• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Methylcobalamin terhadap Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri pada Pasien Carpal Tunnel Syndrome dengan Diabetes Melitus dan Tanpa Diabetes Melitus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemberian Methylcobalamin terhadap Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri pada Pasien Carpal Tunnel Syndrome dengan Diabetes Melitus dan Tanpa Diabetes Melitus"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENGARUH PEMBERIAN

METHYLCOBALAMIN

TERHADAP

KECEPATAN HANTAR SARAF DAN INTENSITAS NYERI

PADA PASIEN

CARPAL TUNNEL SYNDROME

DENGAN

DIABETES MELITUS DAN TANPA DIABETES MELITUS

OLEH

FASIHAH IRFANI FITRI

NO. REG CHS : 18779

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKITSARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

(2)

PENGARUH PEMBERIAN

METHYLCOBALAMIN

TERHADAP

KECEPATAN HANTAR SARAF DAN INTENSITAS NYERI

PADA PASIEN

CARPAL TUNNEL SYNDROME

DENGAN

DIABETES MELITUS DAN TANPA DIABETES MELITUS

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Saraf pada Program

Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf pada Fakultas

Kedokeran Universitas Sumatera Utara

FASIHAH IRFANI FITRI

NO. REG CHS : 18779

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap kecepatan hantar saraf dan intensitas nyeri pada pasien carpal tunnel syndrome dengan diabetes melitus dan tanpa diabetes melitus

Nama : Fasihah Irfani Fitri

No Reg CHS : 18779

Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf Menyetujui Pembimbing I

Dr. Aida Fithrie,SpS

NIP. 197809122009122002

Pembimbing II

Dr. Aldy S Rambe.Sp.S (K) NIP. 196605241992031002

Pembimbing III

Prof.Dr.dr.Hasan Sjahrir, SpS(K) NIP. 194709301979021001

Mengetahui / Mengesahkan :

Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU/RSUPHAM Medan

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) NIP.195309161982031003

Ketua Program Studi/ SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU/ RSUP HAM Medan

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap kecepatan hantar saraf dan intensitas nyeri pada pasien carpal tunnel syndrome dengan diabetes melitus dan tanpa diabetes melitus

Nama : Fasihah Irfani Fitri

No Reg CHS : 18779

Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui

Pembimbing I : Prof. Dr. dr Hasan Sjahrir, Sp.S(K) ... Pembimbing II : dr. Aldy S Rambe, Sp.S ... Pembimbing III : dr. Aida Fithrie, Sp.S ...

Mengetahui/ Mengesahkan

Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU/RSUPHAM Medan

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) NIP.195309161982031003

Ketua Program Studi/ SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU/ RSUP HAM Medan

(5)

Tanggal Lulus : 29 Januari 2013 Telah diuji pada : 29 Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K) 2. Prof. dr. Darulkutni Nasution,Sp.S(K)

3. dr. Darlan Djali Chan,Sp.S (Penguji) 4. dr. Yuneldi Anwar,Sp.S(K)

5. dr. Rusli Dhanu,Sp.S(K) (Penguji)

6. dr. Kiking Ritarwan,MKT,Sp.S(K) (Penguji) 7. dr. Aldy S Rambe,Sp.S(K)

8. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S 9. dr. Khairul P. Surbakti,Sp.S 10. dr. Cut Aria Arina,Sp.S 11. dr. Kiki M. Iqbal,Sp.S 12. dr. Alfansuri Kadri,Sp.S 13. dr. Aida Fithrie, Sp.S

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PEMBERIAN METHYLCOBALAMIN TERHADAP KECEPATAN

HANTAR SARAF DAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN CARPAL TUNNEL

SYNDROME DENGAN DIABETES MELITUS DAN TANPA DIABETES MELITUS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2013

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan dan selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

(8)

4. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K), selaku Ketua Program Studi PPDS-I Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, guru dan pembimbing selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf .

5. dr. Aldy S Rambe, Sp.S(K) dan dr. Aida Fithrie Sp.S selaku pembimbing penulis yang telah mendorong, membimbing, mengkoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

6. Guru-guru penulis: : Prof. dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S (K); dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S; dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; dr. Khairul P Surbakti,SpS; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; (alm).dr. S. Irwansyah, Sp.S; dr. Kiki M.Iqbal, Sp.S; dr.Dina Listyaningrum, Sp.S Msi.Med; dr.Iskandar Nasution, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri,SpS; dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S; dr.Haflin Soraya Hutagalung Sp.S dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

(9)

9. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis dalam berbagai pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan-dorongan yang membangkitkan semangat kepada penulis menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

10. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

11. Semua pasien CTS yang telah bersedia untuk berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

12. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi Alm. Prof. Dr. H. M. Dahlan Darip, SpMK dan ibunda Dra. Syahyar Hanum,DPFE yang telah bersusah payah membesarkan dengan penuh kasih sayang, memberikan rasa aman, cinta, dukungan moril dan materi, bimbingan dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai.

(10)

14. Abang kandung saya, dr. M. Shahreza dan kakak ipar saya Elva Citra Sari,SE dan adik kandung saya dr. Ahmad Handayani dan adik ipar saya Yessy Liana Putri, Spsi, yang banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis selama menjalani Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

15. Kepada suamiku tercinta Rahmat Hidayat Matondang,ST atas doa dan dukungan, kesabaran dan pengertian yang mendalam, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka selama penulis menjalani Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf dan menyelesaikan tesis ini. 16. Teristimewa kepada putriku tersayang, Alishya Ghaniya Matondang yang telah menjadi motivasi dan inspirasi selama penulis menjalani Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf ini hingga selesai.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama lengkap : Dr. Fasihah Irfani Fitri Tempat / tanggal lahir : Medan, 21 Juli 1983

Agama : Islam

Pekerjaan : Staf Pengajar Dept. Neurologi FK USU Nama Ayah : (Alm) Prof.Dr.H. M.Dahlan Darip,SpMK Nama Ibu : Dra.Syahyar Hanum,DPFE

Nama Suami : Rahmat Hidayat Matondang,ST Nama Anak : Alishya Ghaniya Matondang

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD. Harapan 2 Medan tamat tahun 1995.

2. Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri 1 Medan tamat tahun 1998. 3. Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri 1 Medan tamat tahun 2001. 4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2006.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan i

Pernyataan iv

Ucapan Terima Kasih v

Riwayat Hidup Peneliti ix

Daftar Isi x

Daftar Singkatan xiii

Daftar Tabel xiv

Daftar Gambar xvi

Daftar Lampiran xvi

Abstrak xvii

Abstract xviii

BAB I. PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Perumusan Masalah 11

I.3. Tujuan Penulisan 11

I.3.1. Tujuan Umum 11

I.3.2. Tujuan Khusus 11

I.4. Hipotesis 12

I.5. Manfaat Penelitian 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. CARPAL TUNNEL SYNDROME 14

II.1.1. Definisi 14

II.1.2. Epidemiologi 14

II.1.3. Anatomi 15

II.1.3.1. Anatomi carpal tunnel 16 II.1.3.2. Anatomi nervus medianus 17

II.1.4. Etiopatogenesis 21

II.1.5. Patofisiologi Kompresi Saraf 25

II.1.5.1. Efek kompresi pada serabut saraf 25 II.1.5.2. Efek kompresi pada struktur

mikrovaskular intraneural 26

II.1.5.3. Efek kompresi pada transpor aksonal 26 II.1.5.4. Edema intraneural akibat kompresi 27 II.1.5.5. Efek kompresi pada transmisi impuls 28 II.1.5.6. Tahapan cedera saraf kompresif 29 II.1.5.7. Cedera iskemik-reperfusif pada CTS 32

II.1.6. Gambaran Klinis 36

II.1.7. Nyeri pada CTS 38

II.1.8. Prosedur Diagnosis 40

II.1.8.1. Anamnesis 40

(13)

II.1.8.3. Pemeriksaan elektrofisiologi 43

II.1.9. Penatalaksanaan 47

II.2. DIABETES MELITUS 48

II.2.1. Definisi 49

II.2.2. Klasifikasi 49

II.2.3. Diagnosis 49

II.2.4. Kriteria pengendalian DM 50

II.3. CARPAL TUNNEL SYNDROME PADA

DIABETES MELITUS 51

II.4. METHYLCOBALAMIN 58

II.4.1. Struktur Methylcobalamin 59

II.4.2. Farmakokinetik 61

II.4.3. Farmakodinamik 63

II.4.4. Methylcobalamin pada regenerasi saraf 65 II.4.5. Methylcobalamin pada nyeri neuropatik 68

