatu proses musyawarah yang difasilitasi oleh Pemerintahan Kota Medan saat itu, maka didirikanlah Badan

Musyawarah Masyarakat Minang (BM3), dengan Ketua Umum Brigjend Sofyar. Berdirinya Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) ini tidak serta merta menghapus berbagai organisasi sosial suku bangsa Minangkabau yang telah ada sebelumnya. Badan Musyawarah Masyarakat Minangkabau (BM3) ini, lebih seperti wadah atau “payung panji” yang menampung berbagai macam organisasi sosial di dalamnya.

Beranjak dari kenyataan tersebut, maka perlu kiranya mengkaji organisasi sosial kesukubangsaan dalam dinamika kehidupan masyarakat yang berada di perantauan, khususnya terhadap Badan Musyawarah Masyarakat Minang atau yang disingkat BM3 terhadap perantau maupun generasi Minangkabau selanjutnya di Kota Medan. Hal ini menjelaskan fungsi organisasi sosial kesukubangsaan sebagai wadah yang diharapkan dapat mempersatukan suku bangsa Minangkabau yang merantau ke Kota Medan. Di samping itu juga dapat mewujudkan solidaritas sosial suku bangsa Minangkabau di perantauan dan pelestarian nilai-nilai budaya Minangkabau di tengah-tengah pluralitas masyarakat Kota Medan.

Berdasarkan uraian di latar belakang, maka masalah penelitian dirumuskan yakni bagaimana peran Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) bagi suku bangsa Minangkabau yang bertempat tinggal di Kota Medan?

Perumusan masalah ini dijabarkan ke dalam 4 (empat) batasan masalah penelitian, yaitu: 1. Bagaimanakah sejarah munculnya Badan

Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)? 2. Siapa saja yang dapat terlibat dan terikat

dalam keanggotaan di Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)?

3. Apa saja kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan oleh Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)? 4. Apa yang menjadi prioritas dari keberadaan

Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) bagi suku bangsa Minangkabau di Kota Medan?

PEMBAHASAN

Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)

(4)

Masyarakat Minang (BM3) adalah organisasi sosial berdasarkan kesukubangsaan yang dibentuk dan berdiri pada tahun 1967 di Kota Medan, dengan tujuan untuk menghimpun dan menyatukan seluruh masyarakat Minangkabau yang merantau ke Sumatera Utara.

Solidaritas Sosial

Solidaritas sosial adalah keeratan hubungan tiap individu dengan individu yang lainnya dalam suatu masyarakat. Hal tersebut dilandasi oleh keterikatan dan keterlibatan situasi sosial yang membuat bersatu antara yang satu dengan yang lainnya.

Solidaritas sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keeratan hubungan yang terjalin antar masyarakat Minangkabau yang merantau ke Kota Medan, yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional yang sama. Wujud keeratan hubungan yang terjalin antar masyarakat Minangkabau yang merantau ke Kota Medan ini, terlihat pada saat mereka melakukan berbagai kegiatan bersama-sama.

Organisasi Sosial

Organisasi sosial merupakan cara-cara perilaku manusia yang terorganisasikan secara sosial (Soekanto, 1993: 349). Organisasi sosial yang dimaksud dalam penelitian adalah organisasi sosial suku bangsa Minangkabau, dalam hal ini Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3).

Suku Bangsa Minangkabau

Suku bangsa Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang mendiami Indonesia. Suku bangsa Minangkabau ini berasal dari Sumatera Barat dan terkenal dengan keunikan yang dimilikinya, salah satunya terlihat dari sistem kekerabatan matrilineal yang mereka anut. Suku bangsa Minangkabau yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suku bangsa Minangkabau yang merantau dan menetap di Kota Medan.

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati (Nawawi, 1994: 203). Penelitian deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang diteliti dan berusaha memberikan gambaran yang

jelas mengenai apa yang menjadi pokok penelitian. Berkenaan dengan penelitian ini sebagai studi deskriptif maka penelitian ini akan menggambarkan atau mendeskripsikan fungsi Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) bagi suku bangsa Minangkabau yang merantau ke Kota Medan.

Penelitian ini dilakukan terhadap suku bangsa Minangkabau yang bertempat tinggal di Kota Medan dan terlibat ataupun menjadi anggota dari Badan Musyawarah Msyarakat Minang (BM3). Alasan penelitian terhadap Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) ini, karena organisasi sosial tersebut lebih terekspos di hadapan suku-suku bangsa lainnya, dibandingkan dengan organisasi sosial lainnya. Hal ini terlihat dengan adanya rumah gadang

sebagai pusat kegiatan mereka. Rumah gadang

ini memberikan arti dari eksistensi suku bangsa Minangkabau di Kota Medan. Di samping itu, berbagai organisasi sosial lainnya di Medan biasanya berdasarkan marga atau suku. Sedangkan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) adalah organisasi sosial yang berdasarkan kesukubangsaan.

