PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI POLRES
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Oleh:
RENI APRINAWATY SIRAIT 087023011/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI POLRES
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh :
RENI APRINAWATY SIRAIT 087023011/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
Judul Tesis : PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN
DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI
POLRES KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Nama Mahasiswa : Reni Aprinawaty Sirait
Nomor Induk Mahasiswa : 087023011
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) (dr. Heldy B.Z, M.P.H Ketua Anggota
)
Dekan
Telah diuji
Pada Tanggal : 28 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Anggota : 1. dr. Heldy B.Z, M.P.H
PERNYATAAN
PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI POLRES
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2012
ABSTRAK
Partisipasi pria menjadi salah satu faktor dalam menyukseskan program Keluarga Berencana (KB). Data jumlah pasangan anggota Polres Serdang Bedagai sebanyak 453 orang di antaranya 267 orang (65%) istri menggunakan alat kontrasepsi wanita. Anggota polri menggunakan alat kontrasepsi kondom sebanyak 17 orang (4,2%) dan melaksanakan vasektomi sebanyak 2 orang (0,4%). Rendahnya partisipasi anggota Polri diduga disebabkan faktor pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat dan dukungan istri.
Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini bersifat eksplanatori (explanatory research) yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011. Populasi adalah semua anggota Polri yang telah memiliki anak minimal 2 (dua) orang sebanyak 252 orang dan jumlah sampel sebanyak 72 orang. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara berpedoman pada kuesioner. Analisis data menggunakan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian diperoleh pengetahuan, kepercayaan, dan adat istiadat, dukungan istri memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB. Dukungan istri merupakan faktor dominan memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.
Disarankan kepada pimpinan Polres Serdang Bedagai hendaknya melakukan kerjasama dengan Rumah Sakit Kepolisian (RS Bhayangkara) yang terdekat yaitu di Kota Tebing Tinggi untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan prima
khususnya dalam mendiseminasi KB pria dan perlu melibatkan ketua Bhayangkari dalam keberhasilan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi serta dukungan istri untuk meningkatkan partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.
Kata kunci : Sosial Budaya, Dukungan Istri, Partisipasi
ABSTRACT
Man participation is one of the factors in the success of Family Planning program. Of the 453 married couples among the members of Serdang Bedagai Resort Police, 267 wives (65%) use the contraceptives for women and 17 husbands (4.2%) use condom and 2 husbands (0.4%) have done a vasectomy. The factors of knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support are estimated to have caused the low participation of Police officers in Family Planning program.
The purpose of this explanatory study conducted from June to August 2011 was to analyze the influence of socio-culture (knowledge, belief, and cultural tradition) and wife’s support on the participation of Police Officers in Family Planning program in Serdang Bedagai Resort Police. The population of this study was all of the 252 Police Officers with at least 2 (two) children and 72 of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.
The result of this study showed that knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support had influence on the participation of Police Officers in Family Planning program. Wife’s support was the most dominant factor influencing the participation of Police Officers in Family Planning program.
The Commander of Serdang Bedagai Resort Police is suggested to cooperate with the nearest Police Hospital (RS Bhayangkara)in Tebing Tinggi to do primary health service activities especially in disseminating and it is necessary to involved the head of Bhayangkari is the success of health especially the reproductive health and support if wife to increase the participation of Police officer in family Planning Program.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah
memberi rahmat-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis
yang berjudul ”Pengaruh Sosial Budaya dan Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota Polri Dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi
Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara Medan.
Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M&H., M.Sc (CTM)., Sp.A, (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Drs. Surya
Utama, M.S atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
3. Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si
sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya
4. Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si.
terima kasih atas saran dan perhatian dalam penulisan tesis ini.
5. Anggota Komisi Pembimbing dr. Heldy B.Z, M.P.H atas segala ketulusannya
dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, saran dan
perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.
6. Tim Penguji Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan Anggota Tim Penguji
Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes yang telah banyak memberikan saran, bimbingan
dan perhatian selama penulisan tesis.
7. Kepala Kepolisian Resort Serdang Bedagai AKBP Drs. Arif Budiman, SIK yang
telah banyak membantu penulis dalam dalam rangka menyelesaikan penelitian.
8. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas
/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. Teristimewa ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada Ayahanda
A. Sirait dan Ibunda R. Sinaga serta keluarga besar yang telah memberikan
dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan.
10. Terima kasih buat suami tercinta Bripka T. B. Siahaan dan ananda Brilly Yobel
Siahaan berkat merekalah penulis termotivasi untuk menyelesaikan studi ini.
11. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam
Akhirnya penulis menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini,
dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, September 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Reni Aprinawaty Sirait lahir di Negeri Dolok tanggal 17 Januari 1982,
beragama Kristen Protestan, bertempat tinggal di Jl. Bunga Sakura Blok C Nomor 3
Kecamatan Medan Tuntungan Kabupaten Kota Medan, anak ke tiga belas dari tiga
belas bersaudara dari pasangan A. Sirait dan R. Sinaga, sudah menikah dengan
Bripka Tumbur Bonar Siahaan dikarunia satu orang putra.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Marihat Raja pada
tahun 1994. Menamatkan Sekolah Menengah Pertama Negeri I Dolok Panribuan pada
tahun 1997, menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Dolok Panribuan pada
tahun 2000 dan menamatkan S1 Kesehatan Masyarakat Mutiara Indonesia Medan
pada tahun 2005.