II.5. KERANGKA TEORI 71

II.6. KERANGKA KONSEP 72

BAB III. METODE PENELITIAN 73

III.1. TEMPAT DAN WAKTU 73

III.2. SUBJEK PENELITIAN 73

III.2.1. Populasi Sasaran 73

III.2.2. Populasi Terjangkau 73

III.2.3. Besar Sampel 73

III.3. KRITERIA INKLUSI 74

III.4. KRITERIA EKSKLUSI 75

III.5. BATASAN OPERASIONAL 75

III.6. INSTRUMEN PENELITIAN 78

III.7. RANCANGAN PENELITIAN 78

III.8. PELAKSANAAN PENELITIAN 79

III.8.1. Pengambilan sampel 79

III.8.2. Variabel yang diamati 79

III.9. KERANGKA OPERASIONAL 80

III.10.ANALISA DATA 81

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. HASIL

IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian 83 IV.1.2. Perbedaan Nilai Kecepatan Hantar Saraf dan

Intensitas Nyeri pada Pasien CTS dengan DM

dan tanpa DM 86

IV.1.3 Pengaruh Pemberian Methylcobalamin terhadap Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri pada Pasien CTS dengan DM dan tanpa DM 91 IV.1.4 Hubungan antara Kecepatan Hantar Saraf

dengan Intensitas Nyeri pada Pasien CTS

(14)

IV.1.5 Hubungan antara Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri dengan durasi DM pada Pasien

CTS dengan DM 102

IV.1.6 Perbedaan Nilai Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri Berdasarkan Kriteria Pengendalian DM Pada Pasien CTS pada DM 105 IV.1.7 Perbedaan Nilai Kecepatan Hantar Saraf dan

Intensitas Nyeri Berdasarkan Ada Tidaknya Komplikasi Pada Pasien CTS dengan DM 106

IV.2. PEMBAHASAN 108

IV.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian 109 IV.2.2 Perbedaan Nilai Kecepatan Hantar Saraf pada

Pasien CTS dengan DM dan Pasien CTS tanpa

DM 112

IV.2.3. Pengaruh Pemberian Methylcobalamin Terhadap Nilai Kecepatan Hantar Saraf pada Pasien CTS dengan DM dan Pasien CTS tanpa DM 115 IV.2.4. Perbedaan Nilai Intensitas Nyeri pada Pasien

CTS dengan DM dan Pasien CTS tanpa DM 118 IV.2.5. Pengaruh Pemberian Methylcobalamin Terhadap

Nilai Intensitas Nyeri pada Pasien CTS dengan

DM dan Pasien CTS tanpa DM 118

IV.2.6. Hubungan antara Kecepatan Hantar Saraf dengan Intensitas Nyeri pada Pasien CTS

dengan DM dan tanpa DM 122

IV.2.7. Hubungan antara Kecepatan Hantar Saraf dan Intensitas Nyeri dengan durasi, kriteria pengendalian dan ada tidaknya komplikasi pada

Pasien CTS dengan DM 123

IV.2.8. Keterbatasan Penelitian 124

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan 126

V.2. Saran 128

DAFTAR PUSTAKA 129

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR SINGKATAN

AAN : American academy of neurology ADA : American diabetes association ADM : abductor digiti minimi

APB : abductor pollicis brevis

CMAP : compound muscle action potential CTD : carpal tunnel decompression CTS : carpal tunnel syndrome DAG : diacil glycerol

DL : distal latency DM : diabetes melitus

DPN : diabetic polyneuropathy EMG : elektromiografi

ENMG : elektroneuromiografi

GFAT : glutamine fructose 6 phosphate aminotransferase IL-6 : interleukin-6

KHS : kecepatan hantar saraf MA : malondyaldehide

MRI : magnetic resonance imaging

N : nervus

NCV : nerve conduction velocity

NADPH : nicotinamide adenin dinucleotida phosphate hydroxilase NMDA : N-methyl-D-Aspartate

NO : nitric oxide PGE2 : prostaglandin E2 PGI2 : prostacyclin

ROIs : reactive oxygen intermediates SNAP : sensory nerve action potential TTGO : tes toleransi glukosa oral UDP : uridine di phosphat VAS : visual analogue scale

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Faktor penyebab CTS 22

Tabel 2. Efek tekanan terhadap aliran mikrovaskular intraneural 26 Tabel 3. Efek tekanan terhadap transpor aksonal anterograde 27 Tabel 4. Efek tekanan terhadap transpor aksonal retrograde 27

Tabel 5. Efek tekanan pada edema intraneural 28

Tabel 6. Efek tekanan terhadap KHS medianus di pergelangan tangan 28 Tabel 7. Gejala dan tanda pada carpal tunnel syndrome 37 Tabel 8. Protokol pemeriksaan ENMG pada neuropati medianus 46 Tabel 9. Sistem Grading CTS berdasarkan hasil neurofisiologi 47

Tabel 10 Klasifikasi diabetes melitus 49

Tabel 11. Kriteria diagnosis d iabetes melitus 50

Tabel 12. Kriteria pengendalian diabetes mellitus 51

Tabel 13. Karakteristik Subjek Penelitian 85

Tabel 14. Perbedaan Nilai KHS dan VAS Sebelum Pemberian Methylcobalamin

88

Tabel 15. Perbedaan Rerata Nilai KHS dan VAS Setelah Pemberian Methylcobalamin

90

Tabel 16. Perbedaan Nilai KHS dan VAS Sebelum dan Setelah Pemberian Methylcobalamin pada Pada Pasien CTS dengan DM

93

Tabel 17. Perbedaan Nilai KHS dan VAS Sebelum dan Setelah Pemberian Methylcobalamin pada Pada Pasien CTS tanpa DM

96

Tabel 18. Hubungan KHS dan VAS dengan Grade CTS Pada Pasien CTS dengan DM

99

Tabel 19. Hubungan KHS dan VAS dengan Grade pada pasien CTS tanpa DM

100

Tabel 20. Hubungan Nilai KHS dengan VAS pada Pasien CTS dengan DM 101 Tabel 21. Hubungan Nilai KHS dengan VAS pada Pasien CTS tanpa DM 101 Tabel 22. Hubungan Nilai KHS dan VAS dengan Durasi DM 103 Tabel 23. Perbedaan Nilai KHS dan VAS Berdasarkan Kriteria

Pengendalian DM pada Pasien CTS dengan DM

106

(17)

Tidaknya Komplikasi DM pada Pasien CTS dengan DM

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Bagian anterior carpal tunnel 16

Gambar 2. Anatomi carpal tunnel 16

Gambar 3. Anatomi pleksus brakialis 18

Gambar 4. Anatomi nervus medianus 19

Gambar 5. Distribusi nervus medianus 20

Gambar 6. Visual analogue scale 39

Gambar 7. Kerusakan jaringan akibat hiperglikemia 53

Gambar 8. Jalur polyol 55

Gambar 9. Aktivasi protein kinase C pathway 56

Gambar 10. Hiperglikemia meningaktkan aliran pada jalur hexosamine 57

Gambar 11. Struktur Vitamin B12 60

Gambar 12. Reaksi enzimatis yang melibatkan methylcobalamin 64 Gambar 13. Diagram Batang Perbedaan KHS Sensoris Sebelum dan

Setelah Pemberian Methylcobalamin pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM

97

Gambar 14. Diagram Batang Perbedaan KHS Motoris Sebelum dan Setelah Pemberian Methylcobalamin pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM

97

Gambar 15. Diagram Batang Perbedaan Skor VAS Sebelum dan Setelah Pemberian Methylcobalamin pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM

98

Gambar 16. Grafik Korelasi Nilai KHS Sensoris dengan Durasi DM pada Pasien CTS dengan DM Sebelum dan Setelah Pemberian Methylcobalamin

103

Gambar 17. Grafik Korelasi Nilai KHS Motoris dengan Durasi DM pada Pasien CTS dengan DM Sebelum dan Setelah Pemberian Methylcobalamin

104

Gambar 18. Grafik Korelasi Skor VAS dengan Durasi DM pada Pasien CTS dengan DM Sebelum dan Setelah Pemberian Methylcobalamin

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 2 . Lembar Pengumpulan Data Lampiran 3. Grading CTS

Lampiran 4. Jadwal Makan Obat

(19)

Abstrak

Latar Belakang : Carpal tunnel syndrome merupakan entrapment neuropathy

pada ekstremitas atas yang paling sering dijumpai dan insidensinya meningkat pada pasien dengan diabetes mellitus (DM). Methylcobalamin merupakan bentuk aktif vitamin B12 yang telah digunakan secara luas pada berbagai neuropati perifer.