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subyek penelitian (Arikunto, 1999: 132). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) Kota Medan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui fungsi dari organisasi sosial keminangkabauan ini. Fungsi tersebut terlihat dari berbagai aktivitas yang dilaksanakannya. Selain itu, dalam penelitian ini juga perlu diketahui data tentang sejarah pendirian organisasi sosial ini dan pandangan suku bangsa Minangkabau itu sendiri terhadap keberadaannya. Data-data tersebut diperoleh dari orang-orang yang terlibat dalam organisasi sosial ini, seperti, tokoh-tokoh pendiri, pengurus organisasi dan juga suku bangsa Minangkabau yang aktif di dalamnya. Orang-orang yang menjadi sumber informasi dan data ini selanjutnya disebut informan. Lebih lanjut, informan tersebut dibagi menjadi dua kategori: a) Informan kunci yaitu pengurus inti atau

(5)

Masyarakat Minang (BM3) dan perkembangannya hingga saat ini. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan data-data yang akurat dan mendetail tentang Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) dan fungsinya bagi suku bangsa Minangkabau di Kota Medan.

b) Informan biasa yaitu suku bangsa

Minangkabau yang tinggal di Kota Medan, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Terlibat atau terdaftar sebagai anggota di Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3).

2. Aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3).

3. Laki-laki dan perempuan yang berusia 17 tahun ke atas, sebagai batasan usia yang dianggap sudah dewasa atau sebagai batasan dari produktifitas seseorang.

Berbagai informan tersebut, baik informan kunci maupun informan biasa, dianggap mengetahui tentang masalah yang dikaji dalam penelitian ini dan dapat memberikan sumber data yang dibutuhkan peneliti. Informan kunci dalam penelitian ini adalah sebanyak 5 (lima) orang, sedangkan informan biasa berjumlah 10 (sepuluh) orang.

DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Kedatangan suku bangsa Minangkabau di Kota Medan tidak terlepas dari tradisi merantau yang melekat pada budaya mereka. Jika dilihat dari awal kedatangannya, suku bangsa Minangkabau bermigrasi ke Kota Medan sekitar akhir abad ke-19, di saat Kota Medan mulai mengalami perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang. Diawali dengan dibukanya berbagai perkebunan-perkebunan besar, industri pertanian dan lancarnya sektor transportasi. Keadaan ini menarik tumbuhnya lembaga-lembaga perdagangan dan berbagai kegiatan di bidang jasa.

Naim (1982: 931) menjelaskan, bahwa hal lain yang melatarbelakangi migrasi besar-besaran suku bangsa Minangkabau adalah terjadinya depresi ekonomi yang hebat pada akhir tahun 1929, sehingga memukul perekonomian banyak kawasan di dunia termasuk Hindia Belanda. Lebih lanjut dijelaskan, depresi yang terus berlanjut hingga pada pertengahan tahun 1930-an menyebabkan suku bangsa Minangkabau

meninggalkan wilayahnya merantau ke kota-kota besar terutama ke Batavia, dan Sumatra, khususnya ke Jambi, Pekanbaru, Palembang, dan Medan.

Berbeda dengan Naim, Pelly (1994) menyatakan bahwa kedatangan suku bangsa Minangkabau ke berbagai daerah termasuk Kota Medan sangat terkait dengan nilai-nilai budaya yang mereka miliki. Budaya suku bangsa Minangkabau menganggap seseorang itu belum berguna bagi kampung halamannya jika ia belum merantau. Proses merantau selain sebagai sebuah proses pendewasaan, juga dianggap sebagai langkah dalam memenuhi misi kebudayaan. Suku bangsa Minangkabau menganggap daerah rantau sebagai tempat menggali ilmu, mencari harta dan kekayaan yang kemudian dibawa pulang untuk kepentingan kampung halamannya. Dalam hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Pelly lebih sesuai dengan penelitian ini dibandingkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Naim.

Suku bangsa Minangkabau ini berasal dari berbagai desa atau nagari yang ada di Sumatera Barat. Walaupun tadinya mereka bekerja sebagai petani dan penjual hasil bumi di kampung halamannya, tetapi di perantauan mereka berkonsentrasi pada sektor perdagangan (Naim, 1984: 99). Mereka menjual barang dagangannya dari satu perkebunan ke perkebunan yang lain dan ada juga yang menetap di kota untuk berdagang.

(6)

Sumatera Timur dan Utara. Pada saat itu Kota Medan menjadi kota tujuan bagi perantau. Kendati demikian, dari data statistik yang ada, dapat disimpulkan bahwa kenaikan jumlah perantau Minangkabau ke Kota Medan, sejalan dengan kenaikan rata-rata jumlah penduduknya.

Setelah kemerdekaan, okupasi perantau Minangkabau di Kota Medan masih di bidang perdagangan, namun mengalami perkembangan dan semakin beragam, tidak hanya berdagang antar perkebunan lagi. Ada yang berdagang di emper-emper toko sebagai pedagang kaki lima, ada yang sudah memiliki toko sendiri dan ada juga yang sudah berhasil menjadi pengecer.