Penulis memulai karir sebagai Personalia Keperawatan Medis di Rumah Sakit
Delima Belawan pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, dan aktif sebagai
Dosen Pengajar di Akademi Kebidanan Imelda Medan pada tahun 2006 sampai
DAFTAR ISI
2.1Program Keluarga Berencana (KB) ... 10
2.1.1 Pengertian, Visi, dan Misi ... 10
2.1.2 Tujuan dan Manfaat ... 11
2.1.3 Alat Kontrasepsi KB Pria ... 11
2.1.4 Partisipasi Partisipasi Pria dalam Ber-KB... 24
2.1.5 Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Masyarakat ... 28
2.2Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB ... 29
3.6Metode Pengukuran ... 46
3.6.1 Pengukuran Variabel Independen ... 46
3.6.2 Pengukuran Variabel Dependen ... 49
3.7Metode Analisis Data ... 51
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 52
4.1Gambaran Umum Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 52
4.1.1 Geografi ... 52
4.1.2 Demografi ... 53
4.1.3 Sosial Budaya ... 54
4.1.4 Profil dan Fakta Sejarah Mapolres Serdang Bedagai ... 54
4.1.5 Visi dan Misi ... 56
4.1.6 Kedudukan Polri Tugas Pokok dan Fungsi Polres Serdang Bedagai ... 58
4.1.7 Sumber Daya Manusia di Polres Serdang Bedagai ... 60
4.1.8 Struktur Organisasi Polres Serdang Bedagai ... 62
4.2. Karakteristik Responden ... 63
4.3. Distribusi Sosial Budaya ... 65
4.4 Hubungan Pengetahuan, Kepercayaan, Adat Istiadat dan Dukungan Istri dengan Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 76
4.5 Pengaruh Pengetahuan, Kepercayaan, Adat Istiadat dan Dukungan Istri dengan Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 78
BAB 5. PEMBAHASAN ... 81
5.1 Pengaruh Pengetahuan terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 81
5.2 Pengaruh Kepercayaan terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 84
5.3 Pengaruh Adat Istiadat terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-Kb di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 86
5.4 Pengaruh Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 88
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91
6.1 Kesimpulan ... 91
6.2 Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 38
3.1. Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian Anggota Polri dan
Jajarannya di Polres Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010 ... 42
3.2. Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 50
4.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 64
4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Pengetahuan di
Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 67
4.3. Distribusi Kategori Pengetahuan... 68
4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Kepercayaan di
Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 69
4.5. Distribusi Kategori Kepercayaan ... 70
4.6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Adat Istiadat di
Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 72
4.7. Distribusi Kategori Adat Istiadat ... 73
4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Dukungan Istri
di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 74
4.9. Distribusi Kategori Dukungan Istri ... 76
4.10. Hubungan Pengetahuan dengan Partisipasi Anggota Polri dalam
Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 78
4.11. Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Pengetahuan, Kepercayaan, Adat Istiadat dan Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU... 108
2 Surat Telah Selesai Meneliti dari Polres Kabupaten Serdang Bedagai 109
4. Kuesioner Penelitian ... 110
5. Pengolahan Data ... 121
ABSTRAK
Partisipasi pria menjadi salah satu faktor dalam menyukseskan program Keluarga Berencana (KB). Data jumlah pasangan anggota Polres Serdang Bedagai sebanyak 453 orang di antaranya 267 orang (65%) istri menggunakan alat kontrasepsi wanita. Anggota polri menggunakan alat kontrasepsi kondom sebanyak 17 orang (4,2%) dan melaksanakan vasektomi sebanyak 2 orang (0,4%). Rendahnya partisipasi anggota Polri diduga disebabkan faktor pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat dan dukungan istri.
Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini bersifat eksplanatori (explanatory research) yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011. Populasi adalah semua anggota Polri yang telah memiliki anak minimal 2 (dua) orang sebanyak 252 orang dan jumlah sampel sebanyak 72 orang. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara berpedoman pada kuesioner. Analisis data menggunakan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian diperoleh pengetahuan, kepercayaan, dan adat istiadat, dukungan istri memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB. Dukungan istri merupakan faktor dominan memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.
Disarankan kepada pimpinan Polres Serdang Bedagai hendaknya melakukan kerjasama dengan Rumah Sakit Kepolisian (RS Bhayangkara) yang terdekat yaitu di Kota Tebing Tinggi untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan prima
khususnya dalam mendiseminasi KB pria dan perlu melibatkan ketua Bhayangkari dalam keberhasilan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi serta dukungan istri untuk meningkatkan partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.
Kata kunci : Sosial Budaya, Dukungan Istri, Partisipasi
ABSTRACT
Man participation is one of the factors in the success of Family Planning program. Of the 453 married couples among the members of Serdang Bedagai Resort Police, 267 wives (65%) use the contraceptives for women and 17 husbands (4.2%) use condom and 2 husbands (0.4%) have done a vasectomy. The factors of knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support are estimated to have caused the low participation of Police officers in Family Planning program.
The purpose of this explanatory study conducted from June to August 2011 was to analyze the influence of socio-culture (knowledge, belief, and cultural tradition) and wife’s support on the participation of Police Officers in Family Planning program in Serdang Bedagai Resort Police. The population of this study was all of the 252 Police Officers with at least 2 (two) children and 72 of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.
The result of this study showed that knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support had influence on the participation of Police Officers in Family Planning program. Wife’s support was the most dominant factor influencing the participation of Police Officers in Family Planning program.
The Commander of Serdang Bedagai Resort Police is suggested to cooperate with the nearest Police Hospital (RS Bhayangkara)in Tebing Tinggi to do primary health service activities especially in disseminating and it is necessary to involved the head of Bhayangkari is the success of health especially the reproductive health and support if wife to increase the participation of Police officer in family Planning Program.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Partisipasi pria menjadi salah satu faktor dalam menyukseskan program
Keluarga Berencana (KB). Sebaik apa pun program yang dilakukan pemerintah tetapi
tanpa peran aktif masyarakat, program tersebut tidak akan mencapai hasil yang
diharapkan. Peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi
merupakan salah satu isu penting dalam kesehatan reproduksi.
Perkembangan teknologi kontrasepsi begitu cepat namun tidak diimbangi
dengan peran serta pria untuk ikut berpartisipasi dalam menggunakan kontrasepsi.
Program KB jangka panjang untuk mencapai Keluarga Berkualitas 2015 berupaya
mencapai peningkatan kesetaraan pria dalam ber-KB sehingga terwujudnya peran
serta pria dalam ber-KB.
Berdasarkan data SDKI (Survey Demografi Kesehatan Indonesia) tahun 2007,
partisipasi pria dalam ber-KB secara nasional hanya mencapai 1,5% di antaranya
1,3% akseptor kondom dan 0,2% akseptor vasektomi. Berdasarkan data tersebut
dapat dilihat bahwa partisipasi pria dalam ber-KB masih rendah jika dibandingkan
dengan sasaran nasional pada tahun 2009 yaitu 4,5%. Jika dibandingkan dengan
pencapaian angka partisipasi pria dalam ber-KB pada tahun 2006 di negara-negara
berkembang seperti Pakistan sebanyak 5,2%, Bangladesh sebanyak 13,9%, Nepal
dapat dilihat bahwa Indonesia menempati angka partisipasi pria dalam ber-KB yang
paling rendah (BKKBN, 2006).