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap

kecepatan hantar saraf (KHS) dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan pasien CTS tanpa DM

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang melibatkan 42 pasien CTS yang terdiri dari 21 pasien DM dan 21 pasien tanpa DM. Diagnosis CTS ditegakkan dengan pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan elektrofisiologis dan penilaian intensitas nyeri dilakukan dengan menggunakan visual analogue scale (VAS). Pada semua pasien diberikan methylcobalamin 500 μg per oral tiga kali sehari selama satu bulan (30 hari), kemudian dilakukan pemeriksaan KHS dan VAS ulang.

Hasil : Karakteristik demografik tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Pada awal studi, tidak terdapat perbedaan rerata nilai KHS dan VAS yang signifikan antara kedua kelompok. Setelah pemberian methylcobalamin, rerata nilai KHS sensoris dan KHS motoris tidak berbeda secara signifikan pada pasien CTS dengan DM maupun pada pasien CTS tanpa DM. Terdapat penurunan skor VAS yang signifikan pada pasien CTS dengan DM (5.04  1.93 vs 3.66  1.98) (p<0.001) dan pada pasien CTS tanpa DM (4.95  2.15 vs 3.19  2.44) (p<0.001). Terdapat korelasi negatif yang tidak signifikan antara nilai KHS dengan VAS; antara nilai KHS dan VAS dengan durasi DM. Tidak terdapat perbedaan nilai KHS dan VAS berdasarkan kriteria pengendalian DM dan ada tidaknya komplikasi DM pada pasien CTS dengan DM.

Kesimpulan : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari pemberian

methylcobalamin terhadap KHS dan terdapat pengaruh yang signifikan dari pemberian methylcobalamin terhadap intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan pasien CTS tanpa DM.

(20)

Abstract

Background : Carpal tunnel syndrome (CTS) is the most common upper limb entrapment neuropathy and its incidence is increased in patients with diabetes mellitus (DM). Methylcobalamin is the active form of vitamin B12 that has been widely used in peripheral neuropathy.

Purpose : To evalute the effects of methylcobalamin on nerve conduction velocity (NCV) and pain intensity on diabetic and non diabetic CTS patients.

Methods : This was a quasi experimental study involving 42 CTS patients which consisted of 21 diabetic patients and 21 non diabetic patients. The CTS diagnosis was made by neurologic and electrophysiologic examinations and pain intensity was measured using visual analogue scale (VAS). All patients were given methylcobalamin 500 μg orally three times a day for one month (30 days), then had repeated NCV examination and VAS measurement.

Result : The demographic characteristics were not significantly different between two groups. At baseline, there were no significant differences in NCV values and VAS score between two groups. After the administration of methylcobalamin, the mean values of sensory NCV and motor NCV were not significantly different in diabetic and non diabetic patients. There was significant decline in the VAS score in diabetic CTS patients (5.04 1.93 vs 3.66 1.98) (p<0.001) and in non diabetic CTS patients. (4.95 2.15 vs 3.19 2.44) (p<0.001). There were non significant negative correlations between NCV values and VAS score with duration of DM and there was no differences in NCV and VAS scores based on control of DM and DM complications.

Conclusion : There was no significant effect of methylcobalamin on NCV and there was a significant effect of methylcobalamin on pain intensity in diabetic CTS patients and non diabetic CTS patients.

(21)

Abstrak

Latar Belakang : Carpal tunnel syndrome merupakan entrapment neuropathy

pada ekstremitas atas yang paling sering dijumpai dan insidensinya meningkat pada pasien dengan diabetes mellitus (DM). Methylcobalamin merupakan bentuk aktif vitamin B12 yang telah digunakan secara luas pada berbagai neuropati perifer.

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap

kecepatan hantar saraf (KHS) dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan pasien CTS tanpa DM

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang melibatkan 42 pasien CTS yang terdiri dari 21 pasien DM dan 21 pasien tanpa DM. Diagnosis CTS ditegakkan dengan pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan elektrofisiologis dan penilaian intensitas nyeri dilakukan dengan menggunakan visual analogue scale (VAS). Pada semua pasien diberikan methylcobalamin 500 μg per oral tiga kali sehari selama satu bulan (30 hari), kemudian dilakukan pemeriksaan KHS dan VAS ulang.

Hasil : Karakteristik demografik tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Pada awal studi, tidak terdapat perbedaan rerata nilai KHS dan VAS yang signifikan antara kedua kelompok. Setelah pemberian methylcobalamin, rerata nilai KHS sensoris dan KHS motoris tidak berbeda secara signifikan pada pasien CTS dengan DM maupun pada pasien CTS tanpa DM. Terdapat penurunan skor VAS yang signifikan pada pasien CTS dengan DM (5.04  1.93 vs 3.66  1.98) (p<0.001) dan pada pasien CTS tanpa DM (4.95  2.15 vs 3.19  2.44) (p<0.001). Terdapat korelasi negatif yang tidak signifikan antara nilai KHS dengan VAS; antara nilai KHS dan VAS dengan durasi DM. Tidak terdapat perbedaan nilai KHS dan VAS berdasarkan kriteria pengendalian DM dan ada tidaknya komplikasi DM pada pasien CTS dengan DM.

Kesimpulan : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari pemberian

methylcobalamin terhadap KHS dan terdapat pengaruh yang signifikan dari pemberian methylcobalamin terhadap intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan pasien CTS tanpa DM.

(22)

Abstract

Background : Carpal tunnel syndrome (CTS) is the most common upper limb entrapment neuropathy and its incidence is increased in patients with diabetes mellitus (DM). Methylcobalamin is the active form of vitamin B12 that has been widely used in peripheral neuropathy.

Purpose : To evalute the effects of methylcobalamin on nerve conduction velocity (NCV) and pain intensity on diabetic and non diabetic CTS patients.

Methods : This was a quasi experimental study involving 42 CTS patients which consisted of 21 diabetic patients and 21 non diabetic patients. The CTS diagnosis was made by neurologic and electrophysiologic examinations and pain intensity was measured using visual analogue scale (VAS). All patients were given methylcobalamin 500 μg orally three times a day for one month (30 days), then had repeated NCV examination and VAS measurement.

Result : The demographic characteristics were not significantly different between two groups. At baseline, there were no significant differences in NCV values and VAS score between two groups. After the administration of methylcobalamin, the mean values of sensory NCV and motor NCV were not significantly different in diabetic and non diabetic patients. There was significant decline in the VAS score in diabetic CTS patients (5.04 1.93 vs 3.66 1.98) (p<0.001) and in non diabetic CTS patients. (4.95 2.15 vs 3.19 2.44) (p<0.001). There were non significant negative correlations between NCV values and VAS score with duration of DM and there was no differences in NCV and VAS scores based on control of DM and DM complications.

Conclusion : There was no significant effect of methylcobalamin on NCV and there was a significant effect of methylcobalamin on pain intensity in diabetic CTS patients and non diabetic CTS patients.

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Carpal tunnel syndrome (CTS) merupakan salah satu neuropati kompresi pada ekstremitas atas yang paling sering dijumpai, yaitu sekitar 90% dari seluruh entrapment neuropathy. Sindroma ini disebabkan oleh entrapment dari nervus medianus pada terowongan karpal di pergelangan tangan. Insidensi dan prevalensinya bervariasi yaitu 0.125%-1% dan 5-16% bergantung pada kriteria diagnosis yang digunakan. (Aroori dkk, 2008). Sindroma ini merupakan kondisi yang berkaitan dengan pekerjaan (occupational health condition) yang paling sering dijumpai, terutama pada pekerjaan yang melibatkan tekanan tinggi, getaran dan gerakan yang berulang pada pergelangan tangan. (Aroori dkk, 2008; Katz dkk, 2002; Palmer dkk, 2011). Sindroma ini kini lebih sering dijumpai berkaitan dengan penggunaan komputeratau mesin ketik. (Vinik dkk, 2004).