Dalam penelitiannya, Naim (1984: 99) memperoleh data bahwa sekitar 80% atau lebih dari keseluruhan pedagang pengecer di pusat pasar adalah suku bangsa Minangkabau dan beberapa di antaranya telah berhasil mencapai tingkat perdagangan ekspor impor. Namun kemudian, mereka kalah bersaing dengan orang Cina. Hanya usaha penjahitan yang kemudian berhasil mereka ambil alih dari orang Cina. Dalam usaha penjahitan ini, 80% di antaranya dikuasai oleh suku bangsa Minangkabau. Kemudian, usaha lain yang mereka tekuni adalah berjualan makanan. Ini terlihat dengan berdirinya “warung-warung Padang” mulai dari restoran sampai pedagang nasi pinggir jalan. Okupasi lain seperti usaha percetakan dan penerbitan termasuk toko-toko alat tulis dan toko buku.

Pelly (1994), menjelaskan bahwa generasi kedua suku bangsa Minangkabau yang memiliki pendidikan lebih memilih karier sebagai dosen, notaris publik, dokter dan wartawan. Profesi-profesi ini dipilih sesuai dengan pertimbangan nilai budaya. Seperti diketahui, suku bangsa Minangkabau lebih cenderung memilih pekerjaan yang memberikan kemerdekaan pribadi bagi mereka. Mereka tidak menyukai pekerjaan yang cenderung menempatkan mereka di bawah orang lain. Hal ini seperti tertuang dalam pepatah

tahimpik ndak di ateh, takuruang ndak di lua

(terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar)”. Kendati demikian, banyak juga yang bekerja sebagai pegawai bank dan instansi pemerintahan. Pada akhirnya, pekerjaan sebagai pedagang merupakan lapangan kerja bagi yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Lebih lanjut, Pelly menjelaskan bahwa pada suku bangsa Minangkabau yang merantau juga dijumpai kecenderungan pengelompokkan di kawasan pemukiman tertentu. Lingkungan

pemukiman yang mereka sukai adalah yang dekat dengan kawasan perdagangan seperti pasar-pasar atau di pusat kota. Proses penyesuaian perantau Minangkabau yang baru datang lebih mudah dibandingkan dengan migran suku bangsa yang lainnya. Biasanya mereka “menumpang” dan bekerja dengan membantu usaha saudara atau kawan sekampung yang lebih dahulu merantau. Biasanya setiap pulang kampung suku bangsa Minangkabau yang merantau terlebih dahulu, akan membawa sanak familinya yang sama-sama bertujuan mencari pekerjaan atau dengan tujuan lainnya. Hal ini menyebabkan suku bangsa Minangkabau hidup mengelompok, walaupun ada juga suku bangsa Minangkabau yang bertempat tinggal terpisah atau jauh dari pemukiman perantau Minangkabau. Kawasan perantau Minangkabau mayoritas dapat dijumpai di sekitar jalan Halat, Pasar Merah, Kota Matsum, Sukaramai, sekitar jalan Denai, Jalan Bromo, Tegal Sari. Atau yang sekarang tercakup dalam kecamatan Medan Area.

Ermansyah (1998) menjelaskan

kemunculan berbagai organisasi sosial di Kota Medan terkait dengan peristiwa runtuhnya kekuasaan Sultan Deli. Runtuhnya kekuasaan Sultan Deli, menjadikan Kota Medan sebagai kota tanpa kebudayaan dominan. Hal ini menjadi faktor mendorong munculnya berbagai organisasi sosial, baik yang didasarkan pada ikatan marga, daerah asal maupun kesukubangsaan. Munculnya organisasi-organisasi ini terlihat semakin menonjol terlebih setelah kemerdekaan. Keberadaan berbagai organisasi sosial tersebut dipandang sebagai wahana untuk mengekspresikan identitasnya di tengah-tengah kemajemukan Kota Medan.

Lebih lanjut, masing-masing suku bangsa mengekspresikan identitasnya secara aktif dan sadar lewat berbagai media dan simbol-simbol budayanya seperti; melaksanakan berbagai upacara yang berkaitan dengan adat, menggunakan bahasa daerah dengan sesamanya dan lain sebagainya. Mereka memiliki organisasi tersendiri seperti: Ikatan Aceh Sepakat, Ikatan Keluarga besar Melayu, Himpunan Keluarga Besar Mandailing atau HIKMA dan Organisasi Masyarakat Nias atau ORANI. Bagi orang Batak perkumpulannya cenderung berdasarkan ikatan

marga seperti: Persadaan marga Harahap,

Perpulungen Marga Berutu, Punguan Marga

Panjaitan, dan lain-lain.

(7)

semakin meningkatnya jumlah perantau yang menetap di Kota Medan. Hal ini sangat terkait dengan perubahan pola merantau, dari merantau

sirkuler menjadi merantau cina. Hal ini

memungkinkan mereka untuk secara efektif mengumpulkan modal untuk mengembangkan usaha maupun memantapkan posisinya di sektor perdagangan. Namun, jika mereka sering pulang kampung, modal yang telah terkumpul akan habis untuk perjalanan dan kebutuhan di kampung halaman. Bagi suku bangsa Minangkabau yang telah terikat dengan pekerjaannya, di luar sektor perdagangan, pola merantau sirkuler tidak mungkin lagi untuk dilakukan.

