• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sosial Budaya dan Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota Polri Dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Sosial Budaya dan Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota Polri Dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI POLRES

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh:

RENI APRINAWATY SIRAIT 087023011/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI POLRES

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

RENI APRINAWATY SIRAIT 087023011/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(3)

Judul Tesis : PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN

DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI

POLRES KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Nama Mahasiswa : Reni Aprinawaty Sirait

Nomor Induk Mahasiswa : 087023011

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) (dr. Heldy B.Z, M.P.H Ketua Anggota

)

Dekan

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 28 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Anggota : 1. dr. Heldy B.Z, M.P.H

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN DUKUNGAN ISTRI TERHADAP PARTISIPASI ANGGOTA POLRI DALAM BER-KB DI POLRES

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2012

(6)

ABSTRAK

Partisipasi pria menjadi salah satu faktor dalam menyukseskan program Keluarga Berencana (KB). Data jumlah pasangan anggota Polres Serdang Bedagai sebanyak 453 orang di antaranya 267 orang (65%) istri menggunakan alat kontrasepsi wanita. Anggota polri menggunakan alat kontrasepsi kondom sebanyak 17 orang (4,2%) dan melaksanakan vasektomi sebanyak 2 orang (0,4%). Rendahnya partisipasi anggota Polri diduga disebabkan faktor pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat dan dukungan istri.

Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini bersifat eksplanatori (explanatory research) yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011. Populasi adalah semua anggota Polri yang telah memiliki anak minimal 2 (dua) orang sebanyak 252 orang dan jumlah sampel sebanyak 72 orang. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara berpedoman pada kuesioner. Analisis data menggunakan uji regresi logistik ganda.

Hasil penelitian diperoleh pengetahuan, kepercayaan, dan adat istiadat, dukungan istri memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB. Dukungan istri merupakan faktor dominan memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.

Disarankan kepada pimpinan Polres Serdang Bedagai hendaknya melakukan kerjasama dengan Rumah Sakit Kepolisian (RS Bhayangkara) yang terdekat yaitu di Kota Tebing Tinggi untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan prima

khususnya dalam mendiseminasi KB pria dan perlu melibatkan ketua Bhayangkari dalam keberhasilan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi serta dukungan istri untuk meningkatkan partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.

Kata kunci : Sosial Budaya, Dukungan Istri, Partisipasi

(7)

ABSTRACT

Man participation is one of the factors in the success of Family Planning program. Of the 453 married couples among the members of Serdang Bedagai Resort Police, 267 wives (65%) use the contraceptives for women and 17 husbands (4.2%) use condom and 2 husbands (0.4%) have done a vasectomy. The factors of knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support are estimated to have caused the low participation of Police officers in Family Planning program.

The purpose of this explanatory study conducted from June to August 2011 was to analyze the influence of socio-culture (knowledge, belief, and cultural tradition) and wife’s support on the participation of Police Officers in Family Planning program in Serdang Bedagai Resort Police. The population of this study was all of the 252 Police Officers with at least 2 (two) children and 72 of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support had influence on the participation of Police Officers in Family Planning program. Wife’s support was the most dominant factor influencing the participation of Police Officers in Family Planning program.

The Commander of Serdang Bedagai Resort Police is suggested to cooperate with the nearest Police Hospital (RS Bhayangkara)in Tebing Tinggi to do primary health service activities especially in disseminating and it is necessary to involved the head of Bhayangkari is the success of health especially the reproductive health and support if wife to increase the participation of Police officer in family Planning Program.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah

memberi rahmat-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis

yang berjudul ”Pengaruh Sosial Budaya dan Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota Polri Dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan

pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi

Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara Medan.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M&H., M.Sc (CTM)., Sp.A, (K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Drs. Surya

Utama, M.S atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

3. Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si

sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya

(9)

4. Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si.

terima kasih atas saran dan perhatian dalam penulisan tesis ini.

5. Anggota Komisi Pembimbing dr. Heldy B.Z, M.P.H atas segala ketulusannya

dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, saran dan

perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

6. Tim Penguji Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan Anggota Tim Penguji

Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes yang telah banyak memberikan saran, bimbingan

dan perhatian selama penulisan tesis.

7. Kepala Kepolisian Resort Serdang Bedagai AKBP Drs. Arif Budiman, SIK yang

telah banyak membantu penulis dalam dalam rangka menyelesaikan penelitian.

8. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas

/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada Ayahanda

A. Sirait dan Ibunda R. Sinaga serta keluarga besar yang telah memberikan

dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan.

10. Terima kasih buat suami tercinta Bripka T. B. Siahaan dan ananda Brilly Yobel

Siahaan berkat merekalah penulis termotivasi untuk menyelesaikan studi ini.

11. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam

(10)

Akhirnya penulis menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran

dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini,

dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2012

Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Reni Aprinawaty Sirait lahir di Negeri Dolok tanggal 17 Januari 1982,

beragama Kristen Protestan, bertempat tinggal di Jl. Bunga Sakura Blok C Nomor 3

Kecamatan Medan Tuntungan Kabupaten Kota Medan, anak ke tiga belas dari tiga

belas bersaudara dari pasangan A. Sirait dan R. Sinaga, sudah menikah dengan

Bripka Tumbur Bonar Siahaan dikarunia satu orang putra.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Marihat Raja pada

tahun 1994. Menamatkan Sekolah Menengah Pertama Negeri I Dolok Panribuan pada

tahun 1997, menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Dolok Panribuan pada

tahun 2000 dan menamatkan S1 Kesehatan Masyarakat Mutiara Indonesia Medan

pada tahun 2005.

Penulis memulai karir sebagai Personalia Keperawatan Medis di Rumah Sakit

Delima Belawan pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, dan aktif sebagai

Dosen Pengajar di Akademi Kebidanan Imelda Medan pada tahun 2006 sampai

(12)

DAFTAR ISI

2.1Program Keluarga Berencana (KB) ... 10

2.1.1 Pengertian, Visi, dan Misi ... 10

2.1.2 Tujuan dan Manfaat ... 11

2.1.3 Alat Kontrasepsi KB Pria ... 11

2.1.4 Partisipasi Partisipasi Pria dalam Ber-KB... 24

2.1.5 Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Masyarakat ... 28

2.2Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB ... 29

(13)

3.6Metode Pengukuran ... 46

3.6.1 Pengukuran Variabel Independen ... 46

3.6.2 Pengukuran Variabel Dependen ... 49

3.7Metode Analisis Data ... 51

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 52

4.1Gambaran Umum Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 52

4.1.1 Geografi ... 52

4.1.2 Demografi ... 53

4.1.3 Sosial Budaya ... 54

4.1.4 Profil dan Fakta Sejarah Mapolres Serdang Bedagai ... 54

4.1.5 Visi dan Misi ... 56

4.1.6 Kedudukan Polri Tugas Pokok dan Fungsi Polres Serdang Bedagai ... 58

4.1.7 Sumber Daya Manusia di Polres Serdang Bedagai ... 60

4.1.8 Struktur Organisasi Polres Serdang Bedagai ... 62

4.2. Karakteristik Responden ... 63

4.3. Distribusi Sosial Budaya ... 65

4.4 Hubungan Pengetahuan, Kepercayaan, Adat Istiadat dan Dukungan Istri dengan Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 76