(24)

menopause, systemic lupus erythematosus dan sebagainya). (Aroori dkk, 2008; Palmer dkk, 2011). Sekitar sepertiga kasus CTS berkaitan dengan kondisi sistemik tersebut dan sekitar 6% pasien merupakan penderita diabetes. (Katz dkk, 2002). Studi dari Shiri dkk (2011) menemukan hubungan antara CTS dengan faktor risiko kardiovaskular pada usia muda dan dengan ketebalan tunika intima-media karotid dan penyakit vaskular ateroslerotik pada usia tua. Temuan ini menunjukkan bahwa CTS dapat merupakan salah satu manifestasi aterosklerosis atau keduanya dapat memiliki faktor risiko yang sama.

Carpal tunnel syndrome merupakan entrapment neuropathy yang paling sering dijumpai pada pasien DM. (Vinik dkk, 2004). Hal ini terlihat dari berbagai studi tentang CTS pada DM. Studi oleh Perkins dkk (2002) menemukan bahwa CTS dan diabetic polyneuropathy (DPN) merupakan kondisi yang sering dijumpai pada pasien DM. Prevalensi CTS dijumpai lebih tinggi pada pasien dengan DPN dibandingkan pada populasi umum. Prevalensi CTS pada populasi kontrol adalah 2%, sedangkan pada pasien DM tanpa DPN adalah 14% dan 30% pada pasien DM dengan DPN. Hal ini sejalan dengan studi oleh Oge dkk (2004) yang juga menemukan prevalensi CTS yang lebih tinggi pada pasien DM dengan DPN. Peningkatan prevalensi CTS pada populasi DM tampaknya berkaitan dengan trauma berulang yang tidak disadari, perubahan metabolik, akumulasi cairan atau edema dalam terowongan karpal dan diabetic cheiroarthropathy.(Vinik dkk, 2004)

(25)

adalah 425.1 per 100.000 subjek prediabetes dan 260 per 100.000 pada kontrol. Setelah penyesuaian terhadap faktor risiko CTS lainnya, risiko relatif nya adalah sebesar 1.36 (1.02-1.81, p=0.039). Hiperglikemia dan abnormalitas metabolik yang terkait dengannya tampaknya berkontribusi dalam menyebabkan gangguan saraf perifer ini sebelum diagnosis DM ditegakkan.

Makepeace dkk (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui insidensi dan prediktor dari carpal tunnel decompression (CTD) pada pasien DM tipe 2. Penelitian dilakukan terhadap 1.284 pasien DM dan CTD ditemukan pada 67 pasien saat follow up selama lebih kurang 12 tahun, insidensinya 5.5 per 1.000 pasien per tahun, yaitu 4.2 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Faktor prediktor untuk tindakan CTD adalah indeks massa tubuh yang lebih tinggi dan konsumsi obat penurun lipid. Peneliitian ini menyimpulkan bahwa insidensi CTD meningkat pada pasien DM dan berhubungan dengan obesitas dan faktor sosiodemografik yang menunjukkan treatment-seeking behavior pada pasien CTS dengan DM.

Diagnosis CTS biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan temuan klinis. Biasanya, pasien mengeluh rasa kebas atau kehilangan sensorik pada distribusi nervus medianus (tiga jari pertama dan sisi radial dari jari keempat). Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri di area tersebut, sering dengan penyebaran proksimal ke lengan. Rasa nyeri ini dapat membangunkan pasien dari tidur dan diperberat dengan aktivitas yang melibatkan fleksi atau ekstensi pergelangan tangan dan dapat juga dijumpai kelemahan otot abduktor polisis brevis (APB). Pada pemeriksaan klinis dapat dijumpai tanda Tinel’s dan Phalen’s.

(26)

Metode yang paling objektif untuk menegakkan diagnosis CTS adalah dengan pemeriksaan elektrodiagnostik. (Oge dkk, 2004). Pemeriksaan keceparan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) dapat mengkonfirmasi diagnosis CTS dan membantu melokalisir lokasi entrapment saraf. (Kim dkk, 2001). Pemeriksaan KHS merupakan uji diagnostik yang pasti untuk CTS dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan ini menunjukkan lesi distal pada nervus medianus dan menyingkirkan kondisi perifer lainnya dengan gejala yang sama. (Tay dkk, 2006).

Pada entrapment neuropathy, pemeriksaan KHS secara umum dianggap sebagai indikator yang sensitif untuk menunjukkan keparahan demielinasi dan iskemi pada lokasi entrapment. Ogura dkk (2003) melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara parameter studi KHS dengan clinical grading CTS.Hasil penelitian menunjukkan bahwa amplitudo dari sensory nerve action potential (SNAP) dan motor nerve action potential menggambarkan status fungsional akson dan merupakan parameter yag bermanfaat untuk menilai clinical grading berdasarkan KHS. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan KHS yang cukup tinggi menjadikannya metode diagnostik yang paling bermanfaat untuk CTS (sensitivitas 80%). Stimulasi pergelangan tangan-telapak tangan (wrist-palm) merupakan teknik yang paling sensitif (sensitivitasnya 61% untuk diagnosis CTS). (Vinik dkk, 2004)

(27)

predictive value yang rendah. Pengukuran perbedaan latensi distal sensorik medianus-ulna memiliki akurasi diagnostik yang paling tinggi.

Berbagai penelitian tentang pemeriksaan elektrodiagnostik dengan derajat klinis CTS menunjukkan hasil yang bervariasi. Studi oleh Hardoim dkk (2009) dilakukan untuk mengetahui hasil pemeriksaan KHS pada CTS jangka panjang yang tidak diterapi dengan pembedahan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan hasil pemeriksaan KHS pada CTS tidak berhubungan dengan gejala klinis. Usia, jenis kelamin laki-laki dan tidak adanya SNAP lebih berhubungan dengan perburukan KHS, terlepas dari waktu interval antara pemeriksaan KHS.

Studi dari Bulut dkk (2011) bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hasil klinis dan elektrofisiologis dari tindakan dekompresi pada CTS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbaikan klinis setelah tindakan bedah pada CTS, temuan elektrofisiologi masih menunjukkan CTS dengan derajat yang bervariasi setelah operasi.

(28)

Studi dari Perkins dkk (2002) menunjukkan bahwa parameter elektrodiagnostik bukan merupakan prediktor yang signifikan terhadap gejala klinis CTS pada pasien DM. Secara umum, parameter ini memburuk seiring dengan beratnya neuropati namun tidak dapat membedakan pasien DM dengan dan tanpa CTS.

Oge dkk (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi CTS dan hubungan antara CTS dan DPN pada pasien DM. Hasil penelitian ini menemukan prevalensi CTS pada pasien DM sebesar 27.8%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara CTS dengan indeks massa tubuh, durasi DM, usia, jenis kelamin, nefropati diabetik dan retinopati diabetik. Hasil penelitian ini menyarankan untuk melakukan pemeriksaan elektrodiagnostik pada pasien DM yang dicurigai menderita CTS karena DPN menurunkan efektivitas terapi pada CTS.

Studi dari Celik dkk (2006) menunjukkan bahwa DPN dapat muncul dengan gejala klinis CTS, karena saraf perifer menjadi rentan terhadap perubahan metabolik pada DM dan dapat awalnya terkena pada lokasi entrapment akibat efek mekanik. Pemeriksaan KHS medianus tidak dapat membedakan CTS dan DPN secara signifikan pada studi ini.

(29)

elektrofisiologi tidak berhubungan dengan intensitas nyeri. Faktor yang berperan secara signifikan sebagai prediktor intensitas nyeri adalah depresi dan misinterpretasi dari nosisepsi yang ditentukan dengan pain catastrophizing score.

Studi dari Povlsen dkk, (2010) bertujuan untuk mengetahi hubungan antara keparahan keluhan subjektif yang salah satunya dinilai dengan visual analogue scale (VAS) dan temuan KHS pada pasien usia dibawah 40 tahun dan pasien di tas 70 tahun dengan CTS. Hasil peneltian menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan KHS lebih lambat,sebagai tanda kompresi yang lebih berat, pada pasien berusia diatas 70 tahun jika dibandingkan dengan yang berusia di bawah 40 rtahun, namun pasien usia tua menunjukkan keluhan subjektif yang lebih ringan dibandingkan pasien usia muda.

