• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peri-Procedural Myocardial Injury Pada Multi Vessel Disease: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Serta Hubungannya Dengan Skor Syntax

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peri-Procedural Myocardial Injury Pada Multi Vessel Disease: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Serta Hubungannya Dengan Skor Syntax"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PERI-PROCEDURAL MYOCARDIAL INJURY PADA MULTI

VESSEL DISEASE: FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN SKOR

SYNTAX

TESIS

Oleh

ALI NAFIAH NASUTION

NIM: 097115011

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERI-PROCEDURAL MYOCARDIAL INJURY PADA MULTI

VESSEL DISEASE: FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN SKOR

SYNTAX

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Dalam Program Studi Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALI NAFIAH NASUTION

NIM: 097115011

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN

VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Penelitian : PERI-PROCEDURAL MYOCARDIAL INJURY PADA MULTI VESSEL DISEASE: FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN SKOR SYNTAX Nama Mahasiswa : Ali Nafiah Nasution

Nomor Pokok : 097115011

Program Studi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Harris Hasan, Sp.PD,Sp.JP(K) Dr. Parlindungan Manik, Sp.JP(K) NIP. 195604051983031004 NIP. 195911071986101001

Mengetahui / Mengesahkan

Ketua Program Studi/ Ketua Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Jantung SMF Ilmu Penyakit Jantung

FK-USU / RSUP HAM Medan FK-USU/RSUP HAM Medan

Dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K) Prof. Dr. A. Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K) NIP. 195610261983121001 NIP. 195004161977111001

(4)

PERNYATAAN

PERI-PROCEDURAL MYOCARDIAL INJURY PADA MULTI

VESSEL DISEASE: FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN SKOR

SYNTAX

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 22 Desember 2011

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universita Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK-USU/RSUP HAM Medan, disaat penulis melakukan penelitian dan juga sebagai guru yang dengan penuh kesabaran memberikan motivasi kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP(K). Ketua Program Studi PPDS-I Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh darah FK USU saat ini yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. Harris Hasan SpPD, SpJP(K) dan Dr. Parlindungan Manik, SpJP(K), selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengkoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelasaian tesis ini.

(6)

Prof. Dr. Harris Hasan SpPD, SpJP(K); Dr. Maruli Simanjuntak, SpJP(K); Dr. Nora C. Hutajulu, SpJP(K); Dr. Zulfikri Muktar, SpJP(K); Dr. Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP(K); Dr. Parlindungan Manik, SpJP(K); Dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); Dr. Amran Lubis, SpJP(K); Dr. Nizam Zikri Akbar, SpJP(K); Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP; Dr. Andre P. Ketaren, SpJP; Dr. Andika Sitepu, SpJP; Dr. Anggia C. Lubis, SpJP dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

6. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. 7. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam pembuatan analisis statistik tesis ini.

8. Rekan-rekan sejawat peserta program PPDS-I Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK-USU, yang banyak memberikan masukan berharga melalui diskusi kritis dalam berbagai kesempatan, memberikan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. 9. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas

selama menjalani Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh darah, yang telah banyak membantu penulis selama ini.

10.Para perawat di unit laboratorium kateterisasi jantung RSUP H. Adam Malik Medan, yang dengan tulus hati dan tangan terbuka, membantu penulis dalam melaksanakan penelitian sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan.

11.Semua subjek penelitian yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

(7)

13.Teristimewa kepada calon pendamping hidupku tersayang, dr. Melati Silvanni Nasution yang telah memberikan motivasi dan perhatian dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dengan tulus dan ikhlas dalam mewujudkan cita-cita penulis.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Desember 2011

(8)

Abstrak

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor SYNTAX (SYNergy between percutaneous coronary intervention with TAXus and cardiac surgery) untuk memprediksi PMI pada multivessel disease.

Latar belakang: Peri-procedural myocardial injury (PMI) selama tindakan intervensi koroner perkutan (PCI) sering dijumpai dan berhubungan dengan keluaran klinis yang lebih buruk. Belum ada petanda klinis maupun hasil angiografi yang dapat memprediksi PMI.

Metode: Antara September sampai November 2011, terdapat 49 pasien yang menjalani tindakan PCI dengan multivessel disease. PMI didefinisikan jika terdapat kenaikan CK-MB > 3x nilai ambang batas normal pada 18-24 jam setelah tindakan PCI. Angiografi koroner dianalisis secara kuantitatif tanpa mengetahui terjadinya PMI.

Hasil: PMI terjadi pada 9/49 (18,4%) pasien. Rerata skor SYNTAX lebih tinggi pada pasien dengan PMI (27,1 vs. 15,3. p<0,001). Dengan analisis ROC, pasien dengan skor SYNTAX > 22,5 memprediksi PMI dengan sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 85,0% serta memiliki risiko yang lebih tinggi (OR=1,624, 95% i.k 1,147-2,298. p=0,006).

Kesimpulan: Skor SYNTAX > 22,5 dapat memprediksi terjadinya PMI pada multivessel disease.

(9)

Abstract

Objectives: The purpose of this study was to evaluate the ability of SYNTAX score to predict PMI.

Background: Peri-procedural myocardial injury (PMI) during percutaneous coronary intervention (PCI) is common and associated with poor outcome. No reliable angiographic or clinical predictors of PMI exist.

Methods: Between September and November 2011, 49 patients underwent PCI with multivessel disease. PMI was defined as CK-MB elevation greater than 3 x 99th percentile URL at 18-24 hours post-PCI. Quantitative coronary angiography was performed blinded to PMI.

Results: PMI occured in 9/49 (18.4%) patients. Mean patients SYNTAX score was higher in patients with PMI (27.1 vs. 15.3, p<0,001). By ROC analysis, a patient SYNTAX score of > 22,5 predicted PMI with sensitivity of 77.8% and specificity of 85.0% and significantly higher risk (OR=1,624, 95% confidence interval 1.147-2.298, p=0,006).

Conclusion: SYNTAX score of > 22.5 can predict PMI with multivessel disease.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Halaman pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah untuk kepentingan akademis ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Dafar Isi ... viii

Daftar Singkatan ... xi

Daftar Lambang ... xiii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Tabel ... xv

BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Pertanyaan Penelitian ... 2

I.3. Hipotesa Penelitian ... 2

I.4. Tujuan Penelitian ... 3

I.5. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Peri-Procedural Myocardial Injury ... 4

II.1.1. Definisi ... 4

II.1.2. Angka Kejadian PMI ... 4

II.1.3. Faktor risiko PMI ... 5

(11)

II.1.3.2.Faktor risiko yang berhubungan dengan lesi ... 6

II.1.3.3.Faktor risiko yang berhubungan dengan tindakan ... 7

II.1.4. Patofisiologi PMI ... 8

II.1.4.1.Embolisasi debris ateromatous dan trombotik ... 9

II.1.4.2.Aktivasi platelet dan trombosis ... 9

II.1.4.3.Inflamasi ... 10

II.1.5. Presentasi klinis dari PMI ... 11

II.1.5.1.Presentasi akut dari PMI ... 11

II.1.5.2.Implikasi jangka panjang dari PMI ... 12

II.1.6. Tatalaksana PMI akut ... 12

II.2. Skor SYNTAX ... 13

II.2.1. Cara menghitung skor SYNTAX ... 14

II.3. Kerangka Teori ... 19

II.4. Kerangka Konsep ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN III.1. Desain Penelitian ... 21

III.5.2.Kriteria Eksklusi ... 23

III.6. Cara Kerja ... 23

III.6.1. Analisis Angiografi Koroner ... 23

III.6.2. Pemeriksaan CK-MB ... 23

III.7. Alur Penelitian ... 24

(12)

III.9. Definisi Operasional ... 25

III.10. Masalah etika ... 26

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil Penelitian ... 27

IV.1.1. Karakteristik Penelitian ... 27

IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian ... 27

IV.1.3. Hasil ... 29

IV.1.3.1.Analisis Univariat ... 31

IV.1.3.2.Analisis Multivariat ... 32

IV.1.3.3.Analis ROC ... 32

IV.2. Pembahasan ... 33

IV.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 33

IV.2.2. Kejadian PMI ... 34

IV.2.3.Faktor-faktor risiko terjadinya PMI ... 35

IV.3. Keterbatasan penelitian ... 36

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan ... 37

V.2. Saran ... 37

Daftar Pustaka ... 38

Lampiran

1. Lembar Penjelasan kepada Pasien 2. Surat Persetujuan Setelah Penjelasan 3. Status Pasien

(13)

DAFTAR SINGKATAN

ACC : American College of Cardiology AHA : American Heart Association APTS : Angina pektoris tidak stabil AUC : Area under curve