Menurut Soemarjati (2008), penyebab rendahnya partisipasi pria dalam
ber-KB adalah keterbatasan pengetahuan suami tentang kesehatan reproduksi dan
paradigma yang berkaitan dengan budaya patriarki dimana peran pria lebih besar
daripada wanita. Ketidaksetaraan gender dan kesehatan reproduksi sangat
berpengaruh pada keberhasilan program KB. Sebagian besar masyarakat masih
mengganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah urusan wanita saja.
Mengacu pada pelaksanaan International Conference on Population and Development (ICPD) atau Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo dan Millenium Development Goals (MDGs) disebutkan adanya akses yang sama antara pria dan wanita terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan dan
kesehatan. Namun faktanya untuk meningkatkan kesetaraan pria dalam ber-KB masih
belum sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) tahun 2004-2009,
salah satu indikator keberhasilan BKKBN adalah tercapainya kesetaraan KB pria
sebesar 4,5% pada tahun 2009 (BKKBN, 2006). Menurut BKKBN tahun 2008, ada
beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB dan
kesehatan reproduksi di antaranya adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman
tentang kesehatan reproduksi, sikap dan perilaku suami, keterbatasan alat kontrasepsi
pria, faktor sosial budaya masyarakat, dan adanya rumor tentang vasektomi serta
Menurut Hartanto dalam Mukhadiono (2009), faktor-faktor yang
menyebabkan rendahnya minat akseptor KB pria menggunakan kontrasepsi Medis
Operasi Pria (MOP) di Puskesmas Sokaraja Kabupaten Kulonprogo Provinsi
Yogyakarta antara lain meliputi budaya, minimnya pengetahuan tentang MOP, takut
tidak punya anak lagi, frekuensi senggama, jumlah keluarga yang diinginkan, faktor
metode kontrasepsi yang berhubungan dengan efek samping minor, kerugian,
komplikasi-komplikasi yang potensial, dan faktor biaya.
Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama antara pria dan
wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang dipilih mencerminkan
kebutuhan serta keinginan suami dan istri. Dalam penggunaan kontrasepsi pria seperti
kondom, pantang berkala, senggama terputus dan vasektomi, suami mempunyai
tanggung jawab utama, sementara bila istri sebagai pengguna kontrasepsi, suami
mempunyai peranan penting dalam mendukung istri dan menjamin efektivitas
pemakaian kontrasepsi. Suami dan istri harus saling mendukung dalam penggunaan
metode kontrasepsi karena KB dan kesehatan reproduksi bukan hanya urusan pria
atau wanita saja (Depkes, 2002).
Sebuah studi yang dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun
2001 menunjukkan masih rendahnya tingkat keikutsertaan pria dalam ber-KB. Hal ini
disebabkan karena terbatasnya pilihan KB. Dari studi tersebut diketahui hanya satu
dari tiga pria yang setuju dengan metode MOP dan sebanyak 41% pria mengatakan
Simanjuntak (2007) menyatakan bahwa tingkat adopsi inovasi KB pria di
kalangan prajurit di Kota Medan dipengaruhi oleh pengetahuan, kondisi kesehatan
fisik dan pengaruh istri. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
Lubis (2009), di mana pengaruh istri dan kompensasi memiliki pengaruh terhadap
keputusan untuk menjadi akseptor vasektomi di Kota Tebing Tinggi. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Rustam pada tahun 2006, partisipasi pria dalam
praktik metode KB modern di Indonesia dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi yang
meliputi pengetahuan, umur istri, pendidikan suami, jumlah anak masih hidup, dan
sikap terhadap program KB.
Partisipasi merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses
pembangunan. Namun demikian dalam praktiknya, upaya meningkatkan partisipasi
tersebut tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hal ini disebabkan faktor sosial
budaya yaitu: pengetahuan, adat-istiadat masyarakat yang bersifat tradisional
sehingga memengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi (Mikkelsen, 2003).
Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang
atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya
untuk melakukan sesuatu kegiatan yang merupakan keterlibatan sukarela dan ikut
serta dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan (Mikkelsen (2003). Club
du Sahel dalam Mikkelsen (2003) menerangkan beberapa pendekatan untuk
memajukan partisipasi, yaitu: (1) Partisipasi pasif, pelatihan dan informasi;
(2) Partisipasi aktif; (3) Partisipasi dengan keterikatan; dan (4) Partisipasi atas
Keberhasilan KB bukan semata-mata karena partisipasi perempuan yang aktif
tetapi juga partisipasi pria dan dukungan keluarga. Menurut Sarwono (2003),
dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun
materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melakukan kegiatan. Caplan dalam
Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan,
yaitu: (1) Dukungan instrumental; (2) Dukungan informatif; (3) Dukungan
emosional; dan (4) Dukungan penghargaan.
Berdasarkan data BKKBN Sumatera Utara (2009), jumlah akseptor KB tahun
pada tahun 2009 mencapai 1.311.625 orang dengan total Pasangan Usia Subur (PUS)
sebesar 2.075.120. Dari keseluruhan peserta aktif tersebut, akseptor KB pria
mencapai 69.650 orang (3,3%) yang terdiri dari MOP 4.288 orang (6%) dan
pengguna kondom 65.362 (94%). Hal ini berarti partisipasi KB pria di Provinsi
Sumatera Utara masih rendah.
Serdang Bedagai yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera
Utara yang memiliki jumlah penduduk 588.263 jiwa dengan jumlah PUS sebesar
111.271 orang. Peserta KB aktif dari Januari – Juli 2010 berjumlah 82.944 dengan
jumlah akseptor KB pria 2900 orang (3,4%) yang terdiri dari 38 akseptor MOP
(1,3%) dan 2.862 akseptor kondom (98,7%). Cakupan PUS terbesar di Kecamatan
Perbaungan yaitu 18.291 dengan jumlah peserta non-KB sebesar 4.57 dan peserta KB
aktif sebesar 13.694. Di antara jumlah tersebut terdapat 6 peserta MOP (0,04%); 353
dan 6.152 peserta pil (44%). Berdasarkan data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
penggunaan alat kontrasepsi wanita lebih besar daripada pria.
Polisi merupakan salah satu alat Pemerintah dalam melaksanakan
pembangunan nasional. Kepolisian yang angggotanya mayoritas adalah laki-laki,
juga turut berperan aktif dalam menyukseskan program KB pria. Oleh karena itu,
pemerintah perlu meningkatkan kesadaran dan partisipasi jajaran Polri. Hal ini
dimulai sejak operasi Bhakti KB-Kesehatan Polri, TNI, dan Brimob. Program ini juga
telah mendapat perhatian besar jajaran Polri tanpa mengabaikan kuantitas dengan
sasaran pencapaian target partisipasi Polri dalam ber-KB pria secara nasional
sebanyak 3% (BKKBN, 2009).