4.5 Pengaruh Pengetahuan, Kepercayaan, Adat Istiadat dan Dukungan Istri dengan Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 78

BAB 5. PEMBAHASAN ... 81

5.1 Pengaruh Pengetahuan terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 81

5.2 Pengaruh Kepercayaan terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 84

5.3 Pengaruh Adat Istiadat terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-Kb di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 86

5.4 Pengaruh Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota Polri dalam Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

6.1 Kesimpulan ... 91

6.2 Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 38

3.1. Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian Anggota Polri dan

Jajarannya di Polres Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010 ... 42

3.2. Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 50

4.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 64

4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Pengetahuan di

Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 67

4.3. Distribusi Kategori Pengetahuan... 68

4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Kepercayaan di

Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 69

4.5. Distribusi Kategori Kepercayaan ... 70

4.6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Adat Istiadat di

Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 72

4.7. Distribusi Kategori Adat Istiadat ... 73

4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Dukungan Istri

di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 74

4.9. Distribusi Kategori Dukungan Istri ... 76

4.10. Hubungan Pengetahuan dengan Partisipasi Anggota Polri dalam

Ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai ... 78

4.11. Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Pengetahuan, Kepercayaan, Adat Istiadat dan Dukungan Istri terhadap Partisipasi Anggota

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU... 108

2 Surat Telah Selesai Meneliti dari Polres Kabupaten Serdang Bedagai 109

4. Kuesioner Penelitian ... 110

5. Pengolahan Data ... 121

(17)

ABSTRAK

Partisipasi pria menjadi salah satu faktor dalam menyukseskan program Keluarga Berencana (KB). Data jumlah pasangan anggota Polres Serdang Bedagai sebanyak 453 orang di antaranya 267 orang (65%) istri menggunakan alat kontrasepsi wanita. Anggota polri menggunakan alat kontrasepsi kondom sebanyak 17 orang (4,2%) dan melaksanakan vasektomi sebanyak 2 orang (0,4%). Rendahnya partisipasi anggota Polri diduga disebabkan faktor pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat dan dukungan istri.

Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini bersifat eksplanatori (explanatory research) yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011. Populasi adalah semua anggota Polri yang telah memiliki anak minimal 2 (dua) orang sebanyak 252 orang dan jumlah sampel sebanyak 72 orang. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara berpedoman pada kuesioner. Analisis data menggunakan uji regresi logistik ganda.

Hasil penelitian diperoleh pengetahuan, kepercayaan, dan adat istiadat, dukungan istri memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB. Dukungan istri merupakan faktor dominan memengaruhi partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.

Disarankan kepada pimpinan Polres Serdang Bedagai hendaknya melakukan kerjasama dengan Rumah Sakit Kepolisian (RS Bhayangkara) yang terdekat yaitu di Kota Tebing Tinggi untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan prima

khususnya dalam mendiseminasi KB pria dan perlu melibatkan ketua Bhayangkari dalam keberhasilan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi serta dukungan istri untuk meningkatkan partisipasi anggota Polri dalam ber-KB.

Kata kunci : Sosial Budaya, Dukungan Istri, Partisipasi

(18)

ABSTRACT

Man participation is one of the factors in the success of Family Planning program. Of the 453 married couples among the members of Serdang Bedagai Resort Police, 267 wives (65%) use the contraceptives for women and 17 husbands (4.2%) use condom and 2 husbands (0.4%) have done a vasectomy. The factors of knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support are estimated to have caused the low participation of Police officers in Family Planning program.

The purpose of this explanatory study conducted from June to August 2011 was to analyze the influence of socio-culture (knowledge, belief, and cultural tradition) and wife’s support on the participation of Police Officers in Family Planning program in Serdang Bedagai Resort Police. The population of this study was all of the 252 Police Officers with at least 2 (two) children and 72 of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that knowledge, belief, cultural tradition and wife’s support had influence on the participation of Police Officers in Family Planning program. Wife’s support was the most dominant factor influencing the participation of Police Officers in Family Planning program.

The Commander of Serdang Bedagai Resort Police is suggested to cooperate with the nearest Police Hospital (RS Bhayangkara)in Tebing Tinggi to do primary health service activities especially in disseminating and it is necessary to involved the head of Bhayangkari is the success of health especially the reproductive health and support if wife to increase the participation of Police officer in family Planning Program.

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Partisipasi pria menjadi salah satu faktor dalam menyukseskan program

Keluarga Berencana (KB). Sebaik apa pun program yang dilakukan pemerintah tetapi

tanpa peran aktif masyarakat, program tersebut tidak akan mencapai hasil yang

diharapkan. Peningkatan partisipasi pria dalam KB dan kesehatan reproduksi

merupakan salah satu isu penting dalam kesehatan reproduksi.

Perkembangan teknologi kontrasepsi begitu cepat namun tidak diimbangi

dengan peran serta pria untuk ikut berpartisipasi dalam menggunakan kontrasepsi.

Program KB jangka panjang untuk mencapai Keluarga Berkualitas 2015 berupaya

mencapai peningkatan kesetaraan pria dalam ber-KB sehingga terwujudnya peran

serta pria dalam ber-KB.

Berdasarkan data SDKI (Survey Demografi Kesehatan Indonesia) tahun 2007,

partisipasi pria dalam ber-KB secara nasional hanya mencapai 1,5% di antaranya

1,3% akseptor kondom dan 0,2% akseptor vasektomi. Berdasarkan data tersebut

dapat dilihat bahwa partisipasi pria dalam ber-KB masih rendah jika dibandingkan

dengan sasaran nasional pada tahun 2009 yaitu 4,5%. Jika dibandingkan dengan

pencapaian angka partisipasi pria dalam ber-KB pada tahun 2006 di negara-negara

berkembang seperti Pakistan sebanyak 5,2%, Bangladesh sebanyak 13,9%, Nepal

(20)

dapat dilihat bahwa Indonesia menempati angka partisipasi pria dalam ber-KB yang

paling rendah (BKKBN, 2006).

Menurut Soemarjati (2008), penyebab rendahnya partisipasi pria dalam

ber-KB adalah keterbatasan pengetahuan suami tentang kesehatan reproduksi dan

paradigma yang berkaitan dengan budaya patriarki dimana peran pria lebih besar

daripada wanita. Ketidaksetaraan gender dan kesehatan reproduksi sangat

berpengaruh pada keberhasilan program KB. Sebagian besar masyarakat masih

mengganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah urusan wanita saja.