BMS : Bare-metal stent

BOAT : Balloon vs Optimal Atherectomy Trial CABG : Coronary Artery Bypass Graft

CAVEAT-I : Coronary Angioplasty Versus Excisional Atherectomy Trial-I

CK-MB : Creatinine kinase myocardial band CRP : C-reactive protein

DCA : Directional coronary atherectomy DES : Drug-eluting stent

EDTA : Ethylenediaminetetraacetic acid

EPIC :Evaluation of c7E3 for the Prevention of Ischemic Complications

EPILOG : Evaluation in PTCA to Improve Long-Term Outcome with Abciximab GP IIb/IIIa Blockade

EPISTENT : Evaluation of Platelet IIb/IIIa Inhibitor for Stenting Trial

ESC : European Society of Cardiology

GDS : Gula darah sementara

GENERATION : Global Evaluation of New Events and Restenosis After Stent Implantation

hsCRP : high-sensitive C-reactive protein

i.k : interval kepercayaan

(14)

IMA : Infark Miokard Akut

IMPACT-II : Integrilin (eptifibatide) to Minimize Platelet

Aggregation and Coronary Thrombosis-II

MACE : Major adverse cardiac events

MRI : Magnetic resonance imaging

LAD : Left Anterior Descending

LCx : Left Circumflex

LM : Left Main

LVEF : Left ventricular ejection fraction

NSTEMI : Non- ST-elevation myocardial infarction

OR : Odds ratio

PCI : Percutaneous Coronary Intervention

PJK : Penyakit Jantung Koroner

PMI : Peri-procedural Myocardial Injury

PTCA : Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty RCA : Right Coronary Artery

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat ROC : Receiver operator characteristic SPSS : Statistical Product and Science Service STEMI : ST-elevation myocardial infarction

SYNTAX : SYNergy between percutaneous coronary intervention with TAXus and cardiac surgery

TF : Tissue factor

(15)

DAFTAR LAMBANG

n : besar sampel

Zα : deviat baku alpha (alpha 95%) hipotesis dua arah  1,96

Zβ : deviat baku beta (beta 80%)  1,282

Po : proporsi peri-procedural myocardial injury (dari referensi)  5% (0,05) Qo : 1-Po  0,95

Po-Pa : selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna  0,15

< : kurang dari

> : lebih dari

% : presentase

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Patofisiologi terjadinya PMI 11

2 Penjelasan segmen arteri koroner 15

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Faktor risiko terjadinya PMI 8

2 Faktor penilaian segmen arteri koroner 16 3 Skor dalam menghitung karakteristik lesi 17

4 Algoritme skor SYNTAX 18

5` Data karakteristik subjek penelitian 28 6 Data karakteristik subjek penelitian yang mengalami 30

PMI dan tidak mengalami PMI

7 Analisis univariat faktor-faktor yang berhubungan 31 dengan PMI

(18)

Abstrak

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor SYNTAX (SYNergy between percutaneous coronary intervention with TAXus and cardiac surgery) untuk memprediksi PMI pada multivessel disease.

Latar belakang: Peri-procedural myocardial injury (PMI) selama tindakan intervensi koroner perkutan (PCI) sering dijumpai dan berhubungan dengan keluaran klinis yang lebih buruk. Belum ada petanda klinis maupun hasil angiografi yang dapat memprediksi PMI.

Metode: Antara September sampai November 2011, terdapat 49 pasien yang menjalani tindakan PCI dengan multivessel disease. PMI didefinisikan jika terdapat kenaikan CK-MB > 3x nilai ambang batas normal pada 18-24 jam setelah tindakan PCI. Angiografi koroner dianalisis secara kuantitatif tanpa mengetahui terjadinya PMI.

Hasil: PMI terjadi pada 9/49 (18,4%) pasien. Rerata skor SYNTAX lebih tinggi pada pasien dengan PMI (27,1 vs. 15,3. p<0,001). Dengan analisis ROC, pasien dengan skor SYNTAX > 22,5 memprediksi PMI dengan sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 85,0% serta memiliki risiko yang lebih tinggi (OR=1,624, 95% i.k 1,147-2,298. p=0,006).

Kesimpulan: Skor SYNTAX > 22,5 dapat memprediksi terjadinya PMI pada multivessel disease.

(19)

Abstract

Objectives: The purpose of this study was to evaluate the ability of SYNTAX score to predict PMI.

Background: Peri-procedural myocardial injury (PMI) during percutaneous coronary intervention (PCI) is common and associated with poor outcome. No reliable angiographic or clinical predictors of PMI exist.

Methods: Between September and November 2011, 49 patients underwent PCI with multivessel disease. PMI was defined as CK-MB elevation greater than 3 x 99th percentile URL at 18-24 hours post-PCI. Quantitative coronary angiography was performed blinded to PMI.

Results: PMI occured in 9/49 (18.4%) patients. Mean patients SYNTAX score was higher in patients with PMI (27.1 vs. 15.3, p<0,001). By ROC analysis, a patient SYNTAX score of > 22,5 predicted PMI with sensitivity of 77.8% and specificity of 85.0% and significantly higher risk (OR=1,624, 95% confidence interval 1.147-2.298, p=0,006).

Conclusion: SYNTAX score of > 22.5 can predict PMI with multivessel disease.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia pada beberapa dekade terakhir meskipun terdapat kemajuan yang pesat dalam tatalaksananya (Serruys dkk.2009). Di Indonesia juga semakin sering ditemukan kasus PJK. Hasil survey kesehatan nasional pada tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia menderita PJK (Rahman 2009). Dimulai pada tahun 1968, operasi bedah pintas koroner (CABG) menjadi terapi pilihan. Peranan CABG dalam menghilangkan keluhan nyeri dada (angina pektoris) lebih baik dibandingkan terapi konservatif didapatkan pada semua hasil penelitian. Pada tahun 1977, Andreas Gruntzig melakukan intervensi koroner perkutan (PCI) pertama yang merupakan strategi alternatif inovatif dan terus mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai saat ini (Serruys dkk.2009).

Dalam tiga dekade terakhir telah disadari bahwa tindakan PCI merupakan strategi yang baik dalam tatalaksana PJK. Dengan perkembangan teknik intervensi dan alat baru seperti stent dan farmakoterapi, angka kejadian komplikasi iskemia selama tindakan yang utama [Infark miokard akut (IMA) dengan gelombang Q, CABG, dan kematian akibat jantung] menurun dari 9% hingga kurang 2%. Akan tetapi, angka kejadian peningkatan petanda enzim jantung setelah tindakan tidak mengalami penurunan yang berarti sejak pertama kali dipublikasikan (Oh dkk.1985). Peningkatan petanda enzim jantung ini sekarang dikenal dengan istilah peri-procedural myocardial injury/infarction (PMI) (Herrmann 2005).

(21)

didapatkan bahwa terdapat peningkatan risiko kematian jangka panjang pada peningkatan rasio CK-MB (Cavallini dkk.2005). Penelitian lain mendapatkan bahwa setiap peningkatan CK-MB akan memperlama masa rawatan dan meningkatkan risiko kematian (Ellis dkk.2002). Pasien pasca tindakan PCI dengan peningkatan Troponin-I akan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular utama selama rawatan (Fuschs dkk.2000).

Faktor risiko untuk terjadinya PMI dapat dikelompokkan dalam faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, tipe lesi dan tindakan yang dilakukan. Faktor risiko utama adalah lesi yang kompleks, tindakan yang kompleks, dan komplikasi yang menyertai (Herrmann 2005).

Skor SYNTAX (SYNergy between percutaneous coronary intervention with TAXus and cardiac surgery) adalah sistem skor yang diformulasikan secara komprehensif untuk menggambarkan kompleksitas dari hasil angiografi dan merupakan faktor yang berperan dalam menentukan hasil setelah PCI atau CABG (Sianos dkk.2005). Skor SYNTAX dikembangkan dari beberapa klasifikasi angiografi sebelumnya yang bertujuan untuk mengelompokkan anatomi koroner berdasarkan jumlah lesi dan akibat fungsionalnya, lokasi, dan kompleksitas dari lesi tersebut. Skor SYNTAX dihitung dengan menjumlahkan lesi yang ada. Tiap lesi koroner dengan obstruksi >50% pada lumen pembuluh darah dengan diameter >1,5 mm dihitung. Skor SYNTAX yang lebih tinggi menggambarkan penyakit yang lebih kompleks dan dihubungkan dengan angka kematian yang lebih tinggi dalam 1 tahun (Serruys dkk.2009). Skor SYNTAX telah divalidasi pada PJK dengan 3 pembuluh darah studi ARTS II namun saat ini belum ada sistem skor yang dapat memprediksi terjadinya PMI dengan baik. Di Indonesia belum ada penelitian yang melihat apakah skor SYNTAX dapat memprediksi terjadinya PMI.