Kepolisian Resor (Polres) Serdang Bedagai mempunyai personil sebanyak
490 orang dan membawahi 7 (tujuh) Kepolisian Sektor (Polsek) yaitu: (1) Polsek
Firdaus, mempunyai personil sebanyak 33 orang; (2) Polsek Dolok Masihul,
mempunyai personil sebanyak 26 orang; (3) Polsek Tanjung Beringin, mempunyai
personil sebanyak 21 orang; (4) Polsek Teluk Mengkudu mempunyai personil
sebanyak 20 orang; (5) Polsek Pantai Cermin mempunyai personil sebanyak 26
orang; (6) Polsek Kotarih, mempunyai personil sebanyak 27 orang; dan (7) Polsek
Perbaungan, mempunyai personil sebanyak 33 orang dan selebihnya bertugas di
Polres Serdang Bedagai yaitu sebanyak 304 orang dan 3 orang di antaranya adalah
anggota Polisi Wanita (Polwan). Dari keseluruhan personil anggota Polres Serdang
Bedagai yang berjumlah 490 orang tersebut, diketahui terdapat 35 orang yang belum
Dari arsip Klinik Polres Serdang Bedagai, diketahui bahwa Polres Serdang
Bedagai juga turut serta memasyarakatkan KB dengan terbentuknya suatu klinik
lingkaran biru atau klinik KB mandiri yang salah satu kegiatannya adalah melakukan
penyuluhan dan bimbingan mengenai pelayanan semua jenis alat kontrasepsi KB.
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak Polres Serdang Bedagai untuk
memasyarakatkan KB pria pada jajaran kepolisian setempat, namun dari hasil survei
pendahuluan yang dilakukan Penulis diketahui bahwa keikutsertaan anggota Polres
Serdang Bedagai pria dalam ber-KB masih rendah.
Dari survei pendahuluan tersebut diketahui hanya 19 orang (4,19%) anggota
Polres Serdang Bedagai pria yang menggunakan KB pria dari 453 orang anggota
Polres Serdang Bedagai yang sudah menikah. Dari jumlah akseptor KB pria tersebut,
2 orang vasektomi (0,4%) dan 17 orang menggunakan kondom (4,2%). Dari survei
tersebut diketahui sebayak 267 orang (65%) istri anggota Polres Serdang Bedagai
menggunakan alat kontrasepsi wanita dengan perincian 27 peserta IUD (10%); 21
peserta Implant (7,8%); 7 peserta MOW (2,6); 117 peserta Suntik (43,8%); 95 peserta
Pil (35%); dan selebihnya tidak mengunakan alat kontrasepsi wanita. Berdasarkan
data tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi wanita lebih
besar daripada pria.
Dari hasil survei pendahuluan tersebut juga diketahui bahwa 40% responden
adalah Suku Batak; responden yang berasal dari Suku Jawa sebesar 20%; responden
lainnya. Dari survei tersebut juga diperoleh informasi bahwa 70% responden
menyadari peran responden sebagai suami berperan dalam keikutsertaan keluarga
dalam ber-KB. Beberapa responden yang berasal dari Suku Batak juga mengatakan
bahwa walaupun jumlah anak sudah lebih dari dua namun bila belum mempunyai
anak laki-laki, maka beberapa responden tersebut akan terus berusaha untuk
memperoleh anak laki-laki sebagai penerus keturunan (marga) serta yang paling
berperan dalam upacara adat. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patrilineal masih
sangat berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam ber-KB. Selain itu, Penulis juga
menduga alasan rendahnya anggota Polres Serdang Bedagai pria dalam ber-KB
adalah rendahnya pengetahuan tentang KB pria.
Berdasarkan fenomena di atas, perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh
sosial budaya yang meliputi: pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat, serta
dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten
Serdang Bedagai tahun 2011.
1.2. Permasalahan
Bagaimana pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan
adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres
1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan
adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres
Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat)
dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres
Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Kepolisian Republik Indonesia Resor Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan
dalam upaya meningkatkan kesadaran anggota Polri dalam menyukseskan
Program KB Nasional.
2. Anggota Polri Resor Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan untuk
menambah wawasan tentang KB pria dan diharapkan berpartisipasi dalam
pemakaian alat kontrasepsi KB pria.
3. Pengembangan ilmu adminitrasi dan kebijakan kesehatan serta dapat
dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu khususnya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Program Keluarga Berencana (KB) 2.1.1 Pengertian, Visi, dan Misi
Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para
pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi, mencegah kehamilan
yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan berisiko tinggi, kesakitan
dan kematian (BKKBN, 2006).
Paradigma baru KB Nasional (KBN) telah diubah visinya dari mewujudkan
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk
mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”. Menurut Saifuddin (2006),
keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri,
memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Paradigma baru program KB ini
menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi sebagai upaya
integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Visi tersebut dijabarkan ke dalam 6
(enam) misi, yaitu:
1. Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas;
2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan
ketahanan keluarga;
4. Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak
reproduksi;
5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan
dan keadilan jender melalui program KB; dan
6. Mempersiapkan SDM berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai
dengan usia lanjut.
2.1.2 Tujuan dan Manfaat
Menurut Mochtar (2000), keluarga berencana bertujuan untuk membentuk
keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara
mengatur kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun manfaat KB menurut Mochtar (2000)
adalah: (1)
2.1.3 Alat Kontrasepsi KB Pria
Menurunkan angka kematian; (2)Mencegah kehamilan terlalu dini;
(3)Mencegah kehamilan terjadi di usia tua; (4)Menjarangkan kehamilan dan
persalinan; dan (5) Mencegah terlalu sering hamil dan melahirkan.
Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti ”melawan”
atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan sel telur yang matang
dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi menghindari/mencegah
terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dan sel sperma
(Suratun, dkk 2008). Sedangkan menurut Siswosudarmo (2001), pada dasarnya
bersifat tidak permanen dan memungkinkan pasangan untuk mendapatkan anak
apabila diinginkan (Aidillah, 2006). Jadi penggunaan kontrasepsi merupakan salah
satu variabel yang memengaruhi fertilitas (Sarwono, 2002).