Mengacu pada pelaksanaan International Conference on Population and Development (ICPD) atau Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo dan Millenium Development Goals (MDGs) disebutkan adanya akses yang sama antara pria dan wanita terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan dan

kesehatan. Namun faktanya untuk meningkatkan kesetaraan pria dalam ber-KB masih

belum sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) tahun 2004-2009,

salah satu indikator keberhasilan BKKBN adalah tercapainya kesetaraan KB pria

sebesar 4,5% pada tahun 2009 (BKKBN, 2006). Menurut BKKBN tahun 2008, ada

beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB dan

kesehatan reproduksi di antaranya adalah rendahnya pengetahuan dan pemahaman

tentang kesehatan reproduksi, sikap dan perilaku suami, keterbatasan alat kontrasepsi

pria, faktor sosial budaya masyarakat, dan adanya rumor tentang vasektomi serta

(21)

Menurut Hartanto dalam Mukhadiono (2009), faktor-faktor yang

menyebabkan rendahnya minat akseptor KB pria menggunakan kontrasepsi Medis

Operasi Pria (MOP) di Puskesmas Sokaraja Kabupaten Kulonprogo Provinsi

Yogyakarta antara lain meliputi budaya, minimnya pengetahuan tentang MOP, takut

tidak punya anak lagi, frekuensi senggama, jumlah keluarga yang diinginkan, faktor

metode kontrasepsi yang berhubungan dengan efek samping minor, kerugian,

komplikasi-komplikasi yang potensial, dan faktor biaya.

Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama antara pria dan

wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang dipilih mencerminkan

kebutuhan serta keinginan suami dan istri. Dalam penggunaan kontrasepsi pria seperti

kondom, pantang berkala, senggama terputus dan vasektomi, suami mempunyai

tanggung jawab utama, sementara bila istri sebagai pengguna kontrasepsi, suami

mempunyai peranan penting dalam mendukung istri dan menjamin efektivitas

pemakaian kontrasepsi. Suami dan istri harus saling mendukung dalam penggunaan

metode kontrasepsi karena KB dan kesehatan reproduksi bukan hanya urusan pria

atau wanita saja (Depkes, 2002).

Sebuah studi yang dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun

2001 menunjukkan masih rendahnya tingkat keikutsertaan pria dalam ber-KB. Hal ini

disebabkan karena terbatasnya pilihan KB. Dari studi tersebut diketahui hanya satu

dari tiga pria yang setuju dengan metode MOP dan sebanyak 41% pria mengatakan

(22)

Simanjuntak (2007) menyatakan bahwa tingkat adopsi inovasi KB pria di

kalangan prajurit di Kota Medan dipengaruhi oleh pengetahuan, kondisi kesehatan

fisik dan pengaruh istri. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan

Lubis (2009), di mana pengaruh istri dan kompensasi memiliki pengaruh terhadap

keputusan untuk menjadi akseptor vasektomi di Kota Tebing Tinggi. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Rustam pada tahun 2006, partisipasi pria dalam

praktik metode KB modern di Indonesia dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi yang

meliputi pengetahuan, umur istri, pendidikan suami, jumlah anak masih hidup, dan

sikap terhadap program KB.

Partisipasi merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses

pembangunan. Namun demikian dalam praktiknya, upaya meningkatkan partisipasi

tersebut tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hal ini disebabkan faktor sosial

budaya yaitu: pengetahuan, adat-istiadat masyarakat yang bersifat tradisional

sehingga memengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi (Mikkelsen, 2003).

Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang

atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya

untuk melakukan sesuatu kegiatan yang merupakan keterlibatan sukarela dan ikut

serta dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan (Mikkelsen (2003). Club

du Sahel dalam Mikkelsen (2003) menerangkan beberapa pendekatan untuk

memajukan partisipasi, yaitu: (1) Partisipasi pasif, pelatihan dan informasi;

(2) Partisipasi aktif; (3) Partisipasi dengan keterikatan; dan (4) Partisipasi atas

(23)

Keberhasilan KB bukan semata-mata karena partisipasi perempuan yang aktif

tetapi juga partisipasi pria dan dukungan keluarga. Menurut Sarwono (2003),

dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun

materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melakukan kegiatan. Caplan dalam

Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan,

yaitu: (1) Dukungan instrumental; (2) Dukungan informatif; (3) Dukungan

emosional; dan (4) Dukungan penghargaan.

Berdasarkan data BKKBN Sumatera Utara (2009), jumlah akseptor KB tahun

pada tahun 2009 mencapai 1.311.625 orang dengan total Pasangan Usia Subur (PUS)

sebesar 2.075.120. Dari keseluruhan peserta aktif tersebut, akseptor KB pria

mencapai 69.650 orang (3,3%) yang terdiri dari MOP 4.288 orang (6%) dan

pengguna kondom 65.362 (94%). Hal ini berarti partisipasi KB pria di Provinsi

Sumatera Utara masih rendah.

Serdang Bedagai yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera

Utara yang memiliki jumlah penduduk 588.263 jiwa dengan jumlah PUS sebesar

111.271 orang. Peserta KB aktif dari Januari – Juli 2010 berjumlah 82.944 dengan

jumlah akseptor KB pria 2900 orang (3,4%) yang terdiri dari 38 akseptor MOP

(1,3%) dan 2.862 akseptor kondom (98,7%). Cakupan PUS terbesar di Kecamatan

Perbaungan yaitu 18.291 dengan jumlah peserta non-KB sebesar 4.57 dan peserta KB

aktif sebesar 13.694. Di antara jumlah tersebut terdapat 6 peserta MOP (0,04%); 353

(24)

dan 6.152 peserta pil (44%). Berdasarkan data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

penggunaan alat kontrasepsi wanita lebih besar daripada pria.

Polisi merupakan salah satu alat Pemerintah dalam melaksanakan

pembangunan nasional. Kepolisian yang angggotanya mayoritas adalah laki-laki,

juga turut berperan aktif dalam menyukseskan program KB pria. Oleh karena itu,

pemerintah perlu meningkatkan kesadaran dan partisipasi jajaran Polri. Hal ini

dimulai sejak operasi Bhakti KB-Kesehatan Polri, TNI, dan Brimob. Program ini juga

telah mendapat perhatian besar jajaran Polri tanpa mengabaikan kuantitas dengan

sasaran pencapaian target partisipasi Polri dalam ber-KB pria secara nasional

sebanyak 3% (BKKBN, 2009).