I. 2. Pertanyaan Penelitian

(22)

I. 3. Hipotesa Penelitian

Skor SYNTAX dapat memprediksi terjadinya peri-procedural myocardial injury pada multivessel disease.

I. 4. Tujuan Penelitian

Skor SYNTAX dapat dipakai untuk meprediksi terjadinya peri-procedural myocardial injury pada multivessel disease.

I. 5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada ahli kardiologi intervensi tentang risiko terjadinya peri-procedural myocardial injury pada multivessel disease dengan mengaitkannya dengan skor SYNTAX.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Peri-Procedural Myocardial Injury

II. 1. 1. Definisi

Menurut guidelines ESC/ACC tahun 2000, setiap peningkatan petanda enzim jantung di atas nilai ambang batas normal pada pengambilan darah setelah tindakan intervensi koroner perkutan (PCI) dapat didiagnosis sebagai Peri-procedural myocardial injury (PMI) (Alpert dkk.2000). Pendapat lain menyebutkan, PMIadalah peningkatan CK-MB atau troponin I atau T baru yang lebih dari 5 kali nilai atas ambang batas normal (Smith dkk.2006). Konsensus yang lebih baru menyebutkan, PMI apabila terdapat peningkatan petanda enzim jantung lebih dari 3 kali nilai atas ambang batas normal. Petanda enzim jantung yang dianjurkan adalah troponin (Thygesen dkk.2007). Namun ada penelitian terakhir yang menyatakan bahwa CK-MB lebih relevan digunakan dengan peningkatan lebih dari 3 kali nilai atas ambang batas normal dibandingkan dengan troponin (Lim dkk.2011).

Peningkatan serum troponin I atau T mencapai kadar puncak dalam 24-48 jam setelah PCI sedangkan CK-MB mencapai kadar puncak dalam 24 jam setelah PCI (Alpert dkk.2000).

II. 1. 2. Angka kejadian PMI

(24)

II. 1. 3. Faktor risiko PMI

Faktor risiko PMI secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, lesi, dan tindakan yang dilakukan (Herrmann.2005). Faktor risiko utama adalah lesi yang kompleks (contoh, adanya thrombus, stenosis pada graft vena saphena, atau lesi tipe C), tindakan yang kompleks (contoh, tindakan pada lesi yang kompleks atau penggunaan aterektomi rotasional), dan yang berhubungan dengan komplikasi yang menyertai (contoh, oklusi pada pembuluh darah side branch, embolisasi distal, atau tidak ada aliran). Selain itu, faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, seperti usia tua, diabetes melitus, gagal ginjal, banyaknya arteri koroner yang terlibat, disfungsi ventrikel kiri, adalah faktor yang penting terhadap keluaran klinis pasien setelah PCI (Prasad dkk.2011).

II. 1. 3. 1. Faktor risiko yang berhubungan dengan pasien

Banyak penelitian yang mendapatkan bahwa PJK yang lebih kompleks berhubungan dengan risiko PMI yang lebih tinggi. PJK multivessel meningkatkan risiko terjadinya PMI 1,3–1,8 kali (Herrman.2005). Kini dkk (1999) mendapatkan bahwa aterosklerosis sistemik merupakan petanda klinis yang lebih kuat dibandingkan dengan PJK multivessel [odds ratios (ORs) 1,89 vs 1,31].

Usia lanjut (usia >60 tahun) merupakan faktor risiko klasik kardiovaskular yang sering berhubungan dengan PMI (Kugelmass dkk.1994 dan Saucedo dkk.2000). Angina pektoris tidak stabil (APTS)

juga merupakan petanda klinis penting lainnya untuk terjadinya PMI

dengan OR 1,5. (Abdelmeguid dkk.1996 dan Tardiff dkk.1999). Pasien

dengan APTS dan peningkatan enzim jantung pada saat masuk diketahui

memiliki prognosis yang lebih buruk, sehingga banyak dikeluarkan dalam

penelitian karena sukar dibedakan apakah peningkatan enzim jantung

akibat perjalanan IMA atau disebabkan cedera miokard akibat PCI

(25)

kelompok ini memiliki risiko yang lebih tinggi terjadinya peningkatan

enzim jantung setelah PCI (Tardiff dkk.1999).

Peningkatan CK-MB juga lebih tinggi pada pasien gagal ginjal

(33,3% vs 18,7%) (Kini dkk.1999). Karena gagal ginjal merupakan faktor

perancu pada penilaian enzim jantung, maka pasien gagal ginjal banyak

yang dikeluarkan dari penelitian. Data tambahan lainnya oleh Gruberg dkk

(2002) menunjukkan bahwa angka kejadian PMI tanpa gelombang Q

(CK-MB > 5x nilai atas nomal) lebih tinggi pada pasien gagal ginjal kronik dan

gagal ginjal akhir dibandingkan pada pasien dengan fungsi ginjal normal

(19,0 dan 17,6 vs 13,8%, P < 0,0001). Anemia (wanita < 12 g/dL dan pria < 13 g/dL) juga merupakan faktor penyerta lain yang meningkatkan risiko

PMI dengan OR 1,35 (McKechnie dkk.2004).

Peningkatan C-reactive protein (CRP) sebelum PCI telah dianggap sebagai petanda klinis terjadinya PMI. Saadeddin dkk (2002) mendapatkan

adanya kenaikan high-sensitive C-reactive protein (hs-CRP) sebesar 41% dari 85 pasien angina stabil yang menjalani PCI dengan risiko yang

meningkat 2,27 kali untuk terjadinya PMI. Ellis dkk (2002) mendapatkan

peningkatan kadar hs-CRP hampir 4x dibandingkan sebelum tindakan.

Hubungan yang linier antara konsentrasi serum CRP sebelum tindakan dan

kadar puncak CK-MB setelah tindakan dijumpai pada penelitian

GENERATION (Zairis dkk.2005). Perubahan yang signifikan dari

keadaan inflamasi juga dijumpai pada penelitian EPIC, EPILOG, dan

EPISTENT, dimana angka kejadian peningkatan CK-MB setelah tindakan

adalah 35% lebih tinggi (absolut 7%) pada pasien dengan kadar lekosit

sebelum tindakan > 9,5 x 106/L (Gurm dkk.2003).

II. 1. 3. 2. Faktor risiko yang berhubungan dengan lesi

Intervensi pada lesi de novo dihubungkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya PMI jika dibandingkan dengan lesi restenosis (OR

(26)

Pada pemeriksaan histologis terdapat perbedaan dari komposisi

lesi. Jika dibedakan dari sel dan akumulasi lemak pada aterosklerosis

primer, didapatkan gambaran plak ateroma yang mudah pecah, akumulasi

matriks ekstraselular, yang mengarah pada pembentukan neointima yang

tetap, khususnya pada lesi in-stent restenosis. Karakteristik lesi de novo

yang mengarah terjadinya PMI adalah dijumpai gambaran eksentrik,

kandungan plak dan trombus yang lebih banyak, ruptur plak, dan

pembuluh darah side branch yang besar (Chung dkk.2002).

II. 1. 3. 3. Faktor risiko yang berhubungan dengan tindakan yang dilakukan

Oklusi pembuluh darah side branch paling banyak dihubungkan dengan terjadinya PMI dengan OR berkisar antara 1,7 sampai 7,9 (Shyu dkk 1998). Diseksi adalah komplikasi paling banyak berikutnya dengan OR 1,2 – 1,8 (Ravkilde dkk.1994 dan Abbas dkk.1996). No-reflow/aliran yang lambat adalah salah satu petanda klinis yang kuat terjadinya PMI

dengan OR dari 4,5–5,8 (Kong dkk.1997 dan Ricciardi dkk.2003). Emboli

distal juga merupakan salah satu petanda klinis yang paling kuat untuk

terjadinya PMI dengan OR 4,4 – 6,0 (Klein dkk.1991 dan Hong

dkk.1999).