Methylcobalamin merupakan bentuk neurologically active dari vitamin B12. Suatu penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi methylcobalamin yang tinggi pada cairan serebrospinal efektif dan aman dalam penatalaksanaan gejala neuropati diabetik. (Ide dkk, 1987). Studi dari Yamatsu dkk, (1976) dilakukan untuk mengetahui efek vitamin B12, yaitu methylcobalamin dan cobamide, terhadap degenerasi dan regenerasi neural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa methylcobalamin dapat memilki efek inhibisi terhadap degenerasi Wallerian dan memiliki efek untuk regenerasi neural. Methylcobalamin merupakan satu-satunya derivat aktif dari vitamin B12 yang mempunyai efek merangsang proteosintesis sel-sel Schwann dan dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan regenerasi akson saraf dan memperbaiki transmisi pada sinaps.

(30)

hewan percobaan dengan neuropati yang disebabkan oleh acrylamide. Hasil penelitian ini menunjukkan dosis tinggi methylcobalamin dapat bermanfaat pada pasien dengan neuropati perifer. Vitamin B12 dalam bentuk methylcobalamin meningkatkan proses metilasi DNA de novo. (Leskowicz, dkk 1991). Studi dari Akaike dkk, (1993) menunjukkan bahwa paparan kronik terhadap methylcobalamin melindungi neuron kortikal terhadap sitotoksisitas glutamat yang dimediasi reseptor NMDA.

Yaqub dkk, (1992) melakukan penelitian efek klinis dan neurofisiologis methylcobalamin pada pasien dengan neuropati diabetik. Pada studi double-blind, grup aktif menunjukkan perbaikan yang signifikan secara statistik pada gejala somatik dan aotonomik dengan berkurangnya tanda neuropati diabetik. Studi KHS sensorik dan motorik tidak menunjukkan perbaikan secara signifikan setelah 4 bulan. Tidak dijumpai efek samping pada pasien.

(31)

saraf otonom, gangguan paut saraf otot, kolegium Neurologi Indonesia, 2008). Suatu tinjauan metaanalisis tentang efek methylcobalamin pada neuropati perifer diabetik menunjukkan bahwa methylcobalamin memperbaiki tanda dan gejala DPN, KHS sensorik medianus dan peroneus, KHS motorik medianus dan tibialis. (Hai-yan dkk, 2005).

Studi oleh Sato dkk (2005) dilakukan untuk mengetahui efek pemberian mecobalamin oral, suatu bentuk vitamin B12, pada CTS pada sisi non paretik pada pasien pasca stroke. Pada suatu randomized open label dan studi prospektif, 67 mendapat 1500 mcg mecobalamin setiap hari selama 2 tahun, dan 68 pasien yang tidak diterapi. Pada awal penelitian dilakukan KHS sensorik, KHS motorik, SNAP pada pergelangan tangan, latensi distal sensorik palm-to-wrist, palm-to-wrist SNAP, CMAP dan latensi distal motorik nervus medianus secara signifikan abnormal pada sisi nonparetik dibanding sisi hemiparetik atau pada kontrol. Sebelum terapi 21 pasien (31%) tidak diterapi dan 20 pasien (30%) dari kelompok yang diterapi memenuhi kriterai untuk CTS. Gangguan sensorik pada sisi nonparetik tampak berkurang pada kelompok yang diterapi. Setelah 2 tahun, seluruh parameter elektrofisiologis pada sisi nonparetik menunjukkan perbaikan secara signifikan pada kelompok yang diterapi dibandingkan dengan yang tidak diterapi. Perbaikan pada parameter sensorik lebih besar dibanding motorik. Tidak dijumpai efek samping, Mecobalamin oral terbukti aman dan dapat memberikan manfaat pada CTS.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

(32)

Apakah ada pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap kecepatan hantar saraf dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM ?

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM.

I.3.2. Tujuan Khusus

I.3.2.1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

I.3.2.2. Untuk mengetahui karakteristik demografi, nilai KHS, dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM yang berobat ke RSUP HAM Medan. I.3.2.3. Untuk mengetahui perbedaan nilai KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

(33)

I.3.2.6. Untuk mengetahui perbedaan nilai KHS dan intensitas nyeri berdasarkan kriteria pengendalian DM pada pasien CTS dengan DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

I.3.2.7. Untuk mengetahui perbedaan nilai KHS dan intensitas nyeri berdasarkan ada tidaknya komplikasi DM pada pasien CTS dengan DM yang berobat ke RSUP HAM Medan.

I.4. Hipotesis

Ada pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap nilai KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan dan tanpa DM.

I.5. Manfaat Penelitian

I.5.1. Penelitian

Dengan mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

I.5.2. Pendidikan

(34)

sebagai dasar untuk menganjurkan pemeriksaan KHS rutin bagi pasien DM dengan gejala klinis CTS.

1.5.2.3. Dengan mengetahui pengaruh pemberian methylcobalamin terhadap KHS dan intensitas nyeri pada pasien CTS dengan DM dan tanpa DM dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah pada pasien CTS dengan gejala klinis DM

I.5.3. Masyarakat

(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. CARPAL TUNNEL SYNDROME

II.1.1. Definisi

Carpal tunnel syndrome adalah kumpulan gejala akibat penekanan pada nervus medianus oleh ligamentum karpal transversal, di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan. (Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,2011).

II.1.2. Epidemiologi

Carpal tunnel syndrome merupakan cedera akibat pekerjaan yang kedua terbanyak setelah nyeri punggung bawah. Sindroma ini paling sering mengenai populasi usia 30-60 tahun, dengan perbandingan wanita dan pria 3-5 : 1 dan lebih dari 50% kasus terjadi secara bilateral. (Durrant dkk, 2002). Insidensi tahunan diperkirakan 120 per 100.000 wanita dan 60 per 100.000 pria. Insidensi tampaknya meningkat dengan pertambahan usia pada laki-laki namun insidensi puncak pada wanita adalah pada usia 45-54 tahun. (Hui dkk, 2005).

(36)

kasus per 100.000 penduduk laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki sebesar 2.07. (Aroori dkk, 2008).

II.1.3. Anatomi

II.1.3.1. Carpal tunnel

[image:36.595.100.263.493.710.2]

Carpal tunnel adalah suatu terowongan fibro-osseous yang dibentuk oleh tulang-tulang karpal dan flexor retinaculum. (Durrant dkk, 2002; Yugueros 2002). Komponen tulang pada carpal tunnel membentuk suatu lengkungan,yang dibentuk oleh empat tonjolan tulang—di proksimal oleh tulang pisiformis dan tubercle of scaphoid dan di distal oleh hook of hamate dan tubercle of trapezium. Tendon palmaris longus di superfisial berjalan anterior menuju ke flexor retinaculum untuk menyatu dengan fasia palmaris. Di bawah fasia palmaris, suatu ligamen membentuk batas superfisial dari carpal tunnel, yang disebut ligamen karpal transversal. Ligamen flexor retinaculum dan karpal transversal dianggap merupakan istilah yang sama (sinonim) oleh berbagai penulis. (gambar 1) (Pecina dkk, 2001; Yugueros 2002)

(37)

Dikutip dari : Yugueros.P., Berger,R.A. 2002. Anatomy of the carpal tunnel. In: Luchetti,R., Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

[image:37.595.107.412.319.431.2]

Ukuran dari terowongan ini bervariasi, dengan ukuran yang paling umum dijumpai adalah panjang 2-5 cm dan lebar 2-3 cm. Carpal tunnel cenderung menyempit semakin ke arah distal. Sembilan tendon ke jari-jari dan nervus medianus berjalan di dalam flexor retinaculum dalam carpal tunnel. Terdapat satu pembungkus synovial yang sama untuk seluruh tendon, kecuali tendon flexor pollicis longus. (gambar 2). (Durrant dkk, 2002).

Gambar 2. Anatomi carpal tunnel

Dikutip dari : Durrant,D.H.,True,J.M. 2002. Myelopathy,radiculopathy,and peripheral entrapment syndromes.CRC Press LLC. New York.

Walaupun tampaknya carpal tunnel merupakan ruang terbuka yang berhubungan dengan kompartemen fleksor dari lengan bawah di proksimal dan ruang midplamar di distal, namun carpal tunnel merupakan suatu kompartemen tertutup dan mempertahankan kadar tekanan jaringan dan cairannya sendiri. (Yugueros 2002).