Menurut Hartanto (2004), ada dua pembagian cara kontrasepsi yaitu :
1. Kontrasepsi Sederhana. Kontrasepsi sederhana terbagi atas kontrasepsi tanpa alat
dan kontrasepsi dengan alat/obat. Kontrasepsi sederhana tanpa alat dapat
dilakukan dengan senggama terputus dan pantang berkala. Kontrasepsi dengan
alat/obat dapat dilakukan dengan menggunakan kondom, diafragma atau cup,
cream, jelly atau tablet berbusa (vaginal tablet).
2. Kontrasepsi Modern/Metode Efektif. Menurut Hartanto (2004), cara kontrasepsi
modern antara lain : pil, AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), suntikan,
implant, serta metode mantap, yaitu dengan operasi tubektomi (sterilisasi pada
wanita) dan vasektomi (sterilisasi pada pria).
Menurut Siswosudarmo (2001), ada beberapa komponen keefektifan alat
kontrasepsi, antara lain :
1. Keefektifan teoritis, adalah kemampuan sebuah cara kontrasepsi untuk mencegah
kehamilan apabila cara tersebut digunakan sebagaimana mestinya.
2. Keefektifan praktis (pemakaian), adalah keefektifan yang terlihat dalam
kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu
yang mempengaruhi pemakaian, seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan
3. Keefektifan program, adalah keefektifan sebuah cara dalam sebuah program baik
di tingkat lokal, propinsi, maupun nasional.
4. Keefektifan biaya (cost effectiveness), adalah perbandingan antara sebuah cara atau program dengan hasil yang diharapkan, baik berupa jumlah akseptor, jumlah
yang terus memakai, efek samping, penurunan angka kesuburan, dan lain-lain.
Menurut Saifuddin (2003), tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang aman
dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan
kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode
kontrasepsi ideal adalah sebagai berikut:
1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan.
2. Berdaya guna, artinya bila digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah
terjadinya kehamilan.
3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya
di masyarakat.
4. Terjangkau harganya oleh masyarakat.
5. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali
kesuburannya.
Kontrasepsi pada pria menurut BKKBN (2006) adalah vasektomi (Medis
Operasi Pria) dan kondom.
a. Vasektomi
transpor sel mani, (b) ektomi = memotong dan mengangkat. Jadi vasektomi dalam
arti yang murni berarti memotong dan mengangkat saluran vas deferens kanan dan
kiri. Akan tetapi, yang dimaksud dengan vasektomi untuk KB menurut BKKBN
(2008) adalah bilateral partial vasektomi, yaitu memotong sebagian kecil vas deferen
kanan dan kiri masing-masing kurang daripada 1 cm. Dengan demikian vasektomi
hanya menghalang-halangi transpor bibit laki-laki (spermatozoa). Vasektomi
merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas di mana fungsi reproduksi
merupakan ancaman atau gangguan terhadap kesehatan pria dan pasangannya serta
melemahkan ketahanan dan kualitas keluarga (Saifuddin, 2003).
Kontrasepsi jenis vasektomi dalam sehari-harinya biasa disebut dengan
kontrasepsi mantap (kontap) karena merupakan suatu metode operatif minor pada
pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif, memerlukan waktu yang sangat
singkat dan tidak memerlukan anastesi umum (Anna, 2006). Senada dengan pendapat
tersebut, Tjokronegoro (2003) mengatakan vasektomi adalah cara KB yang mantap di
mana saluran air mani (vas deferens) diputuskan sehingga sperma dari dalam testis tidak akan keluar bersama cairan mani lain pada saat bersetubuh.
Vasektomi adalah satu-satunya cara sterilisasi pria yang diterima sampai saat
ini. Vasektomi harus dibedakan dengan kebiri (pengambilan kedua testis) karena
dengan vasektomi hanya perjalanan sperma dari testis ke dunia luar yang diputus,
tepatnya dengan memotong dan mengambil sebagian dari vas deferens. Seseorang yang telah menjalani vasektomi masih mengeluarkan semen tetapi bebas sel sperma
normal, bahkan potensi dan kepuasannya pun tidak berubah. Vasektomi merupakan
operasi kecil yang cukup dilakukan dengan anestesi lokal (Hartanto (2004).
Menurut BKKBN (2007), kelebihan metode kontrasepsi vasektomi adalah:
1. Mudah pelaksanaannya dengan pembiusan setempat kurang lebih 15 menit;
2. Bekas operasi hanya merupakan luka yang cepat sembuh;
3. Tidak mengganggu hubungan seksual;
4. Tingkat kegagalan rendah hanya ± 0,3 dari 100 tindakan vasektomi; dan
5. Merupakan metode mantap.
Sedangkan menurut Hartanto (2004), keuntungan vasektomi antara lain:
(1)Tidak ada mortalitas (kematian); (2)Morbiditas (akibat sakit) kecil sekali; (3)Tidak
perlu mondok di rumah sakit; (4)Waktu operasi hanya 15 menit dan dilakukan
dengan pembiusan setempat; (5)Sangat efektif (kemungkinan gagal tidak ada) karena
dapat diperiksa kepastiannya di laboratorium; dan (6)Tidak membutuhkan biaya yang
besar.
Pelayanan vasektomi ini hanya diberikan kepada akseptor yang memenuhi
syarat sebagai berikut, yaitu: (1)Tidak ingin memiliki anak lagi di kemudian hari;
(2)Telah memiliki jumlah anak yang ideal, sehat jasmani dan rohani; (3)Rumah
tangga bahagia dan harmonis; (4)Telah persetujuan dari istri; dan (5)Sukarela tanpa
paksaan.
Menurut Siswosudarmo (2001), syarat seseorang yang menginginkan kontap
memiliki sekurang-kurangnya dua anak, (2) Faktor sosial ekonomi memengaruhi
pertimbangan untuk memilih cara ini, (3) Adanya perkawinan (keluarga) yang stabil,
sebab perceraian setelah kontap menimbulkan penyesalan yang sangat sulit diatasi.
Tidak mudah menilai kestabilan dalam rumah tangga, tetapi lamanya perkawinan dan
jumlah anak, umur suami dan istri setidaknya dapat mencerminkannya.
Menurut BKKBN (2007), vasektomi tidak disarankan untuk:
1. Pasangan muda yang masih ingin mempunyai anak;
2. Pasangan yang kehidupan perkawinannya bermasalah;
3. Pasangan yang mengalami gangguan jiwa;
4. Pasangan yang belum yakin terhadap keinginan pasangannya; dan
5. Pria/suami yang menderita diabetes, kelainan jantung dan pembekuan darah,
hernia dan testisnya membesar dan nyeri.
b. Kondom
Kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi pria yang paling mudah
dipakai dan diperoleh, baik melalui apotek maupun toko obat dengan berbagai merek
dagang. Kondom terbuat dari karet/lateks, berbentuk tabung tidak tembus cairan,
dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan dilengkapi kantung untuk menampung
sperma (BKKBN, 2007).