Lesi yang lebih kompleks memerlukan intervensi yang lebih kompleks. Jenis intervensi yang dilakukan lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan parameter intervensi lain seperti jumlah, tekanan, dan lama inflasi dari balloon. Penelitian CAVEAT-I adalah penelitian pertama yang menunjukkan angka kejadian PMI yang lebih tinggi pada directional coronary atherectomy (DCA) yang juga dibuktikan oleh penelitian BOAT (Harrington dkk.1995 dan Baim dkk.1998). Risiko PMI lebih tinggi 2x dengan prosedur aterektomi dan 1,2x lebih tinggi dengan

(27)

Tabel 1. Faktor risiko terjadinya PMI(Herrmann 2005)

Faktor risiko pasien Faktor risiko lesi Faktor risiko tindakan

PJK multivessel Lesi baru PCI pada multivessel

Riwayat Infark miokard Lesi graft vena saphena Atherektomi

Riwayat CABG Komposisi plak Pemasangan stent

Atherosklerosis sistemik Komposisi trombus Jumlah stent

LVEF yang rendah Lesi tipe C menurut ACC/AHA Jumlah inflasi

APTS Lesi multipel Waktu inflasi

Peningkatan CRP Gambaran eksenterik Tekanan maksimum balon

Usia > 60 tahun Kontur yang ireguler Ukuran stent/balon

Wanita Ruptur plak Volume kontras/floroskopi

Riwayat keluarga Oklusi pembuluh side branch

Diabetes melitus Diseksi

Hiperlipidemia Trombus

Hipertensi Penutupan tiba-tiba

Merokok Aliran lambat/tidak ada aliran

Berat badan Embolisasi

Gagal ginjal Vasospasme

Perforasi

II. 1. 4. Patofisiologi PMI

(28)

Cedera miokard akut pada dua lokasi yang berbeda tadi dapat dideteksi dengan MRI pada 25 pasien setelah PCI, dengan rata-rata luas infark 5% massa ventrikel kiri (Prasad dkk.2011). Meskipun jumlah emboli mikro berhubungan secara positif dengan disfungsi mikrovaskular dari miokardial, namun diduga adanya faktor lain disamping besar emboli mikro yang mempengaruhi terjadinya PMI, seperti pelepasan vasoaktif, aktivasi platelet, dan adanya kerentanan mikardium sebelumnya (Herrmann 2005 dan Prasad dkk.2011).

II. 1. 4. 1. Embolisasi debris ateromatous dan trombotik

Pemeriksaan volumetric intravascular ultrasound telah menambah pemahaman akan terjadinya pembesaran lumen dengan berbagai teknik intervensi. Pada PTCA hanya menyebabkan redistribusi plak tanpa adanya penurunan volume plak. Pada pemasangan stent dan teknik rotablasi terdapat penurunan volume plak akibat dari embolisasi plak dan fragmentasi, yang bisa menjelaskan mengapa angka kejadian PMI lebih tinggi pada kedua teknik tersebut (Dussaillant dkk.1996, Mintz dkk.1996, dan Ahmed dkk.2000).

II. 1. 4. 2. Aktivasi platelet dan trombosis

Pada studi eksperimental oleh Bonderman dkk (2002) menunjukkan pecahnya plak secara in vivo baik oleh PTCA atau pemasangan stent menyebabkan pelepasan debris dan pelepasan biofaktor yang sangat kuat seperti tissue factor (TF) ke sirkulasi koroner, yang menyebabkan trombosis mikrovaskular. Dibandingkan dengan PTCA, DCA berhubungan dengan aktivasi platelet yang lebih banyak, akibat dari penurunan perfusi jaringan miokard yang signifikan (Dehmer dkk.1997 dan Koch dkk.1999).

(29)

lebih tinggi untuk terjadinya peningkatan kadar CK-MB setelah tindakan (41,2 vs 4,2%, P < 0,01). Secara keseluruhan, penurunan TMPG nampaknya berhubungan dengan PMI yang lebih luas dan setidaknya merupakan bagian dari kejadian trombotik dan aktivasi platelet (Choi dkk.2004 dan Gibson dkk.2004).

II. 1. 4. 3. Inflamasi

Inflamasi merupakan respon utama pada cedera jaringan, dan peningkatan aktivasi netrofil pada sinus koroner lebih nyata pada penggunaan alat intervensi yang baru dan intervensi pada lesi C menurut AHA/ACC (Serrano dkk.1997, Inoue dkk.2000 dan Gottsauner-Wolf dkk.2000). Proses inflamasi ini ditandai dengan peningkatan konsentrasi

serum CRP diikuti oleh peningkatan serum IL-6 dalam 12-36 jam, dan

puncaknya dalam 24 jam setelah tindakan (Sanchez-Margalet dkk.2002

dan Bonz dkk.2003). Namun belum jelas apakah asal dari cedera jaringan

dan reaksi inflamasi yang terjadi berada pada tempat intervensi atau pada

(30)

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya PMI (Prasad dkk.2011)

II. 1. 5. Presentasi klinis dari PMI

II. 1. 5. 1. Presentasi akut dari PMI

(31)

dengan nyeri dada setelah PCI (1,4% vs. 10%) dan khususnya lebih tinggi jika nyeri dada timbul dalam 4 jam pertama (angka kejadian 12x lebih tinggi) atau berhubungan dengan perubahan gelombang ST-T (angka kejadian 22x lebih tinggi) (Robbins dkk.1999). Pada dua pertiga pasien dengan nyeri dada setelah PCI, komplikasi selama tindakan dijumpai. Sepertiga sisanya berhubungan dengan mikroembolisasi dan cedera serta peregangan dinding pembuluh darah (Kini dkk.2003).

II. 1. 5. 2. Implikasi jangka panjang dari PMI

Implikasi prognostik pada umumnya berhubungan dengan mortalitas kardiak, khususnya berhubungan dengan angka kejadian yang lebih tinggi pada kematian mendadak, terutama pada penggunaan CK-MB dibandingkan Troponin T atau I sebagai petanda (Herrmann dkk.2005). Sebuah studi analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan relatif kematian 6 bulan pada setiap peningkatan kadar CK-MB setelah PCI serupa dengan infark mikard yang terjadi secara spontan (Akkerhuis dkk.2002). Pada meta-analisis dari 7 penelitian dengan 23.230 pasien, didapatkan 1,5, 1,8, dan 3,1 kali risiko kematian jangka panjang (6-34 bulan) yang lebih tinggi pada pasien dengan peningkatan kadar CK-MB setelah PCI 1-3x, 3-5x, dan >5x dari nilai ambang batas normal (Ioannidis dkk.2003). Akhirnya data yang diperoleh dari studi prospektif CK-MB dan PCI menunjukkan adanya hubungan yang linier antara peningkatan CK-MB dan kematian dalam 2 tahun, namun gagal menunjukkan nilai prognostik dari peningkatan kadar troponin I setelah PCI (Cavallini dkk.2005).

II. 1. 6. Tatalaksana PMI akut

(32)

pasien dengan pemeriksaan enzim jantung serial pada 6-12 dan 24 jam dan EKG segera setelah PCI dan pada nyeri dada yang timbul setelah tindakan (Smith dkk.2001 dan Mahmud dkk.2003). Perubahan segmen ST-T saat nyeri dada setelah PCI memiliki sensitivitas 100% namun spesifitasnya hanya 66% (Mansour dkk.1992). Pada kasus lesi primer dan diseksi dengan atau tanpa penutupan tiba-tiba, oklusi pembuluh side branch, dan embolisasi distal pada umumnya tidak memerlukan intervensi ulang dan akan mengalami pemulihan (Iijima dkk.2005). Pada keadaan no-reflow, stabilisasi hemodinamik, oksigenasi, dan tatalaksana iskemik adalah penting dengan pemberian vasodilator intrakoroner (Klein

dkk.2003). Secara keseluruhan, sebagian besar pasien dengan PMI akut tidak

memerlukan angiografi ulang dan hanya diberikan terapi konservatif standar

(Levine dkk.2003).

II. 2. Skor SYNTAX

Skor SYNTAX (SYNergy between percutaneous coronary intervention with TAXus and cardiac surgery) adalah sistem skor yang diformulasikan secara komprehensif untuk menggambarkan kompleksitas dari hasil angiografi dan memprediksi hasil akhir tindakan PCIatau CABG (Serruys dkk.2008).

Skor SYNTAX dikembangkan secara khusus untuk mendeskripsikan pembuluh darah koroner dengan memperhatikan jumlah lesi dan akibatnya secara fungsional, lokasi, dan kompleksitas. Skor SYNTAX yang lebih tinggi, menunjukkan keadaan penyakit yang lebih kompleks dan prognosis yang lebih buruk (Sianos dkk.2005).

(33)

II. 2. 1. Cara menghitung skor SYNTAX

Dicari pembuluh darah yang berdiameter > 1,5 mm dengan stenosis > 50%. Setiap lesi dapat melibatkan lebih dari 1 segmen. Stenosis serial kurang dari 3 kali diameter pembuluh darah dihitung menjadi 1 lesi, bila lebih dari 3 kali diameter pembuluh darah dihitung menjadi 2 lesi. Persentase stenosis tidak diperhitungkan dalam skor SYNTAX. Lesi hanya terbagi atas jenis oklusif (stenosis 100%) dan non oklusif (stenosis 50%-99%) (Sianos dkk.2005).