II.1.3.2. Nervus Medianus

(38)
[image:38.595.136.338.202.537.2]

(C6-C7), dan jari tengah ((C6-C7), begitu juga serabut motorik ke otot-otot lengan bawah. Korda medial, terdiri dari C8-T1, mensuplai serabut motorik ke otot-otot median distal pada lengan bawah dan tangan, begitu pula serabut sensorik ke bagian lateral dari jari manis. (Freimer dkk, 2001; Preston dkk, 2002; Kimura 2001)

Gambar 3. Anatomi Pleksus Brakialis

Dikutip dari : Kimura,J. 2001. Electrodiagnosis in Disease of Nerve and Muscle: Princpiles and practice. Oxford University Press. New York.

(39)
[image:39.595.85.411.267.594.2]

menginervasi flexor pollicis longus, pronator quadratus dan flexor digitorum profundus I dan II. Nervus medianus kemudian berjalan di lengan bawah, dan setelah memberikan percabangan sensorik palmar, yang menginervasi kulit pada thenar eminence, nervus ini berjalan melalui carpal tunnel antara pergelangan tangan dan telapak tangan. (gambar 4) (Freimer dkk, 2001; Preston dkk, 2002; Kimura 2001)

Gambar 4. Distribusi Nervus Medianus

Dikutip dari : Kimura,J. 2001. Electrodiagnosis in Disease of Nerve and Muscle: Princpiles and practice. Oxford University Press. New York.

(40)
[image:40.595.122.291.230.463.2]

otot APB, bagian lateral dari flexor pollicis brevis dan opponens pollicis. (Kimura 2001;Durrant dkk, 2002; Preston dkk, 2002). Serabut sensorik dari nervus medianus yang berjalan melalui carpal tunnel mensarafi ibu jari bagian medial, jari telunjuk, jari tengah dan aspek lateral jari manis. (gambar 5) (Preston dkk, 2002; Kimura 2001)

Gambar 5. Distribusi nervus medianus di tangan

Dikutip dari : Durrant,D.H.,True,J.M. 2002. Myelopathy,radiculopathy,and peripheral entrapment syndromes.CRC Press LLC. New York.

(41)

II.1.4. Etiopatogenesis

Terdapat beberapa etiologi dari CTS, walaupun sebagian besar bersifat idiopatik. Kasus idiopatik selama ini dianggap sebagai suatu tenosynovitis ligamen karpal transversal. Namun begitu, temuan patologis hanya menunjukkan sedikit bukti adanya inflamasi sedangkan temuan yang lebih sering adalah edema, sklerosis vaskular dan fibrosis yang paling sesuai dengan stress berulang pada jaringan ikat. (Preston dkk, 2002). Sejumlah kondisi seperti gangguan anatomi, penyakit inflamasi, dan gangguan metabolik dapat menyebabkan atau memperberat gejala.(tabel 1) (Viera, 2003)

(42)
[image:42.595.114.415.176.391.2]

kerusakan nervus medianus akibat kompresi. Penyebab sistemik CTS yang paling sering dijumpai adalah DM, rheumatoid arthritis dan hipotiroidisme. (Luchetti 2007)

Tabel 1. Faktor penyebab CTS

Dikutip dari : Viera,A.J. 2003. Management of carpal tunnel syndrome. American family physician. 68(2): 265-27

(43)

sistemik yang paling sering berhubungan dengan CTS. Kompresi nervus medianus hanya salah satu dari sekian banyak komplikasinya. Pada pasien-pasien ini, nervus medianus sudah terlibat dalam polineuropati dan lebih rentan terkena kompresi. (Luchetti 2007)

Beberapa teori tentang patogenesis CTS telah diusulkan untuk menjelaskan gejala dan gangguan pada pemeriksaan konduksi saraf. Teori yang paling luas dikenal adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular dan teori vibrasi. Berdasarkan teori kompresi mekanik, gejala CTS disebbakan oleh kompresi nervus medianus dalam carpal tunnel. Kekurangan teori ini adalah bahwa teori ini dapat menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf namun tidak dapat menjelaskan penyebab yang mendasari terjadinya kompresi mekanis tersbut. Penelitian terdahulu mengaitkan gejala CTS dengan kompresi nervus medianus spontan. Istilah ‘spontan’ digunakan karena tidak adanya hubungan

yang jelas antara deformitas sendi pergelangan tangan dengan gejala. Kompresi tampaknya disebabkan oleh berbagai faktor seperti regangan, penggunaan yang berlebihan, eksensi pergelangan tangan yang berlama-lama dan berulang. (Aroori,dk 2008)

(44)

Sejumlah studi eksperimental mendukung teori iskemi akibat kompresi yang diberikan secara eksternal dan akibat peningkatan tekanan di dalam terowongan karpal. Studi sebelumnya menemukan bahwa perlambatan konduksi pada nervus medianus dapat dijelaskan dengan kompresi iskemik saja dan tidak harus berhubungan dengan gangguan mielinasi. Studi eksperimental lainnya menemukan kadar interleukin-6 (IL-6) dan prostaglandin E2 (PGE2) lima kali lebih tinggi pada pasien CTS dibanding orang normal. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan ini disebabkan oleh perubahan oksidatif akibat cedera iskemik dan reperfusi. Menurut teori vibrasi, gejala CTS dapat disebabkan oleh efek jangka panjang penggunaan alat-alat getar pada nervus medianus. Suatu studi menemukan edema epineural di nervus medianus dalam beberapa hari setelah paparan terhadap alat genggam yang bergetar. Selain itu, penelitia pada studi tersebut juga menemukan perubahan serupa setelah trauma mekanik, iskemik, dan kimia. Menariknya, penulis juga melaporkan penelitian pada hewan yang menunjukkan akumulasi sementara dari struktur aksoplasmik yang terganggu setelah paparan singkat terhadap alat getar. Perubahan ini pertama kali ditemukan dalam serabut saraf unmyelinated pada sistem simpatis; suatu kehilangan yang demikian dapat mengurangi aliran mikro-vaskular ke nervus medianus dan menyebabkan gangguan pada mielin dan penurunan kecepatan konduksi motorik.(Aroori,dk 2008)

II.1.5. Patofisiologi Kompresi Saraf

(45)

yang statis, ketika terjadi pergerakan tungkai atau sendi, jaringan saraf harus beradaptasi dan bergerak dengan perlahan beberapa millimeter di sepanjang perjalanannya. Jaringan saraf melewati berbagai kanalis yang sempit secara anatomis mulai dari foramen vertebra ke bagian yang paling distal dari ekstremitas. Kanal-kanal ini tidak memiliki titik tetap, oleh karena itu, jaringan saraf harus dapat bebas meluncur di dalamnya. Edema jaringan lokal sekitarnya, bahkan dalam jumlah yang kecil sekalipun, dapat mengganggu gerakan saraf pasif (gliding). Saat terjadi pergerakan anggota badan, jaringan saraf yang tidak terlalu mobile akan mengalami peregangan, sehingga menyebabkan kerusakan yang tersembunyi, seperti iritasi, edema dan atau microinjuries yang menyebabkan pembentukan bekas luka (scar adhesions). Jaringan parut menyebabkan peningkatan tekanan lokal dan mengurangi nerve gliding, sehingga menyebabkan kompresi saraf permanen. Jenis kompresi ini sering disebut “nerve entrapment”. (Luchetti 2007).

II.1.5.1. Efek Kompresi pada Serabut Saraf

Tingkat keparahan cedera saraf yang disebabkan oleh suatu kompresi akut dan atau kronis bergantung pada durasi trauma kompresi tersebut. Onsetnya, seperti halnya pemulihan saraf, dapat bervariasi dan mencerminkan dasar patofisiologi cedera. Serabut saraf menunjukkan kerentanan yang bervariasi terhadap kompresi dan berhubungan dengan ukurannya, lokasi fasikulus dalam nerve trunk. Dasar patofisiologi dari kompresi akut dan kronis masih kontroversial: baik faktor iskemik dan mekanis telah diajukan sebagai penyebab utama dari defek fungsional. (Luchetti,2007)

(46)

Efek kompresi lokal telah diuji secara eksperimental pada hewan menggunakan berbagai model miniatur. Kompresi eksternal sebesar 20-30 mmHg menyebabkan perlambatan aliran venula epineurium. Jika kekuatan tekanan meningkat, aliran kapiler endoneurium juga berkurang. Pada tekanan sebesar 80 mmHg, terjadi stasis aliran intraneural komplit dalam segmen saraf yang terkompresi (iskemia) (tabel 2). (Luchetti,2007)