Ermansyah (1998) menyatakan bahwa lebih dari 27 organisasi sosial yang didasarkan atas ikatan ‘desa’ telah didirikan di Kota Medan. Tidak hanya itu, organisasi-organisasi sosial suku bangsa Minangkabau tersebut juga ada yang didasarkan atas kesatuan teritorial yang lebih luas, seperti kecamatan dan kabupaten. Di samping itu, juga didasarkan ikatan daerah asal di mana warganya memiliki keterikatan atas asal-usul, hubungan kekerabatan, adat-istiadat dan kesatuan wilayah.

Kehidupan yang majemuk dan heterogen di daerah perantauan membuat orang menjadi lebih tegas dalam membentuk persepsi tentang diri dan kebudayaannya tatkala berhadapan dengan orang lain dengan nilai budaya lain yang berbeda. Hal ini dialami semua suku bangsa yang berada di perantauan, tak terkecuali suku bangsa Minangkabau. Suatu hal yang khas dari pola merantau suku bangsa Minangkabau adalah adanya sistem pemeliharaan hubungan lahir dan bathin antara alam Minangkabau dengan alam rantau. Walaupun telah terpisah secara fisik dengan kampung halamannya atau lokalitas budayanya, namun identitas keminangkabauannya tetap dipertahankan. Maka keberadaan organisasi sosial ini dianggap berperan dalam mempertahankan identitasnya dan melestarikan budayanya di daerah perantauan. Tidak hanya itu, keberadaan organisasi sosial keminangkabauan ini juga dianggap langkah positif dalam mempersatukan dan meningkatkan keterikatan suku bangsa Minangkabau. Lebih lanjut, organisasi ini juga jadi media untuk melestarikan kebudayaan yang mereka miliki di tengah-tengah kehidupan yang majemuk di Kota Medan.

Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) sebagai Jaringan Sosial Keminangkabauan

Bagi suku bangsa Minangkabau di Kota Medan, keberadaan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) dianggap mempunyai fungsi yang penting dalam menyatukan seluruh masyarakatnya. Hal ini salah satunya terlihat dari fungsi organisasi ini yang dianggap sebagai “payung panji” bagi keberadaan berbagai organisasi sosial keminangkabauan lainnya, baik yang didasarkan kekerabatan maupun kedaerahan4.

Terkait dengan keberadaannya sebagai “payung panji”, organisasi keminangkabauan ini bukan sekedar organisasi sosial biasa. Keberadaannya di hadapan suku bangsa Minangkabau di Kota Medan, juga dipandang sebagai sebuah jaringan sosial yang mempersatukan mereka. Layaknya sebuah jaringan sosial, mereka terikat oleh nilai-nilai, norma-norma dan kesamaan yang ada di antara mereka. Hal tersebutlah yang menjadi perekat yang mempersatukan suku bangsa Minangkabau di Kota Medan.

Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) juga menjadi wadah yang mengorganisir berbagai aktivitas yang dianggap bermanfaat dalam meningkatkan kebersamaan dan mempererat hubungan silaturahmi antar sesama suku bangsa Minangkabau. Kegiatan itu mencakup hubungan ke dalam dan ke luar organisasi ini. Namun dalam penelitian ini, yang lebih dikaji adalah aktivitas yang dilaksanakan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) dalam kaitannya dengan kehidupan suku bangsa Minangkabau itu sendiri.

Pada dasarnya aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) merupakan implementasi dari program kerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan berbagai aktivitas ini mencakup berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang agama, organisasi keminangkabauan ini rutin mengadakan aktivitas-aktivitas, seperti; pengajian, perayaan hari besar Islam, halal bi halal, dan majelis taklim.

Pelaksanaan aktivitas-aktivitas keagamaan ini, sangat terkait dengan upaya suku bangsa Minangkabau untuk mempertahankan identitas

(8)

keislamannya di tengah-tengah kemajemukan Kota Medan. Sebagaimana diketahui, suku bangsa Minangkabau sangat terikat dengan agama Islam. Adat dan Islam adalah dua identitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suku bangsa ini (Pelly, 1994). Selain itu, aktivitas-aktivitas ini merupakan salah satu kesempatan bagi suku bangsa Minangkabau untuk saling bertemu dan saling mengenal. Dengan demikian hubungan silaturahmi di antara mereka akan semakin dekat. Sebagai sebuah organisasi sosial, aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3), juga mencakup aspek sosial dalam kehidupan suku bangsa Minangkabau di perantauan. Berbagai permasalahan yang dihadapi suku bangsa Minangkabau di perantauan diakomodir dan kemudian dicari jalan keluarnya secara bersama-sama lewat sebuah musyawarah. Selain itu, organisasi ini juga melaksanakan aktivitas-aktivitas sosial itu antara lain, mengkoordinir pengumpulan sumbangan bagi anggotanya yang sedang kesusahan, pengumpulan zakat fitrah

pada bulan puasa, dan memberikannya kepada masyarakat Minangkabau yang membutuhkan dan memang pantas untuk menerimanya.

Sekalipun sudah lama merantau dan menetap di Kota Medan, tetapi para perantau yang tergabung dalam organisasi sosial keminangkabauan ini tetap merasakan hubungan batin yang kuat dengan kampung halamannya. Hal ini mereka ekspresikan dengan mengkoordinir pengumpulan dana dan mengirimkannya ke daerah yang membutuhkan. Lebih lanjut, biasanya dana ini digunakan untuk membantu daerah yang terkena bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, galodo (banjir bandang), dan lain-lain.