Segmen arteri koroner yang terlibat ditentukan apakah dominan kiri atau dominan kanan (gambar 2). Tiap segmen mempunyai nilai berdasarkan jenis arteri koroner yang dominan (tabel 2).

(34)
(35)
(36)
(37)

Tabel 4. Algoritme skor SYNTAX (Sianos dkk.2005)

(38)

II. 3. Kerangka Teori

(Prasad dkk.2011. N Engl J Med 2011;364:453-64)

Peptida vasoaktif Trombus Partikel mikro Debris plak

Oklusi side branch

Aktivasi palatelet Aktivasi netrofil

Vasokonstriksi Disfungsi mikrovaskular Penurunan aliran darah

(39)

II. 4. Kerangka Konsep

PJK dengan multivessel disease

P C I

Peri-procedural myocardial injury Skor SYNTAX

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III. 1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan dengan observasional dengan metode pengukuran data secarapotong lintang yang bersifat analitik. Pengambilan sampel dengan cara concecutive sampling, dimana jumlah sampel dibatasi minimal sesuai perkiraan besar sampel.

III. 2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular divisi Invasif Non bedah di laboratorium kateterisasi RSUP. H. Adam Malik Medan yang sejak September 2011 sampai November 2011.

III. 3. Subyek Penelitian

(41)

Zα = deviat baku alpha (alpha 95%) hipotesis dua arah  1,96

Zβ = deviat baku beta (beta 80%)  1,282

Po = proporsi peri-procedural myocardial injury (dari referensi)  5% (0,05) Qo = 1-Po  0,95

Po-Pa = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna  0,15

Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh besar sampel sejumlah 46 pasien

III. 5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

III. 5. 1. Kriteria Inklusi

 Pasien usia di atas 18 tahun.

 Pasien yang akan dilakukan pemasangan stent secara elektif pada multivessel disease.

 Pasien bukan STEMI/NSTEMI akut (< 2 minggu)

 Riwayat PCI tidak kurang dari 4 minggu sebelumnya

 Pasien tidak dengan riwayat CABG

 Kadar kreatinin kurang dari 2,0 mg/dl atau nilai klirens kreatinin > 30 ml/menit

(42)

III. 5. 2. Kriteria Eksklusi

 Pasien yang mengalami syok kardiogenik selama tindakan.

 Pasien yang mengalami resusitasi jantung paru selama tindakan.

III. 6. Cara Kerja

III. 6. 1. Analisis Angiografi Koroner

Tiap hasil angiografi koroner dianalisis oleh dua orang ahli kardiologi intervensi yang berpengalaman yang tidak mengetahui karakteristik pasien. Bila terdapat perbedaan dari hasil yang didapat, maka akan dianalisis oleh pengamat yang ketiga dan keputusan akhir dibuat dengan konsensus. Tiap lesi koroner dengan stenosis >50% dan diameter pembuluh darah > 1,5 mm dianalisis secara kuantitatif (GE Medical System Innova 2100) dihitung secara terpisah dan ditambahkan pada setiap pembuluh koroner untuk mendapatkan skor SYNTAX dengan menggunakan program (SYNTAX score calculator V2.1, Cardialysis, Boston).

III. 6. 2. Pemeriksaan CK-MB

 Sampel darah diambil sebelum prosedur dan 18-24 jam setelah tindakan PCI

 Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat COBAS INTEGRA 400 di UPF Laboratorium Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan

 Nilai referensi: 7-25 U/L

 Persiapan sampel

(43)

III. 7 Alur Penelitian

Pasien rawat inap kardiovaskular

Tindakan angiografi koroner

multivessel disease

Peri-procedural myocardial injury P C I

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi Pemeriksaan CK-MB 18-24 jam paska PCI

Skor SYNTAX

(44)

III. 8. Analisis Data

Data hasil penelitian akan dianalisis secara statistik dengan bantuan program komputer Windows SPSS-17 (Statistical Product and Science Service).

Analisis dan penyajian data dilakukan sebagai berikut:

 Data kontinu dikspresikan sebagai mean +/- standar deviasi dari mean atau nilai median (min - maks) sesuai dengan hasil uji normalitas sebagai data karakteristik dasar.

 Data kategorik diekspresikan sebagai frekuensi dan persentase.

 Hubungan antara skor SYNTAX dengan kejadian peri-procedural myocardial injury pada multivessel disease menggunakan uji T Independent.

 Analisis regresi multiivariat dilakukan setelah didapat faktor-faktor risiko yang telah terbukti dengan analisis univariat. Variable dependen kategorik dikotom menggunakan uji regresi logistik.

Cut off antar skor SYNTAX dengan kejadian peri-procedural myocardial injury pada multivessel disease menggunakan analisis ROC.

 P value < 0.05 dianggap bermakna.

III. 9. Definisi Operasional

 Skor SYNTAX adalah sistem skor yang diformulasikan secara komprehensif untuk menggambarkan kompleksitas dari hasil angiografi dan memprediksi hasil akhir tindakan PCI atau CABG yang dihitung dengan menggunakan program (SYNTAX score calculator V2.1, Cardialysis, Boston).

(45)

Multivessel disease adalah stenosis arteri koroner > 50% pada 2 atau lebih arteri koroner utama yang dinilai dengan tindakan angiografi koroner.

 Syok kardiogenik adalah hipotensi selama lebih dari 30 menit dengan adanya bukti hipoksia jaringan.

III. 10. Masalah etika

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.1 Karakteristik penelitian

Desain penelitian ini adalah studi potong lintang (cross sectional) yang bersifat analitik. Penelitian dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Divisi Invasif nonbedah di laboratorium kateterisasi RSUP. Haji Adam Malik Medan, selama periode September 2011 sampai dengan November 2011 dengan jumlah sampel yang memenuhi syarat sebanyak 49 orang dari populasi yang menjalani intervensi koroner yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

IV.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari 49 orang subjek penelitian didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 44 orang (89,8%) dan perempuan sebanyak 5 orang (10,2%). Dengan rata-rata usia adalah 55,1 ± 9,9. Rentang usia yang terbanyak

adalah ≤ 60 tahun sebanyak 37 orang (75,5%) sedangkan usia > 60 tahun sebanyak 12 orang (24,5%).

Dari 49 subjek penelitian, yang mempunyai riwayat hipertensi adalah 25 orang (51%), diabetes mellitus 21 orang (42,9%), perokok sebanyak 35 orang (71,4%), riwayat keluarga menderita PJK 1 orang (2%), dislipidemia 5 orang (10,2%). Subjek dengan riwayat IMA 21 orang (42,9%).

(47)

Tabel 5. Data karakteristik subjek penelitian

Leukosit (nilai tengah;min-maks) 9180 (4320 - 16300)

(48)

IV.1.3. Hasil

Dari penelitian ini didapatkan PMI pada 9 orang (18,4%) dan seluruhnya adalah laki-laki.

Dari 25 pasien dengan hipertensi (51%), PMI terjadi pada 8 orang (88,9%) dan tidak PMI pada 17 orang (42,5%) (p = 0,023).

Subjek dengan riwayat dislipidemia dan riwayat IMA memiliki hubungan dengan PMI yang bermakna secara statistik. Sebanyak 3 pasien dislipidemia (33,3%) dengan PMI dan 2 pasien (5%) tanpa mengalami PMI (p = 0,037). Pada pasien dengan riwayat IMA, PMI terjadi pada 7 pasien (77,8%) dan tidak PMI pada 14 pasien (35%) dengan nilai p = 0,028. Terdapat perbedaan nilai skor SYNTAX yang bermakna pada kedua kelompok. Skor SYNTAX pada pasien PMI adalah 27,1+4,8 dan pada pasien tanpa PMI adalah 15,3+5,8 (p < 0,001).

Data karakteristik subjek penelitian yang mengalami PMI dan tidak mengalami PMI disajikan pada tabel 6.

(49)

CK-MB pre-PCI (rerata ± SD) 15,9 + 5,5 15,9 + 3,8 0,993

Setelah didapatkan deskripsi data karakteristik subjek penelitian yang mengalami PMI dan tidak mengalami PMI, dilakukan analisis univariat untuk menentukan variabel-variabel yang dapat dimasukkan ke dalam analisis multivariat. Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan metode regresi logistik dengan tingkat kemaknaan adalah p < 0,05.

(50)

Skor SYNTAX berhubungan dengan kejadian PMI dengan nilai OR= 1,600 (95% i.k 1,168 – 2,193, p= 0,003).