Menurut Hartanto (2004), manfaat kondom untuk pasangan suami istri adalah:
(1)Efektif untuk mencegah kehamilan, (2)Tidak ada efek samping, (3)Dapat dibeli
dengan mudah dan murah, dan (4)Ideal untuk seks yang tidak direncanakan. Kondom
(IMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS).
Menurut Hartanto (2004) kelebihan kondom adalah sebagai berikut: (1)Bila
digunakan secara tepat dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit menular
seksual; (2)Kondom tidak memengaruhi kesuburan jika digunakan dalam jangka
panjang; dan (3)Kondom mudah didapat dan tersedia dengan harga yang terjangkau.
Sedangkan keterbatasan kondom adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan penggunaan kondom memerlukan latihan dan tidak efisien;
2. Karena sangat tipis maka kondom mudah robek bila tidak digunakan atau
disimpan sesuai aturan;
3. Beberapa pria tidak dapat mempertahankan ereksinya saat menggunakan
kondom;
4. Setelah terjadi ejakulasi, pria harus menarik penisnya dari vagina bila tidak,
dapat terjadi kehamilan atau penularan penyakit menular seksual; dan
5. Kondom yang terbuat dari latex dapat menimbulkan alergi bagi beberapa orang.
2.2. Partisipasi
Menurut Theodorson dalam Mikkelsen (2003), partisipasi merupakan
keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam
suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud bukan bersifat
pasif, tetapi secara aktif ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu,
untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakat di luar pekerjaan atau profesinya
sendiri. Sedangkan Mikkelsen (2003) memberikan tafsiran yang berbeda tentang
partisipasi, yaitu:
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek
pembangunan, tetapi mereka tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan;
2. Partisipasi adalah proses untuk membuat masyarakat menjadi lebih peka untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek
pembangunan;
3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun
kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk
melakukan sesuatu hal;
4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara komunitas lokal dan pihak
penyelenggara, pengimplementasian, pemantauan, dan pengevaluasian staf agar
dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial ataupun dampak sosial;
5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukan oleh dirinya sendiri; dan
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan diri,
kehidupan, dan lingkungan mereka.
Partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan
dalam proses pembangunan, tetapi di dalam praktiknya tidak selalu diupayakan
sunguh-sungguh (Slamet, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan, kemauan
Conyer dalam Soetomo (2006), mengemukakan partisipasi masyarakat adalah
keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan
kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Conyers dalam
Soetomo (2006), menyatakan ada 5 (lima) cara untuk melibatkan keikutsertaan
masyarakat yaitu:
1. Survai dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang
diperlukan;
2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen
pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
perencanaan;
3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang
semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi;
4. Perencanaan melalui pemerintah lokal; dan
5. Menggunakan strategi pembangunan komunitas (community development). Mikkelsen dalam Soetomo (2006) mengembangkan asumsi teoritik bahwa
pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat dan sebaliknya
kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti adanya
penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara
eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program.
Club du Sahel dalam Mikkelsen (2003) mengemukakan beberapa pendekatan
1. Pendekatan pasif, pelatihan dan informasi; yakni pendekatan yang beranggapan
bahwa pihak eksternal lebih menguasai pengetahuan, teknologi, keterampilan,
dan sumber daya. Dengan demikian partisipasi tersebut memberikan
komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan
masyarkat bersifat vertikal.
2. Pendekatan partisipasi aktif; yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal.
Contohnya pendekatan partisipasi ini adalah pelatihan dan kunjungan.
3. Pendekatan partisipasi dengan keterikatan; masyarakat atau individu diberikan
kesempatan untuk untuk melakukan pembangunan, dan diberikan pilihan untuk
terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut.
4. Pendekatan dengan partisipasi setempat; yaitu pendekatan dengan
mencerminkan kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh
masyarakat setempat.
Menurut Adi (2008) yang mengutip pendapat Mikkelsen (2003), partisipasi
yang sesungguhnya berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan tujuan dalam
suatu proses demokrasi. Menurut Chambers (1996), istilah partisipasi digunakan
untuk mengggambarkan proses permberdayaan (empowering process). Dalam hal ini, partisipasi dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan (enable) masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana
cara untuk mengatasinya, mendapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah,
mereka pilih. Chambers (1996) menggambarkan bahwa “kita” (pelaku perubahan)
berpartisipasi dalam program “mereka” (masyarakat lokal) sehingga terjadi apa yang
disebut proses pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan pendapat Chambers dan Mikkelsen (2003) di atas, maka Adi
(2008) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat
dalam proses pengidentifikasian masalah, dan potensi yang ada dalam masyarakat,
pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi untuk menangani masalah,
pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses
pengevaluasi perubahan yang terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap
perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin
memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya, bila masyarakat tidak
banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersifat pasif dalam
setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan. Masyarakat cenderung
akan menjadi lebih tergantung pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi
terus-menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan meningkat.
Menurut Craig dan Mayo dalam Yustina (2003), “empowerment is road to participation”. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk
menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum
berdayanya sebagian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk
dikehendaki untuk berpartisipasi namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang segala aktivitas yang mendukung proses pembangunan.
Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari keikutsertaan
langsung masyarakat dalam program Pemerintah maupun yang sifatnya tidak
langsung, seperti: sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam
kebijakan Pemerintah. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan
dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi
masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam
pengambilan keputusan (Kusdamayanti, 2007).
Menurut Mikkelsen (2003), salah satu faktor yang menjadi perhatian untuk
menelaah tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor sosial budaya. Faktor sosial
budaya memengaruhi keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proses
pembangunan. Hadi dalam Dwiyanti (2005) mengemukakan bahwa faktor
penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik di Indonesia adalah:
1. Faktor sosial, seperti: tingkat pendidikan, pendapatan dan komunikasi;
2. Faktor budaya, meliputi: sikap dan perilaku, pengetahuan dan adat istiadat; dan
3. Faktor politik; dan
4. Faktor birokrasi para pengambil keputusan.
Menurut Mikkelsen (2003), rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan oleh
1. Adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat dan
penolakan eksternal terhadap Pemerintah;
2. Kurangnya dana;
3. Terbatasnya informasi, pengetahuan atau pendidikan masyarakat; dan
4. Kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurut Depkes RI (2006), partisipasi adalah keadaan dimana individu,
keluarga, maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap
kesehatan diri, keluarga, ataupun kesehatan masyarakat lingkungannya. Dalam suatu
masyarakat bagaimanapun sederhananya, selalu ada suatu stimulus. Mekanisme ini
disebut pemecahan masalah atau proses pemecahan masalah.