Tabel 2. Efek tekanan terhadap aliran mikrovaskular intraneural

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

II.1.5.3. Efek Kompresi pada Transpor Aksonal

Pada tahun 1948, Weiss dan Hiscoe melaporkan bahwa penyempitan saraf menyebabkan pembengkakan dan akumulasi cairan di daerah yang terletak proksimal dari lokasi cedera. Hal ini disebabkan oleh efek obstruksi pada aksoplasma di dalam serat saraf. Secara teori, dapat dipercayai bahwa kompresi akan mengganggu transportasi aksonal secara langsung dan mekanik atau sekunder melalui obliterasi pembuluh intraneural dengan menyebabkan anoksia..(tabel 3 dan 4). (Luchetti,2007)

(47)

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

Tabel 4.Efek tekanan terhadap transpor aksonal retrograde

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

II.1.5.4. Edema Intraneural Akibat Kompresi

[image:47.595.103.363.151.210.2]

Kompresi dengan konsekuensi iskemia total dan subtotal dapat menyebabkan kerusakan pada semua jaringan intraneural termasuk sel Schwann, serat saraf, dan intraneural microvessels. Cedera mikrovaskuler dapat berhubungan dengan peningkatan permeabilitas membran terhadap protein, sedangkan periode iskemik jangka panjang dapat diikuti dengan edema intraneural segera setelah aliran darah kembali . Percobaan pada hewan telah menunjukkan bahwa edema endoneural jenis ini diikuti dengan kerusakan permanen pada fungsi saraf. Modifikasi permeabilitas mikrovaskuler intraneural telah dipelajari secara eksperimental pada tingkat kompresi yang berbeda. (tabel 5). (Luchetti 2007)

(48)

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

II.1.5.5. Efek Kompresi Terhadap Transmisi Impuls

[image:48.595.104.352.304.383.2]

Suatu percobaan dengan pemberian tekanan pada nervus medianus telah dilakukan oleh Lundborg. Tekanan 30 mmHg menyebabkan onset perubahan elektrofisiologi yang berhubungan dengan gejala sensorik (parestesi). Blok konduksi motorik dan sensorik total dijumpai pada tekanan lebih dari 40-50 mmHg. (tabel 6)

Tabel 6. Efek tekanan terhadap KHS medianus di pergelangan tangan

Dikutip dari : Luchetti. 2007. The patophysiology of median nerve compression. In: Luchetti,R.,Amadio,P. Carpal tunnel syndrome. Springer.Berlin.

Percobaan ini menunjukkan bahwa level tekanan kritis pada microvessels

yang menyebaban obliterasi dengan konsekuensi iskemik dan blok konduksi total

adalah sekitar 40-50 mmHg. (Luchetti 2007)

II.1.5.6. Tahapan Cedera Saraf Kompresif

Kerentanan serabut saraf terhadap kompresi bervariasi sesuai dengan ukuran dan topografi intrafasikular. Selain itu, terlihat bahwa tahap-tahap kompresi saraf harus didefinisikan berdasarkan sifat dari cedera fungsional dan jenis pemulihan fungsional, serta gambaran anatomi-patologik dari berbagai komponen jaringan trunkus saraf. (Luchetti 2007)

(49)

Istilah blok konduksi metabolik (fisiologis) mengacu pada kurangnya oksigen lokal akibat terhentinya sirkulasi,disertai inhibisi transmisi impuls pada bagian yang intak secara struktural pada serabut saraf. Jenis blok ini dapat disebabkan oleh kompresi lokal lemah, misalnya, kompresi peroneal, seperti yang terjadi ketika salah satu kaki disilangkan di atas yang lain. Dalam situasi ini, blok bersifat reversibel ketika tekanan dihilangkan. Waktu yang dibutuhkan untuk ini pemulihan fungsional ini berhubungan dengan durasi iskemia dan edema intraneural yang terjadi akibat anoksia endotel yang menyebabkan peningkatan dalam waktu pemulihan. Batas waktu untuk iskemia yang kemudian menjadi blok ametabolik pada cedera saraf irreversible adalah 6-8 jam. (Luchetti 2007)

II.1.5.6.2. Neuroapraxia

Neuroapraxia merupakan jenis blok konduksi saraf di mana kontinuitas akson tetap utuh tanpa onset degeneratif, tetapi konduksi di sepanjang daerah kompresi pulih setelah beberapa minggu atau bulan. Istilah ini diperkenalkan oleh Seddon. Jenis cedera ini diperkirakan berhubungan dengan fenomena akut, dengan kerusakan lokal pada mielin pada nodus Ranvier. Blok ini menetap sampai cedera mielin telah sembuh. Ini merupakan suatu proses yang biasanya memakan waktu beberapa minggu ke bulan. Seperti yang awalnya diamati oleh Seddon, neuroapraxia merupakan paralisis motorik dan tidak mengenai serabut saraf simpatik. (Luchetti 2007)

II.1.5.6.3. Axonotmesis

(50)

sehingga memicu degenerasi aksonal. Tabung endoneural tidak terkena dan pemulihan fungsional mencerminkan waktu yang diperlukan oleh akson untuk mengalami regenerasi dalam tabung endoneural sampai mereka mencapai target perifer. Pertumbuhan akson dipandu oleh tabung yang asli; prognosisnya baik sehubungan dengan regenerasi. (Luchetti 2007)

II.1.5.6.4. Neurotmesis

Neurotmesis menandakan hilangnya kontinuitas akson dan melibatkan elemen trunkus saraf, termasuk endoneural, perineurium atau epineurium. Menurut klasifikasi original dari Seddon, neurotmesis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan saraf yang telah sepenuhnya terputus atau benar-benar rusak total akibat fibrosis dan tidak lagi dapat mengalami pemulihan spontan. Neurotmesis memerlukan tindakan bedah untuk mendapatkan pemulihan fungsional yang total kembali. (Luchetti 2007)

(51)

juga terdapat penurunan tekanan perfusi pada carpal tunnel. Gejala timbul akibat disorganisasi metabolik lokal pada saraf, mengakibatkan kekurangan oksigen sekunder akibat keterlibatan mikrosirkulasi intraneural. Gejala-gejala bersifat reversibel bila posisi pergelangan tangan, otot, dan postur tubuh menjadi normal atau jika dilakukan pembedahan pada ligamentum karpal. (Luchetti 2007)

(52)

terjadi karena terdapat interneural scar, selain degenerasi aksonal (kerusakan fungsional permanen). (Luchetti 2007)

II.1.5.7. Cedera Iskemik-Reperfusi pada CTS

Sejumlah bukti menunjukkan bahwa final common pathway untuk terjadinya CTS adalah peningkatan tekanan cairan interstisial dalam terowongan karpal dan nervus medianus, disebabkan oleh stasis vena microcirculatory dalam ruang tertutup. Studi eksperimental menunjukkan bahwa perubahan pada CTS mengikuti suatu kurva dose-response dari jumlah dan durasi tekanan cairan interstisial dan dapat reversibel hingga ke suatu titik, dengan terapi fisik atau dekompresi bedah. Berbagai faktor intrinsik, ekstrinsik, atau "idiopatik" baik secara individu atau kolektif berperan atau berkontribusi terhadap peningkatan tekanan ini. Komponen anatomi, patofisiologi, biokimia, dan histologis berperan dalam penjelasan fenomena ini. (Freeland dkk, 2007)

II.1.5.7.1.Faktor anatomi

Terowongan karpal dapat berfungsi sebagai ruang pembatas yang tertutup. Pasien CTS cenderung memiliki carpal tunnel yang lebih kecil daripada normal. Rasio dari isi terowongan karpal dengan volumenya berkurang seiring dengan pergelangan tangan menjadi lebih kecil. Hal ini dapat menjelaskan sediikt tentang meningkatnya prevalensi CTS pada wanita dibandingkan dengan pria. Otot lumbrikalis yang normal, dan terutama hipertrofik, yang dapat dijumpai pada pekerja, lebih lanjut mengurangi volume carpal tunnel dengan fleksi jari. (Freeland dkk, 2007)

(53)