Data analisis univariat selengkapnya disajikan pada tabel 7.

IV.1.3.2. Analisis multivariat

Analisis multivariat dilakukan setelah mendapat hasil analisis univariat dengan menggunakan uji regresi logistik dan p < 0,05 dianggap bermakna. Variabel yang dimasukkan ke dalam analisis multivariat adalah variabel yang didapat dari analisis univariat dengan nilai p < 0,2.

Dari analisis multivariat didapatkan 2 variabel, yaitu hipertensi dan skor SYNTAX. Berdasarkan hasil analisis multivariat didapatkan hasil bahwa faktor risiko yang berpengaruh secara independen terhadap terjadinya PMI adalah skor SYNTAX dengan nilai OR= 1,624 (95% i.k 1,147 – 2,298). Data analisis multivariat selengkapnya disajikan pada tabel 8.

Tabel 7. Analisis univariat faktor-faktor yang berhubungan dengan PMI

(51)

Tabel 8. Analisis multivariat

Variabel Nilai P OR 95% CI

Hipertensi 0,107 10,396 0,605 – 178,606

Skor SYNTAX 0,006* 1,624 1,147 – 2,298

IV.1.3.3. Analisis ROC

Dengan analisis receiver operator characteristic (ROC), skor SYNTAX dapat memprediksi terjadinya PMI (AUC = 0,814). Dengan memilih rasio sensitivitas:spesifisitas 1, pasien dengan skor SYNTAX > 22,5 dapat memprediksi PMI dengan nilai sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 85,0%.

(52)

IV.2. Pembahasan

Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang bersifat analitik dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PMI pada multivessel disease yang dilakukan tindakan PCI dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya serta melihat hubungan skor SYNTAX dengan terjadinya PMI.

IV.2.1. Karakteristik subjek penelitian

Dari 49 subjek penelitian didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 44 orang (89,8%) dengan rata-rata usia 55,1 + 9,9 tahun. Studi yang dilakukan oleh van Gaal dkk (2009) terhadap 100 pasien mendapatkan laki-laki sebanyak 77 orang (77%) dengan rata-rata usia 64,4 + 10,3 tahun. Studi lain (Saucedo dkk.2000) juga mendapatkan rata-rata usia pasien adalah di atas 60 tahun.

Pasien hipertensi pada penelitian ini adalah 25 orang (51%), dislipidemia sebanyak 5 pasien (10,2%) sedangkan Ellis dkk (2002), subjek hipertensi sebanyak 69,2%. Namun untuk dislipidemia pada penelitian Ellis dkk (2002) didapatkan cukup jauh perbedaannya yaitu 49,7%. Diabetes pada penelitian ini sebanyak 21 orang (42,9%) sedangkan penelitian oleh Brener dkk (2002) sebanyak 28%.

Pada penelitian ini didapatkan 35 pasien merokok (71,4%) lebih banyak bila dibandingkan dengan penelitian oleh Ajani dkk (2004) yaitu sebanyak 62,9%. Riwayat IMA pada pasien penelitian ini adalah sebanyak 21 pasien (42,9%). Studi yang dilakukan oleh Saucedo dkk (2000) sebanyak 47,3% pasien dengan riwayat IMA.

IV.2.2. Kejadian PMI

(53)

nilai prognostik. Pada penelitian ini dari 49 pasien yang menjalani tindakan PCI, terdapat 9 orang (18,4%) dengan menggunakan petanda CK-MB > 3x ambang batas normal yang diambil dalam 18-24 jam setelah tindakan PCI.

Banyak studi yang mendapatkan angka kejadian PMI dengan hasil yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan seperti petanda yang digunakan, nilai batas petanda yang digunakan dan waktu pengambilan sampel (Prasad dkk.2011).

Konsensus yang terakhir menyebutkan biopetanda jantung yang dianjurkan adalah troponin (Thygesen dkk.2007). Namun ada penelitian pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa CK-MB lebih relevan digunakan dengan peningkatan lebih dari 3 kali nilai atas ambang batas normal dibandingkan dengan troponin (Lim dkk.2011). Dikatakan bahwa troponin terlalu sensitif dan tidak mempunyai nilai prognostik pada kejadian PMI (Cavallini dkk.2005).

Beberapa studi yang menggunakan petanda troponin mendapatkan kejadian PMI yang lebih tinggi. Garbarz dkk (1999) mendapatkan angka kejadian PMI sebanyak 27% dengan ambang batas troponin I > 0,3. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Fuchs dkk (2000) didapatkan angka PMI 30,6% dengan ambang batas troponin I > 0,15.

Studi yang lain dengan menggunakan petanda CK-MB > 3x nilai ambang batas normal menjumpai hasil yang bervariasi. Studi yang dilakukan oleh Zairis dkk (2005) mendapatkan angka kejadian PMI 11%. Roe dkk (2004) dalam penelitiannya mendapatkan 6,6% pasien dengan kejadian PMI. Feldman dkk (2011) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pasien yang menjalani tindakan PCI secara bertahap akan mengalami komplikasi yang lebih banyak dalam 3 tahun dibandingkan dengan pasien yang menjalani PCI satu kali.

IV.2.3. Faktor-faktor risiko terjadinya PMI

(54)

mendapatkan bahwa dislipidemia memiliki hubungan terhadap terjadinya PMI dengan nilai OR= 1,76 (95% i.k 1,08 – 2,86, p=0,019). Ajani dkk (2004) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa hipertensi dan merokok merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya PMI. Pada merokok didapatkan OR= 1.51 ( 95% i.k 1.05 to 2.17, p = 0.03) sedangkan pada hipertensi didapatkan nilai OR= 1.65 (95% i.k 1.05 - 2.58, p = 0.03).

Pada penelitian ini pada analisis univariat didapatkan riwayat hipertensi, dislipidemia, riwayat IMA, dan skor SYNTAX mempunyai nilai yang bermakna. Namun setelah dilakukan analisis multivariat, hanya skor SYNTAX yang secara independen berhubungan dengan terjadinya PMI (OR= 1,624, 95% i.k 1,147 – 2,298).

Skor SYNTAX dirancang untuk menentukan strategi revaskularisasi yang optimal pada pasien PJK dengan penyakit 3 pembuluh darah de novo dan pembuluh darah left main apakah dilakukan tindakan CABG atau PCI, dan dihipotesakan bahwa skor SYNTAX yang lebih tinggi akan memprediksi efek klinis jangka pendek yang lebih buruk (Ong dkk.2006). Pada perkembangannya skor SYNTAX juga digunakan untuk memprediksi terjadinya major adverse cardiac events (MACE) pada pasien yang dilakukan PCI.

Serruys dkk (2009) membagi skor SYNTAX ke dalam tiga tertil, skor rendah (mild) < 22, skor menengah (moderate) 23-32, dan skor tinggi (high) > 33 pada pasien baik yang dilakukan CABG maupun PCI. Pada penelitiannya didapatkan bahwa makin tinggi skor SYNTAX maka hasil CABG lebih baik dibandingkan dengan PCI.

(55)

IV.3. Keterbatasan penelitian

1. Penelitian ini dengan jumlah sampel yang kecil dan merupakan studi potong lintang sehingga tidak dapat melihat kejadian kardiovaskular pasca

tindakan PCI.

(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang didapatkan pada penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Kejadian PMI didapatkan pada 9 orang dari 49 subjek penelitian (18,4%). 2. Dari analisis univariat didapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan

terjadinya PMI adalah hipertensi, dislipidemia, riwayat IMA, dan skor SYNTAX namun setelah dilakukan analisis univariat hanya skor SYNTAX yang merupakan faktor independen yang mempengaruhi terjadinya PMI (OR= 1,624, 95% i.k 1,147 – 2,298 dengan nilai p = 0,006).

3. Skor SYNTAX > 22,5 dapat memprediksi terjadinya PMI dengan sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 85,0%.

V.2. SARAN

1. Perlu dilakukan pemeriksaan petanda CK-MB 18-24 jam setelah tindakan PCI sehingga dapat dilakukan evaluasi terjadinya PMI agar penatalaksanaannya lebih baik.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar agar bisa memberikan hasil yang lebih representatif.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas SA, Glazier JJ, Wu AH, Dupont C, Green SF, Pearsall LA, Waters DD, McKay RG. Factors associated with the release of cardiac troponin T following percutaneous transluminal coronary angioplasty. Clin Cardiol 1996;19:782–786.

Abdelmeguid AE, Ellis SG, Sapp SK, Whitlow PL, Topol EJ. Defining the appropriate threshold of creatine kinase elevation after percutaneous coronary interventions. Am Heart J 1996;131:1097–1105.