Dalam hal keikusertaan ber-KB, partisipasi pria adalah suatu proses dimana
individu, keluarga dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program KB.
Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang
menungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk secara aktif berkontribusi dalam
pembangunan sehingga dapat menghasilkan manfaat yang merata bagi seluruh
warganya (Depkes RI, 2003).
2.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB
Mikkelsen (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
partisipasi masyarakat yaitu:
1. Faktor sosial yaitu dilihat dari adanya ketimpangan sosial masyarakat untuk
2. Faktor budaya yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional
statis dan tertutup terhadap perubahan;
3. Faktor politik, yaitu apabila proses pembangunan yang dilaksanakan kurang
melibatkan masyarakat pada awal dan akhir proses pembangunan sehingga
terkendala untuk berpartisipasi dan pengambilan keputusan.
Hikmat (2001) mengatakan bahwa perbedaan latar belakang kultur (budaya)
dapat menimbulkan perbedaan terhadap suatu objek. Partisipasi masyarakat tidak
hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tapi juga harkat dan martabat, rasa
percaya diri dan terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sosial
budaya yang implementatif dalam pembangunan berpusat pada rakyat setempat
dengan menumbuhkan dan mengembangkan nilai sosial budaya.
Menurut Suparlan dalam Budimanta (2003), kebudayaan adalah seperangkat
ide-ide, norma, nilai dan pengetahuan yang dipakai oleh manusia untuk memahami
lingkungan dan dipakai untuk mendorong terwujudnya perilaku. Taylor dalam
Poerwanto (2000) mengatakan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum dan adat, dan berbagai
kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Soekanto dalam Purwatiningsih, dkk (2005) mengatakan bahwa pengetahuan,
adat-istiadat erat hubungannya dalam peningkatan partisipasi masyarakat, dan
anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menerima sanksi yang berlaku
dalam masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan
dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam program
pemerintah.
Menurut Margono dalam Mardikanto (2003), tumbuh kembangnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu:
a. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
Adanya kesempatan yang diberikan, merupakan faktor pendorong tumbuhnya
kemauan, dan kemauan akan menentukan kemampuannya. Sebaliknya, adanya
kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuan serta
memanfaatkan setiap kesempatan.
Mardikanto (2003), menyatakan banyak program pembangunan yang kurang
memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan kurangnya informasi yang disampaikan
kepada masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa mereka dapat atau dituntut
untuk berpartisipasi. Pemberian kesempatan berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah
sekedar pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar
mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau menggangu
tercapainya tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus
dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat setempat layak diberi kesempatan
karena memiliki kemampuan yang diperlukan dan memiliki suatu hal untuk
berpartisipasi dan memanfaatkan setiap kesempatan membangun bagi perbaikan mutu
b. Adanya kemauan untuk berpartisipasi
Mardikanto (2003) menyatakan kemauan untuk berpartisipasi merupakan
kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Kesempatan
dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan
untuk membangun.
Kemauan untuk membangun ditentukan oleh sikap dan mental yang dimiliki
masyarakat yang menyangkut: (1) Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai penghambat
pembangunan; (2) Sikap terhadap penguasa atau pelaksanan pembangunan pada
umumnya; (3) Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas
diri; (4) Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya
tujuan pembangunan; dan (5) Sikap kemandirian atau percaya diri atas
kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya.
c. Adanya kemampuan untuk berpartisipasi
Menurut Mardikanto (2003), kemampuan untuk berpartisipasi adalah:
1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk
membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun
(memperbaiki mutu hidupnya);
2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat
3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan
sumber daya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.
Berdasarkan konsep di atas, maka tumbuh dan berkembanya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan akan dapat diupayakan melalui:
1. Penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan, yang tidak saja berupa
penyampaian informasi tentang adanya kesempatan yang diberikan kepada
masyarakat, melainkan juga dibarengi dengan dorongan dan harapan-harapan
agar masyarakat mau berpartisipasi, serta upaya yang terus menerus untuk
meningkatkan kemampuannya untuk berpartisipasi, dan
2. Berkaitan dengan dorongan dan harapan yang disampaikan, perlu adanya
penjelasan kepada pria tentang besarnya manfaat ekonomi maupun non ekonomi
yang dapat secara langsung atau tidak langsung dinikmati sendiri maupun yang
dinikmati oleh generasi mendatang.
2.2.2 Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Masyarakat
Menurut Notoatmodjo (2007), elemen-elemen pembentuk partisipasi adalah:
1. Motivasi. Persyaratan utama masyarakat untuk berpartisipasi adalah motivasi.
Tanpa motivasi masyarakat sulit untuk berpartispasi di segala program.
Timbulnya motivasi harus dari masyarakat itu sendiri, dan pihak luar hanya
merangsangnya saja.
2. Komunikasi. Suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan
yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang akhirnya dapat
menimbulkan partisipasi.
3. Kooperasi. Kerjasama dengan instansi-instansi di luar kesehatan masyarakat dan
instansi kesehatan sendiri adalah mutlak diperlukan. Terjelmanya team work
antara mereka akan membantu menumbuhkan partisipasi.
4. Mobilisasi. Partisipasi bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program
saja, tetapi partisipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir
mungkin, dari identifikasi masalah, menentukan prioritas, perencanaan program,
pelaksanaan sampai dengan monitoring program.
Ross dalam Notoatmodjo (2005) berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhya
partisipasi, yaitu:
1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga
dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara
konfrehensif;
2. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar
untuk mengambil keputusan; dan
3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.
Dalam bidang kesehatan, partisipasi ini dikenal dengan partisipasi dalam
pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan kesehatan mengintegrasikan
komponen-komponen yang berhubungan dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan
kepercayaan, aturan dan pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta praktisi
2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB 2.3.1 Sosial Budaya
Kebudayaan sebagai konsep dasar dapat menjelaskan kaitannya dengan
gejala-gejala sosial dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam berbagai pranata
kesehatan maupun non kesehatan tetapi terkait seperti pelayanan kontrasepsi dan
keluarga berencana. Kaitan-kaitan tersebut dinyatakan sebagai gejala sosial budaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan
hubungan timbal balik antara gejala sosial dan pelayanan kesehatan (Kalangie, 1994).