Pengorganisasian berbagai aktivitas oleh organisasi sosial keminangkabauan ini, pada dasarnya adalah sebagai media keterikatan antar suku bangsa Minangkabau. Lewat aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan organisasi ini, suku bangsa Minangkabau yang ada di Kota Medan bisa saling bertemu, saling mengenal, bahkan tidak jarang di antara mereka yang kemudian menemukan kerabatnya lewat berbagai aktivitas ini. Pada akhirnya tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan berbagai aktivitas ini adalah untuk menyatukan dan merekatkan hubungan silaturahmi antar sesama suku bangsa Minangkabau di perantauan.

Terkait dengan hal ini, keterikatan suku bangsa Minangkabau dalam Badan Musyawarah

Masyarakat Minang (BM3) pada akhirnya membentuk sebuah jaringan sosial keminangkabauan. Jaringan tersebut diwujudkan dalam dua bidang, yaitu ekonomi dan hukum.

a. Bidang Ekonomi

Meski tinggal di perantauan, suku bangsa Minangkabau tetap menunjukkan sifat komunalnya. Hal ini diekspresikan dengan tolong-menolong yang terjadi di antara mereka. Tolong-menolong ini bukan hanya di kehidupan sosial tetapi juga di aspek kehidupan lainnya, salah satunya di bidang ekonomi.

Dalam bidang ekonomi, salah satu masalah yang cukup menonjol adalah masalah pengangguran. Untuk mengatasi masalah pengangguran, salah satu cara yang ditempuh oleh Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) adalah mengupayakan untuk mencari peluang menembus berbagai instansi pemerintahan dan perusahaan swasta untuk mencari informasi berkaitan dengan kesempatan kerja. Dalam hal ini, organisasi keminangkabauan ini juga bekerjasama dengan para pengusaha, pejabat pemerintah dan pedagang Minangkabau di Kota Medan. Organisasi ini kemudian menginformasikan peluang ini kepada anggotanya yang belum bekerja atau masih menganggur. Dengan demikian, sedikit banyak hal ini akan membantu dalam mengurangi jumlah suku bangsa Minangkabau yang pengangguran.

Langkah selanjutnya yang dilakukan organisasi ini di bidang ekonomi adalah dengan mendirikan berbagai koperasi. Koperasi ini diharapkan akan membantu dalam mengembangkan dan meningkatkan perekonomian suku bangsa Minangkabau di Kota Medan. Berkaitan dengan tujuan ini juga kemudian Organisasi keminangkabauan ini mengupayakan untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang diprioritaskan untuk suku bangsa Minangkabau.

Hal ini menjadi kenyataan dengan berdirinya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Gebu Prima5. Tujuan awal didirikannya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Gebu Prima ini adalah untuk membantu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) milik suku bangsa

(9)

Minangkabau yang ada di Kota Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya, agar lebih berkembang dan maju. Selain itu, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Gebu Prima ini juga meminjamkan modal bagi masyarakat yang ingin memulai suatu usaha.

Seperti diketahui, suku bangsa Minangkabau kalangan menengah ke bawah yang tinggal di Kota Medan, pada umumnya menekuni pekerjaan di sektor informal dengan membuka berbagai Usaha Kecil dan Menengah (UKM), seperti; usaha konveksi, percetakan dan lain sebagainya. Ini secara tidak langsung adalah upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran dan juga meningkatkan kualitas perekonomian suku bangsa Minangkabau.

Kendati prioritas utama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Gebu Prima ini adalah untuk suku bangsa Minangkabau, namun dalam perkembangannya, bank ini tidak hanya dimanfaatkan oleh suku bangsa Minangkabau saja. Banyak masyarakat dari suku bangsa lain yang juga memanfaatkan jasa perkreditan yang disediakan oleh bank ini.

Saat ini, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Gebu Prima ini telah berkembang dengan pesat dan telah bisa disejajarkan dengan bank-bank lain yang ada di Kota Medan. Nasabahnya sebagian besar adalah suku bangsa Minangkabau yang tersebar di berbagai daerah di Kota Medan dan daerah-daerah lain di luar Kota Medan.

b. Bidang Hukum

Pada bidang hukum, Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) telah membentuk sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini pertama kali dibentuk oleh Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) Sumatera Utara. Setelah itu, Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) Kota Medan juga membentuk sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Namun pada perkembangan selanjutnya, agar tidak terjadi over lap dan lembaga ini menjadi lebih sinergis dan efektif, maka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang didirikan oleh Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) Kota Medan, di non-aktifkan dan para lawyernya bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bentukan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) Sumatera Utara.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini, beranggotakan para pengacara yang berasal dari suku bangsa Minangkabau. Sejak didirikan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini sudah sering membantu mengatasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh suku bangsa Minangkabau. Dalam setiap kasus yang dihadapi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini mengupayakan untuk tidak memungut bayaran dalam bentuk apapun dari kliennya yang tidak lain adalah suku bangsa Minangkabau juga. Ini merupakan salah satu bentuk keterikatan keminangkabauan mereka.

Selama ini kasus-kasus yang diserahkan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini masih kasus-kasus yang sifatnya ringan.