Kepolisian Resor (Polres) Serdang Bedagai mempunyai personil sebanyak

490 orang dan membawahi 7 (tujuh) Kepolisian Sektor (Polsek) yaitu: (1) Polsek

Firdaus, mempunyai personil sebanyak 33 orang; (2) Polsek Dolok Masihul,

mempunyai personil sebanyak 26 orang; (3) Polsek Tanjung Beringin, mempunyai

personil sebanyak 21 orang; (4) Polsek Teluk Mengkudu mempunyai personil

sebanyak 20 orang; (5) Polsek Pantai Cermin mempunyai personil sebanyak 26

orang; (6) Polsek Kotarih, mempunyai personil sebanyak 27 orang; dan (7) Polsek

Perbaungan, mempunyai personil sebanyak 33 orang dan selebihnya bertugas di

Polres Serdang Bedagai yaitu sebanyak 304 orang dan 3 orang di antaranya adalah

anggota Polisi Wanita (Polwan). Dari keseluruhan personil anggota Polres Serdang

Bedagai yang berjumlah 490 orang tersebut, diketahui terdapat 35 orang yang belum

(25)

Dari arsip Klinik Polres Serdang Bedagai, diketahui bahwa Polres Serdang

Bedagai juga turut serta memasyarakatkan KB dengan terbentuknya suatu klinik

lingkaran biru atau klinik KB mandiri yang salah satu kegiatannya adalah melakukan

penyuluhan dan bimbingan mengenai pelayanan semua jenis alat kontrasepsi KB.

Walaupun berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak Polres Serdang Bedagai untuk

memasyarakatkan KB pria pada jajaran kepolisian setempat, namun dari hasil survei

pendahuluan yang dilakukan Penulis diketahui bahwa keikutsertaan anggota Polres

Serdang Bedagai pria dalam ber-KB masih rendah.

Dari survei pendahuluan tersebut diketahui hanya 19 orang (4,19%) anggota

Polres Serdang Bedagai pria yang menggunakan KB pria dari 453 orang anggota

Polres Serdang Bedagai yang sudah menikah. Dari jumlah akseptor KB pria tersebut,

2 orang vasektomi (0,4%) dan 17 orang menggunakan kondom (4,2%). Dari survei

tersebut diketahui sebayak 267 orang (65%) istri anggota Polres Serdang Bedagai

menggunakan alat kontrasepsi wanita dengan perincian 27 peserta IUD (10%); 21

peserta Implant (7,8%); 7 peserta MOW (2,6); 117 peserta Suntik (43,8%); 95 peserta

Pil (35%); dan selebihnya tidak mengunakan alat kontrasepsi wanita. Berdasarkan

data tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi wanita lebih

besar daripada pria.

Dari hasil survei pendahuluan tersebut juga diketahui bahwa 40% responden

adalah Suku Batak; responden yang berasal dari Suku Jawa sebesar 20%; responden

(26)

lainnya. Dari survei tersebut juga diperoleh informasi bahwa 70% responden

menyadari peran responden sebagai suami berperan dalam keikutsertaan keluarga

dalam ber-KB. Beberapa responden yang berasal dari Suku Batak juga mengatakan

bahwa walaupun jumlah anak sudah lebih dari dua namun bila belum mempunyai

anak laki-laki, maka beberapa responden tersebut akan terus berusaha untuk

memperoleh anak laki-laki sebagai penerus keturunan (marga) serta yang paling

berperan dalam upacara adat. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patrilineal masih

sangat berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam ber-KB. Selain itu, Penulis juga

menduga alasan rendahnya anggota Polres Serdang Bedagai pria dalam ber-KB

adalah rendahnya pengetahuan tentang KB pria.

Berdasarkan fenomena di atas, perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh

sosial budaya yang meliputi: pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat, serta

dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres Kabupaten

Serdang Bedagai tahun 2011.

1.2. Permasalahan

Bagaimana pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan

adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres

(27)

1.3. Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan

adat-istiadat) dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres

Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat)

dan dukungan istri terhadap partisipasi anggota Polri dalam ber-KB di Polres

Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Kepolisian Republik Indonesia Resor Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan

dalam upaya meningkatkan kesadaran anggota Polri dalam menyukseskan

Program KB Nasional.

2. Anggota Polri Resor Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan untuk

menambah wawasan tentang KB pria dan diharapkan berpartisipasi dalam

pemakaian alat kontrasepsi KB pria.

3. Pengembangan ilmu adminitrasi dan kebijakan kesehatan serta dapat

dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu khususnya

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Keluarga Berencana (KB) 2.1.1 Pengertian, Visi, dan Misi

Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para

pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi, mencegah kehamilan

yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan berisiko tinggi, kesakitan

dan kematian (BKKBN, 2006).

Paradigma baru KB Nasional (KBN) telah diubah visinya dari mewujudkan

Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk

mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”. Menurut Saifuddin (2006),

keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri,

memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Paradigma baru program KB ini

menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi sebagai upaya

integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Visi tersebut dijabarkan ke dalam 6

(enam) misi, yaitu:

1. Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas;

2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan

ketahanan keluarga;

(29)

4. Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak

reproduksi;

5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan

dan keadilan jender melalui program KB; dan

6. Mempersiapkan SDM berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai

dengan usia lanjut.

2.1.2 Tujuan dan Manfaat

Menurut Mochtar (2000), keluarga berencana bertujuan untuk membentuk

keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara

mengatur kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun manfaat KB menurut Mochtar (2000)

adalah: (1)

2.1.3 Alat Kontrasepsi KB Pria

Menurunkan angka kematian; (2)Mencegah kehamilan terlalu dini;

(3)Mencegah kehamilan terjadi di usia tua; (4)Menjarangkan kehamilan dan

persalinan; dan (5) Mencegah terlalu sering hamil dan melahirkan.

Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti ”melawan”

atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan sel telur yang matang

dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi menghindari/mencegah

terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dan sel sperma

(Suratun, dkk 2008). Sedangkan menurut Siswosudarmo (2001), pada dasarnya

(30)

bersifat tidak permanen dan memungkinkan pasangan untuk mendapatkan anak

apabila diinginkan (Aidillah, 2006). Jadi penggunaan kontrasepsi merupakan salah

satu variabel yang memengaruhi fertilitas (Sarwono, 2002).

Menurut Hartanto (2004), ada dua pembagian cara kontrasepsi yaitu :

1. Kontrasepsi Sederhana. Kontrasepsi sederhana terbagi atas kontrasepsi tanpa alat

dan kontrasepsi dengan alat/obat. Kontrasepsi sederhana tanpa alat dapat

dilakukan dengan senggama terputus dan pantang berkala. Kontrasepsi dengan

alat/obat dapat dilakukan dengan menggunakan kondom, diafragma atau cup,

cream, jelly atau tablet berbusa (vaginal tablet).

2. Kontrasepsi Modern/Metode Efektif. Menurut Hartanto (2004), cara kontrasepsi

modern antara lain : pil, AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), suntikan,

implant, serta metode mantap, yaitu dengan operasi tubektomi (sterilisasi pada

wanita) dan vasektomi (sterilisasi pada pria).