Ahmed JM, Mintz GS, Weissman NJ, Lansky AJ, Pichard AD, Satler LF, Kent KM. Mechanism of lumen enlargement during intracoronary stent implantation: an intravascular ultrasound study. Circulation 2000;102:7– 10.

Ajani AE, Waksman R, Sharma AK, Lew R, Pinnow E, Canos DA, Cheneau E, Castagna M, Cha DH, Leborgne L, Satler LF, Pichard AD, Kent KM, Lindsay J. Usefulness of periprocedural creatinine phosphokinase-MB release to predict adverse outcomes after intracoronary radiation therapy for instent restenosis. Am J Cardiol 2004;93:313–317.

Akkerhuis KM, Alexander JH, Tardiff BE, Boersma E, Harrington RA, Lincoff AM, Simoons ML. Minor myocardial damage and prognosis: are spontaneous and percutaneous coronary intervention-related events different? Circulation 2002;105:554–556.

Alpert JS, Thygesen K, Antman E, Bassand JP. Myocardial infarction redefined— a consensus document of the Joint European Society of Cardiology/American College of Cardiology Committee for the redefinition of myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2000;36:959–969.

(58)

Bonderman D, Teml A, Jakowitsch J, Adlbrecht C, Gyongyosi M, Sperker W, Lass H, Mosgoeller W, Glogar DH, Probst P, Maurer G, Nemerson Y, Lang IM. Coronary no-reflow is caused by shedding of active tissue factor from dissected atherosclerotic plaque. Blood 2002;99:2794–2800.

Bonz AW, Lengenfelder B, Jacobs M, Strotmann J, Held S, Ertl G, Voelker W. Cytokine response after percutaneous coronary intervention in stable angina: effect of selective glycoprotein IIb/IIIa receptor antagonism. Am Heart J 2003;145:693–699.

Brener SJ, Ellis SG, Schneider J, Topol EJ. Frequency and long-term impact of myonecrosis after coronary stenting. Eur Heart J 2002; 23:869–876.

Cavallini C, Savonitto S, Violini R, dkk. Impact of the elevation of biochemical markers on myocardial damage on longterm mortality after percutaneous coronary intervention: results of the CK-MB and PCI study. Eur Heart J 2005;26:1494-8.

Choi JW, Gibson CM, Murphy SA, Davidson CJ, Kim RJ, Ricciardi MJ. Myonecrosis following stent placement: association between impaired TIMI myocardial perfusion grade and MRI visualization of microinfarction. Catheter Cardiovasc Interv 2004;61:472–476.

Chung IM, Gold HK, Schwartz SM, Ikari Y, Reidy MA, Wight TN. Enhanced extracellular matrix accumulation in restenosis of coronary arteries after stent deployment. J Am Coll Cardiol 2002;40:2072–2081.

Dehmer GJ, Nichols TC, Bode AP, Liles D, Sigman J, Li S, Koch G, Tate DA, Griggs TR. Assessment of platelet activation by coronary sinus blood sampling during balloon angioplasty and directional coronary atherectomy. Am J Cardiol 1997;80:871–877.

Dussaillant GR, Mintz GS, Pichard AD, Kent KM, Satler LF, Popma JJ, Leon MB. Effect of rotational atherectomy in noncalcified atherosclerotic plaque: a volumetric intravascular ultrasound study. J Am Coll Cardiol 1996;28:856–860.

(59)

of revascularization, ventricular function, and probable benefit of statin therapy. Circulation 2002;106:1205-10.

Feldman T, Oldroyd KG, Preda I, Holmes DR, Colombo A, Morice MC, Leadley K, Dawkins KD, Mohr FW, Serruys PW. Staged percutaneous coronary intervention in SYNTAX study: three years outcome. J Am Coll Cardiol 2011;57:E1886.

Fuchs S, Kornowski R, Mehran R, dkk. Prognostic value of cardiac troponin-I levels following catheter-based coronary interventions. Am J Cardiol 2000;85:1077-82.

Garbarz E, Iung B, Lefevre G, Makita Y, Farah B, Michaud P, Graine H, Vahanian A. Frequency and prognostic value of cardiac troponin I elevation after coronary stenting. Am J Cardiol 1999;84:515–518.

Gibson CM, Murphy SA, Marble SJ, Cohen DJ, Cohen EA, Lui HK, Young J Jr, Kitt MM, Lorenz TJ, Tcheng JE. Relationship of creatine kinase– myocardial band release to thrombolysis in myocardial infarction perfusion grade after intracoronary stent placement: an ESPRIT substudy. Am Heart J 2002;143:106–110.

Gibson CM, Dumaine RL, Gelfand EV, Murphy SA, Morrow DA, Wiviott SD, Giugliano RP, Cannon CP, Antman EM, Braunwald E; TIMI Study Group. Association between duration of tirofiban therapy before percutaneous intervention and tissue level perfusion (a TACTICS-TIMI 18 substudy). Am J Cardiol 2004;94:492–494.

Gottsauner-Wolf M, Zasmeta G, Hornykewycz S, Nikfardjam M, Stepan E, Wexberg P, Zorn G, Glogar D, Probst P, Maurer G, Huber K. Plasma levels of C-reactive protein after coronary stent implantation. Eur Heart J 2000;21:1152–1158.

Gruberg L, Dangas G, Mehran R, Mintz GS, Kent KM, Pichard AD, Satler LF, Lansky AJ, Stone GW, Leon MB. Clinical outcome following percutaneous coronary interventions in patients with chronic renal failure. Catheter Cardiovasc Interv 2002;55:66–72.

(60)

Harrington RA, Lincoff AM, Califf RM, Holmes DR Jr, Berdan LG, O’ Hanesian

MA, Keeler GP, Garratt KN, Ohman EM, Mark DB, Jacobs AK, Topol EJ. Characteristics and consequences of myocardial infarction after percutaneous coronary intervention: insights from the Coronary Angioplasty Versus Excisional Atherectomy Trial (CAVEAT). J Am Coll Cardiol 1995;25:1693–1699.

Herrmann J. Peri-procedural myocardial injury: 2005 update. Eur Heart J 2005;26:2493-519.

Hong MK, Mehran R, Dangas G, Mintz GS, Lansky AJ, Pichard AD, Kent KM, Satler LF, Stone GW, Leon MB. Creatine kinase-MB enzyme elevation following successful saphenous vein graft intervention is associated with late mortality. Circulation 1999;100:2400–2405.

Iijima R, Tsunoda T, Yamamoto M, Shiba M, Wada M, Tsuji T, Yamamoto M, Nakajima R, Yoshitama T, Hara H, Hara H, Nakamura M. Fate of unprotected side branches as related to embolic complications during stent implantation for acute coronary syndromes using a distal protection procedure. Am J Cardiol 2005;95:636–639.

Inoue T, Sohma R, Miyazaki T, Iwasaki Y, Yaguchi I, Morooka S. Comparison of activation process of platelets and neutrophils after coronary stent implantation versus balloon angioplasty for stable angina pectoris. Am J Cardiol 2000;86:1057–1062.

Ioannidis JP, Karvouni E, Katritsis DG. Mortality risk conferred by small elevations of creatine kinase-MB isoenzyme after percutaneous coronary intervention. J Am Coll Cardiol 2003;42:1406–1411.

Kini A, Marmur JD, Kini S, Dangas G, Cocke TP, Wallenstein S, Brown E, Ambrose JA, Sharma SK. Creatine kinase-MB elevation after coronary intervention correlates with diffuse atherosclerosis, and low-tomedium level elevation has a benign clinical course: implications for early discharge after coronary intervention. J Am Coll Cardiol 1999; 34:663– 671.

(61)

Klein LW, Kern MJ, Berger P, Sanborn T, Block P, Babb J, Tommaso C, Hodgson JM, Feldman T. Society of cardiac angiography and interventions: suggested management of the no-reflow phenomenon in the cardiac catheterization laboratory. Catheter Cardiovasc Interv 2003;60:194–201.

Klein LW, Kramer BL, Howard E, Lesch M. Incidence and clinical significance of transient creatine kinase elevations and the diagnosis of non-Q wave myocardial infarction associated with coronary angioplasty. J Am Coll Cardiol 1991;17:621–626.

Koch KC, vom Dahl J, Kleinhans E, Klues HG, Radke PW, Ninnemann S, Schulz G, Buell U, Hanrath P. Influence of a platelet GPIIb/IIIa receptor antagonist on myocardial hypoperfusion during rotational atherectomy as assessed by myocardial Tc-99 m sestamibi scintigraphy. J Am Coll Cardiol 1999;33:998–1004.