Lebih lanjut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini lebih mengarahkan usahanya dalam membela kepentingan suku bangsa Minangkabau. Kasus-kasus yang mereka tangani antara lain, sengketa tanah, kasus penggusuran bangunan, penggusuran pedagang kaki lima, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa pertumbuhan lembaga ekonomi dan lembaga hukum yang dilakukan oleh Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) ini adalah dilakukan untuk membela kepentingan suku bangsa Minangkabau di perantauan, dalam hal ini di Kota Medan. Ini merupakan bukti keterikatan dan kepedulian mereka sebagai sesama suku bangsa Minangkabau.

Pembinaan Kelompok-kelompok Kesenian Minangkabau, sebagai Upaya Pelestarian Budaya dan Kehadiran Identitas Keminangkabauan di Perantauan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan berbagai acara budaya dapat dianggap sebagai salah satu cara yang penting untuk mengekspresikan identitas suatu suku bangsa. Tak terkecuali bagi suku bangsa Minangkabau. Pengekspresian ini tidak hanya penting bagi kelompok suku bangsa yang melakukan acara tersebut, tetapi juga bagi suku bangsa lain untuk menempatkan suku bangsa tersebut pada tempat tertentu dalam kehidupan masyarakat di rantau yang begitu majemuk. Ekspresi ini telah mempertegas batas-batas kultural masing-masing suku bangsa tersebut.

(10)

Masyarakat Minang (1988: 22), menyatakan bahwa komunitas suku bangsa yang tidak melaksanakan acara adat dan budaya di rantau dianggap sebagai komunitas yang tidak punya prestise. Lebih lanjut dijelaskan, dari sudut kepentingan intern suku bangsa Minangkabau sendiri, pelaksanaan berbagai acara adat dan budaya merupakan suatu “reuni” keluarga besar Minangkabau di perantauan. Sedangkan secara fungsional, kesempatan ini telah “menyegarkan” kembali loyalitas primordial mereka pada kampung halaman, pada cita-cita perantauan dan nilai-nilai tradisional mereka. Mereka dapat menikmati “kemegahan” budaya leluhur mereka sekalipun hidup terpisah secara fisik dari kampung halamannya.

Kehadiran rumah gadang Badan

Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) sebagai tempat pertemuan, bermusyawarah dan pusat kegiatan budaya dianggap berperan dalam mendorong perkembangan kebudayaan suku bangsa Minangkabau di Kota Medan. Tiap tahunnya, Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) mengadakan berbagai kegiatan budaya di

rumah gadang ini, misalnya pagelaran dan

pementasan kesenian tradisional Minangkabau, upacara perkawinan, seminar tentang adat dan lain sebagainya. Tujuan pelaksanaan berbagai acara budaya ini adalah memenuhi hasrat kerinduan suku bangsa Minangkabau akan kehidupan di kampung halaman yang begitu kuat memegang nilai-nilai budaya, sekaligus untuk memperkenalkan kebudayaan asli suku bangsa Minangkabau kepada masyarakat Kota Medan, dan juga untuk melestarikan serta meningkatkan kecintaan suku bangsa Minangkabau terhadap budayanya sendiri.

Dengan tujuan untuk pengembangan dan pelestarian budaya inilah maka, Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) Kota Medan, lewat Departemen Budaya, Seni dan Pariwisata sekarang membina kurang lebih 20 (dua puluh) kelompok kesenian Minangkabau. Kelompok kesenian Minangkabau ini dibagi menjadi dua, yaitu kelompok atau sanggar kesenian yang bersifat tradisional dan kelompok atau sanggar kesenian yang bersifat modern. Kelompok-kelompok kesenian tersebut berkem-bang dengan pesat, bahkan ada beberapa di antaranya yang kiprahnya sudah terkenal sampai ke luar negeri.

Beberapa di antara kelompok kesenian ini ada yang sudah dibentuk sebelum didirikannya Badan Musyawarah Masyarakat

Minang (BM3). Namun setelah organisasi sosial ini dibentuk, maka kelompok-kelompok kesenian tersebut kemudian dengan sendirinya menempatkan dirinya di bawah binaan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3). Berikut nama-nama beberapa kelompok kesenian Minangkabau yang masih aktif hingga saat ini dan terdaftar di Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3):

1. Riak Minang 2. Riak Danau

3. Ikatan Kesenian Sri Antokan (IKSA) 4. Tuah Sakato

5. Taratak Minang

6. Kesenian Minang Pulau Brayan Darat (KMPBD)

7. Sumarak Anjuang

8. Ikatan Kesenian Minang Saiyo (IKMS) 9. Ikatan Kesenian Ranah Minang (IKRM) 10. Lawang Indah

11. Lawang Sakato 12. Sinar Minang 13. Sarumpun Manau 14. Binuang Sati 15. Carano Sati 16. Balairung Jaya

17. Kelompok kesenian Ikatan Keluarga Bayur (IKB)

18. Pilago 19. Sangrila

Kelompok-kelompok kesenian Minangkabau ini menggeluti berbagai kesenian Minangkabau, seperti: a) tarian tradisional Minangkabau dan tarian kreasi baru, b) randai, c) tambur tansa, d)

gandang dan pupuik, e) saluang, f) rebab, g)

(11)

sebagian kecil yang berasal dari suku bangsa lain di luar Minangkabau.