Menurut Siswosudarmo (2001), ada beberapa komponen keefektifan alat

kontrasepsi, antara lain :

1. Keefektifan teoritis, adalah kemampuan sebuah cara kontrasepsi untuk mencegah

kehamilan apabila cara tersebut digunakan sebagaimana mestinya.

2. Keefektifan praktis (pemakaian), adalah keefektifan yang terlihat dalam

kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu

yang mempengaruhi pemakaian, seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan

(31)

3. Keefektifan program, adalah keefektifan sebuah cara dalam sebuah program baik

di tingkat lokal, propinsi, maupun nasional.

4. Keefektifan biaya (cost effectiveness), adalah perbandingan antara sebuah cara atau program dengan hasil yang diharapkan, baik berupa jumlah akseptor, jumlah

yang terus memakai, efek samping, penurunan angka kesuburan, dan lain-lain.

Menurut Saifuddin (2003), tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang aman

dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan

kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode

kontrasepsi ideal adalah sebagai berikut:

1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan.

2. Berdaya guna, artinya bila digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah

terjadinya kehamilan.

3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya

di masyarakat.

4. Terjangkau harganya oleh masyarakat.

5. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali

kesuburannya.

Kontrasepsi pada pria menurut BKKBN (2006) adalah vasektomi (Medis

Operasi Pria) dan kondom.

a. Vasektomi

(32)

transpor sel mani, (b) ektomi = memotong dan mengangkat. Jadi vasektomi dalam

arti yang murni berarti memotong dan mengangkat saluran vas deferens kanan dan

kiri. Akan tetapi, yang dimaksud dengan vasektomi untuk KB menurut BKKBN

(2008) adalah bilateral partial vasektomi, yaitu memotong sebagian kecil vas deferen

kanan dan kiri masing-masing kurang daripada 1 cm. Dengan demikian vasektomi

hanya menghalang-halangi transpor bibit laki-laki (spermatozoa). Vasektomi

merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas di mana fungsi reproduksi

merupakan ancaman atau gangguan terhadap kesehatan pria dan pasangannya serta

melemahkan ketahanan dan kualitas keluarga (Saifuddin, 2003).

Kontrasepsi jenis vasektomi dalam sehari-harinya biasa disebut dengan

kontrasepsi mantap (kontap) karena merupakan suatu metode operatif minor pada

pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif, memerlukan waktu yang sangat

singkat dan tidak memerlukan anastesi umum (Anna, 2006). Senada dengan pendapat

tersebut, Tjokronegoro (2003) mengatakan vasektomi adalah cara KB yang mantap di

mana saluran air mani (vas deferens) diputuskan sehingga sperma dari dalam testis tidak akan keluar bersama cairan mani lain pada saat bersetubuh.

Vasektomi adalah satu-satunya cara sterilisasi pria yang diterima sampai saat

ini. Vasektomi harus dibedakan dengan kebiri (pengambilan kedua testis) karena

dengan vasektomi hanya perjalanan sperma dari testis ke dunia luar yang diputus,

tepatnya dengan memotong dan mengambil sebagian dari vas deferens. Seseorang yang telah menjalani vasektomi masih mengeluarkan semen tetapi bebas sel sperma

(33)

normal, bahkan potensi dan kepuasannya pun tidak berubah. Vasektomi merupakan

operasi kecil yang cukup dilakukan dengan anestesi lokal (Hartanto (2004).

Menurut BKKBN (2007), kelebihan metode kontrasepsi vasektomi adalah:

1. Mudah pelaksanaannya dengan pembiusan setempat kurang lebih 15 menit;

2. Bekas operasi hanya merupakan luka yang cepat sembuh;

3. Tidak mengganggu hubungan seksual;

4. Tingkat kegagalan rendah hanya ± 0,3 dari 100 tindakan vasektomi; dan

5. Merupakan metode mantap.

Sedangkan menurut Hartanto (2004), keuntungan vasektomi antara lain:

(1)Tidak ada mortalitas (kematian); (2)Morbiditas (akibat sakit) kecil sekali; (3)Tidak

perlu mondok di rumah sakit; (4)Waktu operasi hanya 15 menit dan dilakukan

dengan pembiusan setempat; (5)Sangat efektif (kemungkinan gagal tidak ada) karena

dapat diperiksa kepastiannya di laboratorium; dan (6)Tidak membutuhkan biaya yang

besar.

Pelayanan vasektomi ini hanya diberikan kepada akseptor yang memenuhi

syarat sebagai berikut, yaitu: (1)Tidak ingin memiliki anak lagi di kemudian hari;

(2)Telah memiliki jumlah anak yang ideal, sehat jasmani dan rohani; (3)Rumah

tangga bahagia dan harmonis; (4)Telah persetujuan dari istri; dan (5)Sukarela tanpa

paksaan.

Menurut Siswosudarmo (2001), syarat seseorang yang menginginkan kontap

(34)

memiliki sekurang-kurangnya dua anak, (2) Faktor sosial ekonomi memengaruhi

pertimbangan untuk memilih cara ini, (3) Adanya perkawinan (keluarga) yang stabil,

sebab perceraian setelah kontap menimbulkan penyesalan yang sangat sulit diatasi.

Tidak mudah menilai kestabilan dalam rumah tangga, tetapi lamanya perkawinan dan

jumlah anak, umur suami dan istri setidaknya dapat mencerminkannya.

Menurut BKKBN (2007), vasektomi tidak disarankan untuk:

1. Pasangan muda yang masih ingin mempunyai anak;

2. Pasangan yang kehidupan perkawinannya bermasalah;

3. Pasangan yang mengalami gangguan jiwa;

4. Pasangan yang belum yakin terhadap keinginan pasangannya; dan

5. Pria/suami yang menderita diabetes, kelainan jantung dan pembekuan darah,

hernia dan testisnya membesar dan nyeri.

b. Kondom

Kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi pria yang paling mudah

dipakai dan diperoleh, baik melalui apotek maupun toko obat dengan berbagai merek

dagang. Kondom terbuat dari karet/lateks, berbentuk tabung tidak tembus cairan,

dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan dilengkapi kantung untuk menampung

sperma (BKKBN, 2007).

Menurut Hartanto (2004), manfaat kondom untuk pasangan suami istri adalah:

(1)Efektif untuk mencegah kehamilan, (2)Tidak ada efek samping, (3)Dapat dibeli

dengan mudah dan murah, dan (4)Ideal untuk seks yang tidak direncanakan. Kondom

(35)

(IMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS).

Menurut Hartanto (2004) kelebihan kondom adalah sebagai berikut: (1)Bila

digunakan secara tepat dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit menular

seksual; (2)Kondom tidak memengaruhi kesuburan jika digunakan dalam jangka

panjang; dan (3)Kondom mudah didapat dan tersedia dengan harga yang terjangkau.