Kong TQ, Davidson CJ, Meyers SN, Tauke JT, Parker MA, Bonow RO. Prognostic implication of creatine kinase elevation following elective coronary artery interventions. JAMA 1997;277:461–466.

Kugelmass AD, Cohen DJ, Moscucci M, Piana RN, Senerchia C, Kuntz RE, Baim DS. Elevation of the creatine kinase myocardial isoform following otherwise successful directional coronary atherectomy and stenting. Am J Cardiol 1994;74:748–754.

Leadley K. How to calculate the SYNTAX score. Cardiac Intervenstions Today;2009:32-35.

Levine GN, Kern MJ, Berger PB, Brown DL, Klein LW, Kereiakes DJ, Sanborn TA, Jacobs AK. Management of patients undergoing percutaneous coronary revascularization. Ann Intern Med 2003;139:123–136.

Lim CCS, van Gaal WJ, Testa L, dkk. With the ―universal definition,‖

measurement of creatinine kinase-myocardial band rather than troponin allows more accurate diagnosis of periprocedural necrosis and infarction after coronary intervention. J Am Coll Cardiol 2011;57:653-61.

(62)

following percutaneous coronary intervention. J Invasive Cardiol 2003;15:343–347.

Mandadi VR, DeVoe MC, Ambrose JA, Prakash AM, Varshneya N, Gould RB, Nguyen TH, Geagea JP, Radojevic JA, Sehhat K, Barua RS. Predictors of troponin elevation after percutaneous coronary intervention. Am J Cardiol 2004;93:747–750.

Mansour M, Carrozza JP Jr, Kuntz RE, Fishman RF, Pomerantz RM, Senerchia CC, Safian RD, Diver DJ, Baim DS. Frequency and outcome of chest pain after two new coronary interventions (atherectomy and stenting). Am J Cardiol 1992;69:1379–1382.

McKechnie RS, Smith D, Montoye C, Kline-Rogers E, O’Donnell MJ, DeFranco AC, Meengs WL, McNamara R, McGinnity JG, Patel K, Share D, Riba A, Khanal S, Moscucci M. Blue Cross Blue Shield of Michigan Cardiovascular Consortium (BMC2). Prognostic implication of anemia on in-hospital outcomes after percutaneous coronary intervention. Circulation 2004;110:271–277.

Mintz GS, Pichard AD, Kent KM, Satler LF, Popma JJ, Leon MB. Axial plaque redistribution as a mechanism of percutaneous transluminal coronary angioplasty. Am J Cardiol 1996;77:427–430.

Ong AT, Serruys PW, Mohr FW, et al. The SYNergy between percutaneous coronary intervention with TAXus and cardiac surgery (SYNTAX) study: design, rationale, and run-in phase. Am Heart J. 2006;151:1194-1204.

Oh JK, Shub C, Ilstrup DM, Reeder GS. Creatine kinase release after successful percutaneous transluminal coronary angioplasty. Am Heart J 1985;109:1225–1231.

Prasad A, Herrmann J. M. Myocardial infarction due to percutaneous coronary intervention. N Engl J Med 2011;364:453-64.

(63)

Ravkilde J, Nissen H, Mickley H, Andersen PE, Thayssen P, Horder M. Cardiac troponin T and CK-MB mass release after visually successful percutaneous transluminal coronary angioplasty in stable angina pectoris. Am Heart J 1994;127:13–20.

Ricchiuti V, Shear WS, Henry TD, Paulsen PR, Miller EA, Apple FS. Monitoring plasma cardiac troponin I for the detection of myocardial injury after percutaneous transluminal coronary angioplasty. Clin Chim Acta 2000;302:161–170.

Ricciardi MJ, Davidson CJ, Gubernikoff G, Beohar N, Eckman LJ, Parker MA, Bonow RO. Troponin I elevation and cardiac events after percutaneous coronary intervention. Am Heart J 2003;145:522–528.

Robbins MA, Marso SP, Wolski K, Peterson J, Lincoff AM, Brener S. Chest pain—a strong predictor of adverse cardiac events following precutaneous intervention (from the Evaluation of Platelet IIb/IIIa Inhibitor for Stenting Trial [EPISTENT]). Am J Cardiol 1999;84:1350–1353.

Roe MT, Mahaffey KW, Kilaru R, Alexander JH, Akkerhuis KM, Simoons ML, Harrington RA, Tardiff BE, Granger CB, Ohman EM, Moliterno DJ, Lincoff AM, Armstrong PW, Van de Werf F, Califf RM, Topol EJ. Creatine kinase-MB elevation after percutaneous coronary intervention predicts adverse outcomes in patients with acute coronary syndromes. Eur Heart J 2004;25:313–321.

Saadeddin SM, Habbab MA, Sobki SH, Ferns GA. Association of systemic inflammatory state with troponin I elevation after elective uncomplicated percutaneous coronary intervention. Am J Cardiol 2002;89:981–983.

Sanchez-Margalet V, Cubero JM, Martin-Romero C, Cubero J, Cruz-Fernandez JM, Goberna R. Inflammatory response to coronary stent implantation in patients with unstable angina. Clin Chem Lab Med 2002;40:769–774.

(64)

Serrano CV Jr, Ramires JA, Venturinelli M, Arie S, D’Amico E, Zweier JL,

Pileggi F, da Luz PL. Coronary angioplasty results in leukocyte and platelet activation with adhesion molecule expression: evidence of inflammatory responses in coronary angioplasty. J Am Coll Cardiol 1997;29:1276–1283.

Serruys PW, Garg S. Clinical implications of the SYNTAX study. 2008.Available from: Touch briefings. http://www.touchcardiology.com/articles/clinical-implications-syntax-study. Accesed 31 March 2011.

Serruys PW, Morice MC, Kappetein AP, et al. Percutaneous coronary intervention versus coronary artery bypass grafting for severe coronary artery disease. N Engl J Med. 2009;360:961-972.

Shyu KG, Kuan PL, Cheng JJ, Hung CR. Cardiac troponin T, creatine kinase, and its isoform release after successful percutaneous transluminal coronary angioplasty with or without stenting. Am Heart J 1998;135:862–867.

Sianos G, Morel MA, Kappetein AP, dkk. The SYNTAX score: an angiographic tool grading the complexity of coronary artery disease. EuroIntervention 2005;1:219-27.

Smith SC Jr, Dove JT, Jacobs AK, Kennedy JW, Kereiakes D, Kern MJ, Kuntz RE, Popma JJ, Schaff HV, Williams DO, Gibbons RJ, Alpert JP, Eagle KA, Faxon DP, Fuster V, Gardner TJ, Gregoratos G, Russell RO, Smith SC Jr. ACC/AHA guidelines of percutaneous coronary interventions (revision of the 1993 PTCA guidelines)—executive summary. A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (committee to revise the 1993 guidelines for percutaneous transluminal coronary angioplasty). J Am Coll Cardiol 2001;37:2215–2239.

Smith SC Jr, Feldman TE, Hirshfeld JW Jr, dkk. ACC/AHA/SCAI 2005 guideline update for percutaneous coronary intervention: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (ACC/AHA/SCAI Writing Committee to Update 2001 Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention). Circulation 2006;113(7):e166-e286.

Gambar

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya PMI (Prasad dkk.2011)
Gambar 2. Penjelasan segmen arteri koroner (Sianos dkk.2005)
Tabel 2. Faktor penilaian segmen arteri koroner (Sianos dkk.2005)
Tabel 5. Data karakteristik subjek penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Nakal yang di maksud penulis adalah beberapa pernyataan dari masyarakat di Kelurahan Mangasa yang menilai buruk (negatif) wanita yang bekerja di tempat karaoke

Ini dilihat dari jawaban kuesioner responden, sebanyak 16 atau 80% dari 20 responden yang diteliti menjawab jika di Desa Dolok Merawan pemerintahan desanya melakukan usaha

Untuk mengetahui distribusi frekuensi antibiotik yang sensitif pada uji sensitifitas bakteri penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip. 1.4

Berdasarkan data dari tabel di atas menunjukkan semua item pertanyaan untuk variabel Tingkat kepuasan petani mempunyai nilai signifikansi korelasi Pearson yang

Secara parsial karakteristik individu secara positif tidak berpengaruh signifikan sedangkan variabel motivasi dan beban kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja

Dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetepkan

Sebagian tugas dari distribusi adalah memilih perantara yang akan digunakan dalam saluran distribusi, serta mengembangkan sistem distribusi yang secara fisik

- Pelaksanaan Demplof Desa Gendoh Kecamatan Sempu Pengadaan sarana dan prasarana teknologi pertanian/perkebunan tepat guna P2 terlaksananya pengolahan hasil pertanian Dinas