Kehadiran kelompok-kelompok kesenian ini, selain dianggap sebagai langkah positif untuk melestarikan dan mengembangkan seni dan kebudayaan Minangkabau. Selain itu, terlibatnya generasi muda Minangkabau di dalam aktivitas ini juga menunjukkan bahwa keberadaan kelompok-kelompok kesenian ini dapat mempererat keterikatan generasi muda Minangkabau yang ada di perantauan.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) sebagaimana organisasi migran yang lainnya, dibentuk sebagai salah satu cara untuk mengekspresikan dan menegaskan identitas suku bangsa Minangkabau di tengah-tengah kemajemukan Kota Medan. Lewat organisasi sosial ini suku bangsa Minangkabau berusaha untuk mempertahan-kan tradisi dan budayanya agar tidak semakin menghilang sebagai akibat dari proses modernisasi dan urbanisasi.

2. Keberadaan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) juga dapat dipahami sebagai simbol kesuksesan para perantau Minangkabau di Kota Medan. Hal ini dilihat dari kenyataan, bahwa yang terlibat dalam kepengurusan sebagian besar adalah suku bangsa Minangkabau kalangan menengah ke atas yang mapan secara materi, mempunyai kekuasaan dan berpendidikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suku bangsa Minangkabau kalangan menengah ke atas cenderung lebih berkepentingan di dalam organisasi sosial ini. Di satu sisi, banyak orang Minangkabau yang merasa bukan bagian dari organisasi ini. Namun di lain sisi, hal ini sekaligus menjadi suatu kekuatan pada organisasi sosial tersebut, karena dengan demikian mereka akan lebih dihargai di hadapan suku bangsa lainnya yang ada di Kota Medan.

3. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) tidak sekedar organisasi sosial biasa, tapi juga sebuah sebuah jaringan sosial keminangkabauan. Sebagai sebuah jaringan sosial, organisasi ini direkatkan oleh

nilai-nilai, norma-norma dan kesamaan yang mereka miliki. Jaringan sosial ini diwujudkan dalam aspek ekonomi dan hukum, antara lain dengan didirikannya lembaga-lembaga ekonomi dan hukum seperti, koperasi, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah Gebu Prima dan juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang memperjuangkan kepentingan suku bangsa Minangkabau di Sumatera Utara umumnya dan Kota Medan khususnya.

4. Lunturnya nilai-nilai kolektivitas suku bangsa Minangkabau dalam organisasi sosial ini, tidak hanya disebabkan oleh proses modernisasi dan urbanisasi di Kota Medan. Satu hal lagi yang tidak bisa dilepaskan dari fenomena ini adalah kenyataan bahwa secara sosiologis suku bangsa Minangkabau tidak bisa dipersatukan pada organisasi kesukubangsaan seperti ini. Hal ini dibuktikan lewat hasil penelitian yang menyatakan bahwa suku bangsa Minangkabau jauh lebih terikat pada organisasi yang bersifat kenagarian

daripada organisasi dalam skala besar yang bersifat kesukubangsaan seperti Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) ini. Jika suku bangsa Batak lebih terikat pada organisasi marga, maka keterikatan yang sangat kuat pada suku bangsa Minangkabau adalah pada nagarinya. Bisa dikatakan bahwa, organisasi kenagarian ini merupakan miniatur-miniatur kampung halaman yang mereka bentuk di rantau.

5. Keberadaan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) di Kota Medan diprioritaskan untuk menghimpun, menyatukan dan meningkatkan kerjasama antar sesama suku bangsa Minangkabau yang tinggal di Kota Medan. Selain itu, hal lain yang menjadi prioritas Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) adalah meningkatkan peran serta suku bangsa Minangkabau dalam proses pembangunan di daerah perantauan dalam hal ini Kota Medan. Jadi, kedatangan suku bangsa Minangkabau ke daerah rantau bukan hanya untuk mengambil manfaat dari daerah tersebut untuk kepentingannya atau menjadi beban bagi daerah yang didatanginya, tapi juga ikut mengambil andil dalam menyukseskan pembangunan di daerah tersebut.

(12)

terlihat dari pelaksanaan berbagai aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan keterikatan suku bangsa Minangkabau di Kota Medan, salah satunya halal bi halal. Lebih lanjut, persyaratan fungsional ini juga berusaha diwujudkan dengan pembentukan institusi hukum, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk kepentingan suku bangsa Minangkabau di Kota Medan. Kedua, fungsi adaptasi (adaptation). Fungsi adaptasi yang dilaksanakan oleh organisasi sosial keminangkabauan ini berkaitan dengan bidang ekonomi. Dalam rangka meningkatkan perekonomian suku bangsa Minangkabau di Kota Medan, organisasi ini berupaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi seperti, koperasi-koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah Gebu Prima. Selanjutnya yaitu fungsi Pemeliharaan Pola (latent pattern