Sedangkan keterbatasan kondom adalah sebagai berikut:

1. Kekurangan penggunaan kondom memerlukan latihan dan tidak efisien;

2. Karena sangat tipis maka kondom mudah robek bila tidak digunakan atau

disimpan sesuai aturan;

3. Beberapa pria tidak dapat mempertahankan ereksinya saat menggunakan

kondom;

4. Setelah terjadi ejakulasi, pria harus menarik penisnya dari vagina bila tidak,

dapat terjadi kehamilan atau penularan penyakit menular seksual; dan

5. Kondom yang terbuat dari latex dapat menimbulkan alergi bagi beberapa orang.

2.2. Partisipasi

Menurut Theodorson dalam Mikkelsen (2003), partisipasi merupakan

keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam

suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud bukan bersifat

pasif, tetapi secara aktif ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu,

(36)

untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakat di luar pekerjaan atau profesinya

sendiri. Sedangkan Mikkelsen (2003) memberikan tafsiran yang berbeda tentang

partisipasi, yaitu:

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek

pembangunan, tetapi mereka tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan;

2. Partisipasi adalah proses untuk membuat masyarakat menjadi lebih peka untuk

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek

pembangunan;

3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun

kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk

melakukan sesuatu hal;

4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara komunitas lokal dan pihak

penyelenggara, pengimplementasian, pemantauan, dan pengevaluasian staf agar

dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial ataupun dampak sosial;

5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang

ditentukan oleh dirinya sendiri; dan

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan diri,

kehidupan, dan lingkungan mereka.

Partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan

dalam proses pembangunan, tetapi di dalam praktiknya tidak selalu diupayakan

sunguh-sungguh (Slamet, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan, kemauan

(37)

Conyer dalam Soetomo (2006), mengemukakan partisipasi masyarakat adalah

keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan

kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Conyers dalam

Soetomo (2006), menyatakan ada 5 (lima) cara untuk melibatkan keikutsertaan

masyarakat yaitu:

1. Survai dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang

diperlukan;

2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen

pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam

perencanaan;

3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang

semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi;

4. Perencanaan melalui pemerintah lokal; dan

5. Menggunakan strategi pembangunan komunitas (community development). Mikkelsen dalam Soetomo (2006) mengembangkan asumsi teoritik bahwa

pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat dan sebaliknya

kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti adanya

penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara

eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program.

Club du Sahel dalam Mikkelsen (2003) mengemukakan beberapa pendekatan

(38)

1. Pendekatan pasif, pelatihan dan informasi; yakni pendekatan yang beranggapan

bahwa pihak eksternal lebih menguasai pengetahuan, teknologi, keterampilan,

dan sumber daya. Dengan demikian partisipasi tersebut memberikan

komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan

masyarkat bersifat vertikal.

2. Pendekatan partisipasi aktif; yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat

untuk berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal.

Contohnya pendekatan partisipasi ini adalah pelatihan dan kunjungan.

3. Pendekatan partisipasi dengan keterikatan; masyarakat atau individu diberikan

kesempatan untuk untuk melakukan pembangunan, dan diberikan pilihan untuk

terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut.

4. Pendekatan dengan partisipasi setempat; yaitu pendekatan dengan

mencerminkan kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh

masyarakat setempat.

Menurut Adi (2008) yang mengutip pendapat Mikkelsen (2003), partisipasi

yang sesungguhnya berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan tujuan dalam

suatu proses demokrasi. Menurut Chambers (1996), istilah partisipasi digunakan

untuk mengggambarkan proses permberdayaan (empowering process). Dalam hal ini, partisipasi dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan (enable) masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana

cara untuk mengatasinya, mendapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah,

(39)

mereka pilih. Chambers (1996) menggambarkan bahwa “kita” (pelaku perubahan)

berpartisipasi dalam program “mereka” (masyarakat lokal) sehingga terjadi apa yang

disebut proses pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan pendapat Chambers dan Mikkelsen (2003) di atas, maka Adi

(2008) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat

dalam proses pengidentifikasian masalah, dan potensi yang ada dalam masyarakat,

pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi untuk menangani masalah,

pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses

pengevaluasi perubahan yang terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap

perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin

memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya, bila masyarakat tidak

banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersifat pasif dalam

setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan. Masyarakat cenderung

akan menjadi lebih tergantung pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi

terus-menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan meningkat.

Menurut Craig dan Mayo dalam Yustina (2003), “empowerment is road to participation”. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk

menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum

berdayanya sebagian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk

(40)

dikehendaki untuk berpartisipasi namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup

tentang segala aktivitas yang mendukung proses pembangunan.

Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari keikutsertaan

langsung masyarakat dalam program Pemerintah maupun yang sifatnya tidak

langsung, seperti: sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam

kebijakan Pemerintah. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan

dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi

masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam

pengambilan keputusan (Kusdamayanti, 2007).

Menurut Mikkelsen (2003), salah satu faktor yang menjadi perhatian untuk

menelaah tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor sosial budaya. Faktor sosial

budaya memengaruhi keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proses

pembangunan. Hadi dalam Dwiyanti (2005) mengemukakan bahwa faktor

penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik di Indonesia adalah:

1. Faktor sosial, seperti: tingkat pendidikan, pendapatan dan komunikasi;

2. Faktor budaya, meliputi: sikap dan perilaku, pengetahuan dan adat istiadat; dan

3. Faktor politik; dan

4. Faktor birokrasi para pengambil keputusan.

Menurut Mikkelsen (2003), rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan oleh

(41)

1. Adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat dan

penolakan eksternal terhadap Pemerintah;

2. Kurangnya dana;

3. Terbatasnya informasi, pengetahuan atau pendidikan masyarakat; dan

4. Kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Menurut Depkes RI (2006), partisipasi adalah keadaan dimana individu,

keluarga, maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap

kesehatan diri, keluarga, ataupun kesehatan masyarakat lingkungannya. Dalam suatu

masyarakat bagaimanapun sederhananya, selalu ada suatu stimulus. Mekanisme ini

disebut pemecahan masalah atau proses pemecahan masalah.

Dalam hal keikusertaan ber-KB, partisipasi pria adalah suatu proses dimana

individu, keluarga dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program KB.

Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang

menungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk secara aktif berkontribusi dalam

pembangunan sehingga dapat menghasilkan manfaat yang merata bagi seluruh

warganya (Depkes RI, 2003).

2.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB

Mikkelsen (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi

partisipasi masyarakat yaitu:

1. Faktor sosial yaitu dilihat dari adanya ketimpangan sosial masyarakat untuk

(42)

2. Faktor budaya yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional

statis dan tertutup terhadap perubahan;

3. Faktor politik, yaitu apabila proses pembangunan yang dilaksanakan kurang

melibatkan masyarakat pada awal dan akhir proses pembangunan sehingga

terkendala untuk berpartisipasi dan pengambilan keputusan.