Penggunaan konsep budaya dalam perilaku masyarakat terkait dengan pengetahuan,
kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya. Seseorang dapat saja
memperlihatkan perilaku psikologis di samping perilaku budaya.
Menurut Taylor dalam Soekanto (1982), kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat-istiadat dan kebiasaan
dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapat manusia
sebagai angggota masyarakat. Menurut Taylor dalam Wiranata (2002), kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalam terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, adat-istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di peroleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Koentjaranigrat (1997), kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
Menurut Koentjaranigrat (1997), wujud dari suatu budaya dapat
dikelompokan dalam 3 (tiga) hal yaitu: (1)Wujud sebagai suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan, (2)Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan
(3)Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak
yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan. Dengan demikian
sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam Bahasa Indonesia
disebut adat-istiadat. Dalam adat-istiadat terdapat juga sistem norma dan di situlah
salah satu fungsi sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan dan tingkah
laku manusia. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur yang saling berkaitan
satu dengan lainnya. Sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud dalam
unsur kebudayaan sebagai suatu kesatuan (Koentjaranigrat, 1997).
Keterkaitan sosial budaya dengan manusia dapat diamati dari sifat-sifat
kebudayaan antara lain: (1)Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia,
(2)Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu organisasi tertentu dan
tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan, (3)Budaya
diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya, dan (4)Budaya
mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan
yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang, dan tindakan yang diizinkan
Menurut Setiadi, dkk (2002), substansi/isi utama kebudayaan merupakan
wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang muncul di
masyarakat dalam bentuk pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan,
persepsi, dan etos kebudayaan.
1. Pengetahuan (Knowledge)
Purwodarminto dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal objek. Pengetahuan merupakan
hasil “tahu” dan hal ini terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitip merupakan domain
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).
Bloom dalam Notoatmodjo (2005), menyebutkan pengetahuan atau
knowledge adalah individu hasil tahu apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui
indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek.
Roger dalam Notoatmodjo (2003), proses perubahan perilaku atau
penerimaan ide baru adalah suatu proses kejiwaan yang dialami individu sejak
pertama kali menerima informasi atau memperoleh pengetahuan mengenai suatu hal
yang baru sampai saat ini memutuskan untuk menerima atau menolak ide baru
(2) Persuasi (Persuation), dalam hal ini individu membentuk sikap positip atau negatip terhadap ide atau objek baru tersebut, (3) Decision, masyarakat telah memutuskan untuk mencoba tingkah laku baru, untuk itu perlu adanya motivasi yang
kuat dari petugas kesehatan dan juga penerangan yang jelas agar putusan mereka
tidak merupakan paksaan, dan (4) Confirmation, apabila masyarakat atau individu telah mau melaksanakan tingkah laku yang baru sesuai dengan norma-norma
kesehatan, kita tinggal menguatkan tingkah laku yang baru.
Margono dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
kemampuan untuk mengerti dan menggunakan informasi. Selanjutnya disebutkan
bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang diperlukan seseorang agar
dapat melakukan sesuatu. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Pengetahuan/pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan;
2. Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat dan kebenaran dari apa yang
dilakukannya;
3. Sarana yang diperlukan untuk melakukannya; dan
4. Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang
dirasakan.
2. Kepercayaan (Belief)
Menurut (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), definisi kepercayaan
adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu adalah benar atau
Menurut Fishbein dan Azjen dalam Dahniar (2009) kepercayaan atau
keyakinan dengan kata ”belief’” memiliki pengertian sebagai inti dari setiap tingkah laku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk
menentukan persepsi terhadap suatu objek.
3. Adat Istiadat
Masyarakat mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman
atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis
pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan tersebut dengan
sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Koenjaranigrat (1996), adat istiadat mengandung sistem norma yang
menjadi salah satu fungsi sistem budaya untuk menata serta menetapkan
tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur
yang saling berkaitan satu dengan lainnya sehingga tercipta tata kelakuan manusia
yang terwujud dalam unsur kebudayaan sebagai satu kesatuan norma atau tata cara
yang berkembang di masyarakat.
Menurut Koenjaranigrat (1997), adat istiadat adalah pedoman yang bernilai
dan memberi arah, atau norma yang yang terdiri dari aturan-aturan untuk bertindak
yang apabila dilanggar akan menjadi tertawaan, ejekan, dan celaan sesaat oleh
masyarakat di sekitarnya. Menurut Honingman dalam Wiranata (2002), wujud dari
berpola dari manusia dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem ide dan konsep dari
serangkaian tindakan yang ideal yang memberikan corak dan jiwa serta tatanan
kehidupan yang seimbang dan serasi yang disebut sebagai adat-istiadat, bersifat
umum dan turun temurun. Apabila dilanggar akan menimbulkan suatu rasa yang tidak
enak (tabu).
2.3.2 Dukungan Istri
Menurut Sarwono (2003), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan
kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam
melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2005), dukungan adalah suatu usaha untuk
menyokong sesuatu atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu.
Dalam unit terkecil, keluarga merupakan wadah tempat berlangsungnya
dukungan. Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa keluarga
adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan
atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama
lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu
budaya. Keluarga juga dapat diartikan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang
atau lebih yang di rekat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal
bersama.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan merupakan
ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang
didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai
berdasarkan kepentingan bersama. Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang
terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap
tahap siklus kehidupan (Friedman, 1998).
Menurut Chaplan dalam Friedman (1998), jenis-jenis dukungan adalah:
1. Dukungan instrumental; Istri merupakan penyediaan materi yang dapat
memberikan pertolongan langsung seperti uang, peralatan, waktu serta pelayanan
(Taylor, 1995). Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu
dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi.
2. Dukungan informatif; Istri berfungsi sebagai sebuah kolektor dan penyebar
informasi tentang dunia yang mencakup memberi nasehat, petunjuk,
sarana-sarana atau umpan balik. Bentuk dukungan yang diberikan oleh istri adalah
dorongan semangat, nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik tentang situasi
dan kondisi individu, istri dapat memberikan dukungan informasi dengan
memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi
masalah.
3. Dukungan emosional; Istri sebagai individu yang berkontribusi yang aman dan
damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi
yang meliputi ungkapan empati, kepedulian, perhatian sehingga individu dapat
menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam
menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. Pada saat seperti ini