maintenance). Pelaksanaan kegiatan

keagamaan seperti pengajian dan majelis taklim adalah upaya organisasi ini untuk mempertahankan identitas keislamannya. Lebih lanjut, organisasi ini juga berusaha untuk memelihara nilai-nilai budaya dan kekerabatan yang dimilikinya lewat aktivitas acara perkawinan, festival budaya Minangkabau dan lain-lain. Fungsi yang terakhir, yaitu pencapaian tujuan (goal attainment). Fungsi ini sangat berkaitan dengan bidang politik. Namun fungsi politik yang dimainkan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) ini bukan dalam tataran politik praktis. Hal ini sekaligus merupakan fungsi laten atau fungsi yang tidak disadari dari keberadaan organisasi sosial keminangkabauan ini. Fungsi ini terlihat antara lain dari pengangkatan orang-orang Minangkabau yang sukses dan berkedudukan penting dalam jabatan strategis organisasi. Hal tersebut ditujukan agar organisasi ini lebih dihargai dan dipandang di hadapan masyarakat Kota Medan. Hal ini juga mempermudah akses ke pemerintahan dan swasta.

Saran

1. Sebagai sebuah organisasi sosial suku bangsa Minangkabau, idealnya keberadaan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3), dapat menjadi tempat berkumpulnya para perantau Minangkabau, baik sebagai tempat berlindung, maupun sebagai tempat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkembang di kalangan suku bangsa

Minangkabau itu sendiri. Namun sampai saat ini, banyak pihak beranggapan bahwa Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) ini belum menjalankan fungsinya sebagaimana yang diharapkan. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) ini, oleh sebagian kalangan dianggap masih eksklusif dan belum memasyarakat. Terdapat pandangan bahwa Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) adalah organisasi khusus untuk kalangan suku bangsa Minangkabau kelas menengah ke atas. Oleh karena itu, sosialisasi dan pendekatan sangat perlu dilakukan oleh Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) hingga mencakup semua kalangan dalam suku bangsa Minangkabau. Dengan demikian suku bangsa Minangkabau yang ada di Medan ini juga merasa bahwa mereka adalah bagian dari organisasi ini.

2. Organisasi ini hendaknya lebih meningkatkan kepeduliannya terhadap kondisi sosial suku bangsa Minangkabau. Hal ini bisa dilakukan lewat kegiatan-kegiatan sosial yang ditujukan untuk membantu suku bangsa Minangkabau yang kurang mampu atau sedang kesusahan. 3. Hal lain yang cukup penting sebagai

masukan untuk Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) adalah terkait dengan fungsi organisasi ini sebagai payung panji bagi seluruh suku bangsa Minangkabau di Kota Medan. Oleh karena itu orang-orang yang duduk dalam struktur kepengurusan ini hendaknya lebih representatif. Sehingga tidak ada pandangan yang menyatakan bahwa organisasi ini milik orang-orang dari daerah tertentu atau suku tertentu.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, B. 1982. Minangkabau, Manusia, dan Kebudayaannya. Padang, Fakultas Keguruan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Padang.

Arikunto, Suharsimi. 1999. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta, Rineka Cipta.

Depdikbud. 2000. Keberadaan Paguyuban-Paguyuban Etnis di Daerah Perantauan dalam Menunjang Pembinaan Persatuan dan Kesatuan (Kasus Ikatan Keluarga Minang Saiyo di Denpasar, Bali). Jakarta, Depdikbud.

Ermansyah. 1998. Organisasi Sosial Orang Banuhampu di Medan. Yogyakarta, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

M.S. Amir. 1999. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya.

Naim, Mochtar. 1984. Merantau. Yogyakarta, UGM.

Nawawi, Hadari. 1994. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta, UGM.

M.S. Amir. 1999. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya.

Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi. Jakarta, LP3ES.

Poerwadarminta, WJS.1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, PT. Raja Grafindo.

Situs Internet/Website

Referensi

Dokumen terkait

Modul Bimbel Kami selalu disesuikan dengan Kurikulum yang ada di sekolah, sehingga kegiatan Bimbingan tidak sia-sia karena soal-soal yang kita sediakan hampir sama dengan

Banyak faktor yang dapat meningkatkan produktivitas kerja perawat1. diantaranya adalah menciptakan disiplin kerja yang tinggi dan lingkungan

Pedoman Pelatihan Pestisida Terbatas 50 tersedia dimanfaatkan untuk pelatihan nozzle, perawatan dan pemeliharaan sprayer dan penggunaan produk dengan benar sebagai

Wulan, Sri,2017 Pengaruh Intensitas Pembinaan Mental Terhadap Kepribadian Sehat Narapidana Di Rutan Kelas IIB Kota Salatiga.Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam

Supplementation on Growth Performance, Feed Intake and Nutrient Digestibility of Brahman Beef Cattle.. Julakorn Panatuk, Suthipong Uriyapongson and Chainarong

1) Kebutuhan akan kepercayaan dasar ( basic trust), kebutuhan ini secara terus- menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup adalah ibadah. 2) Kebutuhan akan

Auto Daya Keisindo sering adanya kesalahan input data dan adanya kecurangan dari pihak sales yang memalsukan PO atau SPK yang mengakibatkan pengendalian intern penjualan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk memperoleh biaya transportasi yang optimal dalam pendistribusian keramik di Kota Palu dengan menggunakan