Hikmat (2001) mengatakan bahwa perbedaan latar belakang kultur (budaya)

dapat menimbulkan perbedaan terhadap suatu objek. Partisipasi masyarakat tidak

hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tapi juga harkat dan martabat, rasa

percaya diri dan terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sosial

budaya yang implementatif dalam pembangunan berpusat pada rakyat setempat

dengan menumbuhkan dan mengembangkan nilai sosial budaya.

Menurut Suparlan dalam Budimanta (2003), kebudayaan adalah seperangkat

ide-ide, norma, nilai dan pengetahuan yang dipakai oleh manusia untuk memahami

lingkungan dan dipakai untuk mendorong terwujudnya perilaku. Taylor dalam

Poerwanto (2000) mengatakan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks

meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum dan adat, dan berbagai

kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Soekanto dalam Purwatiningsih, dkk (2005) mengatakan bahwa pengetahuan,

adat-istiadat erat hubungannya dalam peningkatan partisipasi masyarakat, dan

anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menerima sanksi yang berlaku

dalam masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan

(43)

dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam program

pemerintah.

Menurut Margono dalam Mardikanto (2003), tumbuh kembangnya partisipasi

masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu:

a. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi

Adanya kesempatan yang diberikan, merupakan faktor pendorong tumbuhnya

kemauan, dan kemauan akan menentukan kemampuannya. Sebaliknya, adanya

kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuan serta

memanfaatkan setiap kesempatan.

Mardikanto (2003), menyatakan banyak program pembangunan yang kurang

memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan

kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan kurangnya informasi yang disampaikan

kepada masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa mereka dapat atau dituntut

untuk berpartisipasi. Pemberian kesempatan berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah

sekedar pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar

mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau menggangu

tercapainya tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus

dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat setempat layak diberi kesempatan

karena memiliki kemampuan yang diperlukan dan memiliki suatu hal untuk

berpartisipasi dan memanfaatkan setiap kesempatan membangun bagi perbaikan mutu

(44)

b. Adanya kemauan untuk berpartisipasi

Mardikanto (2003) menyatakan kemauan untuk berpartisipasi merupakan

kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Kesempatan

dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan

berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan

untuk membangun.

Kemauan untuk membangun ditentukan oleh sikap dan mental yang dimiliki

masyarakat yang menyangkut: (1) Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai penghambat

pembangunan; (2) Sikap terhadap penguasa atau pelaksanan pembangunan pada

umumnya; (3) Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas

diri; (4) Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya

tujuan pembangunan; dan (5) Sikap kemandirian atau percaya diri atas

kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya.

c. Adanya kemampuan untuk berpartisipasi

Menurut Mardikanto (2003), kemampuan untuk berpartisipasi adalah:

1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk

membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun

(memperbaiki mutu hidupnya);

2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat

(45)

3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan

sumber daya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.

Berdasarkan konsep di atas, maka tumbuh dan berkembanya partisipasi

masyarakat dalam pembangunan akan dapat diupayakan melalui:

1. Penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan, yang tidak saja berupa

penyampaian informasi tentang adanya kesempatan yang diberikan kepada

masyarakat, melainkan juga dibarengi dengan dorongan dan harapan-harapan

agar masyarakat mau berpartisipasi, serta upaya yang terus menerus untuk

meningkatkan kemampuannya untuk berpartisipasi, dan

2. Berkaitan dengan dorongan dan harapan yang disampaikan, perlu adanya

penjelasan kepada pria tentang besarnya manfaat ekonomi maupun non ekonomi

yang dapat secara langsung atau tidak langsung dinikmati sendiri maupun yang

dinikmati oleh generasi mendatang.

2.2.2 Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Masyarakat

Menurut Notoatmodjo (2007), elemen-elemen pembentuk partisipasi adalah:

1. Motivasi. Persyaratan utama masyarakat untuk berpartisipasi adalah motivasi.

Tanpa motivasi masyarakat sulit untuk berpartispasi di segala program.

Timbulnya motivasi harus dari masyarakat itu sendiri, dan pihak luar hanya

merangsangnya saja.

2. Komunikasi. Suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan

(46)

yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang akhirnya dapat

menimbulkan partisipasi.

3. Kooperasi. Kerjasama dengan instansi-instansi di luar kesehatan masyarakat dan

instansi kesehatan sendiri adalah mutlak diperlukan. Terjelmanya team work

antara mereka akan membantu menumbuhkan partisipasi.

4. Mobilisasi. Partisipasi bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program

saja, tetapi partisipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir

mungkin, dari identifikasi masalah, menentukan prioritas, perencanaan program,

pelaksanaan sampai dengan monitoring program.

Ross dalam Notoatmodjo (2005) berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhya

partisipasi, yaitu:

1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga

dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara

konfrehensif;

2. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar

untuk mengambil keputusan; dan

3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.

Dalam bidang kesehatan, partisipasi ini dikenal dengan partisipasi dalam

pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan kesehatan mengintegrasikan

komponen-komponen yang berhubungan dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan

kepercayaan, aturan dan pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta praktisi

(47)

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB 2.3.1 Sosial Budaya

Kebudayaan sebagai konsep dasar dapat menjelaskan kaitannya dengan

gejala-gejala sosial dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam berbagai pranata

kesehatan maupun non kesehatan tetapi terkait seperti pelayanan kontrasepsi dan

keluarga berencana. Kaitan-kaitan tersebut dinyatakan sebagai gejala sosial budaya.

Sehubungan dengan hal tersebut, gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan

hubungan timbal balik antara gejala sosial dan pelayanan kesehatan (Kalangie, 1994).

Penggunaan konsep budaya dalam perilaku masyarakat terkait dengan pengetahuan,

kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya. Seseorang dapat saja

memperlihatkan perilaku psikologis di samping perilaku budaya.

Menurut Taylor dalam Soekanto (1982), kebudayaan adalah kompleks yang

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat-istiadat dan kebiasaan

dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapat manusia

sebagai angggota masyarakat. Menurut Taylor dalam Wiranata (2002), kebudayaan

adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalam terkandung ilmu pengetahuan,

kepercayaan, adat-istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di peroleh

manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Koentjaranigrat (1997), kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang

(48)

Menurut Koentjaranigrat (1997), wujud dari suatu budaya dapat

dikelompokan dalam 3 (tiga) hal yaitu: (1)Wujud sebagai suatu kompleks dari

ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan, (2)Wujud kebudayaan sebagai

suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan

(3)Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak

yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan. Dengan demikian

sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam Bahasa Indonesia

disebut adat-istiadat. Dalam adat-istiadat terdapat juga sistem norma dan di situlah

salah satu fungsi sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan dan tingkah

laku manusia. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur yang saling berkaitan

satu dengan lainnya. Sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud dalam

unsur kebudayaan sebagai suatu kesatuan (Koentjaranigrat, 1997).