Luas penampang terowongan karpal berkurang dengan fleksi atau ekstensi pergelangan tangan progresif, sedangkan tekanan interstisial meningkat. Gerakan menggenggam dan pergelangan tangan berulang yang kuat dapat meningkatkan tekanan terowongan karpal. Pemberian tekanan atau getaran dari luar ke telapak tangan akan meningkatkan tekanan terowongan karpal. Bentuk-bentuk tekanan mekanis ini dapat menyebabkan stasis vena di terowongan karpal, yang pada gilirannya dapat menyebabkan iskemia pada sel endotel di tingkat kapiler dan kemudian terhadi peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi cairan ke dalam kanalis karpal. Edema persisten dan peningkatan tekanan interstisial akhirnya menyebabkan penurunan transpor aksonal dan aliran darah intraneural diikuti oleh aktivitas fibroblas dan pembentukan scar di dan sekitar saraf. Suatu studi menemukan bahwa perubahan degeneratif iskemik jaringan ikat dengan akses cairan menyebebkan pembengkakan tambahan karena kandungan glikosamin glikan dan hyaluronan pada jaringan yang berubah. (Freeland dkk, 2007)

II.1.5.7.3. Faktor biokimia

(54)

dapat menyebabkan cedera oksidatif sel dan jaringan. Reactive oxygen intermediates dan agen pro-oksidan lainnya menyebabkan peroksidasi lipid membran sel. Hal ini menyebabkan pembentukan suatu campuran kompleks dari aldehyde end produCTS, termasuk malondialdehyde (MDA), 4-hydroxy-2,3-nonenal (HNE), dan 4-hydroxy-2,3-alkenals (HAKs) lainnya dengan panjang rantai yang berbeda. Molekul-molekul aldehida ini merupakan mediator utama dari efek seluler toksik yang ditimbulkan oleh stres oksidatif. Dengan berlanjutnya stres oksidatif, sistem pertahanan antioksidan normal pada tubuh manusia menjadi kewalahan dan cedera seluler terjadi. Jaringan saraf yang bermielin, merupakan sumber yang kaya lipid, merupakan target dominan untuk peroksidasi lipid yang dimediasi radikal bebas dan lebih berat mnegalami kerusakan akibat kompresi dibandingkan serabut saraf yang tidak bermielin. (Freeland dkk, 2007)

Iskemia dan cedera seluler memulai metabolism asam arakidonat menjadi produk siklooksigenase seperti prostaglandin E2. Prostaglandin E2 merupakan vasodilator poten yang diketahui akan meningkatkan sensitivitas nerve endings terhadap stimulus kimia dan mekanik dan dengan demikian memberikan kontribusi terhadap timbulnya rasa nyeri yang dialami oleh pasien CTS. Studi menunjukkan bahwa prostaglandin (PGE) dapat menyebabkan peningkatan negativitas dari tekanan cairan interstisial yang menyebabkan peningkatan pesat dalam pembentukan edema, berkontribusi terhadap gangguan fungsi jaringan. Jumlah PGE2 dalam tenosynovium pasien CTS telah dilaporkan meningkat empat kali lipat dari control. (Freeland dkk, 2007)

(55)

tetapi biasanya tidak terdeteksi. Kerusakan selular yang diciptakan oleh iskemik neural dan sinovial juga dapat memberikan kontribusi pada produksi sitokin. Interleukin-6 bertanggung jawab untuk perubahan peptida saraf yang berkaitan dengan cedera saraf constriction-type. Kompresi saraf kronis pada hewan percobaan menyebabkan kadar IL-6 yang terdeteksi pada beberapa neuron motorik dan sensorik dan beberapa jaringan ikat dan menginduksi proliferasi fibroblas synovial jika berikatan dengan reseptor IL-6. Kadar IL-6 serum secara statistik tidak berbeda antara pasien CTS dan kontrol, meskipun kadar IL6 tenosynovial kali lebih tinggi pada kelompok pasien CTS. Data ini menunjukkan bahwa IL-6 mungkin memainkan peran lokal pada patofisiologi CTS. (Freeland dkk, 2007)

II.1.6. Gambaran Klinis

(56)

lebih jarang, ke bahu. Gejala-gejala dapat diprovokasi dengan postur fleksi atau ekstensi pergelangan tangan. Paling umum dijumpai, hal ini terjadi saat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mengemudi atau memegang telepon, buku atau koran. (Preston 2002)

Tabel 7. Gejala dan Tanda pada carpal tunnel syndrome

Dikutip dari : Pecina,M.,M., Nemanic,J.,K., Markiewitz.,A.,D. 2008. Tunnel syndromes.Peripheral nerve compression syndromes. CRC Press.New York.

Keluhan sensorik dapat berupa hipestesi hingga anestesi. Pasien dapat mengalami peningkatan intensitas rasa kebas, tingling dan disestesia pada malam hari, dan dapat terbangun dari itidur. Fenomena ini dikenal dengan brachialgia paresthetica nocturna. (Durrant dkk, 2002). Saat tidur, fleksi atau ekstensi pergelangan tangan yang persisten menyebabkan peningkatan tekanan pada terowongan karpal, iskemia saraf, dan akibatnya parestesi. Pasien sering terbangun dari tidur dan perlu menggoyangkan tangannya untuk menghilangkan rasa nyeri. (Preston 2002; Aroori dkk, 2008)

(57)

dan atrofi otot APB. (Durrant dkk, 2002; Preston 2002) dan hanya sekitar 40% pasien yang awalnya muncul dengan hipotrofi atau atrofi tenar. (Pecina dkk, 2001)

II.1.7. Nyeri pada CTS

Nyeri merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien CTS, yang biasanya disertai rasa kebas dan kesemutan pada daerah distribusi nervus medianus distal dari pergelangan tangan. Daerah yang terlibat biasanya adalah ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, dan sisi radial dari jari manis. (Pecina dkk, 2001; Preston 2002; Aroori dkk, 2008). Nyeri dapat terlokalisir pada pergelangan tangan, atau dapat menjalar ke lengan bawah, lengan atau yang lebih jarang, ke bahu. (Preston 2002).

Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri pada pasien CTS. Studi dari Nunez dkk, (2010) menemukan bahwa faktor psikososial lebih penting dibandingkan faktor patofisiologi (pemeriksaan KHS) dalam menentukan intensitas nyeri pada pasien CTS. Illness behavior (seperti depresi dan strategi coping) merupakan prediktor disabilitas yang lebih penting dibanding faktor demografik atau hasil pengukuran objektif. (Nunez,dk 2010). Nyeri merupakan salah satu faktor yang berperan dalam disabilitas kronik pada pasien CTS. (Turner dkk, 2004).

(58)

instrumen untuk menentukan intensitas nyeri; yang paling sering digunakan untuk pasien dewasa dengan fungsi kognitif yang intak adalah visual analogue scale (VAS), numerical rating scale (NRS), verbal descriptor scale (VDS). Visual analogue scale menggunaan garis horizontal berukuran 10 cm, dengan pangkal “no pain(tidak nyeri)” dan ujung “worst imaginable pain” (nyeri yang paling berat),

dimana pasien diminta untuk memberi tanda pada garis yang paling mewakili persepsi mereka tentang intensitas nyeri yang sedang dirasakan atau dalam 2 minggu terakhir. Jarak antara tanda yang diberi pasien diukur dari pangkal untuk menentukan skor pasien. Kadang-kadang digunakan istilah ‘ringan’, ‘sedang’, ‘berat’, atau diberikan angka di sepanjang garis sebagai pemandu, dan ini disebut

[image:58.595.110.460.416.557.2]

graphic rating scale. (Mannion dkk, 2007; Powell dkk, 2010).

Gambar

Gambar 1. Bagian anterior dari carpal tunnel
Gambar 2. Anatomi carpal tunnel
Gambar 3. Anatomi Pleksus Brakialis
Gambar 4. Distribusi Nervus Medianus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Luluk Hidayah, S.Ag Sekretaris3. Baharuddin, M.Pd

bahwa berdasarkan ketentuan pasal 74 ayat (9) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

bahwa berdasarkan hasil pelaksanaan pelelangan umum Pengadaan Mesin Fotocopy Kementerian Agama Tahun Anggaran 2012, maka perlu menetapkan perusahaan

Ketentuan terkait dengan Hak Memilih merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Pada hari ini SABTU tanggal DUA PULUH LIMA bulan AGUSTUS tahun DUA RIBU DUA BELAS , dimulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB, kami Panitia untuk pekerjaan tersebut

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Paper introduces for the first time an overview of a new 3D recording computer tool conceived to support the conservation process for cultural heritages, with

4. Pameran literasi dapat dilaksanakan di luar kelas dengan meja-meja yang diatur untuk memamerkan karya tulisan siswa dan bahan bacaan. Kegiatan membaca dapat dilakukan di