Keterkaitan sosial budaya dengan manusia dapat diamati dari sifat-sifat

kebudayaan antara lain: (1)Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia,

(2)Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu organisasi tertentu dan

tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan, (3)Budaya

diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya, dan (4)Budaya

mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan

yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang, dan tindakan yang diizinkan

(49)

Menurut Setiadi, dkk (2002), substansi/isi utama kebudayaan merupakan

wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang muncul di

masyarakat dalam bentuk pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan,

persepsi, dan etos kebudayaan.

1. Pengetahuan (Knowledge)

Purwodarminto dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah

segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal objek. Pengetahuan merupakan

hasil “tahu” dan hal ini terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitip merupakan domain

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).

Bloom dalam Notoatmodjo (2005), menyebutkan pengetahuan atau

knowledge adalah individu hasil tahu apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui

indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

terhadap objek.

Roger dalam Notoatmodjo (2003), proses perubahan perilaku atau

penerimaan ide baru adalah suatu proses kejiwaan yang dialami individu sejak

pertama kali menerima informasi atau memperoleh pengetahuan mengenai suatu hal

yang baru sampai saat ini memutuskan untuk menerima atau menolak ide baru

(50)

(2) Persuasi (Persuation), dalam hal ini individu membentuk sikap positip atau negatip terhadap ide atau objek baru tersebut, (3) Decision, masyarakat telah memutuskan untuk mencoba tingkah laku baru, untuk itu perlu adanya motivasi yang

kuat dari petugas kesehatan dan juga penerangan yang jelas agar putusan mereka

tidak merupakan paksaan, dan (4) Confirmation, apabila masyarakat atau individu telah mau melaksanakan tingkah laku yang baru sesuai dengan norma-norma

kesehatan, kita tinggal menguatkan tingkah laku yang baru.

Margono dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah

kemampuan untuk mengerti dan menggunakan informasi. Selanjutnya disebutkan

bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang diperlukan seseorang agar

dapat melakukan sesuatu. Unsur-unsur tersebut adalah:

1. Pengetahuan/pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan;

2. Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat dan kebenaran dari apa yang

dilakukannya;

3. Sarana yang diperlukan untuk melakukannya; dan

4. Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang

dirasakan.

2. Kepercayaan (Belief)

Menurut (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), definisi kepercayaan

adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu adalah benar atau

(51)

Menurut Fishbein dan Azjen dalam Dahniar (2009) kepercayaan atau

keyakinan dengan kata ”belief’” memiliki pengertian sebagai inti dari setiap tingkah laku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk

menentukan persepsi terhadap suatu objek.

3. Adat Istiadat

Masyarakat mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman

atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis

pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan tersebut dengan

sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut

(Notoatmodjo, 2003).

Menurut Koenjaranigrat (1996), adat istiadat mengandung sistem norma yang

menjadi salah satu fungsi sistem budaya untuk menata serta menetapkan

tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur

yang saling berkaitan satu dengan lainnya sehingga tercipta tata kelakuan manusia

yang terwujud dalam unsur kebudayaan sebagai satu kesatuan norma atau tata cara

yang berkembang di masyarakat.

Menurut Koenjaranigrat (1997), adat istiadat adalah pedoman yang bernilai

dan memberi arah, atau norma yang yang terdiri dari aturan-aturan untuk bertindak

yang apabila dilanggar akan menjadi tertawaan, ejekan, dan celaan sesaat oleh

masyarakat di sekitarnya. Menurut Honingman dalam Wiranata (2002), wujud dari

(52)

berpola dari manusia dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem ide dan konsep dari

serangkaian tindakan yang ideal yang memberikan corak dan jiwa serta tatanan

kehidupan yang seimbang dan serasi yang disebut sebagai adat-istiadat, bersifat

umum dan turun temurun. Apabila dilanggar akan menimbulkan suatu rasa yang tidak

enak (tabu).

2.3.2 Dukungan Istri

Menurut Sarwono (2003), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan

kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam

melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2005), dukungan adalah suatu usaha untuk

menyokong sesuatu atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu.

Dalam unit terkecil, keluarga merupakan wadah tempat berlangsungnya

dukungan. Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa keluarga

adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan

atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama

lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu

budaya. Keluarga juga dapat diartikan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang

atau lebih yang di rekat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal

bersama.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan merupakan

ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang

didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai

(53)

berdasarkan kepentingan bersama. Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang

terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap

tahap siklus kehidupan (Friedman, 1998).

Menurut Chaplan dalam Friedman (1998), jenis-jenis dukungan adalah:

1. Dukungan instrumental; Istri merupakan penyediaan materi yang dapat

memberikan pertolongan langsung seperti uang, peralatan, waktu serta pelayanan

(Taylor, 1995). Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu

dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi.

2. Dukungan informatif; Istri berfungsi sebagai sebuah kolektor dan penyebar

informasi tentang dunia yang mencakup memberi nasehat, petunjuk,

sarana-sarana atau umpan balik. Bentuk dukungan yang diberikan oleh istri adalah

dorongan semangat, nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik tentang situasi

dan kondisi individu, istri dapat memberikan dukungan informasi dengan

memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi

masalah.

3. Dukungan emosional; Istri sebagai individu yang berkontribusi yang aman dan

damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi

yang meliputi ungkapan empati, kepedulian, perhatian sehingga individu dapat

menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam

menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. Pada saat seperti ini

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.2.  Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Polres Serdang Bedagai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel hasil pengujian konsep di atas dapat dilihat secara statistik deskriptif biasa bahwa konsep yang ke-3 yang memiliki bobot lebih besar untuk setiap kriteria, baik dari

Merujuk pada pandangan tersebut maka jika mengaitkan dengan masyarakat nelayan miskin di Pangandaran ada kemungkinan bergesernya lapangan kerja utama masyarakat

Aset keuangan (atau mana yang lebih tepat, bagian dari aset keuangan atau bagian dari kelompok aset keuangan serupa) dihentikan pengakuannya pada saat: (1) hak kontraktual atas arus

• Indikasi: untuk pasien yang tidak dapat makan melalui mulut karena disfagia, postoperasi. mulut, gangguan kesadaran, tidak

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu nifas hari pertama yang mempunyai kriteria inklusi yaitu primipara, memiliki kemauan untuk melakukan mobilisasi dini, memiliki

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan konsentrasi penggunaan bahan pengawet nabati ekstrak biji pinang yang terbaik berdasarkan retensi dan penetrasi bahan

Bakteri Lactobacillus sp yang secara alami terdapat pada sayuran sangat berperan dalam pembuatan sayur asin melalui proses fermentasi. Sayur asin yang dihasilkan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE COURSE REVIEW HORAY UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |